Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN DISKUSI FARMAKOLOGI II

STUDI KASUS OBAT ANTIHIPERTENSI

Kelompok C-4

Nama Anggota Kelompok:


1. Anisa Firdaus 051611133100
2. Honey Dzikri Marhaeny 051611133105
3. Fatihatul Alifiyah 051611133108
4. Eka Pertiwi 051611133109
5. Berlian Sarasitha Hariawan 051611133112
6. Zakiyatul Hurroh Kamiliya 051611133113
7. Firdausa Rahmah 051611133116
8. Ni Putu Wiliantari 051611133117
9. Wardah Zuhan Nafikhah 051611133121
10. Luke Wongso 051611133125

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS AIRLANGGA
2019
BAB I
PENDAHULUAN

A. Studi Kasus
Tn. D, 50 tahun, didiagnosis dokter Hipertensi dan Asma. Dokter memberi
terapi Nifedipin 3x 10 mg untuk mengatasi hipertensinya (T 160/100).
Bagaimana menurut Anda?

B. Breakdown Kasus
1. Apa yang dimaksud dengan hipertensi dan asma?
2. Apa penyebab hipertensi dan asma?
3. Bagaimana patofisiologi hipertensi dan asma?
4. Bagaimana mekanisme kerja obat hipertensi dan macam obatnya?
5. Bagaimana mekanisme kerja obat asma dan macam obatnya?
6. Bagaimana pendapat tentang pemilihan obat yang diberikan?
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Hipertensi dan Asma


1. Definisi
a. Hipertensi
Hipertensi adalah salah satu penyakit kardiovaskular yang ditandai dengan
peningkatan tekanan darah sistolik lebih dari 140 mmHg dan tekanan darah
diastolik lebih dari 90 mmHg pada dua kali pengukuran dengan selang waktu
lima menit dalam keadaan cukup istirahat/tenang. Di Indonesia, hipertensi
merupakan masalah kesehatan dengan prevalensi yang tinggi, yaitu sebesar
25,8% (Data Riskesdas, 2013).
Diagnosis hipertensi didasarkan pada pengukuran berulang-ulang dari
tekanan darah yang meningkat. Diagnosis tersebut perlu dilakukan untuk
mengetahui akibat hipertensi bagi penderita; jarang untuk menetapkan sebab
hipertensi yang dialami penderita. Peningkatan tekanan darah yang berlangsung
dalam jangka waktu lama dapat mengakibatkan kerusakan pada ginjal, jantung,
dan otak bila tidak dideteksi secara dini dan mendapat pengobatan yang
memadai. Kenyataannya, hipertensi sering tidak menimbulkan gejala sampai
kerusakan organ hampir atau bahkan telah terjadi. Oleh karena itu, hipertensi
disebut silent killer dimana gejala dapat bervariasi antar individu dan hampir
sama dengan gejala penyakit lain. Beberapa gejala yang terjadi yaitu sakit
kepala/rasa berat di tengkuk, vertigo, jantung berdebar-debar, mudah lelah,
penglihatan kabur, telinga berdenging dan mimisan.
Hipertensi dapat diklasifikasikan menjadi beberapa macam seperti berikut :
1. Berdasarkan penyebab
a. Hipertensi Primer (Hipertensi Esensial)
Penderita hipertensi ini penyebabnya tidak diketahui (idiopatik),
walaupun dikaitkan dengan kombinasi faktor pola makan dan gaya
hidup. Tipe ini terjadi pada sekitar 90% penderita hipertensi.
b. Hipertensi Sekunder (Hipertensi Non-esensial)
Dari seluruh penderita hipertensi, sekitar 5-10% penyebabnya adalah
penyakit ginjal dan sekitar 1-2% penyebabnya adalah kelainan
hormonal atau pemakaian obat tertentu.
2. Berdasarkan bentuk hipertensi
a. Hipertensi diastolik (diastolic hypertension)
b. Hipertensi sistolik (isolated systolic hypertension)
c. Hipertensi campuran (sistol dan diastol yang meningkat)
3. Hipertensi lain
a. Hipertensi pulmonal
Hipertensi tipe ini ditandai dengan peningkatan tekanan darah pada
pembuluh darah arteri paru-paru yang menyebabkan sesak napas,
pusing dan pingsan saat melakukan aktivitas. Kriteria diagnosis
untuk hipertensi pulmonal merujuk pada National Institute of Health,
bila tekanan sistolik arteri pulmonalis lebih dari 35 mmHg atau
“mean” tekanan arteri pulmonalis lebih dari 25 mmHg pada saat
istirahat atau lebih dari 30 mmHg pada aktivitas dan tidak didapatkan
adanya kelainan katup pada jantung kiri, penyakit myocardium,
penyakit jantung kongenital dan tidak adanya kelainan paru.
b. Hipertensi pada kehamilan.
Hipertensi yang umum terjadi saat kehamilan, yaitu :
 Preeklampsia-eklampsia yaitu hipertensi yang diakibatkan
kehamilan atau keracunan kehamilan karena selain tekanan
darah meningkat, juga didapatkan kelainan pada urin.
 Hipertensi kronik yaitu hipertensi yang sudah terjadi sebelum
ibu mengandung janin.
 Preeklampsia pada hipertensi kronik.
 Hipertensi gestasional atau hipertensi sesaat.
Faktor resiko hipertensi dapat berupa :
 Faktor yang dapat diubah/dikontrol seperti kebiasaan merokok, konsumsi
garam, konsumsi lemak jenuh, penggunaan jelantah, kebiasaan konsumsi
minuman beralkohol, kurang aktivitas fisik, dan stress.
 Faktor yang tidak dapat diubah/dikontrol seperti faktor genetic, umur,
usia, jenis kelamin, dan riwayat keluarga.
b. Asma
Penyakit asma berasal dari kata ‘Ashtma’ (Bahasa Yunani) yang berarti
sukar bernapas. Secara klinis, asma ditandai oleh adanya episode batuk
rekuen, napas pendek, rasa sesak di dada, dan mengi (wheezing). Secara
fisiologis, asma ditandai dengan adanya penyempitan saluran napas bronkus
yang revesible dan meluas, serta adanya peningkatan nyata reponsivitas
bronkus terhadap stimulant yang terhirup. Dan secara patologis, asma
ditandai oleh remodeling mukosa bronkus, disertai penumpukan kolagen di
bawah lamina retikularis epitel bronkus dan hyperplasia sel seluruh struktur
paru-pembuluh darah, otot polos, serta sel kelenjar sekretorik dan goblet.
Klasifikasi asma berdasarkan gambaran klinis, yaitu :
Derajat Asma Gejala Gejala Malam Faal Paru
I. Intermitten Bulanan APE ≥ 80%
 Gejala kurang ≤ 2 kali sebulan  VEP 1 ≥ 80%
dari satu kali nilai prediksi
seminggu  APE ≥ 80%
 Tanpa gejala di nilai terbaik
luar serangan  Variabiliti APE
 Serangan < 20%
singkat
II. Persisten Mingguan APE ≥ 80%
Ringan  Gejala lebih dari ˃ 2 kali sebulan  VEP 1 ≥ 80%
satu kali nilai prediksi
seminggu  APE ≥ 80%
namun kurang nilai terbaik
dari satu kali  Variabiliti APE
sehari 20-30%
 Serangan dapat
mengganggu
aktivitas dan
tidur
III. Persisten Harian APE ≤ 60%
Sedang  Gejala setiap ˃ 1 kali  VEP 1 60-80%
hari seminggu nilai prediksi
 Serangan dapat  APE 60-80%
mengganggu nilai terbaik
aktivitas dan  Variabiliti APE
tidur > 30%
 Membutuhkan
bronkodilator
setiap hari
IV. Persisten Berat Kontinyu APE ≤ 60%
 Gejala terus Sering  VEP 1 ≤ 60%
menerus nilai prediksi
 Sering kambuh  APE ≤ 60%
 Aktivitas fisik nilai terbaik
terbatas  Variabiliti APE
> 30%
Sumber : PDPI 2006
Sedangkan, berdasarkan Global Initiative for Asthma (GINA) 2014, gejala
tipikal asma adalah sebagai berikut :
1. Lebih dari satu gejala berikut : mengi, sesak napas, batuk, dada terasa
berat, terutama pada orang dewasa.
2. Gejala sering memburuk pada malam hari atau menjelang pagi.
3. Gejala dan intensitasnya bervariasi dari waktu ke waktu.
4. Ada faktor pencetus.
Adapun faktor risiko terjadinya asma merupakan interkasi antara faktor
penderita (host factor) dan faktor lingkungan.
a. Faktor penderita
 Predisposisi genetik
 Atopi
 Hiperresponsif saluran pernapasan
 Jenis kelamin
 Ras/etnik
b. Faktor lingkungan
 Faktor yang mempengaruhi berkembangnya asma pada individu
dengan predisposisi genetik, yaitu : alergen dalam ruangan,
contohnya alergen binatang, mite domestic, jamur; dan alergen di
luar ruangan seperti tepung dari bunga, asap rokok, infeksi parasite
dan obesitas.
 Faktor yang mencetuskan eksasebasi dan/atau menyebabkan gejala-
gejala asma menetap, diantaranya adalah perubahan cuaca, alergen
dan polusi di dalam maupun luar ruangan, aktivitas fisik dan
hiperventilasi, iritan, dan ekspresi emosi yang berlebihan.

2. Faktor Penyebab
a. Hipertensi
Pada umumnya hipertensi tidak mempunyai penyebab yang spesifik.
Hipertensi terjadi sebagai respon peningkatan cardiac output atau peningkatan
tekanan perifer. Namun ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya
hipertensi antara lain :
 Genetik
Adanya faktor genetik pada keluarga tertentu akan menyebabkan keluarga
itu mempunyai risiko menderita hipertensi. Hal ini berhubungan dengan
peningkatan kadar sodium intraseluler dan rendahnya rasio antara potasium
terhadap sodium Individu dengan orang tua dengan hipertensi mempunyai
risiko dua kali lebih besar untuk menderita hipertensi dari pada orang yang
tidak mempunyai keluarga dengan riwayat hipertensi. Selain itu didapatkan
70-80% kasus hipertensi esensial dengan riwayat hipertensi dalam keluarga.
 Obesitas
Berat badan merupakan faktor determinan pada tekanan darah pada
kebanyakan kelompok etnik di semua umur. Menurut National Institutes for
Health USA (NIH,1998), prevalensi tekanan darah tinggi pada orang dengan
Indeks Massa Tubuh (IMT) >30 (obesitas) adalah 38% untuk pria dan 32%
untuk wanita, dibandingkan dengan prevalensi 18% untuk pria dan 17%
untuk wanita bagi yang memiliki IMT <25 (status gizi normal menurut
standar internasional).
 Jenis kelamin
Prevalensi terjadinya hipertensi pada pria sama dengan wanita. Namun
wanita terlindung dari penyakit kardiovaskuler sebelum menopause salah
satunya adalah penyakit jantung koroner.10 Wanita yang belum mengalami
menopause dilindungi oleh hormon estrogen yang berperan dalam
meningkatkan kadar High Density Lipoprotein (HDL). Kadar kolesterol
HDL yang tinggi merupakan faktor pelindung dalam mencegah terjadinya
proses aterosklerosis. Efek perlindungan estrogen dianggap sebagai
penjelasan adanya imunitas wanita pada usia premenopause. Pada
premenopause wanita mulai kehilangan sedikit demi sedikit hormon
estrogen yang selama ini melindungi pembuluh darah dari kerusakan. Proses
ini terus berlanjut dimana hormon estrogen tersebut berubah kuantitasnya
sesuai dengan umur wanita secara alami, yang umumnya mulai terjadi pada
wanita umur 45-55 tahun.
 Stres
Stres dapat meningkatkan tekanah darah sewaktu. Hormon adrenalin akan
meningkat sewaktu kita stres, dan itu bisa mengakibatkan jantung
memompa darah lebih cepat sehingga tekanan darah pun meningkat.
 Kurang olahraga
Olahraga banyak dihubungkan dengan pengelolaan penyakit tidak menular,
karena olahraga isotonik dan teratur dapat menurunkan tahanan perifer yang
akan menurunkan tekanan darah (untuk hipertensi) dan melatih otot jantung
sehingga menjadi terbiasa apabila jantung harus melakukan pekerjaan yang
lebih berat karena adanya kondisi tertentu. Kurangnya aktivitas fisik
menaikan risiko tekanan darah tinggi karena bertambahnya risiko untuk
menjadi gemuk. Orang-orang yang tidak aktif cenderung mempunyai detak
jantung lebih cepat dan otot jantung mereka harus bekerja lebih keras pada
setiap kontraksi, semakin keras dan sering jantung harus memompa semakin
besar pula kekuaan yang mendesak arteri.
 Pola asupan garam dalam diet
Badan kesehatan dunia yaitu World Health Organization (WHO)
merekomendasikan pola konsumsi garam yang dapat mengurangi risiko
terjadinya hipertensi. Kadar sodium yang direkomendasikan adalah tidak
lebih dari 100 mmol (sekitar 2,4 gram sodium atau 6 gram garam) perhari.
Konsumsi natrium yang berlebih menyebabkan konsentrasi natrium di
dalam cairan ekstraseluler meningkat. Untuk menormalkannya cairan
intraseluler ditarik ke luar, sehingga volume cairan ekstraseluler meningkat.
Meningkatnya volume cairan ekstraseluler tersebut menyebabkan
meningkatnya volume darah, sehingga berdampak kepada timbulnya
hipertensi.
 Kebiasaan Merokok
Merokok menyebabkan peninggian tekanan darah. Perokok berat dapat
dihubungkan dengan peningkatan insiden hipertensi maligna dan risiko
terjadinya stenosis arteri renal yang mengalami ateriosklerosis.14 Dalam
penelitian kohort prospektif oleh dr. Thomas S Bowman dari Brigmans and
Women’s Hospital, Massachussetts terhadap 28.236 subyek yang awalnya
tidak ada riwayat hipertensi, 51% subyek tidak merokok, 36% merupakan
perokok pemula, 5% subyek merokok 1-14 batang rokok perhari dan 8%
subyek yang merokok lebih dari 15 batang perhari. Subyek terus diteliti dan
dalam median waktu 9,8 tahun. Kesimpulan dalam penelitian ini yaitu
kejadian hipertensi terbanyak pada kelompok subyek dengan kebiasaan
merokok lebih dari 15 batang perhari

b. Asma
Berikut beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya hipertensi antara lain :
 Alergen
Faktor pencetus asma yang paling banyak dijumpai. Pada penelitian Anyta
& Yulia (2014) terdapat responden pencetus asma karena alergen sebanyak
94,1%. Alergen memiliki ukuran sangat kecil (sekitar 3-4 mikron) dan dapat
terbang di udara sehingga menyebabkan serangan asma, terutama dari
burung dan hewan menyusui karena bulu akan rontok dan terbang
mengikuti udara (Sundaru,2007). Udara kering yang banyak mengandung
alergen langsung masuk melalui mulut dan menempel di saluran nafas
bawah (bronkus dan paru).
 Debu
Berdasarkan penelitian Purnomo diperoleh pasien asma yang memiliki
faktor pencetus berupa debu sebanyak 96,2%. Hasil ini dikarenakan kondisi
lingkungan dan letak geografis tempat penelitian beriklim tropis.
 Penyakit yang diderita
Penelitian yang dilakukan oleh Oemiarti, kelompok yang terkena infeksi
pernapasan 2,7 kali berisiko terkena asma dibandingkan dengan kelompok
yang tidak terkena ISPA. Penelitian ini didapatkan responden yang pencetus
asma karena infeksi pernapasan sebanyak 26,7%.infeksi pernapasan
merupakan salah satu faktor resiko penyebab serangan asma.
 Latihan Fisik
Serangan asma karena olahraga biasanya terjadi setelah selesai olahraga,
antara 10-60 menit. Teori hiperosmolaritas mengemukakan bahwa
hilangnya air dari cairan permukaan napas setelah latihan fisik
menyebabkan hipertonisitas cairan permukaan saluran napas dan kondisi
hiperosmolar dalam sel saluran napas. Keadaan ini menyebabkan pelepasan
mediator pro-inflamasi sehingga terjadi bronkokonstriksi; mediator
termasuk histamin, prostaglandin, faktor kemotaksis, dan leukorin, yang
berpotensi terhadap kerusakan saluran napas kronik melalui inflamasi.
 Jenis Makanan dan Obat-obatan
Beberapa jenis makanan penyebab asma yakni susu sapi, ikan laut, vetsin,
dan makanan berpengawet. Penderita asma yang sensitif terhadapobat-
obatan tertentu, contohnya: penisilin, sefalosporin, golongan beta laktam
lainnya, eritrosin, tetrasiklin, analgesik, antipiretik, dan lain-lain
(Handayani,2004). Penelitian yang dilakukan Oemiarti, konsumsi makanan
yang diawetkan satu kali/hari berisiko 1,2 kali terkena asma dibandingkan
mengkonsumsi makanan yang tidak diawetkan.
 Stress
Stres dapat menjadi pencetus asma bahkan memperberat asma yang sudah
ada. Pun dapat menghantarkan individu pada kecemasan sehingga memicu
dilepaskannya histamin yang menyababkan terjadinya kontraksi otot polos
dan peningkatan pembentukan lendir. Keadaan ini membuat
bronkokonstriksi, sehingga penderita sulit bernapas dan memicu terjadinya
serangan asma.
 Polusi Udara
Pasien asma yang memiliki faktor pencetus karena polusi udara mudah
kambuh jika terpapar pencemaran udara seperti asap rokok, bau menyengat,
dan asap pabrik. Diketahui bahwa asap tersebut banyak mengandung
senyawa kimia yang dapat menyebabkan inflamasi saluran napas.
 Kondisi Cuaca
Temperatur dingin, tingginya kelembapan dapat menyebabkan kekambuhan
asma, epidemik ini dapat menyebabkan asma menjadi lebih parah dan
meningkatkan partikel alergenik (Ramaiah,2006). Penelitian yang dilakukan
di RSCM didapatkan penderita asma kemungkinan akan mengalami
kekambuhan asma 32x lebih besar daripada penderita tanpa perubahan
cuaca.
3. Patofisiologi
a. Hipertensi

Patofisiologi terjadinya hipertensi adalah melalui terbentuknya angiotensin


II dari angiotensin I oleh angiotensin I converting enzyme (ACE). ACE
memegang peran fisiologis penting dalam mengatur tekanan darah. Darah
mengandung angiotensinogen yang diproduksi di hati. Selanjutnya oleh hormone
renin akan diubah menjadi angiotensin I. Oleh ACE yang terdapat di paru-paru,
angiotensin I diubah menjadi angiotensin II. Renin disintesis dan disimpan
dalam bentuk inaktif yang disebut prorenin dalam sel-sel jukstaglomerular (sel
JG) pada ginjal.Sel JG merupakan modifikasi dari sel-sel otot polos yang
terletak pada dinding arteriol aferen tepat di proksimal glomeruli.
Bila tekanan arteri menurun, reaksi intrinsik dalam ginjal itu sendiri
menyebabkan banyak molekul protein dalam sel JG terurai dan melepaskan
renin.Angiotensin II adalah vasokonstriktor yang sangat kuat dan memiliki efek-
efek lain yang juga mempengaruhi sirkulasi.Selama angiotensin II ada dalam
darah, maka angiotensin II mempunyai dua pengaruh utama yang dapat
meningkatkan tekanan arteri.Pengaruh pertama, yaitu vasokonstriksi, timbul
dengan cepat.Vasokonstriksi terjadi terutama pada arteriol dan sedikit lemah
pada vena.
Cara kedua dimana angiotensin II meningkatkan tekanan arteri adalah
dengan bekerja pada ginjal untuk menurunkan ekskresi garam dan
air.Vasopresin, disebut juga antidiuretic hormone (ADH), bahkan lebih kuat
daripada angiotensin sebagai vasokonstriktor, jadi kemungkinan merupakan
bahan vasokonstriktor yang paling kuat dari tubuh.Bahan ini dibentuk di
hipotalamus tetapi diangkut menuruni pusat akson saraf ke glandula hipofise
posterior, dimana akhirnya disekresi ke dalam darah.
Aldosteron, yang disekresikan oleh sel-sel zona glomerulosa pada korteks
adrenal, adalah suatu regulator penting bagi reabsorpsi natrium (Na+) dan
sekresi kalium (K+) oleh tubulus ginjal. Tempat kerja utama aldosteron adalah
pada sel-sel prinsipal di tubulus koligentes kortikalis. Mekanisme dimana
aldosteron meningkatkan reabsorbsi natrium sementara pada saat yang sama
meningkatkan sekresi kalium adalah dengan merangsang pompa natriumkalium
ATPase pada sisi basolateral dari membrane tubulus koligentes kortikalis.
Aldosteron juga meningkatkan permeabilitas natrium pada sisiluminal membran.
Sampai sekarang pengetahuan tentangpatogenesis hipertensi primer terus
berkembangkarena belum didapat jawaban yang memuaskan yang dapat
menerangkan terjadinya peninkatan tekanan darah.Tekanan darah dipengaruhi
oleh curah jantung dan tahanan perifer.
b. Asma

Penyakit asma merupakan proses inflamasi dan hipereaktivitas saluran


napas yang akan mempermudah terjadinya obstruksi jalan napas. Kerusakan
epitel saluran napas, gangguan saraf otonom, dan adanya perubahan pada otot
polos bronkus juga diduga berperan pada proses hipereaktivitas saluran napas.
Peningkatan reaktivitas saluran nafas terjadi karena adanya inflamasi kronik
yang khas dan melibatkan dinding saluran nafas, sehingga aliran udara menjadi
sangat terbatas tetapi dapat kembali secara spontan atau setelah
pengobatan.Hipereaktivitas tersebut terjadi sebagai respon terhadap berbagai
macam rangsang.
Dikenal dua jalur untuk bisa mencapai keadaan tersebut. Jalur
imunologis yang terutama didominasi oleh IgE dan jalur saraf otonom. Pada
jalur yang didominasi oleh IgE, masuknya alergen ke dalam tubuh akan diolah
oleh APC (Antigen Presenting Cells), kemudian hasil olahan alergen akan
dikomunikasikan kepada sel Th ( T penolong ) terutama Th2 . Sel T penolong
inilah yang akan memberikan intruksi melalui interleukin atau sitokin agar sel-
sel plasma membentuk IgE, sel-sel radang lain seperti mastosit, makrofag, sel
epitel, eosinofil, neutrofil, trombosit serta limfosit untuk mengeluarkan mediator
inflamasi seperti histamin, prostaglandin (PG), leukotrien (LT), platelet
activating factor (PAF), bradikinin, tromboksin (TX), dan lain-lain. Sel-sel ini
bekerja dengan mempengaruhi organ sasaran yang dapat menginduksi kontraksi
otot polos saluran pernapasan sehingga menyebabkan peningkatan permeabilitas
dinding vaskular, edema saluran napas, infiltrasi sel-sel radang, hipersekresi
mukus, keluarnya plasma protein melalui mikrovaskuler bronkus dan fibrosis
sub epitel sehingga menimbulkan hipereaktivitas saluran napas. Faktor lainnya
yang dapat menginduksi pelepasan mediator adalah obat-obatan, latihan, udara
dingin, dan stress.
Selain merangsang sel inflamasi, terdapat keterlibatan sistem saraf
otonom pada jalur non-alergik dengan hasil akhir berupa inflamasi dan
hipereaktivitas saluran napas. Inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast
intralumen, makrofag alveolar, nervus vagus dan mungkin juga epitel saluran
napas. Reflek bronkus terjadi karena adanya peregangan nervus vagus,
sedangkan pelepasan mediator inflamasi oleh sel mast dan makrofag akan
membuat epitel jalan napas lebih permeabel dan memudahkan alergen masuk ke
dalam submukosa, sehingga meningkatkan reaksi yang terjadi.
Keterlibatan sel mast tidak ditemukan pada beberapa keadaan seperti
pada hiperventilasi, inhalasi udara dingin, asap, kabut dan SO2. Reflek saraf
memegang peranan pada reaksi asma yang tidak melibatkan sel mast. Ujung
saraf eferen vagal mukosa yang terangsang menyebabkan dilepasnya
neuropeptid sensorik senyawa P, neurokinin A dan Calcitonin Gene-Related
Peptide (CGRP). Neuropeptida itulah yang menyebabkan terjadinya
bronkokontriksi, edema bronkus, eksudasi plasma, hipersekresi lendir, dan
aktivasi sel-sel inflamasi.

B. Mekanisme Kerja Obat dan Macam Obatnya


1. Hipertensi
a) Diuretik
Menurunkan tekanan darah dengan menguras natrium tubuh serta
mengurangi volume darah serta mungkin melalui mekanisme lain.
Macam obat diuretik, yaitu :
 Tiazida
Menurunkan tekanan darah dengan cara menghambat reabsorpsi sodium
pada daerah awal tubulus distal ginjal, meningkatkan ekskresi sodium
dan volume urin. Tiazid juga mempunyai efek vasodilatasi langsung pada
arteriol, sehingga dapat mempertahankan efek antihipertensi lebih lama.
 Loop Diuretik
Menghambat pengangkutan Na/K/Cl di angsa henle ginjal
 Diuretik Hemat Kalium
Mencegah sekresi K+ dengan melawan efek-efek aldosteron di tubulus
koligentes.inhibisi dapat terjadi melalui antagonisme farmakologik
langsung reseptor mineralokortikoid atau dengan menghambat influks
Na+ melalui saluran ion di membran luminal
b) Obat Simpatoplegik
Menurunkan tekanan darah denagn mengurangi resistensi vaskular
perifer,menghambat fungsi jantung,dan meningkatkan darah vena di
pembuluh-pembuluh kapasitansi. Macam obat Simpatomimetik, yaitu:
 Simpatoplegik Kerja Sentral
Mengurangi impuls simpatis dari pusat vasomotor di batang otak tetapi
memungkinkan pusat-pusat ini mempertahankan atau bahkan
meningkatkan sensirtivitas mereka terhadap kontrol baroreseptor.
 Penghambat Ganglion
Menghambat kolinoseptor nikotinik di neuron pascaganglio saraf
simpatis dan parasimpatis.selain itu,obat golongan ini dapat secara
langsung menghambat saluran asetilkolin nikotinik,dengan cara serupa
seperti penghambat nikotinik neuromuskulus.
 Penghambat Neuron Adrenergik
Mencegah pengeluaran fisiologik norepinefrin dari neuron simpatis
pascaganglion
 Penghambat Reseptor Alfa Memblok adrenoseptor alfa‐1 perifer,
mengakibatkan efek vasodilatasi karena merelaksaasi otot polos
pembuluh darah. Diindikasikan untuk hipertensi yang resisten.
 Penghambat Reseptor Beta
Memblok beta‐adrenoseptor. Reseptor ini diklasifikasikan menjadi
reseptor beta‐1 dan beta‐2. Reseptor beta‐1 terutama terdapat pada
jantung sedangkan reseptor beta‐2 banyak ditemukan di paru‐paru,
pembuluh darah perifer, dan otot lurik. Reseptor beta‐2 juga dapat
ditemukan di jantung, sedangkan reseptor beta‐1 juga dapat dijumpai
pada ginjal. Reseptor beta juga dapat ditemukan di otak.
Stimulasi reseptor beta pada otak dan perifer akan memacu penglepasan
neurotransmitter yang meningkatkan aktivitas system saraf simpatis.
Stimulasi reseptor beta‐1 pada nodus sino‐atrial dan miokardiak
meningkatkan heart rate dan kekuatan kontraksi. Stimulasi reseptor beta
pada ginjal akan menyebabkan penglepasan rennin, meningkatkan
aktivitas system rennin‐ angiotensin‐aldosteron. Efek akhirnya adalah
peningkatan cardiac output, peningkatan tahanan perifer dan peningkatan
sodium yang diperantarai aldosteron dan retensi air. Terapi menggunakan
beta‐blocker akan mengantagonis semua efek tersebut sehingga terjadi
penurunan tekanan darah
c) Vasodilator
Mengurangi tekanan darah dengan melemaskan otot polos pembuluh darah
sehingga pembuluh resistensi melebar serta dengan derajat bervariasi juga
meningkatkan kapasitansi.
 Vasodilator Oral Macam obat vasodilator, yaitu:
 Vasodilator Parenteral
 Penghambat Saluran Kalsium
Penghambat saluran kalsium menurunkan influks ion kalsium ke dalam
sel miokard, sel‐sel dalam sistem konduksi jantung, dan sel‐sel otot polos
pembuluh darah. Efek ini akan menurunkan kontraktilitas jantung,
menekan pembentukan dan propagasi impuls elektrik dalam jantung dan
memacu aktivitas vasodilatasi, interferensi dengan konstriksi otot polos
pembuluh darah. Semua hal di atas adalah proses yang bergantung pada
ion kalsium.
Terdapat tiga kelas : dihidropiridin (misalnya nifedipin dan amlodipin);
fenilalkalamin (verapamil) dan benzotiazipin (diltiazem). Dihidropiridin
mempunyai sifat vasodilator perifer yang merupakan kerja
antihipertensinya, sedangkan verapamil dan diltiazem mempunyai efek
kardiak dan dugunakan untuk menurunkan heart rate dan mencegah
angina.
d) Obat yang Menghambat Pembentukan atau Kerja Angiotensin
Menurunkan resistensi vaskular perifer dan (mungkin) volume darah.
Macam obat penghambat pembentukan atau kerja angiotensin, yaitu:
 Penghambat Angiotensin Converting Enzymes
Angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEi) menghambat secara
kompetitif pembentukan angiotensin II dari prekursor angiotensin I yang
inaktif, yang terdapat pada darah, pembuluh darah, ginjal, jantung,
kelenjar adrenal dan otak.
Angitensin II merupakan vaso‐konstriktor kuat yang memacu
penglepasan aldosteron dan aktivitas simpatis sentral dan perifer.
Penghambatan pembentukan angiotensin iI ini akan menurunkan tekanan
darah. Jika sistem angiotensin‐renin‐aldosteron teraktivasi (misalnya
pada keadaan penurunan sodium, atau pada terapi diuretik) efek
antihipertensi ACEi akan lebih besar.
 Antagonis Angiotensin II
Reseptor angiotensin II ditemukan pada pembuluh darah dan target
lainnya. Disubklasifikasikan menjadi reseptor AT1 dan AT2. Reseptor
AT1 memperantarai respon farmakologis angiotensin II, seperti
vasokonstriksi dan penglepasan aldosteron. Dan oleh karenanya menjadi
target untuk terapi obat. Fungsi reseptor AT2 masih belum begitu jelas.
Banyak jaringan mampu mengkonversi angiotensin I menjadi angiotensin
II tanpa melalui ACE. Oleh karena itu memblok sistem renin‐angitensin
melalui jalur antagonis reseptor AT1 dengan pemberianantagonis
reseptor angiotensin II mungkin bermanfaat.
Antagonis reseptor angiotensin II (AIIRA)mempunyai banyak kemiripan
dengan ACEi, tetapi AIIRA tidak mendegradasi kinin. Karena efeknya
pada ginjal, ACEi dan AIIRA dikontraindikasikan pada stenosis arteri
ginjal bilateral dan pada stenosis arteri yang berat yang mensuplai ginjal
yang hanya berfungsi satu.
e) Obat Yang Menghambat Renin
Menghambat aktivitas enzimatik renin sehingga mengurangi angiotensin I
dan II serta aldosteron.
Tabel contoh obat untuk tiap mekanisme kerja obat hipertensi.
NO. MEKANISME KERJA GOLONGAN OBAT
1. Hidroklorotiazid,
Tiazida
Chlorthalidone
Diuretik
Loop Diuretik Furosemid
Diuretik Hemat Kalium Spironolakton
2. Simpatoplegik Kerja Sentral Metildopa
Hexamethonium,
Penghambat Ganglion Trimethaphan,
Mecamylamine
Obat Simpatoplegik Penghambat Neuron Adrenergik Reserpin, Guanadrel
Prazosin, Doxazosin,
Penghambat Reseptor Alfa
Terazosin
Metoprolol, Atenolol,
Penghambat Reseptor Beta
Metoprolol
3. Vasodilator Oral Minoxidil, Hydralazine
Diazoxide, Nitroprusside,
Vasodilator Parenteral
Vasodilator Fenoldopam
Nifedipin, Verapamil,
Penghambat Saluran Kalsium
Diltiazem
4. Penghambat Angiotensin Captopril,Benazepril,
Obat yang Menghambat
Converting Enzymes Enalapril, Lisinopri
Pembentukan atau Kerja
Losartan,Candesartan,
Angiotensin Antagonis Angiotensin II
Irbesartan
5. Obat yang Menghambat
Aliskiren
Renin

2. Asma
a) Antagonis Muskarinik
Mekanisme Kerja: Obat antimuskarinik memblokir neurotransmitter
asetilkolin di sistem saraf pusat dan perifer. Antagonis muskarinik
menghambat efek asetilkolin pada reseptor muskarinik, dan agen antikolinik
menghambat efek asetilkolin pada reseptor nikotinik (kebanyakan relaksan
otot rangka). Reseptor Muskarinik M3 yang tidak berikatan dengan
asetilkolin dapat menyebabkan bronkodilatasi.
Contoh obat:
 Ipratropium Br Inhalation Solution 0,02%
 Tiotropium Br Inhaler 9 mcg dan 18 mcg
b) Antihistamin
Mekanisme Kerja: Mencegah Mast Cell dan Basofil melepaskan histamin
sehingga reseptor H1 tidak dapat berikatan histamin. Hal ini menyebabkan
otot polos ileum, bronkus, bronkiolus, dan uterus tidak dapat berkontraksi.
Contoh obat:
 Loratadine tablet 10 mg
 Diphenhydramine HCl 25 mg
c) Stimulan β2
Mekanisme Kerja: Obat berikatan dengan reseptor adrenergik β digabungkan
dengan protein G stimulan dari adenylyl cyclase. Enzim ini menghasilkan
cAMP. Di paru-paru, cAMP menurunkan konsentrasi kalsium di dalam sel
dan mengaktifkan protein kinase A. Kedua perubahan ini menonaktifkan
myosin light-chain kinase dan mengaktifkan myosin light-chain phosphatase.
Selain itu, agonis β2 membuka saluran Kalsium – Kalium yang diaktifkan
dengan konduktansi besar dan dengan demikian cenderung hiperpolarisasi
sel-sel otot polos jalan napas. Kombinasi penurunan kalsium intraseluler,
peningkatan konduksi kalium membran, dan penurunan aktivitas myosin
rantai ringan kinase menyebabkan relaksasi otot polos dan bronkodilatasi.
Contoh obat:
 Salmeterol Inhaler 25 mcg
 Formoterol Inhaler 12 mcg
BAB III
PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil tinjauan pustaka, Nifedipin merupakan salah satu obat


antihipertensi golongan vasodilator (dihidropiridin). Semua vasodilator yang
bermanfaat pada hipertensi melemaskan otot polos arteriol sehingga menurunkan
resistensi vaskular sistemik. Nifedipin bekerja sebagai calcium channel blocker (CCB)
atau dengan mengurangi influks kalsium. Efek yang ditimbulkan golongan CCB pada
otot polos adalah relaksasi bronkus, saluran cerna, dan uterus, sehingga aman digunakan
pada pasien yang juga menderita asma.
Obat-obat antihipertensi yang tidak dianjurkan bagi pasien penderita asma
adalah golongan beta-blocker non-selective, karena dapat inhibisi pada reseptor β-2
dapat menyebabkan bronkokonstriksi. Golongan lain yang tidak dianjurkan adalah ACE
inhibitor karena, meski tidak memiliki pengaruh terhadap fungsi paru-paru, obat
golongan ini menimbulkan efek samping batuk berkepanjangan yang dapat
mengganggu atau menurunkan kualitas hidup pasien.
Dosis Nifedipin yang diberikan untuk terapi hipertensi adalah 30 mg per hari
untuk dosis awal, sedangkan kisaran dosis pemeliharaan yang lazim adalah 30-60 mg
per hari.
BAB IV
KESIMPULAN

Nifedipin merupakan salah satu obat antihipertensi golongan vasodilator


(dihidropiridin). Obat tersebut bekerja sebagai calcium channel blocker (CCB) atau
dengan mengurangi influks kalsium. Efek yang ditimbulkan golongan CCB pada otot
polos adalah relaksasi bronkus, saluran cerna, dan uterus, sehingga aman digunakan
pada pasien yang juga menderita asma. Dosis Nifedipin yang diberikan untuk terapi
hipertensi adalah 30 mg per hari untuk dosis awal, sedangkan kisaran dosis
pemeliharaan yang lazim adalah 30-60 mg per hari.
Sehingga pemberian obat Nifedipin 3 x 10 mg sebagai antihipertensi, untuk
pasien penderita hipertensi dan asma, sudah rasional.
DAFTAR PUSTAKA
Baratawidjaja KG, Soebaryo RW, Kartasasmita CB, Suprihati, Sundaru H, Siregar sp, et
al. Allergy and Asthma, The Scenario in Indonesia. In Shaikh
WA.Editor.Principles and practice of tropical allergy and asthma.Mumbai:
Vikash Medical Publishers; 2006.707-36.
Bertram G. Katzung, Susan B. Masters, Anthony J. Trevor. 2014. Farmakologi Dasar
& Klinik Vol. 1 Edisi 12. Jakarta : EGC.
Guyton dan Hall. 1997. Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Terjemahan oleh Irawati
Setiawan. EGC: Jakarta.
L Diana. 2008. Farmakologi Hipertensi. Beth Gormer.
Nuraini, bianti. 2015. Risk Factor of Hipertension. J MAJORITY Volume 4 Nomer 5 :
Lampung.
Pathophysiology and Pathogenesis of Asthma, And Natural History of Asthma [homepage on
internet]. 2007 [updated 2007 Aug 28; cited 2011 Jan 12]. Available from :
http://www.nhlbi.nih.gov/guidelines/asthma/03_sec_sec2_def.pdf.
RE Jackson ,MC Bellamy.2005. “Antihypertensive drugs”. BJA Education, 15 (6): 280–
285.
Wahyuni, Anyta H., dkk. 2014. Prevalensi Faktor-Faktor Pencetus Serangan Asma
pada Pasien Asma di Salah Satu Rumah Sakit di Jakarta. Jurnal Ilmu
Keperawatan : Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai