Anda di halaman 1dari 43

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.

id

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Penyakit Asma

a. Pengertian Asma

Asma merupakan gangguan saluran napas obstruktif yang bersifat

reversibel, ditandai dengan adanya periode bronkhospasme, peningkatan respon

trachea dan bronchus terhadap berbagai rangsangan yang menyebabkan

penyempitan jalan napas (Rakel, 2006; Muttaqin, 2008).

Asma merupakan sebuah penyakit kronik saluran napas yang terdapat di

seluruh dunia, dengan kekerapan bervariasi, yang berhubungan dengan

peningkatan kepekaan saluran napas, sehingga memicu episode mengi berulang

(wheezing), sesak napas (breathlessness), dada rasa tertekan (chest tightness),

dispnea, dan batuk (cough) terutama pada malam atau dini hari (Cano et al., 2010;

PDPI, 2009; GINA, 2009).

Menurut National Heart, Lung and Blood Institute (NHLBI, 2007), pada

individu yang rentan, gejala asma berhubungan dengan inflamasi yang akan

menyebabkan obstruksi dan hiperesponsivitas dari saluran pernapasan yang

bervariasi derajatnya.

Menteri Kesehatan RI (2008) dalam Pedoman Pengendalian Penyakit

Asma mengatakan bahwa asma adalah suatu kelainan berupa inflamasi

(peradangan) kronik saluran napas, yang menyebabkan hipereaktivitas bronkus


commit to user
terhadap berbagai rangsangan, ditandai dengan gejala episodik berulang berupa

8
perpustakaan.uns.ac.id 9
digilib.uns.ac.id

mengi, batuk, sesak napas, dan rasa berat di dada terutama pada malam dan atau

dini hari yang umumnya bersifat reversibel baik dengan atau tanpa pengobatan.

Asma bersifat fluktuatif (hilang timbul) artinya yaitu dapat tenang tanpa gejala,

tidak mengganggu aktifitas, tetapi dapat eksaserbasi dengan gejala ringan sampai

berat, bahkan dapat menimbulkan kematian.

b. Klasifikasi Asma

Tabel 2.1. Klasifikasi asma menurut derajat penyakit


Derajat Asma Gejala Gejalaa Faal Paru
Malam
I. Intermiten Bulanan APE ≥ 80 %
- Gejala <1x / minggu ≤ 2 kali - VEP1 ≥ 80 % nilai
- Tanpa gejala di luar sebulan prediksi
serangan - APE ≥ 80 % nilai
- Serangan singkat terbaik
- Variabiliti APE < 20 %
II. Persisten Mingguan APE ≥ 80 %
Ringan
- Gejala > 1x / minggu, > 2 kali - VEP1 ≥ 80 % nilai
tetapi < 1/ hari sebulan prediksi
- Serangan dapat meng- - APE ≥ 80 % nilai
ganggu aktivitas dan terbaik
tidur - Variabiliti APE 20 -
30%
III. Persisten Harian APE 60 - 80 %
Sedang
- Gejala setiap hari > 1 kali - VEP1 60 - 80 % nilai
- Serangan menggang- seminggu prediksi
gu aktivitas dan tidur - APE 60 - 80 % nilai
- Membutuhkan bron- terbaik
kodilator setiap hari - Variabiliti APE > 30 %
IV. Persisten Kontinyu APE ≤ 60 %
Berat
- Gejala terus- menerus Sering - VEP1 ≤ 60 % nilai
- Sering kambuh prediksi
- Aktivitas fisik terba- - APE ≤ 60 % nilai
tas terbaik
- Variabiliti APE > 30 %
Sumber : (PDPI, 2009)

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 10
digilib.uns.ac.id

c. Faktor Resiko Asma

Menurut Menteri Kesehatan RI (2008) secara umum faktor risiko asma

dibedakan menjadi 2 kelompok, yaitu:

1) Faktor genetik

- Hipereaktivitas

- Atopi atau alergi bronkus

- Faktor yang memodifikasi penyakit genetik

- Jenis kelamin

- Ras atau etnik

2) Faktor lingkungan

- Alergen di dalam ruangan (contohnya tungau, debu rumah, kucing,

alternaria atau jamur, dan lain - lain)

- Alergen di luar ruangan (misalnya alternaria dan tepung sari)

- Makanan (contohnya bahan penyedap, pengawet, pewarna makanan,

kacang, makanan laut, susu sapi, dan telur)

- Obat - obatan tertentu (misalnya golongan aspirin, NSAID, β bloker, dan

lain - lain)

- Bahan yang mengiritasi (misalnya parfum, household spray, dan lain-lain)

- Ekspresi emosi berlebih

- Asap rokok dari perokok aktif dan pasif

- Polusi udara di luar dan di dalam ruangan

- Exercise induced asthma, mereka yang kambuh asmanya ketika

melakukan aktifitas tertentu.


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 11
digilib.uns.ac.id

- Perubahan cuaca.

d. Patofisiologi Asma

Pada penderita asma, obstruksi saluran napas merupakan kombinasi antara

spasme otot bronkus, sumbatan mukus, edema, dan inflamasi dinding bronkus

(Price, 2006). Selama ekspirasi, obstruksi bertambah berat karena secara fisiologis

saluran napas menyempit pada fase tersebut. Sehingga mengakibatkan udara distal

tempat terjadinya obtruksi terjebak tidak bisa diekspirasi, selanjutnya terjadi

peningkatan volume residu, kapasitas residu fungsional, dan pasien akan bernapas

pada volume yang tinggi mendekati kapasitas paru total. Keadaan hiperinflasi ini

bertujuan agar saluran napas tetap terbuka dan pertukaran gas berjalan lancar.

Gangguan berupa obstruksi saluran napas dapat dinilai secara obyektif dengan

Volume Ekspirasi Paksa (VEP) atau Arus Puncak Ekspirasi (APE). Sedangkan

penurunan Kapasitas Vital Paksa (KVP) menggambarkan derajat hiperinflasi paru.

Penyempitan saluran napas dapat terjadi baik pada saluran napas yang besar,

sedang maupun yang kecil. Gejala mengi menandakan adanya penyempitan di

saluran napas besar (Sundaru, 2006).

Manifestasi penyumbatan jalan napas pada asma disebabkan oleh

bronkokonstriksi, hipersekresi mukus, edema mukosa, infiltrasi seluler, dan

deskuamasi sel epitel serta sel radang. Berbagai rangsangan alergi dan rangsangan

nonspesifik, akan adanya jalan napas yang hiperaktif, mencetuskan respon

bronkokontriksi dan radang. Rangsangan ini meliputi alergen yang dihirup

(seperti tungau debu, tepung sari, sari kedelai, dan protein minyak jarak), protein

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 12
digilib.uns.ac.id

sayuran lainnya, infeksi virus, asap rokok, polutan udara, bau busuk, obat - obatan

(metabisulfit), udara dingin, dan olah raga (Price, 2006; Sundaru, 2006).

Patologi asma berat adalah bronkokontriksi, hipertrofi otot polos bronkus,

hipertropi kelenjar mukosa, edema mukosa, infiltrasi sel radang (eosinofil,

neutrofil, basofil, dan makrofag), serta deskuamasi. Tanda - tanda patognomosis

adalah krisis kristal Charcot-leyden (lisofosfolipase membran eosinofil), spiral

Cursch-mann (silinder mukosa bronkiale), dan benda - benda Creola (sel epitel

terkelupas). Penyumbatan paling berat terjadi selama ekspirasi, karena jalan napas

intratoraks biasanya menjadi lebih kecil selama ekspirasi. Penyumbatan jalan

napas difus, penyumbatan ini tidak seragam di seluruh paru. Atelektasis segmental

atau subsegmental dapat terjadi, memperburuk ketidakseimbangan ventilasi dan

perfusi. Hiperventilasi menyebabkan penurunan kelenturan, dengan akibat kerja

pernapasan bertambah. Kenaikan tekanan transpulmuner yang diperlukan untuk

ekspirasi melalui jalan napas yang tersumbat, dapat menyebabkan penyempitan

lebih lanjut, atau penutupan dini beberapa jalan napas total selama ekspirasi,

dengan demikian menaikkan resiko pneumotoraks (Sundaru, 2006).

e. Diagnosis Asma

Diagnosis asma ditegakkan berdasarkan manisfestasi gejala yang ada

(sekarang, maupun yang pernah terjadi), dan adanya keterbatasan aliran udara

dalam saluran pernapasan. Diduga asma apabila muncul gejala seperti mengi, rasa

berat di dada, batuk (dengan atau tanpa dahak), dan sesak napas dengan derajat

bervariasi. Mengi adalah gejala yang sering ditemui. Hasil penelitian

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 13
digilib.uns.ac.id

menunjukkan bahwa mengi merupakan salah satu keluhan pada sekitar 30 %

pasien asma (Mangunegoro, 2011; Alsagaff, 2010).

Riwayat adanya mengi rekuren, meningkatkan kemungkinan untuk

menegakkan diagnosis asma, terutama jika ditemukan salah satu faktor

predisposisi, atau presipitasi yang umum, seperti keadaan atopi, aktifitas fisik

yang melelahkan, atau infeksi saluran pernapasan atas (Stark, 2000). Disisi lain,

pendekatan untuk konfirmasi diagnosis tergantung dari gambaran obstruksi jalan

napas. Keterbatasan aliran udara di saluran pernapasan dapat diketahui melalui uji

faal paru dengan menggunakan peak flow meter dan spirometer. Sulitnya

menegakkan diagnosis asma disebabkan karena gejala yang tidak jelas, oleh

karena itu dapat dilakukan uji provokasi bronkus yang dapat memperlihatkan

hipereaktivitas saluran pernapasan, pemeriksaan foto toraks, dan pemeriksaan

darah tepi. The National Heart, Lung and Blood Institute (NHLBI) menentukan

tiga prinsip dasar untuk menentukan asma, yaitu adanya obstruksi saluran

pernapasan yang hilang dengan atau tanpa pengobatan, adanya inflamasi saluran

pernapasan, dan adanya hiperesponsif terhadap berbagai rangsangan.

f. Diagnosis Banding

Diagnosis banding asma antara lain (Alsagaff, 2010):

1) Asma Kardial

2) Bronkitis akut ataupun menahun

3) Bronkiektasis

4) Keganasan

5) Infeksi paru
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 14
digilib.uns.ac.id

6) Penyakit granuloma

7) Farmer’s lung disease

8) Alergi bahan inhalan industri

9) Hernia diafragmatika atau esofagus

10) Tumor atau pembesaran kelenjar mediastinum

11) Edema laring

12) Tumor trakeo - bronkial

13) Tumor atau kista laring

g. Penatalaksanaan Asma

Identifikasi dan memperbaiki gangguan kualitas hidup merupakan

komponen penting pada penatalaksanaan asma (Juniper et al., 2004).

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) menetapkan tujuan utama

penatalaksanaan asma adalah meningkatkan dan mempertahankan kualitas hidup,

agar dapat hidup normal tanpa hambatan dalam melakukan aktivitas sehari – hari

(Imelda et al., 2007).

Program penatalaksanan asma meliputi 7 komponen, yaitu :

1) Edukasi

2) Menilai dan memonitor keparahan asma secara berkala

3) Identifikasi dan mengendalikan faktor pencetus

4) Merencanakan dan memberikan pengobatan jangka panjang

5) Menetapkan pengobatan pada serangan akut

6) Kontrol secara teratur

7) Pola hidup sehat commit to user


perpustakaan.uns.ac.id 15
digilib.uns.ac.id

Terdapat tiga faktor yang perlu dicermati dalam menetapkan atau

merencanakan pengobatan jangka panjang untuk mencapai dan mempertahankan

keadaan asma yang terkontrol, yaitu:

1) Medikasi (obat - obatan)

Obat asma dikelompokkan atas dua golongan yaitu:

- Obat Pengontrol Asma (Controllers)

Pengontrol adalah obat asma yang digunakan jangka panjang untuk

mengontrol asma, karena mempunyai kemampuan untuk mengatasi proses

inflamasi yang merupakan patogenesis dasar penyakit asma. Obat ini diberikan

setiap hari untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma terkontrol pada

asma persisten, dan sering disebut sebagai obat pencegah. Berbagai obat yang

mempunyai sifat sebagai pengontrol, antara lain:

 Kortikosteroid inhalasi

 Kortikosteroid sistemik

 Sodium chromoglicate

 Nedochromil sodium

 Methylxanthine

 Agonis β2 kerja lama (LABA) inhalasi

 Leukotriene modifiers

 Antihistamin (antagonis H1) generasi kedua

- Obat Pelega (Reliever)

Merupakan bronkodilator yang melebarkan saluran pernapasan melalui

commit to
relaksasi otot polos, untuk memperbaiki user
dan atau menghambat bronkokonstriksi
perpustakaan.uns.ac.id 16
digilib.uns.ac.id

yang berkaitan dengan gejala akut asma, seperti mengi, rasa berat di dada dan

batuk. Obat pelega tidak memperbaiki inflamasi atau menurunkan hiperesponsif

pada saluran pernapasan. Oleh karena itu, penatalaksanaan asma yang hanya

menggunakan obat pelega, tidak akan menyelesaikan masalah asma secara tuntas.

Obat - obat yang termasuk dalam golongan reliever adalah:

 Agonis β2 kerja singkat dan kerja lama

 Anticholinergic (atrophine sulphate, ipratropium, tiotropium, dan lain-

lain)

 Xanthine (Aminophylline)

 Simpatomimetik lainnya, seperti adrenaline, ephedrine, dan lain-lain.

2) Pemberian medikasi

Obat asma dapat diberikan melalui berbagai cara, yaitu inhalasi (diberikan

langsung ke saluran pernapasan), oral, dan parenteral (baik secara subkutan,

intramuskular, ataupun intravena).

Kelebihan pemberian langsung ke saluran pernapasan (inhalasi) adalah:

- Lebih efektif untuk dapat mencapai konsentrasi tinggi di saluran pernapasan.

- Efek sistemik minimal atau dapat dihindarkan.

- Beberapa obat hanya dapat diberikan melalui inhalasi, karena tidak efektif

pada pemberian oral (contohnya anticholinergic dan chromolyne).

- Waktu mula kerja (onset of action) bronkodilator yang diberikan melalui

inhalasi lebih cepat dibandingkan jika diberikan secara oral.

Pemberian obat secara inhalasi dapat melalui berbagai cara, yaitu:


commit to user
- Inhalasi Dosis Terukur (IDT) / Metered Dose Inhaler (MDI)
perpustakaan.uns.ac.id 17
digilib.uns.ac.id

- IDT dengan alat bantu (spacer)

- Breath-actuated MDI

- Dry Powder Inhaler (DPI)

- Turbuhaler

- Nebulizer

3) Penanganan asma mandiri

Khusus untuk upaya penanganan asma mandiri, dokter yang merawat

pasien asma harus benar - benar menyadari, bahwa pasiennya adalah mitra dalam

usaha pencapaian keberhasilan terapi asma, karena pasien merupakan sumber

informasi yang paling dapat dipercaya untuk mencapai asma terkontrol, sebab

merekalah yang langsung merasakan dampak penatalaksanaan asma yang

dilakukan oleh dokter yang merawatnya. Agar usaha ini dapat terlaksana dengan

baik, maka faktor edukasi atau komunikasi terapeutik di antara dokter dengan

pasien asma dan keluarganya merupakan hal yang sangat mendasar dalam

penatalaksanaan asma. Dokter merencanakan pengobatan jangka panjang sesuai

kondisi penderita, dan realistik, sehingga memungkinkan pasien asma mencapai

asma terkontrol. Sistem penanganan asma mandiri mengharuskan pasien asma

memahami kondisi kronik dan bervariasinya keadaan penyakit asma.

Penatalaksanaan ini mengajak pasien memantau kondisinya sendiri,

mengidentifikasi perburukan asma sehari - hari, mengontrol gejala klinis yang

terjadi dan mengetahui bila saatnya pasien asma memerlukan bantuan medis atau

dokter (Mangunegoro, 2011).

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 18
digilib.uns.ac.id

2. Efikasi Diri

a. Pengertian Efikasi Diri

Peterson (2004) menyatakan bahwa efikasi diri adalah keyakinan

seseorang terhadap kemampuannya dalam mengatur dan melaksanakan suatu

tindakan yang ingin dicapai. Keyakinan tentang efikasi diri akan memberikan

dasar motivasi, kesejahteraan, dan prestasi seseorang. Sedangkan Bandura (1999)

menjelaskan efikasi diri adalah keyakinan seseorang tentang kemampuan mereka

untuk mencapai suatu tingkat kinerja yang mempengaruhi setiap peristiwa dalam

hidupnya. Efikasi diri menentukan bagaimana seseorang merasa, berfikir,

memotifasi dirinya, dan berperilaku. Efikasi diri terbentuk melalui 4 proses utama

yaitu kognisi, motivasi, afektif, dan proses seleksi.

Keyakinan efikasi diri membantu menentukan seberapa banyak usaha

yang dikeluarkan seseorang dalam suatu perilaku, berapa lama mereka akan

bertahan dalam menghadapi rintangan, dan seberapa tangguh mereka dalam

menghadapi situasi yang merugikan (Bandura, 1999). Dilain pihak, Tomey dan

Alligood (2006) menjelaskan efikasi diri adalah keyakinan seseorang akan

kemampuan dirinya dalam mengorganisasikan, dan melaksanakan kegiatan yang

mendukung kesehatannya, berdasarkan pada tujuan dan harapan yang diinginkan.

b. Sumber Efikasi Diri

Menurut teori kognitif sosial yang diperkenalkan oleh Bandura pada tahun

1977, efikasi diri berkaitan dengan empowerment (pemberdayaan). Efikasi diri

menginspirasi orang untuk melaksanakan perilaku yang diperlukan dalam

mencapai tujuan yang diinginkan. Empat sumber utama informasi, yaitu


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 19
digilib.uns.ac.id

pencapaian prestasi, pengalaman orang lain, persuasi verbal, umpan balik

fisiologi, dan kondisi emosional yang dibutuhkan untuk membangun efikasi diri

dalam menyelesaikan tugas - tugas tertentu. Keempat sumber ini diperoleh baik

oleh pengalaman langsung maupun tidak langsung untuk mengetahui tingkat dan

kekuatan efikasi diri seseorang. Keempat sumber tersebut oleh Chen et al. (2010)

lebih lanjut dijelaskan sebagai berikut:

1) Pencapaian prestasi

Keberhasilan akan membangun kepercayaan diri seseorang, dan

sebaliknya kegagalan akan merusak rasa kepercayaan seseorang, terlebih bila rasa

kegagalan terjadi sebelum rasa keberhasilan tertanam kokoh pada dirinya. Orang

yang mengalami keberhasilan akan mudah mengharapkan hasil yang cepat dan

mudah berkecil hati bila mengalami kegagalan. Sementara itu untuk mencapai

keberhasilan, seseorang membutuhkan berbagai pengalaman dalam mengatasi

hambatan. Beberapa kesulitan dan kegagalan akan bermanfaat bagi seseorang

untuk mencapai keberhasilan yang biasanya memerlukan usaha berkelanjutan.

2) Pengalaman orang lain

Efikasi diri dapat diperkuat melalui pengalaman orang lain atau biasa

disebut model sosial. Melihat orang lain yang mirip dengan diri seseorang, dan

sukses melakukan suatu kegiatan dengan upaya yang terus menerus, akan

menimbulkan keyakinan bagi pengamat. Hal ini akan menanamkan keyakinan

bahwa mereka juga mempunyai kemampuan yang sama untuk berhasil melakukan

kegiatan tersebut. Begitupun sebaliknya, ketika seseorang mengamati orang lain

mengalami kegagalan, meskipun dengan upaya yang tinggi, hal ini akan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 20
digilib.uns.ac.id

menurunkan keyakinan terhadap keberhasilan mereka sendiri dan melemahkan

usaha mereka. Dampak dari pemodelan efikasi diri sangat dipengaruhi oleh

persamaan persepsi terhadap model yang diamati. Semakin besar kesamaan

terhadap permodelan, dianggap semakin persuasif keyakinan terhadap

keberhasilan ataupun kegagalan.

3) Persuasi verbal

Persuasi verbal adalah cara lain untuk memperkuat keyakinan seseorang

tentang efikasi diri. Persuasi verbal termasuk kalimat verbal yang memotivasi

seseorang untuk melakukan suatu perilaku melakukan kegiatan, maka mereka

akan lebih mampu bertahan ketika berada dalam kesulitan. Dan sebaliknya akan

sulit menanamkan efikasi diri pada seseorang ketika persuasi verbal tidak

mendukung dengan baik. Orang-orang yang memiliki keyakinan bahwa dirinya

kurang mampu melakukan sesuatu, maka akan cenderung menghindari potensi

melakukan aktifitas yang ada, dan akan lebih cepat menyerah dalam menghadapi

tantangan.

4) Umpan balik fisiologi dan kondisi emosional

Seseorang sering menunjukkan gejala somatik dan respon emosional

dalam menginterpretasikan sebuah ketidakmampuan. Gejala somatik dan kondisi

emosional berupa kecemasan, ketegangan, aerosal dan mood yang dapat

mempengaruhi keyakinan efikasi seseorang. Mereka akan terlihat stres dan tegang

sebagai tanda kerentanan terhadap ketidakmampuan melakukan suatu tindakan.

Dalam sebuah kegiatan yang melibatkan kekuatan stamina, orang akan mengalami

kelelahan, sakit dan nyeri sebagai tanda - tanda kelemahan fisik. Mood juga akan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 21
digilib.uns.ac.id

mempengaruhi keberhasilan seseorang. Mood yang positif akan meningkatkan

keberhasilan seseorang, begitupun sebaliknya keputusasaan akan menyebabkan

kegagalan. Orang yang mempunyai keyakinan keberhasilan yang tinggi akan

mempunyai kemauan yang efektif sebagai fasilitator dalam melakukan kegiatan,

dan begitupun sebaliknya seseorang yang penuh dengan keraguan akan

menganggap kemauan yang mereka miliki sebagai penghambat dalam melakukan

kegiatan.

c. Proses Pembentukan Efikasi Diri

1) Proses kognitif

Keyakinan efikasi diri terbentuk melalui proses kognitif, melalui perilaku

manusia dan tujuan. Penentuan tujuan dipengaruhi oleh penilaian atas kemampuan

diri sendiri. Semakin kuat efikasi diri seseorang, maka semakin tinggi seseorang

untuk berkomitmen untuk mencapai tujuan yang ditentukannya. Beberapa

tindakan pada awalnya diatur dalam bentuk pemikiran. Keyakinan tentang

keberhasilan akan membentuk sebuah skenario dimana seseorang akan berusaha

dan berlatih untuk mewujudkan keyakinannya. Mereka yang mempunyai efikasi

diri yang tinggi akan memvisualisasikan skenario keberhasilannya sebagai

panduan positif dalam mencapai tujuan, sedangkan orang yang meragukan

keberhasilnya akan memvisualisasikan skenario kegagalan dan banyak melakukan

kesalahan. Fungsi utama dari pemikiran adalah untuk memungkinkan seseorang

memprediksi kejadian dan mengembangkan cara untuk mengendalikan hidupnya

(Bandura, 1999).

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 22
digilib.uns.ac.id

2) Proses motivasional

Tingkat motivasi seseorang tercermin pada seberapa banyak upaya yang

dilakukan, dan seberapa lama bertahan dalam menghadapi hambatan. Semakin

kuat keyakinan akan kemampuan seseorang, maka akan lebih besar upaya yang

dilakukannya. Keyakinan dalam proses berfikir sangat penting bagi pembentukan

motivasi, karena sebagian besar motivasi dihasilkan melalui proses berfikir.

Mereka mengantisipasi tindakan dengan menetapkan tujuan, dan rencana program

untuk mencapai tujuannya. Proses motivasi tersebut dibentuk oleh 3 teori

pemikiran, yaitu causal attributions, outcome expectancies value theory dan

cognized goal. Keyakinan akan mempengaruhi atribusi kausal seseorang, ketika

menganggap dirinya mempunyai atribut kausal kegagalan, maka ia akan

mempunyai kemampuan yang rendah, dan begitupun sebaliknya, sedangkan

motivasi diatur oleh harapan seseorang dan nilai dari tujuan yang ditentukan

(Bandura, 1999).

3) Proses afektif

Keyakinan seseorang tentang seberapa kuat mengatasi stres dan depresi

melalui berbagai pengalaman yang dialaminya akan sangat berpengaruh pada

motivasi seseorang. Efiksi diri dapat mengendalikan depresi yaitu dengan

mengontrol stres. Seseorang yang dapat mengontrol depresi maka pikirannya

tidak akan terganggu, tetapi bagi orang - orang yang tidak bisa mengontrol

berbagai ancaman maka akan mengalami kecemasan yang tinggi. Kecemasan

tidak hanya dipengaruhi oleh mekanisme koping seseorang, tetapi juga

dipengaruhi oleh kemampuan untuk mengendalikan pemikiran yang mengganggu


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 23
digilib.uns.ac.id

(Bandura, 1999).

4) Proses seleksi

Tujuan akhir dari proses efikasi adalah untuk membentuk lingkungan yang

menguntungkan dan dapat dipertahankannya. Sebagian besar orang adalah produk

dari lingkungan. Oleh karena itu keyakinan efikasi dipengaruhi dari tipe aktifitas

dan lingkungan yang dipilihnya. Seseorang akan menghindari sebuah aktifitas dan

lingkungan bila orang tersebut merasa tidak mampu untuk melakukannya. Tetapi

mereka akan siap dengan berbagai tantangan dan situasi yang dipilihnya bila

mereka menilai dirinya mampu untuk melakukannya (Bandura, 1999).

d. Dimensi Efikasi Diri

1) Magnitude

Dimensi magnitude berfokus pada tingkat kesulitan yang tidak akan sama

pada setiap orang. Seseorang bisa mengalami tingkat kesulitan yang tinggi terkait

dengan usaha yang dilakukan, sedikit agak berat, atau ada juga yang melakukan

usaha terkait dengan sangat mudah dan sederhana (Bandura, 1999). Semakin

tinggi keyakinan efikasi diri yang dimiliki maka akan semakin mudah usaha

terkait yang dapat dilakukan.

2) Generality

Dimensi generalisasi berfokus pada harapan penguasaan terhadap

pengalaman dari usaha terkait yang telah dilakukan. Seseorang akan

menggeneralisasi keyakinan akan keberhasilan yang diperolehnya tidak hanya

pada hal tersebut, tetapi akan digunakan pada usaha yang lainnya (Bandura,

1999). commit to user


perpustakaan.uns.ac.id 24
digilib.uns.ac.id

3) Strength

Dimensi ini berfokus pada kekuatan atau keyakinan dalam melakukan

sebuah usaha. Harapan yang lemah bisa disebabkan oleh pengalaman yang buruk.

Tetapi bila seseorang mempunyai harapan yang kuat mereka akan tetap berusaha

walaupun mengalami sebuah kegagalan (Bandura, 1999).

e. Manfaat dari Keyakinan Rasa Efikasi Diri

Keberhasilan dan kesejahteraan manusia dapat dicapai dengan rasa

optimis, ketika dalam realita sosial banyak sekali tantangan hidup seperti

hambatan, kesengsaraan, kemunduran, frustasi, dan ketidakadilan yang harus

dihadapi. Seseorang harus mempunyai keyakinan keberhasilan yang kuat untuk

dapat mempertahankan usahanya. Efikasi diri yang tinggi menimbulkan daya

tahan terhadap hambatan, dan kemunduran dari setiap kesulitan yang ada. Orang

yang mengalami kecemasan akan mudah terserang depresi. Sedangkan orang yang

mempunyai rasa efikasi diri yang tinggi akan lebih mampu untuk melakukan

berbagai usaha dan latihan serta mengontrol lingkungan sekitarnya

(Bandura,1999).

Rasa efikasi diri yang tinggi yang dimiliki oleh sekelompok orang akan

dapat merubah situasi sosial. Banyaknya tantangan kehidupan yang harus

dihadapi memerlukan upaya kolektif untuk menghasilkan perubahan yang

signifikan. Efikasi diri yang tinggi menjadi suatu upaya untuk memecahkan

masalah yang mereka hadapi dan meningkatkan kualitas hidup mereka melalui

usaha yang terpadu. Dari usaha yang dilakukan inilah akan muncul suatu

penemuan baru. Rasa keyakinan yang tinggi, seberapa banyak usaha yang mereka
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 25
digilib.uns.ac.id

lakukan, dan seberapa tahan mereka terhadap hambatan yang ditemui, akan

berpengaruh terhadap keberhasilan kolektif dari usaha yang mereka lakukan

(Bandura,1999).

f. Perkembangan Efikasi Diri Selama Masa Kehidupan

1) Bersumber dari diri sendiri

Bayi yang baru dilahirkan akan mengembangkan rasa keberhasilannya

melalui eksplorasi bagaimana pengalaman yang memberikan efek terhadap

lingkungan sekitarnya. Getaran pada boks bayi atau tangisan akan membawa

orang dewasa mendekatinya, sehingga bayi belajar bahwa tindakan akan

menghasilkan efek. Bayi yang berhasil mengendalikan peristiwa lingkungannya,

akan menjadi lebih perhatian terhadap perilakunya sendiri, dan merasa berbeda

dengan bayi yang lainnya (Bandura, 1999).

2) Efikasi diri yang bersumber dari keluarga

Bayi dan anak-anak harus terus belajar untuk mengembangkan

kemampuan kognitif dan ketrampilan fisik untuk mengetahui dan mengelola

berbagai situasi sosial. Perkembangan kemampuan sensorimotorik akan

memperluas lingkungan kemampuan eksplorasi bayi dan anak-anak dalam

bermain. Tersedianya peluang ini akan memperbesar ketrampilan dasar dan rasa

keberhasilan. Pengalaman akan kesuksesan dalam menjalankan kontrol pribadi

adalah pengembangan awal kompetensi sosial dan kognitif yang berpusat di

dalam keluarga (Bandura, 1999).

3) Kelompok

Seseorang yang masuk dalam sebuah kelompok akan memperluas


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 26
digilib.uns.ac.id

kemampuan pengetahuannya. Sebagian besar pembelajaran sosial akan terjadi

diantara anggota kelompok. Perbedaan usia juga akan mempengaruhi efikasi diri

seseorang. Anggota kelompok dalam peer akan memberikan pengaruh yang besar

pada efikasi diri anggotanya. Pengaruh rasa efikasi diri rendah kepada anggota

kelompok akan mempengaruhi efikasi diri anggota kelompok lainnya, begitupun

sebaliknya (Bandura, 1999).

4) Sekolah sebagai pembentukan kognitif efikasi diri

Sekolah adalah tempat untuk mengembangkan kompetensi kognitif. Anak-

anak mengembangkan kompetensi kognitif dan pengetahuannya dalam

memecahkan masalah dengan berpartisipasi aktif di masyarakat. Kemampuan

kognisi dan pengetahuan yang dimiliki akan menjadi dasar bagi pembentukan

keyakinan akan keberhasilan. Sehingga pengalaman keberhasilan dan kegagalan

yang dialami akan membentuk efikasi diri bagi anak-anak (Bandura, 1999).

5) Pertumbuhan efikasi diri melalui pengalaman transisi masa remaja.

Remaja belajar memikul penuh tanggungjawab pribadi di semua dimensi

kehidupan. Kompetensi baru dan keyakinan akan sebuah keberhasilan perlu terus

dikembangkan. Remaja memperluas dan memperkuat rasa keberhasilannya

dengan mencoba menghadapi berbagai peristiwa kehidupan. Keyakinan akan

efikasi diri dibangun melalui penguasaan pengalaman sebelumnya (Bandura,

1999).

6) Efikasi diri masa dewasa

Dewasa muda adalah masa ketika orang harus belajar memenuhi

kebutuhan baru yang timbul karena kemitraan, hubungan perkawinan, orang tua,
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 27
digilib.uns.ac.id

ataupun pekerjaan. Pemenuhan kebutuhan baru tersebut dapat terpenuhi dengan

efikasi diri yang tinggi. Mereka yang memasuki usia dewasa muda dengan

ketrampilan yang kurang akan merasa tidak yakin dengan diri sendiri dalam

menghadapi berbagai aspek kehidupan yang menimbulkan stres dan tekanan.

Pengalaman kemampuan dan ketrampilan dalam mengelola motivasi, emosional

dan proses berfikir akan meningkatkan pengaturan efikasi diri seseorang

(Bandura, 1999).

7) Menilai kembali efikasi diri melalui bertambahnya usia

Banyak kapasitas fisik dan kognitif yang menurun pada orang lanjut usia.

Penurunan efikasi ini disebabkan karena tidak digunakannya kemampuan kognitif

dan adanya persepsi negatif terhadap harapan yang dimilikinya. Persepsi sosial ini

meningkatkan kerentanan lanjut usia terhadap stres dan depresi baik secara

langsung ataupun tidak langsung. Para lanjut usia membutuhkan keyakinan akan

keberhasilan yang kuat untuk membentuk kembali dan mempertahankan

kehidupan yang produktif (Bandura, 1999).

g. Pengaruh Efikasi Diri Pada Kualitas Hidup Pasien Asma

Penelitian oleh Sharifi et al. pada tahun 2011 menunjukkan bahwa efikasi

diri telah diterima sebagai hal yang utama dalam penanganan asma mandiri. Rhee

et al. (2009) juga memberikan bukti bahwa efikasi diri dapat meningkatkan

adherensi pengobatan (perilaku pasien untuk mengikuti anjuran dokter secara

konsisten) dengan penurunan efek barrier cognition pada pasien asma dewasa

sehingga akan meningkatkan kualitas hidup penderita asma tersebut. Pasien

commit
dengan asma ringan memiliki skor to Self
Asthma userEfficasy Scale (ASES) yang lebih
perpustakaan.uns.ac.id 28
digilib.uns.ac.id

tinggi daripada pasien dengan derajad sedang atau berat. Pada penelitian Sharifi et

al. pada tahun 2011 menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara efikasi

diri dan sikap diantara subyek penelitian. Sikap yang positif terhadap asma akan

mempengaruhi pasien, berikutnya efikasi diri akan membantu dalam penanganan

asma secara mandiri. Intinya bahwa efikasi diri dapat memberikan prediksi

terhadap kepatuhan seseorang dalam melakukan perawatan terhadap dirinya

sendiri. Efikasi diri yang tinggi akan berpengaruh terhadap peningkatan kualitas

hidup bagi pasien asma.

h. Pengukuran Efikasi Diri Pada Pasien Asma

Banyak orang dengan asma kurang percaya diri terhadap kemampuan

mereka untuk menghindari kesulitan bernapas, berpartisipasi pada berbagai

kegiatan, dan penurunan kondisi fisik. Kurangnya kepercayaan dapat dinyatakan

sebagai efikasi diri yang rendah dimana akan menyebabkan pasien asma menahan

diri dari berbagai kegiatan sehari - hari.

Asthma Self Efficasy Scale (ASES) merupakan kuesioner yang terdiri atas

8o item yang dapat digunakan untuk mengukur rasa percaya diri penderita asma

terhadap kemampuan mereka dalam mengkontrol atau menghindari serangan

asma dalam berbagai situasi. Asthma Self Efficasy Scale (ASES) terdiri atas skala

5 poin, dimana 0 mengindikasikan "tidak ada rasa percaya diri" dan 4

mengindikasikan "sangat percaya diri." Skor total dari Asthma Self Efficasy Scale

(ASES) ini adalah 320 (skor yang tinggi mengindikasikan efikasi diri pasien asma

yang lebih baik). ASES telah memperlihatkan reliabilitas dan validitasnya sebagai

commit
alat ukur terhadap efikasi diri pasien to user
asma dan telah digunakan secara luas pada
perpustakaan.uns.ac.id 29
digilib.uns.ac.id

penelitian – penelitian sebelumnya. Pada penelitian terakhir diketahui bahwa

kuesioner ini memiliki konsistensi internal yang tinggi (Cronbach's α = 0.98)

(Bacon et al., 2009).

Martin et al. (2009) dalam penelitian yang dilakukan di Chicago

mengadaptasi ASES yang semula berisi 80 pertanyaan kemudian disederhanakan

menjadi 20 pertanyaan yang sebelumnya dilakukan uji validitas dan reabilitas

secara berulang – ulang. Kuesioner The Chicago Initiative to Raise Asthma Health

Equity (CHIRAH) Asthma Self-Efficacy Scale (ASES) ini terdiri atas 5 dimensi

efikasi diri penderita asma yang meliputi manajemen serangan akut (6

pertanyaan), asma kontrol (5 pertanyaan), emosi dan lingkungan (4 pertanyaan),

hubungan dengan dokter (4 pertanyaan), dan penggunaan obat controller regular

(1 pertanyaan). CHIRAH ASES terdiri atas skala 4 poin, dimana 0

mengindikasikan "tidak yakin" dan 3 mengindikasikan "sangat yakin." Sementara

koefisien reliabilitas (α Cronbach) berkisar antara 0.77 - 0.82 yang

mengindikasikan reliabilitas internal yang kuat. Nilai total efikasi diri dihitung

dengan skor / nilai rata-rata untuk 5 dimensi.

Namun Dr. Sinthia Bosnic-Anticevich pada tahun 2005 dari University of

Sydney, meneliti tentang efikasi diri pada pasien asma dengan menggunakan

Knowledge, Attitude, and Self-Efficacy Asthma Questionnaire (KASE-AQ) yang

diciptakan oleh Wigal et al.(1993). KASE-AQ adalah instrumen yang telah diuji

validitas dan reabilitasnya. KASE-AQ berisi serangkaian pernyataan yang ditulis

oleh pasien asma untuk menilai efikasi diri partisipan (pasien asma) tentang

kemampuan mereka untuk mengontrol asma, dan juga untuk membangun


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 30
digilib.uns.ac.id

pandangan, serta pengetahuannya yang berkaitan dengan kondisi mereka saat ini.

Kuesioner ini terdiri atas 60 item, dengan rincian 20 item yang terkait dengan

pengetahuan asma, 20 item yang terkait dengan attitude pasien, dan 20 item

berhubungan dengan efikasi diri pasien. Anticevich (2005) mengadaptasi

kuesioner KASE-AQ ini dan hanya mengambil 20 item yang berkaitan dengan

efikasi diri sebagai tolok ukur efikasi diri pasien asma dalam penelitian yang

dilakukannya di Australia.

3. Dukungan Keluarga

a. Pengertian Keluarga

Menurut Setiadi (2008) keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat,

terdiri dari kepala keluarga dan beberapa orang yang berkumpul dan tinggal di

suatu tempat di bawah satu atap dalam keadaan saling tergantung. Keluarga

merupakan bagian dari masyarakat yang peranannya sangat penting untuk

membentuk kebudayaan yang sehat. Di keluarga inilah pendidikan kepada

individu dimulai dan dari keluarga inilah akan tercipta tatanan masyarakat yang

baik, sehingga untuk membangun suatu kebudayaan maka seyogyanya dimulai

dari keluarga.

Saragih (2010) menyatakan keluarga adalah suatu ikatan atau persekutuan

hidup atas dasar perkawinan antara orang dewasa yang berlainan jenis yang hidup

bersama atau seorang laki-laki atau seorang perempuan yang sudah sendirian

dengan atau tanpa anak, baik anaknya sendiri atau adopsi, dan tinggal dalam

sebuah rumah tangga. Dari uraian tersebut diatas maka dapat disimpulkan bahwa

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 31
digilib.uns.ac.id

keluarga adalah bagian dari masyarakat yang terkecil yang dapat melahirkan suatu

ikatan atas dasar perkawinan, pertalian darah ataupun adopsi.

Pembagian tipe keluarga bergantung pada konteks keilmuan dan orang

yang mengelompokkan secara tradisional keluarga dikelompokkan menjadi dua

yaitu: (1) Keluarga inti adalah keluarga yang hanya terdiri dari hanya terdiri dari

ayah, ibu, dan anak yang diperoleh dari keturunannya atau adopsi atau keduanya,

(2) Keluarga besar adalah keluarga inti ditambah anggota keluarga lain yang

masih mempunyai hubungan darah (kakek - nenek, paman - bibi). Namun,

menurut Suprajitno (2004) dengan berkembangnya peran individu dan

meningkatnya rasa individualisme, pengelompokkan tipe keluarga selain kedua di

atas berkembang menjadi:

(1) Keluarga bentukan kembali adalah keluarga baru yang terbentuk dari

pasangan yang telah cerai atau kehilangan pasangannya.

(2) Orangtua tunggal adalah keluarga yang terdiri dari salah satu orang tua dengan

anak-anak akibat perceraian atau ditinggal pasangannya.

(3) Ibu dengan anak tanpa perkawinan.

(4) Orang dewasa (laki-laki atau perempuan) yang tinggal sendiri tanpa pemah

menikah.

(5) Keluarga dengan anak tanpa pemikahan sebelumnya.

(6) Keluarga yang dibentuk oleh pasangan yang berjenis kelamin sama.

b. Struktur Keluarga

1). Tugas-Tugas Keluarga

Pada dasamya tugas keluarga ada delapan tugas pokok sebagai berikut:
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 32
digilib.uns.ac.id

- Pemeliharaan fisik keluarga dan para anggotanya.

- Pemeliharaan sumber-sumber daya yang ada dalam keluarga.

- Pembagian tugas masing - masing anggotanya sesuai dengan kedudukannya

masing - masing.

- Sosialisasi antar anggota keluarga.

- Pengaturan jumlah anggota keluarga.

- Pemeliharan ketertiban anggota keluarga.

- Penempatan anggota - anggota keluarga dalam masyarakat yang lebih luas.

- Membangkitkan dorongan dan semangat para anggota keluarga (Saragih, 2010).

2). Fungsi Pokok keluarga

Secara umum fungsi keluarga adalah sebagai berikut:

- Fungsi efektif, fungsi keluarga yang utama untuk mengajarkan segala sesuatu

untuk mempersiapkan anggota keluarga berhubungan dengan orang lain.

- Fungsi sosialisasi, fungsi mengembangkan dan tempat melatih anak untuk

kehidupan sosial sebelum meninggalkan rumah untuk berhubungan dengan

orang lain di luar rumah.

- Fungsi reproduksi, untuk mempertahankan generasi dan menjaga kelangsungan

keluarga.

- Fungsi ekonomi, keluarga berfungsi untuk memenuhi kebutuhan keluarga

secara ekonomi dan tempat untuk mengembangkan kemampuan individu dalam

meningkatkan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan keluarga.

- Fungsi perawatan / pemeliharaan kesehatan, untuk mempertahankan keadaan

kesehatan anggota keluarga agar tetap memiliki produktivitas tinggi (Friedman,


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 33
digilib.uns.ac.id

2000).

c. Peranan Keluarga

Manakala keluarga tahu bahwa salah satu anggotanya menderita penyakit

kronik seperti asma, maka lazimnya pihak keluarga tidak dapat melepaskan diri

dari keterlibatan dalam menghadapi penderitaan ini. Sebagian keluarga

menunjukkan rasa simpati dan kasihan, namun sebagian lain bersikap menolak

akan kenyataan ini. Peranan keluarga amat penting, pihak keluarga yang penuh

pengertian dan kooperatif dengan pihak perawatan dan memberikan dorongan

moril penuh kepada penderita, akan banyak membantu dalam penatalaksanaan

penderita asma. Dalam banyak hal, ternyata respon penderita terhadap pengobatan

sedikit banyaknya ditentukan oleh faktor keluarga dalam memberikan reaksi

terhadap penyakit yang dideritanya (Saragih, 2010).

d. Pengertian Dukungan Keluarga

Dukungan keluarga adalah sikap, tindakan dan penerimaan keluarga

terhadap penderita yang sakit (Suprajitno, 2004). Menurut (Friedman, 2000),

keluarga berfungsi sebagai sistem pendukung bagi anggotanya. Anggota keluarga

juga memandang bahwa orang yang bersifat mendukung selalu siap memberikan

pertolongan dan bantuan jika diperlukan.

Dukungan keluarga adalah persepsi seseorang bahwa dirinya menjadi

bagian dari jaringan sosial yang didalamnya tiap anggotanya saling mendukung.

Dukungan keluarga didefinisikan oleh Gottlieb dalam Zaenuddin (2002), yaitu

informasi verbal atau non verbal, saran, bantuan yang nyata atau tingkah laku

yang diberikan oleh orang - orangcommit to user


yang akrab dengan subyek di dalam lingkungan
perpustakaan.uns.ac.id 34
digilib.uns.ac.id

sosialnya atau yang berupa kehadiran dan hal - hal yang dapat memberikan

keuntungan emosional atau berpengaruh pada tingkah laku penerimanya. Dalam

hal ini orang yang merasa memperoleh dukungan sosial, secara emosional merasa

lega karena diperhatikan, mendapat saran atau kesan yang menyenangkan pada

dirinya. Menurut Saurasan dalam Zaenuddin (2002), dukungan keluarga adalah

keberadaan, kesedihan, kepedulian, dari orang - orang yang dapat diandalkan,

menghargai dan menyayangi kita.

Pandangan yang sama juga dikemukakan oleh Cabb dalam Zaenuddin

(2002), mendefinisikan dukungan keluarga sebagai adanya kenyamanan,

perhatian, penghargaan atau menolong orang dengan sikap menerima kondisinya,

dukungan keluarga tersebut diperoleh dari individu maupun kelompok.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa

dukungan keluarga merupakan suatu bentuk perhatian, dorongan yang didapatkan

individu dari orang lain melalui hubungan interpersonal yang meliputi perhatian,

emosional dan penilaian.

e. Bentuk Dukungan Keluarga

Menurut Saragih (2010) bentuk dukungan keluarga terdiri dari enam

macam dukungan yaitu:

1) Dukungan penghargaan (Appraisal Support)

Yaitu keluarga bertindak sebagai sebuah umpan balik, membimbing dan

menengahi pemecahan masalah dan sebagai sumber dan validator identitas

keluarga.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 35
digilib.uns.ac.id

2) Dukungan materi / finansial (Tangible Assistance)

Stres finansial biasanya mempengaruhi sistem keluarga dan

mengakibatkan hancumya keluarga. Tagihan- tagihan medis mengharuskan ibu

bekerja dan ayah melakukan pekerjaan sambilan, sehingga liburan dan

aktivitas-aktivitas waktu luang hilang, ketegangan perkawinan memuncak

sehingga mengancam hubungan keluarga.

Perceraian, pisah, anak - anak yang berandal, masalah - masalah

psikosomatis, penyalahgunaan obat - obatan merupakan gejala dari efek - efek

kacau balau jangka panjang yang ditimbulkan oleh stres finansial.

3) Dukungan informasi (Information Support)

Yaitu keluarga berfungsi sebagai sebuah kolektor dan diseminator

(penyebar informasi). Merupakan dukungan yang berupa pemberian informasi,

saran dan umpan balik tentang bagaimana seseorang untuk mengenal dan

mengatasi masalahnya dengan lebih mudah.

4) Dukungan emosional (Emosional Support)

Keluarga sebagai tempat yang aman dan damai untuk istirahat dan

pemulihan serta membantu penguasaan terhadap emosi merupakan dukungan

emosional yang mencakup ungkapan empati, kepedulian dan perhatian

terhadap orang yang bersangkutan misalnya penegasan, reward, pujian, dan

sebagainya.

5) Dukungan Instrumental

Yaitu keluarga merupakan sumber pertolongan praktis dan konkrit.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 36
digilib.uns.ac.id

6) Dukungan spiritual

Sesungguhnya kepercayan terhadap Tuhan dan berdoa diidentifikasikan

oleh keluarga sebagai cara paling penting bagi keluarga untuk mengatasi suatu

stressor yang berkaitan dengan kesehatan atau sebagai suatu metode dan sangat

penting dan sangat sering digunakan, karena agama sebagai cara paling penting

untuk menangani penyakit kronis termasuk asma ini.

f. Sumber Dukungan Keluarga

Dukungan keluarga mengacu kepada dukungan sosial yang dipandang

oleh keluarga sebagai sesuatu yang dapat diadakan untuk keluarga. Dukungan

keluarga dapat berupa dukungan keluarga internal, seperti dukungan dari suami

atau istri atau dukungan dari saudara kandung atau dukungan keluarga eksternal

(Friedman, 2000).

Menurut Rook dan Dooley dalam Kuncoro (2002), ada dua sumber

dukungan keluarga yaitu sumber natural dan sumber artifisial. Dukungan keluarga

yang natural diterima seseorang melalui interaksi sosial dalam kehidupannya

secara spontan dengan orang - orang yang berada disekitarnya misalnya anggota

keluarga (anak, istri, suami, dan kerabat) teman dekat atau relasi. Dukungan

keluarga ini bersifat non formal sementara itu dukungan keluarga artifisial adalah

dukungan sosial yang dirancang ke dalam kebutuhan primer seseorang misalnya

dukungan keluarga akibat bencana alam melalui berbagai sumbangan sosial.

Sehingga sumber dukungan keluarga natural memiliki berbagai perbedaan jika

dibandingkan dengan dukungan keluarga artifisial perbedaan tersebut terletak

pada: commit to user


perpustakaan.uns.ac.id 37
digilib.uns.ac.id

1) Keberadaan sumber dukungan keluarga natural bersifat apa adanya tanpa

dibuat - buat sehingga lebih mudah diperoleh dan bersifat spontan.

2) Sumber dukungan keluarga yang natural memiliki kesesuaian dengan nama

yang berlaku tentang kapan sesuatu harus diberikan.

3) Sumber dukungan keluarga yang natural berakar dari hubungan yang telah

berakar lama.

4) Sumber dukungan keluarga yang natural memiki keragaman dalam

penyampaian dukungan sosial, mulai dari pemberian barang nyata hingga

sekedar menemui seseorang dengan menyampaikan salam.

5) Sumber dukungan keluarga yang natural terbebas dari bebas dan label

psikologis.

g. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Dukungan Keluarga

Faktor - faktor yang mempengaruhi dukungan keluarga menurut

Hardywinoto dan Setiabudi (1999) antara lain sebagai berikut:

1) Faktor instrinsik antara lain sebagai berikut:

a) Usia

Merupakan penyesuaian yang harus dilaksanakan baik yang prioritas

pada diri sendiri maupun orang lain. Berubahnya usia menuntut seseorang

untuk dapat mengatasi permasalahan yang terjadi pada dirinya.

b) Jenis kelamin

Pemberi perawatan pada lansia adalah perempuan dan anak perempuan

c) Pendidikan

Tingkat pendidikan mempengaruhi kemampuan seseorang untuk men-


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 38
digilib.uns.ac.id

dengar, menyerap informasi, menyelesaikan masalah dan sistem nilai,

perilaku serta gaya hidup.

d) Pekerjaan.

Pekerjaan akan berdampak pada kemampuan keluarga untuk

memberikan fasilitas perawatan yang lebih baik.

2) Faktor ekstrinsik antara lain sebagai berikut:

a) Peran keluarga dalam kesehatan.

Dukungan keluarga menahan efek - efek negatif dari stres terhadap

kesehatan dan dukungan keluarga secara langsung mempengaruhi akibat-

akibat dari kesehatan.

b) Latar belakang keluarga.

Keluarga besar dan kecil secara kualitatif menggambarkan

pengalaman-pengalaman perkembangan.

c) Tahap siklus kehidupan keluarga.

Dalam semua tahap siklus kehidupan, dukungan sosial keluarga

membuat keluarga mampu berfungsi dengan berbagai kepandaian dan akal.

Sebagai akibatnya, hal ini meningkatkan kesehatan dan adaptasi keluarga

(Friedman, 2000).

4. Kualitas Hidup

a. Definisi Kualitas Hidup

Pengertian kualitas hidup masih menjadi suatu permasalahan, sampai saat

ini masih belum ada suatu pengertian yang dapat diterima secara luas untuk

commit
menilai kualitas hidup seseorang. to user
Kualitas hidup merupakan suatu ide yang
perpustakaan.uns.ac.id 39
digilib.uns.ac.id

abstrak tidak terkait oleh tempat dan waktu, bersifat situasional dan meliputi

berbagai konsep yang saling tumpang tindih (Kinghron & Gamlin, 2004, dalam

Kusuma, 2011).

Kualitas hidup merupakan salah satu bagian dari Report Outcome (PRO)

yang didifinisikan secara subyektif oleh yang bersangkutan dan multidimensial.

Kualitas hidup mengacu pada domain fisik, psikologis dan sosial kesehatan yang

unik untuk setiap individu. Masing - masing domain dapat diukur dengan tujuan

penilaian status kesehatan dari perspektif subyek kesehatan. Aspek lain yang

dinilai dalam kualitas hidup termasuk pendapatan, kebebasan dan lingkungan

(Gupta & Kant, 2009).

WHO mendefinisikan kualitas hidup sebagai persepsi kehidupan individu

dalam konteks sistem budaya dan nilai dimana mereka hidup berhubungan dengan

tujuan, harapan, standar dan kekhawatiran yang dihadapinya. Kualitas hidup

menyangkut dimensi yang lebih luas termasuk kesehatan fisik, psikologis, tingkat

kemandirian, hubungan sosial, keyakinan penyakit yang diderita dan lingkungan

(WHO, 1997).

Patrik & Erickson (1996) (dalam Gupta & Kant, 2009) mendefinisikan

kualitas hidup adalah nilai yang diberikan selama hidupnya berlangsung dan

dipengaruhi oleh penyakit, cidera, pengobatan atau kebijakan lainnya. Farquahar

(1995) (dalam Gupta & Kant, 2009) menjelaskan kualitas hidup adalah sebuah

model konseptual, yang bertujuan untuk menggambarkan perspektif seseorang

dengan berbagai macam istilah terhadap dimensi kehidupan. Dengan demikian

pengertian kualitas hidup ini akan berbeda bagi orang sakit dengan orang yang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 40
digilib.uns.ac.id

sehat. Aspek yang paling banyak berkaitan dengan kualitas hidup adalah

wellbeing, satisfaction with life & happiness. Wellbeing diartikan sebagai hidup

yang sejahtera, tidak hanya secara superfisial tetapi termasuk pemenuhan

kebutuhan dan realisasi diri. Satisfaction with life adalah perasaan bahwa ketika

harapan, kebutuhan, dan keinginan seseorang itu terpenuhi maka orang tersebut

akan merasa puas. Happiness yang berarti bahagia, merupakan sesuatu yang

terdapat di dalam diri seseorang yang melibatkan keseimbangan khusus di dalam

dirinya (Ventegodt dalam Kusuma, 2011).

b. Faktor yang Berhubungan dengan Kualitas Hidup Pasien Asma

Berdasarkan penelitian Lavoie et al. (2008) dikatakan bahwa rasa percaya

diri pasien terhadap kemampuannya untuk mengontrol gejala asma berkaitan

dengan kualitas hidup pasien yang lebih baik. Semakin tinggi rasa percaya diri

pasien tersebut untuk mengontrol gejala asmanya, maka akan semakin tinggi pula

kualitas hidup pasien tersebut. Hasil penelitian Syafiuddin (2007) membuktikan

adanya perbedaan kualitas hidup yang dinilai dari aspek kesehatan seperti gejala

batuk, sesak napas dan gangguan tidur antara kelompok pengobatan apropiate dan

adekuat.

Studi yang dilakukan oleh Spiric (2004) menghasilkan faktor - faktor yang

berhubungan dengan kualitas hidup pasien asma. Adapun faktor yang

berhubungan dengan kualitas hidup pasien adalah berat penyakit, tempat tinggal

dan kondisi cuaca (p< 0.05). Selain itu Spiric menemukan tidak ada hubungan

antara jenis penyakit asma, jenis kelamin dan polusi udara dengan kualitas hidup

pasien asma. Sementara Oemiaticommit


et al. to user melaporkan hasil penelitiannya
(2010)
perpustakaan.uns.ac.id 41
digilib.uns.ac.id

bahwa faktor yang mempengaruhi kualitas hidup penderita asma antara lain yaitu

umur, jenis pekerjaan, riwayat pendidikan, penyakit TBC, ISPA, alergi dermatitis,

rhinitis, merokok, dan konsumsi bahan pengawet.

Aini, Hasneli dan Dewi (2011) menambahkan bahwa usia penderita

berpengaruh terhadap kualitas hidup, semakin meningkat umur maka semakin

besar pula kemungkinan mendapatkan penyakit dan kekambuhan asma.

Responden berumur > 60 tahun berisiko 4,5 kali dibandingkan responden yang

berusia 10-19 tahun. Berdasarkan beberapa studi diketahui bahwa asma pada

masa kanak - kanak tetap dapat bertahan sampai dewasa dan ada juga asma yang

bisa menghilang selama bertahun-tahun tetapi muncul kembali sesuai dengan

pertambahan umur. Disamping itu terjadi penurunan fungsi paru- paru dan

peradangan jalan nafas seiring dengan peningkatan usia.

Bacon et al. (2009) mengatakan bahwa tingkat sosial ekonomi penderita

asma memiliki kaitan terhadap baik buruknya kualitas hidup, dimana pasien

dengan sosial ekonomi baik akan berhubungan dengan kualitas hidup yang baik

dan demikian pula sebaliknya. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Rhee

et al. pada tahun 2010 disebutkan bahwa dukungan keluarga sebagai prekursor

terhadap kualitas hidup penderita asma. Dukungan keluarga yang kuat terhadap

pasien asma dapat memperbaiki persepsi negatif melalui komunikasi yang efektif,

sehingga menumbuhkan pandangan positif tentang pengobatan asma bronkial.

Selain itu, pada pasien remaja maka dukungan orang tua dapat berperan aktif

dalam menjembatani kesenjangan komunikasi antara remaja dan dokter mereka,

sehingga dapat meredakan rasa ketidakpercayaan atau ketidakpuasan terhadap


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 42
digilib.uns.ac.id

dokter yang menangani pasien tersebut. Keluarga juga dapat mengimbangi

masalah yang berkaitan dengan kognitif pasien (misalnya, pasien yang pelupa atau

kesulitan dalam memahami regimen pengobatan) dengan menyediakan

lingkungan yang kondusif bagi pasien untuk menjaga kepatuhannya dalam

mengendalikan serangan asma.

c. Penilaian Kualitas Hidup Pasien Asma

Kualitas hidup mengacu pada dampak penyakit pada kegiatan sehari-hari

dan bagaimana individu beradaptasi dengan penyakit di berbagai domain

(misalnya, emosional, aktivitas fisik dan kegiatan sosial. Kualitas hidup pasien

asma merupakan ukuran penting, karena berhubungan dengan keadaan sesak yang

akan menyulitkan pasien asma melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari, atau

terganggu status fungsionalnya seperti merawat diri, mobilitas, makan,

berpakaian, dan aktivitas rumah tangga (Fiese, Winter & Botti, 2011).

Secara garis besar instrumen untuk mengukur kualitas hidup dapat dibagi

menjadi 2 macam, yaitu instrumen umum (generic scale) dan instrumen khusus

(specific scale). Instrumen umum adalah instrumen yang dipakai untuk mengukur

kualitas hidup secara umum pada pasien penyakit kronis. Instrumen ini digunakan

untuk menilai secara umum mengenai kemampuan fungsional, ketidakmampuan

dan kekuatiran yang timbul akibat penyakit yang diderita. Instrumen khusus

adalah instrumen yang dipakai untuk mengukur suatu khusus dari penyakit pada

populasi tertentu (misalnya pada pasien penyakit paru) atau fungsi yang khusus

(misalnya fungsi saluran nafas). Berikut ini adalah instrumen yang dapat

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 43
digilib.uns.ac.id

digunakan untuk mengukur kualitas hidup yang berhubungan dengan status

kesehatan:

1. Instrumen Umum

1) Sickness Impact Profile (SIP)

Sickness Impact Profile (SIP) adalah salah satu intrumen yang bersifat

umum dan paling banyak digunakan. SIP dikembangkan oleh Berger pada tahun

1972 dan sejak saat itu telah digunakan secara ekstensif dalam berbagai penelitian

klinis. SIP berisi dari 136 item dibagi menjadi 12 domain. 3 domain menerangkan

tentang kondisi fisik yang terdiri dari : ambulatori, mobilitas, perawatan tubuh dan

gerakan. 4 domain menerangkan tentang psikososial yang terdiri dari: interaksi

sosial, perilaku kewaspadaan, perilaku emosional dan komunikasi. 5 domain

lainnya menerangkan tentang independen yang terdiri dari: tidur dan istirahat,

makan, bekerja, manajemen rumah, rekreasi dan masa lalu. Namun kelemahan

yang dari SIP ini adalah memerlukan waktu yang relatif lama sekitar 20-30 menit

untuk menyelesaikan pengisian kuesioner (Gupta & Kant, 2009).

2) Short Form - 36 (SF 36)

Short Form - 36 (SF 36) merupakan skala untuk mengukur fungsi

kesehatan fisik dan mental. SF 36 terdiri dari 36 butir pertanyaan yang

menggambarkan 8 sub skala (Lina, 2008):

- Fungsi fisik (physical functioning)

Terdiri dari 10 pertanyaan yang menilai kemampuan aktivitas fisik

seperti berjalan, menaiki tangga, membungkuk, mengangkat dan gerak badan.

Nilai yang rendah menunjukkan keterbatasan semua aktivitas tersebut, sedangkan


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 44
digilib.uns.ac.id

nilai yang tinggi menunjukkan kemampuan melakukan semua aktivitas fisik

termasuk latihan berat.

- Keterbatasan akibat masalah fisik (role of physical)

Terdiri dari 4 pertanyaan yang mengevaluasi seberapa besar kesehatan

fisik dapat mengganggu pekerjaan dan aktivitas sehari -hari lainnya. Nilai yang

rendah menunjukkan bahwa kesehatan fisik menimbulkan masalah terhadap

aktivitas sehari-hari, antara lain tidak dapat melakukannya dengan sempurna,

terbatas dalam melakukan aktivitas tertentu atau kesulitan di dalam melakukan

aktivitas. Nilai yang tinggi menunjukkan kesehatan fisik tidak menimbulkan

masalah terhadap pekerjaan ataupun aktivitas sehari - hari.

- Perasaan sakit / nyeri (body pain)

Terdiri dari 2 pertanyaan yang mengevaluasi intensitas rasa nyeri dan

pengaruh nyeri terhadap pekerjaan normal, baik di dalam maupun di luar rumah.

Nilai yang rendah menunjukkan rasa sakit yang sangat berat dan sangat

membatasi aktivitas. Nilai yang tinggi menunjukkan tidak ada keterbatasan yang

disebabkan oleh rasa nyeri.

- Persepsi kesehatan umum (general health)

Terdiri dari 5 pertanyaan yang mengevaluasi kesehatan saat ini dan

ramalan tentang kesehatan serta daya tahan terhadap penyakit. Nilai yang rendah

menunjukkan memburuknya perasaan terhadap kesehatan diri sendiri. Nilai yang

tinggi menunjukkan persepsi terhadap kesehatan diri sendiri yang sangat baik.

- Energi (vitality)

Terdiri dari 4 pertanyaan yang mengevaluasi tingkat kelelahan, capek, dan


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 45
digilib.uns.ac.id

lesu. Nilai yang rendah menunjukkan perasaan lelah, capek, dan lesu sepanjang

waktu. Nilai yang tinggi menunjukkan perasaan penuh semangat dan berenergi.

- Fungsi sosial (social functioning)

Terdiri dari 2 pertanyaan yang mengevaluasi tingkat kesehatan fisik atau

masalah emosional yang mengganggu aktivitas sosial normal. Nilai yang rendah

menunjukkan gangguan yang sering. Nilai yang tinggi menunjukkan tidak adanya

gangguan.

- Keterbatasan akibat masalah emosional (role emotional)

Terdiri dari 3 pertanyaan atau aktivitas sehari - hari lainnya. Nilai yang

rendah menunjukkan masalah emosional yang mengganggu aktivitas, termasuk

menurunnya waktu yang dihabiskan untuk beraktivitas, pekerjaan menjadi kurang

sempurna, bahkan tidak dapat bekerja sepertinya biasanya. Nilai yang tinggi

menunjukkan tidak adanya gangguan aktivitas karena masalah emosional.

- Kesejahteraan mental (mental health)

Terdiri dari 5 pertanyaan yang mengevaluasi kesehatan mental secara

umum termasuk depresi, kecemasan dan kebiasaan mengontrol emosional. Nilai

yang rendah menunjukkan perasaan tegang dan depresi sepanjang waktu. Nilai

yang tinggi menunjukkan perasaan tenang dan bahagia dan penuh kedamaian.

Skala SF 36 ini kemudian dibagi menjadi 2 dimensi, yaitu: persepsi

kesehatan umum, energi, fungsional sosial dan keterbatasan akibat masalah

emosional disebut sebagai dimensi kesehatan mental (mental component scale),

sementara fungsi fisik, keterbatasan akibat masalah fisik, perasaan sakit/nyeri,

persepsi kesehatan umum dan energi disebut sebagai dimensi kesehatan fisik
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 46
digilib.uns.ac.id

(physical component scale). Masing -masing skala dinilai 0 - 100, dan skor yang

lebih tinggi menandakan kualitas hidup yang lebih baik.

3) Short Form - 12 (SF 12)

SF-12 adalah ringkasan dari versi SF-36 yang terdiri atas 12 item. SF-12

telah digunakan pada populasi study dan pada penderita asma. Instrumen ini

mengurangi biaya dan beban dari responden. SF-12 lebih efisien untuk mengukur

seluruh domain kualitas hidup dengan validitas, reliabilitas dan sensitivitas yang

dapat diterima serta dapat digunakan pada monitoring kesehatan populasi yang

lebih luas. Keuntungan tambahan dari SF-12 yaitu termasuk single item

pengukuran status kesehatan yang sering dikaitkan dengan SF-1 yang telah

digunakan pada banyak survey populasi.

2. Instrumen Khusus

Asma Quality of Life Questioner (AQLQ) dikembangkan untuk mengukur

gangguan fungsional yang dialami oleh orang dewasa ≥ 17 tahun. Kuesioner ini

memiliki 32 item dalam empat domain (gejala, aktivitas keterbatasan, fungsi

emosional dan stimulus lingkungan) (Juniper, 2005 dan Bacon et al., 2009).

Kuesioner berasal dari Juniper ini dapat lebih spesifik digunakan pada

pasien asma. AQLQ terdiri dari 32 item yang mengukur 4 dimensi kesehatan yaitu

12 item menilai gejala, 5 item mengukur fungsi emosional, 4 item menilai paparan

terhadap rangsangan lingkungan dan 11 item fokus pada pembatasan aktivitas

(Spiric, 2004). Pasien memberi skor tiap item pada suatu skala ordinal yang terdiri

atas 7 poin. AQLQ skor 1 menunjukkan kualitas hidup yang sangat buruk dan
commit to user
skor 7 jika tidak ada gangguan kualitas hidup (Spiric, 2004 dan Scala, 2005).
perpustakaan.uns.ac.id 47
digilib.uns.ac.id

Kuesioner AQLQ memiliki nilai alpha Cronbachs 0.93 yang berarti validitas dan

reliabilitas kuesioner ini sangat baik untuk digunakan (Bacon et al., 2009 dan

Spiric 2004).

Sementara itu di Australia digunakan AQLQ - Sydney. Kuesioner kualitas

hidup yang dikembangkan terdiri dari 20 butir pertanyaan. Hasil uji validitas dan

reliabilitas AQLQ – Sydney dengan nilai alpha Cronbach 0.97 (Miedingera,

2006). Miedingera melakukan penelitian hasil validasi AQLQ - Sydney setelah

diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman. Hasil pengujian validitas dan reliabilitas

menunjukkan nilai alpha Cronbach sebesar 0.94 (sekitar 0.83 - 0.94).

Marks, Dunn dan Woolcock (1992) melakukan penelitian mengenai skala

pengukuran kualitas hidup pasien asma dewasa yang terdiri atas 20 pertanyaan.

Kuesioner ini terdiri atas 4 dimensi yaitu sesak napas (breathlessness), gangguan

mood, gangguan sosial dan kepedulian terhadap kesehatan. Sampel penelitian

memperlihatkan dampak dari asma mereka terhadap kualitas hidup pada skala

Likert 1 sampai 5 (1 = 'tidak sama sekali', 5 = 'sangat parah'). Kuesioner ini

konsisten secara internal dalam sampel pasien rawat jalan (alpha Cronbach 0.92

pada 77 subyek penelitian) dan dalam sampel masyarakat dengan asma (alpha

Cronbach 0.94 pada 87 subyek penelitian).

Juniper (2005) kemudian mengembangkan kuesioner yang diperuntukkan

untuk remaja dan dewasa dengan nama AQLQ (S) yaitu Asma Quality of Life

Questioner (Standard). Namun kuesioner inipun dimodifikasi dengan nama

AQLQ 12+. Hal ini dikarenakan batas usia klinis penderita asma diturunkan

menjadi 12 tahun. Terdapat sedikit perubahan antara AQLQ (S) dengan AQLQ
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 48
digilib.uns.ac.id

12+. Dalam penelitiannya Juniper (2005) mendapatkan hasil pengukuran yang

sama antara usia 12-17 tahun dengan usia 12 tahun. Hal ini berarti AQLQ 12+

dapat digunakan pada usia 12 tahun ke atas (cocok untuk usia remaja > 12 tahun

dan usia dewasa). Selain kuesioner untuk remaja dan dewasa, Juniper sebelumnya

telah mengembangkan kuesioner pengukuran untuk anak-anak dengan nama

PAQLQ (Pediatric Asma Quality of Life Questioner) (Scala, 2005).

PAQLQ digunakan untuk mengukur kualitas hidup pasien asma usia 7 s.d

17 tahun. Scala (2005) mengembangkan kuesioner PAQLQ - A dengan

menerjemahkan kuesioner PAQLQ ke dalam bahasa Portugis. Hasil pengujian

validitas dan reliabilitas menunjukkan nilai alpha Cronbach sebesar 0.909.

B. Penelitian Relevan

1. Imelda S., Yunus F., Wiyono W.H. (2007), dalam penelitiannya yang

berjudul “Hubungan Derajat Asma dengan Kualitas Hidup yang Dinilai

dengan Asthma Quality of Life Questionaire” menyimpulkan bahwa derajat

asma mempengaruhi kualitas hidup pada pasien asma derajat sedang

dibandingkan derajat ringan, sedangkan kualitas hidup tidak dipengaruhi oleh

derajat asma pada pasien asma derajat berat dibandingkan derajat sedang.

Hubungan antara kualitas hidup dengan gejala klinis mempunyai korelasi

sedang – kuat sedangkan kualitas hidup dengan nilai fungsi paru mempunyai

korelasi lemah.

2. Rhee H., Belyea MJ., dan Brasch J. (2010), dalam penelitiannya yang

berjudul “Family Support and Asthma Outcomes in Adolescents: Barriers to


commit to user
Adherence as a Mediator” menyimpulkan bahwa dukungan keluarga yang
perpustakaan.uns.ac.id 49
digilib.uns.ac.id

kuat dikaitkan dengan kemampuan untuk mengontrol asma dan kualitas

hidup pada remaja yang semakin baik.

3. Lavoie KL, Bouchard A, Joseph M, Campbell TS, Favreau H, Bacon SL.

(2008), dalam penelitiannya yang berjudul “Association of Asthma Self-

Efficacy to Asthma Control and Quality of Life” menyimpulkan bahwa rasa

percaya diri pada seseorang dalam mengontrol gejala asma berhubungan

dengan semakin baiknya asthma control dan kualitas hidup pasien asma.

4. Chen SY, Sheu S, Chang CS, Wang TH, Huang MS (2010), dalam

penelitiannya yang berjudul “The Effects of the Self-Efficacy Method on Adult

Asthmatic Patient Self-Care Behavior” menyimpulkan bahwa pemberian

program efikasi diri pada pasien asma memiliki pengaruh positif dalam

menumbuhkan rasa percaya diri pasien asma dan dapat memperbaiki

kemampuan dalam menjaga perilaku sehari – hari. Selain itu pasien dengan

efikasi diri yang tinggi memiliki kemampuan yang lebih baik dalam

mengontrol penyakitnya. Sebaliknya, pasien dengan efikasi diri yang rendah

sering merasa depresi dan pesimis sehingga pada akhirnya dapat

menimbulkan komplikasi yang akan memperburuk keadaannya.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 50
digilib.uns.ac.id

C. Kerangka Berpikir

Faktor yang mempengaruhi: Faktor yang mempengaruhi:


Pencapaian prestasi Instrinsik (pendidikan, jenis
Pengalaman orang lain kelamin, usia, pekerjaan)
Persuasi verbal Ekstrinsik (peran keluarga
Umpan balik fisiologis dan dalam kesehatan, latar bela-
kondisi emosional kang keluarga, tahapan siklus
kehidupan keluarga)

Aderensi Efikasi Terapi yang Dukungan Sosial


Pengobatan Diri Diberikan Keluarga Ekonomi

Jenis
Derajad Meningkatkan aderensi - Dukungan emosional Pekerjaan
Asma pengobatan - Dukungan n
Mengendalikan faktor pencetus penghargaan
Menurunkan tingkat stress - Dukungan materi
Menjaga kebugaran tubuh - Dukungan informasi
Menerapkan pola hidup sehat
- Dukungan spiritual
- Dukungan
instrumental
Keterangan : Variabel Perancu:
:Variabel diteliti - Umur
:Variabel tidak diteliti - Pendidikan
Kualitas Hidup Pasien Asma - Jenis kelamin
- Pekerjaan

Gambar 2.1 Kerangka Berpikir

1. Pencapaian prestasi
2. Pengalaman orang lain
D. Hipotesis
3. Persuasi verbal
1. Ada hubungan antara4. Umpan
efikasi balik fisiologiskualitas
diri dengan dan hidup pasien asma. Makin
kondisi emosional
tinggi efikasi diri, maka semakin baik kualitas hidup pasien asma.

2. Ada hubungan antara dukungan keluarga dengan kualitas hidup pasien asma.

Makin kuat dukungan keluarga, maka semakin baik kualitas hidup pasien

asma.

3. Ada hubungan antara efikasi diri dan dukungan keluarga dengan kualitas

hidup pasien asma. Makin tinggi efikasi diri dan dukungan keluarga, maka

semakin bertambah baik kualitas hidup pasien asma.


commit to user

Anda mungkin juga menyukai