Anda di halaman 1dari 43

KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, Kami
panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah,
dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tentang
“ASMA”. Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari
berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami
menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam
pembuatan makalah
ini.
Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan
baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan
terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki
makalah ilmiah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah tentang “ASMA” ini dapat memberikan
manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca.

Cimahi, April 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah 2
1.3 Tujuan Penulisan 2

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Asma 3
2.2 Jenis-Jenis Penyakit Asma 3
2.3 Gejala Penyakit Asma 4
2.4 Penyebab Terjadinya Penyakit Asma 5
2.5 Klasifikasi 7
2.6 Patogenesis 10
2.7 Patofisiologi Asma dan Mekanisme Terjadinya Asma 11
2.8 Terapi Asma 14
2.9 Interaksi Obat 18

BAB III STUDI KASUS 27

BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan 30

DAFTAR PUSTAKA 32
BAB I
PENDAHULUA
N

1.1 Latar Belakang


Asma adalah penyakit tidak menular yang ditandai dengan serangan sesak napas
berulang, yang bervariasi dalam tingkat keparahan dan frekuensi dari orang ke orang.
Gejala dapat terjadi beberapa kali dalam sehari atau seminggu pada individu yang
terkena, dan bagi sebagian orang menjadi lebih buruk selama aktivitas fisik atau
dimalam hari. Selama serangan asma, lapisan tabung bronkial membengkak,
menyebabkan saluran udara menyempit dan mengurangi aliran udara masuk dan keluar
dari paru-paru. Gejala asma berulang sering menyebabkan sulit tidur, kelelahan disiang
hari, dan tingkat aktivitas berkurang (Global Initiative for Asthma, 2016).
Berdasarkan Global Asthma Report 2018, empat puluh juta kematian atau 70 %
dari semua kematian diseluruh dunia, disebabkan oleh penyakit tidak menular dengan
80% kematian terjadi di negara berkembang. Penyakit pernapasan kronis, termasuk
asma, menyebabkan 15 % kematian didunia. Asma adalah penyakit kronis yang
diperkirakan mempengaruhi sebanyak 339 juta orang diseluruh dunia. Asma adalah
penyebab beban penyakit yang substansial, termasuk kematian dini dan penurunan
kualitas hidup, pada semua kelompok umur diseluruh dunia. Asma berada diperingkat
ke- 16 dunia di antara penyebab utama tahun hidup dengan disabilitas dan peringkat ke-
28 di antara penyebab utama beban penyakit, yang diukur dengan Diability Adjusted
Life Years (DALY) (The Global Asthma Report. 2018).
Penyakit asma tidak bisa disembuhkan, akan tetapi dengan penanganan yang tepat
asma dapat terkontrol sehingga kualitas hidup penderita dapat terjaga. Gejala klinis
asma yang khas adalah sesak napas yang berulang dan suara mengi (wheezing) akan
tetapi gejala ini bervariasi pada setiap individu, berdasarkan tingkat keparahan dan
frekuensi kekambuhannya (WHO, 2016). Adapun, gejala khas yang lain yaitu adanya
batuk produktif yang memburuk terutama pada malam hari atau menjelang pagi, dan
dada terasa tertekan. Dikatakan asma, jika penderita pernah mengalami sesak napas
yang terjadi bila terpapar langsung oleh satu atau lebih dari kondisi seperti allergen
(makanan), udara dingin, stres, flu, kelelahan, alergi obat dan alergi hirupan seperti :
debu, asap rokok (Riskesdas, 2013).
Sebagian besar kematian terkait asma terjadi di negara berpenghasilan rendah dan

1
menengah ke bawah. Faktor risiko terkuat sebagai pemicu asma adalah zat dan partikel

2
yang dihirup yang dapat memicu reaksi alergi atau mengiritasi saluran udara. Untuk
menghindari kambuhnya asma, pasien dapat meminum obat. Menghindari pemicu asma
juga bisa mengurangi keparahan asma. Penatalaksanaan asma yang tepat dapat
memungkinkan orang menikmati kualitas hidup yang baik (Kemenkes RI, 2019).

1.2 Rumusan Masalah


Rumusan masalah dari makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Apa pengertian dari asma?
2. Bagaimana patofisiologi asma?
3. Bagaimana terapi farmakologi untuk asma?
4. Bagaimana interaksi yang terjadi pada obat-obat asma?

1.3 Tujuan Penulisan


Tujuan dari makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Mengetahui pengertian dari asma.
2. Mengetahui patofisiologi asma.
3. Mengetahui terapi farmakologi untuk asma.
4. Mengetahui interaksi yang terjadi pada obat-obat asma.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Asma


Asma sendiri berasal dari kata asthma. Kata ini berasal dari bahasa Yunani yang
memiliki arti sulit bernafas. Penyakit asma dikenal karena adanya gejala sesak nafas,
batuk, dan mengi yang disebabkan oleh penyempitan saluran nafas. Atau dengan kata
lain asma merupakan peradangan atau pembengkakan saluran nafas yang reversibel
sehingga menyebabkan diproduksinya cairan kental yang berlebih (Prasetyo, 2010)
Asma merupakan penyakit inflamasi kronik saluran napas yang disebabkan oleh
reaksi hiperresponsif sel imun tubuh seperti mast sel, eosinophils, dan T-lymphocytes
terhadap stimuli tertentu dan menimbulkan gejala dyspnea, whizzing, dan batuk akibat
obstruksi jalan napas yang bersifat reversibel dan terjadi secara episodik berulang
(Brunner & Suddarth, 2001).
Menurut Prasetyo (2010) Asma, bengek atau mengi adalah beberapa nama yang
biasa kita pakai kepada pasien yang menderita penyakit asma. Asma bukan penyakit
menular, tetapi faktor keturunan(genetic) sangat punya peranan besar disini.
Saluran pernafasan penderita asma sangat sensitif dan memberikan respon yang
sangat berlebihan jika mengalami rangsangan atau ganguan. Saluran pernafasan
tersebut bereaksi dengan cara menyempit dan menghalangi udara yang masuk.
Penyempitan atau hambatan ini bisa mengakibatkan salah satu atau gabungan dari
berbagai gejala mulai dari batuk, sesak, nafas pendek, tersengal-sengal, hingga nafas
yang berbunyi ”ngik- ngik” (Hadibroto et al, 2006).

2.2 Jenis-Jenis Penyakit Asma


Beberapa ahli membagi asma dalam 2 golongan besar, seperti yang dianut banyak
dokter ahli pulmonologi (penyakit paru-paru) dari Inggris, yakni:
2.2.1 Asma Ekstrinsik
Asma ekstrinsik adalah bentuk asma yang paling umum, dan disebabkan
karena reaksi alergi penderitanya terhadap hal-hal tertentu (alergen), yang tidak
membawa pengaruh apa-apa terhadap mereka yang sehat.
Pada orang-orang tertentu, seperti pada penderita asma, sistem imunitas
bekerja lepas kendali dan menimbulkan reaksi alergi. Reaksi ini disebabkan oleh
alergen. Alergen bisa tampil dalam bentuk: mulai dari serbuk bunga, tanaman,
pohon, debu luar/dalam rumah, jamur, hingga zat/bahan makanan. Ketika alergen
memasuki tubuh pengidap alergi, sistem imunitasnya memproduksi antibodi
khusus yang disebut IgE. Antibodi ini mencari dan menempelkan dirinya pada
sel- sel batang. Peristiwa ini terjadi dalam jumlah besar di paru-paru dan saluran
pernafasan lalu membangkitkan suatu reaksi. Batang-batang sel melepaskan zat
kimia yang disebut mediator. Salah satu unsur mediator ini adalah histamin.
Pelepasan histamin terhadap paru-paru mengakibatkan terjadinya reaksi
penegangan atau pengerutan saluran pernafasan dan meningkatnya produksi
lendir yang dikeluarkan jaringan lapisan sebelah dalam saluran tersebut.
2.2.2 Asma Intrinsik
Asma intrinsik tidak responsif terhadap pemicu yang berasal dari alergen.
Asma jenis ini disebabkan oleh stres, infeksi, dan kondisi lingkungan seperti
cuaca, kelembaban dan suhu udara, polusi udara, dan juga oleh aktivitas olahraga
yang berlebihan. Asma intrinsik biasanya berhubungan dengan menurunnya
kondisi ketahanan tubuh, terutama pada mereka yang memiliki riwayat kesehatan
paru- paru yang kurang baik, misalnya karena bronkitis dan radang paru-paru
(pneumonia). Penderita diabetes mellitus golongan lansia juga mudah terkena
asma intrinsik.
Tujuan dari pemisahan golongan asma seperti yang disebut di atas adalah
untuk mempermudah usaha penyusunan dan pelaksanaan program pengendalian
asma yang akan dilakukan oleh dokter maupun penderita itu sendiri. Namun
dalam prakteknya, asma adalah penyakit yang kompleks, sehingga tidak selalu
dimungkinkan untuk menentukan secara tegas, golongan asma yang diderita
seseorang. Sering indikasi asma ekstrinsik dan intrinsik bersama-sama dideteksi
ada pada satu orang.

2.3 Gejala Penyakit Asma


Frekuensi dan beratnya serangan asma bervariasi. Beberapa penderita lebih sering
terbebas dari gejala dan hanya mengalami serangan serangan sesak napas yang singkat
dan ringan, yang terjadi sewaktu-waktu. Penderita lainnya hampir selalu mengalami
batuk dan mengi (bengek) serta mengalami serangan hebat setelah menderita suatu
infeksi virus, olah raga atau setelah terpapar oleh alergen maupun iritan. Menangis atau
tertawa keras juga bisa menyebabkan timbulnya gejala dan juga sering batuk
berkepanjangan terutama di waktu malam hari atau cuaca dingin.
Serangan asma dapat terjadi secara tiba-tiba ditandai dengan napas yang berbunyi
(mengi, bengek), batuk dan sesak napas. Bunyi mengi terutama terdengar ketika
penderita menghembuskan napasnya. Di lain waktu, suatu serangan asma terjadi secara
perlahan dengan gejala yang secara bertahap semakin memburuk. Pada kedua keadaan
tersebut, yang pertama kali dirasakan oleh seorang penderita asma adalah sesak napas,
batuk atau rasa sesak di dada. Serangan bisa berlangsung dalam beberapa menit atau
bisa berlangsung sampai beberapa jam, bahkan selama beberapa hari.
Gejala awal pada anak-anak bisa berupa rasa gatal di dada atau di leher. Batuk
kering di malam hari atau ketika melakukan olah raga juga bisa merupakan satu-
satunya gejala. Selama serangan asma, sesak napas bisa menjadi semakin berat,
sehingga timbul rasa cemas. Sebagai reaksi terhadap kecemasan, penderita juga akan
mengeluarkan banyak keringat.
Pada serangan yang sangat berat, penderita menjadi sulit untuk berbicara karena
sesaknya sangat hebat. Kebingungan, letargi (keadaan kesadaran yang menurun,
dimana penderita seperti tidur lelap, tetapi dapat dibangunkan sebentar kemudian
segera tertidur kembali) dan sianosis (kulit tampak kebiruan) merupakan pertanda
bahwa persediaan oksigen penderita sangat terbatas dan perlu segera dilakukan
pengobatan. Meskipun telah mengalami serangan yang berat, biasanya penderita akan
sembuh sempurna, Kadang beberapa alveoli (kantong udara di paru-paru) bisa pecah
dan menyebabkan udara terkumpul di dalam rongga pleura atau menyebabkan udara
terkumpul di sekitar organ dada. Hal ini akan memperburuk sesak yang dirasakan oleh
penderita.
Terapi Penanganan Terhadap Gejala Terapi ini dilakukan tergantung kepada
pasien. Terapi ini dianjurkan kepada pasien yang mempunyai pengalaman buruk
terhadap gejala asma, dan dalam kondisi yang darurat. Penatalaksanaan terapi ini
dilakukan di rumah penderita asma dengan menggunakan obat bronkodilator seperti: β2
-agonist inhalasi dan glukokortikosteroid oral (GINA, 2005).

2.4 Penyebab Terjadinya Penyakit Asma


Menurut The Lung Association of Canada, ada dua faktor yang menjadi pencetus
asma, yaitu:
1. Pemicu (trigger) yang mengakibatkan mengencang atau menyempitnya saluran
pernafasan (bronkokonstriksi). Pemicu tidak menyebabkan peradangan. Banyak
kalangan kedokteran yang menganggap pemicu dan bronkokonstriksi adalah
gangguan pernafasan akut, yang belum berarti asma, tapi bisa menjurus menjadi
asma jenis intrinsik. Gejala-gejala bronkokonstriksi yang diakibatkan oleh pemicu
cenderung timbul seketika, berlangsung dalam waktu pendek dan relatif mudah
diatasi dalam waktu singkat. Namun saluran pernafasan akan bereaksi lebih cepat
terhadap pemicu, apabila sudah ada, atau sudah terjadi peradangan. Umumnya
pemicu yang mengakibatkan bronkokonstriksi termasuk stimulus sehari-hari
seperti: perubahan cuaca dan suhu udara, polusi udara, asap rokok, infeksi saluran
pernafasan, gangguan emosi, dan olahraga yang berlebihan.
2. Penyebab (inducer) yang mengakibatkan peradangan (inflammation) pada saluran
pernafasan. Penyebab asma (inducer) bisa menyebabkan peradangan
(inflammation) dan sekaligushiperresponsivitas (respon yang berlebihan) dari
saluran pernafasan. Oleh kebanyakan kalangan kedokteran, inducer dianggap
sebagai penyebab asma sesungguhnya atau asma jenis ekstrinsik. Penyebab asma
(inducer) dengan demikian mengakibatkan gejala-gejala yang umumnya
berlangsung lebih lama (kronis), dan lebih sulit diatasi, dibanding gangguan
pernafasan yang diakibatkan oleh pemicu (trigger). Umumnya penyebab asma
(inducer) adalahalergen, yang tampil dalam bentuk: ingestan, inhalan, dan kontak
dengan kulit. Ingestan yang utama ialah makanan dan obat-obatan. Sedangkan
alergen inhalan yang utama adalah tepung sari (serbuk) bunga, tungau, serpih dan
kotoran binatang, serta jamur.

2.4.1 Faktor Pencetus


Penelitian yang dilakukan oleh pakar di bidang penyakit asma sudah
sedemikian jauh, tetapi sampai sekarang belum menemukan penyebab yang pasti.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa saluran pernapasan penderita asma
mempunyai sifat sangat peka terhadap rangsangan dari luar yang erat kaitannya
dengan proses inflamasi. Proses inflamasi akan meningkat bila penderita terpajan
oleh alergen tertentu.
Penyempitan saluran pernapasan pada penderita asma disebabkan oleh
reaksi inflamasi kronik yang didahului oleh faktor pencetus. Beberapa faktor
pencetus yang sering menjadi pencetus serangan asma adalah :
1. Faktor Lingkungan
a. Alergen dalam rumah
b. Alergen luar rumah
2. Faktor Lain
a. Alergen makanan
b. Alergen obat – obat tertentu
c. Bahan yang mengiritasi
d. Ekspresi emosi berlebih
e. Asap rokok bagi perokok aktif maupun perokok pasif
f. Polusi udara dari dalam dan luar ruangan

2.4.2 Faktor Resiko


Faktor resiko asma dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu :
a. Atopi
Hal yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahui
bagaimana cara penurunannya. Penderita dengan penyakit alergi biasanya
mempunyai keluarga dekat yang juga alergi. Dengan adanya bakat alergi ini,
penderita sangat mudah terkena penyakit asma bronkial jika terpajan dengan
faktor pencetus.
b. Hiperreaktivitas bronkus
Saluran pernapasan sensitif terhadap berbagai rangsangan alergen
maupun iritan.
c. Jenis Kelamin
Perbandingan laki – laki dan perempuan pada usia dini adalah 2:1 dan
pada usia remaja menjadi 1:1. Prevalensi asma lebih besar pada wanita usia
dewasa.
d. Ras
e. Obesitas
Obesitas atau peningkatan Body Mass Index (BMI) merupakan faktor
resiko asma. Mediator tertentu seperti leptin dapat mempengaruhi fungsi
saluran pernapasan dan meningkatkan kemungkinan terjadinya asma.
Meskipun mekanismenya belum jelas, penurunan berat badan penderita
obesitas dengan asma, dapat mempengaruhi gejala fungsi paru, morbiditas
dan status kesehatan

2.5 Klasifikasi
Berat-ringannya asma ditentukan oleh berbagai faktor, antara lain gambaran
klinik sebelum pengobatan (gejala, eksaserbasi, gejala malam hari, pemberian obat
inhalasi β- 2 agonis dan uji faal paru) serta obat-obat yang digunakan untuk mengontrol
asma (jenis
obat, kombinasi obat dan frekuensi pemakaian obat). Tidak ada suatu pemeriksaan
tunggal yang dapat menentukan berat-ringannya suatu penyakit. Dengan adanya
pemeriksaan klinis termasuk uji faal paru dapat menentukan klasifikasi menurut berat-
ringannya asma yang sangat penting dalam penatalaksanaannya.7
Asma diklasifikasikan atas asma saat tanpa serangan dan asma saat serangan
(akut)7 :
1. Asma saat tanpa serangan
Pada orang dewasa, asma saat tanpa atau diluar serangan, terdiri dari: 1)
Intermitten; 2) Persisten ringan; 3) Persisten sedang; dan 4) Persisten berat
(Tabel.1)

Tabel 1. Klasifikasi derajat asma berdasarkan gambaran klinis secara umum pada
orang dewasa.

1. Asma saat serangan


Klasifikasi derajat asma berdasarkan frekuensi serangan dan obat yang
digunakan sehari-hari, asma juga dapat dinilai berdasarkan berat-ringannya
serangan. Global Initiative for Asthma (GINA) membuat pembagian derajat
serangan asma berdasarkan gejala dan tanda klinis, uji fungsi paru, dan
pemeriksaan laboratorium. Derajat serangan menentukan terapi yang akan
diterapkan. Klasifikasi tersebut meliputi asma serangan ringan, asma serangan
sedang dan asma serangan berat. Perlu dibedakan antara asma (aspek kronik)
dengan serangan asma (aspek akut). Sebagai contoh: seorang pasien asma persisten
berat dapat mengalami serangan ringan saja, tetapi ada kemungkinan pada pasien
yang tergolong episodik jarang mengalami serangan asma berat, bahkan serangan
ancaman henti napas yang dapat menyebabkan kematian.

Tabel 2. Klasifikasi asma menurut derajat serangan7


2.6 Patogenesis
Asma merupakan inflamasi kronik saluran napas dan disebabkan oleh
hiperreaktivitas saluran napas yang melibatkan beberapa sel inflamasi terutama sel
mast, eosinofil, sel limfosit T, makrofag, neutrofil dan sel epitel yang menyebabkan
pelepasan mediator seperti histamin dan leukotrin yang dapat mengaktivasi target
saluran napas sehingga terjadi bronkokonstriksi, kebocoran mikrovaskular, edema dan
hipersekresi mukus. Inflamasi saluran napas pada asma merupakan proses yang sangat
kompleks melibatkan faktor genetik, antigen dan berbagai sel inflamasi, interaksi antara
sel dan mediator yang membentuk proses inflamasi kronik.8
Proses inflamasi kronik ini berhubungan dengan peningkatan kepekaan saluran
napas sehingga memicu episode mengi berulang, sesak napas, batuk terutama pada
malam hari. Hiperresponsivitas saluran napas adalah respon bronkus berlebihan yaitu
penyempitan bronkus akibat berbagai rangsangan spesifik dan non-spesifik.8
Asma : Inflamasi kronis Saluran Napas

pemicu

Hiperreaktivitas

Banyak Sel : Melepas MEDIATOR :


Sel Mast Histamin
Eosinofil Prostaglandin (PG)
Netrofil Leukotrien (L)
Limfosit Platelet Activating Factor (PAF), dll

Bronkokonstriksi, hipersekresi mukus, edema saluran napas

Obstruksi difus saluran napas

10 MENGI, SESAK
BATUK,
Gambar 1. Patogenesis Asma

Tabel 3. Mediator Sel Mast dan Pengaruhnya terhadap Asma


Mediator Pengaruh terhadap asma
 Histamin
 LTC4, D4,E4
 Prostaglandin dan Thromboksan A2
Kontruksi otot polos
 Bradikinin
 Platelet-activating factor (PAF)
 Histamin
 LTC4, D4,E4
 Prostaglandin dan Thromboksan E2
 Bradikinin Udema mukosa
 Platelet-activating factor (PAF)
Chymase
 Radikal oksigen
 Histamin
 LTC4, D4,E4
Sekresi mukus
 Prostaglandin
 Hidroxyeicosatetraenoic acid
 Radikal oksigen
 Enzim proteolitik Deskuamasi epitel bronkial
 Faktor inflamasi dan sitokin

2.7 Patofisiologi Asma dan Mekanisme Terjadinya Asma


Gejala asma yaitu batuk sesak dengan mengi merupakan akibat dari obstruksi
bronkus yang didasari oleh inflamasi kronik dan hiperaktivitas bronkus.

11
Hiperaktivitas bronkus merupakan ciri khas asma, besarnya hiperaktivitas
brobkus ini dapat diukur secara tidak langsung. Pengukuran ini merupakan parameter
objektif untuk menentukan beratnya hiperaktivitas bronkus yang ada pada seseorang
pasien. Berbagai cara digunakan untuk mengukur hiperaktivitas bronkus ini, antara lain
dengan uji povokasi beban kerja , inhalasi udara dingin, inhalasi antigen maupun
inhalasi zat nonspesifik.
Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sjumlah factor antara lain allergen,
virus, dan iritan yang dapat menginduksi respon inflamasi akut yang terdiri atas reaksi
dini (ealy asthma reaction = EAR) dan reaksi asma lambat (lar asthma reaction = LAR).
Setelah reaksi asma awal dan reaksi asma lambat, proses dapat terus berlanjut menjadi
reaksi inflamasi sub-akut atau kronik. Pada keadaan ini terjadi inflamasi di bronkus dan
sekitarnya, berupa infiltrasi sel-sel inflamasi terutama eosinophil dan monosit dalam
jumlah besar ke dinding dan lumen bronkus.
Penyempitan saluran nafas yang terjadi pada asma merupakan suatu hal yang
kompleks. Hal ini terjadi karena lepasnya mediator dari sel mast yang banyak
ditemukan dipermukaan mukosa bronkus, lumen jalan nafas dan dibawah membran
basal. Berbagai factor pencetusdapat mengaktivasi sel mast. Selain sel mast, sel lain
yang juga dapat melepaskan mediator adalah sel makrofag alveolar, eosinofil, sel epitel
jalan nafas, netrofil, platelet, limfosit, dan monosit.
Inhalasi allergen akan mengaktifkan sel mast intralumen, makrofag alveolar,
nervus vagus dan mungkin juga epitel saluran nafas. Peregangan vagal menyebabkan
reflex bronkus, sedangkan mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast dan
makrofag akan membuat epitel jalan nafaslebih permeable dan memudahkan alergen
masuk kedalam submukosa, sehingga memperbesar reaksi yang terjadi.
Mediator inflamasi secara langsung maupun tidak langsung menyebabkan
serangan asma, melalui sel efektor sekunder seperti eosinophil, netrofil, platelet dan
limfosit. Sel sel inflamasi ini juga mengeluarkan mediator yang kuat seperti lekotriens.
Tromboksan, PAF dan protein sitotoksis yang memperkuat reaksi asma. Keadaan ini
menyebabkan inflamasi yang akhirnya menimbulkan hiperaktivitas bronkus.
Untuk menjadi pasien asma, ada 2 faktor yang berperan yaitu factor genetic dan
factor lingkungan. Ada beberapa proses yang terjadi sebelum pasien menjadi asma:
1. Sensitisasi, yaitu seseorang dengan risiko genetik dan lingkungan apabila terpajan
dengan pemicu (inducer/sensitisizer) maka akan timbul sensitisasi pada dirinya.
2. Sesorang yang telah mengalami sensitisasi maka belum tentu menjadi asma.
Apabila seseorang yang telah mengalami sensitisasi terpajan dengan pemacu
(enhancer) maka terjadi proses inflamasi pada saluran nafasnya. Proses inflamasi
yang berlangsung lama atau proses inflamasinya berat secara klinis berhubungan
dengan hiperakivitas bronkus.
3. Setelah mengalami inflamasi maka bila seseorang terpajan oleh pencetus (trigger)
maka akan terjadi serangan asma (mengi)
Faktor-faktor pemicu antara lain: alergen dalam ruangan: tungau debu rumah,
binatang berbulu (kucing,tikus), allergen kecoa, jamur, kapang, ragi serta pajanan asap
rokok; pemacu: Rinovirus, ozon, pemakaian b2 agonis;sedangkan pencetus: semua
factor pemicu dan pemacu ditambah dengan aktivitas fisik, udara dingin, histamine dan
metakolin.
Secara skematis mekanisme tejadinya asma digambarkan sebagai berikut:

Sehubungan dengan asal-usul tersebut, upaya pencegahan asma dapat dibedakan


menjadi 3 yaitu:
1. Pencegahan primer
Pencegahan primer ditujukan untuk mencegah sensitisasi pada bayi dengan
resiko asma (orang tua asma) dengan cara:
 Penghindaran asap rokok dan polutan lain selama kehamilan dan masa
perkembangan bati/anak.
 Diet hipoalergenik ibu hamil, asalkan atau dengan syarat diet tersebut tidak
mengganggu asupan janin.
 Pemberian ASI eksklusif sampai usia 6 bulan
 Diet hipoalergenik ibu menyusui
2. Pencegahan sekunder
Pencegahan sekunder ditujukan untuk mencegah inflamasi pada anak yang
telah tersensitisasi dengan cara menghindari pajanan asap rokok, serta alergen
dalam ruangan terutama tungau debu rumah
3. Pencegahan tersier
Pencegahan tersier ditujukan untuk mencegah manifestasi asma pada anak
yang telah menunjukan manifestasi penyakit alergi.

2.8 Terapi Asma


2.8.1 Terapi non-farmakologi
1. Edukasi Pasien
Edukasi pada pasien dan keluarga pasien bertujuan untuk
meningkatkan pemahaman mengenai penyakit asma secara umum dan pola
penyakitnya, mingkatkan kemampuan dalam penanganan asma secara
mandiri, meningkatkan meoatuhan dalam penanganan asma secara mandiri,
membantu pasien untuk mengontrol asma, meningkatkan kepuasan, serta
meningkatkan rasa percaya diri. Komunikasi yang baik merupakan knci
untuk meningkatkan kepatuhan pasirn. Bentuk edukasi dapat diberikan
dalam berbagai media komunikasi baik langsung maupun tidak langsung
(Adhadi, 2015).
2. Pengukuran Peak Flow Meter
Peak Flow Meter (PEFR) merupakan salah satu parameter yang
diukur pada spirometri yaitu kecepatan aliran udara maksimal yang terjadi
ada tiupan paksa maksimal yang dimulai dengan paru pada keadaan
inspirasi maksimal. Peak Expiratory Flow Rate adalah suatu tanda
sederhana pada pasien dengan penyakit asma atau penyakit obstruksi jalan
nafas. Peak flow meter adalah alat yang digunaan untu memonitor PEFR
pada anak-anak dan dewasa. Peak expiratory flow rate yang normal
tergantung pada umur, tinggi badan dan jenis kelamin. Peak expiratory flow
rate yang normal memiliki
peak flow rate yang lebih tinggi di bandingan dengan peak expiratory flow
rate yang di miliki oleh penderita asma (Alimmattabrina, 2015).
3. Identifikasi dan pengendalian faktor pencetus
4. Pemberian oksigen
5. Banyak minum untuk menghindari dehidrasi terutama pada anak-anak
6. Kontrol secara teratur
7. Pola hidup sehat
Pola hidup sehat sangat dianjurkan dan sangat membantu dalam
pengendalian penyakit asma. Dalam hal ini dapat dilakukan dengan
pemenuhan nutrisi yang memadai, menghindari stres, dan olahraga atau
yang biasa disebut latihan fisik teratur sesuai toleransi tubuh. Pola hidup
sehat dapat juga dilakukan dengan:
- Berhenti merokok
- Menghindari obesitas
- Kegiatan fisik misalnya senam asma
Senam asma adalah kegiatan yang dibuat khusus untuk penderita
asma yang gerakan-gerakannnya telah disesuaikan dengan kemampuan
dan kebutuhan penderita, berdasarkan berat atau ringannya penyakit
asma tersebut (Adhadi, 2015).
2.8.2 Terapi farmakologi
1. Β-2 AGONIS
Obat golongan agonis beta-2 kerja singkat memiliki mekanisme
kerja yaitu relaksasi otot polos saluran nafas, meningkatkan bersihan
mukosilier, menurunkan permabiliti pembuluh darah, dan modulasi
pelepasan mediator dari sel mast. Obat golongan ini adalah salbutamol,
terbutalin, feneterol, dan prokaterol. Obat ini mempunyai efek samping
berupa rangsangan kardiovaskular, tremor otot rangka, dan hipokalemia
pemberian secara inhalasi sangat dianjurkan karena efek sampingnya yang
lebih kecil (GINA, 2011).
Obat yang termasuk dalam golongan agonis beta-2 kerja lama
inhalasi adalah salmeterol dan formoterol, mempunyai waktu kerja lama
yaitu lebih dari 12 jam. Lazimnya agonis beta-2 berefek relaksasi otot
polos, meningkatkan pembersihan mukosilier, menurunkan permeabiliti
pembuluh darah, dan memodulasi pelepasan mediator dari sel mast.
Pemberian
inhalasi agonis beta-2 kerja lama, berefek bronkodilatasi lebih baik. Obat
memberikan efek samping sistemik seperti rangsangan kardiovaskular,
tremor otot rangka, dan hipokalemia (PDPI, 2004).
2. Antikolinergik
Antikolinergik inhalasi bekerja dengan cara memblok efek
penglepasan asitelkolin dari saraf kolinergik pada jalan nafas yang dapat
menimbulkan bronkodilatasi dengan menurunkan tonus kolinergik vagal
intrinsik, selain itu juga menghambat reflek bronkokonstriksi yang
disebabkan oleh iritan. Obat yang termasuk dalam golongan obat ini
adalah ipratropium bromide dan tiotropium bromide. Efek samping yang
dapat ditimbulkan berupa rasa kering di mulut dan rasa pahit (PDPI, 2004).
3. Kromolin Na, Nedokromil Na
- Kromolin Sodium
Antiinflamasi yang bekerja dengan menghambat pelepasan
mediator, histamin, dan SRS-A (Slow Reacting Substance Anaphylaxis,
Leukotrien) dari sel mast. Kromolin bekerja secara lokal pada paru-paru
tempat obat diberikan. Efek samping yang paling sering terjadi adalah
bronkopasme yang berhubungan dengan penurunan fungsi paru-paru,
batuk, edema laringeal, iritasi faringeal, dan nafas berbunyi (Sukandar,
2008).
- Nedokromil Natrium
Antiinflamasi inhalasi untuk pencegahan asma. Obat
menghambat aktivasi secara in vitro dan pembebasan mediator dari
berbagai tipe sel yang berhubungan dengan asma termasuk eosinofil,
neutrofil, makrofag, sel mast, monosit, dan platelet. Nedokromil
menghambat perkembangan respon bronkokonstriksi baik awal
maupun lanjut terhadap antigen terinhalasi. Efek samping yang terjadi
pada penggunaan nedokromil bisa berupa batuk, faringitis, infeksi
saluran pernafasan atas, bronkopasma, mual, sakit kepala, nyeri dada,
dan pengecapan tidak enak (Sukandar, 2008).
4. Kortikosteroid
- Kortikosteroid Inhalasi
Kortikosteroid inhalasi adalah medikasi jangka panjang yang
merupakan obat paling efektif untuk mengontrol asma. Berbagai
penelitian menunjukkan penggunaan kortikosteroid inhalasi
menghasilkan perbaikan faal paru, menurunkan hiperesponsif jalan
nafas, mengurangi gejala mengi, dan memperbaiki kualitas hidup. Efek
samping steroid inhalasi adalah efek samping local seperti kandidiasis
orofaring, disfonia, dan batuk karena iritasi saluran pernafasan atas.
Efek samping tersebut dapat dicegah dengan penggunaan spacer,
hygiene mulut yang baik atau berkumur-kumur setelah melakukan
inhalasi kortikosteroid (GINA, 2011).
- Kortikosteroid Sistemik
Obat kortikosteroid sistemik diberikan pada serangan asma akut
bila pemberian secara inhalasi belum dapat mengontrol serangan asma
akut yang terjadi. Pemberian steroid oral selama 5-7 hari biasa
digunakan sebagai terapi permulaan pengobatan jangka panjang
maupun sebagai terapi awal pada asma yang tidak terkontrol atau
ketika terjadi perburukan penyakit. Meskipun tidak dianjurkan, steroid
oral jangka panjang terpaksa diberikan apabila pasien asma persisten
sedang berat, tidak mampu membeli steroid inhalasi. Namun,
pemberiannya memerlukan monitoring ketat terhadap gejala klinis
yang ada dan kemungkinan terjadinya efek samping pada pemberian
oral sistemik (GINA, 2011).
5. Metilxantin
Methylxanthine seperti teofilin dan aminofilin adalah obat
bronkodilator yang bekerja dengan cara menghambat enzim
fosfodiesterase sehingga mencegah penguraian siklik AMP intrasel
meningkat. Hal ini akan merelaksasi otot polos bronkus dan mencegah
pelepasan mediator alergi seperti histamin dan leukotrien dari sel mast.
Metihylxanthine juga mengantagonis bronkokonstriksi yang disebabkan
oleh prostaglandin dan memblok reseptor adenosine. Obat golongan
methylxanthine memiliki efek pada system saraf pusat dan stimulasi
jantung dengan jalan meningkatkan curah jantung dan menurunkan
tekanan pembuluh vena (GINA, 2011).
6. Modifikasi Leukoprotein
Obat-obat yang bereaksi pada jalur leukotrien ada 2 golongan yaitu
antagonis reseptor leukotrien dan inhibitor lipoksigenase. Contoh obat
golongan pertama adalah montelukast, pranlukast, dan zafirlukast.
Sedangkan contoh kelompok dua adalah zieluton. Mekanisme kerjanya
menghambat 5-lipoksigenase sehingga memblok sintesis semua leukotrin
atau memblok reseptor-reseptor leuktrien sisteinil pada sel target.
Mekanisme kerja tersebut menghasilkan efek bronkodilator minimal dan
menurunkan bronkokonstriksi akibat alergen, sulfurdioksida, dan exercise.
Reaksi yang dapat ditimbulkan oleh obat leukotrien modifier antara lain
gangguan gastrointestinal, sakit kepala, demam, mialgia, reaksi alergi kulit,
meningkatnya enzim hati, dan infeksi saluran nafas atas. Selain itu bisa
menimbulkan gangguan yang disebut churg Strauss syndrome yang
ditandai dengan adanya riwayat asma, diikuti rhinitis atau sinusitis,
terjadinya eosinofilia, dan vaskulitis sistemik (PDPI, 2004).
7. Omalizumab
Omalizumab merupakan antibodi monoklonal yang bekerja dengan
cara berikatan pada domain Cε3 IgE yang berperan dalam ikatan IgE pada
FCε3RI (reseptor IgE afinitas tinggi di sel mast). Ikatan antara
omalizumab dan IgE mengurangi kadar IgE bebas, mengurangi ekspresi
reseptor IgE, dan mencegah ikatan antara IgE dan reseptornya sehingga
tidak terjadi pelepasan histamin akibat ikatan IgE dengan permukaan
basofil dan sel mas Efek samping yang terjadi pada pasien yang mendapat
omalizumab antara lain mual, nasofaringitis, sinusitis, infeksi saluran
napas atas, artralgia, sakit kepala, dan batuk. Tidak ada interaksi obat yang
dilaporkan terjadi pada penggunaan omalizumab (Widyastuti, 2020).

2.9 Interaksi Obat


Interaksi obat dapat didefinisikan sebagai modifikasi efek satu obat akibat obat
lain yang diberikan pada awalnya atau diberikan bersamaan atau bila dua atau lebih obat
berinteraksi sedemikian rupa sehingga keefektifan atau toksisitas satu obat atau lebih
berubah. Obat obat yang sering terlibat dalam interaksi obat diantaranya adalah obat –
obat yang memiliki rentang terapi sempit antara dosis terapi dan dosis toksisk, obat –
obat yang memerlukan pengaturan dosis yang cermat dan obat – obat yang baik
menginduksi maupun menghambat enzim hati (Fradley, 2003).
Mekanisme interaksi obat secara garis besar dapat dibedakan atas 3 mekanisme
yaitu interaksi farmasetik atau inkompatibilitas, interaksi farmakokinetika dan interaksi
farmakodinamika (Setiawati, 2007).
1. Interaksi Farmasetika atau inkompatibilis
Inkompatibilitas terjadi di luar tubuh dimana obat tidak dapat dicampur.
Pencampuran obat yang demikian menyebabkan terjadinya interaksi langsung secara
fisik atau kimiawi yang hasilnya mungkin terlihat sebagai pembentukan endapan,
perubahan warna dan lain-lain atau mungkin juga tidak terlihat. Interaksi ini
biasanya berakibat inaktivasi obat.
2. Interaksi Farmakokinetik
Interaksi farmakokinetika adalah perubahan yang terjadi pada absorpsi,
distribusi, metabolisme atau biotransformasi atau ekskresi dari satu obat atau lebih.
Interaksi farmakokinetik dapat terjadi pada berbagai tahap, yaitu :
a. Absorpsi
Absorpsi saluran cerna obat-obat dapat dipengaruhi oleh penggunaan
bersama bahan bahan lain yang memiliki area permukaan yang luas tempat
absorpsi obat, mengikat atau mengkhelasi, mengubah pH lambung, mengubah
motilitas gastrointestinal, atau mempengaruhi transpor protein.
b. Distribusi
Mekanisme interaksi obat mempengaruhi distribusi obat meliputi
kompetisi dalam ikatan protein plasma dan pendesakan dari tempat ikatan
jaringan.
c. Metabolisme
Metabolisme obat-obat dapat distimulasi atau dihambat dengan terapi
bersamaan. Banyak obat dimetabolisme di hati, terutama oleh sistem enzim
sitokrom P-450 monooksigenase. Induksi enzim oleh suatu obat dapat
meningkatkan kecepatan metabolisme obat lain dan mengakibatkan
pengurangan efek. Inhibisi enzim dapat mengakibatkan akumulasi dan
peningkatan toksisitas obat lain.
d. Ekskresi
Ekskresi ginjal dari obat aktif dapat juga dipengaruhi oleh terapi obat yang
menyertainya. Obat yang mempengaruhi ekskresi obat melalui ginjal dapat
mempengaruhi konsentrasi obat lain dalam plasma.
3. Interaksi Farmakodinamik
Interaksi farmakodinamik adalah interaksi di mana efek suatu obat diubah oleh
obat lain pada tempat aksi. Hal ini dapat terjadi akibat kompetisi pada reseptor yang
sama atau interaksi obat pada system fisiologi yang sama. Interaksi jenis ini tidak
mudah dikelompokkan seperti interaksi-interaksi yang mempengaruhi konsentrasi
obat dalam tubuh, tetapi terjadinya interaksi tersebut lebih mudah diperkirakan dari
efek farmakologi obat yang dipengaruhi.

Interaksi Obat asma dengan obat lain diantaranya :


1. Omalizumab
Merupakan antibodi anti-IgE yang digunakan untuk pengobatan asma yang
tidak dapat ditangani dengan baik oleh kortikosteroid hirup dosis tinggi.
2. Kromolin Na, Nedokromil Na
Menginhibisi respon terhadap paparan alergen dan bronkospasme di induksi
latihan tetapi tidak menyebabkan bronkodilatasi. Kedua obat ini diindikasikan untuk
profilaksis asma persisten ringan pada anak dan dewasa. Efektif jika dihirup.
3. Antikolinergik
Golongan antikolinergik (ipratropium, tiotropium bromida, deptropin) bekerja
dengan memblok efek bronkhokonstriktor dari asetilkoline pada reseptor M2
muskarinik yang terdapat di otot polos saluran nafas. Menghasilkan bronkodilatasi
hanya pada bronkonstrikso yang dimediasi kolinergik.
 Salbutamol dengan Ipratropium bromida dan Tiotropium
Antikolinergi memblok reseptor muskarinik dari saraf kolinergik di
otot polos bronchos, hingga aktivitas saraf adrenergis menjadi dominan
dengan efek bronchodilatasi, sehingga dapat meningkatkan efek samping.
Solusi yang dapat dilakukan yaitu dengan menghindari penggunaan secara
bersamaan.
4. β2 Agonis (Isoproterenol, metaproterenol, albuterol, salmeterol, terbutalin)
Menstimulasi β2 adrenergik untuk aktivitas adenilat siklase sehingga
menghasilkan peningkatan AMP siklik intraseluler. Hal ini menyebabkan relaksasi
oto polos, menstabilkan sel mast, dan menstimulasi otot skeletal. Bekerja di sistem
saraf simpatik sebagai agonis adrenergik (β2-simpatomimetik).
 Epineprin dengan antidepresan siklik yaitu memblok reuptake
neurotransmitter, seperti norepinefrin. Interaksi yang terjadi yaitu
menurunkan metabolisme obat asma sehingga kadar obat asma meningkat
dapat meningkatkan efek obat asma sehingga dapat mengakibatkan aritmia
jantung
/ kenaikan tekanan darah yang berbahaya.
Contoh Antidepressan siklik: Doksepin, Desipramin, Nortriptilin, Imipramin,
Amitriptilin
Solusi : Hindari penggunaan bersamaan.
 Epineprin dengan antipsikosis
Interaksi antara obat asma dan antipsikosis yaitu dapat meningkatkan efek
obat asma sehingga dapat mengakibatkan terjadinya kenaikan tekanan darah
yang berbahaya (meningkatkan interval QTc ).
Contoh Antipsikosis: Compazin, Proklorperazin, Haloperidol,
Loksapin Solusi : Gunakan alternatif obat lain.
 Epineprin dengan obat jantung digitalis
Mekanisme kerja obat jantung digitalis yaitu mengatur ion Calsium agar
kontraksi jantung lebih baik. Epinefrin mempunyai efek kronotropik positif
yang dapat meningkatkan kecepatan denyut jantung dan inotropik positif
yang memperkuat kontraksi myokardium, sehingga cardiac out put (curah
jantung) meningkat.
Interaksi antara obat asma dan obat jantung digitalis yaitu dapat
meningkatkan efek obat jantung digitalis sehingga akan terjadi aritmia
jantung.
 Epineprin dengan pottasium depleting drug
β2 Agonis dapat menyebabkan hipokalemia. Interaksi antara obat asma dan
obat penurun kalium yaitu efek aditif pada penurunan kalium yang dapat
meningkatkan resiko hipokalemia sehingga dapat terjadi resiko pada aritmia
jantung
Contoh Pottasium Depleting Drug diantaranya kortikosteroid, diuretik dan
teofilin.
Solusi : Monitoring kadar kalium dalam tubuh.
 Epineprin dengan obat antihipertensi
Mekanisme kerja Antihipertensi yaitu dengan menurunkan tekanan darah
tinggi dengan cara menurunkan tekanan darah perifer dan vasodilatasi
pembuluh darah.
Epinefrin mempunyai efek meningkatkan tekanan darah melalui aktivasi
adrenoseptor - β1 jantung yang terjadi setelah pelepasan atau pemberian
Epinefrin. Epinefrin juga berefek pada timbulnya vasokontriksi karena
stimulasi adrenoseptor-α pada otot polos dinding pembuluh darah perifer.
Interaksi antara obat asma dan obat antihipertensi yaitu dapat menurunkan
efek obat antihipertensi , sehingga tekanan darah tetap tinggi.
 Epineprin dengan antidiabetes
Mekanisme epinefrin yang terjadi yaitu menghambat sekresi insulin melalui
aktivasi adrenoseptor – α, sehingga kadar gula darah tetap tinggi.
Interaksi antara obat asma dan antidiabetes yaitu dapat menurunkan efek obat
antidiabetes, sehingga kadar gula darah tetap tinggi.
Contoh Antidiabetes: Klorpropamid, Tolazalamid, Tolbutamid Insulin.
 Epineprin dengan Beta Bloker
Beta bloker selektif hanya bekerja di reseptor β1 di jantung, sedangkan beta
bloker non selektif bekerja antagonis di reseptor β1 di jantung dan β2 di
bronkus. Interaksi antara obat asma dan Beta bloker yaitu saluran bronkus
tidak akan terdilatasi, sehingga menurunkan efek obat asma
Contoh
Beta bloker selektif : Atenolol, Esmolol, Metoprolol
Beta bloker non selektif : Propranolol, Labetalol
Solusi : Hindari penggunaan bersamaan
Catatan : Efek penurunan obat asma oleh beta bloker seletif akan lebih kecil
daripada beta bloker non seletif
5. Metilxantin ( Teofilin, Aminofilin)
Metilxantin dapat menghasilkan bronkodilatasi dengan menginhibisi
fosfodiesterasi, yang menghasilkan antiinflamasi dan aktivitas non-bronkodilatasi
lain melalui penurunan pelepasan mediator sel mast, protein dasar eosinofil,
proliferasi limfosit T, sitokin sel T, dan eksudasi plasma.
 Obat asma dengan barbiturat/Fenitoin/Rokok
Berbiturat/fenitoin dapat meningkatkan proses metabolisme di
hati. Interaksi obat asma dengan barbiturat/Fenitoin/Rokok yaitu :
1. Barbiturat/fenitoin akan meningkatkan obat asma karena merupakan inducer
enzim di CYP1A2
2. Konsentrasi obat asma pada plasma akan kecil, efek obat asma akan menurut
Solusi yang dapat dilakukan yaitu dengan monitoring kadar teofilin untuk
mengonfirmaskan bahwa teoflilin masih efektif terhadap pasien.
 Obat asma dengan Carbamazepine
Pada kasus terhadap 2 pasien, karbamazepine akan meningkatkan metabolisme
di hati.
Interaksi obat asma dengan carbamazepine diantaranya :
1. Carbamazepine dan teofilin meningkatkan clearance dan metabollisme
dihati sehingga konsentrasi kedua obat menurun.
2. Konsentrasi obat asma pada plasma akan kecil, efek obat asma akan
menurun.
Solusi yang dapat dilakukan diantaranya ;
1. Monitoring efek dan kansentrasi kedua (jangan diturunkan dosis.
2. Hati–hati pada pasien yang meimiliki riwayat epilepsi karena dapat
menyebabkan kejang yang artinya berada pada toksisitas yang tinggi.
 Obat asma dengan beta bloker
Beta blocker selektif hanya bekerja di reseptor β1 di jantung, sedangkan beta
bloker non selektif bekerja antagonis di reseptor β1 di jantung dan β2 di bronkus
Interaksi obat yang terjadi antara asma dengan Beta bloker yaitu saluran
bronkus tidak akan terdilatasi, sehingga menurunkan efek obat asma
Note: Efek penurunan obat asma oleh beta bloker seletif akan lebih kecil
daripada beta bloker non seletif
Solusi : Hindari penggunaan bersamaan.
Beta bloker non selektif akan menurunkan metabolisme teofllin
Interaksi yang terjadi antara teofilin dengan Beta bloker yaitu propanolol
mungkin akan mempengaruhi clearance teofillin, metabolisme teofillin
dihambat. sehingga meningkatkan efek obat asma, efek samping obat asma akan
meningkat Solusi : Hindari penggunaan bersamaan.
 Obat asma dengan allopurinol
Alupurinol bekerja menghambat kerja enzim xantin oksidase
(menghambat pembetukan xanthin menjadi asam urat). Interaski obat asma
dengan allupurinol yaitu allupurinol akan meningkatkan kadar xanthin
dikarenakan adanya penurunan metabolisme sehingga fek obat asma meningkat,
dan efek samping meningkat
Solusi : Monitoring atau penyesuain dosis teoflin
 Obat asma dengan makrolida (troleandomisin)
Troleandomisin akan menurunkan metabolisme di hati. Interaksi obat
asma dengan troleandomisin yaitu bentuk tidak aktif Traleondomisin
menurunkan
clearance dan metabollisme dihati sehingga konsentrasi kedua obat
menurun.Troleandomisin membentuk kompleks sitokrom P450-metabolit yang
tidak aktif di dalam hati, yang mengurangi metabolime dan clearance teofilin.
Konsentrasi obat asma akan besar, efek obat asma akan meningkat. Solusi :
1. Jika troleandomisin diberikan, sesuaikan dosis dan monitoring teofilin.
2. Obat golongan makrolida lain yang tidak akan memberikan interaksi atau
secara moderat meliputi azithromycin, clarithromycin, dirithromycin,
josamycin, midecamycin, rokitamycin dan spiramycin. Dianjurkan
Telotromiycin
Note : Jika golongan makrolida lain diberikan, tetap dimonitoring kadar teofilin.
 Obat asma dengan zileuton
Zileuton dapat menurunkan metabolisme teofilin. Mekanisme interaksi
obat asma dengan zileuton yaitu Zileuton menghambat metabolisme teofilin oleh
enzim sitokrom P450 (kemungkinan isoenzim CYP1A2 dan CYP3A) , kadar
serum teofilin meningkat, sehingga efek samping obat asma akan meningkat
Solusi : monitroing dan disesuaikan dosis teofillin bila diperlukan.
 Obat asma dengan antagonis H2
Simetidin akan menurunkan metabolisme dihati. Mekanisme interaksi
obat asma dengan simetidin yaitu simetidin akan menurunkan metabolisme obat
asma karena merupakan inhibitor enzim di CYP1A2 dan CYP3A4 konsentrasi
obat asma di plasma akan tinggi dan efek samping obat asma akan meningkat.
Efek samping yang dapat terjadi yaitu sakit kepala, tremor, insomnia, takikardia,
aritmia jantung, dapat terjadi kejang. Solusi :
1. Monitoring kadar teoflin atau
2. Menggantikan simetidin dengan obat antagonis H2 lainnya atau
3. Mempertimbangkan penggantian dengan obat Pompa proton inhibitor
6. Metrotreksat
Dosis rendah metotreksat digunakan untuk mengurangi dosis kortikosteroid sistemik
pasien dengan asma parah akut bergantung steroid.
 Metrotreksat dengan teofilin
Metotreksat menyebabkan sedikit penurunan klirens teofilin. Teofilin
mengurangi neurotoksisitas yang diinduksi metotreksat, tapi menurunkan
efektivitas metotreksat. Mekanisme yang terjadi yaitu tidak diketahui mengapa
klirens teofilin diubah metotreksat. Neurotoksisitas metotreksat mungkin terkait
dengan peningkatan kadar adenosin. Teofilin merupakan antagonis kompetitif
untuk reseptor adenosin pada konsentrasi serum pada penyakit pernapasan.
Solusinya yaitu monitoring kadar teofilin bila digunakan bersama.
7. Modifikasi leukotrien (Montelukast, zafirlukast, pranlukust)
Antagonis reseptor leukotrien lokal yang mengurangi proinflamasi dan efek
bronkokonstriksi leukotrien D4.
 Obat asma dengan kumarin
Zafirlukast dapat meningkatkan efek antikoagulan dari warfarin.
Pranlukust diperkirakan memiliki interaksi yang mirip namun montelukast tidak
mempengaruhi efek antikoagulan dari warfarin.
Montelukast : Efek farmakokinetik dari warfarin hampir tidak berubah, waktu
protrombin dan INR tidak berubah secara signifikan.
Zafirlukast : Meningkatkan nilai rata-rata AUC dari S-warfarin sebesar 63%
dan t1/2 sebesar 36%, namun untuk R-warfarin tidak emmberikan perubahan
secara signifikan.
Mekanisme kerja yang terjadi yaitu Zafirlukast hambat CYP450 Isoenzim
CYP2C9 yang dapat memetabolisme warfarin. Solusi yang dapat dilakukan
yaitu monitoring waktu prothrombin, bila diperlukan penurunan dosis untuk
warfarin.
 Obat asma dengan antiepilepsi
Nilai AUC rata-rata dan Nilai Konsentrasi Maksimum dari Montelukast
menurun disebabkan oleh fenobarbital. Mekanisme kerja yang terjadi yaitu
Fenobarbital menginduksi Enzim CYP450 isoenzim CYP3A4 menyebabkan
metabolisme montelukast meningkat.
 Obat asma dengan rifampisin
Nilai AUC rata-rata dan Nilai Konsentrasi Maksimum dari Montelukast
menurun disebabkan oleh rifampisin. Mekanisme kerja yang terjadi yaitu
rifampisin menginduksi Enzim CYP450 isoenzim CYP3A4 menyebabkan
metabolism montelukast meningkat.
8. Kortikosteroid (Prednison, Hidrokostison, Metilprednisolon, Dexamethason)
Meningkatkan jumlah reseptor β2-adrenergik dan meningkatkan respon
reseptor terhadap stimulasi β2-adrenergik sehingga menyebabkan penurunan
produksi mukus dan hipersekresi.
 Kortikosteroid dengan beta 2 agonis
Mekanisme kerjanya yaitu kortikosteroid dapat menurunkan kadar kalium
dalam serum sehingga menyebabkan terjadinya peningkatan efek hipokalemia.
Penatalaksanaan yaitu memonitoring kadar kalium pasien.
 Kortikosteroid dengan bronkodilator
Mekanisme kerja yang terjadi yaitu menurunkan kadar kalium aditif
dalam serum sehingga menyebabkan terjadinya hipokalemia.
Penatalaksanaannya yaitu monitoring kadar kalium pasien.
BAB III
STUDI KASUS

Kasus : Seorang Apoteker yang bekerja di apotek menerima resep pasien bernama
Farrel (35 tahun) yang mendapatkan resep sebagai berikut :

dr. Susi Febriani Jalan Sudirman No 123


SIP. 454/SD/2027 Telp. 022-6079158

No 12 Cimahi, 9 januari 2021

R/ Teofilin 300 mg No XIV


S 2 dd 1

R/ Simetidin 200 mg No X
S 2 dd 1

Pro : Farrel (35 tahun)


Alamat : Jl Sukawangi

Identifikasi masalah : Terjadi interaksi antara Teofilin dan Simetidin yang menyebabkan
penurunan metabolisme Teofilin di dalam hati, sehingga terjadi peningkatan efek
farmakologi Teofilin.
Solusi : Mengkonsultasikan dengan dokter terkait pergantian obat simetidin dengan obat lain

Percakapan antara Dokter dan Apoteker :


Apoteker : Assalamualaikum, selamat siang dok.
Dokter : Waalaikumsalam, selamat siang bu
Apoteker :Izin memperkenalkan diri, saya Desi Anna apoteker dari Apotek
Unjani dok. Ada yang ingin saya konfirmasikan terkait resep obat pasien
bernama Farrel berumur 35 tahun, apakah benar pasien tersebut adalah
pasien dokter?
Dokter : Iya benar, apa ada masalah terkait resep tersebut?
Apoteker : Iya dok, apakah benar pasien bernama Farrel mendapatkan resep
Teofilin dan Simetidin?
Dokter : Iya benar.
Apoteker : Begini dok, berdasarkan literatur yang saya baca terjadi interaksi obat

Teofilin dan Simetidin jika diminum bersamaan, yang akan menyebabkan


peningkatan efek dari teofilin, dok.
Dokter : Oh seperti itu, jadi bagaimana solusi ibu?
Apoteker : Obat Simetidin dapat digantikan dengan obat antagonis H2 lainnya.
Bagaimana menurut dokter?
Dokter : Baik bu.
Apoteker : Baik dok, persetujuan dokter terkait pergantian obat akan saya catat
di resepnya ya dok.
Dokter : Boleh bu.
Apoteker : Baik dok, terimakasih atas konfirmasinya dan mohon maaf mengganggu
waktunya dok, selamat siang
Dokter : Sama-sama bu, selamat siang
BAB VI
PENUTU
P

4.1 Kesimpulan
Asma adalah penyakit tidak menular yang ditandai dengan serangan sesak napas
berulang, yang bervariasi dalam tingkat keparahan dan frekuensi dari orang ke orang.
Selama serangan asma, lapisan tabung bronkial membengkak, menyebabkan saluran
udara menyempit dan mengurangi aliran udara masuk dan keluar dari paru-paru.
Penatalaksaan terapi pada penderita asma terbagi menjadi dua yaitu terapi
farmakologi dan terapi non-farmakologi. Terapi farmakologi antara lain dapat diobat
obat golongan 2 agonis, kortikosteroid, metilxantin, antikolinergik, kromolin Na,
nedokromil Na, modifikator leukotriene, Omalizumab. Penatalaksanaan secara non
farmakologi yaitu dengan mengedukasi pasien, pengukuran peak flow meter,
identifikasi dan mengendalikan faktor pencetus, pemberian oksigen, banyak minum
untuk menghindari dehidrasi, kontrol secara teratur, Pola hidup sehat.
Obat-obat yang sering terlibat dalam interaksi obat diantaranya obat–obat yang
memiliki rentang terapi sempit antara dosis terapi dan dosis toksisk, obat–obat yang
memerlukan pengaturan dosis yang cermat dan obat-obat yang baik menginduksi
maupun menghambat enzim hati. Mekanisme interaksi obat dapat dibedakan atas 3
mekanisme yaitu interaksi farmasetik atau inkompatibilitas, interaksi farmakokinetika
dan interaksi farmakodinamika.
DAFTAR PUSTAKA

Adhadi, Harits Hammam. (2015) Perbedaan Kualitas Hidup Antara Penderita Asma Yang
Hanya Mendapat Terapi Farmakologi Dan Yang Mendapat Terapi Farmakologi
Dengan Senam Asma Indonesia. Undergraduate thesis, UNIMUS.
Alimmattabrina, R. (2015). Hubungan Antara Peak Expiratory Flow Rate Dengan Prestasi
Belajar Kognitif Pada Anak Usia 10 Sampai 12 Tahun. Jurnal Media Medika Muda
Vol. 4 No. 4
Fradgley, S., 2003, Interaksi Obat dalam Aslam, M., Tan., C., K., dan Prayitno, A., Farmasi
Klinis, 119-130, Penerbit PT. Elex Media Komputindo kelompok Gramedia, Jakarta
Global Initiavite for Asthma (GINA). (2011). Global Strategy for Asthma Management and
Prevention. www.ginaasthma.org. diakses pada 8 januari 2021.
Global Initiative for Asthma (GINA). (2016). Global Stategy for Asthma Management and
Prevention.
Katzung, B.G., 2004, Farmakologi Dasar dan Klinik, Diterjemahkan oleh Bagian
Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Buku III, sixth edition,
531,637, Penerbit Salemba Medika, Jakarta.
Kemenkes RI. 2019. INFODATIN “Penderita Asma di Indonesia”. Jakarta :Direktorat
Jenderal Bina Kefarmasian dan alat kesehatan.
Perhimpuan Dokter Paru Indonesia (PDPI). (2004). Asma dan Pedoman Penatalaksanaan di
Indonesia. Jakarta: Balai Penerbit FKUI
Riset Kesehatan Dasar 2013 dalam Angka, Lembaga Penerbit Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta
Setiawati, A., 2005, Interaksi Obat dalam Ganiswara, S.G., Farmakologi dan Terapi, Edisi IV,
800-810, Bagian Farmakologi FKUI, Jakarta.
Sukandar, E. Y., Andrajari, R., Sigit, J. I., Adnayana, I. K., Setiadi, A. A. P., dan Kusnandar.
(2008). ISO Farmakoterapi. Jakarta: PT. ISFI Penerbitan.
The Global Asthma Report 2018, Global Asthma Report, New Zealand
Widyastuti, Reni, Dewi, S.R., Windy, K. B., Wresti I. (2020). Terapi Farmakologis Urtikaria
Kronik Spontan. Departemen Farmakologi dan Terapeutik, 47 (1), 51-57
World Health Organization (WHO). 2016. Asthma Fact Sheets. Diunduh dari
http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs307/en/ 9 Januari 2020

Anda mungkin juga menyukai