Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

FARMAKOTERAPI II
“ PENYAKIT ASMA”

DIBUAT OLEH :

NAMA : DINDA DAMAYANTI


NIM : 51721011020
KELAS : C-II
DOSEN PENGAMPU : Dra. ARIYANI BUANG., M.Si., Apt

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS PANCASAKTI
MAKASSAR
2021
DAFTAR IS

DAFTAR ISI .................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN.............................................................................................1

I.1 Latar Belakang..................................................................................................1

I.2 Rumusan Masalah............................................................................................. 2

I.3 Tujuan................................................................................................................2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................................... 4

II.1 Definisi Penyakit Asma................................................................................... 4

II.2 Anatomi Fisiologi paru-paru........................................................................... 5

II.3 Patofisiologi Penyakit Asma........................................................................... 7

II.4 Gejala dan Diagnisis Penyakit Asma.............................................................. 8

II.5 Terapi Penyakit Asma..................................................................................... 9

II.6 Obat untuk Penyakit Asma............................................................................ 13

BAB III PENUTUP.....................................................................................................18

III.1 Kesimpulan...................................................................................................18

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................19

ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Asma merupakan gangguan inflamasi kronik saluran pernapasan yang melibatkan
berbagai sel inflamasi. Dasar penyakit ini adalah hiperaktivitas bronkus dalam berbagai
tingkat, obstruksi saluran pernapasan dan gejala pernapasan (mengi dan sesak). Obstruksi
jalan napas umumnya bersifat reversibel, namun dapat menjadi kurang reversibel bahkan
relatif non reversibel tergantung berat dan lamanya penyakit (Priyanto, 2009).
Data WHO pada tahun 2005 menunjukkan ada 100-150 juta penderita asma di dunia.
Jumlah penderita terus bertambah 180 ribu orang setiap tahunnya. Di Indonesia pada akhir
2008 diperkirakan 2-5 persen penduduk Indonesia atau 11 juta orang menderita asma
(Anonim, 2008). Asma dapat dimulai pada segala usia, mempengaruhi pria dan wanita
tanpa kecuali dan bisa terjadi pada setiap orang pada segala etnis (Ikawati, 2006). Masalah
epidemiologi yang lain pada saat ini adalah morbidilitas dan mortalitas asma yang relatif
tinggi. Belakangan ini berbagai negara melaporkan bahwa terjadi peningkatan kematian
akibat penyakit asma terutama pada anak (Rahajoe et al, 2008).
Pada umumnya penderita asma akan mengeluhkan gejala batuk, sesak napas, rasa
tertekan di dada dan mengi. Pada beberapa keadaan batuk mungkin merupakan satu-
satunya gejala. Gejala asma sering terjadi pada malam hari dan saat udara dingin, biasanya
bermula mendadak dengan batuk dan rasa tertekan di dada, disertai dengan sesak napas
(dyspnea) dan mengi. Batuk yang dialami pada awalnya susah, tetapi segera menjadi kuat.
Karakteristik batuk pada penderita asma adalah berupa batuk kering, paroksismal, iritatif,
dan non produktif, kemudian menghasilkan sputum yang berbusa, jernih dan kental. Jalan
napas yang tersumbat menyebabkan sesak napas, sehingga ekspirasi selalu lebih sulit dan
panjang dibanding inspirasi, yang mendorong pasien untuk duduk tegak dan menggunakan
setiap otot aksesori pernapasan. Penggunaan otot aksesori pernapasan yang tidak terlatih
dalam jangka panjang dapat menyebabkan penderita asma kelelahan saat bernapas ketika
serangan atau ketika beraktivitas(Brunner & Suddard, 2002).
Tingkat gejala asma yang dialami oleh penderita asma telah diklasifikasikan menjadi
empat jenis: 1) intermiten merupakan jenis asma yang terjadi bulanan dengan gejala
kurang dari satu kali seminggu, tidak menimbulkan gejala di luar serangan dan biasanya
terjadi dalam waktu singkat.

1
2) Persisten ringan yang serangannya terjadi mingguan dengan gejala lebih dari satu kali
seminggu tetapi kurang dari satu kali sehari, yang dapat mengganggu aktivitas dan tidur.
3) Persisten sedang dengan gejala yang muncul setiap hari dan membutuhkan
bronkodilator setiap hari.
4) Persisten berat yang terjadi secara kontinyu, gejala terus menerus, sering kambuh dan
aktivitas fisik terbatas (GINA, 2012).
Pada penderita asma eksaserbasi akut dapat saja terjadi sewaktu-waktu, yang
berlangsung dalam beberapa menit hingga hitungan jam. Semakin sering serangan asma
terjadi maka akibatnya akan semakin fatal sehingga mempengaruhi aktivitas penting
seperti kehadiran di sekolah, pemilihan pekerjaan yang dapat dilakukan, aktivitas fisik dan
aspek kehidupan lain (Brunner & Suddard, 2002)
Tujuan perawatan asma adalah untuk menjaga agar asma tetap terkontrol yang
ditandai dengan penurunan gejala asma yang dirasakan atau bahkan tidak sama sekali,
sehingga penderita dapat melakukan aktivitas tanpa terganggu oleh asmanya. Pengontrolan
terhadap gejala asma dapat dilakukan dengan cara menghindari alergen pencetus asma,
konsultasi asma dengan tim medis secara teratur, hidup sehat dengan asupan nutrisi yang
memadai, dan menghindari stres. Gejala asma dapat dikendalikan dengan pengelolaan
yang dilakukan secara lengkap, dengan pemberian terapi farmakologis yaitu dengan
pemberian obat obatan dengan dosis yang tepat contohnya seperti teofilin atau
menggunakan terapi nonfarmakologis yaitu dengan cara mengontrol gejala yang timbul
serta mengurangi keparahan gejala asma yang dialami ketika terjadi serangan contohnya
seperti terapi pernafasan. (Wong, 2008).
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana definisi penyakit asma?
2. Bagaimana gambar paru-paru?
3. Bagaimana patofisiologi penyakit asma?
4. Bagaimana gejala dan diagnosis penyakit asma ?
5. Bagaimana terapi farmakologi untuk penyakit asma ?
6. Apa saja obat untuk penyakit asma ?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi penyakit asma
2. Untuk mengetahui bagian-bagian dari organ paru-paru
3. Untuk mengetahui patofisiologi penyakit asma
4. Untuk mengetahui gejala dan diagnosis penyakit asma

2
5. Untuk mengetahui terapi farmakalogi penyakit asma
6. Untuk mengetahui obat untuk penyakit asma

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Definisi Penyakit Asma


Asma atau bengekadalah suatu penyakit alergi yang bercirikan peradangan steril
kronis yang disertai dengan sesak nafas akut secara berkala, mudah sengal-sengal dan
batuk (dengan bunyi khas), udem dinding bronkhus dan hipersekresi dahak yang biasanya
lebih parah pada malam hari dan meningkatnya HRB terhadap rangsangan alergis maupun
nonalergis. Terdapat factor genetis dan factor lingkungan yang berperan terhadap
timbulnya gejala-gejala tersebut. Berlainan dengan COPD, obstruksi saluran napas pada
asma umumnya bersifat reversible, serangan berlangsung beberapa menit sampai beberapa
jam, diantara dua serangan, pasien tidak menunjukkan gejala apapun. (Indijah & Sujati
woro. 2016)
Status asthmaticus adalah serangan asma hebat, bertahan lebih dari 24 jam,
takhikardia dan tak bisa berbicara lancar karena nafas tersengal-sengal. Asma alergikpada
umumnya sudah dimulai sejak kanak-kanak, didahului gejala alergi lain khususnya eksim,
faktor keturunan dan konstitusi tubuh berperanan pada terjadinya asma ini (lihat Bab 7 KB
1). Pasien asma memiliki kepekaan terhadap infeksi saluran napas, kebanyakan terhadap
virus yang berakibat peradangan bronchi yang juga menimbulkan serangan asma.
Bronchitis asmatis demikian biasanya menyerang manula. Klasifikasi asma berdasarkan
berat penyakit penting bagi pengobatan dan perencanaan penatalaksanaan jangka panjang,
semakin berat asma semakin tinggi tingkat pengobatan.
Tabel berdasar kan berat penyakit (Indijah & Sujati woro. 2016) :
Derajat asma Gejala Fungsi paru paru
I. Intermiten Siang hari < 2 kali per minggu Variabilitas APE < 20%
Malam hari < 2 kali per bulan VEP1 > 80% nilai prediksi
Serangan singkat :Tidak ada gejala antar APE > 80% nilai terbaik
serangan Intensitas serangan bervariasi
II. Persisten Ringan Siang hari > 2 kali per minggu, tetapi < Variabilitas APE 20 - 30%
1 x per hari VEP1 > 80% nilai prediksi
Malam hari > 2 kali per bulan APE > 80% nilai terbaik
Serangan dapat mempengaruhi aktifitas
III. Persisten Sedang Siang hari ada gejala Malam hari > 1x Variabilitas APE > 30%
per minggu VEP1 60-80% nilai

4
Serangan mempengaruhi aktifitas prediksi
Serangan > 2 kali per minggu Serangan APE 60-80% nilai terbaik
berlangsung berhari-hari
Sehari-hari menggunakan inhalasi β2-
agonis short acting
IV. Persisten Berat Siang hari terus menerus ada gejala. Variabilitas APE > 30%
Setiap malam hari sering timbul gejala. VEP1 < 60% nilai prediksi
Aktifitas fisik terbatas. Sering timbul APE < 60% nilai terbaik
serangan APE = ( arus puncak
ekspirasi)
FEV1 = (volume ekspirasi
paksa dalam 1 detik)

II.2 Anatomi dan fisiologi Paru-Paru


Paru-paru adalah organ pernapasan utama yang terletak di rongga dada, memiliki 2
bagian utama, paru kanan dan kiri yang dipisahkan oleh mediastinum diantara kedua paru,
di dalam mediastinum terdapat bangunanbangunan penting seperti pembuluh darah besar
dan jantung. Udara bisa sampai ke paru setelah melewati jalan napas atas yaitu, hidung,
faring, laring, trakea, bronkus, bronkiolus dan alveolus. Paru dilapisi oleh pleura yang
terdiri dari pleura visceral yang menempel langsung pada paru dan pleura parietal yang
menempel pada dinding dada, diantara kedua pleura terdapat cavum pleura.

Fungsi utama paru adalah untuk pertukaran gas antara udara atmosfer dan darah.
Dalam menjalankan fungsinya, paru seperti sebuah pompa mekanik yang berfungsi ganda,

5
yaitu menghisap udara atmosfer ke dalam paru (inspirasi) dan mengeluarkan udara
alveolus dari dalam tubuh (ekspirasi).
1. Trakea merupakan saluran udara utama dan bisa disebut sebagai tiang fondasi
paru-paru manusia.Trakea berbentuk seperti huruf Y terbalik. Trakea berada
pada garis lurusnya, dan kemudian bercabang dua, ke kiri dan kanan.

2. Bronkus adalah cabang trakea. Bronkus kiri masuk ke paru-paru kiri, dan
bronkus sebelah kanan masuk ke paru-paru kanan. bronkus yang utama adalah
sebagai jalur udara dari mulut serta trakea. Udara yang masuk dan keluar dari
paru-paru, akan melewati bronkus. Selain itu, bronkus juga disebut memiliki
peran untuk mengeluarkan lendir atau dahak yang berperan dalam sistem
pertahanan tubuh.
3. Bronkiolus adalah percabangan dari bronkus. Bronkiolus berukuran sangat
kecil, seperti rambut, dan jumlahnya banyak. Baik di paru-paru kiri maupun
kanan, terdapat hingga 30.000 bronkiolus.
4. Alveoli dan Alveolus, Di ujung bronkiolus terdapat alveoli yang merupakan
kumpulan kantung udara. Masing-masing kantong udara, disebut dengan
alveolus, dan ukurannya sangat kecil. Namun, jumlah alveoli sangatlah banyak,
yaitu sekitar 600 juta buah.
5. Pleura adalah lapisan membran tipis pelindung paru-paru dan tulang rangka
bagian dalam, yang menghadap paru-paru.Pleura memiliki dua lapisan,
sehingga saat paru-paru bersentuhan dengan bagian dalam tulang rangka, tidak
akan terjadi gesekan.
6. Diafragma sebenarnya tidaklah menempel pada paru-paru. Namun, perannya
tidak dapat dipisahkan dari paru-paru. Diafragma merupakan otot pernapasan
yang terletak di bawah paru-paru  dan memisahkan area dada dari perut. Saat
bernapas, diafragma akan berkontraksi dan menarik paru-paru ke bawah serta
melebarkannya agar udara dapat masuk sempurna. Lalu, saat menghembuskan
napas, diafragma akan rileks dan kembali ke bentuk semula yang terlihat seperti
kubah, sehingga jumlah udara didorong keluar paru-paru (Evelyn C, Pearce.
2006).

II.3 Patofisiologi Penyakit Asma

6
Penyakit asma merupakan proses inflamasi dan hipereaktivitas saluran napas yang
akan mempermudah terjadinya obstruksi jalan napas. Kerusakan epitel saluran napas,
gangguan saraf otonom, dan adanya perubahan pada otot polos bronkus juga diduga
berperan pada proses hipereaktivitas saluran napas. Peningkatan reaktivitas saluran nafas
terjadi karena adanya inflamasi kronik yang khas dan melibatkan dinding saluran nafas,
sehingga aliran udara menjadi sangat terbatas tetapi dapat kembali secara spontan atau
setelah pengobatan. Hipereaktivitas tersebut terjadi sebagai respon terhadap berbagai
macam rangsang (Indijah & Sujati woro. 2016).
Dikenal dua jalur untuk bisa mencapai keadaan tersebut. Jalur imunologis yang
terutama didominasi oleh IgE dan jalur saraf otonom. Pada jalur yang didominasi oleh IgE,
masuknya alergen ke dalam tubuh akan diolah oleh APC (Antigen Presenting Cells),
kemudian hasil olahan alergen akan dikomunikasikan kepada sel Th ( T penolong )
terutama Th2 . Sel T penolong inilah yang akan memberikan intruksi melalui interleukin
atau sitokin agar sel-sel plasma membentuk IgE, sel-sel radang lain seperti mastosit,
makrofag, sel epitel, eosinofil, neutrofil, trombosit serta limfosit untuk mengeluarkan
mediator inflamasi seperti histamin, prostaglandin (PG), leukotrien (LT), platelet
activating factor (PAF), bradikinin, tromboksin (TX), dan lain-lain. Sel-sel ini bekerja
dengan mempengaruhi organ sasaran yang dapat menginduksi kontraksi otot polos saluran
pernapasan sehingga menyebabkan peningkatan 8 permeabilitas dinding vaskular, edema
saluran napas, infiltrasi sel-sel radang, hipersekresi mukus, keluarnya plasma protein
melalui mikrovaskuler bronkus dan fibrosis sub epitel sehingga menimbulkan
hipereaktivitas saluran napas. Faktor lainnya yang dapat menginduksi pelepasan mediator
adalah obat-obatan, latihan, udara dingin, dan stress (Indijah & Sujati woro. 2016).
Selain merangsang sel inflamasi, terdapat keterlibatan sistem saraf otonom pada
jalur non-alergik dengan hasil akhir berupa inflamasi dan hipereaktivitas saluran napas.
Inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast intralumen, makrofag alveolar, nervus vagus
dan mungkin juga epitel saluran napas. Reflek bronkus terjadi karena adanya peregangan
nervus vagus, sedangkan pelepasan mediator inflamasi oleh sel mast dan makrofag akan
membuat epitel jalan napas lebih permeabel dan memudahkan alergen masuk ke dalam
submukosa, sehingga meningkatkan reaksi yang terjadi. Keterlibatan sel mast tidak
ditemukan pada beberapa keadaan seperti pada hiperventilasi, inhalasi udara dingin, asap,
kabut dan SO2. Reflek saraf memegang peranan pada reaksi asma yang tidak melibatkan
sel mast. Ujung saraf eferen vagal mukosa yang terangsang menyebabkan dilepasnya
neuropeptid sensorik senyawa P, neurokinin A dan calcitonin Gene-Related Peptide

7
(CGRP). Neuropeptida itulah yang menyebabkan terjadinya bronkokontriksi, edema
bronkus, eksudasi plasma, hipersekresi lendir, dan aktivasi sel-sel inflamasi. Berikut
adalah gambar patofisiologi asma (Evelyn C, Pearce. 2006) :

II.4 Gejala dan diagnosis penyakit asma


II.4.1 Gejala Penyakit Asma
Asma bersifat episodik, seringkali reversibel dengan/atau tanpa pengobatan.

A. Gejala awal berupa :

 Batuk terutama pada malam atau dinihari

 Sesak nafas

 Nafas berbunyi (mengi) yang terdengar jika pasien


menghembuskannapasnya

 Rasa berat didada

 Dahak sulit keluar (Evelyn C, Pearce. 2006)

B. Gejala berat adalah keadaan gawat darurat yang mengancam jiwa. Yang
termasuk :
 Serangan batuk yang hebat

 Sesak napas yang berat dantersengal-sengal

 Sianosis (kulit kebiruan, yang dimulai dari sekitarmulut)

 Sulit tidur dan posisi tidur yang nyaman adalah dalam keadaan duduk

8
 Kesadaran menurun (Evelyn C, Pearce. 2006)
II.4.2 Diagnosa Penyakit Asma
1) Anamnesis
Penegakkan diagnosis asma berdasarkan pada riwayat penyakit,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada riwayat penyakit akan
dijumpai gejala batuk, sesak, mengi, atau rasa berat di dada. Tapi biasanya
pasien akan mengeluh gejala batuk saja yang umumnya timbul pada malam hari
atau sewaktu kegiatan jasmani. Perbedaan asma dengan penyakit paru yang lain
adalah pada asma serangan dapat hilang dengan atau tanpa obat, yang artinya
serangan asma tanpa diobati dapat hilang dengan sendirinya. Akan tetapi
membiarkan pasien asma dalam keadaan serangan tanpa obat adalah tidak etis
dan juga dapat membahayakan nyawa pasien.
2) Pemeriksaan Fisik
Penemuan tanda- tanda asma pada pemeriksaan fisik pasien asma
tergantung dari derajat obstruksi saluran napas. Ekspirasi memanjang, mengi,
hiperinflasi dada, pernapasan cepat sampai sianosis dapat dijumpai pada pasien
asma.
3) Pemeriksaa Penunjang
 Spirometri
Caranya adalah dengan melihat respon pengobatan dengan
bronkodilator. Pemeriksaan ini dilakukan sebelum dan sesudah pemberian
bronkodilator hirup (inhaler atau nebulizer) golongan adrenergik beta.
Peningkatan VEP1 sebanyak 12% atau ( ≥ 200mL ) menunjukkan diagnosis
asma. Namun pasien yang VEP1nya ≤ 12% atau ≤ 200mL belum tentu bukan
asma. Hal ini dapat terjadi jika pasien tersebut sudah normal atau mendekati
normal. Demikian pula respon terhadap bronkodilator tidak dijumpai pada
pasien obstruksi saluran napas yang berat, karena obat tunggal bronkodilator
tidak cukup kuat memberikan efek seperti yang diharapkan. Untuk melihat
reversibilitas pada hal tersebut maka mungkin diperlukan kombinasi obat
golongan adrenergik beta, teofilin dan bahkan kortikosteroid untuk jangka
waktu pengobatan 2 – 3 minggu.
 Uji Provokasi Bronkus
Jika pada pemeriksaan spirometri normal, maka untuk menunjukkan

9
adanya hiperaktivitas bronkus dilakukan uji provokasi bronkus. Caranya
adalah dengan uji provokasi menggunakan histamin, metakolin, kegiatan
jasmani, udara dingin, larutan garam hipertonik, dan bahkan dengan aqua
destilata. Penurunan VEP1 sebesar 20% atau lebih dianggap bermakna. Uji
dengan provokasi kegiatan jasmani dilakukan dengan menyuruh pasien
berlari cepat selama enam menit sehingga mencapai denyut jantung 80% –
90% dari maksimum. Dianggap bermakna bila menunjukkan penurunan APE
( Arus Puncak Ekspirasi ) minimal 10%.
 Pemeriksaan Sputum
Karakteristik sputum pada asma adalah sputum eosinofil, sedangkan
sputum neutrofil sangat dominan pada bronchitis kronis. Selain untuk melihat
adanya eosinofil, kristal Charcot – Leyden, dan Spiral Curschmann,
pemeriksaan ini juga bertujuan untuk melihat adanya miselium Aspergillus
fumigatus.
 Uji Kulit
Bertujuan untuk melihat adanya antibodi IgE spesifik dalam tubuh
dan uji ini hanya menyokong anmnesis karena uji alergen yang hasilnya
postif belum tentu merupakan penyebab asma,demikian pula sebaliknya.
Pemeriksaan Eosinofil Total Pemeriksaan ini dapat membedakan asma
dengan bronkitis kronik yaitu pada asma jumlah eosinofil total dalam darah
biasanya meningkat. Pemeriksaan ini juga sebagai patokan untuk menentukan
kadar dosis kortikosteroid yang dibutuhkan pasien asma.
 Foto Dada
Pemeriksaan ini bertujuan untuk menyingkirkan penyebab lain
obstruksi saluran napas dan adanya kecurigaan terhadap proses patologis di
paru atau komplikasi asma seperti pneumotoraks, pneumomediastinum,
atelektasis dan lain – lain.
 Analisis Gas Darah
Pemeriksaan ini hanya dilakukan untuk penderita asma yang berat.
Pada fase awal serangan, terjadi hipoksemia dan hipokapnia ( PaCO2 <
35mmHg) kemudian pada stadium yang lebih berat PaCO2 justru mendekati
normal sampai normo- kapnia. Selanjutnya pada asma yang sagat berat
terjadinya hiperkapnia ( PaCO2 ≥ 45 mmHg ), hipoksemia dan asidosis
respiratorik.
10
II.5 Terapi Penyakit Asma
II.5.1 Terapi Non Farmakologi untuk Penyakit Asma
1. Edukasi pasien
Edukasi pasien dan keluarga, bertujuan untuk meningkatkan pemahaman
mengenai penyakit asma secara umum dan pola penyakit asma, meningkatkan
keterampilan (kemampuan dalam penanganan asma sendiri/asma mandiri),
meningkatkan kepuasan, meningkatkan rasa percaya diri, meningkatkan
kepatuhan (compliance) dan penanganan mandiri membantu pasien agar dapat
melakukan pengontrolan asma.
2. Pengukuran peak flow meter
Perlu dilakukan pada pasien dengan asma sedang sampai berat. Pengukuran
Arus Puncak Ekspirasi (APE) dengan Peak Flow Meter ini dianjurkan pada :
 Penanganan serangan akut di gawat darurat, klinik, praktek dokter dan oleh
pasien di rumah.
 Pemantauan berkala di rawat jalan, klinik dan praktek dokter.
 Pemantauan sehari-hari di rumah, idealnya dilakukan pada asma persisten usia
di atas > 5 tahun, terutama bagi pasien setelah perawatan di rumah sakit,
pasien yang sulit/tidak mengenal perburukan melalui gejala padahal berisiko
tinggi untuk mendapat serangan yang mengancam jiwa.
3. Pemberian oksigen
4. Banyak minum untuk menghindari dehidrasi terutama pada anak-anak
5. Kontrol secara teratur
6. Pola hidup sehat . Dapat dilakukan dengan :
 Penghentian merokok
 Menghindari kegemukan
 Kegiatan fisik misalnya senam asma

II.5.2 Terapi Farmakologi untuk Penyakit Asma


 Mencegah Ikatan alergen – IgE
 Menghindari allergen
 Hiposensitisasi, yaitu dengan menyuntikan alergen dosis kecil yang
kemudian dosisnya ditingkatkan perlahan yang diharapkan nantinya tubuh
akan membentuk IgG yang akan mencegah ikatan alergen dengan IgE

11
pada sel mast.
 Mencegah Pelepasan Mediator
Premedikasi dengan natrium kromolin bisa mencegah spasme bronkus yang
dicetuskann oleh alergen. Mekanimse kerja natrium kromolin kemungkinan
adalah mecegah pelepasan mediator dari matosit. Obat ini tidak dapat
mengatasi spasme bronkus yang telah terjadi, oleh sebab itu obat ini hanya
dipakai sebagai obat profilaktik pada terapi pemeliharaan. Obat golongan
agonis beta 2 maupun teofilin selain bersifat sebagai bronkodilator juga dapat
mencegah pelepasan mediator.
 Melebarkan Saluran Napas dengan Bronkodilator
 Simpatomimetik : Agonis beta 2 ( salbutamol, terbutalin, fenoterol,
prokaterol ) merupakan obat – obat terpilih untuk mengatasi serangan
asma akut. Dapat diberikan secara inhalasi melalui MDI ( Metered Dosed
Inhaler ) atau nebulizer. Epinefrin diberikan subkutan sebagai pengganti
agonis beta 2 pada seragan asma yang berat. Dianjurkan hanya dipakai
pada penderita asma anak atau dewasa muda.
 Aminofilin digunakan sewaktu serangan asma akut. Diberikan dosis awal,
diikuti dosis pemeliharaan.
 Kortikosteroid Sistemik. Bukan merupakan obat golongan bronkodilator
tetapi secara tidak langsung dapat melebarkan saluran napas. Digunakan
pada serangan asma akut atau pemeliharaan asma yang berat.
 Antikolinergik ( ipatropin bromida ) terutama dipakai sebagai suplemen
bronkodilator agonis beta 2 pada serangan asma.
 Mengurangi respon dengan jalan meredam inflamasi saluran Napas
Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa asma baik yang ringan
maupun asma berat menunjukkan adanya inflamasi saluran napas. Secara
histopatologis ditemukan adanya infiltrasi sel –sel radang serta mediator
inflamasi di tempat tersebut. Untuk meredam inflamasi tersebut bias digunakan
natrium kromolin atau kortikosteroid baik secara oral, parenteral atau inhalasi
seperti pada asma akut atau kronik.
 Obat – obat anti asma
Umumnya obat – obat anti asma digunakan untuk mencegah dan
mengendalikan gejala asma. Fungsi penggunaan obat–obat ini antara lain :

12
 Pencegah (controller) yaitu obat obat yang dipakai setiap hari yang bertujuan
agar gejala asma persisten tetap terkendali. Obat yang termasuk golongan ini
adalah obat – obat anti inflamasi dan bronkodilator kerja panjang ( long
acting ). Obat – obat anti – inflamasi khususnya kortikosteroid hirup adalah
obat yang paling efektif sebagai pencegah. Selain itu, yang termasuk obat
pencegah adalah kortikosteroid hirup, kortikosteroid sistemik, natrium
kromolin, natrium nedrokromil, teofilin lepas lambat (TLL), agonis beta 2
kerja panjang hirup ( salmaterol dan formoterol ) dan oral, dan obat – obat anti
alergi seperti falmaterol, antileukotrin dan anti IgE.
 Penghilang Gejala (reliever) adalah obat - obat yang dapat merelaksasi
bronkokonstriksi dan gejala – gejala akut yang menyertainya dengan segera.
Obat – obat yang termasuk golongan ini adalah agonis beta 2 hirup kerja
pendek, kortikosteroid sistemik, anti kolinergik hirup, teofilin kerja pendek,
dan agonis beta 2 oral kerja pendek (Adhadi, 2015)

II.6 Obat untuk Penyakit Asma


Berdasarkan mekanisme kerjanya obat asma dapat dibagi dalam beberapa
kelompok, yaitu zat-zat yang menghindari degranulasi mast-cells (anti-alergika) dan zat-
zat yang meniadakan efek mediator (bronchodilator, antihistaminika dan kortikosteroida).
a) Anti alergika Anti alergika adalah zat-zat yang berkhasiat menstabilisasi mast-cells
sehingga tidak pecah dan mengakibatkan terlepasnya histamine dan mediator
peradangan lainnya. Yang terkenal adalah kromoglikat dan nedokromil,
antihistaminika (ketotifen,  Farmakologi  228 oksatomida) dan β2-adrenergika
(lemah). Obat ini sangat berguna untuk mencegah serangan asma dan rhinitis alergis
(hay fever). Penggunaan: Kromoglikat sangat efektif sebagai pencegah serangan asma
dan bronchitis yang bersifat alergis. Untuk profilaksis yang layak obat ini harus
diberikan 4 kali sehari dan efeknya baru nyata sesudah 2-4 minggu. Penggunaannya
tidak boleh dihentikan dengan tiba-tiba berhubung dapat memicu serangan. Pada
serangan akut kromolin tidak efektif karena tidak memblok reseptor histamine.
b) Bronkhodilator
1) 2 adrenergika
stabilisasi membran dan bronkhodilatasi dan praktis tidak bekerja terhadap
reseptor-β1 (stimulasi jantung). Obat dengan efek terhadap kedua receptor

13
sebaiknya jangan digunakan lagi berhubung efeknya terhadap jantung, seperti
efedrin, isoprenalin, dan orsiprenalin. Pengecualian adalah adrenalin (reseptor α
dan β) yang sangat efektif dalam keadaan kemelut.
Mekanisme kerjanya adalah: melalui stimulasi reseptor 2 yang banyak di
trachea dan bronchi, yang menyebabkan aktivasi dari adenilat siklase. Enzi mini
memperkuat pengubahan adenosine trifosfat (ATP) menjadi siklik adenosine
monofosfat (C-AMP) dengan pembebasan energy yang digunakan untuk
prosesproses dalam sel. Meningkatnya c-AMP dalam sel menyebabkan beberapa
efek melalui enzim fosfokinase, antara lain bronchdilatasi dan penghambatan
pelepasan mediator oleh mast-cells (stabilisasi membrane). Contoh: salbutamol,
terbutalin, tretoquinol, fenoterol, rimiterol, prokaterol, klenbuterol, isoprenalin,.
Kerja panjang: salmeterol dan formoterol. Efek samping: kelainan ventrikel,
palpitasi, mulut kering
2) Antikolinergika
Bronkhodilatasi. Di dalam sel-sel otot polos terdapat keseimbangan antara
sistem kolinergis dan adrenergic. Bila karena sesuatu hal reseptor 2 dari sistem
adrenergic terhambat, maka sistem kolinergis akan berkuasa dengan akibat
bronchokontriksi. Antikolinergik memblok reseptor muskarin dari saraf kolinergis
di otot polos bronchi, hingga aktivitas saraf adrenergis menjadi dominan dengan
efek bronchodilatasi.
Penggunaan: Ipatropium dan tiotropium khusus digunakan sebagai inhalasi,
kerjanya lebih panjang daripada salbutamol. Kombinasi dengan 2-mimetika
sering digunakan karena menghasilkan efek aditif. Deptropin berdaya mengurangi
HRB, tetapi kerja spasmolitisnya ringan, sehingga diperlukan dosis tinggi dengan
risiko efek samping lebih tinggi. Senyawa ini masih digunakan pada anak kecil
dengan hipersekresi dahak yang belum mampu diberikan terapi inhalasi. Contoh:
Ipratropium, tiazinamium, deptropin Efek samping: mengentalkan dahak,
takikardia, mulut kering, obstipasi, sukar berkemih, penglihatan kabur akibat
gangguan akomodasi.
3) Derivat xantin
Blokade reseptor adenosin dan seperti kromoglikat mencegah
meningkatnya HRB sehingga berkhasiat profilaktif. Penggunaannya secara terus-
menerus pada terapi pemeliharaan ternyata efektif mengurangi frekwensi serta

14
hebatnya serangan. Pada status asmatikus diperlukan aminofilin dosis muat 5
mg/kg BB infus selama 20-40menit dilanjutkan dosis pemeliharaan 0,5 mg/kg
BB/jam untuk dewasa normal bukan perokok. Anak di bawah 12 tahun dan
dewasa perokok diperlukan dosis lebih tinggi, yaitu 0,8-0,9 mg/kgBB/jam.
Pemberian infus tidak boleh melebihi 6 jam.
Kombinasi dengan 2-adrenergik sangat meningkatkan efek
bronchodilatasi teofilin sehingga dapat digunakan dosis dengan risiko efek
samping lebih kecil. Contoh: Teofilin, aminofilin, kolinteofilinat (partikel size 1-5
micron) Perhatian: harus banyak minum karena berefek diuretic. Luas terapeutik
sempit : Pada pasien asma diperlukan kadar terapi teofilin sedikitnya 5-8
mcg/mL, efek toksik mulai terlihat pada kadar15mcg/mL, lebih sering pada kadar
di atas 20 mcg/mL, maka pengguna harus diperiksa kadarnya dalam plasma. Efek
samping: mual, muntah, pada OD efek sentral, gangguan pernafasan, efek
kardiovaskuler.

c) Kortikosteroida Berdaya antiradang karena memblok enzim fosfolipase-A2 sehingga


pembentukan mediator peradangan prostaglandin dan leukotriene dari asam
arachidonat tidak terjadi, juga pelepasan asam arachidonat oleh mast-cells juga
dirintangi, (lihat Gambar 7.2.4), meningkatkan kepekaan reseptor 2 hingga efek -
mimetika diperkuat. Penggunaan: bermanfaat pada serangan asma akibat infeksi virus
juga pada infeksi bakteri untuk melawan reaksi peradangan. Juga efektif pada reaksi
alergi tipe IV (lambat). Untuk mengurangi HRB, zat ini dapat diberikan per-inhalasi
atau per-oral. Pada kasus gawat obat ini diberikan secara IV (per infus), kemudian

15
disusul dengan pemberian oral. Penggunaan peroral-lama: menekan fungsi anak ginjal
dan menyebabkan osteoporosis. Maka hanya diberikan untuk satu kur singkat.
Lazimnya pengobatan dimulai dengan dosis tinggi yang dalam waktu 2 minggu
dikurangi sampai nihil. Bila diperlukan, kur singkat demikian dapat diulang lagi (lihat
Bab 8 KB2, tentang kortikosteroid). Contoh: hidrokortison, prednison, deksametason,
inhalasi: beklometason, flutikason, budesonida.
d) Mukolitik dan ekspektoransia Contoh: asetilsistein, bromheksin, ambroksol, KI dan
amonium klorida Semua zat ini mengurangi kekentalan dahak, mukolitik dengan
merombak mukoproteinnya dan ekspektoransia dengan mengencerkan dahak sehingga
pengeluarannya dipermudah. Kalium iodide sebaiknya jangan digunakan untuk jangka
waktu lama berhubung efek sampingnya (udema, urticarial, acne). Penanganan
simptomatis dengan menghirup uap air panas dapat membantu pencairan dahak yang
kental sehingga lebih mudah dikeluarkan.
e) Antihistamin Obat-obat ini memblok reseptor histamine (H1-receptor blockers) dan
dengan demikian mencegah bronchokontriksinya. Efeknya pada asma terbatas karena
tidak melawan bronchokontriksi dari mediator lain yang dilepaskan mast-cells.
Banyak antihistamin juga berdaya sedative dan antikolinergis, mungkin inilah
sebabnya mengapa kini masih agak banyak digunakan pada terapi pemeliharaan.
Ketotifen dan oksatomida berdaya menstabilkan mast-cells, oksatomida bahkan
berdaya antiserotonin dan antileukotrien
f) Zat antileukotrien (anti-Lt) Pada pasien asma leukotriene turut menimbulkan
bronchokontriksi dan sekresi mucus. Zat antagonis-leukotrien bekerja spesifik dan
efektif pada terapi pemeliharaan terhadap asma Kerja anti-leukotrien berdasarkan
penghambatan sintesis Lt atau memblok reseptor Lt. Contoh Lt-blokers:
zileuton,setirizin, loratadin, azelastin, ebastin. Contoh Lt-reseptor blokers: zafirlukast,
pranlukast, montelukast. Gambar 7.2.5 memperlihatkan kerja anti leukotriene
berdasarkan penghambatan sintesa LT dengan jalan blockade enzim lipoksigenase
atau berdasarkan penempatan reseptor Lt dengan LTC4/D4-blockers.

16
17
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Asma merupakan gangguan inflamasi kronik saluran pernapasan yang
melibatkan berbagai sel inflamasi. Dasar penyakit ini adalah hiperaktivitas bronkus
dalam berbagai tingkat, obstruksi saluran pernapasan dan gejala pernapasan (mengi
dan sesak) serta terapi untuk penyakit asma dapat dilakukan secara non
farmakologi dengan pengaturan pola hidup sehat dan dengan menggunkan terapi
farmakologi dengan menggunkan bantuan obat-obatan.

18
DAFTAR PUSTAKA

Adhadi, 2015. Senam Sehat Untuk Asma, universitas Muhammadiyah : Semarang


http://repository.unimus.ac.id

Anonim, 2008, Pedoman Pengendalian Asma, (online),


(http://www.depkes.go.id/downloads/Kepmenkes/KMK
%201023XI08%20pengendalian%20asma.pdf, diakses 02 Oktober 2021 jam
22.00)

Brunner & Suddarth, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, alih bahasa:
Waluyo Agung., Yasmin Asih., Juli., Kuncara., I.made karyasa, EGC, Jakarta.

Evelyn C, Pearce, Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis, Jakarta: PT Gramedia,


2006.

Global Initiative for Asthma (GINA)., 2012. At-A-Glance Asthma Management


Reference.

Ikawati, Z., 2006, Farmakoterapi Penyakit Sistem Pernapasan, hal 43-50, Fakultas
Farmasi UGM, Yogyakarta.

Indijah, Sujati Woro. 2016. Farmakologi. Buku Ajar Cetak Farmasi, Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia.

Priyanto, 2009, Farmakoterapi dan Terminologi Medis, hal 143-155 Leskonfi,


Depok.

Rahajoe, N., Supriyatno,B.,dan Setyanto, D., 2008, Buku Ajar Respirologi Anak, hal
71-75, Ikatan Dokter Anak Indonesia, Jakarta.

Wong. 2008. Buku Ajar Keperawatan Pedriatik. Cetakan pertama. Jakarta : EGC.

19

Anda mungkin juga menyukai