PENDAHULUAN
Asma adalah penyakit saluran napas kronik yang penting dan merupakan masalah
kesehatan masyarakat yang serius di berbagai negara di seluruh dunia. Asma dapat bersifat
ringan dan tidak mengganggu aktiviti, akan tetapi dapat bersifat menetap dan mengganggu
aktiviti bahkan kegiatan harian. Produktiviti menurun akibat mangkir kerja atau sekolah, dan
dapat menimbulkan disability(kecacatan), sehingga menambah penurunan produktiviti serta
menurunkan kualiti hidup.
Kemajuan ilmu dan teknologi di belahan dunia ini tidak sepenuhnya diikuti dengan
kemajuan penatalaksanaan asma, hal itu tampak dari data berbagai negara yang menunjukkan
peningkatan kunjungan ke darurat gawat, rawat inap, kesakitan dan bahkan kematian karena
asma. Berbagai argumentasi diketengahkan seperti perbaikan kolektif data, perbaikan diagnosis
dan deteksi perburukan dan sebagainya. Akan tetapi juga disadari masih banyak permasalahan
akibat keterlambatan penanganan baik karena penderita maupun dokter (medis). Kesepakatan
bagaimana menangani asma dengan benar yang dilakukan oleh National Institute of Heallth
National Heart, Lung and Blood Institute (NHLBI) bekerja sama dengan World Health
Organization (WHO) bertujuan memberikan petunjuk bagi para dokter dan tenaga kesehatan
untuk melakukan penatalaksanaan asma yang optimal sehingga menurunkan angka kesakitan dan
kematian asma. Petunjuk penatalaksanaan yang telah dibuat dianjurkan dipakai di seluruh dunia
disesuaikan dengan kondisi dan permasalahan negara masing-masing. Merujuk kepada pedoman
tersebut, disusun pedoman penanggulangan asma di Indonesia. Diharapkan dengan mengikuti
petunjuk ini dokter dapat menatalaksana asma dengan tepat dan benar, baik yang bekerja di
layanan kesehatan dengan fasiliti minimal di daerah perifer, maupun di rumah sakit dengan
fasiliti lengkap di pusat-pusat kota.
Dewasa ini penatalaksanaan penyakit harus berdasarkan bukti medis (evidence based
medicine).Ada 4 kriteria bukti medis yaitu bukti A, B, C dan D. Bukti A adalah yang paling
tinggi nilainya dan sangat dianjurkan untuk diterapkan, sedangkan bukti D adalah yang paling
rendah. Pada tabel 1 dapat dilihat keempat kriteria tersebut. Petunjuk penatalaksanaan yang
dimuat di buku ini sebagian berdasarkan bukti medis.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan banyak sel dan
elemennya. Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan hiperesponsif jalan napas yang
menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat dan batuk-
batuk terutama malam dan atau dini hari. Episodik tersebut berhubungan dengan obstruksi jalan
napas yang luas, bervariasi dan seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan.
2.2 Klasifikasi
Asma dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologi, berat penyakit dan pola keterbatasan
aliran udara. Klasifikasi asma berdasarkan berat penyakit penting bagi pengobatan dan
perencanaan penatalaksanaan jangka panjang, semakin berat asma semakin tinggi tingkat
pengobatan. Berat penyakit asma diklasifikasikan berdasarkan gambaran klinis sebelum
pengobatan dimulai.
Pada umumnya penderita sudah dalam pengobatan; dan pengobatan yang telah
berlangsung seringkali tidak adekuat. Dipahami pengobatan akan mengubah gambaran klinis
bahkan faal paru, oleh karena itu penilaian berat asma pada penderita dalam pengobatan juga
harus mempertimbangkan pengobatan itu sendiri. Tabel menunjukkan bagaimana melakukan
penilaian berat asma pada penderita yang sudah dalam pengobatan. Bila pengobatan yang
sedang dijalani sesuai dengan gambaran klinis yang ada, maka derajat berat asma naik satu
tingkat. Contoh seorang penderita dalam pengobatan asma persisten sedang dan gambaran klinis
sesuai asma persisten sedang, maka sebenarnya berat asma penderita tersebut adalah asma
persisten berat. Demikian pula dengan asma persisten ringan. Akan tetapi berbeda dengan asma
persisten berat dan asma intemiten. Penderita yang gambaran klinis menunjukkan asma persisten
berat maka jenis pengobatan apapun yang sedang dijalani tidak mempengaruhi penilaian berat
asma, dengan kata lain penderita tersebut tetap asma persisten berat. Demikian pula penderita
dengan gambaran klinis asma intermiten yang mendapat pengobatan sesuai dengan asma
intermiten, maka derajat asma adalah intermiten.
2
Tabel 1. Klasifikasi derajat asma berdasarkan gambaran klinis
I. Intermiten
Bulanan APE 80%
II. Persisten
Ringan
Mingguan APE > 80%
III. Persisten
Sedang
Harian APE 60 – 80%
*Membutuhkan
bronkodilator
3
setiap hari
IV. Persisten
Berat
Kontinyu APE 60%
DS0
4
2.3 Etiologi
Terdapat tiga proses yang menyebabkan pasien mengalami asma yaitu sensitisasi, inflamasi dan
serangan asma. Ketiga proses ini dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor genetik dan faktor
lingkungan :
a. Sensitisasi, yaitu individu dengan risiko genetik (alergik/atopi, hipereaktivitas bronkus, jenis
kelamin dan ras) dan lingkungan (alergen, sensitisasi lingkungan kerja, asap rokok, polusi udara,
infeksi pernapasan (virus), diet, status sosioekonomi dan besarnya keluarga) apabila terpajan
dengan pemicu (inducer/sensitisizer) maka akan menimbulkan sensitisasi pada dirinya. Faktor
pemicu tersebut adalah alergen dalam ruangan: tungau, debu rumah, binatang berbulu (anjing,
kucing, tikus), jamur, ragi dan pajanan asap rokok.
b. Inflamasi, yaitu individu yang telah mengalami sensitisasi, belum tentu menjadi asma.
Apabila telah terpajan dengan pemacu (enhancer) akan terjadi proses inflamasi pada saluran
napas. Proses inflamasi yang berlangsung lama atau proses inflamasinya berat secara klinis
berhubungan dengan hipereaktivitas. Faktor pemacu tersebut adalah rinovirus, ozon dan
pemakaian β2 agonis.
c. Serangan asma, yaitu setelah mengalami inflamasi maka bila individu terpajan oleh pencetus
(trigger) maka akan terjadi serangan asma. Faktor pencetus asma adalah semua faktor pemicu
dan pemacu ditambah dengan aktivitas fisik, udara dingin, histamin dan metakolin .
Secara umum faktor pencetus serangan asma adalah:
1.Alergen
Alergen merupakan zat-zat tertentu yang bila dihisap atau dimakan dapat menimbulkan serangan
asma seperti debu rumah, tungau, spora jamur, bulu binatang, tepung sari, beberapa makanan
laut. Makanan lain yang dapat menjadi faktor pencetus adalah telur, kacang, bahan penyedap,
pengawet, pewarna makanan dan susu sapi .
2) Infeksi saluran pernapasan
Infeksi saluran napas terutama disebabkan oleh virus. Diperkirakan dua pertiga pasien asma
dewasa serangan asmanya ditimbulkan oleh infeksi saluran pernapasan. Asma yang muncul pada
saat dewasa dapat disebabkan oleh berbagai faktor, seperti adanya sinusitis, polip hidung,
sensitivitas terhadap aspirin atau obat-obat Anti-Inflamasi Non Steroid (AINS), atau dapat juga
terjadi karena mendapatkan pemicu seperti debu dan bulu binatang di tempat kerja yang
5
mengakibatkan infeksi saluran pernapasan atas yang berulang. Ini disebut dengan occupational
asthma yaitu asma yang disebabkan karena pekerjaan.
3) Tekanan jiwa
Faktor ini berperan mencetuskan serangan asma terutama pada orang yang agak labil
kepribadiannya, ini lebih menonjol pada wanita dan anak-anak. Ekspresi emosi yang
dimunculkan secara berlebihan juga dapat menjadi faktor pencetus asma.
4) Olahraga/kegiatan jasmani yang berat
Serangan asma karena exercise (Exercise Induced Asthma/EIA) terjadi segera setelah olahraga
atau aktivitas fisik yang cukup berat. Lari cepat dan bersepeda merupakan dua jenis kegiatan
paling mudah menimbulkan serangan asma.
5) Obat-obatan
Pasien asma biasanya sensitif atau alergi terhadap obat tertentu. Obat tersebut misalnya golongan
aspirin, NSAID, beta bloker, dan lain-lain.
6) Polusi udara
Pasien asma sangat peka terhadap udara berdebu, asap pabrik atau kendaraan, asap rokok, asap
yang mengandung hasil pembakaran dan oksida fotokemikal serta bau yang tajam.
2.4 Epidemiologi
SURVEI KESEHATAN RUMAH TANGGA (SKRT)
Asma merupakan sepuluh besar penyebab kesakitan dan kematian di Indonesia, hal itu
tergambar dari data studi survei kesehatan rumah tangga (SKRT) di berbagai propinsi di
Indonesia. Survei kesehatan rumah tangga (SKRT) 1986 menunjukkan asma menduduki urutan
ke-5 dari 10 penyebab kesakitan (morbiditi) bersama-sama dengan bronkitis kronik dan
emfisema. Pada SKRT 1992, asma, bronkitis kronik dan emfisema sebagai penyebab kematian
(mortaliti) ke-4 di Indonesia atau sebesar 5,6 %. Tahun 1995, prevalensi asma di seluruh
Indonesia sebesar 13/ 1000, dibandingkan bronkitis kronik 11/ 1000 dan obstruksi paru 2/ 1000.
PENELITIAN LAIN
Berbagai penelitian menunjukkan bervariasinya prevalensi asma , bergantung kepada
populasi target studi, kondisi wilayah, metodologi yang digunakan dan sebagainya.
Asma pada anak
Woolcock dan Konthen pada tahun 1990 di Bali mendapatkan prevalensi asma pada anak
dengan hipereaktiviti bronkus 2,4% dan hipereaktiviti bronkus serta gangguan faal paru adalah
6
0,7%. Studi pada anak usia SLTP di Semarang dengan menggunakan kuesioner International
Study of Asthma and Allergies in Childhood (ISAAC), didapatkan hasil dari 402 kuesioner yang
kembali dengan rata-rata umur 13,8 0,8 tahun didapatkan prevalensi asma (gejala asma 12
bulan terakhir/ recent asthma) 6,2% yang 64% di antaranya mempunyai gejala klasik. Bagian
Anak FKUI/ RSCM melakukan studi prevalensi asma pada anak usia SLTP di Jakarta Pusat pada
1995-1996 dengan menggunakan kuesioner modifikasi dari ATS 1978, ISAAC dan Robertson,
serta melakukan uji provokasi bronkus secara acak. Seluruhnya 1296 siswa dengan usia 11 tahun
5 bulan – 18 tahun 4 bulan, didapatkan 14,7% dengan riwayat asma dan 5,8% dengan recent
asthma. Tahun 2001, Yunus dkk melakukan studi prevalensi asma pada siswa SLTP se Jakarta
Timur, sebanyak 2234 anak usia 13-14 tahun melalui kuesioner ISAAC (International Study of
Asthma and Allergies in Childhood), dan pemeriksaan spirometri dan uji provokasi bronkus pada
sebagian subjek yang dipilih secara acak. Dari studi tersebut didapatkan prevalensi asma (recent
asthma ) 8,9% dan prevalensi kumulatif (riwayat asma) 11,5%.
Asma pada dewasa
Tahun 1993 UPF Paru RSUD dr. Sutomo, Surabaya melakukan penelitian di lingkungan
37 puskesmas di Jawa Timur dengan menggunakan kuesioner modifikasi ATS yaitu Proyek
Pneumobile Indonesia dan Respiratory symptoms questioner of Institute of Respiratory
Medicine, New South Wales, dan pemeriksaan arus puncak ekspirasi (APE) menggunakan
alat peak flow meter dan uji bronkodilator. Seluruhnya 6662 responden usia 13-70 tahun (rata-
rata 35,6 tahun) mendapatkan prevalensi asma sebesar 7,7%, dengan rincian laki-kali 9,2% dan
perempuan 6,6%.
2.5 Gejala Klinis
Gejala asma bersifat episodik, berupa batuk, sesak napas, mengi, rasa berat di dada.
Gejala biasanya timbul atau memburuk terutama malam atau dini hari. Setelah pasien asma
terpajan alergen penyebab maka akan timbul dispnea, pasien merasa seperti tercekik dan harus
berdiri atau duduk dan berusaha mengerahkan tenaga lebih kuat untuk bernapas. Kesulitan utama
terletak saat ekspirasi, percabangan trakeobronkial melebar dan memanjang selama inspirasi
namun sulit untuk memaksa udara keluar dari bronkiolus yang sempit karena mengalami edema
dan terisi mukus. Akan timbul mengi yang merupakan ciri khas asma saat pasien berusaha
memaksakan udara keluar. Biasanya juga diikuti batuk produktif dengan sputum berwarna
keputih-putihan.
Tanda selanjutnya dapat berupa sianosis sekunder terhadap hipoksia hebat dan gejala-
gejala retensi karbon dioksida (berkeringat, takikardi dan pelebaran tekanan nadi). Pada pasien
asma kadang terjadi reaksi kontinu yang lebih berat dan mengancam nyawa, dikenal dengan
istilah “status asmatikus”. Status asmatikus adalah asma yang berat dan persisten yang tidak
berespon terhadap terapi konvensional, dan serangan dapat berlangsung lebih dari 24 jam . Asma
7
dapat bersifat fluktuatif (hilang timbul) yang berarti dapat tenang tanpa gejala tidak mengganggu
aktivitas tetapi dapat eksaserbasi dengan gejala ringan sampai berat bahkan dapat menimbulkan
kematian . Gejala asma dapat diperburuk oleh keadaan lingkungan seperti perubahan temperatur,
terpapar bulu binatang, uap kimia, debu, serbuk, obat-obatan, olahraga berat, infeksi saluran
pernapasan, asap rokok dan stres.
Pada awal serangan sering gejala tidak jelas seperti rasa berat di dada, pada asma alergik
biasanya disertai pilek atau bersin. Meski pada mulanya batuk tidak disertai sekret, namun dalam
perkembangannya pasien asma akan mengeluarkan sekret baik yang mukoid, putih dan
terkadang purulen. Terdapat sebagian kecil pasien asma yang hanya mengalami gejala batuk
tanpa disertai mengi, yang dikenal dengan istilah cough variant asthma .
2.6 Faktor Resiko
Faktor resiko asma dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu :
a. Atopi
Hal yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahui bagaimana
cara penurunannya. Penderita dengan penyakit alergi biasanya mempunyai keluarga
dekat yang juga alergi. Dengan adanya bakat alergi ini, penderita sangat mudah
terkena penyakit asma bronkial jika terpajan dengan faktor pencetus.
b. Hiperreaktivitas bronkus
Saluran pernapasan sensitif terhadap berbagai rangsangan alergen maupun iritan.
c. Jenis Kelamin
Perbandingan laki – laki dan perempuan pada usia dini adalah 2:1 dan pada usia
remaja menjadi 1:1. Prevalensi asma lebih besar pada wanita usia dewasa.
d. Ras
e. Obesitas
Obesitas atau peningkatan Body Mass Index (BMI) merupakan faktor resiko asma.
Mediator tertentu seperti leptin dapat mempengaruhi fungsi saluran pernapasan dan
meningkatkan kemungkinan terjadinya asma. Meskipun mekanismenya belum jelas,
penurunan berat badan penderita obesitas dengan asma, dapat mempengaruhi gejala
fungsi paru, morbiditas dan status ksehatan.
2.7 Faktor Pencetus
Penelitian yang dilakukan oleh pakar di bidang penyakit asma sudah sedemikian jauh, tetapi
sampai sekarang belum menemukan penyebab yang pasti. Beberapa penelitian menunjukkan
bahwa saluran pernapasan penderita asma mempunyai sifat sangat peka terhadap rangsangan
dari luar yang erat kaitannya dengan proses inflamasi. Proses inflamasi akan meningkat bila
penderita terpajan oleh alergen tertentu.
8
Penyempitan saluran pernapasan pada penderita asma disebabkan oleh reaksi inflamasi
kronik yang didahului oleh faktor pencetus. Beberapa faktor pencetus yang sering menjadi
pencetus serangan asma adalah :
1. Faktor Lingkungan
a. Alergen dalam rumah
b. Alergen luar rumah
2. Faktor Lain
a. Alergen makanan
b. Alergen obat – obat tertentu
c. Bahan yang mengiritasi
d. Ekspresi emosi berlebih
e. Asap rokok bagi perokok aktif maupun perokok pasif
f. Polusi udara dari dalam dan luar ruangan
2.8 Patogenesis Asma
Asma merupakan inflamasi kronik saluran napas dan disebabkan oleh hiperreaktivitas
saluran napas yang melibatkan beberapa sel inflamasi terutama sel mast, eosinofil, sel limfosit T,
makrofag, neutrofil dan sel epitel yang menyebabkan pelepasan mediator seperti histamin dan
leukotrin yang dapat mengaktivasi target saluran napas sehingga terjadi bronkokonstriksi,
kebocoran mikrovaskular, edema dan hipersekresi mukus. Inflamasi saluran napas pada asma
merupakan proses yang sangat kompleks melibatkan faktor genetik, antigen dan berbagai sel
inflamasi, interaksi antara sel dan mediator yang membentuk proses inflamasi kronik.
Proses inflamasi kronik ini berhubungan dengan peningkatan kepekaan saluran napas
sehingga memicu episode mengi berulang, sesak napas, batuk terutama pada malam hari.
Hiperresponsivitas saluran napas adalah respon bronkus berlebihan yaitu penyempitan bronkus
akibat berbagai rangsangan spesifik dan non-spesifik.
Inflamasi Akut
Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor antara lain alergen, virus,
iritan yang dapat menginduksi respons inflamasi akut yang terdiri atas reaksi asma tipe cepat
dan pada sejumlah kasus diikuti reaksi asma tipe lambat.
Reaksi Asma Tipe Cepat :
Alergen akan terikat pada IgE yang menempel pada sel mast dan terjadi degranulasi sel mast
tersebut. Degranulasi tersebut mengeluarkan preformed mediator seperti histamin, protease dan
newly generated mediator seperti leukotrien, prostaglandin dan PAF (Platelet Activating Factor)
yang menyebabkan kontraksi otot polos bronkus, sekresi mukus dan vasodilatasi.
9
Reaksi Fase Lambat :
Reaksi ini timbul antara 6-9 jam setelah provokasi alergen dan melibatkan pengerahan serta
aktivasi eosinofil, sel T CD4+, neutrofil dan makrofag.
Inflamasi Kronik
Berbagai sel terlibat dan teraktivasi pada inflamasi kronik. Sel tersebut ialah limfosit T,
eosinofil, makrofag , sel mast, sel epitel, fibroblast dan otot polos bronkus.
pemicu
Hiperreaktivitas
10
BATUK, MENGI, SESAK
Bagan 1. Patogenesis Asma
Histamin
LTC4, D4,E4
Prostaglandin dan Thromboksan
A2 Kontruksi otot polos
Bradikinin
Platelet-activating factor (PAF)
Histamin
LTC4, D4,E4
Prostaglandin dan Thromboksan
E2
Udema mukosa
Bradikinin
Platelet-activating factor (PAF)
Chymase
Radikal oksigen
Histamin
LTC4, D4,E4
Sekresi mukus
Prostaglandin
Hidroxyeicosatetraenoic acid
Radikal oksigen
Enzim proteolitik Deskuamasi epitel bronkial
Faktor inflamasi dan sitokin
11
2.9 Diagnosis
12
Nilai APE dapat diperoleh melalui pemeriksaan spirometri atau pemeriksaan yang
lebih sederhana yaitu dengan alat peak expiratory flow meter (PEF meter) yang
relatif sangat murah, mudah dibawa, terbuat dari plastik dan mungkin tersedia di
berbagai tingkat layanan kesehatan termasuk puskesmas ataupun instalasi gawat
darurat. Alat PEF meter relatif mudah digunakan/ dipahami baik oleh dokter
maupun penderita, sebaiknya digunakan penderita di rumah sehari-hari untuk
memantau kondisi asmanya.Manuver pemeriksaan APE dengan ekspirasi paksa
membutuhkan koperasi penderita dan instruksi yang jelas.
13
Penyakit Paru Obstruksi Kronik
Bronkitis kronik
Gagal Jantung Kongestif
Disfungsi larings
Obstruksi mekanis (misal tumor)
Emboli Paru
2.11 Penatalaksanaan
Terapi farmakologi merupakan salah satu bagian dari penanganan asma yang bertujuan
mengurangi dampak penyakit dan kualiti hidup; yang dikenal dengan tujuan pengelolaan
asma. Pemahaman bahwa asma bukan hanya suatu episodik penyakit tetapi asma adalah suatu
penyakit kronik menyebabkan pergeseran fokus penanganan dari pengobatan hanya untuk
serangan akut menjadi pengobatan jangka panjang dengan tujuan mencegah serangan,
mengontrol atau mengubah perjalanan penyakit.
Semua tahapan : ditambahkan agonis beta-2 kerja singkat untuk pelega bila
dibutuhkan, tidak melebihi 3-4 kali sehari.
Berat Medikasi Alternatif / Pilihan lain Alternatif lain
Asma pengontrol
harian
Asma Tidak perlu -------- -------
Intermiten
Asma Glukokortikoste Teofilin lepas lambat ------
Persisten roid inhalasi Kromolin
Ringan (200-400 ug Leukotriene modifiers
BD/hari atau
ekivalennya)
Asma Kombinasi Glukokortikosteroid inhalasi (400-800 Ditambah
Persisten inhalasi ug BD atau ekivalennya) ditambah agonis beta-2
Sedang glukokortikoster Teofilin lepas lambat ,atau kerja lama
Glukokortikosteroid inhalasi (400-800 oral, atau
14
oid ug BD atau ekivalennya) ditambah Ditambah
agonis beta-2 kerja lama oral, atau teofilin lepas
(400-800 ug Glukokortikosteroid inhalasi dosis lambat
BD/hari atau tinggi (>800 ug BD atau ekivalennya)
ekivalennya) atau
dan Glukokortikosteroid inhalasi (400-800
ug BD atau ekivalennya) ditambah
agonis beta-2 leukotriene modifiers
kerja lama
teofilin lepas
lambat
leukotriene
modifiers
glukokortikost
eroid oral
Kortikosteroid
sistemik 4-40 mg/ hari, dosis
tunggal atau terbagi
Metilprednisolon Tablet 0,25 – 2 mg/ kg BB/ Pemakaian jangka panjang dosis 4-
hari, dosis tunggal 5mg/ hari atau 8-10 mg selang sehari
4 , 8, 16 mg Short-course :
atau terbagi untuk mengontrol asma , atau
20-40 mg /hari sebagai pengganti steroid inhalasi
pada kasus yang tidak dapat/ mampu
Tablet 5 mg dosis tunggal atau menggunakan steroid inhalasi
Prednison Short-course :
terbagi selama 3-10 hari
15
1-2 mg /kgBB/ hari
Maks. 40 mg/hari,
selama 3-10 hari
Kromolin &
Nedokromil
- Sebelum exercise atau pajanan
alergen, profilaksis efektif dalam 1-2
Nedokromil IDT 2 semprot 2 semprot jam
(>12 tahun)
16
Metilxantin
Aminofilin lepas Tablet 225 mg 2 x 1 tablet ½ -1 tablet, Atur dosis sampai mencapai kadar
lambat obat
2 x/ hari
dalam serum 5-15 mcg/ ml.
(> 12 tahun)
Teofilin lepas Lambat Sebaiknya monitoring kadar obat
Tablet 2 x125 – 300 mg 2 x 125 mg dalam
125, 250, 300 mg – (> 6 tahun) serum dilakukan rutin, mengingat
2 x/ hari; sangat bervariasinya metabolic
clearance dari teofilin, sehingga
200-400 mg mencegah efek samping
400 mg
1x/ hari
Antileukotrin
Steroid inhalasi
Dosis bergantung kepada
Flutikason propionat IDT 50, 125 mcg/ 125 – 500 mcg/ hari 50-125 mcg/ hari derajat berat asma
semprot
Sebaiknya diberikan denganspacer
100 – 800
IDT , Turbuhaler
Budesonide mcg/ hari 100 –200 mcg/ hari
100, 200, 400 mcg
IDT, rotacap,
rotahaler, rotadisk
17
i dewasa
18
5ml 200 mcg 10 mcg,
3-4 x/ hari
Sirup 5 mcg/ ml
Antikolinergik
(0,025%) jam
(nebulisasi) Kombinasi
dengan agonis
beta-2 pada
pengobatan
19
jangka panjang,
tidak ada manfaat
tambahan
Kortikosteroid
sistemik
Short-course efekt
Metilprednisolon
if
Tablet 4, 8,16 mg Short-course Short-
: course: utk mengontrol
asma pada terapi
24-40 mg 1-2 mg/ kg
awal, sampai
Prednison /hari BB/ hari,
Tablet 5 mg tercapai APE
maksimum
dosis tunggal 80% terbaik atau
atau terbagi 40mg/ hari
gejala mereda,
selama 3-10 selama 3-10 umumnya
hari
hari membutuhkan 3-
10 hari
Dosis
Medikasi Sediaan obat Dosis anak Keterangan
dewasa
20
Metilsantin
Teofilin
Tablet 130, 150 mg 3-5 mg/ kg 3-5mg/kgBB Kombinasi
Aminofilin Tablet 200 mg BB/ kali, 3- kali, 3-4 x/ teofilin /aminoflin
4x/ hari hari dengan agonis
beta-2 kerja
singkat (masing-
masing dosis
minimal),
meningkatkan
efektiviti dengan
efek samping
minimal
Penatalaksanaan asma jangka panjang di dasarkan pada klasifikasi berat penyakit, dengan
mengikuti pedoman pengobatan sesuai berat penyakit diharapkan asma dapat dikontrol. Pada
beberapa keadaan seperti pada penyakit tertentu (hipertensi, diabetes mellitus) atau kondisi
tertentu seperti kehamilan, puasa, menjalani tindakan bedah perlu perhatian khusus atau
perubahan penatalaksanaan dari hal yang sudah digariskan dalam pedoman penatalaksanaan.
2.12 Pencegahan
Pencegahan meliputi pencegahan primer yaitu mencegah tersensitisasi dengan bahan yang
menyebabkan asma, pencegahan sekunder adalah mencegah yang sudah tersensitisasi untuk
tidak berkembang menjadi asma; dan pencegahan tersier adalah mencegah agar tidak terjadi
serangan / bermanifestasi klinis asma pada penderita yang sudah menderita asma.
Pencegahan Primer
Perkembangan respons imun jelas menunjukkan bahwa periode prenatal dan perinatal
merupakan periode untuk diintervensi dalam melakukan pencegahan primer penyakit asma.
Banyak faktor terlibat dalam meningkatkan atau menurunkan sensitisasi alergen pada fetus,
tetapi pengaruh faktor-faktor tersebut sangat kompleks dan bervariasi dengan usia gestasi,
21
sehingga pencegahan primer waktu ini adalah belum mungkin. Walau penelitian ke arah itu terus
berlangsung dan menjanjikan.
Pencegahan sekunder
Sebagaimana di jelaskan di atas bahwa pencegahan sekunder mencegah yang sudah
tersensitisasi untuk tidak berkembang menjadi asma. Studi terbaru mengenai pemberian
antihitamin H-1 dalam menurunkan onset mengi pada penderita anak dermatitis atopik. Studi
lain yang sedang berlangsung, mengenai peran imunoterapi dengan alergen spesifik untuk
menurunkan onset asma.
Pengamatan pada asma kerja menunjukkan bahwa menghentikan pajanan alergen sedini
mungkin pada penderita yang sudah terlanjur tersensitisasi dan sudah dengan gejala asma, adalah
lebih menghasilkan pengurangan /resolusi total dari gejala daripada jika pajanan terus
berlangsung.
Pencegahan Tersier
Sudah asma tetapi mencegah terjadinya serangan yang dapat ditimbulkan oleh berbagai
jenis pencetus. Sehingga menghindari pajanan pencetus akan memperbaiki kondisi asma dan
menurunkan kebutuhan medikasi/ obat.
2.13 Komplikasi
Berbagai komplikasi menurut yang mungkin timbul adalah :
1. Pneumothoraks
Pneumothoraks adalah keadaan adanya udara di dalam rongga pleura yang dicurigai bila
terdapat benturan atau tusukan dada. Keadaan ini dapat menyebabkan kolaps paru yang
lebih lanjut lagi dapat menyebabkan kegagalan napas.
2. Pneumomediastinum
Pneumomediastinum dari bahasa Yunani pneuma “udara”, juga dikenal sebagai emfisema
mediastinum adalah suatu kondisi dimana 26 udara hadir di mediastinum. Pertama
dijelaskan pada 1819 oleh Rene Laennec, kondisi ini dapat disebabkan oleh trauma fisik
atau situasi lain yang mengarah ke udara keluar dari paru-paru, saluran udara atau usus ke
dalam rongga dada.
3. Atelektasis
Atelektasis adalah pengkerutan sebagian atau seluruh paru-paru akibat penyumbatan
saluran udara (bronkus maupun bronkiolus) atau akibat pernafasan yang sangat dangkal.
4. Aspergilosis
Aspergilosis merupakan penyakit pernapasan yang disebabkan oleh jamur dan tersifat
oleh adanya gangguan pernapasan yang berat. Penyakit ini juga dapat menimbulkan lesi
22
pada berbagai organ lainnya, misalnya pada otak dan mata. Istilah Aspergilosis dipakai
untuk menunjukkan adanya infeksi Aspergillus sp.
5. Gagal napas
Gagal napas dapat tejadi bila pertukaran oksigen terhadap karbodioksida dalam paru-paru
tidak dapat memelihara laju konsumsi oksigen dan pembentukan karbondioksida dalam
sel-sel tubuh.
6. Bronkhitis
Bronkhitis atau radang paru-paru adalah kondisi di mana lapisan bagian dalam dari
saluran pernapasan di paru-paru yang kecil (bronkhiolis) mengalami bengkak. Selain
bengkak juga terjadi peningkatan produksi lendir (dahak). Akibatnya penderita merasa
batuk berulang-ulang dalam upaya mengeluarkan lendir yang berlebihan, atau merasa
sulit bernapas karena sebagian saluran udara menjadi sempit oleh adanya lendir.
2.14 Prognosis
Mortalitas akibat asma sedikit nilainya. Gambaran yang paling akhir menunjukkan
kurang dari 5000 kematian setiap tahun dari populasi beresiko yang berjumlah kira-kira 10 juta.
Sebelum dipakai kortikosteroid, secara umum angka kematian penderita asma wanita dua kali
lipat penderita asma pria. Juga kenyataan bahwa angka kematian pada serangan asma dengan
usia tua lebih banyak, kalau serangan asma diketahui dan dimulai sejak kanak – kanak dan
mendapat pengawasan yang cukup kira-kira setelah 20 tahun, hanya 1% yang tidak sembuh dan
di dalam pengawasan tersebut kalau sering mengalami serangan common cold 29% akan
mengalami serangan ulang.
Pada penderita yang mengalami serangan intermitten angka kematiannya 2%, sedangkan angka
kematian pada penderita yang dengan serangan terus menerus angka kematiannya 9%.
23
BAB III
PENUTUP
Asma adalah penyakit saluran napas kronik yang penting dan merupakan masalah
kesehatan masyarakat yang serius di berbagai negara di seluruh dunia. Asma dapat bersifat
ringan dan tidak mengganggu aktiviti, akan tetapi dapat bersifat menetap dan mengganggu
aktiviti bahkan kegiatan harian. Produktiviti menurun akibat mangkir kerja atau sekolah, dan
dapat menimbulkan disability(kecacatan), sehingga menambah penurunan produktiviti serta
menurunkan kualiti hidup.
Risiko berkembangnya asma merupakan interaksi antara faktor pejamu (host factor) dan
faktor lingkungan. Faktor pejamu disini termasuk predisposisi genetik yang mempengaruhi untuk
berkembangnya asma, yaitu genetik asma, alergik (atopi) , hipereaktiviti bronkus, jenis kelamin dan ras.
Faktor lingkungan mempengaruhi individu dengan kecenderungan/ predisposisi asma untuk berkembang
menjadi asma, menyebabkan terjadinya eksaserbasi dan atau menyebabkan gejala-gejala asma menetap.
Termasuk dalam faktor lingkungan yaitu alergen, sensitisasi lingkungan kerja, asap rokok, polusi udara,
infeksi pernapasan (virus), diet, status sosioekonomi dan besarnya keluarga.
24
DAFTAR PUSTAKA
25
11. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan di
Indonesia. 2003. h 73-5
12. Mcfadden ER. Penyakit Asma. Dalam Harrison Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam.
Isselbacher KJ et al, editor. Jakrta : EGC. 2000. 1311-18.
26