Anda di halaman 1dari 6

1.

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan asma selama kehamilan membutuhkan pendekatan kooperatif
antara dokter kandungan, bidan, dokter paru serta perawat yang khusus menangani
asma dan ibu hamil itu sendiri. Tujuan serta terapi pada prinsipnya sama dengan pada
penderita asma yang tidak hamil. Terapi medikasi asma selama kehamilan hampir
sama dengan terapi penderita asma tidak hamil, dengan pelega kerja singkat serta
terapi harian jangka panjang untuk mengatasi inflamasi (Nelson and Piercy, 2001).
Penatalaksaan asma kronis pada kehamilan harus mencakup hal-hal berikut.
1. Penilaian obyektif fungsi paru dan kesejahteraan janin
Pasien harus mengukur PEFR 2 kali sehari dengan target 380 – 550
liter/menit. Tiap pasien memiliki nilai baseline masing-masing sehingga terapi
dapat disesuaikan.
2. Menghindari faktor pencetus asma
Mengenali serta menghindari faktor pencetus asma dapat meningkatkan
kesejahteraan ibu dengan kebutuhan medikasi yang minimal (NAEPP,2005).
Asma dapat dicetuskan oleh berbagai faktor termasuk alergi, infeksi saluran
napas atas, sinusitis, exercise, aspirin, obat-obatan anti inflamasi non steroid
(NSAID), dan iritan, misalnya: asap rokok, asap kimiawi, kelembaban, emosi
(Kramer, 2001; ACAAI, 2002).
Gastroesophageal reflux (GER) dikenal sebagai pencetus asma dan terjadi
pada hampir 1/3 wanita hamil. Asma yang dicetuskan oleh GER dapat
disebabkan oleh aspirasi isi lambung kedalam paru sehingga menyebabkan
bronkospasme, maupun aktivasi arkus refleks vagal dari esofagus ke paru
sehingga menyebabkan bronkokonstriksi (Kahrilas, 1996).
Wanita hamil perokok harus berhenti merokok, dan menghindari paparan
asap tembakau serta iritan lain di sekitarnya. Wanita hamil yang merokok
berhubungan dengan peningkatan risiko wheezing dan kejadian asma pada
anaknya (Blaiss, 2004; Nelson and Piercy, 2001; NAEPP, 2005).
3. Edukasi
Mengontrol asma selama kehamilan penting bagi kesejahteraan janin. Ibu
hamil harus mampu mengenali dan mengobati tanda-tanda asma yang
memburuk agar mencegah hipoksia ibu dan janin. Ibu hamil harus mengerti
cara mengurangi paparan agar dapat mengendalikan faktor-faktor pencetus
asma (NAEPP, 2005).
4. Terapi farmakologi selama kehamilan
Kelompok kerja NAEPP merekomendasikan prinsip serta pendekatan
terapi farmakologi dalam penatalaksanaan asma pada kehamilan dan laktasi.
Prednison, teofilin, antihistamin, kortikosteroid inhalasi, β2 agonis dan
kromolin bukan merupakan kontra indikasi pada penderita asma yang
menyusui. Rekomendasi penatalaksanaan asma selama laktasi sama dengan
penatalaksanaan asma selama kehamilan (NAEPP, 2005).
2. Kaji Manfaat
Terapi asma modern dengan teofilin, kortikosreoid dan beta agonis menurunkan
risiko komplikasi kehamilan menjadi rendah baik pada ibu maupun janin.
Farmakoterapi tdak boleh bersifat teratogenik pada janin atau berbahaya pada ibu.
Penggunaan beta agonis, seperti metaproterenol, dan albuterol, dapat digunakan
dalam pengobatan darurat pada asma berat dalam kehamilan, tetapi penggunaan
jangka panjang seharusnya dihindari pada kehamilan muda, terutama sekali sejak
efek pada janin tidak diketahui.(Greenberger, 1985).

3. Kaji Efek Samping


Penanganan asma akut pada kehamilan sama dengan non-hamil, tetapi
hospitaliyy threshold lebih rendah. Dilakukan penanganan aktif dengan hidrasi
intravena,pemberian masker oksigen, pemeriksaan analisis gas darah, pengukuran
FEV1 (forced expiratory volume in one second), PEFR, pulse oximetry, dan fetal
monitoring.
Penanganan lini pertama adalah β adrenergic agonis (sub-kutan, oral, inhalasi)
loading dose 4 – 6 mg/kgBB dan dilanjutkan dengan dosis 0,8 – 1mg/kgBB/jam
sampai tercapai kadar terapeutik dalam plasma sebesar 10 – 20 µg/ml, Dan
kortikosteroid, metilprednisolon 40- 60 mg I.V. tiap 6 jam. Terapi selanjutnya
bergantung pada pemantauan respons hasil terapi. Asma berat yang tidak berespons
terhadap terapi dalam 30 – 60 menit dimasukkan dalam kategori status asmatikus.
Penanganan aktif, di ICU dan intubasi dini, serta penggunaan ventilasi mekanik pada
keadaan kelelahan, retensi CO2, dan hipoksemia akan memperbaiki morbiditas dan
mortalitas.

4. Aspek Legal Etisnya


Permenkes no. 10 tahun 2015 pasal 1A
Pasien dengan kondisi emergensi atau mengalami kedaruratan maternal-neonatal
diberikan prioritas untuk dikaji dan dilakukan tindakan keperawatan oleh perawat
yang kompeten.
Indikator :
a. Tersedia kebijakan dan SPO tindakan emergency maternitas.
b. Response time pelaksanaan tindakan keperawatan kurang dari 5 menit.
c. Pasien dengan keadaan emergency (kriteria emergency maternitas) mendapatkan
bantuan untuk segera dilakukan tindakan.
d. Pelayanan gawat darurat dilakukan oleh setiap perawat di unit gawat darurat
memiliki sertifikat keperawatan emergency intermediate (kegawatan maternal dan
neonatal) atau minimal perawat klinik maternitas III.
e. Tersedia alat, sarana dan prasarana sesuai kebutuhan emergency.
f. Ada sistem pelayanan rujukan.
g. Ada dokumentasi pelayanan gawat darurat.
5. Kesimpulan
Jadi, memang pada umumnya kita menghindari menggunakan obat pada trimester
pertama kehamilan karena khawatir obat tersebut berpengaruh pada pertumbuhan
janin. Namun, jika obat itu diperlukan dan diketahui obat tersebut bukan merupakan
obat yang harus dihindari pada kehamilan, maka obat tersebut dapat digunakan
dengan pengawasan dokter. Dan apabila asma tidak di tangani secara cepat dan tepat
dapat mengakibatkan hal yang buruk pada ibu hamil dan janinnya.

Berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan faal paru dapat ditentukan klasifikasi (derajat) Asma
sebagai berikut :

No. Derajat Asma Gejala Gejala Malam Faal Paru


1. Interniten Bulanan APE ≥ 80%
 Gejala <1x/minggu  ≤ 2 kali sebulan  VEP ≥ 80% nilai
 Tanpa gejala di luar prediksi
ruangan  APE ≥ 80% nilai
 Serangan singkat terbaik
 Variabiliti APE < 20%
2. Persisten Mingguan APE ≥ 80%
Ringan  Gejala >1x/minggu,  ≥ 2 kali sebulan  VEP1 ≥ 80% nilai
tetapi <1x/hari prediksi
 Serangan dapat  APE ≥ 80% nilai
mengganggu aktivitas terbaik
dan tidur  Variability APE 20 –
30%
3. Persisten Harian APE ≤ 60%
Sedang  Gejala Setiap Hari  1x/seminggu  VEP1 60 – 80% nilai
 Serangan mengganggu prediksi
aktivitas dan tidur  APE 60 – 80% nilai
 Membutuhkan terbaik
bronkodilator setiap  Variability APE > 30%
hari
4. Persisten Berat Kontinyu APE ≤ 60%
 Gejala terus menerus  Sering  VEP1 ≤ 60% nilai
 Sering kambuh prediksi
 Aktivitas fisik terbatas  APE ≤ 60% nilai
terbaik
 Variability APE > 30%

Sumber : PDPI 2006


ALGORITMA TATA LAKSANA ASMA MANDIRI DI RUMAH
ALGORITMA TATA LAKSANA ASMA DI FASILITAS KESEHATAN TINGKAT
PERTAMA

Nilai Derajat Serangan

Tata Laksana Awal :


Nebulisasi ß-2 agonis kerja singkat, 3x,
interval 20 menit

Serangan Sedang : Serangan Berat :


Serangan Ringan : (Nebulisasi 2 - 3x, respon (Nebulisasi 3x, respon buruk)
(Nebulisasi Ix, respon parsial) Sejak awal berikan oksigen
baik, gejala hilang) Berikan oksigen saat/di luar nebulisasi
• Observasi 1—2 jam Nilai kembali derajat
• Jika efek bertahan, boleh Pasang infus
serangan, jika sesuai
pulang Nilai ulang klinisnya, jika
dengan serangan sedang,
• Jika gejala timbul lagi, sesuai dengan serangan berat,
observasi di ruangan
perlakukan sebagai rawat inap
serangan sedang rawat sehari
Pasang infus • Foto toraks

Boleh Pulang : Ruangan rawat Ruang rawat inap :


Bekali Obat ß- sehari/control Oksigen teruskan
fasilitas kesehatan : Atasi dehidrasi/asidosis jika
agonis (hirupan/oral) Oksigen teruskan
ada
• Jika sudah ada Obat
pengontrol, teruskan • Berikan steroid oral Steroid i.v tiap 6—8 jam
Nebulisasi tiap 2 jam Nebulisasi tiap 1 —2 jam
• Jika infeksi virus sebagai Bila dalam 8-12 jam Aminofilin i.v awal,
pencetus, dapat diberi perbaikan klinis stabil, lanjutkan rumatan
steroid oral pasien boleh pulang Jika membaik dalam 4 — 6x
• Dalam 24 — 48 jam • Jika dalam 12 jam klinis nebulisasi, interval jadi 4— 6
kontrol ke poliklinik belum membaik, alih jam
untuk evaluasi rawat ke ruang rawat inap Jika dalam 24 jam perbaikan
klinis stabil, boleh pulang
Jika dengan steroid dan
aminofilin parenteral tidak
membaik bahkan
timbul ancaman henti napas,
Catatan : alih ke ICU
1.
Jika menurut penilaian serangannya kuat, nebulisasi cukup Ix langsung dengan
ßagonis + antikolinergik
2. Jika tidak ada alatnya, nebulisasi dapat diganti dengan adrenalin subkutan 0,01
mg/kg BB/kali, maksimal 0,3 ml/kali
3. Untuk serangan sedang dan terutama berat, oksigen 2-4 L/menit diberikan
sejak awal termasuk saat nebulisasi
4. Dosis aminofilin loading dose 4-6 mg/kg BB i.v perlahan, jika terdapat
riwayat pemberian golongan xantin (aminofilin atau teofilin) sebelumnya
maka dosis aminofilin loading dose diturunkan menjadi 50% (2-3mg/kg
BB). Selanjutnya dilanjutkan dosis rumatan yaitu 0,5-1 mg/kg BB/jam
i.v

Sumber : infoDATIN PUSAT DATA DAN INFORMASI KEMENTRIAN KESEHATAN RI

Anda mungkin juga menyukai