Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN DISKUSI FARMAKOLOGI II

STUDI KASUS OBAT HIDROCORTISON UNTUK PENANGANAN EKSASERBASI


ASMA AKUT PADA PASIEN DENGAN RIWAYAT PENYAKIT ULKUS
PEPTIKUM KRONIK DAN TUKAK LAMBUNG

Disusun oleh :

(Kelompok C6/ Rabu Pagi)

1. Nadila Fauziah Efendy 051711133198


2. Anak Agung Freda S.C. 051711133202
3. Ade Dwiki Lusiana 051711133206
4. Abid Ananta Yuwawira 051711133214
5. Lailatul Nuraini 051711133218
6. Ajeng Ambar Sari 051711133222
7. Rizka Aulia Rahma 051711133226
8. Aisyah Nabila Ramadhanty 051711133234
9. Davin Mahendra Duwiri 051711133238

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS AIRLANGGA

2019
PERMASALAHAN
Pak Totok, perokok berat, umur 50 tahun, berat badan 60 kg, TD : 90/160 mmHg,
mempunyai riwayat keluarga pengidap asma. Pak totok mempunyai penyakit ulkus peptikum
kronik. Karena sesuatu penyebab, penyakit tukak lambungnya kambuh, pak Totok mendapat
pengobatan obat anti ulser, tablet cimetidine 300 mg 3 kali sehari selama 2 minggu. Karena
sesuatu hal, pak Totok tiba-tiba mengalami sesak nafas akut, disertai batuk-batuk berlendir,
dan nafas bunyi. Pak totok terpaksa dibawa ke rumah sakit, dan pak Totok didiagnosa
mengalami eksaserbasi asma akut. Di Rumah sakit, pak Totok diberikan drip (infus)
Hidrocortison dengan dosis 200 mg selama 4 jam. Apa saudara setuju? Bila tidak, apa
alasannya?
PEMBAHASAN
1. Asma
Asma merupakan penyakit inflamasi kronis saluran napas dimana banyak sel yang
berperan terutama sel mast, eosinofil, limfosit T, makrofag, neutrofil dan sel epitel.
Individu yang rentan, proses inflamasi tersebut menyebabkan wheezing berulang, sesak
napas, dada rasa tertekan dan batuk terutama malam hari dan atau menjelang pagi. Episode
ini bervariasi dan sering reversibel, baik spontan maupun dengan pengobatan. Hambatan
aliran udara pada asma disebabkan oleh berbagai perubahan dalam saluran napas yaitu
bronkokontriksi, edema saluran napas, hiperresponsif saluran napas dan airway
remodeling.
Penyebab pasti dari penyakit asma belum diketahui. Para peneliti berpikir beberapa
interaksi faktor genetik dan lingkungan bisa menyebabkan asma, paling sering terjadi pada
awal kehidupan. Faktor-faktor yang mempengaruhi diantaranya adalah:
1. Kecenderungan untuk mengembangkan alergi, yang disebut atopi (AT-o-pe)
2. Orangtua yang memiliki asma
3. Infeksi saluran pernapasan tertentu selama masa kanak-kanak (ISPA)
4. Kontak dengan beberapa alergen udara atau paparan ke beberapa infeksi virus pada
masa bayi atau pada anak-anak usia dini ketika sistem kekebalan tubuh berkembang.
Sedangkan untuk faktor-faktor pencetus/pemicu timbulnya asma diantaranya adalah
bulu binatang, asap rokok, asap rumah tangga, debu, bau-bau yang menusuk, obat semprot
pembunuh serangga, polen bunga, perubahan cuaca, kelelahan, psikologis/stress, sakit flu,
makanan atau minuman tertentu, dan juga obat-obatan tertentu. Dalam hal ini tiap individu
memiliki faktor pemicu asma yang tidak selalu sama atau berbeda.
Klasifikasi
Asma dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologi, berat penyakit dan pola
keterbatasan aliran udara. Klasifikasi asma berdasarkan berat penyakit penting bagi
pengobatan dan perencanaan penatalaksanaan jangka panjang, semakin berat asma
semakin tinggi tingkat pengobatan. Kemudian asma diklasifikasikan menjadi asma saat
tanpa serangan dan asma saat serangan (akut).
1. Asma saat tanpa serangan
Klasifikasi derajat asma berdasarkan gambaran klinis secara umum pada orang
dewasa.
Derajat Asma Gejala Fungsi Paru
I. Intermiten  Siang hari < 2 kali per minggu Variabilitas APE < 20%
 Malam hari < 2 kali per bulan VEP1 > 80% nilai prediksi
Serangan singkat, Tidak ada gejala APE > 80% nilai terbaik
antar serangan, Intensitas serangan
bervariasi
II. Persisten  Siang hari > 2 kali per minggu, Variabilitas APE 20 - 30%
Ringan tetapi < 1 kali per hari VEP1 > 80% nilai prediksi
 Malam hari > 2 kali per bulan APE > 80% nilai terbaik
Serangan dapat mempengaruhi
aktifitas
III. Persisten  Siang hari ada gejala Variabilitas APE > 30%
Sedang  Malam hari > 1 kali per minggu VEP1 60-80% nilai
Serangan mempengaruhi aktifitas prediksi

 Serangan > 2 kali per minggu APE 60-80% nilai terbaik

Serangan berlangsung berhari-hari,


Sehari-hari menggunakan inhalasi
β2-agonis short acting
IV. Persisten  Siang hari terus menerus ada Variabilitas APE > 30%
Berat gejala VEP1 < 60% nilai prediksi
 Setiap malam hari sering timbul APE < 60% nilai terbaik
gejala
Aktifitas fisik terbatas, Sering timbul
serangan

2. Asma saat serangan (akut)


Klasifikasi derajat asma berdasarkan gejala dan tanda klinis, uji fungsi paru, dan
pemeriksaan laboratorium. Derajat serangan menentukan terapi yang akan
diterapkan.
Pengobatan (Terapi Farmakologi)
1. Simpatomimetik
Kerja farmakologi dari kelompok simpatomimetik ini adalah sebagai berikut :
 Stimulasi reseptor α adrenergik yang mengakibatkan terjadinya vasokonstriksi,
dekongestan nasal dan peningkatan tekanan darah.
 Stimulasi reseptor β1 adrenergik sehingga terjadi peningkatan kontraktilitas dan
irama jantung.
 Stimulasi reseptor β2 yang menyebabkan bronkodilatasi, peningkatan klirens
mukosiliari, stabilisasi sel mast dan menstimulasi otot skelet.
2. Xanthin
Metilxantin (teofilin, garamnya yang mudah larut dan turunannya) akan
merelaksasi secara langsung otot polos bronki dan pembuluh darah pulmonal,
merangsang SSP, menginduksi diuresis, meningkatkan sekresi asam lambung,
menurunkan tekanan sfinkter esofageal bawah dan menghambat kontraksi uterus.
Teofilin juga merupakan stimulan pusat pernafasan. Aminofilin mempunyai efek kuat
pada kontraktilitas diafragma pada orang sehat dan dengan demikian mampu
menurunkan kelelahan serta memperbaiki kontraktilitas pada pasien dengan penyakit
obstruksi saluran pernapasan kronik.
Contoh Obat : Aminofilin, Teofilin, Difilin, dan Oktrifilin.

3. Antikolinergik
a. Ipratropium Bromida
Ipratropium untuk inhalasi oral adalah suatu antikolinergik (parasimpatolitik)
yang akan menghambat refleks vagal dengan cara mengantagonis kerja
asetilkolin. Bronkodilasi yang dihasilkan bersifat lokal, pada tempat tertentu dan
tidak bersifat sistemik. Ipratropium bromida (semprot hidung) mempunyai sifat
antisekresi dan penggunaan lokal dapat menghambat sekresi kelenjar serosa dan
seromukus mukosa hidung.
b. Tiotropium Bromida
Tiotropium adalah obat muskarinik kerja diperlama yang biasanya digunakan
sebagai antikolinergik. Pada saluran pernapasan, tiotropium menunjukkan efek
farmakologi dengan cara menghambat reseptor M3 pada otot polos sehingga
terjadi bronkodilasi. Bronkodilasi yang timbul setelah inhalasi tiotropium bersifat
sangat spesifik pada lokasi tertentu.
c. Kromolin Sodium dan Nedokromil
1) Kromolin Sodium
Kromolin merupakan obat antiinflamasi. Kromolin tidak mempunyai
aktifitas intrinsik bronkodilator, antikolinergik, vasokonstriktor atau aktivitas
glukokortikoid. Obat-obat ini menghambat pelepasan mediator, histamin dan
SRS-A (Slow Reacting Substance Anaphylaxis, leukotrien) dari sel mast.
Kromolin bekerja lokal pada paru-paru tempat obat diberikan.
2) Nedokromil
Nedokromil merupakan anti-inflamasi inhalasi untuk pencegahan asma.
Obat ini akan menghambat aktivasi secara in vitro dan pembebasan mediator
dari berbagai tipe sel berhubungan dengan asma termasuk eosinofil, neutrofil,
makrofag, sel mast, monosit dan platelet. Nedokromil menghambat
perkembangan respon bronko konstriksi baik awal dan maupun lanjut terhadap
antigen terinhalasi.
3) Kortikosteroid
Obat-obat ini merupakan steroid adrenokortikal steroid sintetik dengan
cara kerja dan efek yang sama dengan glukokortikoid. Glukokortikoid dapat
menurunkan jumlah dan aktivitas dari sel yang terinflamasi dan meningkatkan
efek obat beta adrenergik dengan memproduksi AMP siklik, inhibisi
mekanisme bronkokonstriktor, atau merelaksasi otot polos secara langsung.
Penggunaan inhaler akan menghasilkan efek lokal steroid secara efektif
dengan efek sistemik minimal.
Contoh : Dexamethason, Metil Prednisolon, Prednison, Triamsinolon,
Beklometason, Budesonid, Flutikason, Flunisolid, Mometason.
4) Antagonis Reseptor Leukotrien
 Zafirlukast
Zafirlukast adalah antagonis reseptor leukotrien D4 dan E4 yang
selektif dan kompetitif, komponen anafilaksis reaksi lambat (SRSA - slow-
reacting substances of anaphylaxis). Produksi leukotrien dan okupasi
reseptor berhubungan dengan edema saluran pernapasan, konstriksi otot
polos dan perubahan aktifitas selular yang berhubungan dengan proses
inflamasi, yang menimbulkan tanda dan gejala asma.
 Montelukast Sodium
Montelukast adalah antagonis reseptor leukotrien selektif dan aktif
pada penggunaan oral, yang menghambat reseptor leukotrien sisteinil
(CysLT1). Leukotrien adalah produk metabolisme asam arakhidonat dan
dilepaskan dari sel mast dan eosinofil. Produksi leukotrien dan okupasi
reseptor berhubungan dengan edema saluran pernapasan, konstriksi otot
polos dan perubahan aktifitas selular yang berhubungan dengan proses
inflamasi, yang menimbulkan tanda dan gejala asma.
 Zilueton
Zilueton adalah inhibitor spesifik 5-lipoksigenase dan selanjutnya
menghambat pembentukan (LTB1, LTC1, LTD1, LTE1).
5) Obat-obat penunjang
 Ketotifen Fumarat
Ketotifen adalah suatu antihistamin yang mengantagonis secara
nonkompetitif dan relatif selektif reseptor H1, menstabilkan sel mast dan
menghambat pelepasan mediator dari sel-sel yang berkaitan dengan reaksi
hipersensitivitas.
 N-Asetilsistein
Aksi mukolitik asetilsistein berhubungan dengan kelompok sulfhidril
pada molekul, yang bekerja langsung untuk memecahkan ikatan disulfida
antara ikatan molekular mukoprotein, menghasilkan depolimerisasi dan
menurunkan viskositas mukus. Aktivitasmukolitik pada asetilsistein
meningkat seiring dengan peningkatan pH.
Mekanisme asma

(Kepmenkes RI No. 1023 Tahun 2008 Tentang Pedoman Pengendalian Penyakit Asma)

(Departemen Kesehatan RI, 2007 Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Asma)

2. Ulkus Peptikum
Ulkus peptikum (Tukak peptik) adalah salah satu penyakit saluran cerna bagian atas
yang kronis. Ulkus peptikum mengacu pada ulkus gaster dan duodenal yang disebabkan
oleh asam peptik. Ulkus peptikum adalah kecacatan pada mukosa gastrointestinal yang
disebabkan karena sel epitel terkena pengaruh asam dan pepsin yang melebihi kemampuan
mukosa melawan efek tersebut.
Umumnya yang berperan besar terjadinya ulkus peptikum adalah H. Pylori yang
merupakan organisme yang menghasilkan urase dan berkoloni pada mukosa lambung.
Selain karen faktor H. Pylori terdapat penyebab lain :
1. Sering terjadi pada individu yang sekresi asamnya berlebihan
2. Pengaruh genetika
3. Kebiasaan merokok
4. Kebiasaan diet, makan yang tidak teratur
5. Stres
6. Efek obat antiinflamasi non steroid

Pengobatan ulkus peptikum

Pengobatan ulkus peptikum bisa menggunakan obat yang termasuk golongan


antagonis reseptor H2. Semua antagonis reseptor H2 mengatasi tukak lambung dan
duodenum dengan cara mengurangi sekresi asam lambung sebagai akibat penghambatan
reseptor histamin H2. Obat ini juga dapat digunakan untuk mengatasi gejala refluks
gastroesofagus (GERD). Meskipun antagonis reseptor H2 dosis tinggi dapat digunakan
untuk mengatasi sindroma Zollinger-Ellison, namun penggunaan penghambat pompa
proton lebih dipilih. Obat yang bisa dipakai adalah sebagai berikut :

1. Famotidin
2. Famotidin – antasida
3. Nizatidin
4. Ranitidin Bismuth sitrat
5. Simetidin

3. Hipertensi

Hipertensi didefinisikan oleh Joint National Committee on Detection, Evaluation and


Treatment of High Blood Pressure sebagai tekanan yang lebih tinggi dari 140 / 90
mmHg.Menurut The Seventh Report of The Joint National Committee on Prevention,
Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (JNC VII), klasifikasi
hipertensi pada orang dewasa dapat dibagi menjadi kelompok normal, prehipertensi,
hipertensi derajat I dan derajat II.
Faktor pemicu hipertensi dibedakan menjadi yang tidak dapat dikontrol seperti
riwayat keluarga, jenis kelamin, dan umur. Faktor yang dapat dikontrol seperti obesitas,
kurangnya aktivitas fisik, perilaku merokok, pola konsumsi makanan yang mengandung
natrium dan lemak jenuh.

4. Cimetidine

Efek farmakologi

Cimetidine adalah histamin H2-reseptor antagonis, di kelas yang sama seperti ranitidine,
famotidine, dan nizatidine. Cimetidine merupakan obat pertama yang dikembangkan sebagai
pengobatan untuk dispepsin. Selain dispepsin, juga digunakan secara klinis untuk pengobatan
ulkus peptikum dan untuk Gastroesophageal Refluks Disease (GERD).
Tujuan utama pengobatan ulkus peptikum untuk mengurangi rasa sakit, penyembuhan ulkus
dan mencegah terjadinya residif dan komplikasi. ARH 2 menurunkan volume cairan lambung dan
konsentrasi H+. ARH2 dapat menurunkan sekresi asam lambung basal (puasa), nokturnal, dan post-
prandial atau yang distimulasi oleh insulin. Penghambatan sekresi asam lambung nokturnal
merupakan faktor penting pada penyembuhan ulkus peptikum, sehingga penggunaan satu dosis
pada malam hari menjelang tidur sangat bermanfaat.

Cimetidine merupakan obat lokal untuk saluran cerna (GI Track) terutama untuk mengobati
penyakit tukak peptic. Cara kerjanya ditujukan untuk antisekresi asam lambung. Cimetidine
bekerja sebagai antagonis reseptor H2.
Mekanisme kerja
Mekanisme kerja dari cimetidine adalah menghalangi aksi histamin pada sel parietal lambung,
ARH2mampu mengurangi produksi asam lambungdan konsentrasi H+. Penurunan sekresi oleh sel
kelenjar lambung berlangsung simultan dengan penurunan volume cairan lambung.

Interaksi Obat
Beberapa mekanisme menjelaskan bagaimana cimetidine berinteraksi dengan obat lain.
Mekanisme yang mungkin meliputi:gangguan cimetidine laju eliminasi obat melalui
penghambatan sistem enzim mikrosomal heti,perubahan bioavailabilitas obat dan obat lain yang
tergantung pada ionisasisaat penyerapan, peningkatan potensi untuk myelo-supresidan penurunan
cimetidine-induced pada aliran darah hepar.
Semua jenis antagonis reseptor H-2 dapat mempengaruhiabsorbsi obat
lain karena efek peningkatanpH lambung, misalnya ketokonazol, etanol dan
bismut.Sebaliknya, adanya obat lain di dalam lambung jugadapat
mempengaruhi kerja antagonis reseptor H 2,misalnya magnesium hidroksida
dan aluminiumhidroksida yang dapat menurunkan bioviabilitassimetidin,
ranitidin dan famotidin sampai 30-40%. Olehkarena itu bila antagonis reseptor
H2 diberikan bersamadengan antasid, sebaiknya antasid diberikan minimal
2jam sebelum atau 2 jam sesudah pemberian antagonisreseptor H 2. Obat lain
yang dapat mempengaruhi kerjaARH 2 adalah propantelin (meningkatkan
absorbsi ARH2), metoklopramid (menurunkan absorbsi ARH 2), dan fenobarbital
(menurunkan absorbsi ARH2).
Efek cimetidine pada ketersediaan hayati dan farmakokinetik propranolol dan labetalol. Pada
penelitian didapatkan hasil konsentrasi propranolol dan labetalol dalam darah meningkat secara
signifikan bila dibandingkandengan kontrol.
Dalam hal kemoterapi, penggunaan bersamaan dari Cimetidine dan epirubicin dapat
meningkatkan area di bawah kurva (AUC) dari kedua senyawa induk dan metabolit utama secara
signifikan pada pasien dengan kanker payudara. Meskipun hal ini mengingatkan hati dalam
penggunaan klinis dari CIM untuk kankerpasien, ada juga potensi untuk manfaat terapeutik jika
efek ini sengaja dimanfaatkan untuk meningkatkan tingkat plasma atau memperkecil clearance
obat yang digunakan untuk tujuan anti-kanker, seperti benzimidazole anti-helminthic mebendazol
Efek Samping
Cimetidine memiliki toksisitas rendah, dengan efek samping yang paling umum yang sakit
kepala, pusing, diare, dan ruam. Efek samping yang langka termasuk gineecomastia, impotensi
reversibel (terutama dilaporkan pada pasien yang menerima dosis yang sangat tinggi, misalnya,
dalam pengobatan Zollinger-Ellison Sindrom) dan, sangat jarang, galaktorea. Jarang, cimetidine
juga telah dikaitkan dengan leukopenia reversibel dan trombositopenia, efek yang mungkin sangat
penting untuk diperhatikan pada pasien kanker yang mungkin menjalani kemoterapi.
Kontraindikasi

Cimetidine menyebabkan kontraindikasi selama kehamilan.

Dosis

Cimetidine oral tersedia dalam bentuk tablet dan sebagai suspensi cair; juga dapat digunakan
intravena. Tablet biasanya tersedia sebagai 200 mg, 400 mg, dan 800 dosis mg. Untuk pengobatan
ulkus lambung atau duodenum, dosis dewasa bervariasi antara 800 mg dan 1600 mg sehari, baik
sebagai dosis tunggal atau terbagi sepanjang hari, untuk jangka waktu 4 – 8 minggu. Untuk refluks
esofagitis, dosis 400 mg empat kali sehari, untuk jangka waktu 4 – 8 minggu. Cimetidine juga
digunakan untuk terapi pemeliharaan ulkus lambung dan sindrom usus pendek pada dosis harian
400 mg,dengan pengobatan jangka panjang yang meluas hingga lebih dari 10 tahun dalam
beberapa kasus.
Pada anak di atas usia satu, CIM oral dapat digunakan dengan dosis 25 – 30 mg/kg berat
badan per hari dalam dosis terbagi.Untuk anak di bawah usia satu, dosis 20 mg/kg berat badan per
hari dalam dosis terbagi.

Farmakokinetik

Bioavaibility cimetidine adalah 60 – 75%, dengan eliminasi t 1/2 sekitar 2 – 3 jam. Eliminasi
terutama melalui ginjal, dengan ekskresi obat tidak berubah antara 60% dan 40% tergantung pada
dosis dan rute administrasi. Konsentrasi plasma mencapai puncaknya sekitar satu jam jika
dikonsumsi tanpa makanan, atau setelah 2 jam dengan makanan. Ketika diambil tanpa makanan,
ada puncak kedua dalam konsentrasi plasma setelah sekitar 3 jam. Konsentrasi plasma puncak
hampir tidak terpengaruh oleh makanan, dengan nilai 1,18 μg/ml dan 1,09 μg/ml, masing-masing,
setelah dosis oral 200 mg. Konsentrasi plasma selama pengobatan terus menerus dengan 1,0 g/hari
berada di atas 1,0 μg/ml untuk 9 keluar dari 24 jam. Cimetidine adalah inhibitor sitokrom P450
untuk beberapa enzim (termasuk CYP1A2, CYP2D6, dan CYP3A, CYP3A3/A4, CYP2C9, dan
CYP2C18), yang mungkin memiliki dampak yang signifikan pada metabolisme berbagai obat.

5. Eksaserbasi Asma Akut


Eksaserbasi asma akut (acute severe asma, flare up) merupakan suatu keadaan klinis
dimana didapatkan adanya peningkatan gejala asma yang progresif, ditandai dengan sesak
napas, batuk, mengi atau rasa terikat di dada yang semakin berat disertai dengan adanya
penurunan fungsi paru yang juga bersifatprogresif. Pada asma eksaserbasi akut seringkali
pasien harus mengubah pengobatan yang biasa digunakan sebelumnya. Asma eksaserbasi
akut dapat terjadi pada pasien yang sebelumnya telah diketahui menderita asma atau
kadang-kadang dapat juga terjadi untuk pertama kalinya.
Eksaserbasi biasanya terjadi akibat adanya respons terhadap paparan dari luar
(misalnya infeksi saluran napas atas akibat virus, paparan dengan serbuk sari tanaman,
polusi) atau akibat ketidakteraturan dalam menggunakan obat pengontrol, dan pada
sebagian kecil pasien datang dengan gejala eksaserbasi akut tanpa adanya paparan dengan
faktor risiko yang jelas).Asma eksaserbasi akut dapat terjadi pada pada pasien asma yang
sebelumnya terkontrol baik.

Diagnosis

Pada pasien yang mengalami eksaserbasi akut akan didapatkan adanya perburukan
gejala klinis asma disertai dengan penurunan fungsi paru, ditandai dengan penurunan peak
expiratory flow (PEF) atau penurunan forced expiratory volume in 1 second (FEV1).
Dalam keadaan eksaserbasi pengukuran kedua parameter tersebut akan memberikan
petunjuk yang lebih baik mengenaiberatnya eksaserbasi dibandingkan dengan gejala klinis
saja. Namun demikian adanya peningkatan frekuensi gejala asma merupakan parameter
yang lebih sensitif untuk menentukan onset eksaserbasi dibandingkan dengan pengukuran
PEF.Sebagian kecil pasien mengalami penurunan fungsi paru yang signifikan tanpa
adanya perubahan dari gejala asmanya.Keadaan ini umumnya dialami oleh pasien dengan
riwayat serangan asma yang hampir fatal sebelumnya dan umumnya dialami oleh kaum
pria.Asma eksaserbasi akut berpotensi menyebabkan kegawatan dan dalam tatalaksananya
memerlukan pengkajian yang cermat dan pengawasan yang ketat.Pasien dengan
eksaserbasi asma yang berat disarankan untuk segera berobat ke fasilitas kesehatan
terdekat untuk mendapatkan pengobatan yang adekuat.

Penanganan

A. Pusat Layanan Primer


1. Pengkajian beratnya eksaserbsi asma
Anamnesis singkat dan terarah serta pemeriksaan fisis yang berkaitan harus
dilakukan secara bersamaan dengan pemberian terapi awal.Pasien dengan gejala
dan tanda serangan asma yang berat atau mengancam nyawa, pengobatan dengan
2- agonis kerja singkat, pemberian oksigen dan kortikosteroid sistemik harus
segera dimulai, sementara pasien dipersiapkan untuk dirujuk ke rumah sakit
dengan fasilitas kesehatan yang lebih lengkap. Sebaliknya pasien dengan
eksaserbasi yang ringan sampai sedang dapat ditangani di fasilitas kesehatan
primer yang memiliki peralatan dan tenaga medis yang memadai.
2. Melakukan anamsesis yang terarah
Anamnesis dilakukan untuk mengetahui hal-hal penting berikut yaitu:
 Menentukan onset dan penyebab dari eksaserbasi
 Menentukan beratnya serangan asma
 Ada tidaknya gejala anafilaksis. Ada tidaknya faktor risiko kematian yang
berkaitan dengan eksaserbasi asma
 Obat-obat pelega dan pengontrol yang digunakan
3. Pemeriksaan fisis
Saat melakukan pemeriksaan fisis harus dikaji hal-hal berikut :
 Tanda eksaserbasi akut yang berat :ada tidaknya penggunaan otot-otot
pernapasan tambahan, mengi dan kemampuan untuk mengucapkan suatu
kalimat .
 Ada tidaknya faktor pemberat (komplikasi) lain, misalnya reaksi
anafilaksis, pneumotoraks dan pneumonia.
 Kemungkinan adanya penyebab sesak yang lain misalnya gagal jantung,
emboli paru dan aspirasi benda asing.
4. Pengukuran parameter obyektif
Pengukuran parameter obyektif untuk menilai beratnya eksaserbasi asma
dilakukan dengan :
 Pengukuran pulse oximetry (saturasi O2 < 90 % memberikan petunjuk
perlunya terapi yang agresif).
 Peak Expiratory Flow pada pasien > 5 tahun.
5. Terapi medika mentosa
 Inhalasi beta2-agonis kerja singkat. Untuk eksaserbasi asma yang ringan
sampai sedang, inhalasi 2-agonis kerja singkat diberikan secara berulang-
ulang. Terapi inhalasi ini umumnya cukup efektif dan efisien untuk
mengatasi obstruksi saluran napas dengan cepat.
 Terapi Oksigen terkontrol. Terapi oksigen harus dititrasi dengan bantuan
pulse oximetry (bila tersedia) untuk mempertahankan saturasioksigen 93-
95%.
 Kortikosteroidsistemik. Kortikosteroid sistemik harus segera diberikan
khususnya bila didapatkan perburukan pasien atau bila pasien telah
meningkatkan dosis obat-obat pengontrol dan pelega sebelum timbulnya
perburukan gejala. Dosis yang dianjurkan pada orang dewasa adalah 1 mg
prednisolon/kgBB/hari atau ekuivalennya hingga maksimum 50 mg/hari.
Kortikosteroid oral harus diberikan selama 5-7 hari.
 Obat-obat pelega. Pasien yang sebelumnya telah menggunakan obatobat
pelega disarankan untuk menaikan dosisnya untuk selama 2-4 minggu
berikutnya. Jika pasien sebelumnya tidak menggunakan obat-obat
pengontrol, harus selalu disarankan untuk menggunakan terapi steroid
inhalasi secara teratur, karena pasien berisiko untuk mengalami eksaserbasi
kembali berikutnya.
 Antibiotik. Dari penelitian yang ada, tidak disarankan pemberian antibiotik
pada asma eksaserbasi akut bila tidak ada bukti adanya tanda-tanda infeksi.
Adanya infeksi pada asma eksaserbasi akut dapat diketahui dari adanya
demam, sputum purulen dan adanya infiltrat pada foto toraks akibat adanya
pneumonia.
B. Unit Emergensi
Tatalaksana asma eksaserbasi akut berat yang mengancam nyawa harus
dilakukan di unit emergensi.
1. Melakukan penilaian objektif
 Pengukuran fungsi paru. Pemeriksaan fungsi paru dianjurkan pada asma
eksaserbasi akut yang berat. Dilakukan pencatatan nilai PEF dan FEV1
sebelum pengobatan diberikan. Fungsi paru harus dievaluasi pada jam
pertama dan kemudian secara serial sampai didapatkan respons yang jelas
terhadap pengobatan yang diberikan atau sampai mencapai plateau.
 Saturasi oksigen. Saturasi oksigen harus dimonitor secara ketat dengan
menggunakan pulse oximetry. Saturasi oksigen < 90% memberi petunjuk
perlunya diberikan terapi yang agresif. Saturasi oksigen harus dinilai
sebelum diberikan oksigen atau 5 menit setelah oksigen dilepas atau jika
saturasi telah stabil.
 Analisis gas darah. Pemeriksan analisis gas darah tidak perlu dilakukan
secara rutin pada asma eksaserbasi akut. Pemeriksaan ini perlu
dipertimbangkan pada pasien eksaserbasi akut dengan nilai PEF atau
FEV1< 50% predicted, atau pada pasien yang tidak menunjukkan respons
dengan terapi awal yang diberikan dan bahkan mengalami perburukan.
 Foto toraks. Pemeriksaan foto toraks tidak disarankan untuk dilakukan
secara rutin. Pemeriksaan foto toraks perlu dilakukan bila diduga adanya
kemungkinan penyebab sesak yang lain khususnya pada orang tua,
misalnya adanya gagal jantung.
2. Terapi Asma Eksaserbasi akut di Unit Emergensi
 Oksigen. Oksigen harus diberikan baik dengan kanul binasal atau dengan
simple mask untuk mencapai saturasi oksigen 93-95%.
 Inhalasi beta2-agonis kerja singkat. Terapi inhalasi dengan beta2- agonis
kerja singkat harus sering diberikan pada pasien dengan asma eksaserbasi
akut. Cara pemberian inhalasi yang paling efisien dan efektif adalah dengan
menggunakan pMDI yang dilengkapi dengan spacer yang ukurannya sesuai.
 Epinefrin (Adrenalin). Pemberian epinefrin (adrenalin) diindikasikan
sebagai terapi tambahan pada terapi standar asma dan angioedema yang
terjadi akibat reaksi anafilaksis. Pemberian epinefrin tidak disarankan untuk
diberikan secara rutin pada eksaserbasi asma yang lain.
 Kortikosteroid sistemik. Kortikosteroid sistemik harus diberikan ada asma
eksaserbasi akut yang berat karena akan mempercepat penyembuhan dan
mencegah relaps.Pemberian kortikosteroid sistemik adalah penting terutama
pada keadaan berikut yaitu bila pemberian 2-agonis awal tidak
menunjukkan perbaikan. Kortikosteroid intravena diberikan pada keadaan
berikut yaitu pasien dengan sesak yang berat sehingga sulit untuk menelan,
pasien yang mengalami muntah-muntah, pasien yang memerlukan ventilasi
non-invasif dan pasien yang diintubasi. Dosis kortikosteroid yang diberikan
adalah yang setara dengan 50 mg prednisolon, diberikan dalam dosis
tunggal pagi hari, atau hidrokortison 200 mg dalam dosis terbagi diberikan
selama 5-7 hari. Deksametason oral dapat juga diberikan namun disarankan
tidak lebih dari 2 hari mengingat efek samping metabolik yang dapat
ditimbulkannya.
 Kortikosteroid inhalasi. Kortikosteroid inhalasi dosis tinggi yang
diberikan dalam 1 jam pertama sejak timbulnya gejala akan mengurangi
kemungkinan perlunya perawatan pada pasien yang tidak mendapatkan
kortikosteroid sistemik.
3. Terapi lain
 Ipratropium bromide. Pada asma eksaserbasi akut yang sedang sampai
berat, pemberian 2-agonis kerja singkat bersamaan dengan ipratropium
bromide inhalasi akanmeningkatkan perbaikan PEF dan FEV1 bila
dibandingkan dengan pemberian 2-agonis kerja singkat secara tersendiri.
 Aminofilin dan teofilin. Pemberian aminofilin dan teofilin dalam
tatalaksana asma eksaserbasi akut di unit emergensi tidak dianjurkan
mengingat efek samping dan profil keamanannya yang buruk, sementara itu
2-agonis kerja singkat efektifitasnya lebih baik dan lebih aman.
 Magnesium. Magnesium tidak disarankan untuk digunakan secara rutin,
namun pemberiannya perlu dipertimbangkan pada pasien dengan FEV1 <
25-30% predicted saat pemeriksaan awal dan pasien yang tidak
menunjukkan respons dengan terapi awal, disertai dengan hipoksia
persisten.
 Kombinasi kortikosteroid inhalasi dan beta2-agonis kerja panjang.
 Antibiotik. Pemberian antibiotik dalam tatalaksana asma eksaserbasi akut
hanya diindikasikan bila didapatkan adanya infeksi paru yang ditandai
dengan adanya demam, sputum purulen dan foto toraks yang sesuai dengan
pneumonia.
6. Hidrokortison

Hidrokortison adalah salah satu obat kortikosteroid yang berfungsi untuk meredakan
peradangan (inflamasi). Obat ini dapat digunakan sebagai untuk mengatasi alergi, kelainan
kulit, kolitis ulseratif, artritis, lupus, psoriasis, dan gangguan pernapasan.

Mekanisme kerja
Secara tidak langsung merelaksasikan airway dari paru-paru, sehingga mengurangi
hipereaktifitas dan mengurangi frekuensi asma.

Obat yang dapat berinteraksi jika digunakan bersama hydrocortisone, antara lain adalah:

 Thiazide; dapat meningkatkan efek hiperglikemia dan hipokalemia.


 Obat antiinflamasi nonsteroid; dapat meningkatkan risiko ulkus peptis dan
perdarahan saluran pencernaan.
 Antimuskarinik dan salisilat; dapat menurunkan serum plasma baik antimuskarinik
maupun salisilat.
 Carbamazepine, phenytoin, pirimidone, barbiturat, atau rifampicin; dapat
menurunkan kinerja hydrocortisone.
 Estrogen dan obat kontrasepsi oral; dapat meningkatkan efek dari hydrocortisone.
 Ciclosporin dan kortikosteroid; dapat saling menghambat dan meningkatkan
kosentrasi plasma.

Kontraindikasi

Penggunaan bentuk sediaan enema atau foam pada obstruksi usus, perforasi usus
besar dan fistula yang ekstensif; dikontraindikasikan pada infeksi yang tidak diobati.

Efek samping

Pasien trombositopenia akan menyebabkan hipokalaemia dan atau hipomagnesemia.

Dosis

Hidrokortison dapat diberikan secara IV dengan injeksi atau infus, dalam bentuk yang
larut dalam air seperti hidrokortison natrium suksinat atau hidrokortison natrium fosfat
jika diperlukan dalam keadaan darurat seperti asma berat akut. dosis biasa setara dengan
100 hingga 500 mg hidrokortison, Diulang 3 atau 4 kali dalam 24 jam, sesuai untuk
keparahan kondisi dan respons pasien. Anak-anak hingga usia 1 tahun dapat diberikan 25
mg, mereka yang berusia 1 hingga 5 tahun 50 mg, dan mereka yang berusia lanjut 6
hingga 12 tahun 100 mg. Pemberian IM dosisnya sama namun efeknya berkurang. Untuk
injeksi lokal hidrokortison biasanya digunakan dalam bentuk natrium fosfat ester atau
natrium suksinat ester; dosis hidrokortison biasanya 100 hingga 200 mg. Untuk injeksi
intra-artikular, hidrokortison asetat biasanya digunakan dalam dosis 5 sampai 50 mg
tergantung ukuran sendi.
Farmakokinetik

Hidrokortison mudah diserap dari saluran pencernaan, konsentrasi saluran dan puncak
darah tercapai dalam waktu sekitar satu jam. Waktu paruh plasma sekitar 100 menit. Ini
lebih dari 90% terikat dengan protein plasma. Setelah injeksi intramuskular, penyerapan
dari natrium fosfat dan natrium yang larut dalam air ester suksinat cepat, sementara
penyerapan alkohol bebas hidrokortison dan ester yang larut dalam lemak lebih lambat.
Penyerapan hidrokortison asetat setelahnya injeksi intra-artikular atau jaringan lunak juga
lambat. Hidrokortison dimetabolisme di hati dan sebagian besar jaringan tubuh menjadi
terhidrogenasi dan terdegradasi sebagai tetrahydrocortisone dan tetrahydrocortisol. Ini
diekskresikan dalam urin, terutama terkonjugasi sebagai glukuronida, dengan proporsi
yang sangat kecil tidak berubah hidrokortison. Hidrokortison mudah melintasi plasenta.
ANALISIS DAN KESIMPULAN

1. Tekanan darah 90/160 mmHg


 Pak Totok adalah pasien hipertensi
2. Riwayat keluarga pengidap asma
 Pak Totok memiliki keturunan penyakit asma ditambah dengan pola hidup yang
perokok berat
3. Memiliki penyakit ulkus peptikum kronik, karena suatu penyebab penyakit tukak lambung
kambuh, diberikan pengobatan Cimetidine 300mg 3 kali sehari selama 2 minggu
 Obat kurang sesuai dengan diagnosa yang cukup berat. Seharusnya diberikan obat yang
lebih kuat. Lama pemberian seharusnya 4 minggu (28 hari) karena Cimetidine 300 mg
minimal lama terapi pemberian 4-6 minggu untuk pengobatan peptic ulcer.
4. Pak Totok didiagnosa mengalami eksaserbasi asma akut dan diberikan drip (infus)
Hidrocortison dosis 200 mg selama 4 jam
 Saat eksaserbasi akut harus dilarikan ke Rumah Sakit dengan pemberian terapi oksigen
nasal dan salbutamol atau terbutalin secara nebulisasi dan diikuti kortikosteroid dosis
tinggi untuk dewasa seperti Prednisolon peroral 30-60 mg atau hidrokortison injeksi
intravena 200 mg (Sebagai Na Suksinat.
 Pemberian injeksi hidrocortison saja kurang tepat untuk kasus ulkus peptikum yang
diderita Pak Totok, perlu ditambahkan obat anti bronchospasme contohnya ventolin
melalui inhalasi.
 Untuk injeksi melalui infus lebih baik diberikan injeksi aminophilin yang lebih cocok
untuk pasien hipertensi dengan asma.
 Hidrocortison memperberat usus dan hipertensi juga kurang tepat untuk kasus dengan
hipertensi dan ulkus peptikum walaupun tidak seberat golongan dexamethasone.
Simpulan

Berdasarkan analisis yang telah dilakukan terapi penggunaan obat drip (infus) Hidrocortison
200 mg selama 4 jam yang diberikan pada Pak Totok yang mengalami eksaserbasi asma akut
dengan riwayat Hipertensi dan penyakit ulkus peptikum kronik diperbolehkan.

SOLUSI

Pada kasus ini pasien mempunyai riwayat asma karena riwayat keturunan dan
merupakan perokok berat sehingga menyebabkan asma semakin berat dan pasien juga
menderita peptic ulser dan mendapatkan obat cimetidine 300 mg dengan cara pemakaian 3x1
selama 2 pekan sehingga obat kurang cukup sesuai dengan kondisi pasien yang cukup berat
dan seharusnya lama pemberian obat seharusnya 4 minggu karena dosis cimetidine yang
sesuai yaitu cimetidine 300 mg minimal lama pemberian 4-6 minggu untuk pengobatan
peptic ulcer.

Alternatif terapi lain yang dipilih adalah pemberian obat untuk terapi ganda untuk
penyakit asma yaitu obat golongan beta 2 agonis dengan onset cepat atau durasi lama kerja
singkat yaitu obat salbutamol untuk sediaan inhalasi untuk dosis dewasa yaitu 100-200 mcg
(1-2 hirupan). Untuk 3-4 kali sehari. Dan prinsip kerja dari beta 2 agonis adalah relaksasi otot
polos jalan napas dengan menstimulasi reseptor beta 2 adrenergik dengan meningkatkan C-
AMP dan menghasilkan antagonis fungsional terhadap bronkokontriksi. Dipilih sediaan
inhalasi dikarenakan onset cepat dan praktis untuk dibawah jika tiba-tiba pasien mengalami
serangan asma dan memiliki efek samping lebih sedikit.

Saran non farmakologis yaitu pasien disarankan untuk memperbaiki pola hidup dengan
menghimbau untuk tidak merokok atau memberikan edukasi. Karena pasien sudah memiliki
riwayat atau keturunan asma jika kebiasaanya merokok dapat memicu serangan asma
sehingga bias memperparah asma menjadi akut, dan menjaga pola makan dengan teratur,
makan-makanan sehat memilih makan yang tidak memperparah penyakit ulkus peptikum
yang diderita pasien atau yang mengiritasi lambung. Dan disarankan untuk tidak beraktivitas
berat yang dapat memicu timbulnya asma.
DAFTAR PUSTAKA
Aziz,Noval.2002. Peran Antagonis Reseptor H-2 Dalam Pengobatan UlkusPeptikum, Vol 3
No 4. Medan: Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara.

Chestnut MS, Prendergast TJ. Obstructive lung diseases : Asthma and Chronic Obstructive
Pulmonary Diseases (COPD). In : Hammer GD, McPhee SJ, editors. Pathophysiology of
Disease.An Introduction to Clinical Medicine.Toronto : Mc Graw Hill Education;
2014.p.228-32.

Departemen Kesehatan RI. 2007. Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Asma.


Global strategy for asthma management and prevention.Management of worsening asthma
and exacerbations.Global initiative for asthma, 2016; 72-85.

http://pionas.pom.go.id/ioni/bab-1-sistem-saluran-cerna-0/13-antitukak/131-
antagonis-reseptor-h2

http://pionas.pom.go.id/ioni/bab-3-sistem-saluran-napas-0/31-antiasma-dan-bronkodilator

http://pionas.pom.go.id/monografi/hidrokortison.diakses 8 maret 2020. Surabaya-Indonesia.

Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1023 Tahun 2008 Tentang Pedoman Pengendalian
Asma.
Nurhadjah, Siti. PatofisiologiUlkusPeptikum. Sub BagianGastroenterologi-
Hepatologi. FK UGM/RSUP Dr. Sardiito, Yogyakarta : 154-155

Pantziarka,Pan et al. 2014. Repurposing drugs in oncology (ReDO)—cimetidine as an anti-


cancer agent. Ecancermedicalscience.
Rajaram SS. Life-threatening Asthma. In: Parillo JE, Dellinger RP, editors. Critical Care
Medicine.Principle of Diagnosis and Management in Adult. Philadelphia: ELSEVIER
saunders; 2015.p.645-654.

Sorkin,Eugene M and Darvey,Diane L. 1983. Review of Cimetidine Drug Interaction vol 17.
Drug Intelligence and Clinical Pharmacy.
Sweetman, Sean C, et al. 2009. Martindale 36th ed. Page 1535. London-Chicago:
Pharmaceuticals Press.

Usmani OS, Barnes PJ.Asthma : Clinical Presentation and Management. In: Elias JK,
Fishman JA, Kotloff RM, Pack AL, Senior RM, editors. Fishmans Pulmonary Diseases
and Disorders. Toronto: McGraw Hill Education; 2015.p.712-3.

Yudhawati, Resti dan Krisdanti, Desak P.A. 2017. Imunopatogenesis Asma. Jurnal Respirasi
Volume 3 No 1

Anda mungkin juga menyukai