Anda di halaman 1dari 9

1.

Klasifikasi Asma Jawab: Asma dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologi, derajat berat ringannya dan gambaran dari obstruksi saluran nafas. Yang terpenting adalah berdasarkan derajat berat ringannya serangan, karena berhubungan secara langsung dengan pengobatan yang akan diberikan.

A .

Ditinjau dari segi Imunologi, asma dibedakan menjadi : 1. Asma Ekstrinsik, yang dibagi menjadi : 1.1. Asma Ekstrinsik Atopik Penyebabnya adalah rangsangan alergen eksternal spesifik dan dapat diperlihatkan dengan reaksi kulit tipe 1.Gejala klinis dan keluhan cenderung timbul pada awal kehidupan, 85 % kasus terjadi sebelum usia 30 tahun . Sebagian besar asma tipe ini mengalami perubahan dengan tiba-tiba pada waktu puber, dengan serangan asma yang berbeda-beda pula. Prognosis tergantung pada serangan pertama yaitu berat ringannya gejala yang timbul. Jika serangan pertama pada usia muda disertai gejala yang berat, maka prognosisnya lebih jelek. Didalam darah dijumpai meningkatnya kadar IgE spesifik, dan pada riwayat keluarga didapatkan keluarga yang menderita asma. 1.2. Asma Ekstrinsik Non Atopi Sifat dari asma ini adalah serangan asma timbul karena paparan dengan bermacam alergen spesifik, seringkali terjadi pada saat melakukan pekerjaan atau timbul setelah mengalami paparan dengan alergen yang berlebihan. Tes kulit memberi reaksi tipe segera, tipe lambat ataupun keduanya. Dalam serum didapatkan IgE dan IgG yang spesifik. Timbulnya gejala cenderung pada akhir masa kehidupan, yang disebabkan karena sekali tersensitisasi, maka respon asma dapat dicetuskan oleh berbagai macam rangsangan non imunilogik seperti emosi, infeksi, kelelahan dan faktor sikardian dari siklus biologis. 2 Asma Kriptogenik, yang dibagi menjadi 2.1. Asma Intrinsik 2.2. Asma Idiopatik Asma jenis ini, alergen pencetusnya sukar ditentukan, tidak ada alergen ekstrinsik sebagai penyebab, dan tes kulit memberikan hasil negatif. Merupakan kelompok

yang heterogen, respon untuk terjadi asma dicetuskan oleh penyebab dan melalui mekanisme yang berbeda-beda. Sering ditemukan pada penderita dewasa, dimulai pada umur diatas 30 tahun dan disebut late onset asthma. Serangan sesak pada tipe ini dapat berlangsung lama dan seringkali menimbulkan kematian bila pengobatan tanpa disertai kortikosteroid. Perubahan patologi yang terjadi sama dengan asma ekstrinsik, namun tidak dapat dibuktikan keterlibatan IgE. Kadar IgE serum dalam batas normal, tetapi eosinofil dapat meningkat jauh lebih tinggi dibandingkan dengan asma ekstrinsik. Tes serologis dapat menunjukkan adanya faktor reumatoid misalnya sel LE. Riwayat alergi keluarga jauh lebih sedikit dibandingkan dengan asma ekstrinsik yaitu 12 sampai 48 %. B Ditinjau dari berat ringannya penyakit menurut Global Initiative For Asthma Gejala Tahap Persisten Berat Tahap Persisten Sedang 43 - tiap - penggunaan b-agonis hari - Saat serangan mengganggu aktivitas Tahap Persisten Ringan Tahap Intermitten 2 - > 1 kali/minggu, tetapi < 1 > 2 kali/bulan kaliperhari 1 -< gejala Dan PEF normal C Ditinjau Dari Gejala Klinis 8.11 . 1 Serangan asma ringan : dengan gejala batuk, mengi dan kadang-kadang sesak, . Sa O2 95% udara ruangan, PEFR lebih dari 200 liter per menit, FEV1 lebih dari 2 liter, sesak nafas dapat dikontrol dengan bronkodilator dan faktor pencetus dapat dikurangi, dan penderita tidak terganggu melakukan aktivitas normal sehari-hari. 2 Serangan asma sedang : dengan gejala batuk, mengi dan sesak nafas walaupun . timbulnya periodik, retraksi interkostal dan suprasternal, SaO2 92-95% udara ruangan, 1 kali/minggu serangan tanpa < 2 kali/bulan 80% prediksi variabilitas <20% - diantara > 80% prediksi terus Gejala Malam menerus sering hari tiap > 1 kali/mgg >60%<80% pred PEF < 60% prediksi

- aktivitas fisik terbatas

variabilitas > 30%

variabilitas 20-30%

variabilitas 20-30%

PEFR antara 80-200 liter per menit, FEV1 antara 1-2 liter, sesak nafas kadang mengganggu aktivitas normal atau kehidupan sehari-hari. 3 Serangan asma berat : dengan gejala sesak nafas telah mengganggu aktivitas sehari-hari . secara serius, disertai kesulitan untuk berbicara dan atau kesulitan untuk makan, bahkan dapat terjadi serangan asma yang mengancan jiwa yang dikenal dengan status asmatikus. Asma berat bila SaO2 91%, PEFR 80 liter per menit, FEV1 0,75 liter dan terdapat tanda-tanda obstruksi jalan nafas berat seperti pernafasan cuping hidung, retraksi interkostal dan suprasternal, pulsus paradoksus 20 mmHg, berkurang atau hilangnya suara nafas dan mengi ekspirasi yang jelas. Sedangkan pada anak, secara arbiteri Pedoman Nasional Asma Anak (PNAA) mengklasifikasikan derajat asma menjadi: 1) Asma episodik jarang; 2) Asma episodik sering; dan 3) Asma persisten (Tabel 2)

Klasifikasi derajat asma pada anak

Parameter klinis, kebutuhan obat dan faal paru asma

Asma episodik jarang

Asma episodik sering

Asma persisten

1 2

Frekuensi serangan Lama serangan

<1x/bulan <1minggu

>1x/bulan >1minggu

Sering Hampir sepanjan tahun, tidak ada periode bebas serangan Biasanya berat Gejala siang dan malam Sangat terggang

3 4 5

Intensitas serangan Diantara serangan Tidur dan

Biasanya ringan Tanpa gejala Tidak tergganggu

Biasanya sedang Sering ada gejala Sering tergganggu

aktifitas 6 Pemeriksaan fisik diluar serangan Obat pengendali(anti inflamasi) Uji faal paru(diluar serangan) Variabilitas faal paru(bila ada serangan) Normal ( tidak ditemukan kelainan) Tidak perlu Mungkin tergganggu (ditemukan kelainan) Perlu Perlu Tidak pernah normal

PEFatauFEV1>80%

PEFatauFEV1<6080% Variabilitas>30%

PEVatauFEV<60%

Variabilitas>15%

Variabilitas 20-30%. Variabilitas >50%

PEF=Peak expiratory flow (aliran ekspirasi/saat membuang napas puncak), FEV1=Forced expiratory volume in second (volume ekspirasi paksa dalam 1 detik)

Sumber : Rahajoe N, dkk. Pedoman Nasional Asma Anak, UKK Pulmonologi, PP IDAI, 2004

2. Tipe Hipersensitivitas pada asma Hipersensitivitas tipe 1 merupakan suatu respons jaringan yang terjadi secara cepat (secara khusus hanya dalam bilangan menit) stelah terjadi interaksi antaraalergen dengan antibody IgE yang sebelumnya berikatan pada permukaan sel mast dan basofil pada pejamu yang tersensitisasi. Bergantung pada jalan masuknya, hipersensitivitas tipe 1 dapat terjadi sebagai reaksi local yang benar-benar mengganggu (misalnya rhinitis alergi) atau sangat melemahkan (asma) atau dapat berpuncak pada suatu gangguan sistemik yang fatal (anafilaksis). Urutan kejadian reaksi hipersensitivitas tipe 1 adalah sebagai berikut: Fase sensitasi Yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE samapi diikatnya oleh reseptor spesifik (Fc-R) pada permukaan sel mast dan basofil

Fase aktivasi Yaitu waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan antigen yang spesifik dan sel mast melepas isinya yang berisikan granul yang menimbulkan reaksi. Fase efektor Yaitu waktu terjadi respons yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek mediator-mediator yang dilepas sel mast dengan aktivitas farmakologik Banyak reaksi tipe 1 yang terlokalisasi mempunyai dua tahap yang dapat ditentukan secara jelas: Respon awal, diatandai dengan vasodilatasi, kebocoran vascular, dan spesme otot polos, yang biasanya muncul dalam rentang waktu 5 hingga 30 menit stelah terpajan oleh allergen dan menghilang setelah 60 menit. Reaksi fase lambat, yang muncul 2 hingga 8 jam kemudian dan berlangsung selama beberapa hari. Reaksi fase lambat ini ditandai dengan infiltrasi eosinofil serta sel radang akut dan kronis lainnya yang lebih hebat pada jaringan dan juga ditandai dengan penghancuran jaringan dalam bentuk kerusakan sel epitel mukosa. Mediator Primer Setelah pemicuan IgE, mediator primer (praformasi) di dalam granula sel mast dilepaskan untuk memulai tahapan awal reaksi hipersensitivitas tipe 1. Histamin, yang merupakan mediator praformasi terpenting, menyebabkan meningkatnya permeabilitas vascular, vasodilatasi, bronkokonstriksi, dan meningkatnya sekresi mukus. Mediator lain yang segera dilepaskan meliputi adenosine (menyebabkan bronkokonstriksi dan menghambat agregasi trombosit) serta factor kemotaksis untuk neutrofil dan eosinofil. Mediator lain ditemukan dalam matriks granula dan meliputi heparin serta protease netral (misalnya triptase). Protease menghasilkan kinin dan memecah komponen komplemen untuk menghasilkan factor kemotaksis dan inflamasi tambahan (misalnya), C3a).

Mediator Sekunder

Mediator ini mencakup dua kelompok senyawa : mediator lipid dan sitokin. Mediator lipid dihasilkan melalui aktivasi fosfolipase A2, yang memecah fosolipid membrane sel mast untuk menghasilkan asam arakhidonat. Selanjutnya, asam arakhidonat merupakan senyawa induk untuk menyintesis leukotrien dan prostaglandin. Leukotrien berasal dari hasil kerja 5-lipooksigenase pada precursor asam arakhidonat dan sangat penting dalam pathogenesis hipersensitivitas tipe 1. Leukotrien tipe C4 dan D4 merupakan vasoaktif dan spasmogenik yang dikenal paling poten; pada dasar molar, agen ini ada beberapa ribu kali lebih aktif daripada histamin dalam meningkatkan permeabilitas vaskular dan dalam menyebabkan kontraksi otot polos bronkus. Leukotrien B4 sangat kemotaktik untuk neutrofil, eosinofil dan monosit. Prostaglandin D2 adalah mediator yang paling banyak dihasilkan oleh jalur

siklooksigenasi dalam sel mast. Mediator ini menyebabkan bronkospasme hebat serta meningkatkan sekresi mucus. Faktor pengaktivasi trombosit merupakan mediator sekunder lain, mengakibatkan agregasi trombosit, pelepasan histamin, dan bronkospasme. Mediator ini juga bersifat kemotaktik untuk neutrofil dan eosinofil. Meskipun produksinya diawali oleh aktivasi fosfolipase A2, mediator ini bukan produk metabolism asam arakhidonat. Sitokin yang diproduksi oleh sel mast (TNF, IL-1, IL-4, IL-5, dan IL-6) dan kemokin berperan penting pada reaksi hipersensitivitas tipe 1 melalui kemampuannya merekrut dan mengaktivasi berbagai macam sel radang. TNF merupakan mediator yang sangat poten dalam adhesi, emigrasi, dan aktivasi leukosit. IL-4 juga merupakan faktor pertumbuhan sel mast dan diperlukan untuk mengendalikan sintesis IgE oleh sel B. Manifestasi Klinis Reaksi tipe 1 dapat terjadi sebagai suatu gangguan sistemik atau reaksi local. Seringkali hal ini ditentukan oleh rute pajanan antigen. Emberian antigen protein atau obat (misalnya bias lebah atau penisilin) secara sistemik (parenteral) menimbulkan anafilaksis. Dalam beberapa menit stelah pajanan pada pejamu yang tersensitisasi akan muncul rasa gatal, urtikaria (bintik merah dan bengkak), dan eritema kulit, diikuti kesulitan bernapas berat yang disebabkan oleh bronkokonstriksi paru dan diperkuat dengan hipersekresi mucus. Edema laring dapat memperberat persoalan dengan menyebabkan obstruksi

saluran pernapasan bagian atas. Salian itu, otot semua saluran pencernaan dapat terserang, dan mengakibatkan vomitus, kaku perut dan diare. Tanpa intervensi segera, dapat terjadi vasodilatasi sistemik (syok anafilaksis), dan penderita dapat mengalami kegagalan sirkulasi dan kemtian dalam beberapa menit. Reaksi local biasanya terjadi bila antigen hanya terbatas pada tempat tertentu sesuai dengan jalur pemajannya, seperti kulit (kontak, menyebabkan urtikaria), traktus gastrointestinal (ingesti, menyebabkan diare), atau paru (inhalasi, menyebabkan bronkokonstriksi). Kerentanan terhadap reaksi tipe 1 yang terlokalisasi dikendalikan secara genetic, dan istilah atopi digunakan untuk menunjukkan kecenderungan familial terhadap reaksi terlokalisasi tersebut. Pasien yang menderita alergi nasobronkial (seperti asma) seringkali mempunyai riwayat keluarga yang menderita kondisi serupa. Dasar genetic atopi belum dimengerti secara jelas; namun studi menganggap adanya suatu hubungan dengan gen sitokin pada kromosom 5qyang mengatur pengeluaran IgE dalam sirkulasi.

3. Penatalaksanaan Asma Berdasarkan Klasifikasi


Penilaian Awal Penilaian Awal Penilaian Awal

Riwayat dan pemeriksaan fisik (auskultasi, otot bantu napas, denyut jantung, frekuensi napas) dan bila mungkin faal paru (APE atau VEP1, saturasi O2), AGDA dan pemeriksaan lain atas indikasi

Serangan Asma Ringan

Serangan Asma Sedang/Berat

Serangan Asma Mengancam Jiwa

Pengobatan Awal y y Oksigenasi dengan kanul nasal Inhalasi agonis beta-2 kerja singkat (nebulisasi), setiap 20 menit dalam satu jam) atau agonis beta-2 injeksi (Terbutalin 0,5 ml subkutan atau Adrenalin 1/1000 0,3 ml subkutan) Kortikosteroid sistemik : - serangan asma berat - tidak ada respons segera dengan pengobatan bronkodilator

Penilaian Ulang setelah 1 jam Pem.fisis, saturasi O2, dan pemeriksaan lain atas indikasi

Respons baik y Respons baik dan stabil dalam 60 menit y Pem.fisi normal y APE >70% prediksi/nilai terbaik

Respons Tidak Sempurna y y y y Resiko tinggi distress Pem.fisis : gejala ringan sedang APE > 50% terapi < 70% Saturasi O2 tidak perbaikan

Respons buruk dalam 1 jam y y y y Resiko tinggi distress Pem.fisis : berat, gelisah dan kesadaran menurun APE < 30% PaCO2 < 45 mmHg

y PaCO2 < 60 mmHg

Pulang y Pengobatan dilanjutkan dengan inhalasi agonis beta-2 y Membutuhkan kortikosteroid oral y Edukasi pasien Memakai obat yang benar - Ikuti rencana pengobatan

Dirawat di RS y Inhalasi agonis beta-2 + anti kolinergik y Kortikosteroid sistemik y Aminofilin drip y Terapi Oksigen pertimbangkan kanul nasal atau masker venturi y Pantau APE, Sat O2, Nadi, kadar teofilin

Dirawat di ICU Inhalasi agonis beta-2 + anti kolinergik Kortikosteroid IV Pertimbangkan agonis beta-2 injeksi SC/IM/IV Aminofilin drip Mungkin perlu intubasi dan ventilasi mekanik

Perbaikan Pulang Bila APE > 60% prediksi / terbaik. Tetap berikan pengobatan oral atau inhalasi

Tidak Perbaikan

Dirawat di ICU Bila tidak perbaikan dalam 6-12 jam

Penatalaksanaan Asma pada Anak


Nilai derajat serangan

y y y

Tatalaksana awal nebulisasi F-agonis 1-3x, selang 20 menit nebulisasi ketiga + antikolinergik jika serangan berat, nebulisasi. 1x (+antikoinergik)

Serangan sedang (nebulisasi 1-3x, Serangan ringan (nebulisasi 1-3x, respons baik, gejala hilang) y y y observasi 2 jam jika efek bertahan, boleh pulang jika gejala timbul lagi, perlakukan sebagai serangan sedang y y respons parsial)

Serangan berat (nebulisasi 3x, respons buruk)

berikan oksigen (3) nilai kembali derajat serangan, jika sesuai dgn serangan sedang, observasi di Ruang Rawat Sehari/observasi pasang jalur parenteral

y y y

sejak awal berikan O2 saat / di luar nebulisasi pasang jalur parenteral nilai ulang klinisnya, jika sesuai dengan serangan berat, rawat di Ruang Rawat Inap foto Rontgen toraks

y y y

Boleh pulang bekali obat F-agonis (hirupan / oral) jika sudah ada obat pengendali, teruskan jika infeksi virus sbg. pencetus, dapat diberi steroid oral dalam 24-48 jam kontrol ke Klinik R. Jalan, untuk reevaluasi

y y y y

Ruang Rawat Sehari/observasi oksigen teruskan berikan steroid oral nebulisasi tiap 2 jam bila dalam 12 jam perbaikan klinis stabil, boleh pulang, tetapi jika klinis tetap belum membaik atau meburuk, alih rawat ke Ruang Rawat Inap

y y y y y y

y Catatan: 1. 2. 3. 4. Jika menurut penilaian serangannya berat, nebulisasi cukup 1x langsung dengan F-agonis + antikolinergik Bila terdapat tanda ancaman henti napas segera ke Ruang Rawat Intensif Jika tidak ada alatnya, nebulisasi dapat diganti dengan adrenalin subkutan 0,01ml/kgBB/kali maksimal 0,3ml/kali Untuk serangan sedang dan terutama berat, oksigen 2-4 L/menit diberikan sejak awal, termasuk saat nebulisasi

Ruang Rawat Inap oksigen teruskan atasi dehidrasi dan asidosis jika ada steroid IV tiap 6-8 jam nebulisasi tiap 1-2 jam aminofilin IV awal, lanjutkan rumatan jika membaik dalam 46x nebulisasi, interval jadi 4-6 jam jika dalam 24 jam perbaikan klinis stabil, boleh pulang jika dengan steroid dan aminofilin parenteral tidak membaik, bahkan timbul Ancaman henti napas, alih rawat ke Ruang Rawat Intensif

Anda mungkin juga menyukai