Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

Asma merupakan penyakit inflamasi (peradangan) kronik saluran napas


yang ditandai adanya mengi episodik, batuk, dan rasa sesak di dada akibat
penyumbatan saluran napas, termasuk dalam kelompok penyakit saluran
pernapasan kronik. Asma mempunyai tingkat fatalitas yang rendah namun jumlah
kasusnya cukup banyak ditemukan dalam masyarakat. Badan kesehatan dunia
(WHO) memperkirakan 100-150 juta penduduk dunia menderita asma, jumlah ini
diperkirakan akan terus bertambah sebesar 180.000 orang setiap tahun. Sumber
lain menyebutkan bahwa pasien asma sudah mencapai 300 juta orang di seluruh
dunia dan terus meningkat selama 20 tahun belakangan ini. Apabila tidak dicegah
dan ditangani dengan baik, maka diperkirakan akan terjadi peningkatan prevalensi
yang lebih tinggi lagi pada masa yang akan datang serta mengganggu proses
tumbuh kembang anak dan kualitas hidup pasien.
Prevalensi asma di Indonesia belum diketahui secara pasti, namun hasil
penelitian pada anak sekolah usia 13-14 tahun dengan menggunakan kuesioner
ISAAC (Internationla Study on Asthma and Allergy in Children) tahun 1995
prevalensi asma masih 2,1%, sedangkan pada tahun 2003 meningkat menjadi
5,2%. Hasil survei asma pada anak sekolah di beberapa kota di Indonesia (Medan,
Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Malang dan Denpasar)
menunjukkan prevalensi asma pada anak SD (6 sampai 12 tahun) berkisar antara
3,7%-6,4%, sedangkan pada anak SMP di Jakarta Pusat sebesar 5,8% tahun 1995
dan tahun 2001 di Jakarta Timur sebesar 8,6%. Berdasarkan gambaran tersebut di
atas, terlihat bahwa asma telah menjadi masalah kesehatan masyarakat yang perlu
mendapat perhatian secara serius.
Pengamatan di 5 propinsi di Indonesia (Sumatra Utara, Jawa Tengah, Jawa
Timur, Kalimantan Barat dan Sulawesi Selatan) yang dilaksanakan oleh Subdit
Penyakit Kronik dan Degeneratif Lain pada bulan April tahun 2007, menunjukkan
bahwa pada umumnya upaya pengendalian asma belum terlaksana dengan baik
dan masih sangat minimnya ketersediaan peralatan yang diperlukan untuk
diagnosis dan tatalaksana pasien asma difasilitas kesehatan.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Asma


Asma adalah suatu kelainan berupa inflamasi (peradangan) kronik saluran
napas yang menyebabkan hipereaktivitas bronkus terhadap berbagai rangsangan
yang ditandai dengan gejala episodik berulang berupa mengi, batuk, sesak napas
dan rasa berat di dada terutama pada malam dan atau dini hari yang umumnya
bersifat reversibel baik dengan atau tanpa pengobatan. (Keputusan menteri
kesehatan republik indonesia nomor 1023/menkes/sk/xi/2008).
Pedoman Nasional Asma Anak (PNAA) menggunakan batasan operasional
asma yaitu mengi berulang dan/atau batuk persisten dengan karakteristik sebagai
berikut: timbul secara episodik, cenderung pada malam hari/dini hari (nokturnal),
musiman, adanya faktor pencetus diantaranya aktivitas fisis, dan bersifat reversibel
baik secara spontan maupun dengan pengobatan, serta adanya riwayat asma atau atopi
lain pada pasien/keluarganya.

2.2 Faktor Resiko


Secara umum faktor risiko asma dibedakan menjadi 2 kelompok faktor
genetik dan faktor lingkungan.
1. Faktor genetik
a. Hipereaktivitas
b. Atopi/alergi bronkus
c. Faktor yang memodifikasi penyakit genetik
d. Jenis kelamin
e. Ras/etnik
2. Faktor lingkungan
a. Alergen di dalam ruangan (tungau, debu rumah, kucing,
alternaria/jamur dll)
b. Alergen diluar ruangan (alternaria, tepung sari)
c. Makanan (bahan penyedap, pengawet, pewarna makanan,
kacang, makanan laut, susu sapi, telur)

2
d. Obat-obatan tertentu (misalnya golongan aspirin, NSAID,
β bloker dll)
e. Bahan yang mengiritasi (misalnya parfum, household
spray, dan lain-lain)
f. Ekpresi emosi berlebih
g. Asap rokok dari perokok aktif dan pasif
h. Polusi udara di luar dan di dalam ruangan
i. Exercise induced asthma, mereka yang kambuh asmanya
ketika melakukan aktifitas tertentu
j. Perubahan cuaca

2.3 Patogenesis
Gejala asma, yaitu batuk, sesak dengan mengi merupakan akibat dari
obstruksi bronkus yang didasari oleh inflamasi kronik dan hiperaktivitas bronkus.
Hiperaktivitas bronkus merupakan ciri khas asma, besarnya hipereaktivitas
bronkus ini dapat diukur secara tidak langsung. Pengukuran ini merupakan
parameter objektif untuk menentukan beratnya hiperaktivitas bronkus yang ada
pada seseorang pasien. Berbagai cara digunakan untuk mengukur hipereaktivitas
bronkus ini, antara lain dengan uji provokasi beban kerja, inhalasi udara dingin,
inhalasi antigen maupun inhalasi zat nonspesifik.
Pencetus (trigger) serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor
antara lain alergen, virus, dan iritan yang dapat menginduksi respon inflamasi
akut yang terdiri atas reaksi asma dini (early asthma reaction = EAR) dan reaksi
asma lambat (late asthma reaction = LAR). Setelah reaksi asma awal dan reaksi
asma lambat, proses dapat terus berlanjut menjadi reaksi inflamasi sub-akut atau
kronik. Pada keadaan ini terjadi inflamasi di bronkus dan sekitarnya, berupa
infiltrasi sel-sel inflamasi terutama eosinofil dan monosit dalam jumlah besar ke
dinding dan lumen bronkus.
Penyempitan saluran napas yang terjadi pada asma merupakan suatu hal
yang kompleks. Hal ini terjadi karena lepasnya mediator dari sel mast yang
banyak ditemukan di permukaan mukosa bronkus, lumen jalan napas dan di
bawah membran basal. Berbagai faktor pencetus dapat mengaktivasi sal mast.

3
Selain sel mast, sel lain yang juga dapat melepaskan mediator adalah sel makrofag
alveolar, eosinofil, sel epitel jalan napas, netrofil, platelet, limfosit dan monosit.
Inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast intralumen, makrofag
alveolar, nervus vagus dan mungkin juga epitel saluran napas. Peregangan vagal
menyebabkan refleks bronkus, sedangkan mediator inflamasi yang dilepaskan
oleh sel mast dan makrofag akan membuat epitel jalan napas lebih permeabel dan
memudahkan alergen masuk ke dalam submukosa, sehingga memperbesar reaksi
yang terjadi.
Mediator inflamasi secara langsung maupun tidak langsung menyebabkan
serangan asma, melalui sel efektor sekunder seperti eosinofil, netrofil, platelet dan
limfosit. Sel-sel inflamasi ini juga mengeluarkan mediator yang kuat seperti
leukotriens, tromboksan, PAF dan protein sitotoksis yang memperkuat reaksi
asma. Keadaan ini menyebabkan inflamasi yang akhirnya menimbulkan
hipereaktivitas bronkus. Ada beberapa proses yang terjadi sebelum pasien menjadi
asma:
1. Sensitisasi, yaitu seseorang dengan risiko genetik dan
lingkungan apabila terpajan dengan pemicu (inducer/sensitisizer) maka
akan timbul sensitisasi pada dirinya.
2. Seseorang yang telah mengalami sensitisasi maka belum
tentu menjadi asma. Apabila seseorang yang telah mengalami sensitisasi
terpajan dengan pemacu (enhancer) maka terjadi proses inflamasi pada
saluran napasnya. Proses inflamasi yang berlangsung lama atau proses
inflamasinya berat secara klinis berhubungan dengan hiperreaktivitas
bronkus.
3. Setelah mengalami inflamasi maka bila seseorang
terpajan oleh pencetus (trigger) maka akan terjadi serangan asma (mengi).
Faktor-faktor pemicu (inducer/sensitisizer) antara lain: Alergen dalam
ruangan: tungau debu rumah, binatang berbulu (anjing, kucing, tikus), alergen
kecoak, jamur, kapang, ragi serta pajanan asap rokok; pemacu: Rinovirus, ozon,
pemakaian b2 agonis; sedangkan pencetus (enhancer): Semua faktor pemicu dan
pemacu ditambah dengan aktivitas fisik, udara dingin, histamin dan metakolin.

4
2.4 Klasifikasi
Asma diklasifikasikan atas asma saat tanpa serangan dan asma saat
serangan (akut).
a) Asma saat tanpa serangan
Pada anak, secara arbiteri Pedoman Nasional Asma Anak (PNAA)
mengklasifikasikan derajat asma menjadi: 1) Asma episodik jarang; 2) Asma
episodik sering; dan 3) Asma persisten (Tabel 1).

Tabel 1. Klasifikasi derajat asma pada anak


Parameter klinis,
Asma episodik Asma episodik
No kebutuhan obat dan Asma persisten
jarang sering
faal paru asma
1 Frekuensi serangan <1x/bulan >1x/bulan Sering
Hampir sepanjang tahun,
2 Lama serangan <1minggu >1minggu tidak ada periode bebas
serangan
3 Intensitas serangan Biasanya ringan Biasanya sedang Biasanya berat
4 Diantara serangan Tanpa gejala Sering ada gejala Gejala siang dan malam
5 Tidur dan aktifitas Tidak tergganggu Sering tergganggu Sangat tergganggu
Mungkin
Normal (tidak
Pemeriksaan fisik tergganggu
6 ditemukan Tidak pernah normal
diluar serangan (ditemukan
kelainan)
kelainan)
Obat pengendali(anti
7 Tidak perlu Perlu Perlu
inflamasi)
Uji faal paru(diluar PEFatauFEV1>80 PEFatauFEV1<60-
8 PEVatauFEV<60%
serangan) % 80%
Variabilitas faal
Variabilitas 20-30%.
9 paru(bila ada Variabilitas>15% Variabilitas>30%
Variabilitas >50%
serangan)

b) Asma saat serangan


Klasifikasi derajat asma berdasarkan frekuensi serangan dan obat yang
digunakan sehari-hari, asma juga dapat dinilai berdasarkan berat-ringannya
serangan. Global Initiative for Asthma (GINA) membuat pembagian derajat
serangan asma berdasarkan gejala dan tanda klinis, uji fungsi paru, dan
pemeriksaan laboratorium. Derajat serangan menentukan terapi yang akan
diterapkan. Klasifikasi tersebut meliputi asma serangan ringan, asma serangan
sedang dan asma serangan berat.

5
Tabel 2. Klasifikasi asma menurut derajat serangan
Parameter klinis,
Ancaman henti
fungsi faal paru, Ringan Sedang Berat
napas
laboratorium
Berjalan Berbicara Istirahat
Bayi tangis pendek
Sesak (breathless) Bayi Menangis dan lemah, Bayi tidak mau
keras kesulitan makan/minum
menetek/makan
Duduk bertopang
Posisi Bisa berbaring Lebih suka duduk
lengan
Bicara Kalimat Penggal kalimat Kata-kata
Kesadaran Mungkin iritabel Biasanya iritabel Biasanya iritabel Kebingungan
Sianosis Tidak ada Tidak ada Ada Nyata
Sedang, sering Nyaring, sepanjang Sangat nyaring,
Sulit/tidak
Wheezing hanya pada akhir ekspirasi ± terdengar tanpa
terdengar
ekspirasi inspirasi stetoskop
Gerakan paradok
Penggunaan otot bantu
Biasanya tidak Biasanya ya Ya torako-
respiratorik
abdominal
Sedang, ditambah
Dangkal, retraksi Dalam, ditambah
Retraksi retraksi Dangkal/ hilang
interkostal napas cuping hidung
suprasternal
Takipnu Takipnu Takipnu Bradipnu
Pedoman nilai baku frekuensi napas pada anak sadar:
Usia Frekuensi napas normal/menit
Frekuensi napas < 2 bulan < 60
2-12 bulan < 50
1-5 tahun < 40
6-8 tahun < 30
Normal Takikardi Takikardi Bradikardi
Pedoman nilai baku frekuensi nadi pada anak
Frekuensi nadi Usia Frekuensi nadi normal per menit
2-12 bulan < 160
1-2 tahun < 120
6-8 tahun < 110
Tidak ada, tanda
Tidak ada Ada Ada
Pulsus paradoksus kelelahan otot
(< 10 mmHg) (10-20 mmHg) (>20mmHg)
respiratorik
PEFR atau FEV1
(%nilai dugaan/%nilai
terbaik)
>60% 40-60%
Pra bonkodilator <40%
>80% 60-80%
Pasca bronkodilator <60%, respon<2 jam
SaO2 % >95% 91-95% ≤ 90%
Normal
PaO2 (biasanya tidak >60 mmHg <60 mmHg
perlu diperiksa)
PaCO2 <45 mmHg <45 mmHg >45 mmHg

6
2.5 Diagnosis
Diagnosis asma yang tepat sangatlah penting, sehingga penyakit ini dapat
ditangani dengan semestinya, mengi (wheezing) dan/atau batuk kronik berulang
merupakan titik awal untuk menegakkan diagnosis. Secara umum untuk
menegakkan diagnosis asma diperlukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang.
a) Anamnesis
Ada beberapa hal yang harus ditanyakan dari pasien asma antara lain:
1. Apakah ada batuk yang berulang terutama pada malam menjelang dini
hari?
2. Apakah pasien mengalami mengi atau dada terasa berat atau batuk
setelah terpajan alergen atau polutan?
3. Apakah pada waktu pasien mengalami selesma (commond cold)
merasakan sesak di dada dan selesmanya menjadi berkepanjangan (10
hari atau lebih)?
4. Apakah ada mengi atau rasa berat di dada atau batuk setelah
melakukan aktifitas atau olah raga?
5. Apakah gejala-gejala tersebut di atas berkurang/hilang setelah
pemberian obat pelega (bronkodilator)?
6. Apakah ada batuk, mengi, sesak di dada jika terjadi perubahan
musim/cuaca atau suhu yang ekstrim (tiba-tiba)?
7. Apakah ada penyakit alergi lainnya (rinitis, dermatitis atopi,
konjungtivitis alergi)?
8. Apakah dalam keluarga (kakek/nenek, orang tua, anak, saudara
kandung, saudara sepupu) ada yang menderita asma atau alergi?

b) Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat bervariasi dari normal sampai
didapatkannya kelainan. Perlu diperhatikan tanda-tanda asma dan penyakit
alergi lainnya. Tanda asma yang paling sering ditemukan adalah mengi,
namun pada sebagian pasien asma tidak didapatkan mengi diluar serangan.

7
Begitu juga pada asma yang sangat berat mengi dapat tidak terdengar (silent
chest), biasanya pasien dalam keadaan sianosis dan kesadaran menurun.
Secara umum pasien yang sedang mengalami serangan asma dapat
ditemukan hal-hal sebagai berikut, sesuai derajat serangan:
1. Inspeksi: pasien terlihat gelisah, sesak (napas cuping hidung, napas
cepat, retraksi sela iga, retraksi epigastrium, retraksi suprasternal),
sianosis
2. Palpasi: biasanya tidak ditemukan kelainan, pada serangan berat dapat
terjadi pulsus paradoksus
3. Perkusi: biasanya tidak ditemukan kelainan
4. Auskultasi: ekspirasi memanjang, mengi, suara lendir

c) Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk diagnosis asma:
1. Pemeriksaan fungsi/faal paru dengan alat spirometer
2. Pemeriksaan arus puncak ekspirasi dengan alat peak flow rate meter
3. Uji reversibilitas (dengan bronkodilator)
4. Uji provokasi bronkus, untuk menilai ada/tidaknya hipereaktivitas
bronkus.
5. Uji Alergi (Tes tusuk kulit /skin prick test) untuk menilai ada tidaknya
alergi.
6. Foto toraks, pemeriksaan ini dilakukan untuk menyingkirkan penyakit
selain asma.

2.6 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan asma klasifikasikan menjadi: 1) Penatalaksanaan asma
akut/saat serangan, dan 2) Penatalaksanaan asma jangka panjang.

a) Penatalaksanaan asma akut (saat serangan)


Serangan akut adalah episodik perburukan pada asma yang harus diketahui
oleh pasien. Penatalaksanaan asma sebaiknya dilakukan oleh pasien di rumah
(lihat bagan 1), dan apabila tidak ada perbaikan segera ke fasilitas pelayanan
kesehatan. Penanganan harus cepat dan disesuaikan dengan derajat serangan.

8
Penilaian beratnya serangan berdasarkan riwayat serangan termasuk gejala,
pemeriksaan fisik dan sebaiknya pemeriksaan faal paru, untuk selanjutnya
diberikan pengobatan yang tepat dan cepat.
Pada serangan asma obat-obat yang digunakan adalah bronkodilator (β2
agonis kerja cepat dan ipratropium bromida) dan kortikosteroid sistemik. Pada
serangan ringan obat yang digunakan hanya β2 agonis kerja cepat yang sebaiknya
diberikan dalam bentuk inhalasi. Bila tidak memungkinkan dapat diberikan secara
sistemik. Pada dewasa dapat diberikan kombinasi dengan teofilin/aminofilin oral.
Pada keadaan tertentu (seperti ada riwayat serangan berat sebelumnya)
kortikosteroid oral (metilprednisolon) dapat diberikan dalam waktu singkat 3- 5
hari. Pada serangan sedang diberikan β2 agonis kerja cepat dan kortikosteroid
oral. Pada dewasa dapat ditambahkan ipratropium bromida inhalasi, aminofilin IV
(bolus atau drip). Pada anak belum diberikan ipratropium bromida inhalasi
maupun aminofilin IV. Bila diperlukan dapat diberikan oksigen dan pemberian
cairan IV.
Pada serangan berat pasien dirawat dan diberikan oksigen, cairan IV, β2
agonis kerja cepat ipratropium bromida inhalasi, kortikosteroid IV, dan aminofilin
IV (bolus atau drip). Apabila β2 agonis kerja cepat tidak tersedia dapat digantikan
dengan adrenalin subkutan. Pada serangan asma yang mengancam jiwa langsung
dirujuk ke ICU.
Pemberian obat-obat bronkodilator diutamakan dalam bentuk inhalasi
menggunakan nebulizer. Bila tidak ada dapat menggunakan IDT (Inhalasi Dosis
Terukur) dengan alat bantu (spacer).

b) Penatalaksanaan asma jangka panjang


Penatalaksanaan asma jangka panjang bertujuan untuk mengontrol asma
dan mencegah serangan. Pengobatan asma jangka panjang disesuaikan dengan
klasifikasi beratnya asma. Prinsip pengobatan jangka panjang meliputi: 1)
Edukasi; 2) Obat asma (pengontrol dan pelega); dan Menjaga kebugaran.

9
Edukasi yang diberikan mencakup: kapan pasien berobat/ mencari
pertolongan, mengenali gejala serangan asma secara dini, mengetahui obat-obat
pelega dan pengontrol serta cara dan waktu penggunaannya, mengenali dan
menghindari faktor pencetus, kontrol teratur. Alat edukasi untuk dewasa yang
dapat digunakan oleh dokter dan pasien adalah pelangi asma (bagan 6), sedangkan
pada anak digunakan lembaran harian.

Obat asma terdiri dari obat pelega dan pengontrol. Obat pelega diberikan
pada saat serangan asma, sedangkan obat pengontrol ditujukan untuk pencegahan
serangan asma dan diberikan dalam jangka panjang dan terus menerus. Untuk
mengontrol asma digunakan anti inflamasi (kortikosteroid inhalasi). Pada anak,
kontrol lingkungan mutlak dilakukan sebelum diberikan kortikosteroid dan dosis
diturunkan apabila dua sampai tiga bulan kondisi telah terkontrol. Obat asma yang
digunakan sebagai pengontrol antara lain: Inhalasi kortikosteroid, β2 agonis kerja
panjang, antileukotrien, teofilin lepas lambat.

Tabel 3. Jenis obat asma


Jenis obat Golongan Nama generik Bentuk/kemasan obat
Pengontrol Steroid inhalasi Flutikason propionat IDT
(Anti inflamasi) Budesonide IDT, turbuhaler
Antileukokotrin Zafirlukast Oral(tablet)
Kortikosteroid Metilprednisolon Oral(injeksi)
sistemik Prednison Oral
Pelega Agonis beta-2 Prokaterol Oral
(Bronkodilator) kerjalama Formoterol Turbuhaler
Salmeterol IDT
kombinasi steroid dan Flutikason + Salmeterol. IDT
Agonis beta-2 Budesonide + formoterol Turbuhaler
kerjalama
Agonis beta-2 kerja Salbutamol Oral, IDT, rotacap
cepat solution
Terbutalin Oral, IDT, turbuhaler,
solution, ampul (injeksi)
Prokaterol IDT
Fenoterol IDT, solution
Antikolinergik Ipratropium bromide IDT, solution
Metilsantin Teofilin Oral
Aminofilin Oral, injeksi
Teofilin lepas lambat Oral

Kortikosteroid Metilprednisolon Oral, inhaler


sistemik Prednison Oral

10
Bagan 1.
Alur Tatalaksana Serangan Asma pada Anak

Klinik / IGD

Nilai derajat serangan(1)

Tatalaksana awal
 nebulisasi -agonis 1-3x, selang 20 menit (2)
 nebulisasi ketiga + antikolinergik
 jika serangan berat, nebulisasi. 1x (+antikoinergik)

Serangan ringan Serangan sedang Serangan berat


(nebulisasi 1-3x, (nebulisasi 1-3x, respons (nebulisasi 3x,
respons baik, gejala parsial) respons buruk)
hilang)  berikan oksigen (3)  sejak awal berikan O2
 observasi 2 jam  nilai kembali derajat saat / di luar nebulisasi
 jika efek bertahan, serangan, jika sesuai dgn  pasang jalur
boleh pulang serangan sedang, observasi parenteral
di Ruang Rawat  nilai ulang klinisnya,
 jika gejala timbul Sehari/observasi
lagi, perlakukan jika sesuai dengan
sebagai serangan  pasang jalur parenteral serangan berat, rawat
sedang di Ruang Rawat Inap
 foto Rontgen toraks

Boleh pulang Ruang Rawat Sehari/observasi Ruang Rawat Inap


 bekali obat -agonis  oksigen teruskan  oksigen teruskan
(hirupan / oral)  berikan steroid oral  atasi dehidrasi dan asidosis
 jika sudah ada obat  nebulisasi tiap 2 jam jika ada
pengendali, teruskan  bila dalam 12 jam perbaikan  steroid IV tiap 6-8 jam
 jika infeksi virus sbg. klinis stabil, boleh pulang,  nebulisasi tiap 1-2 jam
pencetus, dapat diberi tetapi jika klinis tetap belum  aminofilin IV awal, lanjutkan
steroid oral membaik atau meburuk, alih rumatan
 dalam 24-48 jam kontrol rawat ke Ruang Rawat Inap  jika membaik dalam 4-6x
ke Klinik R. Jalan, untuk nebulisasi, interval jadi 4-6
reevaluasi jam
 jika dalam 24 jam perbaikan
Catatan: klinis stabil, boleh pulang
1. Jika menurut penilaian serangannya berat, nebulisasi cukup 1x langsung dengan -  jika dengan steroid dan
agonis + antikolinergik aminofilin parenteral tidak
2. Bila terdapat tanda ancaman henti napas segera ke Ruang Rawat Intensif membaik, bahkan timbul
3. Jika tidak ada alatnya, nebulisasi dapat diganti dengan adrenalin subkutan Ancaman henti napas, alih
0,01ml/kgBB/kali maksimal 0,3ml/kali
rawat ke Ruang Rawat
4. Untuk serangan sedang dan terutama berat, oksigen 2-4 L/menit diberikan sejak Intensif
awal, termasuk saat nebulisasi

Bagan 2.

11
Alur Tatalaksana Asma Anak jangka Panjang

Asma episodik jarang Obat pereda: -agonis atau teofilin


(hirupan atau oral) bila perlu

3-4 minggu, obat


dosis / minggu > 3x  3x

Tambahkan obat pengendali:


Asma episodik sering Kortikosteroid hirupan dosis rendah *) P
E
N
6-8 minggu, respons: () (+)
G

Pertimbangkan alternatif penambahan salah H


Asma persisten satu obat:
I
 -agonis kerja panjang (LABA)
 teofilin lepas lambat N
 antileukotrien
 atau dosis kortikosterid ditingkatkan D
(medium)
A
R
6-8 minggu, respons: () (+)
A
N
Kortikosteroid dosis medium
ditambahkanan salah satu obat:

 -agonis kerja panjang

 teofilin lepas lambat

6-8 minggu, respons: () (+)

Obat diganti kortikosteroid oral

*) Ketotifen dapat digunakan pada pasien balita dan/atau asma tipe rinitis

BAB III

12
STATUS PASIEN

3.1 Identitas Pasien


Nama : An.S
Umur : 3 tahun 6 bulan
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Dsn Kampung Baru
Tanggal masuk : 21 April 2014 Pukul 08:41 WIB
Tanggal keluar : 25 April 2014
No. RM : 054448

3.2 Anamnesis
Alloanamnesis

Keluhan Utama
Sesak napas sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit (SMRS)

Riwayat Penyakit Sekarang


Sejak 1 hari SMRS pasien mulai mengeluhkan sesak napas dan batuk-
batuk. Sesak napas timbul bila pasien terpapar udara dingin. Sesak terutama
timbul pada malam dan pagi hari, sehingga mengganggu aktivitas dan tidur.
Sesak napas bertambah bila pasien batuk. Batuk pasien berdahak dengan
warna bening kental. Napas pasien berbunyi “ngik”.
Sejak 2 jam SMRS sesak napas yang dirasakan makin berat. Batuk
dirasakan semakin menjadi-jadi. Pasien dibawa ke IGD RSUD Bangkinang
dan diberi pengasapan, namun keluhan sesak tidak berkurang sehingga pasien
dirawat inap di PICU 4.

Riwayat Penyakit Dahulu


Belum pernah sakit seperti ini sebelumnya. Pasien memiliki riwayat alergi
udara dingin.

Riwayat Penyakit Keluarga

13
Terdapat anggota keluarga dengan riwayat asma yaitu ayah pasien.

Riwayat Kehamilan & Persalinan


 Ibu rutin melakukan pemeriksaan ANC ke bidan. Selama hamil ibu tidak
ada masalah, demam tidak ada, hipertensi tidak ada, diabetes tidak ada,
mengkonsumsi obat-obatan atau jamu tidak ada, mengkonsumsi alkohol
tidak pernah.
 Pasien anak pertama dari dua bersaudara, lahir spontan ditolong oleh
dokter, BBL 3200 gram, lahir langsung menangis kuat.

Riwayat Makanan & Minuman


 ASI dari lahir sampai umur 2 tahun
 Susu formula dari umur 2 tahun sampai sekarang
 MPASI mulai umur 6 bulan
 Makan menu keluarga mulai umur 2 tahun sampai sekarang

Riwayat Imunisasi
Imunisasi wajib lengkap
 Hepatitis B : 4 kali
 BCG : 1 kali
 Polio : 4 kali
 DPT : 3 kali
 Campak : 1 kali

Riwayat Pertumbuhan & Perkembangan


 Telungkup :
 Duduk :
 Merangkak :
 Jalan dibantu :
 Berjalan :
Riwayat Perumahan dan Lingkungan

14
 tinggal di rumah permanen, lingkungan perumahan tidak padat
 ventilasi dan pencahayaan cukup
 sumber air minum dari sumur bor
 sumber air MCK dari sumur bor

3.3 Pemeriksaan Fisik


Keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : composmentis
Tanda-tanda vital
 Tekanan darah : 80/50 mmHg  Frekuensi nafas : 48x/menit
 Frekuensi nadi : 88x/menit  Suhu : 36,7oC
Status Gizi
Berat Badan : 14 kg TB/U : Z-skor > -2
Tinggi Badan : 98 cm BB/TB : Z-skor > -1 (rata-rata)
BB/U : Z-skor > -2

15
x

16
Status generalisata
Kepala
 Bentuk : Normochepali
 Rambut : hitam, tidak mudah dicabut
 Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, pupil isokor,
refleks cahaya (+/+)
 Hidung : nafas cuping hidung (+/+)
 Mulut : mukosa basah, tidak pucat, faring tidak hiperemis

Leher
 KGB : tidak ada pembesaran kelenjar getah bening

Thorax
 Inspeksi : gerakan dinding dada simetris, retraksi (-)
 Palpasi : vokal fremitus sama kanan dan kiri
 Perkusi : sonor di semua lapangan paru
 Auskultasi : suara nafas vesikuler dengan ekspirasi memanjang,
wheezing (+/+), Ronchi (+/+), bunyi jantung I & II
normal, murmur (-)

Abdomen
 Inspeksi : bentuk normal, simetris, datar, scar (-)
 Palpasi : supel, tidak ada nyeri tekan, hepar dan lien tidak teraba
 Perkusi : timpani
 Auskultasi : bising usus normal

Ekstremitas
 Superior & Inferior : akral hangat, CRT <2 detik, tidak edema

3.4 Pemeriksaan Penunjang


Hasil laboratorium tanggal 21 April 2014
Hemoglobin : 13,7 gr% Leukosit : 14.000/mm3
Hematokrit : 38,4 % Trombosit : 299.000/mm3

17
3.5 Diagnosa Kerja
Asma Bronkial

3.6 Diagnosa Banding


 Asma Bronkial
 Bronkopneumonia

3.7 Penatalaksanaan
a. Medikamentosa
 Oksigen 4 liter/menit
 IVFD D 5% drip Aminophilline 1 cc  18 tetes/menit makro
 Nebulizer tiap 4 jam: combiven ½ ampul + bisolvon 12 tetes + NaCl
2 ml
 Injeksi Ceftriaxone 2 x 400 mg
 P/O: - lasal exp 3 x cth 1/2
- cetirizin 1 x cth ½
- puyer asma 3 x P 1: alegi ½ tab, his ½ tab

b. Edukasi
 Hindari faktor pencetus

3.8 Follow Up
22 Subyek: sesak nafas (+), Planning:
April batuk berdahak (+), pilek - O2 2 liter/menit
2014 (+), demam (-), mual - IVFD D 5% + Aminophilline 1 cc
muntah (-)  18 tts/menit
- Nebulizer tiap 4 jam (Combiven 1
Objek: N= 98x/menit amp + Bisolvon 12 tetes + NaCl 2
R= 34x/menit T= 36oC cc)
- Inj. Ceftriaxone 2 x 400 mg
Assesment: Asma P/O:
Bronkial - lasal exp 3 x cth ½
- cetirizin 1 x cth ½
- puyer asma 3 x P 1
- atarox syr 2 x 3cc
23 Subyek: sesak nafas (-), Planning:
April batuk berdahak (+), pilek - IVFD D 5% + Aminophilline 1 cc

18
2014 (-), demam (-), mual  18 tts/menit
muntah (-), perut - Nebulizer tiap 4 jam (Combiven 1
kembung (+) amp + Bisolvon 12 tetes + NaCl 2
cc)
Objek: N= 82x/menit - Inj. Ceftriaxone 2 x 400 mg
R= 28x/menit T= 36,4oC P/O:
- lasal exp 3 x cth ½
Assesment: Asma - cetirizin 1 x cth ½
Bronkial - puyer asma 3 x P 1
- atarox syr 2 x 3cc
24 Subyek: sesak nafas (-), Planning:
April batuk berdahak (+), pilek - IVFD D 5% + Aminophilline 1 cc
2014 (-), demam (-), mual  18 tts/menit
muntah (-), perut - Inj. Ceftriaxone 2 x 400 mg/iv
kembung (-) P/O:
- lasal exp 3 x cth ½
Objek: N= 86x/menit - cetirizin 1 x cth ½
R= 26x/menit T= 36,5oC - puyer asma 4 x P 1
- atarox syr 3 x 3cc
Assesment: Asma
Bronkial
25 Subyek: sesak nafas (-), Planning:
April batuk berdahak (+), pilek Pasien boleh pulang
2014 (-), demam (-), mual Terapi peroral:
muntah (-), perut - puyer asma 4 x P 1
kembung (-) - atarox syr 3 x 3cc
- Azitromicin 1 x 250 mg
Objek: N= 86x/menit
R= 26x/menit T= 36,5oC

Assesment: Asma
Bronkial

19

Anda mungkin juga menyukai