Anda di halaman 1dari 8

Clinical Science Asma

2.2 Asma
2.2.1 Definisi
Asma adalah penyakit heterogen yang ditandai dengan peradangan saluran
napas kronis (GINA, 2021). Asma ialah penyakit paru yang memiliki karakteristik:
1). Obstruksi atau penyempitan saluran napas yang bersifat reversibel baik secara
spontan atau dengan pengobatan; 2). Inflamasi saluran napas; 3). Peningkatan
respons saluran napas terhadap berbagai rangsangan (hipereaktivitas) (Setiati,
2014)
2.2.2 Epidemiologi
Asma merupakan penyakit yang sering terjadi, mempengaruhi 1-18%
populasi dari negara yang berbeda (GINA, 2021). Hasil dari sebuah penelitian
menunjukkan kejadian asma pada anak laki-laki berbanding dengan anak
perempuan 1,5:1, namun seiring bertambahnya usia perbandingan tersebut lebih
kurang sama dan pada saat menopause perempuan lebih banyak dari laki-laki. Di
Indonesia prevalensi asma berkisar antara 5-7%. (Setiati, 2014). Menurut hasil data
Sistem Informasi Rumah Sakit tahun 2015-2017 prevalensi tertinggi asma pada
kelompok usia 45-64 tahun, dengan angka prevalensi 26,7-31,3% (Pusat Data dan
Informasi Kementrian Kesehatan RI, 2019).
2.2.3 Faktor Risiko
Kejadian asma dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain umur, faktor
keturunan, jenis kelamin dan faktor lingkungan.
2.2.4 Manifestasi Klinis
Penyakit asma dapat menyebabkan gejala seperti batu, sesak napas dan
mengi. Penyempitan saluran napas pada asma dapat terjadi secara bertahap,
perlahan-lahan dan bahkan menetap dengan pengobatan tetapi dapat pula terjadi
mendadak sehingga menimbulkan kesulitan bernapas yang bersifat akut (Setiati,
2014).
Pada awal serangan gejala tidak jelas seperti ada rasa berat di dada, dan pada
asma alergik mungkin disertai pilek atau bersin. Meskipun berawal dari batuk
tanpa secret, tetapi lama kelamaan akan diikuti dengan secret baik mucoid atau
putih kadang purulent. Ada beberapa individu mengalami gejala batuk tanpa
disertai mengi, dikenal dengan istilah cough variant asthma (Setiati, 2014).
2.2.5 Klasifikasi
Klasifikasi asma menurut McConnel dan Holgate (Setiati, 2014):
a. Asma Ekstrinsik
Asma ekstrinsik atau yang disebut juga asma alergik, muncul terutama pada masa
kanak-kanak, mekanisme serangannya melalui reaksi alergi tipe I terhadap alergen.
b. Asma Intrinsik
Asma intrinsik atau yang disebut juga asma non-alergik, merupakan asma tanpa
ditemukannya tanda-tanda reaksi hipersensitivitas terhadap alergen.
c. Asma yang berkaitan dengan penyakit paru obstruktif kronik.
Klasifikasi berdasarkan derajat keparahan:
Derajat Asma Gejala Gejala malam Faal paru
Intermitten Bulanan APE>80%
- Gejala < 1x/minggu < 2 kali - VEP1 > 80% nilai
- Tanpa gejala diluar sebulan prediksi APE > 80%
serangan nilai terbaik
- Serangan singkat - Variabilitas APE < 20%
Persisten ringan Mingguan APE > 80%
- Gejala > 1x/minggu > 2 kali - VEP1 > 80% nilai
tetapi < 1x/hari sebulan prediksi APE > 80%
- Serangan dapat nilai terbaik
mengganggu aktivitas - Variabilitas APE 20-3-
dan tidur %
Persisten sedang Harian APE 60-80%
- Gejala setiap hari > 2 kali sebuan - VEP1 60-80% nilai
- Serangan prediksi APE 60-80%
mengganggu aktifitas nilai terbaik
dan tidur - Variabilitas APE > 30%
- Membutuhkan
bronkodilator setiap
hari
Persisten berat Kontinyu APE < 60%
- Gejala terus menerus Sering - VEP1 < 60% nilai
- Sering kambuh prediksi APE < 60%
- Aktifitas fisik terbatas nilai terbaik
- Variabilitas APE > 30%
Sumber: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, Asma Pedoman & Penatalaksanaan di Indonesia 2004

2.2.6 Diagnosis
2.2.6.1 Anamnesis
Diagnosis asma didapatkan berdasarkan riwayat penyakit, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang. Dari hasil anamnesis didapatkan riwayat
penyakit berupa batuk, sesak, mengi atau rasa berat pada dada. Terkadang pasien
hanya mengeluh batuk-batuk saja yang timbul pada malam hari atau saat aktifitas
fisik. Adanya riwayat alergi pada keluarga seperti dermatitis atopic atau rhinitis
alergi dapat membantu diagnosis asma. Gejala asma sering muncul pada saat
malam hari, namun dapat pula timbul sembarang waktu. Pasien perlu mengetahui
faktor-faktor pencetus serangan asma. Dengan mengetahui faktor pencetusnya,
diharapkan pasien dapat menghindari pencetus dan gejala dapat dicegah. Faktor-
faktor pencetus asma yaitu:
a. Infeksi virus saluran napas (influenza)
b. Pajanan terhadap alergen tungau, debu rumah, bulu binatang
c. Pajanan iritan asap rokok, minyak wangi
d. Kegiatan jasmani
e. Ekspresi emosional
f. Obat-obatan (aspirin, beta blocker, NSAID)
g. Polusi udara
h. Pengawet makanan
i. Kehamilan, sinusitis, dan lain-lain (Setiati, 2014).
2.2.6.2 Pemeriksaan Fisik
Hasil dari pemeriksaan fisik yang dilakukan pada pasien asma bergantung pada derajat
obstruksi saluran napasnya. Dapat ditemukan ekspirasi memanjang, mengi, hiperinflasi
dada, pernapasan cepat sampai sianosis dapat dijumpai (Setiati, 2014).
2.2.6.3 Pemeriksaan Penunjang
a. Spirometri
Pemeriksaan menggunakan spirometri dilakukan sebelum dan sesudah pemberian
bronkodilator hirup (inhaler dan nebulizer) golongan beta adrenergik. Peningkatan VEP1
sebanyak > 12% atau (> 200 mL) menunjukkan diagnosis asma. Selain untuk diagnosis,
spirometry juga dapat digunakan untuk menilai beratnya obstruksi dan efek pengobatan.
b. Uji Provokasi Bronkus
Pemeriksaan ini digunakan untuk menunjukkan adanya hipereaktivitas bronkus. Uji ini
dapat dilakukan dengan histamin, metakolin, kegiatan jasmani, udara dingin, larutan
garam hipertonik, dan bahkan dengan aqua destilata. Penurunan VEP1 sebesar 20% atau
lebih dianggap bermakna. Uji dengan kegiatan jasmani dilakukan dengan berlari cepat
selama 6 menit sehingga mencapai denyut jantung 80-90% dari maksimum. Dinggap
bermakna bila APE (Arus Puncak Ekspirasi) paling sedikit 10%.
c. Pemeriksaan Sputum
Sputum eosinophil merupakan karakteristik untuk asma, sedangkan neutrofil dominan
pada bronkhitis kronik.
d. Pemeriksaan Eosinofil Total
Total eosinophil dalam darah seringkali meningkat pada pasien asma dan hal ini dapat
membedakan asma dari bronkitis kronik. Pemeriksaan ini juga dapat digunakan sebagai
patokan untuk menentukan cukup tidaknya dosis kortikosteroid yang dibutuhkan pasien
asma.
e. Pemeriksaan Kadar IgE Total dan IgE Spesifik Dalam Sputum
Pemeriksaan ini untuk mendukung adanya atopi. Pemeriksaan ini dilakukan apabila uji
kulit tidak dapat dilakukan atau hasilnya kurang dapat dipercaya.
f. Foto Rontgen Dada
Pemeriksaan ini berguna untuk menyingkirkan penyebab lain obstruksi saluran napas dan
adanya kecurigaan terhadap proses patologis di paru atau komplikasi asma lain seperti
pneumotoraks, pneumomediastinum, atelektasis dan lain-lain.
g. Analisis Gas Darah (AGD)
Pemeriksaan ini dilakukan pada asma yang berat. Pada awal serangan akan terjadi
hipoksemia dan hipokapnia (PaCO2 < 35 mmHg) kemudian pada stadium yang lebih
berat PaCO2 cenderung mendekati normal. Pada asma yang sangat berat terjadinya
hiperkapnia (PaCO2 > 45 mmHg), hipoksemia dan asidosis repiratorik (Setiati, 2014).

2.2.7 Diagnosis Banding


a. Bronkitis kronik
Gejala bronkitis kronik ialah batuk yang kronik serta mengeluarkan sputum 3 bulan
dalam setahun untuk sedikitnya 2 tahun. Gejala batukk biasanya pada pagi hari,
selanjutnya diikuti dengan mengi dan menurunnya kemampuan aktifitas fisik. Pada
stadium lanjut dapat ditemukan sianosis dan tanda-tanda kor pulmonal.

b. Emfisema Paru
Gejala utamanya adalah sesak napas. Batuk dan mengi termasuk jarang menyertai.
Kondisi tubuh pasien biasanya kurus. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan dada
kembung (barrel chest), peranjakan napas terbatas, hipersonor, pekak hati menurut, dan
suara napas sangat lemah. Pada pemeriksaan penunjang foto rontgen menunjukkan
hiperinflasi.

c. Gagal jantung kiri akut


Gejala yang timbul pada malam hari berupa paroxysmal nocturnal dyspnoe. Pada
anamnesis dapat ditemukan hal-hal yang memperingan dan memperberat dari gejala
gagal jantung. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan ortopnea, kardiomegali dan
edema paru.

d. Emboli paru
Gejala yang dapat ditimbulkan ialah sesak napas, batuk yang dapat disertai darah, nyeri
pleura, keringat dingin, kejang dan pingsan. Pada pemeriksaan fisik ditemukan adanya
ortopnea, takikardia, gagal jantung kanan, pleural friction, irama derap, sianosis dan
hipertensi. Pemeriksaan elektrokardiogram menunjukkan perubahan yaitu aksis jantung
ke kanan (Setiati, 2014).

2.2.8 Pengobatan
Pada prinsipnya penatalaksanaan asma diklasifikasikan menjadi: 1)
Penatalaksanaan asma akut/saat serangan, dan 2) Penatalaksanaan asma jangka
panjang (Kemenkes RI, 2018).
a. Serangan akut ialah episodic perburukan asma yang harus diketahui oleh
pasien. Pengobatan sebaiknya dilakukan di rumah, apabila tidak ada perbaikan
segera ke fasilitas pelayanan kesehatan. Penanganan harus cepat dan sesuai dengan
derajat serangan. Pada saat serangan asma obat yang digunakan adalah
1). Bronkodilator (beta-2 agonis kerja cepat dan ipratropium bromide)
2) Kortikosteroid sistemik
Pada serangan ringan yang digunakan hanya beta-2 agonis kerja cepat yang
sebaiknya diberikan dalam bentuk inhalasi. Pada orang dewasa dapat diberikan
kombinasi dengan teofilin/aminofilin oral. Pada keadaan tertentu (memiliki riwayat
serangan berat) kortikosteroid oral (metilprednisolon) dapat diberikan dalam waktu
singkat 3-5 hari.
Pada serangan sedang diberikan beta-2 agonis kerja cepat dan kortikosteroid
oral. Pada orang dewasa dapat ditambahkan ipratropium bromide inhalasi,
aminofilin IV (bolis atau drip). Apabila diperlukan dapat diberi oksigen dan
pemberian cairan IV.
Pada serangan berat pasien dirawat dan diberikan oksigen, cairan IV, beta-2
agonis kerja cepat ipratropium bromide inhalasi, kortikosteroid IV, dan aminofilin
IV (bolus atau drip). Apabila beta-2 agonis kerja cepat tidak tersedia dapat
digantikan dengan adrenalin subkutan. Serangan asma yang mengancam jiwa dapat
langsung dirujuk ke ICU.
b. Asma jangka panjang dalam pengobatannya disesuaikan dengan klasifikasi
beratnya asma. Prinsip pengobatan jangka panjang meliputi: 1) Edukasi; 2) Obat
Asma (pengontrol dan pelega); dan Menjaga kebugaran
Edukasi yang diberikan berupa:
1) Kapan pasien berobat/mencari pertolongan
2) Mengenali gejala serangan asma secara dini
3) Mengetahui obat-obat pelega dan pengontrol serta cara dan waktu
penggunaannya
4) Mengenali dan menghindari faktor pencetus
5) Kontrol teratur
Obat pengontrol asma ditujukan untuk pencegahan serangan asma dan
diberikan dalam jangka panjang dan terus menerus, antara lain:
1) Inhalasi kortikosteroid
2) beta-2 agonis kerja panjang
3) Antileukotrien
4) Teofilin lepas lambat (Kemenkes RI, 2018).
Jenis obat asma

2.2.9 Komplikasi
Komplikasi yang dapat ditimbulkan dari penyakit asma ialah pneumotoraks,
pneumomediastinum, emfisema subkutis, atelektasis, gagal napas, bronkitis dan fraktur
iga (Setiati, 2014).

Asthma, G. I. for (2021) ‘Global Straregy For Asthma Management And Prevention’, pp. 1–
217. Available at: https://ginasthma.org/wp-content/uploads/2021/05/GINA-Main-Report-
2021-V2-WMS.pdf%0Ahttps://ginasthma.org/gina-reports/.
Kemenkes RI (2018)
‘Keputusan_Menteri_Kesehatan_RI_Tentang_Pedoman_Pengendalian_Asma1.pdf’, p. 34.
Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI (2019) ‘Infodatin-Penderita Asma di
Indonesia’, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Setiati, S. et al (2014) ‘Ilmu Penyakit Dalam Edisi VI’, Jurnal Respirasi, 2(2), p. 56.

Anda mungkin juga menyukai