Disusun oleh :
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS AIRLANGGA
2019
PERMASALAHAN
Pak Totok, perokok berat, umur 50 tahun, berat badan 60 kg, TD : 90/160 mmHg,
mempunyai riwayat keluarga pengidap asma. Pak totok mempunyai penyakit ulkus peptikum
kronik. Karena sesuatu penyebab, penyakit tukak lambungnya kambuh, pak Totok mendapat
pengobatan obat anti ulser, tablet cimetidine 300 mg 3 kali sehari selama 2 minggu. Karena
sesuatu hal, pak Totok tiba-tiba mengalami sesak nafas akut, disertai batuk-batuk berlendir,
dan nafas bunyi. Pak totok terpaksa dibawa ke rumah sakit, dan pak Totok didiagnosa
mengalami eksaserbasi asma akut. Di Rumah sakit, pak Totok diberikan drip (infus)
Hidrocortison dengan dosis 200 mg selama 4 jam. Apa saudara setuju? Bila tidak, apa
alasannya?
PEMBAHASAN
1. Asma
Asma merupakan penyakit inflamasi kronis saluran napas dimana banyak sel yang
berperan terutama sel mast, eosinofil, limfosit T, makrofag, neutrofil dan sel epitel.
Individu yang rentan, proses inflamasi tersebut menyebabkan wheezing berulang, sesak
napas, dada rasa tertekan dan batuk terutama malam hari dan atau menjelang pagi. Episode
ini bervariasi dan sering reversibel, baik spontan maupun dengan pengobatan. Hambatan
aliran udara pada asma disebabkan oleh berbagai perubahan dalam saluran napas yaitu
bronkokontriksi, edema saluran napas, hiperresponsif saluran napas dan airway
remodeling.
Penyebab pasti dari penyakit asma belum diketahui. Para peneliti berpikir beberapa
interaksi faktor genetik dan lingkungan bisa menyebabkan asma, paling sering terjadi pada
awal kehidupan. Faktor-faktor yang mempengaruhi diantaranya adalah:
1. Kecenderungan untuk mengembangkan alergi, yang disebut atopi (AT-o-pe)
2. Orangtua yang memiliki asma
3. Infeksi saluran pernapasan tertentu selama masa kanak-kanak (ISPA)
4. Kontak dengan beberapa alergen udara atau paparan ke beberapa infeksi virus pada
masa bayi atau pada anak-anak usia dini ketika sistem kekebalan tubuh berkembang.
Sedangkan untuk faktor-faktor pencetus/pemicu timbulnya asma diantaranya adalah
bulu binatang, asap rokok, asap rumah tangga, debu, bau-bau yang menusuk, obat semprot
pembunuh serangga, polen bunga, perubahan cuaca, kelelahan, psikologis/stress, sakit flu,
makanan atau minuman tertentu, dan juga obat-obatan tertentu. Dalam hal ini tiap individu
memiliki faktor pemicu asma yang tidak selalu sama atau berbeda.
Klasifikasi
Asma dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologi, berat penyakit dan pola
keterbatasan aliran udara. Klasifikasi asma berdasarkan berat penyakit penting bagi
pengobatan dan perencanaan penatalaksanaan jangka panjang, semakin berat asma
semakin tinggi tingkat pengobatan. Kemudian asma diklasifikasikan menjadi asma saat
tanpa serangan dan asma saat serangan (akut).
1. Asma saat tanpa serangan
Klasifikasi derajat asma berdasarkan gambaran klinis secara umum pada orang
dewasa.
Derajat Asma Gejala Fungsi Paru
I. Intermiten Siang hari < 2 kali per minggu Variabilitas APE < 20%
Malam hari < 2 kali per bulan VEP1 > 80% nilai prediksi
Serangan singkat, Tidak ada gejala APE > 80% nilai terbaik
antar serangan, Intensitas serangan
bervariasi
II. Persisten Siang hari > 2 kali per minggu, Variabilitas APE 20 - 30%
Ringan tetapi < 1 kali per hari VEP1 > 80% nilai prediksi
Malam hari > 2 kali per bulan APE > 80% nilai terbaik
Serangan dapat mempengaruhi
aktifitas
III. Persisten Siang hari ada gejala Variabilitas APE > 30%
Sedang Malam hari > 1 kali per minggu VEP1 60-80% nilai
Serangan mempengaruhi aktifitas prediksi
3. Antikolinergik
a. Ipratropium Bromida
Ipratropium untuk inhalasi oral adalah suatu antikolinergik (parasimpatolitik)
yang akan menghambat refleks vagal dengan cara mengantagonis kerja
asetilkolin. Bronkodilasi yang dihasilkan bersifat lokal, pada tempat tertentu dan
tidak bersifat sistemik. Ipratropium bromida (semprot hidung) mempunyai sifat
antisekresi dan penggunaan lokal dapat menghambat sekresi kelenjar serosa dan
seromukus mukosa hidung.
b. Tiotropium Bromida
Tiotropium adalah obat muskarinik kerja diperlama yang biasanya digunakan
sebagai antikolinergik. Pada saluran pernapasan, tiotropium menunjukkan efek
farmakologi dengan cara menghambat reseptor M3 pada otot polos sehingga
terjadi bronkodilasi. Bronkodilasi yang timbul setelah inhalasi tiotropium bersifat
sangat spesifik pada lokasi tertentu.
c. Kromolin Sodium dan Nedokromil
1) Kromolin Sodium
Kromolin merupakan obat antiinflamasi. Kromolin tidak mempunyai
aktifitas intrinsik bronkodilator, antikolinergik, vasokonstriktor atau aktivitas
glukokortikoid. Obat-obat ini menghambat pelepasan mediator, histamin dan
SRS-A (Slow Reacting Substance Anaphylaxis, leukotrien) dari sel mast.
Kromolin bekerja lokal pada paru-paru tempat obat diberikan.
2) Nedokromil
Nedokromil merupakan anti-inflamasi inhalasi untuk pencegahan asma.
Obat ini akan menghambat aktivasi secara in vitro dan pembebasan mediator
dari berbagai tipe sel berhubungan dengan asma termasuk eosinofil, neutrofil,
makrofag, sel mast, monosit dan platelet. Nedokromil menghambat
perkembangan respon bronko konstriksi baik awal dan maupun lanjut terhadap
antigen terinhalasi.
3) Kortikosteroid
Obat-obat ini merupakan steroid adrenokortikal steroid sintetik dengan
cara kerja dan efek yang sama dengan glukokortikoid. Glukokortikoid dapat
menurunkan jumlah dan aktivitas dari sel yang terinflamasi dan meningkatkan
efek obat beta adrenergik dengan memproduksi AMP siklik, inhibisi
mekanisme bronkokonstriktor, atau merelaksasi otot polos secara langsung.
Penggunaan inhaler akan menghasilkan efek lokal steroid secara efektif
dengan efek sistemik minimal.
Contoh : Dexamethason, Metil Prednisolon, Prednison, Triamsinolon,
Beklometason, Budesonid, Flutikason, Flunisolid, Mometason.
4) Antagonis Reseptor Leukotrien
Zafirlukast
Zafirlukast adalah antagonis reseptor leukotrien D4 dan E4 yang
selektif dan kompetitif, komponen anafilaksis reaksi lambat (SRSA - slow-
reacting substances of anaphylaxis). Produksi leukotrien dan okupasi
reseptor berhubungan dengan edema saluran pernapasan, konstriksi otot
polos dan perubahan aktifitas selular yang berhubungan dengan proses
inflamasi, yang menimbulkan tanda dan gejala asma.
Montelukast Sodium
Montelukast adalah antagonis reseptor leukotrien selektif dan aktif
pada penggunaan oral, yang menghambat reseptor leukotrien sisteinil
(CysLT1). Leukotrien adalah produk metabolisme asam arakhidonat dan
dilepaskan dari sel mast dan eosinofil. Produksi leukotrien dan okupasi
reseptor berhubungan dengan edema saluran pernapasan, konstriksi otot
polos dan perubahan aktifitas selular yang berhubungan dengan proses
inflamasi, yang menimbulkan tanda dan gejala asma.
Zilueton
Zilueton adalah inhibitor spesifik 5-lipoksigenase dan selanjutnya
menghambat pembentukan (LTB1, LTC1, LTD1, LTE1).
5) Obat-obat penunjang
Ketotifen Fumarat
Ketotifen adalah suatu antihistamin yang mengantagonis secara
nonkompetitif dan relatif selektif reseptor H1, menstabilkan sel mast dan
menghambat pelepasan mediator dari sel-sel yang berkaitan dengan reaksi
hipersensitivitas.
N-Asetilsistein
Aksi mukolitik asetilsistein berhubungan dengan kelompok sulfhidril
pada molekul, yang bekerja langsung untuk memecahkan ikatan disulfida
antara ikatan molekular mukoprotein, menghasilkan depolimerisasi dan
menurunkan viskositas mukus. Aktivitasmukolitik pada asetilsistein
meningkat seiring dengan peningkatan pH.
Mekanisme asma
(Kepmenkes RI No. 1023 Tahun 2008 Tentang Pedoman Pengendalian Penyakit Asma)
2. Ulkus Peptikum
Ulkus peptikum (Tukak peptik) adalah salah satu penyakit saluran cerna bagian atas
yang kronis. Ulkus peptikum mengacu pada ulkus gaster dan duodenal yang disebabkan
oleh asam peptik. Ulkus peptikum adalah kecacatan pada mukosa gastrointestinal yang
disebabkan karena sel epitel terkena pengaruh asam dan pepsin yang melebihi kemampuan
mukosa melawan efek tersebut.
Umumnya yang berperan besar terjadinya ulkus peptikum adalah H. Pylori yang
merupakan organisme yang menghasilkan urase dan berkoloni pada mukosa lambung.
Selain karen faktor H. Pylori terdapat penyebab lain :
1. Sering terjadi pada individu yang sekresi asamnya berlebihan
2. Pengaruh genetika
3. Kebiasaan merokok
4. Kebiasaan diet, makan yang tidak teratur
5. Stres
6. Efek obat antiinflamasi non steroid
1. Famotidin
2. Famotidin – antasida
3. Nizatidin
4. Ranitidin Bismuth sitrat
5. Simetidin
3. Hipertensi
4. Cimetidine
Efek farmakologi
Cimetidine adalah histamin H2-reseptor antagonis, di kelas yang sama seperti ranitidine,
famotidine, dan nizatidine. Cimetidine merupakan obat pertama yang dikembangkan sebagai
pengobatan untuk dispepsin. Selain dispepsin, juga digunakan secara klinis untuk pengobatan
ulkus peptikum dan untuk Gastroesophageal Refluks Disease (GERD).
Tujuan utama pengobatan ulkus peptikum untuk mengurangi rasa sakit, penyembuhan ulkus
dan mencegah terjadinya residif dan komplikasi. ARH 2 menurunkan volume cairan lambung dan
konsentrasi H+. ARH2 dapat menurunkan sekresi asam lambung basal (puasa), nokturnal, dan post-
prandial atau yang distimulasi oleh insulin. Penghambatan sekresi asam lambung nokturnal
merupakan faktor penting pada penyembuhan ulkus peptikum, sehingga penggunaan satu dosis
pada malam hari menjelang tidur sangat bermanfaat.
Cimetidine merupakan obat lokal untuk saluran cerna (GI Track) terutama untuk mengobati
penyakit tukak peptic. Cara kerjanya ditujukan untuk antisekresi asam lambung. Cimetidine
bekerja sebagai antagonis reseptor H2.
Mekanisme kerja
Mekanisme kerja dari cimetidine adalah menghalangi aksi histamin pada sel parietal lambung,
ARH2mampu mengurangi produksi asam lambungdan konsentrasi H+. Penurunan sekresi oleh sel
kelenjar lambung berlangsung simultan dengan penurunan volume cairan lambung.
Interaksi Obat
Beberapa mekanisme menjelaskan bagaimana cimetidine berinteraksi dengan obat lain.
Mekanisme yang mungkin meliputi:gangguan cimetidine laju eliminasi obat melalui
penghambatan sistem enzim mikrosomal heti,perubahan bioavailabilitas obat dan obat lain yang
tergantung pada ionisasisaat penyerapan, peningkatan potensi untuk myelo-supresidan penurunan
cimetidine-induced pada aliran darah hepar.
Semua jenis antagonis reseptor H-2 dapat mempengaruhiabsorbsi obat
lain karena efek peningkatanpH lambung, misalnya ketokonazol, etanol dan
bismut.Sebaliknya, adanya obat lain di dalam lambung jugadapat
mempengaruhi kerja antagonis reseptor H 2,misalnya magnesium hidroksida
dan aluminiumhidroksida yang dapat menurunkan bioviabilitassimetidin,
ranitidin dan famotidin sampai 30-40%. Olehkarena itu bila antagonis reseptor
H2 diberikan bersamadengan antasid, sebaiknya antasid diberikan minimal
2jam sebelum atau 2 jam sesudah pemberian antagonisreseptor H 2. Obat lain
yang dapat mempengaruhi kerjaARH 2 adalah propantelin (meningkatkan
absorbsi ARH2), metoklopramid (menurunkan absorbsi ARH 2), dan fenobarbital
(menurunkan absorbsi ARH2).
Efek cimetidine pada ketersediaan hayati dan farmakokinetik propranolol dan labetalol. Pada
penelitian didapatkan hasil konsentrasi propranolol dan labetalol dalam darah meningkat secara
signifikan bila dibandingkandengan kontrol.
Dalam hal kemoterapi, penggunaan bersamaan dari Cimetidine dan epirubicin dapat
meningkatkan area di bawah kurva (AUC) dari kedua senyawa induk dan metabolit utama secara
signifikan pada pasien dengan kanker payudara. Meskipun hal ini mengingatkan hati dalam
penggunaan klinis dari CIM untuk kankerpasien, ada juga potensi untuk manfaat terapeutik jika
efek ini sengaja dimanfaatkan untuk meningkatkan tingkat plasma atau memperkecil clearance
obat yang digunakan untuk tujuan anti-kanker, seperti benzimidazole anti-helminthic mebendazol
Efek Samping
Cimetidine memiliki toksisitas rendah, dengan efek samping yang paling umum yang sakit
kepala, pusing, diare, dan ruam. Efek samping yang langka termasuk gineecomastia, impotensi
reversibel (terutama dilaporkan pada pasien yang menerima dosis yang sangat tinggi, misalnya,
dalam pengobatan Zollinger-Ellison Sindrom) dan, sangat jarang, galaktorea. Jarang, cimetidine
juga telah dikaitkan dengan leukopenia reversibel dan trombositopenia, efek yang mungkin sangat
penting untuk diperhatikan pada pasien kanker yang mungkin menjalani kemoterapi.
Kontraindikasi
Dosis
Cimetidine oral tersedia dalam bentuk tablet dan sebagai suspensi cair; juga dapat digunakan
intravena. Tablet biasanya tersedia sebagai 200 mg, 400 mg, dan 800 dosis mg. Untuk pengobatan
ulkus lambung atau duodenum, dosis dewasa bervariasi antara 800 mg dan 1600 mg sehari, baik
sebagai dosis tunggal atau terbagi sepanjang hari, untuk jangka waktu 4 – 8 minggu. Untuk refluks
esofagitis, dosis 400 mg empat kali sehari, untuk jangka waktu 4 – 8 minggu. Cimetidine juga
digunakan untuk terapi pemeliharaan ulkus lambung dan sindrom usus pendek pada dosis harian
400 mg,dengan pengobatan jangka panjang yang meluas hingga lebih dari 10 tahun dalam
beberapa kasus.
Pada anak di atas usia satu, CIM oral dapat digunakan dengan dosis 25 – 30 mg/kg berat
badan per hari dalam dosis terbagi.Untuk anak di bawah usia satu, dosis 20 mg/kg berat badan per
hari dalam dosis terbagi.
Farmakokinetik
Bioavaibility cimetidine adalah 60 – 75%, dengan eliminasi t 1/2 sekitar 2 – 3 jam. Eliminasi
terutama melalui ginjal, dengan ekskresi obat tidak berubah antara 60% dan 40% tergantung pada
dosis dan rute administrasi. Konsentrasi plasma mencapai puncaknya sekitar satu jam jika
dikonsumsi tanpa makanan, atau setelah 2 jam dengan makanan. Ketika diambil tanpa makanan,
ada puncak kedua dalam konsentrasi plasma setelah sekitar 3 jam. Konsentrasi plasma puncak
hampir tidak terpengaruh oleh makanan, dengan nilai 1,18 μg/ml dan 1,09 μg/ml, masing-masing,
setelah dosis oral 200 mg. Konsentrasi plasma selama pengobatan terus menerus dengan 1,0 g/hari
berada di atas 1,0 μg/ml untuk 9 keluar dari 24 jam. Cimetidine adalah inhibitor sitokrom P450
untuk beberapa enzim (termasuk CYP1A2, CYP2D6, dan CYP3A, CYP3A3/A4, CYP2C9, dan
CYP2C18), yang mungkin memiliki dampak yang signifikan pada metabolisme berbagai obat.
Diagnosis
Pada pasien yang mengalami eksaserbasi akut akan didapatkan adanya perburukan
gejala klinis asma disertai dengan penurunan fungsi paru, ditandai dengan penurunan peak
expiratory flow (PEF) atau penurunan forced expiratory volume in 1 second (FEV1).
Dalam keadaan eksaserbasi pengukuran kedua parameter tersebut akan memberikan
petunjuk yang lebih baik mengenaiberatnya eksaserbasi dibandingkan dengan gejala klinis
saja. Namun demikian adanya peningkatan frekuensi gejala asma merupakan parameter
yang lebih sensitif untuk menentukan onset eksaserbasi dibandingkan dengan pengukuran
PEF.Sebagian kecil pasien mengalami penurunan fungsi paru yang signifikan tanpa
adanya perubahan dari gejala asmanya.Keadaan ini umumnya dialami oleh pasien dengan
riwayat serangan asma yang hampir fatal sebelumnya dan umumnya dialami oleh kaum
pria.Asma eksaserbasi akut berpotensi menyebabkan kegawatan dan dalam tatalaksananya
memerlukan pengkajian yang cermat dan pengawasan yang ketat.Pasien dengan
eksaserbasi asma yang berat disarankan untuk segera berobat ke fasilitas kesehatan
terdekat untuk mendapatkan pengobatan yang adekuat.
Penanganan
Hidrokortison adalah salah satu obat kortikosteroid yang berfungsi untuk meredakan
peradangan (inflamasi). Obat ini dapat digunakan sebagai untuk mengatasi alergi, kelainan
kulit, kolitis ulseratif, artritis, lupus, psoriasis, dan gangguan pernapasan.
Mekanisme kerja
Secara tidak langsung merelaksasikan airway dari paru-paru, sehingga mengurangi
hipereaktifitas dan mengurangi frekuensi asma.
Obat yang dapat berinteraksi jika digunakan bersama hydrocortisone, antara lain adalah:
Kontraindikasi
Penggunaan bentuk sediaan enema atau foam pada obstruksi usus, perforasi usus
besar dan fistula yang ekstensif; dikontraindikasikan pada infeksi yang tidak diobati.
Efek samping
Dosis
Hidrokortison dapat diberikan secara IV dengan injeksi atau infus, dalam bentuk yang
larut dalam air seperti hidrokortison natrium suksinat atau hidrokortison natrium fosfat
jika diperlukan dalam keadaan darurat seperti asma berat akut. dosis biasa setara dengan
100 hingga 500 mg hidrokortison, Diulang 3 atau 4 kali dalam 24 jam, sesuai untuk
keparahan kondisi dan respons pasien. Anak-anak hingga usia 1 tahun dapat diberikan 25
mg, mereka yang berusia 1 hingga 5 tahun 50 mg, dan mereka yang berusia lanjut 6
hingga 12 tahun 100 mg. Pemberian IM dosisnya sama namun efeknya berkurang. Untuk
injeksi lokal hidrokortison biasanya digunakan dalam bentuk natrium fosfat ester atau
natrium suksinat ester; dosis hidrokortison biasanya 100 hingga 200 mg. Untuk injeksi
intra-artikular, hidrokortison asetat biasanya digunakan dalam dosis 5 sampai 50 mg
tergantung ukuran sendi.
Farmakokinetik
Hidrokortison mudah diserap dari saluran pencernaan, konsentrasi saluran dan puncak
darah tercapai dalam waktu sekitar satu jam. Waktu paruh plasma sekitar 100 menit. Ini
lebih dari 90% terikat dengan protein plasma. Setelah injeksi intramuskular, penyerapan
dari natrium fosfat dan natrium yang larut dalam air ester suksinat cepat, sementara
penyerapan alkohol bebas hidrokortison dan ester yang larut dalam lemak lebih lambat.
Penyerapan hidrokortison asetat setelahnya injeksi intra-artikular atau jaringan lunak juga
lambat. Hidrokortison dimetabolisme di hati dan sebagian besar jaringan tubuh menjadi
terhidrogenasi dan terdegradasi sebagai tetrahydrocortisone dan tetrahydrocortisol. Ini
diekskresikan dalam urin, terutama terkonjugasi sebagai glukuronida, dengan proporsi
yang sangat kecil tidak berubah hidrokortison. Hidrokortison mudah melintasi plasenta.
ANALISIS DAN KESIMPULAN
Berdasarkan analisis yang telah dilakukan terapi penggunaan obat drip (infus) Hidrocortison
200 mg selama 4 jam yang diberikan pada Pak Totok yang mengalami eksaserbasi asma akut
dengan riwayat Hipertensi dan penyakit ulkus peptikum kronik diperbolehkan.
SOLUSI
Pada kasus ini pasien mempunyai riwayat asma karena riwayat keturunan dan
merupakan perokok berat sehingga menyebabkan asma semakin berat dan pasien juga
menderita peptic ulser dan mendapatkan obat cimetidine 300 mg dengan cara pemakaian 3x1
selama 2 pekan sehingga obat kurang cukup sesuai dengan kondisi pasien yang cukup berat
dan seharusnya lama pemberian obat seharusnya 4 minggu karena dosis cimetidine yang
sesuai yaitu cimetidine 300 mg minimal lama pemberian 4-6 minggu untuk pengobatan
peptic ulcer.
Alternatif terapi lain yang dipilih adalah pemberian obat untuk terapi ganda untuk
penyakit asma yaitu obat golongan beta 2 agonis dengan onset cepat atau durasi lama kerja
singkat yaitu obat salbutamol untuk sediaan inhalasi untuk dosis dewasa yaitu 100-200 mcg
(1-2 hirupan). Untuk 3-4 kali sehari. Dan prinsip kerja dari beta 2 agonis adalah relaksasi otot
polos jalan napas dengan menstimulasi reseptor beta 2 adrenergik dengan meningkatkan C-
AMP dan menghasilkan antagonis fungsional terhadap bronkokontriksi. Dipilih sediaan
inhalasi dikarenakan onset cepat dan praktis untuk dibawah jika tiba-tiba pasien mengalami
serangan asma dan memiliki efek samping lebih sedikit.
Saran non farmakologis yaitu pasien disarankan untuk memperbaiki pola hidup dengan
menghimbau untuk tidak merokok atau memberikan edukasi. Karena pasien sudah memiliki
riwayat atau keturunan asma jika kebiasaanya merokok dapat memicu serangan asma
sehingga bias memperparah asma menjadi akut, dan menjaga pola makan dengan teratur,
makan-makanan sehat memilih makan yang tidak memperparah penyakit ulkus peptikum
yang diderita pasien atau yang mengiritasi lambung. Dan disarankan untuk tidak beraktivitas
berat yang dapat memicu timbulnya asma.
DAFTAR PUSTAKA
Aziz,Noval.2002. Peran Antagonis Reseptor H-2 Dalam Pengobatan UlkusPeptikum, Vol 3
No 4. Medan: Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara.
Chestnut MS, Prendergast TJ. Obstructive lung diseases : Asthma and Chronic Obstructive
Pulmonary Diseases (COPD). In : Hammer GD, McPhee SJ, editors. Pathophysiology of
Disease.An Introduction to Clinical Medicine.Toronto : Mc Graw Hill Education;
2014.p.228-32.
http://pionas.pom.go.id/ioni/bab-1-sistem-saluran-cerna-0/13-antitukak/131-
antagonis-reseptor-h2
http://pionas.pom.go.id/ioni/bab-3-sistem-saluran-napas-0/31-antiasma-dan-bronkodilator
Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1023 Tahun 2008 Tentang Pedoman Pengendalian
Asma.
Nurhadjah, Siti. PatofisiologiUlkusPeptikum. Sub BagianGastroenterologi-
Hepatologi. FK UGM/RSUP Dr. Sardiito, Yogyakarta : 154-155
Sorkin,Eugene M and Darvey,Diane L. 1983. Review of Cimetidine Drug Interaction vol 17.
Drug Intelligence and Clinical Pharmacy.
Sweetman, Sean C, et al. 2009. Martindale 36th ed. Page 1535. London-Chicago:
Pharmaceuticals Press.
Usmani OS, Barnes PJ.Asthma : Clinical Presentation and Management. In: Elias JK,
Fishman JA, Kotloff RM, Pack AL, Senior RM, editors. Fishmans Pulmonary Diseases
and Disorders. Toronto: McGraw Hill Education; 2015.p.712-3.
Yudhawati, Resti dan Krisdanti, Desak P.A. 2017. Imunopatogenesis Asma. Jurnal Respirasi
Volume 3 No 1