Anda di halaman 1dari 29

Koas Stase Paru Periode 26 Juni - 8 Juli 2023

1. Umbu Handji Pekuwali 42220645


2. Irene Feliciana Suhardi 42220646
3. Ivan Fabianus Tumbol 42220647
4. Yehezkiel Wim Utomo 42220648
5. Gilang Surya Partana 42220649
6. Benedikta Aurelia Ferdinanda 42220650

ASMA
❖ Definisi
Asma merupakan gangguan inflamasi kronik saluran nafas. Inflamasi kronik
menyebabkan peningkatan hiperresponsif pada jalan napas yang menyebabkan
gejala episodik berulang seperti mengi, sesak napas, dada terasa berat dan batuk
(terutama malam dan atau pagi hari). Obstruksi jalan napas pada asma
seringkali bervariasi dan bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan.
❖ Etiopatogenesis
Asma merupakan inflamasi kronik pada saluran napas. Sel inflamasi yang
berperan pada asma antara lain sel mast, eosinofil, sel limfosit T, makrofag,
neutrofil dan sel epitel.
Inflamasi Akut
Pencetus asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor antara lain alergen, virus,
iritan yang dapat menginduksi respons inflamasi akut yang terdiri atas reaksi
asma tipe cepat dan reaksi asma tipe lambat.
1. Reaksi asma tipe cepat: Alergen akan terikat pada IgE yang menempel
pada sel mast dan terjadi degranulasi sel mast. Degranulasi sel mast
akan mengeluarkan berbagai mediator inflamasi seperti histamin,
protease leukotrien, dan prostaglandin yang menyebabkan kontraksi otot
polos bronkus, sekresi mukus dan vasodilatasi.
2. Reaksi asma tipe lambat: Reaksi ini timbul antara 6-9 jam setelah
paparan alergen dan melibatkan aktivasi eosinofil, sel T CD4+, neutrofil
dan makrofag.
Inflamasi Kronik
Berbagai sel terlibat dan teraktivasi pada inflamasi kronik. Sel tersebut adalah
limfosit T, eosinofil, makrofag , sel mast, sel epitel, fibroblas dan otot polos
bronkus. Limfosit T yang berperan pada asma adalah limfosit TCD4+.
Limfosit T ini berperan sebagai penyebab inflamasi saluran nafas dengan
mengeluarkan sitokin antara lain IL3, IL-4,IL-5, IL-13 dan GM-CSF.
Interleukin-4 bersama dengan IL-13 akan menginduksi sel limfosit B
mensintesis IgE. Pada pasien asma, sel epitel yang teraktivasi akan
mengeluarkan 5-HETE dan PGE2. Sel epitel akan mengeluarkan membran
markers seperti molekul adhesi, endothelin, nitric oxide synthase, sitokin atau
kemokin. Epitel pada asma sebagian akan mengalami shedding.
Proses inflamasi kronik pada asma akan menimbulkan kerusakan jaringan
yang secara fisiologis akan diikuti oleh proses penyembuhan (healing process)
yang menghasilkan perbaikan (repair) dan pergantian sel - sel mati/rusak
dengan sel-sel yang baru. Perubahan struktur yang terjadi pada pasien asma
antara lain hipertrofi dan hiperplasia otot polos jalan nafas, hipertrofi dan
hiperplasia kelenjar mukus, penebalan membran reticular basal, peningkatan
vaskularisasi, peningkatan fungsi matriks ekstrasel, perubahan struktur
parenkim, dan peningkatan fibrogenic growth factor menjadi fibrosis.
❖ Klasifikasi derajat asma
ASMA (GINA 2023)

Jenis Asma

Intermiten Persisten Ringan Persisten Sedang Persisten


Berat

Gejala < 1 X / mg > 1 x / mg Tiap hari Terus


menerus

Serangan Singkat, Aktivitas, tidur Aktivitas, tidur Sering


ringan terganggu terganggu timbul

Gejala < 2 x / bln > 2 x / bln > 1 x / mg Sering


malam timbul

APE > 80 % > 80% 60 – 80 % < 60 %

FEV1 > 80 % > 80 % 60 – 80 % < 60 %

APE < 20 % < 20 – 30 % > 30 % > 30 %


Variabl

Severity asma
Control assessment GINA 2023
Gejala ×

Bangun malam ×

Obat pelega ×

APE pagi >80% ✓

Serangan akut ×

IGD ×

Efek samping ×
obat

Characteristic Controlled Partly Controlled Uncontrolled

Daytime symptoms None (twice or More than Three or more features of partly
less/week) twice/week controlled asthma present in any
week

Limitations of activities None Any Three or more features

Nocturnal None Any


symptoms/awakening

Need for reliever/ rescue


treatment None (twice or More than
less/week) twice/week

Lung function (PEF or Normal < 80% predicted or


‡ personal best
FEV1)
(if known)

Exacerbations None One or One in any week†


more/year*
Eksaserbasi asma

❖ Farmakologi asma
Berdasarkan kelompoknya, terapi asma dapat dikelompokkan menjadi
pemberian obat pengontrol (controller), reliever, dan terapi tambahan. Terapi
tambahan digunakan pada pasien dengan asma berat dengan gejala menetap
atau eksaserbasi sering walaupun pasien sudah mendapatkan terapi pengontrol
dosis tinggi.
● Controller
Terapi controller atau pengontrol bertujuan untuk menurunkan derajat
inflamasi, mengendalikan gejala asma, menurunkan risiko eksaserbasi akut,
serta mencegah penurunan fungsi paru. Mengontrol inflamasi atau
memperpanjang waktu bronkodilatasi. Meredakan edema mukosa, sekresi
lender dan menurunkan iritabilitas bronkus. Dipakai secara regular.
● Reliever
Terapi reliever bertujuan sebagai terapi jangka pendek ketika pasien
mengalami serangan asma akut. Untuk, terapi reliever, GINA
merekomendasikan pemberian ICS dosis rendah yang dikombinasikan
dengan formoterol. Reliever hanya digunakan seperlunya. Bekerja pada
saluran nafas yang menyebabkan spasme otot polos saluran napas, bekerja
sebagai bronkodilator dan dipakai saat serangan.
● Terapi tambahan : Penambahan long-acting muscarinic antagonist
(LAMA) berupa kombinasi ICS-LABA-LAMA bila dengan penggunaan
ICS-LABA gejala pasien masih sulit terkontrol.
Gambaran terapi asma menurut GINA terbagi menjadi dua jalur, yakni:
● Jalur pertama: ICS-formoterol dosis rendah sebagai reliever.
Penggunaan ICS-formoterol mengurangi risiko eksaserbasi dibandingkan
SABA sebagai reliever.
● Jalur kedua: SABA dapat dijadikan alternatif reliever apabila jalur pertama
tidak bisa dipilih atau jika pasien stabil, patuh berobat, dan tidak ada
eksaserbasi dalam satu tahun dengan regimen obat terakhir. Sebelum
memilih jalur ini, pastikan pasien patuh terapi kontroler, karena jika tidak
pasien akan mengalami risiko pemakaian SABA sebagai terapi tunggal.
PPOK
❖ Definisi
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit yang ditandai dengan
keterbatasan aliran udara bersifat progresif berhubungan dengan inflamasi
kronik saluran napas dan parenkim paru akibat pajanan gas atau partikel
berbahaya. Hambatan aliran udara pada PPOK terjadi karena perubahan struktur
saluran napas yang disebabkan destruksi parenkim dan fibrosis paru.
❖ Etiopatogenesis
Patogenesis PPOK terdiri dari proses ketidakseimbangan inflamasi-anti
inflamasi, protease antiprotease, oksidan-antioksidan dan apoptosis. Keempat
mekanisme dasar tersebut tidak berjalan sendiri tetapi saling berinteraksi
menyebabkan kerusakan saluran napas dan paru yang ireversibel termasuk
diantaranya adalah kerusakan jaringan elastis alveoli, airway remodeling dan
fibrosis.

1. Oksidan-antioksidan
Asap rokok adalah sumber utama agen oksidan di paru-paru tetapi sel
inflamasi dan fagosit yang berada di saluran pernapasan juga
menghasilkan spesies oksigen reaktif (ROS) di paru-paru. Peningkatan
aktivitas Nicotinamide Adenine Dinucleotide Phosphate (NADPH)
dalam sel epitel, fagosit, dan myeloperoxidase dalam neutrofil
bertanggung jawab untuk produksi ROS pada pasien PPOK. Stres
oksidatif yang dihasilkan oleh asap rokok akan mengaktivasi kappa B
(NF-kB) yang berperan menghasilkan mediator inflamasi sehingga
terjadi kerusakan jaringan. Aktivasi NF-kB akan menginduksi sitokin,
kemokin, dan molekul adhesi sel yang didorong oleh infeksi bakteri atau
virus dan mengakibatkan perburukan gejala penyakit. Stres oksidatif
adalah penyebab utama patogenesis PPOK yang akan memicu terjadinya
apoptosis, remodeling matriks ekstraseluler, inaktivasi protease
inhibitor, sekresi mukus, aktivasi NF-kB, aktivasi Mitogen-Activated
Protein Kinase (MAPK), remodeling kromatin, dan transkripsi gen
proinflamasi. Paru-paru yang sehat memiliki mekanisme antioksidan
enzimatik dan nonenzimatik yang mencegah terjadinya stres oksidatif.
Mekanisme non enzimatik melibatkan glutathione (GSH), vitamin C,
asam urat, vitamin E, dan albumin. Mekanisme enzimatik bergantung
pada Superoksida Dismutase (SOD), katalase, dan glutation peroksidase
(Gpx). Paparan asap rokok menurunkan kadar GSH intraseluler
sehingga akan meningkatkan terjadinya stres oksidatif pada pasien
PPOK. Transkripsi faktor nuklir faktor eritroid 2 terkait faktor 2 (Nrf2)
sangat penting untuk mengatur respons antioksidan seluler dan
mencegah cedera yang diinduksi ROS. Nrf2 mengatur ekspresi gen yang
mengkode enzim yang mengatur stres oksidatif, termasuk enzim
detoksifikasi fase 2 khas hemoxygenase-1 (HO-1). Penurunan stimulasi
jalur Nrf2 di jaringan paru perifer dan makrofag alveolar dikaitkan
dengan peningkatan kerentanan dan keparahan PPOK
2. Inflamasi dan antiinflamasi
Bronkiolus terminal dan parenkim paru merupakan daerah utama yang
terkena dalam inflamasi PPOK yang ditandai dengan adanya infiltrasi
dari makrofag dan sel T CD8+. Makrofag terutama terdapat di dalam
paru-paru sementara sel T CD8+ menyebabkan apoptosis dan
penghancuran sel epitel alveolar melalui pelepasan perforin dan TNFα.
Makrofag dan neutrofil terlibat dalam pembentukan ROS selama proses
terjadinya PPOK. Di dalam respon terhadap makrofag dan neutrofil, sel
epitel alveolar melepaskan leukotrien B4 (LTB4) yang merupakan
faktor kemotaktik yang menarik sel imun. Makrofag dan paru sel juga
memproduksi IL-8/CXCL8 dan growth-related onkogen
(GROα)/CXCL1 yang memperkuat respon inflamasi dengan menarik
lebih banyak leukosit dari darah ke lokasi peradangan terjadi. Pasien
dengan COPD menampilkan augmentasi ICAM-1 yang terkait dengan
merokok dalam sel epitel. ICAM-1 adalah molekul adhesi yang sangat
penting untuk migrasi dari leukosit. Molekul tersebut sangat
diekspresikan pada pasien dengan aliran udara yang terbatas dan
berhubungan dengan peningkatan risiko infeksi virus dan bakteri.
Ketidakseimbangan antara protease dan inhibitornya memainkan peran
penting dalam patogenesis dari PPOK.
● Protease termasuk neutrofil elastase (NE) dan proteinase 3
→ menurunkan komponen jaringan ikat terutama elastin yang
menyebabkan terjadinya emfisema. Kerusakan dari serat elastin
tersebut akan menyebabkan deposisi kolagen di parenkim paru
sehingga menyebabkan terjadinya kerusakan septa alveolar dan
distensi dari alveolar. α1-antitrypsin dapat menghambat kinerja
dari NE tetapi pada pasien PPOK secara reduktif tidak aktif
→ NE mengatur ekspresi gen MUC5AC yang mengkode musin
pembentuk gel pada saluran napas melalui mekanisme yang
bergantung pada ROS yang berhubungan dengan obstruksi jalan
napas dan tingkat keparahan dari PPOK
● Metalloproteinase (MMP) yang menyerang matriks
ekstraseluler menyebabkan pelepasan fragmen elastin yang
menarik monosit ke paru-paru. MMP juga terlibat dalam
perekrutan dari makrofag paru sehingga akan meningkatkan
aktivitas proteolitik dan inflamasi yang berperan dalam
perkembangan dari PPOK
● Komponen bakteri seperti lipopolisakarida (LPS) dan sitokin
seperti IL-9, TNF-α, dan IL-1β akan meningkatkan ekspresi
gen MUC5AC sehingga memperkuat proses terjadinya inflamasi.
Oleh karena itu, ROS, mediator inflamasi, dan produksi enzim
proteolitik dapat memulai, meningkatkan, dan memperburuk kerusakan
jaringan, dan memperburuk cedera paru-paru, yang mengakibatkan
perkembangan dan progresi PPOK

3. Apoptosis
Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) dan Hepatocyte Growth
Factor (HGF) memiliki peran penting dalam menjaga integritas dari sel
epitel alveolar. Ketika tingkat VEGF dan HGF rendah umumnya
dikaitkan dengan terjadinya apoptosis sel epitel alveolar pada pasien
PPOK. Setelah terpapar iritasi inhalasi, sel epitel saluran napas kecil
akan meningkatkan ekspresi TGF-β yang merangsang fibroblas untuk
berdiferensiasi menjadi myofibroblast yang menghasilkan matriks
ekstraseluler (ECM), sehingga terjadi fibrosis lokal. Sementara MMP-9
dilepaskan oleh sel-sel yang terlibat dalam pertahanan imun seperti
makrofag, MMP-2 disintesis oleh fibroblas, dan memiliki telah
dikaitkan dengan remodeling jaringan kronis, yang menyebabkan
perubahan jaringan abnormal. Selain itu, produksi ROS yang intens
dapat mengganggu sekresi surfaktan oleh sel epitel alveolari alveolar
dan resistensi saluran nafas yang tinggi akibat saling ketergantungan,
tanda khas emfisema. Produksi ROS juga terkait dengan kerusakan
DNA mitokondria, menyebabkan disfungsi mitokondria. Disfungsi
tersebut telah dilaporkan pada sel otot polos saluran napas pada pasien
PPOK. Asap rokok akan menghambat fungsi pernapasan mitokondria,
mengurangi produksi ATP yang menginduksi mitophagy dalam sel
epitel alveolar. ROS mitokondria telah dikaitkan dengan perubahan
surfaktan sehingga mengganggu stabilitas sel epitel alveolar. Agen
toksik yang dihirup merusak sel epitel alveolar, menyebabkan
pelepasan Damage Associated Molecular Patterns (DAMPs), yang
diamati pada Bronchoalveolar Lavage Fluid (BALF) dari pasien PPOK.
Kerusakan pada kapiler alveolar memfasilitasi masuknya patogen,
meningkatkan risiko gejala yang memburuk.

Klasifikasi derajat PPOK


GOLD grades & severity 2023

mMRC grade untuk gejala dyspnea


GOLD ABE assessment tool

CAT assessment untuk gejala non dyspnea


GOLD ABCD assessment

❖ Farmakologi PPOK
1. Macam - Macam Bronkodilator
Bronkodilator
Bronkodilator adalah obat yang memiliki mekanisme kerja dengan merelaksasi
otot pernafasan dan melebarkan jalan nafas (bronkus). Umum digunakan
pada penyakit-penyakit paru seperti asma dan penyakit paru obstruktif kronis
(PPOK)
- Agonis adrenergik inhalasi
Agonis adrenergik yang digunakan untuk terapi bronkospasme, wheezing,
dan obstruksi aliran udara adalah agonis β-adrenergik. Penggunaan klinis
dari agonis β-adrenergik biasanya diberikan melalui inhaler atau nebulizer,
bersifat selektif β2 dan dibagi menjadi terapi kerja pendek dan kerja panjang.

SABA (Short acting β2 Agonist)

Terapi agonis β2 kerja pendek efektif untuk meredakan dengan cepat


keluhan bronkospasme, wheezing dan obstruksi aliran udara. Agonis β2 kerja
pendek berikatan dengan reseptor adrenergik β2 yang berada pada membran
plasma sel otot polos, epitel, endotel, dan jenis sel saluran nafas lainnya. Ikatan
ini menyebabkan stimulasi protein G untuk mengaktivasi adenylate cyclase
converting adenosine triphosphate (ATP) menjadi cyclic adenosine
monophosphate (cAMP), sehingga terjadi penurunan pelepasan kalsium dan
perubahan membran potensial yang menyebabkan relaksasi otot polos. SABA
memiliki onset cepat ( 5 – 10 menit ) kemudian mencapai peak level pada 30 –
60 menit dan bertahan dalam durasi rata – rata 3 -5 jam. Obat ini biasanya
diberikan secara inhalasi. Efek segera yang dimiliki oleh SABA digunakan
sebagai obat reliever/ pelega sehingga dapat mengatasi serangan asma /
penyempitan jalan napas yang berlangsung secara tiba – tiba. Agonis β2 kerja
pendek seperti albuterol, levalbuterol, metaproterenol, dan pirbuterol memiliki
onset kerja dalam beberapa menit dan durasi kerja 4-6 jam, sehingga ditujukan
sebagai terapi pereda atau penyelamat terhadap gejala - gejala bronkospasme
dan hambatan saluran nafas lainnya, yang dapat mengancam nyawa penderita.
Contoh obat : 1) Fenoterol (Durasi 4-6 jam); 2) Levalbuterol (Durasi 6-8 jam) ;
3) Salbutamol (albuterol) (Durasi 4-6 jam, dan 12 jam untuk extended Release)

LABA (Long acting β2 Agonist)


Agonis β2 kerja panjang (LABA) mempunyai mekanisme yang sama,
namun memiliki durasi kerja yang lebih panjang. Hal ini berkaitan dengan
ikatan obat dengan reseptor yang dapat berlangsung lebih lama. Agonis β2
kerja panjang biasanya digunakan untuk terapi pemeliharaan dan dapat
dikombinasikan dengan kortikosteroid inhalasi. Penyerapan sistemik dari agonis
β2 dapat menyebabkan beberapa efek samping dan kebanyakan tidak
menimbulkan masalah yang serius. Sebagian besar terapi agonis β2 dapat
menimbulkan tremor dan takikardi secara sekunder akibat stimulasi langsung
reseptor β2 pada otot skelet atau vaskulatur. Pada serangan asma berat agonis
β2 dapat menyebabkan penurunan sementara pada tekanan oksigen arterial
sebanyak 5 mmHg atau lebih, akibat adanya vasodilatasi yang dimediasi β2
pada keadaan ventilasi paru yang buruk. Hiperglikemia, hipokalemia, dan
hipomagnesemia juga dapat terjadi, namun efek samping ini cenderung
berkurang dengan penggunaan yang regular. Obat ini diberikan secara inhalasi
sebanyak 2 kali sehari dan biasanya dikombinasikan dengan inhalasi
kortikosteroid sebagai obat fixed dose combination (misalnya salmeterol –
fluticasone dan formoterol – budesonide)

Contoh obat :
● Arformoterol : Durasi aksi 12 jam
● Formoterol : Durasi aksi 12 jam. Formoterol memiliki onset yang
cepat sehingga juga dapat digunakan sebagai reliever.
● Salmeterol : Durasi aksi 12 jam
● Olodaterol : Durasi 24 jam
● Indacaterol :Durasi 24 jam Contoh fixed dose combination :
● Seretide → Salmeterol Xinafoate 50 mcg + Fluticasone Propionate 500
mcg
● Symbicort → Budesonide 160 mcg + Formoterol 4,5 mcg.

- Antagonis kolinergik inhalasi

Antikolinergik umum digunakan untuk terapi pemeliharaan atau terapi


kontrol dan terapi serangan akut pada penyakit-penyakit obstruksi saluran nafas.
Sistem saraf parasimpatis adalah memegang peranan utama untuk mengatur
tonus bronchomotor dan antikolinergik inhalasi bekerja pada reseptor
muskarinik pada saluran nafas untuk mengurangi tonus otot. Penggunaan
antikolinergik inhalasi pada kasus PPOK sebagai pemeliharaan dan terapi
serangan akut telah dipertimbangkan sebagai terapi standar. Pada kasus asma
antikolinergik lebih direkomendasikan untuk terapi serangan akut saja. Terdapat
tiga subtipe dari reseptor muskarinik yang ditemukan pada saluran nafas
manusia. Reseptor muskarinik 2 (M2) terdapat pada sel postganglion dan
bertanggung jawab untuk membatasi produksi asetilkolin dan melindungi dari
terjadinya bronkokonstriksi. M2 bukanlah target dari antikolinergik. Reseptor
muskarinik 1 (M1) dan muskarinik 3 (M3) bertanggung jawab untuk terjadinya
bronkokonstriksi dan produksi mukus dan merupakan target kerja dari obat
antikolinergik inhalasi. Asetilkolin berikatan dengan M1 dan M3 dan
menyebabkan kontraksi otot polos melalui peningkatan cyclic guanosine
monophosphate (cGMP) atau oleh aktivasi dari protein G. Protein tersebut
kemudian mengaktivasi fosfolipase C untuk memproduksi inositol trifosfat
(IP3), yang akan menyebabkan pelepasan kalsium dari penyimpanan
intraseluler dan aktivasi dari myosin light chain kinase yang kemudian
menyebabkan otot polos berkontraksi. Antikolinergik menghambat kaskade
tersebut dan mengurangi tonus otot polos, dengan mengurangi pelepasan
kalsium intraseluler.
Terdapat dua antikolinergik inhalasi yang secara khusus disetujui untuk
terapi penyakit obstruksi saluran nafas yaitu:

a. Short Acting Muscarinic Antagonist (SAMA)

SAMA memiliki onset yang cepat (10-15 menit) dengan durasi 4 -6


jam. Contoh obat – obatan SAMA antara lain ipratropium dan oxitropium.
SAMA bekerja dengan meningkatkan fungsi paru & FEV1, menurunkan
dyspnea, dan menurunkan batuk. Ipratropium juga dapat dikombinasikan
dengan SABA untuk terapi eksaserbasi asma. Contoh obat SAMA
(Combivent Respimat : Ipratropium bromide 20 mcg + Albuterol 100 mcg
(durasi 6 – 8 jam). Ipratropium diklasifikasikan sebagai antikolinergik kerja
pendek yang biasanya sering digunakan untuk terapi PPOK (sebagai terapi
serangan akut dan pemeliharaan) dan asma (terapi serangan akut). Pasien
yang diterapi dengan ipratropium mengalami peningkatan toleransi olahraga,
penurunan sesak, dan memperbaiki ventilasi.

b. Long Acting Muscarinic Agonist (LAMA)

LAMA memiliki efek bronkodilator yang lebih lama dari SAMA, yaitu
sekitar 12 – 24 jam namun memiliki onset yang lambat. LAMA dapat
menurunkan eksaserbasi hingga 20 -25%.

Contoh LAMA:

● Tiotropium Bromide durasi 24 jam


● Aclidinium Bromide durasi 24 jam
● Glycopyrronium Bromide durasi 12 - 24 jam

Tiotropium diklasifikasikan sebagai antikolinergik kerja panjang yang


dapat diberikan sebagai terapi pemeliharaan pada penyakit PPOK.
Penggunaan tiotropium dapat mengurangi terjadinya serangan/eksaserbasi
akut PPOK, gagal nafas, dan penyebab mortalitas lainnya.

● Methylxanthines (Aminophylline, Theophylline)


Methylxanthines adalah kelompok agen farmakologis turunan purin
yang memiliki penggunaan klinis karena efek bronkodilator dan
stimulasinya.
Methylxanthine digunakan untuk pengobatan penyakit obstruksi saluran napas
reversibel seperti bronkitis kronis, emfisema, dan asma.
Methylxanthines merupakan penghambat kompetitif enzim fosfodiesterase
(isoenzim tipe III dan IV), antagonis non selektif reseptor adenosin (subtipe A1,
A2, dan A3), dan aktivator histone deasetilase (isoenzim tipe II)
Pemberian methylxanthines secara intravena menghasilkan konsentrasi
obat plasma yang lebih konsisten daripada pemberian oral. Metilxantin IV
diindikasikan untuk penghentian bronkospasme akut akibat eksaserbasi asma
atau PPOK; namun, agonis beta-2 inhalasi (seperti albuterol) adalah pengobatan
yang lebih efektif. Dosis harus disesuaikan jika individu telah menggunakan
dosis methylxanthine dalam 24 jam terakhir, perokok, atau memiliki gangguan
ginjal atau hati.
● Teofilin → kelompok xanthine. Kadar teofilin dalam darah utk mencapai
rentang terapi yaitu 10-20 mg/L.
● Dosis IV aminofilin 6 mg/kg bolus 20-30 menit selanjutnya 0,5 mg/kg/jam.
Digunakan sebagai terapi tambahan atau alternatif pada pasien asma yang
tidak terkontrol dengan ICS (Inhaled Corticosteroid).

2. Titik Tangkap Bronkodilator


Otot polos bronkus pada saluran udara secara langsung dipersarafi oleh sistem
saraf parasimpatis dimana reseptor kolinergik mengontrol tonus bronchomotor.
Tidak ada persarafan simpatis langsung pada saluran napas, meskipun kaya
akan reseptor β2 adrenergik . Reseptor kolinergik dan adrenergik merupakan
target utama terapi bronkodilator. Bronkodilatasi dapat dicapai melalui 2
mekanisme primer dan komplementer. Aktivasi reseptor β2 menghasilkan
relaksasi otot polos secara langsung. Antagonis reseptor muskarinik, atau terapi
antikolinergik, adalah antagonis kompetitif asetilkolin (ACH) pada reseptor
saraf postganglionik, menghasilkan relaksasi otot polos dan bronkodilatasi.
a. Beta 2 Agonis
Reseptor β 2 pada otot polos bronkus, uterus, dan vaskular.
Agonis reseptor berikatan dengan satu atau lebih loop transmembran.
Neurotransmitter utama pada reseptor adrenergik adalah norepinefrin
dan epinefrin. Adenil siklase merangsang konversi adenosin trifosfat
menjadi siklik adenosin monofosfat, yang mengaktifkan protein kinase.
Pada otot polos bronkial, peningkatan protein kinase dan fosforilasi
menyebabkan relaksasi otot polos bronkial karena penurunan masuknya
kalsium dan peningkatan penyerapan kalsium di retikulum sarkoplasma.
Reseptor adrenergik β2 juga terdapat pada kelenjar submukosa,
endotel pembuluh darah, sel mast, dan sel darah putih yang terlibat
dalam respon inflamasi, termasuk eosinofil dan limfosit . Ini
menjelaskan berbagai efek di luar bronkodilatasi yang diperlihatkan
secara in vitro.
Albuterol, terapi agonis β yang paling umum digunakan untuk
menghilangkan asma akut, adalah campuran rasemat dari enantiomer R
dan S. Seperti halnya dengan epinefrin, efek farmakologis disebabkan
oleh isomer R, yang afinitasnya terhadap reseptor β-adrenergik 110 kali
lebih besar daripada isomer S. Dosis tinggi agonis β dapat menyebabkan
takikardia, tremor, hipokalemia, dan hiperglikemia.
Farmakodinamik obat ini menunjukkan bahwa bronkodilatasi
optimal dicapai jauh di bawah dosis yang dapat menyebabkan efek
samping tersebut. Telah didalilkan bahwa R enantiomer levalbuterol
tunggal dapat menyebabkan lebih sedikit takikardi dan tremor
berdasarkan penelitian pada hewan yang menunjukkan bahwa R
enantiomer tampaknya bertanggung jawab untuk bronkodilatasi,
sedangkan S enantiomer tanpa efek bronkodilator dapat meningkatkan
detak jantung dan tremor. Pada manusia, peningkatan detak jantung dan
tremor terkait dosis adalah identik untuk rasemat albuterol seperti untuk
levalbuterol.
Agonis β2 kerja singkat (SABA) memiliki onset efek dalam
beberapa menit, yang merupakan dasar untuk peran mereka sebagai
pengobatan penyelamatan untuk gejala akut yang terkait dengan
bronkospasme. Durasi efek terapi SABA adalah 3-6 jam, yang
membatasi perannya dalam penatalaksanaan kronis
Long-acting β 2 agonis (LABAs) pertama menunjukkan
bronkodilatasi berkepanjangan, yang memungkinkan pemberian dosis
selama 12 jam; sekarang ultra-long acting agents (ULABA) telah
dikembangkan yang dapat diberi dosis setiap 24 jam.
LABA umumnya memiliki spesifisitas yang lebih besar untuk
β2reseptor dibandingkan dengan agen short-acting. Efektivitas yang
diperpanjang dari agen ini dikaitkan dengan berbagai faktor, termasuk
adanya rantai samping yang besar pada struktur molekul. Secara
umum, rantai samping ini meningkatkan lipofilisitas molekul, yang
memungkinkan retensinya dalam lapisan ganda lipid membran sel. Ini
berbeda dengan albuterol (SABA), yang merupakan molekul yang lebih
hidrofilik yang berdifusi keluar dari membran dengan cepat.
LABA berbeda dalam sifat farmakologinya, meskipun relevansi
klinis dari perbedaan ini tidak jelas. Misalnya, formoterol lebih kuat
daripada salmeterol, yang merupakan agonis parsial pada reseptor.
Meskipun formoterol kurang lipofilik daripada salmeterol, ia menempel
pada reseptor β lebih cepat dan onsetnya lebih cepat daripada salmeterol.
Di sisi lain, agonis parsial diharapkan menghasilkan lebih sedikit
desensitisasi dan lebih sedikit efek samping terkait β adrenergik.
Indacaterol adalah LABA pertama yang dibersihkan dengan
durasi aksi 24 jam, yang memungkinkan pemberian sekali sehari. Agen
baru lainnya, termasuk olodaterol dan vilanterol, adalah produk
enantiomer tunggal yang memberikan aktivitas agonis penuh yang
bertahan selama 24 jam.
β2 agonist akan mengikat beta 2 adrenergic receptor, yang mana
berfungsi dalam inisiasi karkade sinyal transmembran yang melibatkan
protein G dan adenilil silase. Adenilil silase ini kemudian akan
menghidrolisis ATP yang mengakibatkan cAMP meningkat.
Peningkatan ini akan menyebabkan cAMP dependent protein kinase
teraktivasi, yang mengakibatkan terjadinya fosforilasi dan penurunan
sensitivitas pada reseptor kalsium. Penurunan ikatan dengan kalsium
pada sel menyebabkan hambatan dalam fosforilasi rantai miosin,
sehingga kontraksi otot tidak terjadi
β2 agonist memiliki efek secara tidak langsung dengan
menghambat pelepasan mediator oleh sel mast dan menghambat
neurotransmitter saraf kolinergik.
B2 agonist akan meningkatkan kinerja corticosteroid krn
meningkatkan sensitivitas GRE dan juga meningkatkan translokasi GR
ke nucleus.
Efek utama dan relevan secara klinis dari agonis β2 inhalasi
adalah bronkodilatasi. 12 Namun, studi in vitro menunjukkan bahwa
agonis β mungkin memiliki efek non bronkodilator, seperti penurunan
produksi dan aktivitas leukotrien dan histamin dari sel mast, mengurangi
permeabilitas mikrovaskuler, menghambat fosfolipase A2, dan
meningkatkan frekuensi denyut silia. Efek di luar target dapat muncul
sebagai efek samping atau reaksi obat yang merugikan, dan terjadi
karena stimulasi reseptor β2 otot jantung dan perifer, atau efek
adrenergik β1 . Pada reseptor β2 , kejadian serupa terjadi dengan
stimulasi dan menghasilkan aktivasi protein kinase. Protein kinase juga
mem fosforilasi troponin dan G*, yang mengaktifkan saluran kalsium
yang menghasilkan inotropik dan kronotropik positif pada jaringan
jantung dan vasodilatasi pembuluh darah.
Albuterol telah dilaporkan membantu membersihkan cairan
edema paru dari alveolus dengan mempercepat resorpsi cairan alveolar.
Efek ini telah dibuktikan pada pasien dengan kelebihan cairan edema
paru kardiogenik; Namun, implikasi klinisnya sederhana. Juga
disarankan bahwa inhalasi bronkodilator agonis β akan meningkatkan
efektivitas manuver pembersihan jalan napas, sehingga albuterol sering
dihirup sebelum terapi fisik dada atau manuver pembersihan jalan napas.
Efek menguntungkan pada pembersihan mukosiliar telah ditunjukkan
pada PPOK. Tidak ada data yang menunjukkan bahwa ini meningkatkan
pembersihan lendir pada individu dengan asma.

b. Antikolinergik

Agen antikolinergik termasuk alkaloid belladonna alami (atropin,


skopolamin). Ada 5 subtipe reseptor muskarinik, dan 3 diantaranya, M
1 –M 3
, terletak di otot polos jalan napas, di saraf yang mengontrol otot polos,
dan di kelenjar. Reseptor muskarinik mengontrol tonus otot polos
saluran napas basal, yang meningkat pada PPOK. M 1 dan M 3 adalah
rangsang dan mempromosikan pelepasan dan penggandengan ACH
melalui G q /G 11 untuk mengaktifkan fosfolipase C, yang
menghasilkan pergantian fosfatidilinositol. Kalsium dilepaskan,
menghasilkan peningkatan kalsium intraseluler dan aktivasi reseptor.
Reseptor M2 menghambat aktivitas adenilil siklase melalui protein-G
lain (G i / G o ), yang mengakibatkan pembukaan saluran ion dan aliran
kalsium dan kalium yang berkepanjangan. Aktivasi saluran kalium
menyebabkan hiperpolarisasi membran sel. Selain itu, aktivasi ACH dari
reseptor M2 mengurangi pelepasan ACH dari vesikel. Efek sumatif
antagonis reseptor muskarinik adalah penurunan tonus jalan napas
dengan peningkatan aliran udara ekspirasi. Reseptor M3 tampaknya
paling penting secara klinis dalam memediasi kontraksi otot polos.

Terdapat 3 jenis mekanisme saraf eferen dalam mengatur kerja


tonus otot polos pada saluran pernapasan. Mekanisme kolinergik akan
menyebabkan terjadinya bronkokonstriksi dengan melepaskan
asetilkolin yang bekerja pada reseptor muskarinik. Asetilkolin kemudian
berikatan di reseptor muskarinik dan memicu terjadinya kontraksi otot
serta sekresi mukus. Terdapat 5 reseptor muskarinik, namun yang
berperan dalam proses fisiologi pernapasan hanya M1, M2, dan M3.
Dimana M1 berperan dalam regulasi elektrolit dan sekresi air. M2
berperan dalam mengatur kontraksi pada otot. Sedangkan M3 berperan
dalam kontraksi otot juga serta sekresi mukus.

Utamanya, antikolinergik ini bekerja dengan menghambat


asetilkolin. Dimana antikolinergik berperan sebagai antagonis reseptor
muskarinik, yang menginhibisi saraf kolinergik yang memicu terjadinya
bronkokonstriksi.

Bronkodilatasi dari ipratropium terlihat dalam 15 menit, dengan


efek maksimum dalam 1,5 jam. Pengikatan reseptor diperkirakan 3 jam,
dan durasi efek berlangsung hingga 6 jam. Konsentrasi serum tidak
terdeteksi dengan dosis biasa. Durasi bronkodilatasi dari antikolinergik
inhalasi kerja pendek lebih lama dibandingkan dengan SABA.

Tiotropium dikembangkan sebagai analog struktural glikopirolat.


Agen ini mengikat reseptor M3 selama 36 jam, dan bronkodilatasi
bertahan selama 24 jam. Setelah menghirup tiotropium sebagai bubuk
kering, sekitar 14% obat muncul di urin. Terapi long-acting muscarinic
antagonist (LAMA) yang lebih baru (misalnya, aclidinium,
glycopyrrolate, dan umeclidinium) menunjukkan onset aksi yang lebih
cepat dibandingkan dengan tiotropium, walaupun relevansi klinisnya
tidak jelas karena manfaat utama dari terapi ini adalah durasi efek yang
berkepanjangan.

c. Methylxanthine

3 mekanisme kerja Methylxanthine pada saluran pernapasan yaitu :


- Penghambatan fosfodiesterase

Melalui penghambatan non-kompetitif enzim fosfodiesterase


(PDE), methylxanthines menyebabkan peningkatan intraseluler
dalam kadar cyclic adenosine monophosphate (cAMP) dan
cyclic guanosine monophosphate (cGMP). Sinyal ini
menghasilkan relaksasi otot polos bronkus, vasodilatasi
pembuluh paru, diuresis, stimulasi SSP, dan stimulasi jantung.
- Adenosine receptor antagonist
Efek non bronkodilatasi dengan mengurangi respon pada saluran
napas terhadap histamin, metakolin, adenosin, dan alergen.
Selain itu, teofilin itu dapat berikatan dengan reseptor adenosin
dan memblokade bronkokonstriksi yang dimediasi adenosin.
Teofilin antagonis dari reseptor adenosin A1 dan A2. Adenosine
melepaskan mediator dari sel mast melalui reseptor A2b. Efek
samping dari antagonis reseptor adenosine A1 adalah kejang dan
aritmia.

- Aktivator Histon Deasetilase


Selama peradangan, histone deacetylase menjadi
pengatur utama mediator inflamasi. Enzim yang disebut
phosphoinositide-3-kinase-delta mencegah perekrutan histone
deacetylase ke tempat peradangan, dan methylxanthines baru-
baru ini terbukti menghambat phosphoinositide-3-kinase-delta.
Peningkatan rekrutmen histone deacetylase ke area peradangan
mencegah transkripsi gen untuk mediator inflamasi dan dengan
demikian memberikan efek antiinflamasi.

Pada kondisi inflamasi, teofilin mengaktivasi deasetilasi


histon untuk mencegah transkripsi gen inflamasi yang
memerlukan asetilasi histon untuk memulai
transkripsi.Phosphodiesterase inhibitor nonselektif (PDE
berfungsi untuk degradasi cAMP menjadi AMP) → peningkatan
cAMP dan cGMP. Inhibisi PDE3 → bronkodilatasi. Inhibisi
pada PDE 4 → efek antiinflamasi namun bisa menyebabkan
mual, muntah, sakit kepala.

3. Apakah obat bronkodilator boleh digabung?


Terapi bronkodilator pada PPOK paling sering diberikan untuk mencegah
atau mengurangi gejala yang muncul. Terapi bronkodilator terdiri atas terapi
Long Acting (Long Acting Muscarinic Antagonist dan Long Acting Beta
Agonist) dan terapi Short Acting (Short Acting Muscarinic Antagonist dan
Short Acting Beta Agonist) meskipun GOLD sendiri tidak menganjurkan
untuk penggunaan bronkodilator kerja pendek secara teratur karena dinilai tidak
efektif. Namun, GOLD merekomendasikan kombinasi antara LABA/LAMA
untuk mengurangi tingkat eksaserbasi pada PPOK. GOLD merekomendasikan
terapi ganda diberikan pada kelompok B dengan gejala yang menetap serta
pada kelompok D (atau kelompok E pada GOLD 2023) jika eksaserbasinya
menetap.
Selain itu menurut PPK PDPI 2021, terapi untuk PPOK berdasarkan populasi
juga menganjurkan penggunaan kombinasi dua bronkodilator:
➢ Populasi B: Terapi awal dengan bronkodilator kerja lama. Untuk
pasien yang
sesaknya menetap dengan monoterapi, direkomendasikan penggunaan
dua bronkodilator.
➢ Populasi C: Terapi awal dengan satu bronkodilator kerja
lama.
Direkomendasikan penggunaan LAMA. Pada eksaserbasi persisten,
direkomendasikan penggunaan kombinasi bronkodilator kerja lama atau
kombinasi LABA dengan ICS
➢ Populasi D: Direkomendasikan memulai terapi dengan kombinasi
LABA dan
LAMA. Apabila masih mengalami eksaserbasi direkomendasikan
kombinasi LAMA, LABA dan ICS. Pertimbangan pemberian
Roflumilast untuk pasien dengan VEP1< 50% prediksi dan bronkitis
kronik. Makrolid (Azitromisin) pada bekas perokok.
4. Perbedaan asma dan PPOK

Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tatalaksana Penyakit Paru


Obstruktif Kronik (Kemenkes, 2019)
5. Apa arti reversibilitas dan variabilitas?
a. Reversibilitas adalah tanda dimana gejala dapat membaik secara spontan
setelah inhalasi bronkodilator (uji bronkodilator ) atau setelah
bronkodilator oral 10-14 hari atau setelah respon terapi kortikosteroid
(inhalasi/oral) 2 minggu. Hal ini bisa dilihat pada pemeriksaan
spirometri
b. Variabilitas adalah variasi APE harian selama 1-2 minggu, yang dapat
menunjukkan variasi gejala dari waktu ke waktu. Variabilitas dapat
digunakan untuk menilai derajat ringan-beratnya penyakit. Variabilitas
mengacu pada perbaikan/perburukan gejala. Kedua hal tersebut dapat
diperiksa menggunakan spirometri dan Peak Flow Meter
6. Uji reversibilitas dan variabilitas pada asma dan PPOK dengan uji
bronkodilator
Uji ini dilakukan dengan menggunakan spirometri untuk mengukur faal paru
post penggunaan bronkodilator. Sebelum menggunakan bronkodilator, asma
dan PPOK pada pemeriksaan faal paru, akan didapati tanda-tanda obstruksi
yakni:
FEV1< 80%
FEV1/FVC< 75%
● Reversibilitas

● Variabilitas →dilakukan pagi hari sebelum terapi dan pada akhir malam.
7. Penegakan diagnosis setelah diberikan bronkodilator
Variabilitas harian APE perlu dinilai untuk membantu menegakkan diagnosis
Asma atau PPOK setelah diberikan bronkodilator, variabilitas dinilai dengan
rumus perhitungan sebagai berikut:

Variabilitas APE harian dinilai dengan cara mengukur APE terendah pada pagi
hari dan APE tertinggi pada malam hari selama 1-2 minggu.
❖ Pada asma, Variabilitas harian APE> 20%
❖ Pada PPOK, Variabilitas harian APE< 20%

Anda mungkin juga menyukai