Anda di halaman 1dari 67

Tim Editor

Dr. dr. Yusup Subagio Sutanto, Sp.P (K), FISR


Dr. dr. Cucunawangsih, Sp.MK

Tim Reviewer
Dr. dr. Yusup Subagio Sutanto, Sp.P (K), FISR
dr. Titis Dewi Wahyuni, Sp.P
dr. Samuel Sunarso, Sp.P, FPCP
dr. Leonardo Helasti Simanjuntak, Sp.P
dr. Sylvia Sagita Siahaan, Sp.P

Tim Ilustrator dan Tata Letak


dr. Audrey Suryani Soetjipto
dr. Denny Intan
Jonathan Salim, S.Ked
Cindy Meidy Leony Pradhana, S.Ked

Bagian Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FKUPH i


KATA SAMBUTAN

Asma merupakan suatu penyakit saluran napas kronik yang berdampak terhadap
kesehatan masyarakat. Asma dapat terjadi pada semua umur dengan severitas
yang berbeda-beda. Berbagai pedoman mengenai asma yang telah dibuat oleh
banyak organisasi diseluruh dunia. Di dunia kedokteran, ilmu terus berkembang
terutama mengenai asma oleh karena itu buku ini dibuat untuk membantu dalam
memahami mengenai asma.

Semoga buku ini dapat menginspirasi minat mahasiswa untuk lebih


mengembangkan pengetahuan mengenai asma.

Dekan Fakultas Kedokteran


Universitas Pelita Harapan

Bagian Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FKUPH ii


PRAKATA

Puji syukur kepada Tuhan, bahwa pada saat ini berkat anugerah-Nya, Departemen
Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Pelita
Harapan telah diperkenankan untuk menerbitkan buku Asma. Penulisan buku ini
menjadi suatu komitmen untuk terus menerus melakukan pengembangan yang
berkesinambungan bagi penulis maupun Departemen Pulmonolgi dan Kedokteran
Respirasi.

Penulisan buku ini bertujuan untuk menyebarluaskan pengetahuan mengenai


gangguan asma, kenali gejalanya, mengetahui cara mendiagnosisnya, bagaimana
menatalaksananya dan bagaimana mencegah eksaserbasi dengan memakai
pedoman terkini.

Besar harapan kami agar buku ini dapat memberi manfaat dan dapat berguna bagi
banyak orang serta memberikan kontribusi dalam peningkatan pelayanan
kesehatan di rumah sakit.

Karawaci, Mei 2020

Penulis

Bagian Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FKUPH iii


DAFTAR ISI
KATA SAMBUTAN ............................................................................................... ii
PRAKATA .............................................................................................................iii
BAB 1 DEFINISI DAN KLASIFIKASI ................................................................. 1
1.1 Definisi dan Klasifikasi Asma ................................................................ 1
BAB 2 PATOGENESIS .......................................................................................... 6
2.1 Patogenesis Asma ................................................................................... 6
2.2 Inflamasi Pada Asma .............................................................................. 7
BAB 3 TANDA DAN GEJALA ........................................................................... 14
3.1 Tanda dan Gejala .................................................................................... 14
3.2 Pemeriksaan Fisik .................................................................................. 15
BAB 4 DIAGNOSIS .............................................................................................. 18
4.1 Diagnosis ............................................................................................... 18
4.2 Kriteria Diagnosis Asma ....................................................................... 19
4.3 Tatalaksana Asma ................................................................................. 20
BAB 5 PENATALAKSANAAN ASMA AKUT .................................................. 29
5.1 Penatalaksanaan Asma Akut di Pusat Pelayanan Kesehatan dan Unit
Gawat Darurat ................................................................................................... 29
5.2 Penatalaksanaan Asma Akut di Pusat Pelayanan Kesehatan Primer .... 31
BAB 6 KONTROL ASMA ................................................................................... 34
6.1 Kontrol Asma ......................................................................................... 34
6.2 Instrumen Untuk Menilai Asma Terkontrol .......................................... 36
BAB 7 TERAPI INHALASI ................................................................................. 41
7.1 Pendahuluan ............................................................................................ 41
7.2 Sejarah dan Evolusi Terapi Inhalasi ...................................................... 41
7.3 Definisi ................................................................................................... 42
7.4 Jenis Terapi Inhalasi .............................................................................. 42
7.5 Pemberian Terapi Inalasi Dalam Keadaan Khusus ................................ 49
7.6 Preparat dan Farmakokinetik Terapi Inhalasi ........................................ 50
7.7 Efek Samping ......................................................................................... 51
7.8 Kesimpulan ............................................................................................ 51
BAB 8 ASMA DAN PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK ................... 53
8.1 Pendahuluan ........................................................................................... 53
8.2 PPOK Bukan Asma................................................................................ 54
8.3 Perbedaan PPOK dan Asma................................................................... 54

Bagian Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FKUPH iv


BAB 1
DEFINISI DAN KLASIFIKASI

1.1 Definisi dan Klasifikasi Asma


Asma adalah suatu penyakit yang ditandai dengan inflamasi kronik
saluran napas yang melibatkan berbagai sel inflamasi terutama sel mast, eosinofil
dan limfosit T. Inflamasi kronik berhubungan dengan peningkatan hipereaktivitas
bronkus yang menyebabkan mengi rekuren, sesak napas dan batuk terutama
malam dan dini hari. Terdapat empat bentuk limitasi aliran udara yaitu
bronkokonstriksi akut, edema dinding bronkus, pembentukan “mucus plug“ dan
airway remodeling.1,2
Klasifikasi asma umumnya berdasarkan severitas, fenotip, derajat dan
pola obstruksi saluran napas. Derajat obstruksi saluran napas ditentukan dengan
uji faal paru.1 Tabel 1 menunjukkan klasifikasi asma berdasarkan gambaran klinis
menurut PDPI (sebelum pengobatan).3 Tabel 1 menunjukkan klasifikasi asma
berdasarkan gambaran klinis sebelum pengobatan dan tabel 2 menunjukkan
klasifikasi asma pada pasien yang sedang menjalani pengobatan. Fenotip asma
akan berpengaruh terhadap tatalaksana pada asma berat. Fenotip asma dapat
dibagi menjadi:1
• Asma alergi: fenotip asma pada anak-anak dan mudah dikenali, berhubungan
dengan riwayat alergi dalam keluarga seperti eksim, rinitis alergi, dan rinitis
makanan serta obat-obatan. Pemeriksaan induksi sputum sebelum
pengobatan menunjukkan inflamasi eosinofil pada saluran napas. Fenotip
asma alergi respon terhadap kortikosteroid inhalasi.
• Asma non-alergi: fenotip asma tidak berhubungan dengan alergi. Gambaran
sel dari sputum menunjukkan eosinofilik, neutrofilik atau beberapa sel
inflamasi. Fenotip asma non-alergi memiliki respon yang kurang baik
terhadap kortikosteroid inhalasi.

Bagian Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FKUPH 1


• Asma awitan lambat: terjadi pada pasien dewasa, wanita yang mengalami
asma pertama kali pada usia dewasa. Pasien tidak memiliki riwayat alergi
dan memerlukan terapi kortikosteroid dosis tinggi.
• Asma dengan obstruksi saluran napas menetap: pasien asma dengan gejala
yang menetap dalam jangka waktu lama dapat terjadi obstruksi saluran napas
yang menetap karena remodelling saluran napas.
• Asma dengan obesitas: pasien obesitas dengan asma memiliki gejala
pernapasan yang menonjol dan inflamasi saluran napas eosinofilik.

Bagian Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FKUPH 2


Tabel 1. Klasifikasi asma berdasarkan gambaran klinis dan uji faal paru
(sebelum pengobatan).
Tahap I : Intermiten
1. Gejala klinis < 1 kali/minggu.
2. Gejala malam ≤ 2 kali/ bulan.
3. Tanpa gejala di luar serangan.
4. Serangan berlangsung singkat.
5. Volume ekspirasi paksa detik pertama ( VEP1 ) ≥
80% nilai prediksi.
6. Arus puncak ekspirasi ( APE ) ≥ 80% nilai terbaik.
7. Variabiliti APE < 20%.
Tahap II : Persisten ringan
1. Gejala > 1 kali/minggu tetapi < 1 kali/hari
2. Gejala malam > 2 kali/bulan
3. Serangan dapat mengganggu aktiviti dan tidur
4. Volume ekspirasi paksa detik pertama ≥ 80% nilai
prediksi
5. Arus puncak ekspirasi ≥ 80% nilai terbaik.
6. Variabiliti APE 20% - 30 %
Tahap III : Persisten sedang
1. Gejala setiap hari.
2. Gejala malam > 1 kali/minggu.
3. Serangan mengganggu aktiviti dan tidur.
4. Membutuhkan bronkodilator setiap hari.
5. Volume ekspirasi paksa detik pertama 60% - 80 %
nilai prediksi.
6. Arus puncak ekspirasi 60%-80% nilai terbaik.
7. Variabiliti APE > 30%.
Tahap IV: Persisten berat.
1. Gejala terus menerus.
2. Gejala malam sering.
3. Sering kambuh.
4. Aktiviti fisik terbatas.
5. Volume ekspirasi paksa detik pertama ≤ 60% nilai
prediksi.
6. Arus puncak ekspirasi ≤ 60% nilai terbaik.
7. Variabiliti APE > 30%.

Dikutip dari (3)

Bagian Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FKUPH 3


Tabel 2. Klasifikasi derajat asma pada medikasi harian dan respons terhadap
pengobatan
Gejala klinis dan fungsi paru Tahap terapi saat ini
saat terapi Tahap 1: Tahap 2: Tahap 3:
Intermitten Persisten ringan Persisten berat
Tahap 1. Intermitten
Gejala < 1x/minggu (mg)
Eksaserbasi jarang Intermitten Persisten ringan Persisten
Gejala malam < 2x/bulan sedang
Faal paru normal di luar
serangan
Tahap 2. Persisten ringan
Gejala > 1x/mg, < 1X/hari
Gejala malam > 2x/bulan, < Persisten ringan Persisten Persisten berat
1x/mg sedang
Faal paru normal di luar
serangan
Tahap 3. Persisten sedang
Gejala setiap hari
Eksaserbasi mempengaruhi
aktivitas dan tidur Persisten sedang Persisten berat Persisten berat
Gejala malam > 1x/mg
60% < VEP1 < 80% prediksi
60% < PEF < 80% nilai
terbaik
Tahap 4. Persisten berat
Gejala setiap hari
Eksaserbasi sering Persisten berat Persisten berat Persisten berat
Gejala malam sering
VEP1 ≤ 60% prediksi atau
PEF ≤ 60% nilai terbaik

Dikutip dari (3)

Bagian Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FKUPH 4


DAFTAR PUSTAKA
1. Global Initiative for Asthma. Global Strategy for Asthma Management
and Prevention, 2020. Available from: www.ginaasthma.org
2. Quirt J, Hildebrand K, Mazza J, Noya F, Kim H. Asthma. Allergy,
Asthma & Clinical Immunology. 2018;14(S2).
3. Ichinose M, Sugiura H, Nagase H, Yamaguchi M, Inoue H, Sagara H et
al. Japanese guidelines for adult asthma 2017. Allergology International.
2017;66(2):163-189.

Bagian Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FKUPH 5


BAB 2
PATOGENESIS

2.1 Patogenesis Asma


Asma merupakan penyakit yang kompleks. Berbagai sel dan mediator
inflamasi terlibat dalam patogenesis penyakit ini. Hubungan antara inflamasi dan
gejala klinis belum jelas. Terdapat beberapa bukti yang menunjukkan bahwa
derajat inflamasi tidak berhubungan dengan derajat asma, oleh karena itu diduga
terdapat beberapa faktor ikut menentukan derajat asma antara lain perubahan
struktur saluran napas, infiltrasi neutrofil dan mekanisme neural.1-3
Terdapat teori yang mengatakan bahwa seorang penderita asma memiliki
genetik yang rentan untuk atopi dan asma sehingga apabila terpajan dengan
alergen lingkungan maka mudah menimbulkan inflamasi limfosit dalam saluran
napas yang berakibat asma.4-6
Sejak dalam kandungan, sel T naif neonatus cenderung berpolarisasi
kearah limfosit T subtipe T helper 2 (Th2). Sekresi sitokin yang berasal dari Th2
seperti Interleukin 4 (IL-4), IL-5 dan IL-13 merangsang inflamasi eosinofil, sel
mast dan mengubah struktur saluran napas. Inflamasi kronik terjadi akibat
eksaserbasi inflamasi akut yang disebabkan oleh virus atau pajanan alergen
sehingga dapat menimbulkan remodeling saluran napas.7,8 Diagram 1
memperlihatkan rangkaian evolusi asma .

Bagian Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FKUPH 6


Diagram 1. Evolusi asma

Dikutip dari (10)


2.2 Inflamasi Pada Asma
Bukti bahwa inflamasi merupakan komponen asma ditemukan pertama
kali pada otopsi saluran napas penderita asma berupa infiltrasi neutrofil, eosinofil,
degranulasi sel mast, penebalan membran subbasalis, hilangnya integritas sel
epitel, obstruksi lumen bronkus oleh mukus, hiperplasia dan hipertrofi otot polos
bronkus serta hiperplasia sel goblet.10,11
Inflamasi asma dibagi menjadi inflamasi akut dan inflamasi kronik.
Inflamasi akut terdiri dari reaksi fase cepat dan reaksi fase lambat.

Reaksi fase cepat


Reaksi ini ditandai oleh aktivasi sel mast dan makrofag saluran napas.
Sel yang teraktivasi melepaskan mediator proinflamasi antara lain histamin,
eicosanoid dan reactive oxygen species (ROS) yang dapat menginduksi kontraksi

Bagian Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FKUPH 7


otot polos bronkus, menyebabkan sekresi mukus dan vasodilatasi. Mikrosirkulasi
bronkus berperan penting pada proses inflamasi ini. Mediator inflamasi
menyebabkan kebocoran mikrovaskuler sehingga terjadi eksudasi plasma ke
dalam saluran napas yang akhirnya menurunkan integritas epitel dan mengurangi
klirens mukus. Keberadaan eksudat plasma, mukus, sel epitel dan sel endotel
menyebabkan obstruksi saluran napas.10,11

Reaksi fase lambat


Reaksi fase lambat terjadi dalam 6-9 jam setelah provokasi antigen dan
melibatkan rekruitmen dan aktivasi eosinofil, sel T limfosit CD4, basofil, neutrofil
dan makrofag.
Rangsangan terhadap T helper 2 (Th2) merupakan mekanisme terpenting
pada fase ini. Reaksi ini dapat dipakai sebagai suatu sistem untuk mempelajari
inflamasi kronik pada asma. Sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit dan monosit
yang terdapat dalam saluran napas merupakan akibat dari interaksi adhesif antara
sel inflamasi yang bersirkulasi dengan sel endotel mikrovaskular melalui
produksi mediator proinflamasi, sitokin, kemokin dan molekul adhesi pada
permukaan sel.10,11 Gambar 2 menunjukkan mekanisme reaksi fase cepat dan
reaksi fase lambat pada inflamasi akut penderita asma.
Inflamasi kronis bersifat lebih kompleks dibanding inflamasi akut karena
melibatkan berbagai sel inflamasi dan sel saluran napas. Eosinofil berperan
sebagai efektor dalam pengeluaran mediator proinflamasi, mediator sitotoksik dan
sitokin yang menyebabkan kebocoran vaskular, hipersekresi mukus, kontraksi otot
polos, pengelupasan epitel dan hipereaktivitas bronkus. Sel ini memicu terjadinya
proses remodeling melalui penglepasan sitokin dan faktor pertumbuhan.10,11
Beberapa sel inflamasi yang terlibat pada asma adalah sebagai berikut:

Bagian Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FKUPH 8


Sel mast
Sel ini berperan penting dalam menimbulkan respons alergi tipe cepat
yang terjadi dalam beberapa menit setelah tubuh terpajan antigen yang sesuai.
Gejala yang ditimbulkan berupa batuk, sesak dan mengi yang puncaknya dalam
10-15 menit setelah pajanan dan membaik dalam 60 menit. Permukaan sel ini
berikatan dengan Imunoglobulin (Ig) E, mengadakan ikatan silang dengan antigen
sehingga melepaskan beberapa kemokin, mediator seperti histamin, leukotrien
(LT), prostaglandin (Pg) D2, tromboksan B2 dan platelet activating factors
(PAF). Sitokin yang dihasilkan adalah interferon γ (IFN-γ), IL-1, IL-4, IL-5, IL-6,
IL-8, IL-16. Melalui penglepasan faktor tersebut di atas, maka sel mast
berkontribusi menimbulkan persistensi inflamasi saluran napas dan tetap ada pada
reaksi fase lambat.10,11

Neutrofil
Peningkatan jumlah neutrofil dalam saluran napas dapat ditemukan pada
beberapa keadaan seperti asma eksaserbasi baik yang penyebabnya infeksi
maupun noninfeksi dan asma berat yang dengan pengobatan nonsteroid berespons
baik. Keterlibatan neutrofil dalam patogenesis asma melalui mediator yang
dikeluarkan seperti mediator lipid, reactive oxygen species (ROS) dan beberapa
protease (myeloperoksidase dan matriks metalloproteinase). Neutrofil yang
ditemukan dalam 6 jam setelah pajanan ternyata berkorelasi dengan kadar IL-8
dalam cairan kurasan bronkoalveolar, sehingga diduga sitokin ini berperan penting
dalam rekruitmen neutrofil dalam saluran napas. 10,11

Limfosit
Sel T limfosit sangat berperan pada patogenesis asma. Sel Th2
mengeluarkan sitokin IL-4, IL-5, IL-9 dan IL-13. Melalui sitokin ini, terjadi
rekruitmen dan aktivasi eosinofil, produksi Ig-E, sekresi mukus dan ekspresi

Bagian Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FKUPH 9


molekul adhesi seperti vascular cell adhesion molecules (VCAM-1). Sel T
limfosit juga mampu memproduksi sejumlah sitokin dan kemokin yang
meningkatkan jumlah sel inflamasi lain dan memperburuk kondisi inflamasi akut
dan kronis. 10,11

Gambar 1. Reaksi asma fase cepat dan fase lambat.


Dikutip dari (6)

Makrofag
Makrofag merupakan sel dominan dalam saluran napas bawah. Cairan
kurasan bronkus menunjukkan bahwa makrofag dapat ditemukan lebih dari 90%
baik pada orang normal maupun penderita asma stabil. Fungsinya dalam sistem
pertahanan tubuh berupa fagositosis, pengeluaran sejumlah enzim dan ROS.
Beberapa sitokin seperti Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factors
(GM-CSF), IL-1, IL-6 dan mediator lipid (LTB4, C4, D4, tromboksan A2) serta
matriks metalloproteinase juga dilepaskan makrofag. Sel ini juga melepaskan
sitokin antiinflamatori seperti IL-10, IL-12 dan tissue growth factor (TGF) β.10,11

Bagian Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FKUPH 10


Sel epitel dan fibroblast
Sel ini ikut berperan dalam inlamasi saluran napas penderita asma. Injuri
pada sel epitel dapat melepaskan sitokin dan kemokin yang memperberat
inflamasi. 10,11

Eosinofil
Asma umumnya berhubungan dengan eosinofil sputum.11 Jumlah
eosinofil hanya berkisar 1-3% dari lekosit perifer. Peran eosinofil penting dalam
menimbulkan inflamasi bronkial, injuri epitel dan hiperreaktiviti bronkus pada
asma. Eosinofil sirkulasi yang ditemukan melewati empat tahap proses fisiologis
yaitu diferensiasi sel progenitor, proliferasi eosinofil dalam sum-sum tulang,
interaksi antara eosinofil dan sel endotel (rolling, adhesi dan migrasi,
kemoatraksi), aktivasi dan destruksi. 10,11
Hubungan antara inflamasi saluran napas dengan derajat asma masih
kontroversial. Beberapa penelitian menunjukkan hubungan yang relevan tetapi
penelitian lain tidak menunjukkan hal tersebut. Inhalasi alergen meningkatkan
jumlah eosinofil pada reaksi fase lambat seorang penderita asma, dibuktikan
melalui pemeriksaan kurasan bronkoalveolar (BAL). Eosinofil menyebabkan
hiperreaktiviti bronkus melalui protein granula yang dilepaskan yaitu Eosinophil
Cationic Protein (ECP), Major Basic Protein (MBP), Eosinophil Peroxidase
(EPO) dan Eosinophil-Derived Neutrotoxin (EDN) . 10,11
Peran eosinofil sebagai penanda yang akurat untuk menilai derajat asma
telah lama diketahui. Pemeriksaan dan pemantauan terhadap eosinofil sputum juga
berguna untuk mengevaluasi efek antiinflamasi pada penggunaan kortikosteroid
inhalasi. Peningkatan jumlah eosinofil dalam sputum dikaitkan dengan kejadian
eksaserbasi dan dapat dimediasi oleh IL-5, sitokin spesifik untuk rekruitmen dan
aktivasi eosinofil. 10,11

Bagian Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FKUPH 11


DAFTAR PUSTAKA
1. Zeiger R, Yegin A, Simons F, Haselkorn T, Rasouliyan L, Szefler S et al.
Evaluation of the National Heart, Lung, and Blood Institute guidelines
impairment domain for classifying asthma control and predicting asthma
exacerbations. Annals of Allergy, Asthma & Immunology.
2012;108(2):81-7.e3.
2. Drake M, Lebold K, Roth-Carter Q, Pincus A, Blum E, Proskocil B et al.
Eosinophil and airway nerve interactions in asthma. Journal of Leukocyte
Biology. 2018;1-7.
3. Ricciardolo F, Folkerts G, Folino A, Mognetti B. Bradykinin in asthma:
Modulation of airway inflammation and remodelling. European Journal
of Pharmacology. 2018;827:181-8.
4. Voisin T, Bouvier A, Chiu I. Neuro-immune interactions in allergic
diseases: novel targets for therapeutics. International Immunology.
2017;29(6):247-61.
5. Baldacci S, Maio S, Cerrai S, Sarno G, Baïz N, Simoni M et al. Allergy
and asthma: Effects of the exposure to particulate matter and biological
allergens. Respiratory Medicine. 2015;109(9):1089-104.
6. Woodruff PG, Bhakta NR, Fahy JV. Asthma: Pathogenesis and
Phenotypes. In: Broaddus VC, Mason RJ, Ernst JD, Murray JF, Nadel
JA, editors. Textbooks Of Respiratory Medicine. 6th, ed. Philadelphia:
Elsevier Saunders Company; 2016.p. 713-30.
7. Baldacci S, Maio S, Cerrai S, Sarno G, Baïz N, Simoni M et al. Allergy
and asthma: Effects of the exposure to particulate matter and biological
allergens. Respiratory Medicine. 2015;109(9):1089-104.
8. Szefler S. The natural history of asthma and early intervention. Journal of
Allergy and Clinical Immunology. 2002;109(6):S549-S553.

Bagian Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FKUPH 12


9. Woodruff PG, Bhakta NR, Fahy JV. Asthma: Pathogenesis and
Phenotypes. In: Broaddus VC, Mason RJ, Ernst JD, Murray JF, Nadel
JA, editors. Textbooks Of Respiratory Medicine. 6th, ed. Philadelphia:
Elsevier Saunders Company; 2016.p. 713-30.
10. Bell MC, Busse WW. The Biology Of Asthma. In: Grippi MA, Elias JA,
Fishman JA, Kotloff RM, Pack AI, Senior RM, editors. Fishman’s
Pulmonary Disease And Disorder. 5th, ed. New York: McGraw-
Hill;2015.p.673-87.
11. Barnes P. Asthma mechanisms. Medicine. 2016;44(5):265-270.

Bagian Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FKUPH 13


BAB 3
TANDA DAN GEJALA

3.1 Tanda dan Gejala


Tanda khas kelainan fungisonal pada asma yaitu menghasilkan
penyempitan jalan napas sebagai rangsangan (hiperreaktif) yang pada orang
normal tidak terjadi. Hipereaktivitas bronkus berkaitan dangan proses inflamasi
jalan napas serta menunjukkan respons reversibel dengan pengobatan. Mekanisme
hipereaktivitas bronkus berhubungan dengan beberapa faktor:1
• Kontraksi otot polos bronkus baik karena volume otot yang meningkat
maupun karena kontraksi sel-sel otot.
• Uncoupling of airway contraction, karena perubahan pada jalan napas
akibat inflamasi.
• Penebalan dinding jalan napas akibat edema dan perubahan struktur yang
menambah penyempitan jalan napas.
• Serabut sensorik yang tersensitisasi antara lain oleh inflamasi.
Gejala asma bervariasi yaitu batuk berulang, sesak napas, rasa berat di
dada, napas berbunyi (mengi). Tidak ada gejala khas asma karena gejala-gejala ini
juga dapat ditemukan pada kondisi penyakit lainnya seperti bronkitis dan PPOK,
namun pola khas asma adalah periodik, variabilitas dan reversibilitas. Beberapa
gejala yang mendukung diagnosis adalah:2,3
• Disertai gejala lain seperti rhinitis allergika.
• Disertai gejala atopi (rhinitis allergika, konjungtivitis allergika dan
dermatitis atopi)
• Mempunyai riwayat alergi dalam keluarga

Bagian Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FKUPH 14


3.2 Pemeriksaan Fisik
Temuan pemeriksaan fisik pada asma bervariasi dari normal sampai
mengi pada saat auskultasi. Mengi umumnya bersifat difus, polifonik dan lebih
terdengar pada saat ekspirasi. Semakin berat obstruksinya, semakin tinggi nada
menginya, semakin keras intensitasnya dan terdengar pada kedua fase pernapasan
(inspirasi dan ekspirasi). Pada obstruksi yang sangat berat, mengi tidak terdengar,
pasien tampak gelisah , kesadaran menurun dan terjadi sianosis. Kondisi tersebut
dikenal dengan nama silent chest.2,3 Tanda klinis lain dapat dilihat pada tabel 3 di
bawah ini.
Tabel 3. Tanda dan gejala klinis asma eksaserbasi akut
Gejala dan Eksaserbasi Eksaserbasi Eksaserbasi Mengancam
tanda Ringan Sedang Berat jiwa
Sesak napas jika berjalan berbicara Istirahat
Posisi dapat duduk duduk berbaring
tidur terlentang
Cara berbicara satu kalimat beberapa kata perkata
kata
Kesadaran mungkin gelisah gelisah gelisah mengantuk,
gelisah,
kesadaran
menurun
Frekuensi napas < 20x/m 20-30x/m > 30x/m
Otot bantu napas - + + Pergerakan
dan retraksi torakoabdominal
suprasternal paradoksal
Mengi Sedang,umumnya Keras, Keras, saat Tidak ada (silent
hanya pada akhir umumnya inspirasi dan chest)
ekspirasi paksa terdengar ekspirasi
jelas saat
ekpirasi
Nadi < 100x/m 100-120 x/m > 120x/m Bradikardia
Pulsus Tidak ada atau < 10-25 25 mmHg Tidak ada,
paradoksus 10 mmHg mmHg (dewasa), 20- disebabkan oleh
40 mmHg kelelahan otot
(anak)

Bagian Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FKUPH 15


Arus Puncak > 80% 60-80% < 60%
Ekspirasi,
setelah
bronkodilator
(% prediksi nilai
terbaik)
PaO2 Normal > 60 mmHg < 60 mmHg
PaCO2 < 45 mmHg < 45 mmHg Sianosis
mungkin,
> 45 mmHg
SaO2 > 95% 91-95% < 90%
Dikutip dari (2)

Bagian Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FKUPH 16


DAFTAR PUSTAKA
1. Barnes P. Asthma mechanisms. Medicine. 2016;44(5):265-270.
2. Global Initiative for Asthma. Global Strategy for Asthma Management
and Prevention, 2020. Available from: www.ginaasthma.org
3. Quirt J, Hildebrand K, Mazza J, Noya F, Kim H. Asthma. Allergy,
Asthma & Clinical Immunology. 2018;14(S2).

Bagian Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FKUPH 17


BAB 4
DIAGNOSIS

4.1 Diagnosis
Asma sebagai penyakit yang bersifat heterogen memiliki karakteristik
inflamasi kronik saluran napas yang memiliki 2 gambaran utama yaitu riwayat
gejala sumbatan jalan napas seperti mengi, sesak napas, rasa berat di dada dan
batuk yang berulang dan limitasi laju ekspirasi yang bervariasi.
Penegakan diagnosis asma dapat dilihat dari alur diagram di bawah ini:

Apakah gejalanya tipikal


asma?
Tidak
Ya
Pemeriksaan /riwayat detil
mengenai asma

Apakah
riwayat/pemeriksaan
mendukung asma?
Gali riwayat dan tes lain
untuk diagnosis alternatif
Ya Tidak

Lakukan spirometri/APE
dengan tes reversibility

Apakah tes ini mendukung


diagnosis asma?

Urgensi klinis

Ulangi pada kesempatan


Ya lain atau lakukan uji lain Tidak

Apakah diagnosis asma


Tidak terkonfirmasi?

Pengobatan empiris dengan


Kortikosteroid inhalasi dan Tidak
β2 agonis kerja cepat Pertimbangkan pengobatan
percobaan untuk diagnosis
Ya yang paling mendekati atau Ya
Nilai respons terapi
Test diagnosis dalam 1-3 rujuk untuk investigasi lebih
bulan lanjut

Obati sebagai asma Obati sebagai diagnosis


alternatif

Diagram 2. Alur diagnosis asma


Dikutip dari (1)

Bagian Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FKUPH 18


4.2 Kriteria Diagnosis Asma
Tabel 4. Kriteria diagnosis asma
1. Riwayat gejala pernapasan1,2
Gejala tipikal berupa mengi, sesak napas, dada sesak dan batuk
• Pasien yang memiliki asma sering mempunyai lebih dari satu dari gejala
tersebut
• Intensitas dan waktu munculnya gejala sangat beragam
• Gejala sering muncul atau lebih parah pada malam hari atau pada saat
bangun
• Gejala sering dipicu oleh aktivitas, tertawa, alergen atau udara dingin
• Infeksi virus dapat memicu atau memperparah gejala.
2. Bukti fisik adanya sumbatan pengeluaran udara saat ekspirasi
• Rendahnya volume ekspirasi paksa (VEP1), penurunan rasio VEP1 /
Kapasitas Vital Paksa (KVP). Nilai normal rasio VEP1 / KVP pada orang
dewasa adalah 0.75-0.80 dan diatas 0.90 pada anak.
• Peningkatan atau perubahan fungsi pernapasan yang berlebihan,
contohnya :
o Setelah mengkonsumsi bronkodilator inhalasi VEP1 meningkat
>12% dan 200 ml (pada anak >12% dari nilai normal). Disebut
reversibilitas bronkodilator.1,2
o Variabilitas arus puncak ekspirasi (APE) >10% pada dewasa,
APE >13% pada anak dalam sehari, APE ≥20% pada anak.1,2
o Peningkatan VEP1 >12% dan 200ml (pada anak >12% dari nilai
normal) setelah pasien mengkonsumsi anti-inflamasi selama 4
minggu (terkecuali pada kasus infeksi virus)
• Semakin besar perubahan fungsi pernapasan atau semakin sering
ditemukannya perubahan tersebut kemungkinan besar pasien tersebut
memiliki asma.
• Pengujian ulang dibutuhkan saat gejala muncul, di pagi hari, atau setelah
mengkonsumsi bronkodilator
• Dapat dilakukan tes lain berupa methacholine challenge test dengan hasil
positif menunjukkan PC20 <4mg/mL.

Bagian Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FKUPH 19


- Cara perhitungan variabilitas APE yaitu dengan mengukur APE dua kali
sehari (satu kalinya terdiri dari 3 kali percobaan diambil yang terbaik).
PEF tertinggi dikurangi APE terendah lalu dibagi dengan rata-rata PEF
selama 1-2 minggu.
- Selalu gunakan APE meter yang sama.
- Pemeriksaan fisik yang sering ditemukan pada pasien yang mengidap
asma adalah mengi saat askultasi atau pada ekspirasi paksa. Pemeriksaan
fisik sering ditemui normal jika pasien megalami asma ringan atau saat
sedang timbul gejala.1,2
- Pada keadaaan asma akut, lakukan pemeriksaan yang objektif untuk
menegakkan asma seperti Fractional Exhaled Nitric Oxide (FeNO),
spirometri, dan peak flow variabilitas. Nilai FeNO ≥40 ppb mengarah ke
uji yang positif bagi usia ≥17 tahun.2

4.3 Tatalaksana Asma

4.3.1 Prinsip Penatalaksanaan Asma


Tujuan utama dalam menatalaksana asma adalah gejala asma yang
terkontrol agar pasien dapat memiliki kualitas hidup yang baik dan mengurangi
risiko eksaserbasi, kerusakan saluran pernapasan dan efek samping pengobatan.
• Putusan pengobatan tingkat pasien. Tatalaksana yang diberikan kepada
pasien disesuaikan dengan setiap masing-masing pasien, yang
bergantung pada karakter pasien, respon pasien terhadap pengobatan, dan
status social-ekonomi pasien.

• Hubungan antara tenaga medis dan pasien akan sangat mempengaruhi


efektifitas dari tatalaksana asma. Dengan kemampuan komunikasi yang
baik dari tenaga medis dalam menyampaikan dan mengajarkan mengenai

Bagian Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FKUPH 20


tatalaksana asma kepada pasien dapat meningkatkan kepuasan pasien,
kesahatan yang lebih baik, dan mengurangi jumlah tenaga medis.

• Literatur kesehatan – yaitu, kemampuan pasien untuk menerima,


memproses, dan mengerti informasi kesehatan yang berguna untuk
membuat keputusan yang harus dibuat untuk menentukan tatalaksana dan
edukasi asma.

4.3.2 Pengendalian Gejala Asma dan Pengurangan Risiko Eksaserbasi


Pengobatan asma yang bertujuan untuk mengendalikan gejala dan
mengurangi risiko antara lain:1,3
• Farmakologis, yang terbagi atas pengobatan reliever dan pengobatan
controller
• Tatalaksana faktor risiko
• Terapi dan strategi non-farmakologis.

Setiap pasien harus dilatih agar mempunyai kemampuan dalam


melakukan tatalaksana asma mandiri, termasuk:3
• Informasi mengenai asma
• Kemampuan menggunakan inhaler
• Ketaatan menggunakan controller secara benar
• Rencana tatalaksana asma yang tertulis
• Pemantauan diri
• Pengecekan medis rutin
• Membatasi trigger/alergen
• Melakukan intervensi perubahan gaya hidup seperti berolahraga, berhenti
merokok, dan melihat masalah berat badan
• Monitor gejala asma secara mandiri
• Mengikuti rencana tindak asma (asthma action plan).

Bagian Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FKUPH 21


4.3.3 Tatalaksana Asma Berbasis Kontrol
Komponen penting dalam penatalaksanaan asma adalah penilaian,
penyesuaian tatalaksana, dan meninjau respon. Ketiga hal tersebut dilakukan
dalam siklus yang bekelanjutan.
Diagram 3. Siklus tatalaksana asma berbasis control

• Diagnosis
• Gejala • Kontrol gejala dan
• Eksaserbasi faktor resiko
• Efek samping (termasuk fungsi
• Kepuasan pasien paru)
• Fungsi paru • Teknik inhaler dan
ketaatan
• Preferensi pasien

• Obat-obatan asma
• Strategi dan terapi non- farmakologis
• Pengobatan faktor risiko yang dapat
dimodifikasi

Dikutip dari GINA 2017


Dikutip dari (1)

4.3.4 Pengobatan Controller Inisial


Untuk hasil yang maksimal, penggunaan controller secara rutin harus
diinisiasikan sedini mungkin setelah diagnosis asma ditegakkan, karena hal-hal
berikut:2,5
• Perbaikan keluhan dan mmengurangi kejadian eksaserbasi
• Pengobatan dini menggunakan kortikosteroid inhalasi dosis rendah akan
membuat fungsi paru menjadi lebih baik daripada memulai pengobatan
saat gejala sudah menetap selama 2-4 tahun

Bagian Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FKUPH 22


• Perbaikan kualitas hidup
• Perbaikan produktivitas kerja
• Mengurangi beban biaya yang tidak perlu ada

Penggunaan kortikosteroid inhalasi dosis rendah secara reguler


direkomendasikan untuk semua pasien yang terdiagnosis asma dan mereka yang
memiliki ciri-ciri berikut:1
• Gejala asma lebih dari dua kali selama sebulan
• Terbangun akibat serangan asma lebih dari satu kali dalam satu bulan
• Gejala-gejala asma ditambah dengan faktor resiko untuk eksaserbasi:
o Memerlukan kortikosteroid oral dalam 12 bulan terakhir
o Nilai VEP1 yang rendah
o Riwayat dirawat dalam ruang intensif karena asma

Memulai pengobatan dari tingkat yang lebih tinggi berupa Inhaled


corticosteroid (ICS) dosis sedang/tinggi, atau ICS dosis rendah dan long acting β2
agonist (LABA) dari tingkat pertama dapat dikonsiderasi jika pasien mengalami
gejala asma yang cukup mengganggu hampir setiap harinya; atau terbangun
karena asma satu kali atau lebih dalam seminggu, terutama ketika pasien tersebut
memilik faktor resiko untuk mengalami eksaserbasi. Step down diberlakukan
ketika asma sudah terkontrol dalam waktu 3 bulan. Step down terapi tidak akan
berhasil jika pada follow-up tidak diperhatikan hal-hal sebagai berikut:1,5
• Melihat kembali teknik penggunaan inhaler
• Kepatuhan penggunaan obat-obatan
• Penggendalian lingkungan.

Jika pasien datang pertama kali dengan kondisi asma berat yang tidak
terkontrol, atau dengan keadaan eksaserbasi akut, berikan kortikosteroid oral
untuk jangka pendek dan memulai pengobatan controller setelahnya yaitu ICS

Bagian Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FKUPH 23


dosis tinggi, atau ICS dosis sedang /LABA. Untuk jenis-jenis kortikosteroid dosis
(mcg) rendah, sedang dan tinggi dapat dilihat pada tabel dibawah ini
Tabel 5. Dosis kortikostreoid

Dewasa dan Dewasa muda Anak-anak 6 – 11 tahun


Kortikosteroid
Inhalasi
Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi
Beklometason
dipropionat (pMDI*, 200-500 >500-1000 >1000 100-200 >200-400 >400
HFA)
Beklometason
dipropionat (pMDI,
100-200 >200-400 >400 50-100 >100-200 >200
extrafine particle,
HFA)
Budesonid (DPI) 200-400 >400-800 >800 100-200 >200-400 >400
Budesonid (Nebule) 250-500 >500-1000 >1000
Siklesonid (pMDI,
extrafine particle, 80-160 >160-320 >320 80 >80-160 >160
HFA)
Flutikason furoat
(DPI) 100 200 50 n.a

Flutikason propionat
(DPI) 100-250 >250-500 >500 50-100 >100-200 >200

Flutikason propionat
(pMDI*, HFA) 100-250 >250-500 >500 50-100 >100-200 >200

Mometason furoat
200 400
(DPI)
Mometason furoat
200-400 400 100 200
(pMDI*, HFA)
pMDI: Pressurized Metered Dosed Inhaler; DPI: Dry Powder Inhaler; HFA:
Hydrofluoroalkalane propellant. *partikel standard. ICS dengan pMDI disarankan
menggunakan spacer
Dikutip dari (1)

Bagian Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FKUPH 24


Sebelum memulai pengobatan controller insial
• Jika memungkinkan, simpan dan catat bukti penemuan pada pasien yang
terdiagnosis asma
• Pantau gejala dan faktor resiko yang dimiliki
• Ketika kondisi memungkinkan, periksa fungsi paru
• Latih pasien untuk menggunakan inhaler dengan tepat, dan perhatikan
teknik mereka
• Jadwalkan tanggal follow-up

Setelah memulai pengobatan controller insial


• Cek kembali respon pengobatan setelah 2-3 bulan, atau lebih cepat jika
diperlukan
• Step down dapat diberlakukan ketika asma sudah terkontrol baik dalam 3
bulan

4.3.5 Langkah – langkah Pengobatan Asma


Setelah pengobatan asma dijalankan, keputusan berikutnya mengikuti
siklus yang sudah digambarkan di atas. Pengobatan yang dipilih secara berkala
dapat dilihat pada klasifikasi berikut:1,6

Langkah 1: Short acting β2 agonist (SABA) jika diperlukan tanpa controller.


Kelas ini hanya diindikasikan jika gejala yang timbul bersifat jarang,
tidak ada riwayat terbagun di malam hari akibat asma, tidak ada eksaserbasi dalam
satu tahun lampau, dan nilai VEP1 yang normal.
Pilihan lain: ICS dosis rendah untuk pasien dengan kecenderungan mengalami
eksaserbasi.

Bagian Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FKUPH 25


Langkah 2: ICS dosis rendah secara reguler ditambah SABA jika
diperlukan.1
Pilihan lain: Leukotriene receptor antagonists (LTRA) dan teofilin dosis
rendah kurang efektif dibandingkan dengan ICS dosis rendah; ICS /LABA lebih
cepat mengurangi gejala asma dan memperbaiki nilai VEP1 lebih cepat
dibandingkan dengan ICS sendiri, namun harganya lebih mahal dengan tingkat
ekserbasi yang sama. Untuk jenis asma yang disebabkan oleh alergi musim,
inisiasi ICS sedini mungkin dan dihentikan 4 minggu setelahnya.

Langkah 3: ICS dosis rendah/LABA sebagai terapi controller ditambah


SABA jika dieperlukan.1
Pilihan lain: ICS dosis sedang/tinggi atau ICS dosis rendah ditambah
LTRA/teofilin untuk pasien dewasa.

Langkah 4: ICS dosis sedang/tinggi kombinasi LABA ditambah SABA jika


diperlukan sebagai controller dan terapi reliever, atau ICS dosis
1
sedang/LABA sebagai controller ditambah SABA jika diperlukan.
Pilihan lain: tiotropium dengan inhaler atau ICS dosis tinggi ditambah
LTRA/teofilin dapat ditambahkan untuk pasien ≥12 tahun dengan riwayat
eksaserbasi.

Langkah 5: Rujuk ke spesialis untuk pemeriksaan dan pengobatan lebih


lanjut.1
Terapi tambahan berupa tiotropium dengan inhaler untuk pasien dengan
riwayat eksaserbasi (≥12 tahun), anti-IgE (omalizumab) untuk asma alergi berat
≥6 tahun, dan anti-IL5 (mepolizumab subkutan atau reslizumab IV) untuk asma

Bagian Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FKUPH 26


eosinofilik berat (≥12 tahun). Pengobatan dengan bantuan pemeriksaan sputum
dapat dilakukan jika memungkinkan.
Pilihan lain: beberapa pasien mungkin akan diuntungkan dengan
pemberian kortikosteroid oral dosis rendah tetapi dengan resiko efek samping.

4.3.6 Kemampuan Melakukan Terapi Inhalasi

Sediakan pelatihan untuk penggunaan alat inhaler secara efektif.


Hampir seluruh pasien (80%) tidak dapat menggunakan inhaler mereka
dengan benar padahal kesuksesan manajemen asma sangat tergantung dari
kepatuhan dan teknik penggunaan alat inhaler. Penggunaan alat inhaler yang
tidak benar dan kepatuhan yang rendah akan menghasilkan manfaat klinis yang
minimal, meningkatkan eksaserbasi, meningkatkan penggunaan fasilitas
kesehatan, menurunkan produktivitas, dan meningkatkan biaya rumah sakit.
Untuk memastikan ketrampilan pemakaian inhaler dengan benar, maka:1,7
• Pilih alat yang paling sesuai untuk pasien sebelum meresepkan
pengobatan: perhatikan jenis obat, masalah fisik seperti arthritis,
ketrampilan pasien dan biaya; untuk kortikosteroid inhalasi dengan
inhaler dosis terukur, berikan spacer.
• Periksa teknik inhalasi sesering mungkin. Minta pasien untuk
menunjukan bagaimana cara mereka memakai inhaler mereka. Periksa
teknik mereka menggunakan daftar tilik yang tersedia.
• Perbaiki cara pasien dengan melakukan demonstrasi, dan tunjukkan
langkah-langkah yang salah. Ulang 2-3 kali jika diperlukan hingga pasien
mengerti.
• Pastikan pemeriksa memiliki daftar tilik untuk setiap jenis alat inhaler
yang diberikan, dan pemeriksa harus dapat menunjukan cara yang tepat
ke pasien mereka.

Bagian Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FKUPH 27


DAFTAR PUSTAKA

1. Global Initiative for Asthma. Global Strategy for Asthma Management


and Prevention, 2020. Available from: www.ginaasthma.org
2. Asthma: Diagnosis, Monitoring and Chronic Asthma Management.
NICE Guidance and Guidelines. Available from:
http://www.nice.org.uk/Guidance/NG80. 2017; 6-7.
3. Chang T, Crum P, Lozano P, et al. Asthma Diagnosis and Treatment
Guideline. Kaiser Foundation Health Plan of Washington; 2015.
4. Pavord I, Mathieson N, Scowcroft A, Pedersini R, Isherwood G, Price D.
The Impact of Poor Asthma Control Among Asthma Patients Treated
with Inhaled Corticosteroids Plus Long-Acting β2-Agonis in the United
Kingdom: A Cross Sectional Analysis. Npj Primary Care Respiratory
Medicine. 2017;27(1).
5. Abramson S. Addressing the step-down process in controlled asthma.
Journal of Allergy and Clinical Immunology. 2016;137(5):1380-1.
6. White J, Paton JY, Niven R, et al. Guidelines for the diagnosis and
management of asthma: a look at the key differences between BTS/SIGN
and NICE. Thorax 2018;0:1-5.
7. Dudvarski Ilic A, Zugic V, Zvezdin B, Kopitovic I, Cekerevac I,
Cupurdija V et al. Influence of inhaler technique on asthma and COPD
control: a multicenter experience. International Journal of Chronic
Obstructive Pulmonary Disease. 2016;11:2509-17.

Bagian Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FKUPH 28


BAB 5
PENATALAKSANAAN ASMA AKUT

5.1 Penatalaksanaan Asma Akut di Pusat Pelayanan Kesehatan dan


Unit Gawat Darurat
Langkah-langkah penatalaksanaan asma akut adalah:1,2
1. Menilai severitas eksaserbasi asma. Menilai derajat sesak (apakah pasien
mampu berbicara dalam kalimat, atau hanya sepatah kata), menghitung
laju napas, menghitung nadi, saturasi oksigen dan menilai fungsi paru.
2. Mempertimbangkan penyebab lain sesak napas seperti gagal jantung,
disfungsi saluran napas atas, inhalasi benda asing atau emboli paru.
3. Mengatur transfer pasien secepatnya ke Intensive Care Unit (ICU) jika
terjadi asma yang mengancam jiwa. Tanda–tanda perburukan asma bila
pasien tampak bingung atau terdapat “silent chest”. Pada kasus seperti ini
maka segera diberikan suplemen oksigen untuk memperoleh level
saturasi oksigen 94-98%, inhalasi short acting β2 agonist (SABA) dosis
tinggi, inhalasi ipratropium bromida, dan kortikosteroid sistemik. Pada
kasus asma mengancam jiwa perlu diberikan nebulisasi dengan oksigen.
4. Memulai pengobatan SABA (menggunakan pMDI atau spacer),
kortikosteroid oral dan melakukan kontrol oksigen. Lakukan pengecekan
respons terapi dan saturasi oksigen dan mengukur fungsi paru setelah 1
jam pengobatan awal. Titrasi oksigen sampai saturasi oksigen terjaga
sebesar 93%-95% pada orang dewasa dan 94%-98% pada anak umur 6-
12 tahun.
5. Mempertimbangkan pemberian SABA dan penambahan ipratropium
bromida pada eksaserbasi berat dengan cara nebulisasi,
mempertimbangkan penambahan magnesium sulfat intravena yang tidak
respons terhadap pengobatan awal.

Bagian Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FKUPH 29


Telaah respons wajib dilakukan dalam pemberian terapi gawat darurat asma.
Beberapa hal yang harus diperhatikan adalah:
1. Monitor pasien secara dekat dan sering. Apabila terjadi perburukan,
maka segera transfer pasien ke unit yang lebih tinggi.
2. Putuskan apakah pasien memerlukan rawat inap atau tidak berdasarkan
status klinis pasien.
3. Mengatur pengobatan yang akan diberikan sebelum pasien dipulangkan.
Bagi pasien yang belum pernah mendapatkan terapi controller asma,
maka segera diberikan saat pasien pulang, dan bagi yang sudah
mendapatkan terapi controller asma dalam pengobatannya sehari-hari,
maka dosis terapi controller ditingkatkan hingga 2-4 minggu. Lakukan
pengecekan terhadap teknik pemakaian dan dosis inhaler.
4. Mengatur follow up setelah eksaserbasi
Merujuk ke ICU atas indikasi sebagai berikut:2
1. Memerlukan bantuan ventilator.
2. Semua kasus akut berat atau asma mengancam jiwa yang tidak respon
dengan terapi yang ditandai oleh:
− Perburukan APE
− Hipoksia yang menetap atau memburuk
− Hiperkapnia
− Analisis gas darah menunjukkan asidosis
− Kelelahan
− Bingung, perubahan kesadaran.

Bagian Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FKUPH 30


5.2 Penatalaksanaan Asma Akut di Pusat Pelayanan Kesehatan Primer

Bagian Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FKUPH 31


Dikutip dari (1)

Bagian Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FKUPH 32


DAFTAR PUSTAKA

1. Global Initiative for Asthma. Global Strategy for Asthma Management


and Prevention, 2020. Available from: www.ginaasthma.org
2. British Guideline on the Management of Asthma. British Thoracic
Society. Available from: http://www.brit-thoracic.org.uk. 2014; 13-4.

Bagian Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FKUPH 33


BAB 6
KONTROL ASMA

6.1 Kontrol Asma


Tujuan utama pengobatan asma yaitu untuk mencapai kontrol optimum,
artinya, meminimalisir gejala dan penggunaan β2 agonis kerja singkat, mencegah
bronkokonstriksi sehingga mengurangi risiko eksaserbasi yang mengancam jiwa
dan kematian. Kontrol asma untuk menilai respon terhadap pengobatan yang
dinilai dari gejala dan eksaserbasi. Pemakaian antiinflamasi seperti steroid inhalasi
dapat meredakan gejala asma dengan cepat, walaupun secara relatif efeknya kecil
dalam mengurangi hiperreaktiviti bronkus. Hal ini diakibatkan oleh perubahan
struktur saluran napas yang tidak reversibel.1,2
Global Initiative for Asthma (GINA) 2020 membedakan kontrol asma
dengan derajat asma. Kontrol asma menitikberatkan pada adekuasi terapi
sedangkan derajat asma menitikberatkan pada proses yang mendasari penyakit.
Persepsi umum dan salah yang berkembang sampai saat ini adalah asma yang
terkontrol baik dianggap sama dengan asma ringan sedangkan yang tidak
terkontrol sama dengan asma berat.3
Menurut GINA 2020, kontrol asma dibagi menjadi tiga yaitu terkontrol
baik (well controlled), terkontrol sebagian (partly controlled), dan tidak terkontrol
(uncontrolled). Hal ini dinilai dari frekuensi gejala, terbangun pada malam hari
karena gejala asma, aktivitas terbatas, dan frekuensi penggunaan obat pelega.4
Tabel 6 menunjukkan perbedaan asma terkontrol baik, tekontrol sebagian, dan
tidak terkontrol.

Bagian Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FKUPH 34


Tabel 6. Tingkatan kontrol asma
Karateristik Asma terkontrol Asma terkontrol Asma tidak
baik sebagian terkontrol
Gejala harian Tidak ada (dua Lebih dari dua Tiga atau lebih
kali atau kurang kali seminggu gejala dalam
dalam seminggu) setiap minggu
Pembatasan Tidak ada Sewaktu-waktu
aktivitas dalam seminggu
Gejala Tidak ada Sewaktu-waktu
noktrunal/ dalam seminggu
gangguan tidur
Kebutuhan Tidak ada (dua Lebih dari dua
pelega kali atau kurang kali seminggu
dalam seminggu)
Dikutip dari (4)

Beberapa hipotesis terkini yang berhubungan dengan asma sulit


terkontrol adalah:5,6
1. Persistensi sel inflamasi eosinofil dan limfosit dalam saluran napas.
Menetapnya eosinofil dalam saluran napas diduga sebagai akibat
apoptosis eosinofil yang terlambat sehingga menyebabkan timbunan
eosinofil di jaringan. Penurunan apoptosis sel T memori mengakibatkan
sinyal proinflamasi terjadi terus menerus sehingga terjadi inflamasi
persisten dalam saluran napas.
2. Pajanan alergen yang berlangsung terus menerus.
3. Remodeling saluran napas .
4. Resistensi kortikosteroid.
5. Teknik inhalasi penderita pada pemakaian obat inhalasi.
6. Kepatuhan yang kurang.
7. Perubahan di sekitar lingkungan penderita.
8. Terdapat konkomitan penyakit saluran napas lain yang memperberat.

Bagian Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FKUPH 35


6.2 Instrumen Untuk Menilai Asma Terkontrol
Kriteria ideal sebuah alat ukur asma adalah sederhana, praktis,
bermanfaat, dapat diaplikasikan bagi pasien, dokter dan peneliti, mampu
merefleksikan kontrol asma jangka panjang, bersifat diskrimnatif dan respons
terhadap perubahan. Saat ini, baik klinisi maupun peneliti memerlukan sebuah alat
bantu yang dapat mendeskripsikan kontrol asma secara kuantitatif atau
semikuantitatif.
Berbagai guideline merekomendasikan penilaian kontrol asma
berdasarkan gejala dan fungsi paru. Dewasa ini, metode untuk menilai inflamasi
saluran napas secara noninvasif telah banyak berkembang namun tidak
terintegrasi dalam penilaian kontrol asma. Penilaian kontrol asma dapat dilakukan
oleh dokter dan pasien, oleh karena itu sering timbul estimasi lebih tentang
keadaan ini.4,7
Kontrol asma dapat diskrining dalam bentuk kuesioner. Berbagai macam
kuesioner sudah dipublikasikan antara lain Asthma Control Test (ACT), Asthma
Control Questionnaire (ACQ) dan sebagainya. Sistem ini memakai 3 parameter
pengukur asma yaitu gejala klinis, fungsi paru dan inflamasi saluran napas sebagai
parameter opsi.1
ACT adalah suatu uji skrining berupa kuesioner tentang penilaian klinis
seorang penderita asma untuk mengetahui asmanya terkontrol atau tidak.
Kuesioner ini terdiri dari lima pertanyaan, dikeluarkan oleh American Lung
Association dengan tujuan memberi kemudahan kepada dokter dan pasien dalam
mengevaluasi asma penderita yang berusia lebih dari 12 tahun dan menetapkan
terapi pemeliharaannya. Interpretasi hasil yaitu apabila jumlah nilai sama atau
lebih kecil dari 19 adalah asma tidak terkontrol sedangkan bila nilai lebih besar
dari 19 adalah asma terkontrol.1,8

Bagian Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FKUPH 36


Tujuan ACT adalah menyeleksi asma yang tidak terkontrol, mengubah
pengobatan yang tidak efektif menjadi lebih tepat, melaksanakan pedoman
pengobatan secara lebih tepat dan memberikan pendidikan atau pengetahuan
tentang bahaya keadaan asma yang tidak terkontrol. Kuesioner ini telah diteliti
dan divalidasi sehingga dapat dipakai secara luas untuk menilai dan memperbaiki
kondisi asma seseorang.8,9
Tabel 7. Penilaian kontrol asma
A. Kontrol asma berdasarkan gejala Tingkatan kontrol asma
Dalam 4 minggu terakhir, apakah Terkontrol Terkontrol Tidak
pasien mengalami: baik sebagian terkontrol
• Gejala harian lebih dari dua kali
per minggu?
• Terbangun pada malam hari
karena gejala asma? 1-2 dari 3-4 dari
Tidak ada
• Menggunakan obat pelega gejala keluhan keluhan
lebih dari dua kali per minggu?
• Keterbatasan aktivitas karena
asma?
B. Faktor risiko untuk hasil asma yang buruk
• Nilai faktor risiko saat diagnosis dan secara periodik, khususnya pada pasien
yang mengalami eksaserbasi
• Nilai VEP1 saat memulai pengobatan, 3-6 bulan setelah obat pengontrol
untuk mencatat fungsi paru terbaik pasien, dan lakukan penilaian risiko
secara berkala
Gejala asma tidak terkontrol merupakan faktor risiko untuk eksaserbasi
Faktor risiko tambahan yang dapat dimodifikasi berpotensi untuk eksaserbasi,
termasuk pada pasien dengan beberapa gejala, termasuk:
• Pengobatan: penggunaan SABA tinggi (dengan peningkatan mortalitas jika
>1 x 200 dosis canister/bulan), kortikosteroid inhalasi tidak adekuat, tidak
diresepkan kortikosteroid inhalasi, tidak patuh, teknik inhalasi yang salah
• Komorbid: obestias, rinosinusitis kronik, penyakit refluks esofageal, alergi
makanan yang terkonfirmasi, kehamilan
• Pajanan: rokok, alergen yang tersenitisasi, polusi udara
• Konteks: masalah psikologis atau sosioekonomi

Bagian Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FKUPH 37


• Fungsi paru: VEP1 yang rendah, khususnya <60% prediksi, reversibilitas
bronkodilator tinggi
• Tes lain: pasien dengan inflamasi tipe 2 (eosinofil darah), peningkatan FeNO
(pada pasien dewasa dengan asma alergi yang menggunakan kortikosteroid
inhalasi)

Faktor risiko independen utama lainnya untuk eksaserbasi:


• Pernah intubasi atau di intensive care unit (ICU) karena asma
• ≥1 eksaserbasi berat dalam 12 bulan terakhir

Salah satu dari faktor-faktro risiko diatas meningkatkan risiko eksaserbasi


pasien walaupun hanya memiliki beberapa gejala

Faktor risiko untuk terjadi limitasi aliran udara persisten


• Riwayat: kelahiran prematur, berat badan lahir rendah dan pertambahan
berat badan bayi yang lebih besar, hipersekresi mukus kronik
• Pengobatan: tanpa kortikosteroid inhalasi
• Pajanan: asap rokok, bahan kimia berbahaya, paparan pekerjaan
• Pengecekan: VEP1 awal rendah, dahak atau eosinofil darah

Faktor risiko untuk efek samping pengobatan:


• Sistemik: kortikosteroid oral yang sering, kortikosteroid inhalasi dosis
tinggi/poten, dan inhibitor P450
• Lokal: kortikosteroid inhalasi dosis tinggi/poten, teknik inhalasi yang salah

Dikutip dari (1)

Bagian Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FKUPH 38


DAFTAR PUSTAKA
1. Global Initiative for Asthma. Global Strategy for Asthma Management
and Prevention, 2020. Available from: www.ginaasthma.org
2. Castillo J, Peters S, Busse W. Asthma Exacerbations: Pathogenesis,
Prevention, and Treatment. The Journal of Allergy and Clinical
Immunology: In Practice. 2017;5(4):918-927.
3. Global Initiative for Asthma. Global Strategy for Asthma Management
and Prevention, 2020. Available from: www.ginaasthma.org
4. Gebremariam T, Binegdie A, Mitiku A, Ashagrie A, Gebrehiwot K,
Huluka D et al. Level of asthma control and risk factors for poor asthma
control among clinic patients seen at a Referral Hospital in Addis
Ababa, Ethiopia. BMC Research Notes. 2017;10(1).
5. Woodruff PG, Bhakta NR, Fahy JV. Asthma: Pathogenesis and
Phenotypes. In: Broaddus VC, Mason RJ, Ernst JD, Murray JF, Nadel
JA, editors. Textbooks Of Respiratory Medicine. 6th, ed. Philadelphia:
Elsevier Saunders Company; 2016.p. 713-30.
6. Fehrenbach H, Wagner C, Wegmann M. Airway remodeling in asthma:
what really matters. Cell and Tissue Research. 2017;367(3):551-569.
7. Papaioannou A, Kostikas K, Zervas E, Kolilekas L, Papiris S, Gaga M.
Control of asthma in real life: still a valuable goal?. European
Respiratory Review. 2015;24(136):361-369.
8. Cajigal S, Wells K, Peterson E, Ahmedani B, Yang J, Kumar R et al.
Predictive Properties of the Asthma Control Test and Its Component
Questions for Severe Asthma Exacerbations. The Journal of Allergy
and Clinical Immunology: In Practice. 2017;5(1):121-127.e2.

Bagian Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FKUPH 39


9. Schuler M, Faller H, Wittmann M, Schultz K. Asthma Control Test and
Asthma Control Questionnaire: factorial validity, reliability and
correspondence in assessing status and change in asthma control.
Journal of Asthma. 2016;53(4):438-445.

Bagian Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FKUPH 40


BAB 7
TERAPI INHALASI

7.1 Pendahuluan
Terapi inhalasi telah dikenal sejak lama, mulai dari bentuk yang paling
sederhana hingga berkembang menjadi bentuk yang mudah digunakan, dibawa
dan disimpan. Pendekatan terbaru manejemen penyakit inflamasi saluran napas
adalah terapi inhalasi menggunakan metered dose inhalers (MDIs). Keuntungan
terapi inhalasi adalah obat dapat masuk secara langsung dalam saluran napas dan
meminimalisir efek samping sistemik. Kandungan aerosol dengan ukuran partikel
yang lebih kecil memberikan keuntungan tersendiri, namun partikel yang kecil
dapat dengan mudah diabsorbsi melalui sirkulasi pulmoner sehingga
meningkatkan efek samping sistemik. Sangat diperlukan ukuran partikel yang
optimal untuk memaksimalkan rasio terapeutik.1

7.2 Sejarah dan Evolusi Terapi Inhalasi


Bentuk terapi inhalasi pertama kali adalah menghirup uap air yang
mendidih. Profesor Oszacki dari Polandia pada tahun 1937 pertama kali
menemukan dan mencoba terapi inhalasi menggunakan gas. Momen ini
merupakan awal suatu metode baru yang terkenal di Eropa Barat. Penemuan obat-
obatan disandingkan dengan desain peralatan aerosol yang terus berkembang
diharapkan mampu mengakomodir berbagai kesulitan yang dihadapi pasien,
seperti, koordinasi yang kurang sempurna, cara menghirup yang benar, menahan
napas dan sebagainya.2,3

Bagian Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FKUPH 41


7.3 Definisi
Terapi inhalasi adalah cara pengobatan dengan memberikan obat dalam
bentuk aerosol melalui saluran napas. Saluran napas yang dimaksud adalah
saluran napas atas, trakea, bronkus, bronkiolus dan alveoli. Karakterisitik
penggunaan terapi aerosol bergantung pada seberapa besar kadar obat yang dapat
dihantarkan ke paru melalui alat MDIs, nebulizers dan dry-powder inhalers (DPI).
Endapan aerosol terapeutik terjadi karena proses impaksi inersial (pada
orofarings dan saluran napas besar zona konduksi) dan sedimentasi gravitasi
(pada saluran napas kecil zona konduksi dan alveoli). Pengendapan ini sangat
tergantung dari teknik melakukan inhalasi, ukuran partikel serta derajat obstruksi
saluran napas.4

7.4 Jenis Terapi Inhalasi


Berdasarkan metode penggunaannya, terapi inhalasi dibagi menjadi
empat kelompok yaitu:
1. Pressurised MDIs (pMDIs)
2. Inhaler dengan menggunakan alat bantu (spacer)
3. Dry-powder inhalers (DPI)
4. Nebulizer

7.4.1 Pressurized MDIs


Kandungan pMDIs umumnya terdiri dari obat, zat propelan (cairan
pendorong), zat surfaktan, alkohol dan sakarin. Zat propelan yang sering
digunakan adalah chlorofluorocarbons (CFCs). Bentuk baru alat ini sudah tidak
mengandung CFCs sebagai zat propelan, karena diketahui bahwa CFCs merusak
lapisan ozon bumi.pMDIs terbagi menjadi dua yaitu MDI standar dan breath-
activated MDI.3

Bagian Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FKUPH 42


MDI standar telah dipakai selama lebih dari 40 tahun. Setiap dosis obat
disemprotkan dengan cara menekan bagian atas inhaler. Keuntungan tipe ini
adalah mudah digunakan, berukuran kecil dan mudah dibawa. Kesalahan yang
kerap terjadi pada penggunaan tipe ini adalah pasien tidak mengocok inhaler
sebelum menggunakannya, tidak terdapat koordinasi yang baik antara penekanan
dan penghisapan dan kekuatan menahan napas yang lemah setelah penyemprotan
dilakukan. Breath- activated MDI tidak memerlukan koordinasi yang cermat
dalam teknik penggunaannya, namun ukurannnya sedikit lebih besar bila
dibanding MDI standar. Obat akan keluar apabila penderita menarik napas melalui
mouth-piece.4,5
Sekitar 45% hingga 95% dari dosis obat yang disemprotkan oleh pMDI
akan impaksi ke regio orofaringeal walaupun dengan teknik penggunaan dan
koordinasi yang sudah optimal, sedangkan hanya 5% hingga 25% (rerata 10%)
yang mencapai saluran napas bawah. Hal ini disebabkan oleh pelepasan partikel
yang sangat besar (>15 um) pada awal penyemprotan dengan gerakan yang sangat
cepat (>15 m/detik). Setelah propelan menguap, ukuran partikel obat menjadi 2-5
um. Terjadinya pengendapan regional sangat tergantung dari obat dan jenis
pMDIs, pola inhalasi, geometri saluran napas dan kemampuan koordinasi. Untuk
memperbesar pengendapan di paru maka sebaiknya digunakan holding chamber,
pMDI tanpa CFC, penggunaan breath-activated autohaler.5
Berikut ini adalah cara penggunaan obat inhalasi dengan teknik MDI
standar:
1. Lepaskan penutup pada mouth-piece, kemudian kocok tabung inhaler.
2. Pegang alat sedemikian rupa sehingga ibu jari terletak pada dasar alat,
dan jari telunjuk dan jari tengah di tabung. Keluarkan napas (ekspirasi)
sampai maksimum sehingga udara ekspirasi maksimal keluar.
3. Masukkan mouth-piece di antara dua bibir serta rapatkan. Jangan sampai
bocor, tekan tabung dengan jari telunjuk atau tengah sehingga gas keluar.

Bagian Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FKUPH 43


Setelah itu dengan cepat, hisap gas yang keluar secara pelan dan dalam
melalui mulut.
4. Setelah menarik napas dalam, dan terasa udara dalam paru penuh, tahan
napas beberapa saat (pada hitungan 6 sampai 7), atau tahan napas kurang
lebih 10 detik, kemudian keluarkan napas perlahan-lahan.
5. Bila diperlukan semprotan kedua, sebaiknya menunggu minimal 1 menit
sebelum semprotan ulangan dilakukan. Tindakan penyemprotan ulangan
mengikuti manuver sebelumnya. Setelah selesai, bersihkan dan tutup
kembali mouth-piece.

Gambar 1. Pressurised MDI


Dikutip dari (8)

7.4.2 Inhaler dengan menggunakan alat bantu (spacer – ruang antara)


Spacer dapat dipakai sebagai pelengkap MDI. Bentuknya dapat berupa
tabung, kerucut atau seperti buah pir (gambar 2 dan 3). Fungsi ruang antara adalah
agar jarak ”akuator” dengan mulut lebih panjang sehingga kecepatan aerosol saat
dihisap menjadi berkurang (dari 45%-95% menjadi 3%-35%). Akibatnya,
pengendapan obat di orofaring berkurang. Keuntungan lain adalah tidak
memerlukan koordinasi yang baik sehingga alat ini sering digunakan pada anak-
anak. Deposisinya di paru mencapai 28%. Aerosol yang disemprotkan masuk dan

Bagian Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FKUPH 44


tersimpan dalam reservoir. Pada waktu menarik napas, katup pada tuas terbuka
sehingga aerosol dapat terhirup dan pada waktu ekspirasi, katup menutup.1,4,5
Berikut ini adalah petunjuk penggunaan spacer secara benar:6
1. Jika dosis yang digunakan lebih dari 1 puff, maka semprotkan 1 puff kali
hirupan. Sesaat setelah dilakukan penyemprotan dalam spacer, segera
menarik napas, menahannya selama beberapa saat dan
menghembuskannya sebelum penyemprotan berikutnya.
2. Kocok inhaler setiap kali sebelum disemprotkan ke dalam spacer.
3. Pastikan bahwa katup membuka dan menutup tiap bernapas.
4. Untuk bayi dan anak, dapat digunakan masker wajah (face mask) yang
diletakkan pada katup sehingga mereka cukup bernapas secara normal,
maka aerosol akan terhirup.
5. Endapan dapat terjadi dalam ruang plastik spacer. Bagian tersebut dapat
dicuci sebelum digunakan. Untuk pemeliharaan alat ini, cukup dengan
mencucinya sebulan sekali dan biarkan mengering di udara terbuka tanpa
harus mengelapnya.

Gambar 2. Jenis spacer


Dikutip dari (8)

Bagian Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FKUPH 45


Gambar 3. Penggunaan spacer
Dikutip dari (8)

7.4.3 Dry-powder Inhalers (DPI)


Dry-powder inhaler adalah teknik terapi inhalasi yang memberikan
beberapa keuntungan yaitu tidak memerlukan koordinasi yang akurat untuk
memperoleh dosis yang tepat, tidak mengandung CFC sebagai zat propelan dan
ramah lingkungan. Kerugiannya adalah diperlukan kekuatan menarik napas untuk
menghamburkan bubuk obat keluar (breath-activated) dan mencapai paru, oleh
karena itu tipe inhaler ini kurang dianjurkan pemakaiannya untuk anak kurang
dari enam tahun.1,4,5
Berbagai tipe DPI tersedia saat ini dan masing-masing mempunyai cara
pemakaian yang berbeda. Tipe yang harus diisi setiap kali penggunaannya adalah
inhalator, spinhaler, rotahaler, sedangkan tipe lainnya memiliki disk yang sudah
diset untuk sejumlah dosis (4 atau 8). Tipe DPI yang memuat 200 dosis dalam
satu kemasan adalah turbuhaler dan accuhaler.1,4,5 Gambar 4 menunjukkan
berbagai tipe DPI yang ada. Deposisi obat di paru dengan menggunakan rotahaler
dan diskhaler mencapai 10-12%.

Bagian Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FKUPH 46


Turbuhaler adalah tipe inhaler yang bersifat breath-activated dan
multiple-dose (gambar 5). Umumnya berisi terbutalin, formoterol, budesonide
(Pulmicort) dan albuterol.

Gambar 4. Accuhaler dan diskhaler dan babyhaler


Dikutip dari (8)

Cara penggunaan turbuhaler dapat dibagi menjadi 2 bagian yaitu:7


1. Persiapan alat
a. Pegang turbuhaler menghadap ke atas.
b. Putar dan buka penutupnya
c. Putar bagian yang berwarna coklat yang terletak pada dasar.
Putar secara penuh ke kanan dan kemudian putar kembali
berlawanan arah sampai terdengar bunyi ”klik”
d. Ulangi prosedur c. Saat ini turbuhaler sudah terisi dengan
sejumlah dosis.
2. Penghisapan
a. Pasien harus dalam kondisi ekspirasi sebelum menghisap
turbuhaler.
b. Letakkan alat ke mulut dan bernapas cepat dan sedalam
mungkin.
c. Tahan napas selama minimal 10 detik.
d. Lepaskan DPI dari mulut dan hembuskan napas secara perlahan.

Bagian Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FKUPH 47


e. Jika memerlukan lebih dari 1 dosis, ulangi prosedur a ssmpai
dengan e untuk tiap dosisnya.
f. Kumur, setelah menggunakan inhaler
g. Jika sudah selesai, tutup kembali alat tersebut dan putar hingga
benar-benar rapat.

7.4.4 Nebulizer
Prinsip kerja alat ini adalah mengubah obat dalam bentuk larutan menjadi
partikel aerosol yang dihembuskan. Terdapat dua jenis alat nebulizer yaitu:1,4,5
1. Nebulizer jet
Alat ini terdiri dari dua bagian yaitu kompressor untuk menghembuskan
aerosol dan komponen lain yang mengubah bentuk larutan menjadi
partikel aerosol.
2. Nebulizer ultrasonik
Melalui getaran ultrasonik, akan dihasilkan aerosol yang lebih halus dan
penghantarannya lebih cepat dibanding nebulizer jet.
Keuntungan pemakaian nebulizer adalah tidak perlu koordinasi yang baik
untuk memperoleh dosis obat yang tepat sehingga sangat cocok untuk bayi dan
anak-anak. Aerosol akan keluar terus menerus dan dapat dihisap dengan
menggunakan sungkup. Penghisapan secara benar menyebabkan aerosol mudah
mencapai saluran napas kecil sehingga keefektivan obat terjamin. Deposisi obat di
paru berkisar 14%-40% dan efek samping sistemik rendah (15-17%).1,4,5 Gambar
6 menunjukkan jenis nebulizer.

Bagian Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FKUPH 48


Gambar 5. Turbuhaler dan cara pemakaiannya
Dikutip dari (8)

Gambar 6. Nebulizer ultrasonik dan nebulizer jet


Dikutip dari (8)

7.5 Pemberian Terapi Inalasi Dalam Keadaan Khusus


Pemberian terapi inhalasi melalui ventilasi mekanik sering dilakukan,
oleh karena itu diperlukan metode inhalasi yang benar untuk mencapai efek
terapeutik yang maksimal. Pemberian bronkodilator dengan menggunakan MDI
ternyata memberikan efektivitas yang sama dengan penggunaan secara nebulisasi.
Beberapa masalah yang harus diperhatikan bila memakai teknik nebulisasi pada
pasien dengan ventilasi mekanik adalah kontaminasi aerosol dengan bakteri, perlu
pengaturan volume tidal dan aliran inspirasi untuk mengkompensasi aliran
nebulizer dan perlu pertimbangan efisiensi variasi pada tiap merek nebulizer.3

Bagian Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FKUPH 49


7.6 Preparat dan Farmakokinetik Terapi Inhalasi
Beberapa preparat inhalasi yang biasa digunakan adalah:5
1. β2 adrenergik, terbagi menjadi:
a. Short acting β2 agonist (salbutamol, terbutalin dan fenoterol)
b. Long acting β2 agonist (salmeterol dan formoterol)
2. Antikolinergik
a. Ipratropium
b. Oxitropium bromide
c. Tiopropium
3. Steroid
a. Beclometason dipropionate
b. Budesonide
c. Triamcinolone acetate
d. Flunisolid
e. Flutikason propionat
4. Cromolyn sodium dan Nedokromil
5. Mukolitik

Setiap preparat inhalasi mempunyai indeks terapeutik yaitu rasio antara


efek klinik yang diinginkan dengan efek sistemik yang tidak diinginkan. Semakin
tinggi indeks terapeutik, semakin baik rasio risiko/keuntungan. Efek suatu terapi
inhalasi terhadap suatu keberhasilan pengobatan sangat tergantung dari: dose-
response (individual) relationship, teknik penggunaan MDI, kemasan yang
digunakan, misalnya spacer, turbuhaler atau pMDI. Inhalasi kortikosteroid,
deposisi di paru rata-rata 10% sedangkan 90% akan tertelan/mengendap. Jumlah
kortikosteroid yang masuk dalam sistemik merupakan jumlah dari fraksi yang
berasal dari paru dan oral. Konsentrasi sistemik ini akan dikurangi dengan

Bagian Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FKUPH 50


resirkulasi secara terus menerus dan inaktivasi obat oleh hati.4 Beberapa kesalahan
yang sering terjadi pada terapi inhalasi adalah:
1. MDI tidak dikocok dengan baik sebelum digunakan.
2. Mulut MDI diletakkan terlalu mengarah ke atas atau ke bawah.
3. Menghentikan penghisapan saat MDI masih ditekan.
4. Menarik napas melalui hidung.
5. Jarak inhalasi yang terlalu pendek.
6. Dua atau tiga kali semprotan pada satu kali hisapan.
7. Tidak menahan napas sesudah inhalasi.
8. Posisi lidah menghalangi jalannya aerosol.

7.7 Efek Samping


Efek samping yang timbul pada terapi inhalasi dibagi menjadi dua yaitu
efek samping lokal dan sistemik. Efek samping lokal yang umum terjadi adalah
disfonia dan kandidiasis akibat endapan obat di orofarings. Iritasi orofarings juga
kerap terjadi pada pemakaian IDT aerosol yang menggunakan propelan. Efek
samping sistemik jarang terjadi karena konsentrasi obat yang diabsorbsi dalam
darah sangat kecil.5

7.8 Kesimpulan
1. Terapi inhalasi memberikan banyak keuntungan yaitu efek terapi cepat,
dosis obat yang sampai ke saluran napas relatif kecil dan efek samping
sistemik sedikit.
2. Pemilihan metode hendaknya disesuaikan menurut umur atau kondisi
fisik penderita.
3. Teknik pemakaian secara benar akan memberikan efek terapeutik yang
maksimal.

Bagian Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FKUPH 51


DAFTAR PUSTAKA

1. Borghardt J, Kloft C, Sharma A. Inhaled Therapy in Respiratory


Disease: The Complex Interplay of Pulmonary Kinetic Processes.
Canadian Respiratory Journal. 2018;2018:1-11.
2. Krakow KH. First trials oh inhalation-therapy in Poland. Przegl Lek
1999; 56(7-8): 548-50.
3. Sorino C, Negri S, Spanevello A, Visca D, Scichilone N. Inhalation
therapy devices for the treatment of obstructive lung diseases: the
history of inhalers towards the ideal inhaler. European Journal of
Internal Medicine. 2020;75:15-18.
4. Garcia-Contreras L, Ibrahim M, Verma R. Inhalation drug delivery
devices: technology update. Medical Devices: Evidence and Research.
2015;:131.
5. Woodruff PG, Bhakta NR, Fahy JV. Asthma. In: Broaddus VC, Mason
RJ, Ernst JD, Murray JF, Nadel JA, editors. Textbooks Of Respiratory
Medicine. 6th, ed. Philadelphia: Elsevier Saunders Company; 2016.p.
168-83, 731-49.
6. Suradi. Terapi Inhalasi. Dalam : Workshop asma. Surakarta:2003.p.22-
5
7. Epstein S, Meidenberg A, Hallet D, Khan K, Kenneth R. Patient
handling of a dry-powder inhaler in clinical practice. Chest 2001; 120:
1480-4
8. Inhalers for asthma.Available at http//www.google.com.
9. Borghardt J, Kloft C, Sharma A. Inhaled Therapy in Respiratory
Disease: The Complex Interplay of Pulmonary Kinetic Processes.
Canadian Respiratory Journal. 2018;2018:1-11.

Bagian Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FKUPH 52


BAB 8
ASTHMA DAN PENYAKIT PARU OBSTUKTIF KRONIS

8.1 Pendahuluan
Asma dan Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) adalah penyakit yang
ditandai oleh obstruksi saluran napas, namun sejak dekade lalu tumpang tindih
antara keduanya menjadi pusat perhatian pada banyak klinisi. Awal tahun 1960,
Orie, dkk.,menjelaskan bahwa asma dan PPOK (bronkitis kronik dan emfisema)
adalah satu kesatuan penyakit yang memberikan ekspresi berbeda. Faktor host
yaitu genetik, atopi, hiperreaktivitas bronkus dan faktor lingkungan seperti rokok,
infeksi pernapasan, berperan penting dalam mencetuskan penyakit. Hipotesis ini
tidak pernah dibantah secara absolut oleh para ilmuwan. Perkiraan mereka adalah
bahwa inflamasi, obstruksi saluran napas dan hiperreaktivitas bronkus yang terjadi
pada asma mengawali remodeling paru. Remodeling menyebabkan obstruksi
saluran napas irreversibel sehingga mendukung hipotesis yang mengatakan bahwa
hiperreaktivitas bronkus menjadi penetu berkembangnya PPOK pada penderita
asma.1
Berbagai perbedaan terus berkembang terutama pada faktor risiko,
presentasi klinis, prognosis serta penatalaksanaan penyakit. Hasil survey pada
dokter puskesmas menunjukkan rendahnya kecurigaan terhadap PPOK sehingga
banyak penderita PPOK diobati sebagai asma. Akibatnya, banyak penderita PPOK
tidak mengalami kemajuan pengobatan, terjadi ekskalasi dosis terapi yang
sebenarnya tidak perlu. Diagnosis yang benar akan memberikan pencapaian terapi
yang lebih realistik dan holistik, edukasi yang lebih tepat dan prognosis yang
sesuai.2

Bagian Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FKUPH 53


8.2 PPOK Bukan Asma
Perbedaan asma dan PPOK terutama terjadi pada fase awal penyakit.
Faktor yang mengawali perubahan struktur dan menyebabkan hilangnya fungsi
saluran napas jelas berbeda pada keduanya, tetapi, pada fase awal terjadi beberapa
faktor yang saling tumpang tindih, misalnya hipereaktivitas bronkus dan
penebalan membran basalis. Kedua penyakit ini menjadi sulit dibedakan pada fase
lanjut karena sudah terjadi respons inflamasi, kerusakan alveoli, hipersekresi
mukus dan fibrosis subepitel. Pada keadaan eksaserbasi terjadi influks netrofil
pada asma dan influks eosinofil pada PPOK.2,3 Tumpang tindih antara asma dan
PPOK digambarkan dalam diagram venn berikut ini.

Gambar 7. Tumpang tindih antara PPOK dan asma


Dikutip dari (4)

8.3 Perbedaan PPOK dan Asma


Perbedaan PPOK dan asma adalah dalam segi:2
1. Definisi
2. Penyebab
3. Sel inflamasi
4. Mediator inflamasi

Bagian Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FKUPH 54


5. Efek inflamasi
6. Enzim
7. Respons terhadap kortikosteroid
8. Prognosis

8.3.1 Definisi
Asma adalah penyakit heterogen karena inflamasi dengan gejala sesak
napas, batuk, mengi yang bervariasi dari waktu ke waktu, intensitas dan limitasi
saluran napas.5
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru yang
dapat dicegah dan diobati, ditandai dengan gejala pernapasan yang persisten dan
aliran udara yang terhambat karena respon inflamasi kronik pada saluran napas
dan paru-paru terhadap partikel atau gas beracun.6

8.3.2 Penyebab
Berbagai faktor penyebab asma baik sebagai inducer maupun inciter
adalah alergen, bahan kimia, virus , genetik, prematuritas, asap rokok, latihan
fisik, udara dingin, kabut, emosi, anafilaktik, dan obat-obatan (antiinflamasi
nonsteroid). Penyebab tersebut menimbulkan bronkokonstriksi atau reaksi
inflamasi pada penyandang asma.7
Faktor etiologi PPOK terutama adalah asap rokok ( 80% ). Terdapat
hubungan yang signifikan antara konsumsi rokok dengan kejadian PPOK
walaupun tidak semua perokok menjadi PPOK. Faktor genetik juga tercatat
sebagai penyebab .10 Penderita PPOK sering menunjukkan gejala mirip asma
seperti reversibilitas bronkus dan hiperreaktivitas bronkus, sebaliknya penyandang
asma dapat menunjukkan penurunan fungsi saluran napas yang khas untuk PPOK.
Spirometri tidak dapat dipakai sebagai alat diagnostik yang akurat untuk

Bagian Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FKUPH 55


membedakan kedua penyakit ini, oleh karena itu, diperlukan teknik yang lebih
akurat seperti menilai kapasitas difusi karbonmonoksida (DLCO).7

Gambar 8. Faktor risiko asma dan PPOK


Dikutip dari (7)

8.3.3 Sel inflamasi dan patologi


Hasil biopsi bronkus, bronchoalveolar lavage (BAL), dan sputum
induksi penyandang asma menunjukkan inflamasi eosinofilik, yaitu aktivasi
eosinofil dan degranulasi sel ini. T helper 2 (Th2) tampil sebagai orkestra
inflamasi eosinofil dan degranulasi sel mast. Akibatnya, terjadi respons
bronkokonstriksi secara cepat dan episodik, bila hal ini berlangsung terus akan
terjadi penglepasan dan kerusakan epitel saluran napas. Inflamasi terjadi pada
seluruh saluran napas tetapi tidak pada parenkim paru.7,8
Patologi dan sel inflamasi PPOK sangat berbeda dengan asma. Pada
saluran napas yang lebih besar terdapat lebih banyak inflamasi netrofil daripada
eosinofil. Sputum induksi memperlihatkan peningkatan netrofil sedangkan hasil
biopsi bronkus menunjukkan infiltrasi sel mononuklear, sel limfosit T CD4 dan

Bagian Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FKUPH 56


terutama sel limfosit T CD8. Berlawanan dengan asma, perubahan patologik
banyak ditemukan pada saluran napas perifer. Tidak ada penglepasan dan
kerusakan epitel saluran napas pada PPOK. 7,8

8.3.4 Mediator inflamasi


Lebih dari 50 mediator inflamasi ditemukan pada asma.
Bronkokonstriktor utama adalah cysteinyl-leucotriens, umumnya dihasilkan oleh
sel mast dan eosinofil. Selain itu, beberapa mediator lain yang menyebabkan
bronkokonstriksi adalah histamin, prostaglandin dan kinin. Kinin merangsang
refleks kolinergik. Hingga kini, β2 agonis masih merupakan bronkodilator paling
efektif pada asma.7-9
Mediator yang dihasilkan pada PPOK lebih sedikit dibanding asma dan
kolinergik merupakan satu-satunya komponen yang reversibel. Hal ini dapat
menjelaskan mengapa obat antikolinergik lebih efektif pada PPOK dibanding β2
agonis. Leukotrien B4 (LTB4) lebih banyak pada PPOK dibanding asma karena
merupakan kemoatraktan netrofil yang poten.7-9 Tabel 8 menunjukkan perbedaan
inflamasi pada asma dan PPOK.
Tabel 8. Perbedaan Inflamasi Antara Asma dan PPOK

Dikutip dari (10)

Bagian Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FKUPH 57


Sitokin asma berbeda dengan PPOK. Interleukin 4 (IL-4) dan IL-13
adalah sitokin yang penting untuk formasi imunoglobulin E (Ig E) pada asma,
sedangkan IL-5 berperan pada inflamasi eosinofil. Terdapat eosinophilic
chemotactic cytokines seperti eotaxin dan Regulated Upon Activation, Normal T
Cell Expressed and Secreted (RANTES) yang penting dalam mekanisme
7-9
inflamasi asma.
Interleukin 8 (IL-8) adalah sitokin utama PPOK. Sitokin merupakan
kemoatraktan untuk netrofil sehingga kadarnya yang tinggi pada sputum induksi
berhubungan dengan perluasan inflamasi netrofilik dan derajat penyakit. Tumor
necrosis factor α (TNF- α) juga meningkat peda sputum penderita PPOK.
Fungsinya mengaktivasi transkripsi nuclear factor-kappa B yang akan
merangsang transkripsi gen IL-8. Stress oksidatif dapat ditemukan pada asma dan
PPOK, namun lebih prominen pada PPOK karena berhubungan dengan aktivasi
makrofag, netrofil akibat asap rokok.7-9 Gambar 2 dan 3 menunjukkan mekanisme
inflamasi pada PPOK dan asma.

Gambar 9. Mekanisme inflamasi pada PPOK

Bagian Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FKUPH 58


Dikutip dari (8)

Gambar 10. Mekanisme inflamasi pada asma


Dikutip dari (11)

8.3.5 Enzim
Sel mast mengeluarkan berbagai enzim pada fase akut asma, salah satunya adalah
triptase. Enzim ini berperan penting pada mekanisme hiperreaktivitas bronkus,
airway remodeling, merangsang sintesis asam ribonukleat messenger kolagen dan
menyebabkan kemotaksis fibroblas.13 Protease adalah enzim yang berperan pada
PPOK. Ketidakimbangan antara protease dan antiprotease menyebabkan
peningkatan aktivitas elastolitik paru dan stimulasi sekresi mukus. Beberapa
enzim yang terdeteksi pada cairan BAL adalah cathepsin dan matrix
metalloproteinase (MMP). Enzim ini banyak ditemukan pada parenkim paru
pasien emfisema.7-9

Bagian Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FKUPH 59


8.3.6 Respons kortikosteroid
Terdapat perbedaan bermakna pada pemberian kortikosteroid penderita
asma dan PPOK. Kortikosteroid adalah terapi yang umum digunakan pada
penyandang asma. Terapi lini pertama berupa kortikosteroid inhalasi telah terbukti
bermanfaat dalam meredakan inflamasi pada asma.3 Sebaliknya, kortikosteroid
dinilai kurang bermanfaat pada penanganan PPOK karena tidak terbukti
menurunkan inflamasi netrofilik, tidak mengurangi mediator inflamasi atau
protease bahkan terdapat efek berlawanan pada pemakaiannya, yaitu mengurangi
survival eosinofil namun memperpanjang survival netrofil. Penggunaan
kortikosteroid inhalasi direkomendasikan pada PPOK derajat berat yang uji
steroidnya positif.

8.3.7 Kesimpulan
1. Asma dan PPOK adalah penyakit yang berbeda walaupun mirip secara
fenotip.
2. Beberapa faktor utama yang membedakan asma dan PPOK adalah
etiologi, sel inflamasi, mediator inflamasi, enzim dan respons terhadap
kortikosteroid.
3. Penegakan diagnosis harus benar sehingga menghasilkan manejemen
penyakit yang tepat.

Bagian Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FKUPH 60


DAFTAR PUSTAKA
1. Hayden L, Hardin M, Qiu W, Lynch D, Strand M, van Beek E et al.
Asthma Is a Risk Factor for Respiratory Exacerbations Without
Increased Rate of Lung Function Decline. Chest. 2018;153(2):368-377.
2. Yayan J, Rasche K. Asthma and COPD: Similarities and Differences in
the Pathophysiology, Diagnosis and Therapy. Respiratory Medicine and
Science. 2015;:31-38.
3. Slats A, Taube C. Asthma and chronic obstructive pulmonary disease
overlap: asthmatic chronic obstructive pulmonary disease or chronic
obstructive asthma?. Therapeutic Advances in Respiratory Disease.
2015;10(1):57-71.
4. Barnes PJ. Mechanisms in COPD. Chest 2000; 117: 10S-4S.
5. Global Initiative for Asthma. Global Strategy for Asthma Management
and Prevention, 2020. Available from: www.ginaasthma.org
6. Global Initiative fot Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD). Global
Strategy for Diagnosis, Management, and Prevention of COPD. Fontana,
WI, USA 2020.
7. Postma D, Rabe K. The Asthma–COPD Overlap Syndrome. New
England Journal of Medicine. 2015;373(13):1241-1249.
8. Barnes P. Similarities and differences in inflammatory mechanisms of
asthma and COPD. Breathe. 2011;7(3):229-238.
9. Woodruff PG, Bhakta NR, Fahy JV. Asthma. In: Broaddus VC, Mason
RJ, Ernst JD, Murray JF, Nadel JA, editors. Textbooks Of Respiratory
Medicine. 6th, ed. Philadelphia: Elsevier Saunders Company; 2016.p.
713-30, 751-66
10. Sarkar S. Asthma and chronic obstructive pulmonary disease. The
Journal of Association of Chest Physicians. 2017;5(1):26.
11. Barnes P. Asthma mechanisms. Medicine. 2016;44(5):265-270.

Bagian Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FKUPH 61

Anda mungkin juga menyukai