Anda di halaman 1dari 40

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN

DENGAN GANGGUAN SISTEM PERNAPASAN (ASMA)

OLEH :

NI PUTU AYU SUCITA DEWI

P07120320045

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

POLITEKNIK KESEHATAN DENPASAR

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

JURUSAN KEPERAWATAN

TAHUN 2020
LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN
DENGAN PENYAKIT ASMA

A. Konsep Dasar Penyakit Asma

1. Pengertian asma

Asma adalah penyakit inflamasi kronis pada saluran napas yang

dikarakteristikkan dengan hiperresponsivitas, edema mukosa, dam produksi mukus.

Kondisi ini meyebabkan episode gejala asma berulang berupa batuk, sesak dada,

mengi, dan dispnea dengan ekserbasi akut yang berlangsung dalam hitungan menit,

jam sampai hari (Smeltzer 2013). Asma merupakan penyakit inflamasi kronis

saluran pernpasan yang dihubungkan dengan hipperresponsif, keterbatasan aliran

udara yang reversible dan gejala pernapasan (Sudoyo 2010). Asma adalah gangguan

inflamasi kronik saluran napas. Inflamasi kronik ini menyebabkan gejala episodik

berulang berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat dan batuk batuk terutama

malam dan atau pagi hari (Brown 2015). Asma adalah gangguan pada saluran

bronkial yang mempunyai ciri bronkospasme periodik (kontraksi spasme pada

saluran napas) terutama pada percabangan trakeobronkial yang dapat diakibatkan

oleh beberapa stimulus (Somantri 2012)

Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa asma merupakan suatu

kelainan berupa hiperresponsivitas saluran pernapasan yang diakibatkan oleh

inflamasi kronis saluran pernapasan sehingga meyebabkan gejala berulang berupa

sesak napas, batuk, dan mengi.

10
2. Klasifisikasi derajat asma

Tabel 1
Klasifikasi Derajat Asma Menurut Gambaran Klinis Secara Umum

Derajat Gejala
Asma Gejala Malam Faal paru

Intermitten Bulanan

o Gejala ≤ 2 kali sebulan o VEP1 ≥ 80 % nilai


<1x/minggu prediksi
o Tanpa tanda dan o APE ≥ 80% nilai
gejala diluar terbaik
serangan o Variability APE
o Serangan singkat <20%
Persisten
ringan Mingguan

o Gejala > 1x/minggu, > 2 kali sebulan o VEP1 ≥ 80 % nilai


tetapi < 1x/ hari prediksi
o Serangan dapat o APE ≥ 80% nilai
mengganggu terbaik
aktivitas tidur o Variability APE >
20-30%
Persisten
sedang Harian

o Gejala setiap hari >1kali/minggu o VEP1 60 − 80 %


o Serangan nilai prediksi
menggangu o APE 60 −80%
aktivitas tidur o nilai terbaik
Membutuhkan o Variability APE
bronkodilator setiap > 30%
hari

Persisten berat

Kontinyu

11
Sering o VEP1 ≤ 60% nilai
o Gejala terus prediksi
menerus o APE ≤ 60% nilai
o Sering kambuh o terbaik
Aktivitas fisik o Variability APE
terbatas > 30%
Sumber : PDPI, 2003

3. Faktor pencetus asma

Menurut Bararah (2013) factor pencetus asma :

a. Allergen

Allergen adalah zat tertentu yang bila diisap atau dimakan dapat

menimbulkan serangan asma misalnya debu rumah, spora, jamur, bulu kucing,

bulu binatang, beberapa makanan laut dan sebagainya.

b. Infeksi saluran nafas

Infeksi saluran pernapasan terutama disebabkan oleh virus. Virus influenza

merupakan salah satu faktor pencetus yang paling sering menimbulkan asma

bronkial.

c. Tekanan jiwa

Tekanan jiwa bukan merupakan penyebab asma melainkan sebagai pencetus

serangan asma, karena banyak orang yang mendapat tekanan jiwa tetapi tidak

menjadi penderita asma. Faktor ini berperan mencetuskan serangan asma terutama

pada orang yang agak labil kepribadiannya, biasanya pada wanita dan anak-anak.

d. Olahraga / kegiatan jasmani yang berat

Sebagai penderita asma, akan mendapat serangan asma bila melakukan

olahraga atau aktivitas fisik yang berlebihan. Lari cepat dan bersepeda adalah dua

jenis kegiatan paling mudah menimbulkan serangan asma. Serangan asma karena

12
kegiatan jasmani biasanya terjadi setelah olahraga atau aktivitas fisik yang cukup

berat dan jarang serangan timbul beberapa jam setelah olahraga.

e. Obat-obatan

Beberapa penderita asma sensitiv atau alergi terhadap obat tertentu seperti

penicillin, salisilat, beta blocker, kodein, dan lainnya.

f. Polusi udara

Penderita asma sangat peka terhadap udara berdebu, asap pabrik/kendaran,

asap rokok, asap yang mengandung hasil pembakaran dan oksida fotokemikal, serta

bau yang tajam.

g. Lingkungan kerja

Lingkungan kerja diperkirakan merupakan factor pencetus yang

menyumbang 2-15% klien dengan asma.

4. Tanda dan gejala asma

Tiga gejala umum asma adalah batuk, dispnea dan mengi. Batuk merupakan

satu-satunya gejala asma yang dialami pada beberapa individu. Serangan asma

terjadi mendadak dengan batuk dan rasa sesak dalam dada , disertai dengan

pernapasan lambat, mengi, laborious biasanya pada malam hari. Ekspirasi selalu

lebih susah dan panjang dibandingkan inspirasi, yang mendorong pasien untuk

duduk tegak dan menggunakan setiap otot-otot aksesor pernapasan. Jalan napas

yang tersumbat menyebabkan dispnea. Batuk awalnya susah dan kering tetapi

menjadi lebih kuat dan produksi sputum yang terdiri atas sedikit mukus

mengandung masa gelatinosa bulat, kecil yang sulit dibatukkan. Tanda lain yakni

berupa sianosis sekunder terhadap hipoksia hebat, gejala-gejala retensi karbon

13
dioksida termasuk berkeringan, takikardia, dan pelebaran tekanan nadi. Serangan

asma dapat berlangsung dari 30 menit sampai beberapa jam (Smeltzer and Bare

2001).

14
5. Pathway

Faktor pencetus Asma

Faktor Ekstrinsik Faktor Intrinsik


Inhalasi allergen non allergen (udara dingin,
(debu, bulu binatang, latihan fisik, infeksi traktur
serbuk-serbuk respiratorius)

Reaksi antigen dan


MK. Risiko Alergi antibodi

Antigen merangsang
IgE di sel mast

Proses pelepasan produk sel mast (seperti


histamine, leukotriene, prostaglandin,
bradikinin, dan sitokonin.

Kontraksi otot polos Sekresi mucus


Permeabilitas kapiler
meningkat

 Kontraksi otot Produksi mucus


Broncospasme polos bertambah
 Edema mukosa
 Hipersekresi

MK. Bersihan
Obstruksi saluran
jalan napas tidak
napas (penyempitan)
efektif

MK.
Dispnea Timbul pada Gangguan
malam hari pola tidur

Gangguan MK. Risiko


pernapasan intoleransi
15
aktivitas
Perubahan Peningkatan tahanan jalan napas
Penurunan
status dan distensi paru berlebih
compliance paru
kesehatan (hiperinflasi).

Ventilasi dan perfusi Peningkatan kerja


Krisis
Mk. tidak seimbang pernapasan
situasional
Ansietas

Tekanan intrapulmonal
MK. Gangguan Hipoksia
Akses meningkat
pertukaran gas
informasi
rendah
Hiperventilasi Resiko Pneumothorak

Kurang
terpapar
PaCO2
informasi

Mk. Defisit
Alkalosis respiratorik
pengetahuan

Obstruksi jalan napas semakin berat

MK.
Kelelahan otot pernapasan
Gangguan
ventilasi
spontan
Hipoventilasi alveolar

Hiperkapnia

Asidosis Respiratorik

Mk. Gangguan
Gagal napas
penyapihan
16
ventilator
6. Patofisiologi asma

Asma adalah obstruksi jalan napas yang bersifat reversible (Wijaya 2013).

Serangan pada asma dapat disebabkan oleh factor intrinsik dan factor ekstrinsik.

Adapun faktor intrinsik/non allergen (udara dingin, latihan fisik, infeksi traktur

respiratorius) dan faktor ekstrinsik /allergen (serbuk sari, bulu halus, binatang dan

debu) (Wijaya, 2013). Penyebab yang umum adalah hipersensitivitas bronkiolus

terhadap benda – benda asing di udara. Pada usia dibawah 30 tahun sekitar 70 %

asma disebabkan oleh hipersensitivitas alergik. Pada usia diatas 30 tahun

penyebabnya hampir selalu hipersensitivitas terhadap bahan iritan nonalergik.

(Guyton and Hall 2012). Faktor allergen biasa menimbulkan reaksi berupa edema

lokal pada dinding bronkiolus kecil maupun sekresi mukus yang kental ke dalam

lumen bronkiolus dan spasme otot polos bronkiolus. Reaksi allergen yang timbul

akan merangsang pembentukan antibodi IgE (Imunoglobin E) abnormal dalam

jumlah besar.

Antibodi ini melekat pada sel mast yang terdapat dalam intertisial paru yang

berhubungan erat dengan bronkiolus dan bronkus kecil (Guyton and Hall 2012).

Jika allergen terhirup oleh seseorang, maka akan terjadi fase sensitisasi dimana

antibody IgE meningkat. Setelah itu antibodi IgE akan berikatan dengan allergen

yang melekat pada sel mast, sehingga sel mast akan bergranulasi dan mengeluarkan

berbagai mediator seperti histamine, leukotriene, faktor kemotaktik eosinophil,

prostaglandin, bradikinin, dan sitokonin. Sekresi zat-zat tersebut menimbulkan 3

gejala yaitu berkontraksinya otot polos (spasme brokus), peningkatan permeabilitas

kapiler dan peningkatan sekresi mucus. Spasme bronkus yang terjadi merupakan

respons terhadap mediator sel mast terutama histamine yang bekerja langsung pada

otot polos bronkus (Irman, 2007). Pada faktor intrinsik/non allergen, mula mula
17
akibat kepekaan yang berlebih (hipersensitivitas) dari serabut serabut nervus vagus

yang akan merangsang bahan iritasi di dalam bronkus sehingga menimbulkan batuk

dan sekresi lendir melalui reflek konstriksi bronkus. Pada lendir yang sangat lengket

akan disekresi, sehingga menimbulkan sumbatan/obstruksi saluran napas (Sibuea

2009).

Dari ketiga gejala (berkontraksinya otot polos (spasme brokus), peningkatan

permeabilitas kapiler dan peningkatan sekresi mucus) tersebut maka akan

menimbulkan adanya obstruksi saluran napas. Dari obstruksi jalan napas

menyebabkan terjadi peningkatan tahanan jalan napas dan distensi paru berlebih

(hiperinflasi). sehingga perubahan tahanan jalan napas yang tidak merata diseluruh

jaringan bronkus menyebabkan ventilasi dan perfusi tidak seimbang, Hiperinflasi

paru menyebabkan penurunan compliance paru sehingga terjadi peningkatan kerja

pernafasan. Agar terjadi ekspirasi melalui saluran nafas yang menyempit, maka

tekanan intrapulmonal akan meningkat. Peningkatan tekanan intrapulmonal yang

semakin menyempit dan menyebabkan penutupan dini saluran nafas, akan

mengakibatkan risiko terjadinya pneumothorak, sehingga dapat mempengaruhi

aliran balik vena, mengurangi curah jantung, dan sebagai tanda terjadinya pulsus

paradoksus (Bherman, 2008)

Ventilasi paru yang tidak seimbang, hipoventilasi alveolar, dan peningkatan

kerja pernapasan menimbulkan perubahan pada gas-gas darah. Pada awal serangan

sebagai kompensasi hipoksia akan terjadi hiperventilasi sehingga kadar PaCO2

menurun dan timbul alkalosis respiratorik. Kemudian pada obstruksi jalan nafas

yang berat akan terjadi kelelahan otot pernapasan dan hipoventilasi alveolar dan

dapat menimbulkan gangguan ventilasi spontan. Kelelahan otot pernapasan dan

hipoventilasi alveolar juga mengakibatkan hiperkapnia dan asidosis respiratorik


18
serta kadar PaCO2 meningkat. Pada kadar PaCO2 yang meningkat dapat terjadi

risiko ancaman gagal napas. Selain itu juga dapat terjadi asidosis metabolik akibat

hipoksia jaringan dan produksi laktat oleh otot nafas (Sudoyo, 2010).

7. Pemeriksaan penunjang

1. Pemeriksaan sputum

Pada pemeriksaan sputum ditemukan :

1) Kristal –kristal charcot leyden yang merupakan degranulasi dari kristal

eosinofil.

2) Terdapatnya Spiral Curschman, yakni spiral yang merupakan silinder sel-sel

cabang-cabang bronkus

3) Terdapatnya Creole yang merupakan fragmen dari epitel bronkus

4) Terdapatnya neutrofil eosinofil

2. Pemeriksaan darah

Pada pemeriksaan darah yang rutin diharapkan eosinofil meninggi, sedangkan

leukosit dapat meninggi atau normal, walaupun terdapat komplikasi asma

1) Gas analisa darah

Terdapat hasil aliran darah yang variabel, akan tetapi bila terdapat peninggian

PaCO2 maupun penurunan pH menunjukkan prognosis yang buruk

2) Kadang –kadang pada darah terdapat SGOT dan LDH yang meninggi

3) Hiponatremi 15.000/mm3 menandakan terdapat infeksi

4) Pada pemeriksaan faktor alergi terdapat IgE yang meninggi pada waktu

seranggan, dan menurun pada waktu penderita bebas dari serangan.

5) Pemeriksaan tes kulit untuk mencari faktor alergi dengan berbagai alergennya

dapat menimbulkan reaksi yang positif pada tipe asma atopik.

3. Foto rontgen
19
Pada umumnya, pemeriksaan foto rontgen pada asma normal. Pada serangan asma,

gambaran ini menunjukkan hiperinflasi paru berupa rradiolusen yang bertambah,

dan pelebaran rongga interkostal serta diagfragma yang menurun. Akan tetapi bila

terdapat komplikasi, kelainan yang terjadi adalah:

1) Bila disertai dengan bronkhitis, bercakan hilus akan bertambah

2) Bila terdapat komplikasi emfisema (COPD) menimbulkan gambaran yang

bertambah.

3) Bila terdapat komplikasi pneumonia maka terdapat gambaran infiltrat pada

paru.

4. Pemeriksaan faal paru

1) Bila FEV1 lebih kecil dari 40%, 2/3 penderita menujukkan penurunan tekanan

sistolenya dan bila lebih rendah dari 20%, seluruh pasien menunjukkan penurunan

tekanan sistolik.

2) Terjadi penambahan volume paru yang meliputi RV hampi terjadi pada seluruh

asma, FRC selalu menurun, sedangan penurunan TRC sering terjadi pada asma

yang berat.

5. Elektrokardiografi

Gambaran elektrokardiografi selama terjadi serangan asma dapat dibagi atas tiga

bagian dan disesuaikan dengan gambaran emfisema paru, yakni :

1) Perubahan aksis jantung pada umumnya terjadi deviasi aksis ke kanan dan rotasi

searah jarum jam

2) Terdapatnya tanda-tanda hipertrofi jantung, yakni tedapat RBBB

3 Tanda-tanda hipoksemia yakni terdapat sinus takikardi, SVES, dan VES atau

terjadinya relatif ST depresi.

20
8. Penatalaksanaan asma

Penatalaksanaan pasien asma adalah manajemen kasus untuk meningkatkan

dan mempertahankan kualitas hidup agar pasien asma dapat hidup normal tanpa

hambatan dalam melakukan aktivitas sehari hari. Tujuan dalam pengobatan

penyakit asma adalah menghilangkan dan mengendalikan asma, mencegah

ekserbasi akut, meningkatkan dan mempertahankan faal parus eoptimal mungkin,

mengupayakan aktivitas normal termasuk exercise, menghindari efek samping obat,

mencegah terjadinya keterbatasan aliran udara ireversibel, mencegah kematian

(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia 2003)

Penatalaksanaan asma diklasifikasikan menjadi penatalaksanaan asma akut

atau saat serangan dan penatalaksanaan asma jangka panjang.

a. Penatalaksaan asma akut

Menggunakan obat obatan berupa bronkodilator (β2 agonis dan ipratropiu

bromida) dan kortikosteroid. Serangan ringan pasa asma obat yang digunakan

adalah β2 agonis dalam bentuk inhalasi dan pada keadaan tertentu seperti ada

riwayat serangan berat sebelumnya diberikan kortikosteroid oral dalam waktu 3-5

hari. Serangan sedang pada asma diberikan β2 agonis dan kortikosteroid oral, pada

dewasa dapat ditambahkan ipratropium bromida inhalasi, aminofilin IV. Serangan

berat pasien dirawat dan diberikan oksigen, cairan IV, β2 agonis dan ipratropium

bromida inhalasi, kortikosteroid IV, dan amninifilin IV. Serangan asma mengancam

jiwa dilakukan rujukan ke ICU untuk mendapatkan obat bronkodilator dalam

bentuk inhalasi menggunakan nebulizer.

b. Penatalaksaan asma jangka panjang

Penatalaksanaan sama jangka panjang bertujuan untuk mengontrol asma dan

mencegah serangan asma. Pengobatan jangka panjang diklasifikasikan sesuai


21
dengan klasifikasi beratnya asma. Prinsip pengobobatan jangka panjang meliputi

edukasi, obat asma (pengontrol dan pelega), dan menjaga kebugaran. Edukasi yang

diberikan pada pasien asma mencakup kapan pasien berobat atau mencari

pertolongan, mengenali gejala serangan asma, mengetahui obat obat pelega dan

pengontrol asma serta cara dan waktu menggunakannya, mengenali dan

menghindari faktor pencetus dan melakukan kontrol secara teratur. Obat asma

yang digunakan untuk pengobatan jangka panjang terdiri dari obat pelega dan obat

pengontrol. Obat pelega diberikan pada saat serangan asma sedangkan obat

pengontrol ditujukan untuk pencegahan serangan sama dan diberikan dalam jangka

waktu panjang dan terus menerus. obat asma yang digunakan sebagai pengontrol

asma antara antara lain : inhalasi kortikosteroid, β2 agonis kerja panjang,

antileukotrien, dan teofilin. Menjaga kebugaran juga diperlukan dalam pengobatan

jangka panjang. Senam asma Indonesia dapat dilakukan dalam menjaga kebugaran

pada pasien asma dewasa.

Menurut Sudoyo (2010), pengobatan asma meliputi beberapa hal

diantaranya adalah menjaga saturasi oksigen arteri tetap adekuat dengan menjaga

oksigenasi, membebaskan obstruksi saluran pernapsan dengan pemberian

bronkodilator inhalasi kerja cepat (β2 agonis dan anti kolinergik) dan mengurangi

inflamasi saluran pernapasan serta mencegah kekambuhan dengan pemberian

kortikosteroid sistemik lebih awal. Beberapa terapi yang dapat diberikan :

1) Oksigen

Terapi oksigen diberikan karena kondisi hipoksemia . diberikan terapi

oksigen 1-3 L/menit dengan kanul atau masker untuk mempertahankan SPO2 pada

kisaran lebih dari sama dengan 92%.

2) β2 agonis
22
Inhalasi β2 agonis merupakan pengobatan untuk asma akut. Salbutamol

merupakan obat yang paling banyak digunakan pada instalasi gawat darurat. Obat

lain yang digunakan adalah metaproterenol, terbutalin, dan fenoterol. Obat dengan

aksi panjang tidak direkomendasikan dalam penanganan kegawatdaruratan.

Pemberian epineprin subkutan jarang dilakukan karena memeberikan efek samping

pada jantung. Obat ini diberikan apabila pasien tidak berespon terhadap pemakaian

obat inhalasi. Pemakaian secara inhalasi mempunyai keuntungan lebih cepat dengan

efek samping yang sedikit serta lebih efektif bila dibandingkan pemakaian secara

sistemik. Pemberian β2 agonis secara intravena pada pasien dengan asma akut jika

respon terhadap obat per-inhalasi sangat kurang jika pasien batuk. Efek samping

pemakaian selektif β2 agonis diperantarai melalui reseptor pada otot polos vaskular

(takikardi dan takiritmia), otot rangka (tremor, hipokalemi oleh karena masuknya

kalium ke dalam sel otot) dan keterlibatan sel dalam metabolisme lipid dan karbonat

(peningkatan kadar asam lemak besar dalam darah, insulin, glukosa dan piruvat).

3) Antikolinergik

Penggunaan ipratropium bromida (IB) secara inhalasi digunakan sebagai

bronkodilator awal pada pasien asma akut. Kombinasi pemberian IB dan Β2 agonis

diindikasikan sebagai terapi pertama pada pasien dewasa dengan ekserbasi asma

berat, dosis 4x semprot (80) mg tiap 10 menit dengan MDI atau 500 mg setiap 20

menit dengan nebulizer akan lebih efektif.

4) Kortikosteroid

Kortikosteroid secara sistemik diberikan kecuali pada derajat ekserbasi

ringan. Kortikosteroid tidak bersifat bronkodilator namun sangat efektif dalam

menurunkan inflamasi pada saluran napas. Pemberian hidrokortison 800 mg atau

160 mg metilprednisolon dalam 4 dosis terbagi setiap harin akan memberikan efek
23
yang adekuat. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, pemberian kortokosteroid

tunggal dosis tinggi per inhalasi lebih efektif dibandingakan kortikosteroid oral

untuk mengatasi serangan asma ringan pada pasien di instalasi gawat darurat.

5) Teofilin

Pemberian teofilin tidak direkomendasikan secara rutin untuk pengobatan

asma akut. Obat ini digunakan jika pasien tidak berespon dengan terapi standar,

karena karena akan memberikan efek samping seperti remor, mual, cemas dan taki

aritmia dan tidak memberikan manfaat yang bermakna. Pemberian diberikan

dengan pemberian loading doses 6 mg/kg dan diberikan dalam waktu > 30 menit

dilanjutkan secara per infus dengan dosis 0,5 mg/kg/BB/jam.

6) Magnesium Sulfat

Berdasarkan hasil penelitian metaanalisis, pemberian obat ini pada pasien

asma akut tidak diajurkan secara rutin, karena pemberian obat ini perinhalasi tidak

memberikan efek yang bermakna. pemberian magnesium sulfat hanya akan

memperbaiki fungsi paru jika diberikan sebagai obat tambahan pada obat yang telah

ditentukan sebagai standar terapi (nebulizer β2 agonis dan kortikosteroid intravena)

pada pasien dengan FEV1 < 20%, prediksi.

7) Antagonis Leukotrin

Pasien asma akut pemberian montelukast intravena akan meningkatkan FEV1


secara cepat.

24
B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan Dengan Pasien Asma
1. Pengkajian Keperawatan
1. Pengkajian mengenai identitas klien dan keluarga mengenai umur, nama,
jenis kelamin
2. Keluhan utama
Klien dengan asma akan mengeluhkan sesak napas, bernapas terasa berat
pada dada, dan adanya kesulitan untuk bernapas
3. Riwayat penyakit saat ini
Klien dengan riwayat serangan asma datang mencari pertolongan dengan
keluhan sesak napas yang hebat dan mendadak dan berusaha untuk bernapas
panjang kemudian diikuti dengan suara napas tabahan mengi (wheezing),
kelelahan, gangguan kesadaran, sianosis dan perubahan tekanan darah
4. Riwayat penyakit dahulu
Riwayat penyakit klien yang diderita pada masa-masa dahulu meliputi
penyakit yang berhubungan dengan sistem pernapasan seperti infeksi saluran
napas, sakit tenggorokan, sinusitis, amandel, dan polip hidung.
5. Riwayat penyakit keluarga
Pada klien dengan asma juga dikaji riwayat penyakit keluarga
6. Pengkajian fisiologis
a. Respirasi
Pasien asma biasanya mengalami kondisi batuk tidak efekif, tidak mampu
batuk, sputum berlebih, adanya bunyi napas tambahan (mengi, wheezing)
dyspnea, sulit bicara, gelisah, sianosis, frekuensi napas berubah, pola napas
berubah, penggunaan otot bantu napas, napas megap-megap, adanya upaya
napas, nilai gas darah arteri abnormal (PCO2 meningkat/menurun, PO2
menurun, PH Arteri meningkat/menurun, lelah, adanya pernapasan cuping
hidung, SaO2 menurun, dan bisa terjadi penurunan kesadaran
b. Sirkulasi
c. Nutrisi dan cairan
Pasien asma biasanya tidak nafsu untuk makan
d. Eliminasi
Pasien asma biasanya tidak mengalami gangguan pada eliminasi
e. Aktivitas dan istirahat
25
Asma biasanya muncul pada malam hari, sehingga pasien asma akan
mengeluh sulit tidur, sering terjaga, mengeluh tidak puas tidur, pola tidur
berubah, dan istirahat tidak cukup karena adanya gangguan pernapasan
(dyspnea)
f. Neurosensori
g. Reproduksi dan seksual
Pada pasien asma biasanya tidak mengalami masalah pada reproduksi dan
seksual
7. Pengkajian Psikologis
a. Nyeri dan kenyamanan
Pada pasien asma biasanya akan mengeluh tidak nyaman dengan
keadannya, gelisah, dan tidak mampu relaks.
b. Integritas ego
Pasien asma biasanya akan mengeluh cemas pada keadaannya, merasa
khawatir dengan akibat dari kondisi yang dihadapi, gelisah, tegang, merasa
tidak berdaya, frekuensi nadi meningkat
c. Pertumbuhan dan perkembangan
8. Pengkajian Perilaku
a. Kebersihan diri
b. Penyuluhan dan pembelajaran
Setelah pasien mengetahui tentang penyakitnya (asma) pasien akan
mengekspresikan keinginan untuk mengelola masalah kesehatan dan
pencegahannya, memilih program kesehatan yang tepat, mengekspresikan
tidak adanya hambatan, menggambarkan berkurangnya faktor risiko
masalah kesehatan
9. Pengkajian Relasional
a. Interaksi sosial
10. Pengkajian Lingkungan
a. Keamanan dan proteksi
Pasien asma biasanya terpapar zat allergen lingkungan (mis debu, serbuk
sari).
11. Pemeriksaan head to toe
a) keadaan umum: lemah
26
b) tanda-tanda vital
(tekanan darah menurun, nafas sesak, nadi lemah dan cepat, suhu
meningka, distress pernapasan, sianosis)
c) TB/BB : Sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan
d) Kulit (tampak pucat, sianosis, biasanya turgor kulit jelek)
e) Kepala : sakit kepala
f) Mata: tidak ada yang spesifik
g) Hidung : nafas cuping hidung
h) Mulut : pucat, sianosis, membrane mukosa kering, bibir kering
i) Telinga : lihat secret, kebersihan, biasanya tidak ada yang spesifik
j) Leher : tidak terdapat pembesaran kelenjar tiroid
k) Jantung : jika terjadi komplikasi ke endocarditis, terjadi bunyi tambahan
l) Paru-paru : infiltrasi pada lobus paru, perkusi pekak (redup), wheezing
(+), sesak istirahat dan bertambah saat beraktivitas
m) Punggung : tidak spesifik
n) Abdomen : bising usus (+), distensi abdomen, nyeri biasanya tidak ada
o) Genetalia : tidak ada yang spesifik
p) Ekstremitas : kelemahan, penurunan aktifitas, sianosis ujjung jari tangan
dan kaki
q) Neurologis
Terdapat kelemahan otot, tanda reflex spesifik tidak ada

2. Diagnosa keperawatan
a. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan hiperskresi jalan napas
ditandai dengan batuk tidak efektif, tidak mampu batuk, sputum berlebih, mengi,
gelisah, frekuensi napas berubah.
b.Gangguan Pertukaran Gas berhubungan dengan ketidakseimbangan ventilasi-
perfusi ditandai dengan dyspnea, PCO2 meningkat/menurun, bunyi napas
tambahan, PO2 menurun, gelisah, pernapasan cuping hidung, pola napas abnormal
(cepat/lambat, regular/ireguler, dalam/dangkal)
c. Gangguan ventilasi spontan berhubungan dengan kelelahan otot pernapasan
ditandai dengan dyspnea, penggunaan otot bantu napas meningkat, PCO2
meningkat, PO2 menurun, SaO2 menurun, gelisah, takikardi
27
d. Gangguan penyapihan ventilator berhubungan dengan hipersekresi jalan napas,
hambatan upaya napas ditandai dengan frekuensi napas meningkat, penggunaan
otot bantu napas, napas megap-megap, aadanya upaya napas, napas dangkal, nilai
gas darah arteri abnormal, lelah, focus meningkat pada pernapasan, gelisah, sianosis
e. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan penurunan energi ditandai dengan
dyspnea, penggunaan otot bantu pernapasan, fase ekspirasi memanjang, pola napas
abnormal, pernapasan cuping hidung
f. Gangguan pola tidur berhubungan dengan kurang kontrol tidur ditandai dengan
mengeluh sulit tidur, sering terjaga, tidak puas tidur, pola tidur berubah, mengeluh
istirahat tidak cukup
g. Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan gejala penyakit ditandai dengan
mengeluh tidak nyaman, gelisah, mengeluh sulit tidur, tidak mampu rileks,
mengeluh lelah
h. Defisit pengetahuan berhubungan dengan kurang terpapar informasi ditandai
dengan menanyakan masalah yang terjadi, menunjukkan perilaku yang tidak sesuai
anjuran, menunjukkan persepsi yang keliru
i. Ansietas berhubungan dengan krisis situasional ditandai dengan merasa bingung,
merasa khawatir dengan akibat dari kondisi yang dihadapi, tampak gelisah
j. Risiko intoleransi aktivitas dibuktikan dengan faktor risiko gangguan pernapasan
(asma)
k. Risiko alergi dibuktikan dengan terpapar allergen
l. Kesiapan peningkatan manajemen kesehatan dibuktikan dengan pasien
mengekspresikan keinginan untuk mengelola masalah kesehatan dan
pencegahannya, pilihan hidup sehari-hari tepat untuk memenuhi tujuan program
kesehatan, mengekspresikan tidak ada hambatan, menggambarkan berkurangnya
faktor risiko masalah kesehatan, tidak ditemukan masalah kesehatan

28
3. Rencana Keperawatan

NO Diagnosa keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi keperawatan


1 Bersihan jalan napas tidak efektif Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama Intervensi Utama
berhubungan dengan hiperskresi jalan .... x .....jam, maka bersihan jalan napas Manajemen Jalan Napas
napas ditandai dengan batuk tidak meningkat dengan kriteria hasil : Latihan batuk efektif
efektif, tidak mampu batuk, sputum  Batuk efektif meningkat (5) Pemantauan respirasi
berlebih, mengi, gelisah, frekuensi  Produksi sputum menurun (5) Intervensi pendukung
napas berubah.  Mengi menurun (5) Manajemen asma
 Wheezing menurun (5) Terapi oksigen

 Dispnea menurun (5)


 Ortopnea menurun (5) Manajemen Jalan Napas

 Sulit bicara menurun (5) Observasi

 Sianosis menurun (5)  Monitor pola napas (frekuensi,

 Gelisah menurun (5) kedalaman, usaha napas).

 Frekuensi napas membaik (5)  Monitor bunyi napas tambahan (mis.

 Pola nafas membaik (5) gurgling, mengi, wheezing, ronkhi


kering)
 Monitor sputurn (jumlah, wama, aroma)
Terapeutik
 Posisikan semi-Fowler
 Berikan minum hangat
 Lakukan fisioterapi dada, jika perlu.
 Berikan oksigen, jika perlu

Edukasi
 Ajarkan teknik batuk efektif

Kolaborasi
Kolaborasi pemberian bronkodilator,
ekspektoran, mukolitik, jika perlu

Intervensi utama
Latihan Batuk efektif
Observasi
 Identifikasi kemampuan batuk
 Monitor adanya retensi sputum

10
 Monitor tanda dan gejala infeksi saluran
nafas
 Monitor input dan output cairan (mis.
jumlah dan karakteristik)
Terapeutik
 Atur posisi semi-fowler atau fowler
 Pasang perlak dan bengkok letakan di
pangkuan pasien
 Buang secret pada tempat sputum
Edukasi
 Jelaskan tujuan dan prosedur batuk
efektif
 Anjurkan tarik nasaf dalam melalui
hidung selama 4 detik, ditahan selam 2
detik, kemudian keluarkan dai mulut
dengan bibir mencucu (dibulatkan) selam
5 detik

11
 Anjurkan mengulangi tarik nafas dalam
hingga 3 kali
 Anjurkan batuk dengan kuat langsung
setelah tarik nafas dalam yang ke-3
Kolaborasi
 Anjurkan batuk dengan kuat langsung
setelah tarik nafas dalam yang ke
 Kolaborasi pemberian mukolitik atau
ekspektoran, jika perlu.
.
Pemantaun Respirasi
Observasi
 Monitor frekuensi, irama, kedalaman dan
upaya nafas
 Monitor pola nafas (seperti bradipnea.
Takipnea, hiperventilasi, kussmaul,
Cheyne-Stoke,Blot, ataksik)
 Monitor kemampuan batuk efektif

12
 Monitor adanya produksi sputum
 Monitor adanya sumbatan jalan nafas
 Palpasi kesimetrisan ekspansi paru
 Auskultasi bunyi nafas
 Monitor saturasi oksigen
 Monitor nilai AGD
 Monitor hasil x-ray toraks
Terapeutik
 Atur interval pemantauan respirasi sesuai
kondisi pasien
 Dokumentasikan hasil pemantauan
Kolaborasi
 Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
 Informaskan hasil pemantauan, jika perlu

Intervensi Pendukung
Manajemen Asma
Observasi

13
1. Monitor frekuensi dan kedalaman napas
2. Monitor tanda dan gejala hipoksia
3. Monitor bunyi napas
4. Monitor saturasi O2
Terapeutik
1. Berikan posisi semi fowler 30-45o
2. Lakukan penghisapan lendir, jika perlu
3. Berikan oksigen 6-15 L via sungkup
untuk mempertahankan SpO2 >90%
4. Pasang jalur intravena untuk pemberian
obat dan hidrasi
5. Ambil sampel darah untuk hitung darah
lengkap dan AGD
Edukasi
1. Anjurkan meminimalkan ansietas yang
dapat meningkatkan kebutuhan oksigen
2. Anjurkan bernapas lambat dan dalam
Kolaborasi

14
1. Kolaborasi pemberian bronkodilator
sesuai indikasi

Terapi oksigen
Observasi
1. Monitor kecepatan aliran oksigen
2. Monitor tanda-tanda hipoventilasi
Terapeutik
1. Pertahankan kepatenan jalan napas
2. Berikan oksigen tambahan jika perlu

2 Gangguan Pertukaran Gas berhubungan Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama Intervensi Utama
dengan ketidakseimbangan ventilasi- ....... x ….. jam, maka pertukaran gas meningkat Pemantaun Respirasi
perfusi ditandai dengan dyspnea, PCO2 dengan kriteria hasil : Terapi oksigen
meningkat/menurun, bunyi napas  PCO2 membaik (5) Intervensi pendukung
tambahan, PO2 menurun, gelisah,  PO2 membaik (5) Dukungan ventilasi
pernapasan cuping hidung, pola napas  Takikardia membaik (5) Manajemen asam basa
abnormal (cepat/lambat,  pH arteri membaik (5)
regular/ireguler, dalam/dangkal)  Dispnea menurun (5)

15
 Bunyi napas tambahan menurun (5) Pemantaun Respirasi
 Napas cuping hidung menurun (5) Observasi
 Tingkat kesadaran meningkat (5)  Monitor frekuensi, irama, kedalaman dan
 Pusing menurun (5) upaya nafas
 Diaforesis menurun (5)  Monitor pola nafas (seperti bradipnea.
 Gelisah menurun (5) Takipnea, hiperventilasi, Kussmaul,

 Sianosis menurun (5) Cheyne-Stoke ,Blot, atasik)

 Pola napas membaik (5)  Monitor kemampuan batuk efektif

 Warna kulit membaik (5)  Monitor adanya produksi sputum


 Monitor adanya sumbatan jalan nafas
 Palpasi kesimetrisan ekspansi paru
 Auskultasi bunyi nafas
 Monitor saturasi oksigen
 Monitor nilai AGD
 Monitor hasil x-ray toraks
Terapeutik
 Atur interval pemantauan respirasi sesuai
kondisi pasien

16
 Dokumentasikan hasil pemantauan
Kolaborasi
 Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
 Informaskan hasil pemantauan, jika perlu

Terapi Oksigen
Observasi
 Monitor kecepatan aliran oksigen
 Monitor posisi alat terapi oksigen
 Monitor aliran oksigen secara periodik
dan pastikan fraksi yang diberikan cukup
 Monitor efektifitas terapi oksigen (mis.
oksimetri, analisa gas darah), jika perlu
 Monitor kemampuan melepaskan oksigen
saat makan
 Monitor tanda-tanda hipoventilasi
 Monitor tanda dan gejala toksikasi
oksigen dan atelektasis

17
 Monitor tingkat kecemasan akibat terapi
oksigen
 Monitor integritas mukosa hidung akibat
pemasangan oksigen
Terapeutik
 Monitor integritas mukosa hidung akibat
pemasangan oksigen
 Bersihkan sekret pada mulut, hidung, dan
trakea, jika perlu
 Pertahankan kepatenan jalan napas
 Siapkan dan atur peralatan pemberian
oksigen
 Berikan oksigen tambahan, jika perlu
 Tetap berikan oksigen saat pasien
ditransportasi
 Gunakan perangkat oksigen yang sesuai
dengan tingkat mobilitas pasien

18
Edukasi
 Ajarkan pasien dan keluarga cara
menggunakan oksigen di rumah
Kolaborasi
 Kolaborasi penentuan dosis oksigen
 Kolaborasi penggunaan oksigen saat
aktivitas dan/atau tidur

Intervensi pendukung
Dukungan ventilasi
Observasi
 Identifikasi adanya kelelahan otot bantu
napas
 Identifikasi efek perubahan posisi terhadap
status pernapasan
 Monitor status respirasi dan oksigenisasi
(mis. frekuensi dan kedalaman napas,
penggunaan otot bantu napas, bunyi napas
tambahan, saturasi oksigen)

19
Terapeutik
 Pertahankan kepatenan jalan napas
 Berikan posisi semi fowler atau fowler
 Fasilitasi mengubah posisi senyaman
mungkin
 Berikan oksigen sesuai kebutuhan (mis.
nasal kanul, masker wajah, masker
rebreathing atau non rebreathing)
 Gunakan bag-value mask, jika perlu
Edukasi
 Ajarkan melakukan teknik relaksasi napas
dalam
 Ajarkan mengubah posisi secara mandiri
 Ajarkan teknik batuk efektif
Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian bronchodilator.

Manajemen asam-basa

20
Observasi
1. Monitor frekuensi dan kedalaman napas
2. Monitor perubahan PH, PaCO2, dan
HCO3
Terapeutik
1. Ambil specimen darah arteri untuk
pemeriksaan AGD
2. Berikan oksigen sesuai indikasi
Edukasi
1. Jelaskan penyebab terjadinya asam-basa

3 Gangguan ventilasi spontan Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama Intervensi utama
berhubungan dengan kelelahan otot … x … jam diharapkan masalah gangguan Dukungan ventilasi
pernapasan ditandai dengan dyspnea, ventilasi spontan meningkat dengan kriteria hasil: Pemantauan respirasi
penggunaan otot bantu napas  Dispnea menurun (5) Intervensi Pendukung
meningkat, PCO2 meningkat, PO2  Penggunaan otot bantu napas menurun (5) Manajemen jalan napas
menurun, SaO2 menurun, gelisah,  Gelisah menurun (5)
takikardi  PCO2 membaik (5) Dukungan Ventilasi (I.01002)
 PO2 membaik (5) Observasi

21
Takikardia membaik (5)  Identifikasi adanya kelelahan otot bantu
napas
 Identifikasi efek perubahan posisi terhadap
status pernapasan
 Monitor status respirasi dan oksigenisasi
(mis. frekuensi dan kedalaman napas,
penggunaan otot bantu napas, bunyi napas
tambahan, saturasi oksigen)
Terapeutik
 Pertahankan kepatenan jalan napas
 Berikan posisi semi fowler atau fowler
 Fasilitasi mengubah posisi senyaman
mungkin
 Berikan oksigen sesuai kebutuhan (mis.
nasal kanul, masker wajah, masker
rebreathing atau non rebreathing)
 Gunakan bag-value mask, jika perlu
Edukasi

22
 Ajarkan melakukan teknik relaksasi napas
dalam
 Ajarkan mengubah posisi secara mandiri
 Ajarkan teknik batuk efektif
Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian bronchodilator.

Pemantauan Respirasi
Observasi
 Monitor pola napas (seperti bradipnea,
takipnea, hiperventilasi, Kussmaul,
Cheyne-Stokes, Blot, ataksik)
 Monitor kemampuan batuk efektif
 Monitor adanya produksi sputum
 Monitor adanya sumbatan jalan napas
 Palpasi kesimetrisan ekspansi paru
 Auskultasi bunyi napas
 Monitor saturasi oksigen

23
 Monitor nilai AGD
 Monitor hasil X-ray thoraks
Terapeutik
 Atur interval pemantauan respirasi sesuai
kondisi pasien
 Dokumentasikan hasil pemantauan
Kolaborasi
 Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
 Informasikan hasil pemantauan
Edukasi
 Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
 Informasikan hasil pemantauan, jika perlu

Intervensi Pendukung
Manajemen Jalan Napas
Observasi
 Monitor pola napas (frekuensi,
kedalaman, usaha napas).

24
 Monitor bunyi napas tambahan (mis.
gurgling, mengi, wheezing, ronkhi
kering)
 Monitor sputurn (jumlah, wama, aroma)
Terapeutik
 Posisikan semi-Fowler
 Berikan minum hangat
 Lakukan fisioterapi dada, jika perlu.
 Berikan oksigen, jika perlu

Edukasi
 Ajarkan teknik batuk efektif

Kolaborasi
Kolaborasi pemberian bronkodilator,
ekspektoran, mukolitik, jika perlu

25
4.Implementasi
Implementasi dilakukan sesuai dengan intervensi
5.Evaluasi
a. Evaluasi Formatif : Hasil observasi dan analisa perawat terhadap respon segera pada saat dan setelah dilakukan tindakan keperawatan.
b. Evaluasi Sumatif : Rekapitulasi dan kesimpulan dari observasi dan analisa status kesehatan sesuai waktu pada tujuan ditulis pada
catatan perkembangan.

26
DAFTAR PUSTAKA

Bararah, Taqiyah. 2013. Asuhan Keperawatan Panduan Lengkap Perawat


Profesional. Jakarta: Salemba Medika.

Bherman, Kliegman. 2008. Ilmu Kesehatan Anak Edisi 15. Available at :


https://books.google.co.id/books?id=0dRhHnfPpBgC&pg=PA777&dq=pa
tofisiologi+asma&hl=ban&sa=X&ved=2ahUKEwiR0sHgnMLsAhVBfH0
KHTQADewQ6AEwAHoECAMQAg#v=onepage&q=patofisiologi%20a
sma&f=false. diakses tanggal 20 Oktober 2020

Brown, et al. 2015. Lewis’s Medical-Surgical Nursing Assessment and


Management of Clinical Problems Fourt Edition by Di Brown; Helen
Edwards; Lesley Seaton; Thomas Buckley; Sharon L Lewis. Fourth edi.
Sydney [N.S.W.]: Mosby Elsvier. https://books.google.co.id/. diakses
tanggal 20 Oktober 2020

Guyton, and Hall. 2012. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta: EGC.

Irman Somantri.2007. Asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan sistem


pernapasan. Available at :
https://books.google.co.id/books?id=C41PKn0SQMwC&pg=PA45&dq=p
atofisiologi+asma&hl=ban&sa=X&ved=2ahUKEwj_htGSosLsAhUbdCs
KHS2qCaMQ6AEwAnoECAIQAg#v=onepage&q=patofisiologi%20asm
a&f=false diakses tanggal 20 Oktober 2020

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2003. Asma Pedoman Diagnosis Dan


Penatalaksanaan Di Indonesia.

PPNI (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan Indikator


Diagnostik, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.

PPNI (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan Tindakan


Keperawatan, Edisi 1. Jakarta:DPP PPNI.

PPNI (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan Kriteria Hasil
Keperawatan, Edisi 1. Jakarta:DPP PPNI.

Sibuea, W. Herdian, dkk. 2009. Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : PT Rineka Cipta

Smeltzer, Suzanne C, and Brenda G Bare. 2001. Keperawatan Medikal Bedah.


Jakarta.

Smeltzer, Suzanne C. 2013. Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth Edisi
12. Jakarta: EGC.

Sudoyo, A.W. 2010. “Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1 Edisi IV.”


Wijaya, Andra Saferi. 2013. Keperawatan Medikal Bedah 1. Keperawatan Dewasa.
Yogyakarta: Nuha Medika.

10

Anda mungkin juga menyukai