Anda di halaman 1dari 8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kajian Teori


2.1.1 Definisi Asma
Asma adalah gangguan inflamasi kronik pada jalan napas. Inflamasi kronik
ini dapat menyebabkan peningkatan hiperresponsif jalan napas yang ditandai
dengan mengi, sulit bernapas, dada terasa berat, dan batuk, terutama terjadi pada
malam hari atau menjelang pagi hari (Lewis, 2014). Hiperresponsif jalan napas
merupakan ciri khas asma yang ditandai dengan peningkatan respon saluran udara
terhadap berbagai stimulus. Mekanisme terjadinya hiperresponsif jalan napas pada
asma melibatkan peradangan kronis,peningkatan sensivitas sel mast, pelepasan
mediator inflamasi, konttriksi bronkus, dan peningkatan produksi lendir (Barnes,
2019).

2.1.2 Klasifikasi Asma


Berdasarkan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (2018), klasifikasi klinis
asma terbagi menjadi asma intermiten, asma persisten ringan, asma persisten
sedang, dan asma persisten berat. Dalam klasifikasi dipersyaratkan adanya nilai
arus puncak ekspirasi (APE) ,volume ekspirasi paksa dalam satu detik (VEP₁)
untuk penilaiannya. Klasifikasi asma lebih lanjut dapat dilihat pada tabel 2.1.
Tabel 2.1 Klasifikasi derajat berat asma berdasarkan gambaran klinis
Derajat Gejala Gejala Fungsi Paru-
Asma Malam Hari Paru
Intermiten Bulanan ≤ 2 kali APE >80%
Gejala sebulan VEP₁ >80%
<1x/seminggu nilai prediksi
Tanpa gejala diluar APE > 80%
serangan nilai terbaik
Serangan singkat Variabilitas
APE < 20%

Persisten Mingguan > 2 kali APE > 80%


Ringan Gejala >1x seminggu, sebulan VEP₁ ≥ 80%
tetapi <1x/hari nilai prediksi
Serangan dapat APE ≥80%
menganggu aktivitas nilai terbaik
tidur Variabilitas
APE 20%-
30%

Persisten Harian >1x APE 60-80%


Sedang Gejalas setiap hari /seminggu VEP₁ < 60-
Serangan mengganggu 80% nilai
aktivitas dan tidur prediksi
Membutuhkan APE 60-80%
bronkodilator setiap nilai terbaik
hari Variabilitas
APE > 30%

Persisten Kontinu APE ≤ 60%-


Berat Gejala terus menerus Sering 80%
Sering kambuh VEP₁ ≤ 60%
Aktivitas fisis terbatas nilai prediksi
APE ≤ 60%
nilai terbaik
Variabilitas
APE > 30%
VEP₁ = Volume ekspirasi paksa dalam 1 detik
APE = Arus puncak ekspirasi
(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2018)
2.1.3 Etiologi Asma
Menurut berbagai penelitian etiologi asma belum diketahui dengan pasti
penyebabnya, akan tetapi hanya menunjukkan dasar gejala asma yaitu inflamasi
dari respon saluran napas yang berlebihan. Inflamai saluran ditandai dengan adanya
pelebaran pembuluh darah, pembengkakan akibat eksudasi plasma leukosit, rasa
nyeri akibat rangsangan pada saraf sensoris, gangguan fungsi pernapasan, dan
radang disertai dengan infiltrasi sel-sel radang. Pemicu timbulnya serangan-
serangan inflamasi dapat berupa iklim seperti perubahan mendadak suhu dan
tekanan udara, inhalan seperti debu, kapuk, sisa-sisa serangga mati, bulu binatang,
sebuk sari, bau asap, uap cat, makanan seperti putih telur, susu sapi, kacang tanah,
coklat, biji-bijian, dan kegiatan fisik seperi olahraga berat (Hardhi,2016).

2.1.4 Faktor Risiko Asma


Secara umum, faktor risiko asma dapat diklasifikasikan menjadi dua kategori
yaitu, faktor genetik dan faktor lingkungan. Faktor genetik mencakup
kecenderungan hiperaktivitas bronkial, predisposisi atopi atau alergi pada saluran
napas, serta faktor yang memodifikasi penyakit genetik. Selain itu, aspek-aspek
seperti jenis kelamin dan ras atau etnik juga dapat mempengaruhi kerentanan
terhadap asma. Kemudian pada faktor lingkungan juga memainkan peran yang
signifikan, termasuk paparan terhadap alergen baik di dalam ruangan seperti bulu
hewan peliharaan, jamur, debu rumah, maupun di luar ruangan. Selain itu,
penggunaan obat-obatan tertentu seperti aspirin, non-steroidal anti-inflammatory
drugs (NSAID), dan beta blocker, serta paparan terhadap bahan yang mengiritasi
seperti parfum dan semprotan rumah tangga, juga dapat meningkatkan risiko
terjadinya asma (Kementrian Kesehatan RI, 2009).
2.1.5 Patofisiologi Asma
Proses terjadinya asma diawali dengan berbagai faktor pencetus seperti
alergen, stres, cuaca, dan berbagai macam faktor pencetus lain. Adanya faktor
pencetus menyebabkn antigen yang terkait imunoglobulin E (IgE) pada permukaan
sel basofil mengeluarkan mediator berupa histamin sehingga terjadi peningkatan
permeabilitas kapiler dan terjadinya edema mukosa. Adanya edema menyebabkan
produksi sekret meningkat dan terjadi kontriksi otot polos. Obstruksi pada jalan
napas menyebabkan respon tubuh berupa spasme otot polos dan peningkatan
sekresi kelenjar bronkus. Otot polos yang spasme menyebabkan penyempitan
proksimal dari bronkus pada tahap ekspirasi dan inspirasi sehingga timbul adanya
tanda dan gejala berupa mukus berlebih, batuk, mengi, dan sesak napas.
Keluhan tersebut merupakan bentuk adanya hambatan dalam proses respirasi
sehingga tekanan parsial oksigen dalam aveoli mengalami penurunan. Adanya
penyempitan atau obstruksi jalan napas meningkatkan kerja otot pernapasan
sehingga penderita asma mengalami ketidakefektifan pola napas. Peningkatan kerja
otot pernapasan menurunkan napsu makan sehingga memunculkan
ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh (Nurarif dan Kusuma,
2015)

2.1.6 Tanda dan Gejala Klinis Asma


Tanda dan gejala pada asma, yaitu dengan muncul hipoventilasi,sesak
napas, mengi, pusing-pusing, sakit kepala, peningkatan napas pendek, kecemasan,
dan kelelahan. Hipeventilasi adalah suatu kondisi dimana seseorang bernapas
dengan sangat cepat dan dalam, ketidakseimbangan ventilasi yang menyebabkan
kadar karbon dioksida dalam darah turun dibawah normal. Gejala utama yang
sering muncul adalah dipsnea, batuk dan mengi. Mengi sering dianggap sebagai
salah satu gejala yang selalu ada bila serangan asma muncul (Anisa, 2019).
2.1.7 Penatalaksanaan Terapi Asma
2.1.7.1 Tatalaksana Terapi Asma
Tujuan utama penatalaksanaan asma adalah meningkatkan dan
mempertahankan kualitas hidup agar pasien asma dapat hidup normal tanpa
hambatan dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Secara garis besar pengobatan
asma dibagi dalam pengobatan non farmaklogi dan pengobatan farmakologi di
antaranya:
a. Pengobatan non farmakologi
1) Edukasi
Meningkatkan pengetahuan kepada penderita asma tentang keadaan
penyakitnya sehingga pasien secara sadar dapat menghindari faktor-faktor
yang menyebabkan asma, dan mekanisme pengobatan yang akan
dijalaninya kedepan.
2) Monitor
Memonitor asma secara teratur ke pelayan Kesehatan. Memonitor
perkembangan gejala, hal-hal apa saja yang mungkin terjadi terhadap
penderita asma dengan kondisi gejala yang dialaminya beserta memonitor
perkembangan fungsi paru pasien.
3) Menghindari faktor risiko
Hal yang paling mungkim dilakukan penderita asma dalam mengurangi
gejala asma adalah menghindari faktor-faktor yang dapat meningkatkan
gejala asma. Faktor risiko ini dapat berupa makanan,obat-obatan,polusi
udara, dan sebagainya (Rohman,2015).
b. Terapi farmakologi
Asma merupakan merupakan penyakit kronis, sehingga membutuhkan
pengobatan yang perlu dilakukan secara teratur untuk mencegah kekambuhan.
Berikut ini golongan obat asma diantaranya :
1) Agonis beta-2 aerosol bekerja sangan cepat dengan 3-4 semprotan, dengan
interval 10 menit antara semprotan pertama dan kedua. Obat ini
mengandung metaproterenol (alupent, metrapel).
2) Metilxantin adalah aminifilin dan teofilin, obat ini diberikan bila golongan
beta agonis tidak memberikan hasil yang memuaskan. Untuk orang dewasa,
diberikan 125-200 mg 4 kali sehari. Jika agonis beta tidk merespon dengan
baik terhadap metilxantin, kortikosteroid harus diberikan. Aerosol bentuk
steroid (dipropinate beclomethasone) dengan dosis 800mg 4 kali sehari.
3) Ketofein efeknya sama dengan dosis harian 2 x 1 mg chromolin. Efeknya
dapat diberikan secara oral.
4) Ipletropium bromid (atroven) adalah obat antikolinergik yang diberikan
dalam aerosol dan bersifat bronkodilator (Afgani dan Hendriani, 2020).
2.1.7.2 Golongan Obat Asma
Berdasarkan golongan obat menurut Lukito (2023), dapat dilihat pada tabel
2.2.

2.2 Golongan obat tatalaksana asma


Golongan Contoh obat Efek
SABA Salbutamol / albuterol Bronkodilator
Tarbutallin
LABA Formoterol Bronkodilator
Sameterol
ICS Budesonide Anti inflamasi
Fluticasone
OCS Prednisolon Anti inflamasi
LAMA Tiotropium Bronkodilator
Umeclidinium Mengurangi sekresi
mukus
SAMA Ipratropium Bronkodilator
Mengurangi sekresi usus
LTRA Montekukast Anti inflamasi
Zafirlukast

Methylxanthin Teopilin Bronkodilator


Anti inflamasi
SABA = short acting beta agonist
LABA =long acting beta agonist
ICS = inhaled corticosteroid
OCS = oral corticosteroid
LAMA = long-acting muscarinic antagonist
SAMA = short acting muscarinic antagonist
LTRA = leukotriene receptor antagonist
(Lukito, 2023)
DAFTAR PUSTAKA

Afgani, aini qolbiyah, & Hendriani, R., 2020. Manajemen Terapi Asma. Farmaka,
18, 1– 15.

Anisa, D., 2019. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Asma dengan Gangguan
Pertukaran Gas di Ruang Dahlia RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Jurnal
Ilmiah Keperawatan Unair, 22, 124-130

Barnes P.J., 2019. Asthma an inflammatory disease of the airways. Clinical


Science, 133, 2215-2229.

Hardhi, I., 2016. Asma. Sebuah Tinjauan Pustaka. Jurnal Ilmiah Kesehatan
Masyarakat, 8, 140-147.

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2009. Pedoman Nasional


Penanggulangan Asma di Indonesia. Jakarta, Direktorat Jenderal Bina
Kesehatan Masyarakat. 13-14

Lewis, S.M., 2014. Medical-surgical nursing. Assessment and management of


clinical problems, Elsevier Mosby. 9th ed. St. Louis, MO. 1234-1235

Lukito, J. I., 2023. Tata Laksana Farmakologis Asma. Cermin Dunia


Kedokteran. 50, 22-29.

Nurarif, A. H., & Kusuma, H., 2015. Asuhan Keperawatan Pada Klien dengan
Gangguan Sistem Pernapasan. Yogyakarta. 143-147

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2018. Pedoman Pengendalian Asma. Jakarta,


Indonesia. PDPI. 12-13

Rohman, A., 2015. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Asma dengan Gangguan
Pertukaran Gas di Ruang Dahlia RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Jurnal
Ilmiah Keperawatan Unair, 22, 124-130.

Anda mungkin juga menyukai