Anda di halaman 1dari 28

I.

SINTESIS
a. Diagnosis banding

Gejala dan tanda Penyulit Diagnosis

- Uterus tidak berkontraksi - Syok


dan lembek - Bekuan darah pada
Atonia uteri
- perdarahan segera setelah serviks atau posisi
anak lahir telentang akan
-- Darah segar mengalir menghambat aliran
segera setelah bayi lahir - Pucat
darah keluar
Robekan jalan
- uterus berkontraksi dan - Lemah
lahir
keras - Menggigil
- plasenta lengkap
- Plasenta belum lahir setelah - Tali pusat putus akibat
30 menit traksi berlebihan
Retensio
- perdarahan segera - Inversio uteri akibat
plasenta
- uterus berkontraksi dan tarikan
keras - Perdarahan lanjutan
- Plasenta atau sebagian - Uterus berkontraksi
Retensi sisa
selaput tidak lengkap tetapi tinggi fundus
plasenta
- perdarahan segera tidak berkurang

- Uterus tidak teraba


- lumen vagina terisi massa - Neurologenik syok
Inversio uteri
- Tampak tali pusat (bila - Pucat dan limbung
plasenta belum lahir)

- Sub-involusi uterus Endometritis


- Nyeri tekan perut bawah - Anemia atau sisa
dan pada uterus - Demam fragmen
- Perdarahan sekunder plasenta
(terinfeksi

b. Algoritma penegakkan diagnosis atau tidak)


1. Anamnesis
Ada beberapa hal penting yang perlu ditanyakan pada saat anamnesis:
a) Identitas
Sering terjadi pada ibu usia dibawah 20 tahun dan diatas 35 tahun.
b) Keluhan utama
• Perdarahan dari jalan lahir, badan lemah, limbung, keluar keringat dingin,
kesulitan nafas, pusing, pandangan berkunang-kunang.
• Lihat ada tidak tanda-tanda perdarahan pervaginam.
• Lihat ada tidak gejala perdarahan post partum.
Adapun gejala yang bisa menunjukkan hemorraghe postpartum:
• Perdarahan yang tidak dapat dikontrol
• Penurunan tekanan darah
• Peningkatan detak jantung
• Penurunan hitung sel darah merah ( hematocrit )
• Pembengkakan dan nyeri pada jaringan daerah vagina dan sekitar perineum.
c) Riwayat kehamilan dan persalinan
Riwayat hipertensi dalam kehamilan, preeklampsia/eklampsia, bayi besar,
gemelli, hidramnion, grandmulti gravida, primimuda, anemia, perdarahan saat
hamil, perdarahan post partum sebelumnya, persalinan dengan tindakan, robekan
jalan lahir, partus precipitatus, partus lama, chorioamnionitis, induksi persalinan,
manipulasi kala II dan III.
d) Riwayat kesehatan
Kelainan darah dan hipertensi.

2. Pemeriksaan fisik
1) Pemerikasan tanda – tanda vital
• Pemeriksaan suhu badan
Suhu biasanya meningkat sampai 38C dianggap normal. Setelah satu hari
suhu akan kembali normal (36-37°C), terjadi penurunan akibat hipovolemia.
• Nadi
Denyut nadi akan meningkat cepat karena nyeri, dan hipovolemia akan
memperberat.
• Tekanan darah
Tekanan darah biasanya stabil, memperingan hipovolemia.
• Pernafasan
• Bila suhu dan nadi tidak normal pernafasan juga menjadi tidak normal.
2) Pemeriksaan fisik
• Pemeriksaan abdomen: terdapat nyeri dan lunak (diperkirakan karena adanya
plasenta yang tertinggal, ruptur, atau endometritis), distensi, uterus yang teraba
sekitar atau diatas umbilikus mengarah kepada atoni uteri. Terabanya vesica
urinaria yang terlalu penuh dapat mengindikasikan adanya barrier halangan
untuk uterus berkontraksi.
• Pemeriksaan perineum: tampak adanya perdarahan di introitus; identifikasi
adanya laserasi perineum.
• Memeriksa plasenta dan ketuban : apakah lengkap atau tidak.
• Lakukan eksplorasi kavum uteri untuk mencari :
- Sisa plasenta dan ketuban
- Robekan rahim
- Plasenta succenturiata
• Pemeriksaan inspeculo:
Untuk melihat robekan pada cervix, vagina, dan varises yang pecah.bersihkan
darah dan fragmen-fragmen secara perlahan agar vagina dan cervix tetap
tampak sehingga dapat diobservasi. Inspeksi secara teliti dengan cahaya yang
baik dapat tampak adanya laserasiUntuk melihat robekan pada cervix, vagina,
dan varises yang pecah.
• Pemeriksaan bimanual: palpasi bimanual terhadap uterus dapat ditemukan
uterus yang lunak, atoni, uterus yang membesar, atau kumpulan darah dalam
jumlah yang banyak. Palpasi uterus juga digunakan untuk melihat bagaimana
kontraksi uterus dan tinggi fundus uteri. Palpasi juga dapat menemukan apakah
adanya hematoma di vagina atau pelvis. Periksa juga apakah cervix terbuka
atau tertutup.
• Periksa plasenta: periksa keutuhan plasenta, apakah ada bagian yang tertinggal
yang mungkin dapat menyebabkan perdarahan.

3. Pemeriksaan laboratorium
• Pemeriksaan darah lengkap
Hemoglobin dan hematokrit dapat membantu mengestimasi kehilangan darah,
walaupun pada pasien dengan perdarahan akut tidak akan langsung ditemukan
perubahan. Jika leukosit meningkat, suspek terjadinya endometritis atau toxic
shock syndrome. Periksa apakah ada trombositopenia. Periksa juga Bleeding
time, Hb, Clot Observation test dan lain-lain.
• Pemeriksaan koagulasi dan level fibrinogen
Elevasi PT, aPTT, dan INR dapat mengindikasikan adanya koagulopati. Kadar
fibrinogen normal pada wanita hamil meningkat menjadi 300-600 mg/dl.
Kadar normal atau rendah perlu diperhatikan apahkah adanya koagulopati.
• Periksa golongan darah dan crossmatch
Segera mulai proses untuk mencari darah yang cocok untuk resusitasi pada saat
yang dibutuhkan.
• Ultrasonografi (USG)
Secara umum, USG pelvis (transabdominal/transvaginal) membantu dalam
mengidentifikasi fragmen besar plasenta yang tertinggal, hematoma, atau
abnormalitas intrauterine lain. Plasenta yang tertinggal dan hematoma dapat
tampak sama pada gambaran USG. Doppler ultrasound dapat membantu
membedakan keduanya dengan adanya perbedaan vaskularisasi.
c. Definisi
Perdarahan postpartum (PPP) didefinisikan sebagai kehilangan 500 ml atau lebih
darah setelah persalinan pervaginam atau 1000 ml atau lebih setelah seksio sesaria
(Leveno, 2009; WHO, 2012).
Perdarahan pasca-salin (PPS) secara umum didefinisikan sebagai kehilangan
darah dari saluran genitalia >500 ml setelah melahirkan pervaginam atau >1000 ml
setelah melahirkan secara seksio sesarea. Perdarahan pasca-salin dapat bersifat minor
(500-1000 ml) atau pun mayor (>1000 ml). Perdarahan mayor dapat dibagi menjadi
sedang (1000-2000 ml) atau berat (>2000 ml). (POGI, 2016)

d. Etiologi
Atonia uteri adalah keadaan lemahnya tonus/kontraksi rahim yang menyebabkan uterus
tidak mampu menutup perdarahan terbuka dari tempat implantasi plasenta setelah bayi
dan plasenta lahir. Diagnosis ditegakkan bila setelah bayi dan plasenta lahir ternyata
perdarahan masih aktif dan banyak, bergumpal dan pada palpasi didapatkan fundus uteri
masih setinggi pusat atau lebih dengan kontraksi yang lembek. Perlu diperhatikan bahwa
pada saat atonia uteri didiagnosis, maka pada saat itu juga masih ada darah sebanyak
500-1000 cc yang sudah keluar dari pembuluh darah, tetapi masih terperangkap dalam
uterus dan harus diperhitungkan dalam kalkulasi pemberian darah pengganti.
Robekan Jalan Lahir
Pada umumnya robekan jalan lahir terjadi pada persalinan dengan trauma. Pertolongan
persalinan yang semakin manipulative dan traumatic akan memudahkan robekan jalan
lahir dan karena itu dihindarkan memimpin persalinan pada saat pembukaan erviks
belum lengkap. Robekan jalan lahir biasanya akibat episiotomy, robekan spontan
perineum, trauma forceps atau vakum ekstraksi, atau karena versi ekstraksi.
Robekan yang terjadi bisa ringan (lacet, laserasi), luka episotomi, robekan perineum
spontan derajat ringan sampai rupture perinea totalis (sfingter ani terputus), robekan pada
dinding vagina, forniks uteri, serviks, daerah sekitar klitoris dan uretra dan bahkan yang
terberat, rupture uteri. Oleh karena itu, pada setiap tindakan persalinan hendaklah
dilakukan inspeksi yang teliti untuk mencari kemungkinan adanya robeka ini. Perdarahan
yang terjadi saat kontraksi uteru baik, biasanya karena ada robekan atau sisa plasenta.
Retensio Plasenta
Bila plasenta tetap tertinggal dalam uterus setengah jam setelah anak lahir disbut sebagai
retensio plasenta. Plasenta yang sukar dilepaskan dengan pertolongan aktif Kala III bis
disebabkan oleh adhesi yang kuat antara plasenta dan uterus. Disebut sebagai plasenta
akreta bila implantasi menembus desidua basalis dan Nitabuch Layer, disebut sebagai
plasenta inkreta bila plasenta sampai menembus miometrium dan disebut plasenta
perkreta bila vili korialis sampai menembus perimetirum.
Inversi uterus
Kegawat daruratan kala III yang dapat menimbulkan perdarahan adalah terjadinya
inverse uterus. Inverse uterus adalah keadaan dimana lapisan dalam uterus
(endometrium) turun dan keluar ostium uteri eksternum, yang dapat bersifat inkomplit
sampai komplit.Inversio uteri ditandai dengan tanda-tanda:
• Syok karena kesakitan
• Perdarahan banyak bergumpal
• Di vulva tampak endometrium terbalik dengan atau tanpa plasenta yang masih
melekat.
• Bila baru terjadi, maka prognosis cukup baik akan tetapi bila kejadiannya cukup
lama, maka jepitan serviks yang mengecil akan membuat uterus mengalami
iskemia, nekrosis, dan infeksi.
Perdarahan karena Gangguan Pembekuan Darah
Kausal PPP karena gangguan pembekuan darah baru dicurigai bila penyebab yang lain
dapat disingkirkan apalagi disertai ada riwayat pernah mengalami hal yang sama pada
persalinan sebelumnya. Akan ada tendensi mudah terjadi perdarahan setiap dilakukan
penjahitan dan perdarahan akan erembes atau timbul hematoma pada bekas jahitan,
suntikan, perdarahan dari gusi, rongga hidung, dan lain-lain.

e. Epidemiologi
Perdarahan post partum (PPH) merupakan salah satu penyebab kematian maternal
terbanyak, 11% kematian maternal disebabkan oleh PPH.Secara global, diperkirakan
jumlah kematian maternal dunia pada tahun 2000 mencapai 529 ribu yang tersebar di
Asia 47,8% (253 000); Afrika 47,4% (251 000); Amerika Latin dan Caribbean 4% (22
000); dan kurang dari 1% (2500) di negara maju. Di kawasan Asean Indonesia
menempati urutan tertinggi dalam angka kematian maternal yakni 390/100.000 kelahiran
hidup, jauh di atas negara Asean lainnya. Meskipun PPH terjadi di mana-mana, risiko
kematian ibu dari PPH adalah seratus kali lebih besar di negara berkembang daripada di
negara maju. Di negara maju, perdarahan postpartum menyebabkan 8% dari kematian
ibu maternal dan bisa menyebabkan angka kematian bayi lahir saat kelahiran setinggi
25%. Di beberapa negara, angka kematian bayi tersebut bisa sampai 60%.

f. Faktor resiko
Faktor risiko PPP dapat ada saat sebelum kehamilan, saat kehamilan, dan saat persalinan.
Faktor risiko sebelum kehamilan meliputi usia, indeks massa tubuh, dan riwayat
perdarahan postpartum. Faktor risiko selama kehamilan meliputi usia, indeks massa
tubuh, riwayat perdarahan postpartum, kehamilan ganda, plasenta previa, preeklampsia,
dan penggunaan antibiotik. Sedangkan untuk faktor risiko saat persalinan meliputi
plasenta previa anterior, plasenta previa mayor, peningkatan suhu tubuh >37⁰,
korioamnionitis, dan retensio plasenta. Meskipun demikian, PPP dapat saja terjadi pada
perempuan yang tidak teridentifikasi memiliki faktor risiko secara riwayat maupun
klinis. Oleh karena itu, manajemen aktif kala III direkomendasikan bagi seluruh
perempuan bersalin. Manajemen aktif kala III meliputi pemberian uterotonika segera
setelah bayi lahir, klem tali pusat setelah observasi terhadap kontraksi uterus (sekitar 3
menit), dan melahirkan plasenta dengan penegangan tali pusat terkendali, diikuti dengan
masase uterus.

Faktor Risiko Etiologi Perdarahan

Meningkatnya usia maternal: > 35 tahun Tone

Etnis Asia Tone/ trauma

Obesitas: BMI > 35 Tone

Grande multipara Tone/ tissue

Abnormalitas uterus Tone

Kelainan darah maternal Thrombin

Riwayat PPP atau retensio plasenta Tone/ tissue

Anemia dengan Hb < 9 g/dL No reserve

Perdarahan antepartum (plasenta previa atau solusio Tissue/ tone/ thrombin


plasenta)

Overdistensi uterus (gemeli, polihidramnion, Tone


makrosomia)

Intrauterine fetal death (IUFD) Thrombin

Referensi: Network SMaNC. Queensland Maternity and Neonatal Clinical Guideline.


Primary postpartum haemorrhage. Queensland: Queensland Government; 2012.

g. Patofisiologi
Masalah yang paling umum adalah anemia dan hilangnya cadangan zat besi, yang
menyebabkan kelelahan pada periode postpartum. Selama kehamilan, volume darah ibu
meningkat sekitar 50% (dari 4 L ke 6 L). Volume plasma meningkat agak lebih dari total
volume sel darah merah, menyebabkan penurunan konsentrasi hemoglobin dan nilai
hematokrit. Peningkatan volume darah berfungsi untuk memenuhi tuntutan perfusi dari
unit uteroplasenta yang resistansi rendah dan untuk menyediakan cadangan untuk
kehilangan darah yang terjadi saat persalinan. (Smith, 2018)
Pada saat aterm, perkiraan aliran darah ke rahim adalah 500-800 mL / menit,
yang merupakan 10-15% dari curah jantung. Sebagian besar aliran ini melintasi unggun
plasenta yang resistannya rendah. Pembuluh darah uterus yang memasok situs plasenta
melintasi jalinan serat miometrium. Ketika serat-serat ini berkontraksi setelah persalinan,
terjadi retraksi miometrium. Retraksi adalah karakteristik unik dari otot uterus untuk
mempertahankan panjangnya yang pendek setelah setiap kontraksi berturut-
turut. Pembuluh darah dikompresi dan ditekuk oleh kisi-kisi silang ini, dan, biasanya,
aliran darah cepat tersumbat. Susunan ikatan otot ini telah disebut sebagai "ikatan hidup"
atau "jahitan fisiologis" rahim. (Smith, 2018)
Atonia uteri merupakan kegagalan miometrium untuk berkontraksi setelah
persalinan sehingga uterus dalam keadaan relaksasi penuh, melebar, lembek dan tidak
mampu menjalankan fungsi oklusi pembuluh darah. Akibat dari atonia uteri ini adalah
terjadinya perdarahan. Perdarahan pada atonia uteri ini berasal dari pembuluh darah yang
terbuka pada bekas menempelnya plasenta yang lepas sebagian atau lepas keseluruhan.
Miometrium terdiri dari tiga lapisan dan lapisan tengah merupakan bagian yang
terpenting dalam hal kontraksi untuk menghentikan perdarahan pasca persalinan.
Miometrum lapisan tengah tersusun sebagai anyaman dan ditembus oeh pembuluh darah.
Masing-masing serabut mempunyai dua buah lengkungan sehingga tiap-tiap dua buah
serabut kira-kira berbentuk angka delapan. Setelah partus, dengan adanya susunan otot
seperti tersebut diatas, jika otot berkontraksi akan menjepit pembuluh darah.
Ketidakmampuan miometrium untuk berkontraksi ini akan menyebabkan terjadinya
pendarahan pasca persalinan.

h. Klasifikasi
1. Hemoragic Postpartum (HAP) Primer : Kehilangan ≥ 500 ml darah dari saluran
genital dalam waktu 24 jam setelah kelahiran bayi.
2. Hemoragic Postpartum (HAP) Sekunder: perdarahan berlebihan dari jalan lahir antara
24 jam dan 12 minggu postpartum.
3. Hemoragic Postpartum (HAP) Minor : Estimasi Blood Loss (EBL) 500-1000 ml (dan
tidak adanya tanda-tanda klinis syok).
4. Hemoragic Postpartum (HAP) Mayor : EBL of ≥ 1000 ml (Terus berdarah atau tanda-
tanda klinis syok terkait dengan EBL yang lebih kecil). Mayor sedang (1000- 2000 ml)
atau parah (> 2000 ml).

i. Manifestasi Klinik
1. Atonia uteri: palpasi uterus lembek, perdarahan segera.
2. Retensio plasenta: plasenta belum lahir setelah 30 menit.
3. Sisa plasenta: plasenta tidak lengkap, subinvolusi uterus.
4. Trauma: darah mengalir merah segar, onset segera.
5. Ruptur uteri: perdarahan intraabdomen/intravaginal, kontraksi (-).
6. Inversio uteri: FU tidak teraba, massa di vagina, nyeri.
7. Koagulopati: darah encer, gumpalan (-), darah tidak berhenti.

Tabel : Manifestasi klinis Postpartum Hemorrhage.


Tabel : Manifestasi klinis Postpartum Hemorrhage.

j. Pemeriksaan Penunjang
1. Golongan darah : menentukan Rh, ABO dan percocokan silang.
2. Jumlah darah lengkap : menunjukkan penurunan Hb/Ht dan peningkatan jumlah sel
darah putuih (SDP). (Hb saat tidak hamil : 12-16gr/dl, saat hamil : 10-14gr/dl. Ht saat
tidak hamil : 37%-47%, saat hamil : 32%-42%. Total SDP saat tidak hamil 4.500-
10.000/mm3. saat hamil 5.000-15.000)
3. Kultur uterus dan vagina : mengesampingkan infeksi pasca partum.
4. Urinalisis : memastikan kerusakan kandung kemih.
5. Profil koagulasi : peningkatan degradasi, kadar produk fibrin/produk split fibrin
(FDP/FSP), penurunan kadar fibrinogen : masa tromboplastin partial diaktivasi, masa
tromboplastin partial (APT/PTT), masa protrombin memanjang pada KID.
6. Sonografi : menentukan adanya jaringan plasenta yang tertahan.

k. Tatalaksana
Apabila PPS terjadi, ditentukan dulu kausa perdarahan, kemudian penatalaksanaannya
dilakukan secara simultan, meliputi perbaikan tonus uterus, evakuasi jaringan sisa, dan
penjahitan luka terbuka disertai dengan persiapan koreksi faktor pembekuan. Tahapan
penatalaksanaan PSS berikut ini dapat disingkat dengan istilah HAEMOSTASIS.
Apabila terjadi atonia uterus, lakukan perbaikan pada tonus uterus. Apabila kausa
perdarahan berasal dari tissue, lakukan evakuasi jaringan sisa plasenta. Lakukan
penjahitan luka terbuka bila terjadi trauma dan koreksi faktor pembekuan bila terdapat
gangguan pada thrombin.
Penatalaksanaan dilakukan dengan prinsip “HAEMOSTASIS”, yaitu:
1. Ask for HELP
Segera meminta pertolongan atau dirujuk ke rumah sakit bila persalinan di bidan/PKM.
Kehadiran ahli obstetri, bidan, ahli anestesi, dan hematologis menjadi sangat penting.
Pendekatan multidisipliner dapat mengoptimalkan monitoring dan pemberian cairan.
Monitoring elektrolit dan parameter koagulasi adalah data yang penting untuk penentuan
tahap tindakan berikutnya.
2. Assess (vital parameter, blood loss) and Resuscitate
Penting sekali segera menilai jumlah darah yang keluar seakurat mungkin dan
menentukan derajat perubahan hemodinamik. Lebih baik overestimate jumlah darah yang
hilang dan bersikap proaktif daripada underestimate dan bersikap menunggu/pasif.
Nilai tingkat kesadaran, nadi, tekanan darah, dan bila fasilitas memungkinkan,
saturasi oksigen harus dimonitor.
Saat memasang jalur infus dengan abocath 14G-16G, harus segera diambil spesimen
darah untuk memeriksa hemoglobin, profil pembekuan darah, elektrolit, penentuan
golongan darah, serta crossmatch (RIMOT = Resusitasi, Infus 2 jalur, Monitoring
keadaan umum, nadi dan tekanan darah, Oksigen, dan Team approach). Diberikan cairan
kristaloid dan koloid secara cepat sambil menunggu hasil crossmatch.
3. Establish Aetiology, Ensure Availability of Blood, Ecbolics (Oxytocin,
Ergometrin or Syntometrine bolus IV/ IM
Sementara resusitasi sedang berlangsung, dilakukan upaya menentukan etiologi PPS.
Nilai kontraksi uterus, cari adanya cairan bebas di abdomen, bila ada risiko trauma
(bekas seksio sesarea, partus buatan yang sulit) atau bila kondisi pasien lebih buruk
daripada jumlah darah yang keluar. Harus dicek ulang kelengkapan plasenta dan selaput
plasenta yang telah berhasil dikeluarkan. Bila perdarahan terjadi akibat morbidly
adherent placentae saat seksio sesarea dapat diupayakan haemostatic sutures, ligasi arteri
hipogastrika dan embolisasi arteri uterina. Morbidly adherent placentae sering terjadi
pada kasus plasenta previa pada bekas seksio sesarea. Bila hal ini sudah diketahui
sebelumnya, dr. Sarah P. Brown dan Queen Charlotte Hospital (Labour ward course)
menyarankan untuk tidak berupaya melahirkan plasenta, tetapi ditinggalkan intrauterin
dan kemudian dilanjutkan dengan pemberian metotreksat seperti pada kasus kehamilan
abdominal. Bila retensio plasenta/sisa plasenta terjadi setelah persalinan pervaginam,
dapat digunakan tamponade uterus sementara menunggu kesiapan operasi/laparotomi.
4. Massage the uterus
Perdarahan banyak yang terjadi setelah plasenta lahir harus segera ditangani dengan
masase uterus dan pemberian obat-obatan uterotonika. Bila uterus tetap lembek harus
dilakukan kompresi bimanual interna dengan menggunakan kepalan tangan di dalam
untuk menekan forniks anterior sehingga terdorong ke atas dan telapak tangan di luar
melakukan penekanan pada fundus belakang sehingga uterus terkompresi.
5. Oxytocin infusion/ prostaglandins – IV/ per rectal/ IM/ intramyometrial
Dapat dilakukan pemberian oksitosin 40 unit dalam 500 cc normal salin dengan
kecepatan 125 cc/jam. Hindari kelebihan cairan karena dapat menyebabkan edema
pulmoner hingga edema otak yang pada akhimya dapat menyebabkan kejang karena
hiponatremia. Hal ini timbul karena efek antidiuretic hormone (ADH) - like effect dan
oksitosin; sehingga monitoring ketat masukan dan keluaran cairan sangat esensial dalam
pemberian oksitosin dalam jumlah besar.
Pemberian ergometrin sebagai lini kedua dari oksitosin dapat diberikan secara
intramuskuler atau intravena. Dosis awal 0,2 mg (secara perlahan), dosis lanjutan 0,2 mg
setelah 15 menit bila masih diperlukan. Pemberian dapat diulang setiap 2-4 jam bila
masih diperlukan. Dosis maksimal adalah 1 mg atau 5 dosis per hari. Kontraindikasi pada
pemberian ergometrin yaitu preeklampsia, vitiumcordis, dan hipertensi. Bila PPS masih
tidak berhasil diatasi, dapat diberikan misoprostol per rektal 800-1000ug.
Pada perdarahan masif perlu diberikan transfusi darah, bahkan juga diperlukan
pemberian fresh frozen plasma (FFP) untuk menggantikan faktor pembekuan yang
turut hilang. Direkomendasikan pemberian 1 liter FFP (15 mL/kg) setiap 6 unit darah.
Pertahankan trombosit di atas 50.000, bila perlu diberikan transfusi trombosit.
Kriopresipitat direkomendasikan bila terjadi DIC yang ditandai dengan kadar fibrinogen
<1 gr/dl (10 gr/L).
6. Shift to theatre–exclude retained products and trauma/bimanual compression
(konservatif ; non-pembedahan)
Bila perdarahan masif masih tetap terjadi, segera evakuasi pasien ke ruang operasi.
Pastikan pemeriksaan untuk menyingkirkan adanya sisa plasenta atau selaput ketuban.
Bila diduga ada sisa jaringan, segera lakukan tindakan kuretase. Kompresi bimanual
dapat dilakukan selama ibu dibawa ke ruang operasi.
7. Tamponade balloon/ uterine packing (konservatif; non-pembedahan)
Bila perdarahan masih berlangsung, pikirkan kemungkinan adanya koagulopati yang
menyertai atonia yang refrakter. Tamponade uterus dapat membantu mengurangi
perdarahan. Tindakan ini juga dapat memberi kesempatan koreksi faktor pembekuan.
Dapat dilakukan tamponade test dengan menggunakan Tube Sengstaken yang
mempunyai nilai prediksi positif 87% untuk menilai keberhasilan penanganan PPS. Bila
pemasangan tube tersebut mampu menghentikan perdarahan berarti pasien tidak
memerlukan tindakan bedah lebih lanjut. Akan tetapi, bila setelah pemasangan tube,
perdarahan masih tetap masif, maka pasien harus menjalani tindakan bedah.
Pemasangan tamponade uterus dengan menggunakan baloon relatif mudah dilaksanakan
dan hanya memerlukan waktu beberapa menit. Tindakan ini dapat menghentikan
perdarahan dan mencegah koagulopati karena perdarahan masif serta kebutuhan tindakan
bedah. Hal ini perlu dilakukan pada pasien yang tidak membaik dengan terapi medis.
Pemasangan tamponade uterus dapat menggunakan Bakri SOS baloon dan tampon balon
kondom kateter. Biasanya dimasukkan 300-400 cc cairan untuk mencapai tekanan yang
cukup adekuat sehingga perdarahan berhenti. Balon tamponade Bakri dilengkapi alat
untuk membaca tekanan intrauterin sehingga dapat diupayakan mencapai tekanan
mendekati tekanan sistolik untuk menghentikan perdarahan. Segera libatkan tambahan
tenaga dokter spesialis kebidanan dan hematologis sambil menyiapkan ruang ICU.
8. Apply compression sutures – B-Lynch/ modified (pembedahan konservatif)
Dalam menentukan keputusan, harus selalu dipertimbangkan antara mempertahankan
hidup dan keinginan mempertahankan fertilitas. Sebelum mencoba setiap prosedur bedah
konservatif, harus dinilai ulang keadaan pasien berdasarkan perkiraan jumlah darah yang
keluar, perdarahan yang masih berlangsung, keadaan hemodinamik, dan paritasnya.
Keputusan untuk melakukan laparotomi harus cepat setelah melakukan informed
consent terhadap segala kemungkinan tindakan yang akan dilakukan di ruang operasi.
Penting sekali kerja sama yang baik dengan ahli anestesi untuk menilai kemampuan
pasien bertahan lebih lanjut pada keadaan perdarahan setelah upayakonservatif gagal.
Apabila tindakan B-Lynch tidak berhasil, dipertimbangkanuntuk dilakukan histerektomi.
Ikatan kompresi yang dinamakan Ikatan B-Lynch (B-Lynch suture) pertama kali
diperkenalkan oleh Christopher B-Lynch. Benang yang dapat dipakai adalah kromik
catgut no.2, Vicryl 0 (Ethicon), chromic catgut 1 dan PDS 0 tanpa adanya komplikasi.
Akan tetapi, perlu diingat bahwa tindakan B-Lynch ini harus didahului tes tamponade
yaitu upaya menilai efektifitas tindakan B- Lynch dengan cara kompresi bimanual uterus
secara langsung di meja operasi. Teknik penjahitan uterus metode B-lynch& B-lynch
Modifikasi (Metode Surabaya) dapat dilihat pada Lampiran 1. Prosedur Penjahitan
Uterus Metode Surabaya dan Lampiran 2. Prosedur Penjahitan Uterus Metode Surabaya
prosedur Penjahitan Uterus Metode Surabaya.
9. Systematic pelvic devascularization – uterine/ ovarian/ quadruple/ internal iliac
(pembedahan konservatif)
Ligasi a. uterina dan ligasi a. Hipogastrika.
10. Interventional radiologis, if appropriate, uterine artery embolization
(pembedahan konservatif)
11. Subtotal/ total abdominal hysterectomy (non-konservatif)

Gambar : Estimasi Perdarahan.


Bagan : Algoritma tatalaksana Postpartum Hemorrhage.

Tabel : Uterotonika Pilihan untuk Manajemen PPS karena Atonia Uteri


Catatan: Misoprostol dapat dipertimbangkan sebagai lini ketiga terapi PPS karena pemberian
yang mudah dan harga yang murah dibandingkan dengan prostaglandin injeksi.
Tabel : Balon Intrauterus atau Tamponade Kondom dalam Terapi PPS.

Tabel : Kompresi Eksternal Aorta Abdominalis sebagai Terapi PPS.


Catatan: Kompresi eksterna aorta abdominalis mungkin bermanfaat sebagai metode sementara
untuk terapi PPS saat resusitasi sambil menunggu rencana terapi dibuat.

Tabel : Intervensi Pembedahan Untuk Terapi PPS


Catatan: Intervensi pembedahan yang beragam telah dilaporkan untuk mengontrol PPS yang
tidak responsif terhadap intervensi medis atau mekanis. Terapi ini meliputi berbagai bentuk
simpul kompresi, ligasi arteri uterina, ovarika dan iliaka interna, serta histerektomi subtotal dan
total.
Gambar : Hemostatic suture.

Rekomendasi Transfusi Darah, Transfusi produk darah diperlukan bila jumlah darah yang
hilang cukup masif dan masih terus berlanjut, terutama jika tanda vital tidak stabil. Keputusan
klinis bersifat penting karena perkiraan darah yang hilang sering tidak akurat, penentuan
menggunakan konsentrasi hemoglobin atau hematokrit mungkin tidak akurat dalam
merefleksikan status hematologis pasien, sedangkan tanda dan gejala mungkin belum muncul
sampai kehilangan darah melebihi batas toleransi fisiologis tubuh. Tujuan dari transfusi produk
darah adalah untuk mengganti faktor koagulasi dan sel darah merah yang berkapasitas membawa
oksigen, bukan sebagai pengganti volume.

Gambar : Morbidly adherent placenta: accretas, incretas, percretas.


Tatalaksana pada Kasus
1. Tatalaksana Syok
1) Minta bantuan.
2) Pastikan airway bebas dan berikan oksigen.
3) Posisikan trendelenburg.
4) Pasang infus IV (2 jalur) dengan jarum terbesar (no. 16 atau 18).
5) Beri cairan kristaloid (NaCl 0,9 % atau Ringer Laktat) 1 L dengan cepat (15— 20
menit),.
6) Pasang kateter urin (Folley) untuk monitor urine output.
7) Lanjutkan pemberian cairan sampai 2 L dalam 1 jam pertama atau hingga 3 L dalam
2—3 jam (pantau tanda vital).
8) Atasi penyebab syok sambil di monitor keadaaan umum dan tanda vitam tiap 15 menit.
a. Penanganan atonia uteri.
b. Penanganan trauma jalan lahir.
9) Apabila ibu sesak dan pipi membengkak, turunkan kecepatan infus.
10) Cek jika tanda-tanda stabil/perbaikan.
a. Tekanan darah sistolik >100 mmHg
b. Nadi <90x/menit
c. Kesadaran membaik
d. Produksi urine >30 ml/jam
11) Pertahankan infus kecepatan 500 mL tiap 3—4 jam (40—50 tpm) dengan catatan pada
HPP kecepatan infus mungkin dibutuhkan lebih tinggi dna usahakan mengganti 2—3x
lipat cairan yang hilang
12) Transfusi jika Hb < 7 g/dL atau klinis anemia berat

2. Penanganan Atonia Uteri


1) Masase uterus, pastikan plasenta lengkap.
2) Oksitosin 20-40 U dlm 1 L NaCl 0,9%/RL 60 tpm dan 10 U IM lanjut infus oksitosin
20 U dlm 1 L NaCl 0,9%/RL 40 tpm hingga perdarahan berhenti.
3) Ergometrin 0,2 mg IM/IV diikuti 0,2 mg IM stlh 15 menit dan 0,2 mg IM/IV tiap 4 jam
bila perlu.
4) Asam traneksamat 1 gram IV (bolus 1 menit, bisa diulang 30 menit).
5) Kondom kateter atau kompresi bimanual selama 5 menit.
6) Pemasangan tamponade balloon/uterine packing (konservatif;non-pembedahan).
7) Siapkan OK.
8) Rujuk sambil diberi oksitosin IV
9) Pembedahan perdarahan masih masif
Bagan : Algoritma penatalaksanaan atonia uteri.

Gambar : Kompresi Bimanual.

Gambar : A. Tampon balonhanscoen B. Tampon SOS Bakri.


Asuhan dan pemantauan kala IV

Setelah plaseta lahir :


1. Lakukan perangsangan taktil uterus.
2. Evaluasi tinggi fundus uteri.
3. Memperkirakan kehilangan darah secara keseluruhan.
4. Periksa kemngkinan dari robekan (Laserari atau episotomi ) perineum.
5. Evaluasi keadaan unum ibu.
6. Dokumentasikan seuma asuhan dan temuan selama kala IV, dibelakang partograf.

Penanganan Robekan Jalan Lahir


1. Irigasi tempat luka dan bersihkan dengan antiseptik.
2. Pasang kateter.
3. Hentikan sumber perdarahan dengan klem lalu ikat dengan benang yang dapat diserap.
4. Jahit.
5. Pilih benang jahit terbaik.
6. Rapatkan/rapikan ujung luka.
7. Jahitan tunggal jarak 1 cm.
a. Aproksimasi
b. Atasi perdarahan
c. Tidak ada dead space
d. Lapis demi lapis
8. Apabila perdarahan berlanjut, beri 1 g asam traneksamat IV (bolus 1 menit, dapat diulang
setelah 30 menit).

l. Edukasi dan Pencegahan

Klasifikasi kehamilan risiko rendah dan risiko tinggi akan memudahkan penyelenggara
pelayanan kesehatan untuk menata strategi pelayanan ibu hamil saat perawatan antenatal dan
melahirkan dengan mengatur petugas kesehatan mana yang sesuai dan jenjang rumah sakit
rujukan. Akan tetapi, pada saat proses persalinan, semua kehamilan mempunyai risiko untuk
terjadinya patologi persalinan, salah satunya adalah perdarahan pascapersalinan. Antisipasi
terhadap hal tersebut dapat dilakukan sebagai berikut :
1. Persiapan sebelum hamil untuk memperbaiki keadaan umum dan mengatasi setiap penyakit
kronis, anemia, dan lain-lain sehingga pada saat hamil dan persalinan pasien tersebut ada
dalam keadaan optimal.
2. Mengenal faktor predisposisi PPP seperti multiparitas, anak besar, hamil kembar,
hidramnion, bekas seksio, ada riwayat PPP sebelumnya dan kehamilan risiko tinggi lainnya
yang risikonya akan muncul saat persalinan.
3. Persalinan harus selesai dalam waktu 24 jam dan pencegahan partus lama.
4. Kehamilan risiko tinggi agar melahirkan di fasilitas rumah sakit rujukan.
5. Kehamilan risiko rendah agar melahirkan di tenaga kesehatan terlatih dan menghindari
persalinan dukun.
6. Menguasai langkah-langkah pertolongan pertama menghadapi PPP dan mengadakan
rujukan sebagaimana mestinya.

Tabel : Faktor Risiko Perdarahan Pasca-Salin.


Tabel : Faktor Risiko PPS Antepartum.

Tabel : Manajemen Risiko Antepartum.

Tabel : Faktor Risiko Intrapartum.


Tabel : Manajemen Risiko Intrapartum.

Tabel : Faktor Risiko PPS.


Tabel : Penurunan Risiko Postpartum.

.
Tabel : Rekomendasi Observasi Postpartum.
m. Komplikasi

Tabel : Komplikasi Postpartum Hemorrhage.

n. Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam.
Quo ad fungsionam : dubia ad bonam.
Quo ad sanationam : dubia ad malam
Prognosis tergantung pada penyebab PPH, durasinya, jumlah kehilangan darah, kondisi
komorbiditas, dan efektivitas pengobatan. Diagnosis dan pengobatan yang cepat sangat
penting untuk mencapai hasil terbaik untuk setiap pasien. Sebagian besar wanita usia
reproduksi akan baik-baik saja jika dikelola segera dalam pengaturan dengan sumber
daya operasi dan produk darah yang tersedia. Konsekuensi termasuk gejala sisa
perdarahan, resusitasi cairan agresif, pajanan produk darah, dan prosedur yang dilakukan
untuk mengendalikan perdarahan uterus, serviks, vagina, atau peritoneum.

o. SKDI
3B. Gawat darurat
Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan memberikan terapi pendahuluan
pada keadaan gawat darurat demi menyelamatkan nyawa atau mencegah keparahan
dan/atau kecacatan pada pasien. Lulusan dokter mampu menentukan rujukan yang paling
tepat bagi penanganan pasien selanjutnya. Lulusan dokter juga mampu menindaklanjuti
sesudah kembali dari rujukan.
II. KERANGKA KONSEP

III. KESIMPULAN
Ny. Z, G1P1A0, mengalami perdarahan postpartum et causa atonia uteri disertai trauma
jalan lahir.

DAFTAR PUSTAKA
Alarm International Program. Tt. Postpartum Hemorrhage. Fourth Edition Of The Alarm
International Program. Diakses dari
https://www.glowm.com/pdf/AIP%20Chap6%20PPH.pdf
American College of Physician. Referensi Nilai Lab Normal. Diakses dari http://rc.gnomio.com
Anderson JM, Pula NRV. 2008. Postpartum hemorrhage. In Family Medicine Obstetrics.
USA: Mosby Elsevier.

Budiastuti, Anggun dan Sudarto Ronoatmodjo. 2016. Hubungan Makrosomia dengan


Perdarahan Postpartum di Indonesia Tahun 2012 (Analisis Data SDKI 2012). Jurnal
Epidemiologi Kesehatan Indonesia Vol. 1, No. 1.

Blomberg M. 2011. Maternal obesity and risk of postpartum hemorrhage. Obstet Gynecol.
118(3):561-8.
Briley A, Seed PT, Tydeman G, Ballard H, Waterstone M, Sandall J, et al. 2014. Reporting
errors, incidence and risk factors for postpartum haemorrhage and progression to
severe PPH: a prospective observational study. BJOG An International Journal of
Obstetrics and Gynaecology.
B-Lynch C. 2006. A textbook of postpartum hemorrhage: a comprehensive guide to evaluation,
management and surgical intervention. UK: Sapiens Publishing.

Cho, J. 2000. Hemostatic suturing technique for uterine bleeding during cesarean delivery.
Obstetrics & Gynecology, 96(1), 129–131. doi:10.1016/s0029-7844(00)00852-8.
Diakses 25 februari 2020.
Cunningham, et al. 2014. Edition Williams Obstetric 24th. Amerika Serikat:McGraw-Hill
Education.
Elisabeth, Smith. 2017. Episiotomy. International Childbirth Education Association Position
Paper. Diakses dari
https://icea.org/wp-content/uploads/2015/12/Episiotomy-PP-2017.pdf
Evensen, Ann, et al. 2017. Postpartum Hemorrhage : Prevention and Treatment. American
Academy of Family Physicians; 95 (7). Diakses dari
https://www.aafp.org/afp/2017/0401/p442.pdf
Edhi MM, Aslam HM, Naqvi Z, Hashmi H. 2013. Postpartum hemorrhage: causes and
management. BMC Research Notes. 6(236): 1-6.
Fibrila, F. 2018. Komplikasi Kehamilan dan Anemia Kehamilan Meningkatkan Insidensi
Perdarahan Pascasalin (Studi Kasus Kontrol). Jurnal Kesehatan Metro Sai Wawai, 11(2),
71-76.

Gabel, K.T., dan Weeber, T.A. 2012. Measuring and Communicating Blood Loss During
Obstetric Hemorrhage. Journal of Obstetric, Gynecology, and Neonatal Nursing.
https://doi.org/10.1111/j.1552-6909.2012.01375.x. Diakses pada 25 Februari 2020.
Indonesian Medical Council. 2012. Standar Kompetensi Dokter Indonesia. Jakarta. Diakses dari
http://www.kki.go.id/assets/data/arsip/SKDI_Perkonsil,_11_maret_13.pdf.
Manuaba C, Manuaba I. 2008. Gawat darurat obstetri ginekologi & obstetri ginekologi sosial.
Jakarta : EGC.

Prawirohardjo S. 2010. Ilmu kebidanan (Edisi ke-4). Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo.
POGI Himpunan Kedokteran Fetomaternal. 2016. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran
Perdarahan Pasca-salin. POGI: Jakarta.
Ramadhani NP, Sukarya WS. 2011. Hubungan antara karakteristik pasien dengan kejadian
retensio plasenta pada pasien yang dirawat di rumah sakit Al – Ihsan Bandung
periode 1 Januari 2010 – 31 Desember 2010. Prosiding SnaPP2011 Sains,
Teknologi, dan Kesehatan. 2(1): 25-32.
Rifdiani, Izfa. 2016. Pengaruh Paritas, BBL, Jarak Kehamilan dan Riwayat Perdarahan terhadap
Kejadian Perdarahan Pospartum. Jurnal Berkala Epidemiologi, Vol. 4 No. 3.

Rohani, Saswita R, Marisah. 2011. Asuhan kebidanan pada masa persalinan. Jakarta: Salemba
Medika.
Rueda CM, Rodriguez L, Jarquin JD, Barboza A, Bustillo MC, Marin F, et al. 2013. Severe
postpartum hemorrhage from uterine atony: a multicentric study. Journal of Pregnancy.

Saifuddin A. 2002. Buku panduan praktis pelayanan kesehatan maternal dan neonatal. Jakarta:
Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Smith, John R. 2018. Postpartum Hemorrhage. Diakses dari
https://emedicine.medscape.com/article/275038-print pada 25/02/2020 pukul 11.00 WIB.
Schuurmans N, MacKinnon C, Lane C, Duncan E. 2000. SOGC Clinical Practice Guideline:
Prevention and Management of Postpartum Haemorrhage. Journal of Society of
Obstetricians and Gynaecologists of Canada.
WHO. 2012. WHO recommendations for the prevention and treatment of postpartum
haemorrhage. Geneva: WHO Library Cataloguing-in- Publication Data.
World Health Organization. Hemoglobin Concentration for The Diagnosis of Anemia and
Assessment of Severity. Vitamin and Mineral Nutrition Information System. Diakses dari
https://www.who.int/vmnis/indicators/haemoglobin.pdf
Wiknjosastro H. Ilmu Kebidanan. Edisi ke-4 Cetakan ke-2. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo, 2009; 523 - 529.

Wuryanti A. 2010. Hubungan anemia dalam kehamilan dengan perdarahan postpartum karena
atonia uteri di RSUD Wonogiri. (Skripsi) Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Anda mungkin juga menyukai