Tim Reviewer
Dr. dr. Yusup Subagio Sutanto, Sp.P (K), FISR
dr. Titis Dewi Wahyuni, Sp.P
dr. Samuel Sunarso, Sp.P, FPCP
dr. Leonardo Helasti Simanjuntak, Sp.P
dr. Sylvia Sagita Siahaan, Sp.P
Asma merupakan suatu penyakit saluran napas kronik yang berdampak terhadap
kesehatan masyarakat. Asma dapat terjadi pada semua umur dengan severitas
yang berbeda-beda. Berbagai pedoman mengenai asma yang telah dibuat oleh
banyak organisasi diseluruh dunia. Di dunia kedokteran, ilmu terus berkembang
terutama mengenai asma oleh karena itu buku ini dibuat untuk membantu dalam
memahami mengenai asma.
Puji syukur kepada Tuhan, bahwa pada saat ini berkat anugerah-Nya, Departemen
Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Pelita
Harapan telah diperkenankan untuk menerbitkan buku Asma. Penulisan buku ini
menjadi suatu komitmen untuk terus menerus melakukan pengembangan yang
berkesinambungan bagi penulis maupun Departemen Pulmonolgi dan Kedokteran
Respirasi.
Besar harapan kami agar buku ini dapat memberi manfaat dan dapat berguna bagi
banyak orang serta memberikan kontribusi dalam peningkatan pelayanan
kesehatan di rumah sakit.
Penulis
Neutrofil
Peningkatan jumlah neutrofil dalam saluran napas dapat ditemukan pada
beberapa keadaan seperti asma eksaserbasi baik yang penyebabnya infeksi
maupun noninfeksi dan asma berat yang dengan pengobatan nonsteroid berespons
baik. Keterlibatan neutrofil dalam patogenesis asma melalui mediator yang
dikeluarkan seperti mediator lipid, reactive oxygen species (ROS) dan beberapa
protease (myeloperoksidase dan matriks metalloproteinase). Neutrofil yang
ditemukan dalam 6 jam setelah pajanan ternyata berkorelasi dengan kadar IL-8
dalam cairan kurasan bronkoalveolar, sehingga diduga sitokin ini berperan penting
dalam rekruitmen neutrofil dalam saluran napas. 10,11
Limfosit
Sel T limfosit sangat berperan pada patogenesis asma. Sel Th2
mengeluarkan sitokin IL-4, IL-5, IL-9 dan IL-13. Melalui sitokin ini, terjadi
rekruitmen dan aktivasi eosinofil, produksi Ig-E, sekresi mukus dan ekspresi
Makrofag
Makrofag merupakan sel dominan dalam saluran napas bawah. Cairan
kurasan bronkus menunjukkan bahwa makrofag dapat ditemukan lebih dari 90%
baik pada orang normal maupun penderita asma stabil. Fungsinya dalam sistem
pertahanan tubuh berupa fagositosis, pengeluaran sejumlah enzim dan ROS.
Beberapa sitokin seperti Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factors
(GM-CSF), IL-1, IL-6 dan mediator lipid (LTB4, C4, D4, tromboksan A2) serta
matriks metalloproteinase juga dilepaskan makrofag. Sel ini juga melepaskan
sitokin antiinflamatori seperti IL-10, IL-12 dan tissue growth factor (TGF) β.10,11
Eosinofil
Asma umumnya berhubungan dengan eosinofil sputum.11 Jumlah
eosinofil hanya berkisar 1-3% dari lekosit perifer. Peran eosinofil penting dalam
menimbulkan inflamasi bronkial, injuri epitel dan hiperreaktiviti bronkus pada
asma. Eosinofil sirkulasi yang ditemukan melewati empat tahap proses fisiologis
yaitu diferensiasi sel progenitor, proliferasi eosinofil dalam sum-sum tulang,
interaksi antara eosinofil dan sel endotel (rolling, adhesi dan migrasi,
kemoatraksi), aktivasi dan destruksi. 10,11
Hubungan antara inflamasi saluran napas dengan derajat asma masih
kontroversial. Beberapa penelitian menunjukkan hubungan yang relevan tetapi
penelitian lain tidak menunjukkan hal tersebut. Inhalasi alergen meningkatkan
jumlah eosinofil pada reaksi fase lambat seorang penderita asma, dibuktikan
melalui pemeriksaan kurasan bronkoalveolar (BAL). Eosinofil menyebabkan
hiperreaktiviti bronkus melalui protein granula yang dilepaskan yaitu Eosinophil
Cationic Protein (ECP), Major Basic Protein (MBP), Eosinophil Peroxidase
(EPO) dan Eosinophil-Derived Neutrotoxin (EDN) . 10,11
Peran eosinofil sebagai penanda yang akurat untuk menilai derajat asma
telah lama diketahui. Pemeriksaan dan pemantauan terhadap eosinofil sputum juga
berguna untuk mengevaluasi efek antiinflamasi pada penggunaan kortikosteroid
inhalasi. Peningkatan jumlah eosinofil dalam sputum dikaitkan dengan kejadian
eksaserbasi dan dapat dimediasi oleh IL-5, sitokin spesifik untuk rekruitmen dan
aktivasi eosinofil. 10,11
4.1 Diagnosis
Asma sebagai penyakit yang bersifat heterogen memiliki karakteristik
inflamasi kronik saluran napas yang memiliki 2 gambaran utama yaitu riwayat
gejala sumbatan jalan napas seperti mengi, sesak napas, rasa berat di dada dan
batuk yang berulang dan limitasi laju ekspirasi yang bervariasi.
Penegakan diagnosis asma dapat dilihat dari alur diagram di bawah ini:
Apakah
riwayat/pemeriksaan
mendukung asma?
Gali riwayat dan tes lain
untuk diagnosis alternatif
Ya Tidak
Lakukan spirometri/APE
dengan tes reversibility
Urgensi klinis
• Diagnosis
• Gejala • Kontrol gejala dan
• Eksaserbasi faktor resiko
• Efek samping (termasuk fungsi
• Kepuasan pasien paru)
• Fungsi paru • Teknik inhaler dan
ketaatan
• Preferensi pasien
• Obat-obatan asma
• Strategi dan terapi non- farmakologis
• Pengobatan faktor risiko yang dapat
dimodifikasi
Jika pasien datang pertama kali dengan kondisi asma berat yang tidak
terkontrol, atau dengan keadaan eksaserbasi akut, berikan kortikosteroid oral
untuk jangka pendek dan memulai pengobatan controller setelahnya yaitu ICS
Flutikason propionat
(DPI) 100-250 >250-500 >500 50-100 >100-200 >200
Flutikason propionat
(pMDI*, HFA) 100-250 >250-500 >500 50-100 >100-200 >200
Mometason furoat
200 400
(DPI)
Mometason furoat
200-400 400 100 200
(pMDI*, HFA)
pMDI: Pressurized Metered Dosed Inhaler; DPI: Dry Powder Inhaler; HFA:
Hydrofluoroalkalane propellant. *partikel standard. ICS dengan pMDI disarankan
menggunakan spacer
Dikutip dari (1)
7.1 Pendahuluan
Terapi inhalasi telah dikenal sejak lama, mulai dari bentuk yang paling
sederhana hingga berkembang menjadi bentuk yang mudah digunakan, dibawa
dan disimpan. Pendekatan terbaru manejemen penyakit inflamasi saluran napas
adalah terapi inhalasi menggunakan metered dose inhalers (MDIs). Keuntungan
terapi inhalasi adalah obat dapat masuk secara langsung dalam saluran napas dan
meminimalisir efek samping sistemik. Kandungan aerosol dengan ukuran partikel
yang lebih kecil memberikan keuntungan tersendiri, namun partikel yang kecil
dapat dengan mudah diabsorbsi melalui sirkulasi pulmoner sehingga
meningkatkan efek samping sistemik. Sangat diperlukan ukuran partikel yang
optimal untuk memaksimalkan rasio terapeutik.1
7.4.4 Nebulizer
Prinsip kerja alat ini adalah mengubah obat dalam bentuk larutan menjadi
partikel aerosol yang dihembuskan. Terdapat dua jenis alat nebulizer yaitu:1,4,5
1. Nebulizer jet
Alat ini terdiri dari dua bagian yaitu kompressor untuk menghembuskan
aerosol dan komponen lain yang mengubah bentuk larutan menjadi
partikel aerosol.
2. Nebulizer ultrasonik
Melalui getaran ultrasonik, akan dihasilkan aerosol yang lebih halus dan
penghantarannya lebih cepat dibanding nebulizer jet.
Keuntungan pemakaian nebulizer adalah tidak perlu koordinasi yang baik
untuk memperoleh dosis obat yang tepat sehingga sangat cocok untuk bayi dan
anak-anak. Aerosol akan keluar terus menerus dan dapat dihisap dengan
menggunakan sungkup. Penghisapan secara benar menyebabkan aerosol mudah
mencapai saluran napas kecil sehingga keefektivan obat terjamin. Deposisi obat di
paru berkisar 14%-40% dan efek samping sistemik rendah (15-17%).1,4,5 Gambar
6 menunjukkan jenis nebulizer.
7.8 Kesimpulan
1. Terapi inhalasi memberikan banyak keuntungan yaitu efek terapi cepat,
dosis obat yang sampai ke saluran napas relatif kecil dan efek samping
sistemik sedikit.
2. Pemilihan metode hendaknya disesuaikan menurut umur atau kondisi
fisik penderita.
3. Teknik pemakaian secara benar akan memberikan efek terapeutik yang
maksimal.
8.1 Pendahuluan
Asma dan Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) adalah penyakit yang
ditandai oleh obstruksi saluran napas, namun sejak dekade lalu tumpang tindih
antara keduanya menjadi pusat perhatian pada banyak klinisi. Awal tahun 1960,
Orie, dkk.,menjelaskan bahwa asma dan PPOK (bronkitis kronik dan emfisema)
adalah satu kesatuan penyakit yang memberikan ekspresi berbeda. Faktor host
yaitu genetik, atopi, hiperreaktivitas bronkus dan faktor lingkungan seperti rokok,
infeksi pernapasan, berperan penting dalam mencetuskan penyakit. Hipotesis ini
tidak pernah dibantah secara absolut oleh para ilmuwan. Perkiraan mereka adalah
bahwa inflamasi, obstruksi saluran napas dan hiperreaktivitas bronkus yang terjadi
pada asma mengawali remodeling paru. Remodeling menyebabkan obstruksi
saluran napas irreversibel sehingga mendukung hipotesis yang mengatakan bahwa
hiperreaktivitas bronkus menjadi penetu berkembangnya PPOK pada penderita
asma.1
Berbagai perbedaan terus berkembang terutama pada faktor risiko,
presentasi klinis, prognosis serta penatalaksanaan penyakit. Hasil survey pada
dokter puskesmas menunjukkan rendahnya kecurigaan terhadap PPOK sehingga
banyak penderita PPOK diobati sebagai asma. Akibatnya, banyak penderita PPOK
tidak mengalami kemajuan pengobatan, terjadi ekskalasi dosis terapi yang
sebenarnya tidak perlu. Diagnosis yang benar akan memberikan pencapaian terapi
yang lebih realistik dan holistik, edukasi yang lebih tepat dan prognosis yang
sesuai.2
8.3.1 Definisi
Asma adalah penyakit heterogen karena inflamasi dengan gejala sesak
napas, batuk, mengi yang bervariasi dari waktu ke waktu, intensitas dan limitasi
saluran napas.5
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru yang
dapat dicegah dan diobati, ditandai dengan gejala pernapasan yang persisten dan
aliran udara yang terhambat karena respon inflamasi kronik pada saluran napas
dan paru-paru terhadap partikel atau gas beracun.6
8.3.2 Penyebab
Berbagai faktor penyebab asma baik sebagai inducer maupun inciter
adalah alergen, bahan kimia, virus , genetik, prematuritas, asap rokok, latihan
fisik, udara dingin, kabut, emosi, anafilaktik, dan obat-obatan (antiinflamasi
nonsteroid). Penyebab tersebut menimbulkan bronkokonstriksi atau reaksi
inflamasi pada penyandang asma.7
Faktor etiologi PPOK terutama adalah asap rokok ( 80% ). Terdapat
hubungan yang signifikan antara konsumsi rokok dengan kejadian PPOK
walaupun tidak semua perokok menjadi PPOK. Faktor genetik juga tercatat
sebagai penyebab .10 Penderita PPOK sering menunjukkan gejala mirip asma
seperti reversibilitas bronkus dan hiperreaktivitas bronkus, sebaliknya penyandang
asma dapat menunjukkan penurunan fungsi saluran napas yang khas untuk PPOK.
Spirometri tidak dapat dipakai sebagai alat diagnostik yang akurat untuk
8.3.5 Enzim
Sel mast mengeluarkan berbagai enzim pada fase akut asma, salah satunya adalah
triptase. Enzim ini berperan penting pada mekanisme hiperreaktivitas bronkus,
airway remodeling, merangsang sintesis asam ribonukleat messenger kolagen dan
menyebabkan kemotaksis fibroblas.13 Protease adalah enzim yang berperan pada
PPOK. Ketidakimbangan antara protease dan antiprotease menyebabkan
peningkatan aktivitas elastolitik paru dan stimulasi sekresi mukus. Beberapa
enzim yang terdeteksi pada cairan BAL adalah cathepsin dan matrix
metalloproteinase (MMP). Enzim ini banyak ditemukan pada parenkim paru
pasien emfisema.7-9
8.3.7 Kesimpulan
1. Asma dan PPOK adalah penyakit yang berbeda walaupun mirip secara
fenotip.
2. Beberapa faktor utama yang membedakan asma dan PPOK adalah
etiologi, sel inflamasi, mediator inflamasi, enzim dan respons terhadap
kortikosteroid.
3. Penegakan diagnosis harus benar sehingga menghasilkan manejemen
penyakit yang tepat.