Anda di halaman 1dari 34

MAKALAH

ETIKA DAN HUKUM KESEHATAN

“Isu Etik Dalam Pelayanan Kebidanan”

Dibuat untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Etika Dan Hukum Kesehatan

Dosen Mata Kuliah : Anggit Kartika S.SiT, M.Kes

Disusun Oleh :

1. Arina Mayanfau H (EBR0190027)

2. Fitria Kholbi (EBR0190018)

3. Tiara Febriyani (EBR0190026)

PROGRAM STUDI D3 KEBIDANAN

Kampus 2 Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kuningan (STIKKu)

RS Ciremai – Cirebon

Jl. Pangeran Drajat No. 40A, Cirebon 45133

2020/2021

KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-
Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul 'Isu etik
dalam pelayanan kebidanan' ini tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Ibu
Anggit kartikasari. S.SiT, M.Kes. pada studi ETIKA DAN HUKUM
KESEHATAN Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan
bagi para pembaca dan juga bagi penulis.

Kami mengucapkan terima kasih kepada Ibu Anggit Kartikasari. S.SiT, M.Kes.
selaku dosen Etika dan hukum kesehatan terima kasih kepada semua pihak yang
telah membagi sebagian pengetahuannya sehingga Kami dapat memberikan tugas
ini dan dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi
yang Kami tekuni.

Kami menyadari, makalah yang Kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan Kami nantikan demi
kesempurnaan makalah ini.

Terima kasih.

Cirebon, 19 Oktober 2020

Penyusun

DAFTAR ISI

30
Halaman Judul..................................................................................................................i

KATA PENGANTAR.....................................................................................................ii

DAFTAR ISI...................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN................................................................................................1

1.1 Latar Belakang Masalah........................................................................................1


1.2 Rumusan Masalah.................................................................................................1
1.3 Tujuan....................................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN.................................................................................................2

2.1 Pengertian Etika.....................................................................................................2


2.2 Pengertian Moral...................................................................................................2
2.3 Issue Etik Dalam Pelayanan Kebidanan................................................................3
2.4 Issue Moral Dalam Pelayanan Kebidanan.............................................................5

BAB III PENUTUPAN..................................................................................................30

3.1 Kesimpulan..........................................................................................................30
3.2 Saran....................................................................................................................30

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................31

30
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Derasnya arus globalisasi yang semakin mempengaruhi kehidupan sosial


masyarakat dunia, juga mempengaruhi munculnya masalah/penyimpangan etik
sebagai akibat kemajuan teknologi/ilmu pengetahuan yang menimbulkan konflik
terhadap nilai. Arus kesejahteraan ini tidak dapat dibendung, pasti akan
mempengaruhi pelayanan kebidanan. Dalam hal ini bidang yang praktek mandiri
menjadi pekerja yang bebas Mengontrol dirinya sendiri. Situasi ini akan besar
sekali pengaruhnya terhadap kemungkinan terjadinya penyimpangan etik.

Istilah etik yang kita gunakan sehari-hari pada hakikatnya berkaitan


dengan falsafah moral yaitu menganai apa yang dianggap baik atau buruk di
masyarakat dalam kurun waktu tertentu, sesuai dengan perubahan atau
perkembangan norma atau niali. Dikatakan kurun waktu tertentu karena etik dan
moral bisa berubah dengan lewatnya waktu.

1.2 Rumusan masalah

1. Apa yang dimaksud dengan Etika?


2. Apa yang dimaksud dengan Moral
3. Bagaimana issue etik dalam pelayanan kebidanan ?
4. Bagaimana issue moral dalam pelayanan kebidanan ?

1.3 Tujuan masalah

1. Diajukan untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Etika Profesi dan Hukum
Kesehatan.

2. Mengetahui Pengertian Etika

3. Mengetahui Pengertian Moral


4. Mengetahui Issue Etik Dalam Pelayanan Kebidanan

5. Mengetahui Issue Moral Dalam Pelayanan Kebidanan

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Etika

Etika diartikan “sebagai ilmu yang mempelajari kebaikan dan keburukan


dalam hidup manusia khususnya perbuatan manusia yang didorong oleh kehendak
dengan didasari pikiran yang jernih dengan pertimbangan perasaan.

Etik ialah suatu cabang ilmu filsafat. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa
etik adalah disiplin yang mempelajari tentang baik atau buruk sikap tindakan
manusia. Etika Merupakan bagian filosofis yang berhubungan erat dengan nilai
manusia dalam menghargai suatu tindakan, apakah benar atau salah, dan
penyelesaiannya baik atau tidak (Jones, 1994).

Menurut bahasa, Etik diartikan sebagai:

 Yunani à Ethos, kebiasaan atau tingkah laku


 Inggris à Ethis, tingkah laku atau prilaku manusia yang baik, tindakan
yang harus dilaksanakan manusia sesuai dengan moral pada umumnya.

Sedangkan dalam konteks secara luas dinyatakan bahwa:

Etik adalah aplikasi dari proses dan teori filsafat moral terhadap kenyataan
yang sebenarnya. Hal ini berhubungan dengan prinsip-prinsip dan konsep yang
membimbing makhluk hidup dalam berfikir dan bertidak serta menekankan nilai-
nilai mereka. (Shirley R Jones – Ethics in Midewifery)

2.2 Pengertian Moral

Moral adalah keyakinan individu bahwa sesuatu adalah mutlak baik, atau
buruk walaupun situasi berbeda. Teori moral mencoba menformulasikan suatu
prosedur dan mekanisme untuk pemecahan masalah etik

30
Terdapat beberapa pendapat apa yang dimaksud dengan moral

1. Menurut kamus lengkap bahasa Indonesia (Tim Prima Pena)


 Ajaran tentang buruk yang diterima umum mengenai akhlak
 Akhlak dan budi pekerti
 Kondisi mental yang mempengaruhi seseorang menjadi tetap bersemangat,
berani, disiplin, dll.
2. Ensiklopedia Pendidikan (Prof. Dr, Soeganda Poerbacaraka)
 Suatu istilah untuk menentukan batas-batas dan sifat-sifat, coarak-corak,
maksud-maksud, pertimangan-pertimbangan atau perbuatan-perbuatan
yang layak dapat dinyatakan baik atau buruk, benar atau salah
 Lawannya amoral
 Suatu istilah untuk menyatakan bahwa baik atau benar itu lebih baik
daripada yang buruk atau salah.

Bila dilihat dari sumber dan sifatnya, ada moral keagamaan dan moral sekuler :

a. Moral keagamaan kiranya telah jelas bagi semua orang, sebab untuk hal
ini orang tiggal mempelajari ajaran-ajaran agama yang dikehendaki di
bidang moral
b. Moral sekuler merupakan moral yang tidak berdasarkan pada ajaran agama
dan hanya bersifat duniawi semata-mata.

Bagi kita umat beragama, tentu moral keagamaan yang harus dianut dan
bukannya moral sekuler, karena etik berkaitan dengan filsafat moral maka sebagai
filsafat moral, etik mencari jawaban untuk menentukan serta mempertahankan
secara tradisional teori yang berlaku tentang apa yang benar atau salah, baik atau
buruk, yang secara umum dapat dipakai sebagai suatu perangkat prinsip moral
yang menjadi pedoman bagi tidakan manusia, dan moral diartikan menganai apa
yang dinilainya seharusnya oleh masyarakat dan etik dapat diartikan pula sebagai
moral yang ditunjukan kepada profesi, oleh karena itu etik profesi sebaiknya juga
berbentuk normatif.

2.3 Issue Etik Dalam Pelayanan Kebidanan

30
Etik merupakan bagian dari filosofi yang berhubungan erat dengan nilai
manusia dalm menghargai suatu tindakan, apakah benar atau salah dan apakah
pernyataan itu baik atau buruk. Issue etik dalam pelayanan kebidanan merupakan
topik yang penting yang berkembang di masyarakat tentang nilai manusia dalam
menghargai suatu tindakan yang berhubungan dengan segala aspek kebidanan
yang menyangkut baik dan buruknya.

Issue etik bidan dapat dibagi sebagai berikut:

a. Issue etik yang terjadi antara bidan dengan klien, keluarga dan masyarakat.
Issue mempunyai hubungan erat dengan nilai manusia dalam menghargai
suatu tindakan. Sebagai profesional yang menjalankan praktik bisa terjadi
penyimpangan etik dalam praktik kebidanan. Issue muncul karena adanya
konflik sehingga menimbulkan dilema bagi bidan.
b. Issue etik yang terjadi antara bidan dengan teman sejawat adalah issue
yang terjadi antara bidan dengan bidan lainnya. Masalah muncul dalam
praktik kebidanan, dimana muncul masalah dan salah satu pihak
mengambil keuntungan dari situasi tersebut.
c. Issue etik bidan dengan team kesehatan lainnya. Yaitu perbedaan sikap
etika yang terjadi pada bidan dengan tenaga medis lainnya, sehingga
menimbulkan ketidak sepahaman atau kerenggangan sosial.
d. Issue etik yang terjadi antara bidan dan organisasi profesi adalah suatu
topik masalah yang menjadi bahan pembicaraan antara bidan dengan
organisasi profesi karena terjadinya suatu hal-hal yang menyimpang dari
aturan-aturan yang telah ditetapkan.
1. Beberapa pembahasan masalah etik dalm kehidupan sehari hari adalah
sebagai berikut:
a. Persetujuan dalam proses melahirkan.
b. Memilih atau mengambil keputusan dalam persalinan.
c. Kegagalan dalam proses persalinan.
d. Pelaksanan USG dalam kehamilan.
e. Konsep normal pelayanan kebidanan.
f. Bidan dan pendidikan seks.

30
2. Contoh masalah etik yang berhubungan dengan teknologi:
a) Perawatan intensif pada bayi.
b) Skreening bayi.
c) Transplantasi organ.
d) Teknik reproduksi dan kebidanan.
3. Contoh masalah etik yang berhubungan dengan profesi:
a. Pengambilan keputusan dan penggunaan etik.
b. Otonomi bidan dan kode etik profesional.
c. Etik dalam penelitian kebidanan.
d. Penelitian tentang masalah kebidanan yang sensitif.
4. Biasanyan beberapa contoh mengenai isu etik dalm pelayananan kebidanan
adalah berhubungan dengan masalah-masalah sebagai berikut:
1) Agama / kepercayaan.
2) Hubungan dengan pasien.
3) Hubungan dokter dengan bidan.
4) Kebenaran.
5) Pengambilan keputusan.
6) Pengambilan data.
7) Kematian.
8) Kerahasiaan.
9) Aborsi.
10) AIDS.
11) In-Vitro fertilization

Bidan dituntut untuk berprilaku hati-hati dalm setiap tindakannya dalam


memberikan asuhan kebidanan dengan menampilkan perilaku yang etis dan
profesional.

2.4 Issue Moral Dalam Pelayanan Kebidanan

Moral merupakan pengetahuan atau keyakian tentang adanya hal yang baik
dan buruk yang mempengaruhi sikap seseorang. Kesadaran tentang adanya baik
buruk berkembang pada diri seseorang seiring dengan pengaruh lingkungan,

30
pendidikan, sosial budaya, agama, dan lain-lain. Hal ini yang disebut kesadaran
moral.

Issue moral adalah merupakan topik yang penting berhubungan dengan benar
dan salah dalam kehidupan sehari-hari. Issue moral juga berhubungan dengan
kejadian yang luar biasa dalam kehidupan sehari-hari seperti menyangkut konflik
malpraktik perang dsb.

Dilema moral menurut Campbell adalah suatu keadaan dimana dihadapkan


pada dua alternatif pilihan, yang kelihatanya sama atau hampir sama dan
membutuhkan pemecahan masalah. Ketika mencari solusi atau pemecahan
masalah harus mengingat akan tanggung jawab profesional yaitu:

1. Tindakan selalu ditunjukan untuk peningkatan kenyamanan, kesejahteraan


pasien atau klien.
2. Menjamin bahwa tindakan yang menghilangkan sesuatu bagian
(omission), disertai rasa tanggung jawab, memperhatikan kondisi dan
keaamanan pasien atau klien.

Issue moral dalam pelayanan kebidanan merupakan topik yang penting yang
berhubungan dengan benar dan salah dalam kehidupan sehari-hari yang ada
kaitannya dengan pelayanan kebidanan. Beberapa contoh issue moral dalam
kehidupan sehari-hari yaitu kasus abortus, euthanasia, keputusan untuk terminasi
kehamilan.

Tuntutan bahwa etik adalah hal penting dalam kebidanan salah satunya adalah
karena bidan merupakan profesi yang bertanggung jawab terhadap keputusan
yang dibuat berhubungan dengan klien serta harus mempunyai tanggung jawab
moral terhadap keputusan yang diambil. Untuk dapat menjalankan praktik
kebidanan dengan baik tidak hanya dibutuhkan pengetahuan klinik yang baik,
serta pengetahuan yang up to date, tetapi bidan juga harus mempunyai
pemahaman issue etik dalam pelayanan kebidanan.

30
Bidan dikatakan profesional bila menerapkan etika dalam menjalankan praktik
kebidanan. Dengan memahami peran sebagai bidan akan meningkatkan tanggung
jawab profesionalnya kepada pasien atau klien. Bidan berada pada posisi yang
baik, yaitu memfasilitasi pilihan klien dan membutuhkan peningkatan
pengetahuan tentang etika untuk menerapakan dalam strategi praktik kebidanan.

Moral merupakan pengetahuan atau keyakinan tentang adanya hal yang baik
dan buruk yang mempengaruhi sikap seseorang. Kesadaran tentang adanya baik
buruk berkembang pada diri seseorang seiring dengan pengaruh lingkungan,
pendidikan, sosial budaya, agama, dan lain-lain. Hal ini yang disebut kesadaran
moral. Issue moral dalam pelayanan kebidanan merupakan topik yang penting
yang berhubungan dengan benar dan salah dalam kehidupan sehari-hari yang ada
kaitannya dengan pelayanan kebidanan.

Beberapa contoh isu moral dalam kehidupan sehari-hari:

1. Kasus abortus.

Menurut KUHP

 Pengeluaran hasil konsepsi pada setiap stadium perkembangannya


sebelum masa kehamilan yang lengkap tercapai (38-40 minggu)
 Pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin dapat hidup diluar kandungan
(berat kurang dari 500 gram atau kurang dari 20 minggu). Dari segi
medikolegal maka istilah abortus, keguguran, dan kelahiran prematur
mempunyai arti yang sama dan menunjukan pengeluaran janin sebelum
usia kehamilan yang cukup.

Menurut UU Kesehatan Nomor 23/1992 pasal 15

 Disebutkan bahwa dalam keadaan darurat sebagai upaya untuk


menyelamatkan jiwa ibu hamil dan atau janinnya dapat dilakukan tindakan
medis tertentu. Maksud dari kalimat ‘tindakan medis tertentu’ salah
satunya adalah aborsi

30
 Selain pengertian diatas disebutkan pula bahwa aborsi atau pengguguran
kandungan adalah terminasi (penghentian) kehamilan yang disengaja
(abortus provocatus). Yakni, kehamilan yang diprovokasi dengan berbagai
macam cara sehingga terjadi pengguguran. Sedangkan keguguran adalah
kehamilan berhebti karena factor-faktor alamiah (abortus spontaneous).

Dalam dunia kedokteran dikenal 3 macam aborsi, yaitu:

1. Aborsi spontan/ alamiah berlangsung tanpa tindakan apapun. Kebanyakan


disebabkan karena kurang baiknya kualitas sel telur dan sel sperma.
2. Aborsi buatan/ sengaja/ Abortus Provocatus Criminalis adalah
pengakhiran kehamilan sebelum usia kandungan 20 minggu atau berat
janin kurang dari 500 gram sebagai suatu akibat tindakan yang disengaja
dan disadari oleh calon ibu maupun si pelaksana aborsi (dalam hal ini
dokter, bidan atau dukun beranak).
3. Aborsi terapeutik / Abortus Provocatus therapeuticum adalah pengguguran
kandungan buatan yang dilakukan atas indikasi medik. Sebagai contoh,
calon ibu yang sedang hamil tetapi mempunyai penyakit darah tinggi
menahun atau penyakit jantung yang parah yang dapat membahayakan
baik calon ibu maupun janin yang dikandungnya. Tetapi ini semua atas
pertimbangan medis yang matang dan tidak tergesa-gesa.

Undang – undang yang mengatur mengenai aborsi

Dalam KUHP Bab XIX Pasal 346 s/d 350 dinyatakan sebagai berikut :

 Pasal 346 : “Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan


kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan
pidana penjara paling lama empat tahun”.
 Pasal 347 : (1) Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau
mematikan kandungan seorang wanita tanpa persetujuannya, diancam
dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.(2) Jika perbuatan itu
mengakibatkan matinya wanita tersebut,diancam dengan pidana penjara
paling lama lima belas tahun.

30
 Pasal 348 : (1) Barang siapa dengan sengaja menggunakan atau
mematikan kandunga seorang wanita dengan persetujuannya, diancam
dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan.(2) Jika
perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut,diancam dengan
pidana penjara paling lama tujuh tahun.
 Pasal 349 : “Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu
melakukankejahatan berdasarkan pasal 346, ataupun membantu
melakukan salah satu kejahatan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana
yang ditentukan dalam pasal itu dapat dditambah dengan sepertiga
dandapat dicabut hak untuk menjalankan pencaharian dalam
manakejahatan dilakukan”.

Legalitas Aborsi dalam Kondisi Khusus menurut Undang-Undang

Abortus buatan, jika ditinjau dari aspek hukum dapat digolongkan ke dalam dua
golongan yakni :

1. Abortus buatan legal (Abortus provocatus therapcutius) Yaitu


pengguguran kandungan yang dilakukan menurut syarat dan cara-cara
yang dibenarkan oleh undang-undang, karena alasan yang sangat mendasar
untuk melakukannya: menyelamatkan nyawa/menyembuhkan si ibu.
2. Abortus buatan ilegal Yaitu pengguguran kandungan yang tujuannya
selain untuk menyelamatkan/ menyembuhkan si ibu, dilakukan oleh
tenaga yang tidak kompeten serta tidak memenuhi syarat dan cara-cara
yang dibenarkan oleh undang-undang.

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tindakan pengguguran


kandungan yang disengaja digolongkan ke dalam kejahatan terhadap nyawa (Bab
XIX pasal 346 s/d 249). Namun dalam undang-undang Nomor 23 Tahun 1992
Tentang kesehatan pada pasal 15ayat (1) dinyatakan bahwa dalam keadaan darurat
sebagai upaya untuk menyelamatkan jiwa ibu hamil atau janinnya, dapat
dilakukan tindakan medis tertentu. Kemudian pada ayat (2) menyebutkan tindakan
medis tertentu dapat dilakukan :

30
1. Berdasarkan indikasi medis yang mengharuskan diambilnya tindakan
tersebut
2. Oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kemampuan untuk
itu dan dilakukan sesuai dengan tanggung jawab profesi serta
pertimbangan tim ahli
3. Dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan serta suami dan keluarga

 Lalu dalam UU No. 1 tahun 1946 tentang KUHP, UU no. 7 thn. 1984 dan
UU no 3 thn.1992 aborsi tidak boleh dilakukan kecuali dalam kondisi
tertentu.

Dilakukannya Tindakan Abortus Provokatus / Kriminalis Komplikasi Medis yang


Dapat Timbul Pada Ibu:

1. Perforasi Dalam . Melakukan kerokan harus diingat bahwa selalu ada


kemungkinan terjadinya perforasi dinding uterus, yang dapat menjurus ke
rongga peritoneum, ke ligamentum latum, atau ke kandung kencing. Oleh
sebab itu letak uterus harus ditetapkan lebih dahulu dengan seksama pada
awal tindakan, dan pada dilatasi serviks jangan digunakan tekanan
berlebihan. Pada kerokan kuret dimasukkan dengan hati-hati, akan tetapi
penarikan kuret ke luar dapat dilakukan dengan tekanan yang lebih besar.
Bahaya perforasi ialah perdarahan dan peritonitis. Apabila terjadi perforasi
atau diduga terjadi peristiwa itu, penderita harus diawasi dengan seksama
dengan mengamati keadaan umum, nadi, tekanan darah, kenaikan suhu,
turunnya hemoglobin, dan keadaan perut bawah. Jika keadaan meragukan
atau ada tanda-tanda bahaya, sebaiknya dilakukan laparatomi percobaan
dengan segera.
2. Luka pada serviks uteri. Apabila jaringan serviks kerasdan dilatasi
dipaksakan maka dapat timbul sobekan pada serviks uteri yang perlu
dijahit. Apabila terjadi luka pada ostium uteri internum, maka akibat yang
segera timbul ialah perdarahan yang memerlukan pemasangan tampon
pada serviks dan vagina. Akibat jangka panjang ialah kemungkinan
timbulnya incompetent cerviks.

30
3. Pelekatan pada kavum uteri. Melakukan kerokan secara sempurna
memerlukan pengalaman. Sisa-sisa hasil konsepsi harus dikeluarkan,
tetapi jaringan miometrium jangan sampai terkerok, karena hal itu dapat
mengakibatkan terjadinya perlekatan dinding kavum uteri di beberapa
tempat. Sebaiknya kerokan dihentikan pada suatu tempat apabila pada
suatu tempat tersebut dirasakan bahwa jaringan tidak begitu lembut lagi.
4. Perdarahan. Kerokan pada kehamilan agak tua atau pada mola hidatidosa
ada bahaya perdarahan. Oleh sebab itu, jika perlu hendaknya
diselenggarakan transfusi darah dan sesudah kerokan selesai dimasukkan
tampon kasa ke dalam uterus dan vagina.
5. Infeksi. Apabila syarat asepsis dan antisepsis tidak diindahkan, maka
bahaya infeksi sangat besar. Infeksi kandungan yang terjadi dapat
menyebar ke seluruh peredaran darah, sehingga menyebabkan kematian.
Bahaya lain yang ditimbulkan abortus kriminalis antara lain infeksi pada
saluran telur. Akibatnya, sangat mungkin tidak bisa terjadi kehamilan lagi.
6. Lain-lain. Komplikasi yang dapat timbul dengan segera pada pemberian
NaCl hipertonik adalah apabila larutan garam masuk ke dalam rongga
peritoneum atau ke dalam pembuluh darah dan menimbulkan gejala-gejala
konvulsi, penghentian kerja jantung, penghentian pernapasan, atau
hipofibrinogenemia. Sedangkan komplikasi yang dapat ditimbulakan pada
pemberian prostaglandin antara lain panas, enek, muntah dan diare.

Komplikasi yang Dapat Timbul Pada Janin:

Sesuai dengan tujuan dari abortus itu sendiri yaitu ingin mengakhiri
kehamilan, maka nasib janin pada kasus abortus provokatus kriminalis sebagian
besar meninggal. Kalaupun bisa hidup, itu berarti tindakan abortus gagal
dilakukan dan janin kemungkinan besar mengalami cacat fisik. Secara garis besar
tindakan abortus sangat berbahaya bagi ibu dan juga janin yaitu bisa
menyebabkan kematian pada keduanya.

2. Euthanansia.

30
Bidang medis membagi proses kematian ke dalam tiga cara yaitu : pertama,
Orthothansia ialah proses kematian yang terjadi karena proses ilmiah atau secara
wajar, seperti proses ketuaan, penyakit dan sebagainya. Kedua, dysthanasia ialah
proses kematian yang terjadi secara tidak wajar, seperti pembunuhan, bunuh diri
dan lain-lain. Ketiga, euthanasia ialah proses kematian yang terjadi karena
pertolongan dokter.

Euthanasia atau jenis kematian ketiga yang disebutkan diatas merupakan jenis
kematian yang hingga saat ini menimbulkan dilema bagi para petugas medis
khususnya dokter karena belum adanya ketetapan hukum. Karena tidak jarang
pasien yang menderita penyakit parah dan sudah tidak ada harapan lagi untuk
sembuh menginginkan dokter melakukan euthanasia terhadap dirinya atau pasien
yang tidak sadarkan diri selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun sehingga
keluarganya tidak tega melihat penderitaan yang dialami oleh pasien tersebut
sehingga keluarga meminta kepada dokter untuk melakukan tindakan euthanasia.
Baik itu dengan cara menghentikan pengobatan, memberikan obat dengan dosis
yang berlebihan (over dosis), dan dengan berbagai macam cara lainnya.

Unsur-unsur euthanasia dilihat dari beberapa definisi di atas, antara lain :

1) Berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu.


2) Mengakhiri hidup, mempercepat kematian, atau tidak memperpanjang
hidup pasien.
3) Pasien menderita suatu penyakit yang sulit untuk disembuhkan kembali.
4) Atas atau tanpa permintaan pasien atau keluarganya.
5) Demi kepentingan pasien dan keluarganya.

Jenis-Jenis Euthanasia

Euthanasia dapat dibedakan menjadi beberapa jenis, sesuai dari mana sudut
pandangnya atau cara melihatnya.

a. Euthanasia dilihat dari cara dilaksanakannya

30
Berdasarkan cara pelaksanaannya, Euthanasia dapat dibedakan menjadi :

1) Euthanasia pasif

Euthanasia pasif adalah menghentikan atau mencabut segala tindakan


pengobatan yang sedang berlangsung untuk mempertahankan hidupnya. Menurut
kamus hukum, Euthanasia pasif adalah pihak dokter menghentikan segala obat
yang diberikan kepada pasien, kecuali obat untuk mengurangi atau
menghilangkan rasa sakit atas permintaan pasien.

Berdasarkan kedua pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa


Euthanasia pasif adalah tindakan mempercepat kematian pasien dengan cara
menolak memberikan pertolongan seperti menghentikan atau mencabut segala
pengobatan yang menunjang hidup si pasien.

Hal ini sudah jelas, karena seorang pasien yang sedang menjalani perawatan
pastilah didukung oleh obat-obatan sebagai salah satu tindakan medis yang
dilakukan oleh petugas medis atau dokter demi kesembuhan pasien. Apabila
petugas medis/dokter membiarkan pasien meninggal atau pasien menolak untuk
diberikan pertolongan oleh dokter dengan cara menghentikan pemberian obat-
obatan bagi pasien, misalnya seperti memberhentikan alat bantu pernapasan (alat
respirator) maka secara otomatis pasien meninggal. Cara yang dilakukan oleh
dokter tersebut merupakan euthanasia pasif.

2) Euthanasia aktif

Euthanasia aktif adalah perbuatan yang dilakukan dengan sengaja secara


medis melalui intervensi atau tindakan aktif oleh seorang petugas medis (dokter),
bertujuan untuk mengakhiri hidup pasien. Dengan kata lain, Euthanasia aktif
sengaja dilakukan untuk membuat pasien yang bersangkutan meninggal, baik
dengan cara memberikan obat bertakaran tinggi (over dosis) atau menyuntikkan
obat dengan dosis atau cara lain yang dapat mengakibatkan kematian. Euthanasia
dibagi lagi menjadi euthanasia aktif langsung (direct) dan euthanasia aktif tidak
langsung (indirect). Euthanasia aktif langsung adalah dilakukannya tindakan

30
medik secara terarah yang diperhitungkan akan mengakhiri hidup pasien atau
memperpendek hidup pasien. Jenis euthanasia ini biasa disebut mercy killing.
Contohnya, dokter memberikan suntikan zat yang dapat segera mematikan pasien.

Euthanasia aktif tidak langsung adalah keadaan dimana dokter atau tenaga
medis melakukan tindakan medik tidak secara langsung untuk mengakhiri hidup
pasien, namun mengetahui adanya resiko yang dapat memperpendek atau
mengakhiri hidup pasien. Contohnya, mencabut oksigen atau alat bantu kehidupan
lainnya.

b. Ditinjau dari permintaan

Bagi pasien yang harapannya untuk sembuh sangat kecil biasanya mengajukan
permintaan kepada petugas medis untuk mengakhiri hidupnya agar pasien tersebut
tidak mengalami penderitaan yang berkepanjangan. Berdasarkan hal tersebut,
maka Euthanasia dapat dibedakan menjadi :

1) Euthanasia voluntir

Euthanasia voluntir adalah euthanasia yang dilakukan oleh petugas medis


berdasarkan permintaan dari pasien sendiri. Permintaan ini dilakukan oleh pasien
dalam kondisi sadar dan berulang-ulang, tanpa tekanan dari siapapun. Dengan
kata lain, pasien menginginkan dilakukannya euthanasia secara sukarela karena
berdasarkan permintaannya sendiri dan tanpa adanya paksaan dari pihak
manapun.

2) Euthanasia involuntir

Euthanasia involuntir ini dilakukan oleh petugas medis kepada pasien yang
sudah tidak sadar. Biasanya permintaan untuk dilakukannya euthanasia ini berasal
dari pihak ketiga yaitu keluarga pasien dengan berbagai alasan, antara lain : biaya
perawatan yang mahal sehingga tidak bisa ditanggung lagi oleh keluarga pasien,
kasihan terhadap penderitaan pasien, dan beberapa alasan lainnya. Menurut
Leenen, seperti dikutip oleh Chrisdiono, terdapat beberapa kasus yang disebut

30
pseudo-euthanasia atau euthanasia semu, yang tidak dapat dimasukkan pada
larangan hukum pidana. Empat pseudo-euthanasia menurut Leneen adalah :

 Pengakhiran perawatan medis karena gejala mati batang otak. Jantung


masih berdenyut, peredaran darah dan pernapasan masih berjalan, tetapi
tidak ada kesadaran karena otak seratus persen tidak berfungsi, misalnya
akibat kecelakaan berat.
 Pasien menolak perawatan atau bantuan medis terhadap dirinya.
 Berakhirnya kehidupan akibat keadaan darurat karena kuasa tidak terlawan
(force majure).
 Penghentian perawatan/pengobatan/bantuan medis yang diketahui tidak
ada gunanya.

c. Euthanasia Menurut Ajaran Agama


1. Dalam ajaran gereja Katolik Roma

Sejak pertengahan abad ke-20, gereja Katolik telah berjuang untuk


memberikan pedoman sejelas mungkin mengenai penanganan terhadap mereka
yang menderita sakit tak tersembuhkan, sehubungan dengan ajaran moral gereja
mengenai eutanasia dan sistem penunjang hidup. Paus Pius XII, yang tak hanya
menjadi saksi dan mengutuk program-program egenetika dan euthanasia Nazi,
melainkan juga menjadi saksi atas dimulainya sistem-sistem modern penunjang
hidup, adalah yang pertama menguraikan secara jelas masalah moral ini dan
menetapkan pedoman.

Pada tanggal 5 Mei tahun 1980, kongregasi untuk ajaran iman telah
menerbitkan Dekalarasi tentang eutanasia ("Declaratio de euthanasia") yang
menguraikan pedoman ini lebih lanjut, khususnya dengan semakin meningkatnya
kompleksitas sistem-sistem penunjang hidup dan gencarnya promosi eutanasia
sebagai sarana yang sah untuk mengakhiri hidup. Paus Yohanes Paulus II, yang
prihatin dengan semakin meningkatnya praktik eutanasia, dalam ensiklik Injil
Kehidupan (Evangelium Vitae) nomor 64 yang memperingatkan kita agar
melawan "gejala yang paling mengkhawatirkan dari `budaya kematian' dimana

30
jumlah orang-orang lanjut usia dan lemah yang meningkat dianggap sebagai
beban yang mengganggu." Paus Yohanes Paulus II juga menegaskan bahwa
eutanasia merupakan tindakan belas kasihan yang keliru, belas kasihan yang
semu: "Belas kasihan yang sejati mendorong untuk ikut menanggung penderitaan
sesama. Belas kasihan itu tidak membunuh orang, yang penderitaannya tidak
dapat kita tanggung"

2. Dalam ajaran agama Hindu

Pandangan agama Hindu terhadap euthanasia adalah didasarkan pada ajaran


tentang karma, moksa dan ahimsa. Karma adalah merupakan suatu konsekuensi
murni dari semua jenis kehendak dan maksud perbuatan, yang baik maupun yang
buruk, lahir atau bathin dengan pikiran kata-kata atau tindakan. Sebagai
akumulasi terus menerus dari "karma" yang buruk adalah menjadi penghalang
"moksa" yaitu suatu ialah kebebasan dari siklus reinkarnasi yang menjadi suatu
tujuan utama dari penganut ajaran Hindu.

Ahimsa adalah merupakan prinsip "anti kekerasan" atau pantang menyakiti


siapapun juga. Bunuh diri adalah suatu perbuatan yang terlarang di dalam ajaran
Hindu dengan pemikiran bahwa perbuatan tersebut dapat menjadi suatu faktor
yang mengganggu pada saat reinkarnasi oleh karena menghasilkan "karma"
buruk. Kehidupan manusia adalah merupakan suatu kesempatan yang sangat
berharga untuk meraih tingkat yang lebih baik dalam kehidupan kembali.
Berdasarkan kepercayaan umat Hindu, apabila seseorang melakukan bunuh diri,
maka rohnya tidak akan masuk neraka ataupun surga melainkan tetap berada
didunia fana sebagai roh jahat dan berkelana tanpa tujuan.

3. Dalam ajaran agama Buddha

Ajaran agama Buddha sangat menekankan kepada makna dari kehidupan


dimana penghindaran untuk melakukan pembunuhan makhluk hidup adalah
merupakan salah satu moral dalam ajaran Buddha. Berdasarkan pada hal tersebut
di atas maka nampak jelas bahwa euthanasia adalah sesuatu perbuatan yang tidak
dapat dibenarkan dalam ajaran agama Buddha. Selain daripada hal tersebut, ajaran

30
Buddha sangat menekankan pada "welas asih" ("karuna"). Mempercepat kematian
seseorang secara tidak alamiah adalah merupakan pelanggaran terhadap perintah
utama ajaran Buddha yang dengan demikian dapat menjadi "karma" negatif
kepada siapapun yang terlibat dalam pengambilan keputusan guna memusnahkan
kehidupan seseorang tersebut.

4. Dalam ajaran Islam

Dalam Islam mengakui hak seseorang untuk hidup dan mati, namun hak
tersebut merupakan anugerah Allah kepada manusia. Hanya Allah yang dapat
menentukan kapan seseorang lahir dan kapan ia mati (QS 22 : 66; 2 : 243). Oleh
karena itu, bunuh diri diharamkan dalam hukum Islam meskipun tidak ada teks
dalam Al Quran maupun Hadits yang secara eksplisit melarang bunuh diri.
Kendati demikian, ada sebuah ayat yang menyiratkan hal tersebut, "Dan
belanjakanlah (hartamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu
sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang berbuat baik." (QS 2: 195), dan dalam ayat lain
disebutkan, "Janganlah engkau membunuh dirimu sendiri," (QS 4: 29), yang
makna langsungnya adalah "Janganlah kamu saling berbunuhan." Dengan
demikian, seorang Muslim (dokter) yang membunuh seorang Muslim lainnya
(pasien) disetarakan dengan membunuh dirinya sendiri.

Eutanasia dalam ajaran Islam disebut qatl ar-rahmah atau taisir al-maut
(eutanasia), yaitu suatu tindakan memudahkan kematian seseorang dengan sengaja
tanpa merasakan sakit, karena kasih sayang, dengan tujuan meringankan
penderitaan si sakit, baik dengan cara positif maupun negatif. Pada konferensi
pertama tentang kedokteran Islam di Kuwait tahun 1981, dinyatakan bahwa tidak
ada suatu alasan yang membenarkan dilakukannya eutanasia ataupun pembunuhan
berdasarkan belas kasihan (mercy killing) dalam alasan apapun juga. Euthanasia
aktif menurut agama islam biasa disebut dengan taisir al-maut al-fa'al. Yang
dimaksud taisir al-maut al-fa'al (eutanasia positif) ialah tindakan memudahkan
kematian si sakit karena kasih sayang yang dilakukan oleh dokter dengan
mempergunakan instrumen (alat). Memudahkan proses kematian secara aktif

30
(eutanasia positif) adalah tidak diperkenankan oleh syara'. Sebab dalam tindakan
ini seorang dokter melakukan suatu tindakan aktif dengan tujuan membunuh si
sakit dan mempercepat kematiannya melalui pemberian obat secara overdosis dan
ini termasuk pembunuhan yang haram hukumnya, bahkan termasuk dosa besar
yang membinasakan.

Perbuatan demikian itu adalah termasuk dalam kategori pembunuhan


meskipun yang mendorongnya itu rasa kasihan kepada si sakit dan untuk
meringankan penderitaannya. Karena bagaimanapun si dokter tidaklah lebih
pengasih dan penyayang daripada Yang Menciptakannya. Karena itu serahkanlah
urusan tersebut kepada Allah Ta'ala, karena Dia-lah yang memberi kehidupan
kepada manusia dan yang mencabutnya apabila telah tiba ajal yang telah
ditetapkan-Nya. Eutanasia pasif disebut dengan taisir al-maut al-munfa'il. Pada
eutanasia pasif tidak dipergunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk
mengakhiri kehidupan si sakit, tetapi ia hanya dibiarkan tanpa diberi pengobatan
untuk memperpanjang hayatnya. Hal ini didasarkan pada keyakinan dokter bahwa
pengobatan yang dilakukan itu tidak ada gunanya dan tidak memberikan harapan
kepada si sakit. Di antara masalah yang sudah terkenal di kalangan ulama syara'
ialah bahwa mengobati atau berobat dari penyakit tidak wajib hukumnya menurut
jumhur fuqaha dan imam-imam mazhab. Bahkan menurut mereka mengobati atau
berobat ini hanya berkisar pada hukum mubah.

5. Dalam ajaran agama Kristen Protestan

Gereja Protestan terdiri dari berbagai denominasi yang mana memiliki


pendekatan yang berbeda-beda dalam pandangannya terhadap eutanasia dan orang
yang membantu pelaksanaan eutanasia.

Beberapa pandangan dari berbagai denominasi tersebut misalnya :

 Gereja Methodis (United Methodist church) dalam buku ajarannya


menyatakan bahwa : "penggunaan teknologi kedokteran untuk
memperpanjang kehidupan pasien terminal membutuhkan suatu keputusan
yang dapat dipertanggung jawabkan tentang hingga kapankah peralatan

30
penyokong kehidupan tersebut benar-benar dapat mendukung kesempatan
hidup pasien, dan kapankah batas akhir kesempatan hidup tersebut".
 Gereja Lutheran di Amerika menggolongkan nutrisi buatan dan hidrasi
sebagai suatu perawatan medis yang bukan merupakan suatu perawatan
fundamental. Dalam kasus dimana perawatan medis tersebut menjadi sia-
sia dan memberatkan, maka secara tanggung jawab moral dapat dihentikan
atau dibatalkan dan membiarkan kematian terjadi.

Seorang kristiani percaya bahwa mereka berada dalam suatu posisi yang unik
untuk melepaskan pemberian kehidupan dari Tuhan karena mereka percaya bahwa
kematian tubuh adalah merupakan suatu awal perjalanan menuju ke kehidupan
yang lebih baik. Pemimpin gereja Katolik dan Protestan mengakui bahwa apabila
tindakan mengakhiri kehidupan ini dilegalisasi maka berarti suatu pemaaf untuk
perbuatan dosa, juga dimasa depan merupakan suatu racun bagi dunia perawatan
kesehatan, memusnahkan harapan mereka atas pengobatan.

Sejak awalnya, cara pandang yang dilakukan kaum kristiani dalam


menanggapi masalah "bunuh diri" dan "pembunuhan berdasarkan belas kasihan
(mercy killing) adalah dari sudut "kekudusan kehidupan" sebagai suatu pemberian
Tuhan. Mengakhiri hidup dengan alasan apapun juga adalah bertentangan dengan
maksud dan tujuan pemberian tersebut.

6. Euthanasia dan Kode Etik Kedokteran

Bartens menjelaskan etika berasal dari bahasa Yunani kuno yaitu “ethos”
dalam bentuk tunggal yang berarti adat kebiasaan, adat istiadat, akhlak yang baik.
Bentuk jamak dari ethos adalah “ta etha” artinya adat kebiasaan. Lebih lanjut,
Poerwadarminta menyimpulkan bahwa : etika adalah sama dengan akhlak, yaitu
pemahaman tentang apa yang baik dan apa yang buruk, serta pemahaman tentang
hak dan kewajiban orang. Etika sebagai kajian ilmu membahas tentang moralitas
atau tentang manusia terkait dengan perilakunya terhadap makhluk lain dan
sesama manusia. James J. Spillane SJ1mengungkapkan bahwa etika atau ethic
memperhatikan atau mempertimbangkan tingkah laku manusia dalam
pengambilan keputusan moral. Berdasarkan pengertian di atas maka dapat ditarik

30
kesimpulan bahwa etika merupakan suatu aturan yang mengatur tingkah laku
dalam bermasyarakat sehingga bisa menmbedakan apa yang baik dan apa yang
buruk serta mana yang hak dan mana kewajiban.

Secara garis besar etika dikelompokkan menjadi dua, yaitu etika umum dan
etika khusus. Etika umum merupakan aturan bertindak secara umum dalam
kelompok masyarakat tertentu. Etika khusus, yang selanjutnya berkembang
menjadi etika profesi adalah aturan bertindak pada kelompok-kelompok
masyarakat yang bersifat khusus, yakni kelompok profesi. Tujuan dari etika
profesi ini adalah agar tidak terjadi penyimpangan dalam menjalankan profesi.
Oleh karena itu, etika profesi ini harus ditaati dan dipatuhi oleh setiap orang yang
menjalankan profesi tertentu, misalnya seorang dokter yang harus tunduk dan taat
pada Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI).

Segala tindakan yang dilakukan oleh seorang dokter harus sesuai dengan
keahliannya yang diperoleh dari pendidikan kedokteran yang telah ditempuhnya
serta perkembangan ilmu pengetahuan kedokteran. Sebagaimana diatur dalam
Pasal 2 Kode Etik Kedokteran, yaitu “seorang dokter harus senantiasa berupaya
melaksanakan profesinya sesuai dengan standar profesi yang tertinggi.” Standar
profesi tertinggi yang dimaksud adalah melakukan profesi sesuai dengan ilmu
pengetahuan kedokteran yang mutakhir atau sesuai dengan perkembangan IPTEK
kedokteran, etika umum, etika kedokteran, hukum dan agama. Pendidikan
kedokteran mutakhir yang dimaksud di atas adalah sesuai dengan Pasal 28 ayat 21
(1) Undang-Undang Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran, yaitu
“setiap dokter atau dokter gigi yang berpraktek wajib mengikuti pendidikan dan
pelatihan kedokteran atau kedokteran gigi berkelanjutan yang diselenggarakan
oleh organisasi profesi dan lembaga lain yang diakreditasi oleh organisasi profesi
dalam rangka penyerapan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
kedokteran atau kedokteran gigi.”

Selain itu, dalam Kode Etik Kedokteran yaitu pada Pasal 7c bahwa “seorang
dokter harus menghormati hak-hak pasien, hak-hak sejawatnya, dan hak tenaga
kesehatan lainnya, dan harus menjaga kepercayaan pasien.” Hak pasien yang

30
dimaksud pada Pasal tersebut salah satunya adalah hak untuk hidup dan hak atas
tubuhnya sendiri. Maka berdasarkan Pasal 7c seorang dokter harus memenuhi
permintaan pasien yang ingin dieutahanasia sebab pasien tersebut berhak atas
hidup dan tubuhnya sendiri. Tetapi pada Pasal 7d menyatakan bahwa “setiap
dokter harus senantiasa mengingat kewajiban melindungi hidup insani.” Artinya,
dalam tindakan medis yang dilakukan oleh dokter bertujuan untuk memelihara
kesehatan dan mempertahankan hidup pasien. Sehingga dokter tidak boleh
melakukan tindakan yang tidak memelihara atau mempertahankan hidup pasien
salah satunya adalah Euthanasia.

Terjadi ketidakharmonisan antara Pasal 7c dengan Pasal 7d Kode Etik


Kedokteran Indonesia apabila dikaitkan dengan Euthanasia, yaitu berdasarkan
Pasal 7c seorang dokter harus memenuhi permintaan pasien untuk dilakukan
Euthanasia sesuai dengan hak pasien atas hidup dan tubuhnya sendiri. Menurut
Pasal 7d seorang dokter harus memelihara kesehatan dan mempertahankan hidup
seorang pasien.

Menurut Frans13, beberapa tantangan etika kedokteran meliputi : penetapan


norma-norma etika kedokteran, otonomi pasien, janin manusia dan euthanasia.
Mengenai kasus euthanasia, sampai saat ini masih menimbulkan dilema antara
etika kedokteran dan problem hidup yang sangat sulit diselesaikan. Selain Kode
Etik Kedokteran Indonesia landasan etika kedokteran yang lain yaitu Sumpah
Hipocrates (460-377 SM), Deklarasi Geneva (1948) mengenai lafal sumpah
dokter, International Code of Medical Ethics (1949), Lafal Sumpah Dokter
Indonesia (1960), Deklarasi Helsinki (1964) mengenai riset klinik, Deklarasi
Sydney (1968) mengenai saat kematian, Deklarasi Oslo (1970) mengenai
pengguguran kandungan atas indikasi medik dan Deklarasi Tokyo (1975)
mengenai penyiksaan.

Berkaitan dengan kasus euthanasia maka pihak yang bertanggung jawab


dalam pelaksanaannya adalah dokter. Tanggung jawab tersebut didasarkan pada
implikasi yuridis terjadinya kesalahan atau kelalaian dalam perawatan atau
pelayanan pasien. Kesalahan dokter timbul sebagai akibat terjadinya tindakan

30
yang tidak sesuai, atau tidak memenuhi prosedur medis yang seharusnya
dilakukan, yang dapat terjadi karena faktor kesengajaan atau kelalaian dari
seorang dokter.15 Menurut C. Berkhouwer dan L. D. Vorstman, suatu kesalahan
dalam melakukan profesi bisa terjadi karena adanya tiga faktor, yaitu :

1) Kurangnya pengetahuan.
2) Kurangnya pengalaman.
3) Kurangnya pengertian.

Tanggung jawab dokter dari sudut hukum meliputi tanggung jawab hukum
pidana, hukum perdata dan hukum administrasi. Tanggung jawab hukum pidana
apabila terjadi kesalahan atau kelalaian dalam menjalankan tugas maka dokter
harus bertanggung jawab. Tanggung jawab hukum perdata bersumber pada 2
dasar, yaitu : Pertama, berdasarkan pada wanprestasi (contractual liability)
sebagaimana diatur dalam Pasal 1239 KUHPerdata; Kedua, berdasarkan
perbuatan melanggar hukum (onrechmatigedaad) sesuai dengan ketentuan Pasal
1365 KUHPerdata. Tanggung jawab hukum administrasi yaitu apabila tindakan
dokter atau tenaga medis lain mengakibatkan timbulnya kerugian bagi pasien.

3. Adopsi atau pengangkatan anak

Dalam kamus umum bahasa Indonesia mengartikan anak angkat adalah anak
orang lain yang diambil (dipelihara) serta disahkan secara hukum sebagai anak
sendiri.22Menurut Ensiklopedia Umum, anak angkat adalah suatu cara untuk
mengadakan hubungan antara orangtua dan anak yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan.

Menurut Hilman Hadikusuma, anak angkat adalah anak orang lain yang
dianggap anak sendiri oleh orangtua angkat dengan resmi menurut hukum adat.
Dari segi etimologi yaitu asal usul kata pengangkatan anak berasal dari bahasa
Belanda “Adoptie” atau adoption (bahasa Inggris) yang berarti pengangkatan
anak.

30
Dalam bahasa arab disebut “Tabanni” yang menurut prof. Mahmud Yunus
diartikan dengan “mengambil anak angkat”, sedang menurut kamus Munjid
diartikan “menjadikannya sebagai anak”. Pengertian dalam bahasa Belanda
menurut kamus hukum berarti pengangkatan seorang anak untuk sebagai anak
kandungnya sendiri.

A. Tujuan Adopsi atau pengangkatan anak

Tujuannya adalah antara lain untuk meneruskan keturunan apabila dalam


suatu perkawinan tidak memperoleh keturunan. 30 Motivasi ini sangat kuat
terhadap pasangan suami istri yang telah divonis tidak bisa mendapatkan
keturunan/tidak mungkin melahirkan anak dengan berbagai macam sebab, seperti
mandul pada umumnya.

Padahal mereka sangat mendambakan kehadiran seorang anak ditengah-


tengah keluarga mereka. Menurut Staatblad Tahun 1917 No.129, pengangkatan
anak dilakukan dengan alasan apabila seorang laki-laki yang kawin atau telah
pernah kawin, tidak mempunyai keturunan laki-laki yang sah menurut garis laki-
laki, baik karena pertalian darah maupun karena pengangkatan. Menurut Staatblad
ini, pengangkatan anak dilakukan karena dalam suatu perkawinan tidak
mendapatkan keturunan/anak laki-laki.

Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak, secara


tegas menyatakan bahwa tujuan pengangkatan anak, motivasi pengangkatan anak
hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik bagi anak dan dilakukan
berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.31Ketentuan ini sangat memberikan jaminan perlindungan
bagi anak yang sifatnya memang sangat tergantung dari orangtuanya

Praktek pengangkatan anak dengan motivasi komersial perdagangan,


komersial untuk pancingan dan kemudian setelah pasangan tersebut memperoleh
anak dari rahimnya sendiri atau anak kandung, si anak angkat yang hanya sebagai
pancingan tersebut disia-siakan atau diterlantarkan, hal tersebut sangat
bertentangan dengan hak-hak yang melekat pada anak. Oleh karena itu

30
pengangkatan anak harus dilandasi oleh semangat kuat untuk memberikan
pertolongan dan perlindungan sehingga masa depan anak angkat akan lebih baik
dan lebih maslahat.

Berdasarkan sumber-sumber yang ada, dalam hal ini terdapat beberapa


alternatif yang digunakan sebagai dasar dilaksanakannya suatu pengangkatan
anak. Dilihat dari sisi adoptant, karena adanya alasan:

 Keinginan untuk mempunyai anak atau keturunan.


 Keinginan untuk mendapatkan teman bagi dirinya sendiri atau anaknya.
 Keinginan untuk menyalurkan rasa belas kasihan terhadap anak orang lain
yang membutuhkan.
 Adanya ketentuan hukum yang memberikan peluang untuk melakukan
suatu pengangkatan anak.
 Adanya pihak yang menganjurkan pelaksanaan pengangkatan anak untuk
kepentingan pihak tertentu.

Tujuan pengangkatan anak di Indonesia jika ditinjau dari segi hukum adat
berdasarkan penjelasan dan sumber literatur yang ada, terbagi atas beberapa
macam alasan dilakukan pengangkatan anak, yaitu:

 Karena tidak mempunyai anak.


 Karena belas kasihan terhadap anak tersebut disebabkan orangtua si anak
tidak mampu memberi nafkah kepadanya.
 Karena belas kasihan, disebabkan anak yang bersangkutan tidak
mempunyai orangtua (yatim piatu).
 Sebagai pemancing bagi yang tidak mempunyai anak untuk bisa
mempunyai anak kandung. Dengan maksud agar si anak yang diangkat
mendapat pendidikan yang baik, motivasi ini juga erat hubungannya
dengan misi kemanusiaan. Untuk menyambung keturunan dan
mendapatkan pewaris (regenerasi) bagi yang tidak mempunyai anak.
Diharapkan anak angkat dapat menolong dihari tua dan menyambung
keturunan bagi yang tidak mempunyai anak. Ada juga rasa belas kasihan

30
terhadap nasib si anak seperti tidak terurus. Karena si anak sering
penyakitan atau selalu meningggal, maka untuk menyelamatkan si anak
diberikanlah anak tersebut kepada keluarga atau orang lain yang belum
atau tidak mempunyai anak dengan harapan agar si anak yang
bersangkutan akan selalu sehat dan panjang umur.

Dengan demikian pengangkatan anak merupakan suatu perbuatan yang


bernilai positif dalam masyarakat hukum adat kita dengan berbagai motivasi yang
ada, sesuai dengan keanekaragaman masyarakat dan bentuk kekeluargaan di
Indonesia

Pengangkatan Anak Menurut Peraturan Perundang-undangan:

Di Indonesia pemerintah menghendaki adanya kesejahteraan terhadap anak,


untuk itu pemerintah mengeluarkan produk yang memberikan perlindungan
terhadap anak yaitu dengan disahkannya Undang-Undang No. 23 Tahun 2002
tentang perlindungan anak yang mengatur tentang berbagai upaya dalam rangka
untuk memberikan perlindungan, pemenuhan hak-hak dan meningkatkan
kesejahteraan anak. Kemudian dapat di lihat pengertian pengangkatan anak
menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.54 tahun 2007 tentang
pelaksanaan pengangkatan anak yaitu suatu perbuatan hukum yang mengalihkan
seseorang anak dari lingkungan kekuasaan orangtua, wali yang sah atau orang lain
yang bertangguang jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak
tersebut, kedalam lingkungan keluarga orangtua angkat.

Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 2 Tahun 1979 jo. No 6 Tahun
1983 tentang pengangkatan anak menerangkan bahwa pasangan suami istri yang
tidak mempunyai anak atau yang memutuskan untuk tidak mempunyai anak dapat
mengajukan permohonan pengesahan atau pengangkatan anak. Demikian juga
bagi mereka yang memutuskan untuk tidak menikah atau tidak terikat dalam
perkawinan

Akibat Hukum Pengangkatan Anak:

30
Ter Haar menyebutkan bahwa anak angkat berhak atas warisan sebagai anak,
bukannya sebagai orang asing. Sepanjang perbuatan ambil anak (adopsi) telah
menghapuskan perangainya sebagai “orang asing’ dan menjadikannya perangai
“anak” maka anak angkat berhak atas warisan sebagai seorang anak. Itulah titik
pangkalnya hukum adat. Wirjono Prodjodikoro berpendapat pada hakekatnya
seorang baru dapat dianggap anak angkat, apabila orang yang mengangkat itu
memandang dalam lahir dan batin anak itu sebagai anak keturunannya sendiri.

Pengadilan dalam praktek telah merintis mengenai akibat hukum didalam


pengangkatan antara anak dengan orangtua sebagai berikut:

 Hubungan darah : mengenai hubungan ini dipandang sulit untuk


memutuskan hubungan anak dengan orangtua kandung.
 Hubungan waris : dalam hal waris secara tegas dinyatakan bahwa anak
sudah tidak akan mendapatkan waris lagi dari orangtua kandung. Anak
yang diangkat akan mendapat waris dari orangtua angkat.
 Hubungan perwalian : dalam hubungan perwalian ini terputus
hubungannya anak dengan orangtua kandung dan beralih kepada orangtua
angkat. Beralihnya ini, baru dimulai sewaktu putusan diucapkan oleh
pengadilan. Segala hak dan kewajiban orangtua kandung beralih kepada
orangtua angkat.
 Hubungan marga, gelar, kedudukan adat; dalam hal ini anak tidak akan
mendapat marga, gelar dari orangtua kandung, melainkan dari orangtua
angkat.

4. Transplantasi

Ada beberapa pengertian tentang transplantasi organ, di antaranya yaitu:

 Dalam dunia kedokteran pencangkokan atau transplantasi diartikan


sebagai pemindahan jaringan atau organ dari tempat yang satu ketempat
lainnya. Hal ini bisa terjadi dalam satu individu atau dua individu.

30
 Transplantasi adalah pemindahan suatu jaringan atau organ manusia
tertentu dari suatu tempat lain pada tubuhnya sendiri atautubuh orang lain
dengan persyaratan dan kondisi tertentu.
 Dalam Kamus Kedokteran DORLAND dijelaskan bahwa transplantasi
berasal dari transplantation (trans + L.plantare menanam) berarti
penanaman jaringan yang diambil dari tubuh yang sama atau dari individu
lain. Adapun trasplant berarti:
1. Menstransfer jaringan dari satu bagian ke Bagian lain.
2. Organ atau jaringan yang diambil dari badan untuk ditanam di daerah lain
pada badan yang sama atau ke individu lain.

Terdapat dua hal penting yang mendasari transplantasi, yaitu eksplantasi dan
implantasi. Eksplantasi adalah usaha mengeluarkanatau mengambil jaringan atau
organ dari donor yang masih hidup ataupun yang sudah meninggal. Sedangkan
implantasi adalah usaha penempatan organ atau jaringan atau jaringan yang telah
yang telah di ambil dari tubuh donor untuk ditempatkan pada tubuh pendonor itu
sendiri atau ditempatkan pada tubuh resipient lain

A. Macam-macam transplantasi organ tubuh

Jika dilihat dari sudut penerima organ, maka transplantasi dibedakan menjadi:

1) Autotransplantasi yaitu pemindahan organ atau jaringan pada tempat yang


lain dari tubuh orang itu sendiri. Seperti seorang yang pipinya dioperasi
untuk memulihkan bentuk, diambilkan daging dari badannya yang lain
dari badannya sendiri.
2) Homotransplantasi yaitu pemindahan organ tubuh atau jaringan dari tubuh
yang satu ketubuh yang lain. Atau dari individu ke individu lain yang
sama jenisnya. Maksudnya manusia untuk manusia hewan untuk hewan.
3) Heterotransplantasi yaitu pemindahan organ tubuh atau jaringan dari dua
jenis individu yang berbeda, misalnya dari hewan ke tubuh manusia.

Sedangkan jika dilihat dari jenis transplantasi itu sendiri dibedakan menjadi dua:

30
1. Transplantasi jaringan, seperti pencangkokan cornea mata dan menambal
bibir sumbing.Transplantasi jaringan ini jika tidak dilakukan tidak
membahayakan kelangsungan hidup penderita, tujuannya hanyalah
menyempurnakan kekurangan yang ada.
2. Transplantasi organ, seperti jantung, hati, dan ginjal. Transplantasi ini
dilakukan untuk melangsungkan hidup penderita, karena jika tidak
dilakukan transplantasi maka akan membahayakan kelangsungan hidup
penderita.
B. Tujuan transplantasi organ tubuh

Transplantasi merupakan cara atau upaya medis untuk menggantikan organ


atau jaringan yang rusak, atau tidak berfungsi dengan baik. Pada dasarnya
transplantasi bertujuan sebagai usaha terakhir pengobatan bagi orang yang
bersangkutan, setelah usaha pengobatan yang lainnya mengalami kegagalan.
Sementara itu menurut Sa’ad pada dasrnya transplantasi bertujuan untuk:

1. Kesembuhan dari suatu penyakit, misalnya kebutaan, kerusakan jantung,


ginjal dan sebagainya.
2. Pemulihan kembali fungsi suatu organ, jaringan atau sel yang telah rusak,
atau mengalami kelainan tetapi sama sekali tidak terjadi kesakitan
biologis, misalnya bibir sumbing.
3. Mengurangi penderitaan dan meningkatkan kualitas hidup pasien.
C. Dasar hukum transplantasi organ tubuh

Mengenai Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 1981 dapat ditafsirkan,


Transplantasi alat atau jaringan tubuh manusia dilakukan dengan memperhtikan
ketentuan-katentuan sebagai berikut:

a. Penderita sendiri yang diberikan sebelum ia meninggal dunia tanpa


sepengetahuan keluarganya yang terdekat, dan keluarganya yang terdekat
ikut menyetujui pula. Yang dimaksud dengan keluarganya terdekat ialah
istri, suami, ibu, bapak atau saudara seibu-sebapak (sekandung) dari
penderita dan saudara ibu, saudara bapak serta anak yang telah dewasa
dari penderita

30
b. Keluarganya yang terdekat dengan pertimbangan untuk kepentingan ilmu
kedokteran, sehingga dapat diketahui sebab kematian penderita yang
bersangkutan

5. Bayi tabung

Bayi tabung adalah upaya jalan pintas untuk mempertemukan sel sperma dan
sel telur diluar tubuh (in vitro fertilization). Setelah terjadi konsepsi hasil tersebut
dimasukkan kembali ke dalam rahim ibu atau embrio transfer sehingga dapat
tumbuh menjadi janin sebagaimana layaknya kehamilan biasa.Status bayi tabung
ada 3 macam :

1. Inseminasi buatan dengan sperma suami.


2. Inseminasi buatan dengan sperma donor.
3. Inseminasi bautan dengan model titipan.

Beberapa Negara memperbolehkan donor sperma bukan suami, dan diakui


secara legal. Kerahasiaan identitas donor yang bukan suami senantiasa dijaga,
untuk menghindarkan masalah dikemudian hari. Terkait dengan proses bayi
tabung, pada tahun 1979, Majelis Ulama Indonesia (MUI) pernah mengeluarkan
fatwanya. Pada intinya, para ulama menyatakan bahwa bayi tabung diperbolehkan
selama sperma yang didonorkan berasal dari suami yang sah dari si perempuan
yang rahimnya hendak digunakan dalam proses bayi tabung.

Hal itu karena memanfaatkan teknologi bayi tabung merupakan hak bagi
pasangan yang berikhtiar untuk memperoleh keturunan. Namun, jika sperma dan
rahim yang digunakan bukan berasal dari pasangan suami istri yang sah, maka hal
itu statusnya sama dengan hubungan kelamin antara lawan jenis di luar
pernikahan yang sah. Dengan kata lain, bisa terjadi rahim seorang perempuan
dipinjamkan untuk proses bayi tabung dari embrio seorang lelaki yang bukan
suaminya. Nah, hal itu sama saja dengan perzinaan.tau tenaga medis lain
mengakibatkan timbulnya kerugian bagi pasien.

30
BAB 3

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Materi ini sangat penting bagi mahasiswa bidan untuk mengetahui tentang
apa itu etika, apa itu moral dan bagaimana menerapkannya dalam praktik
kebidanan sehingga seorang bidan akan terlidung dari kegiatan pelanggaran etik
ataupun pelanggaran moral yang sedang berkembang dihadapan public dan erat
kaitannya dengan pelayanan kebidanan sehingga seorang bidan sebagai provider
kesehatan harus kempeten dalam menyikapi dan mengambil keputusan yang tepat
untuk bahan tindakan selanjutnya sesuai standar asuhan dan kewenangan bidan

3.2 Saran

tentang “Issue Etik yang terjadi dalam Pelayanan Kebidanan (Issue


Moral)” berharap agar mahasiswi dapat mengetahui Issue etik yang terjadi dalam
pelayanan kebidanan khususnya Issue Moral sesuai dengan pembahasan yang ada
dalam makalah ini

30
DAFTAR PUSTAKA

http://galerymakalah.blogspot.com/2012/12/makalah-issue-etik-yang-terjadi-
dalam.html?m=1

http://inatiganna.blogspot.com/2017/04/issue-etik-dalam-pelayanan-
kebidanan.html

https://www.slideshare.net/LatifahSafriana/materi-issue-etik-yang-terjadi-dalam-
pelayanan-kebidanan

https://www.google.com/url?
sa=t&source=web&rct=j&url=http://bppsdmk.kemkes.go.id/pusdiksdmk/wp-
content/uploads/2017/08/Praktikum-Konsep-Kebidanan-dan-Etikolegal-dalam-
Praktik-Kebidanan
Komprehensif.pdf&ved=2ahUKEwjJ79_t5sLsAhVvFbcAHbwcCkoQFjAMegQIE
RAB&usg=AOvVaw2L4Xy5lVafBh4Y24044mkO

30

Anda mungkin juga menyukai