Anda di halaman 1dari 29

KONSEP ETIKA DAN MORAL

Dosen Pengampu : Dr. Dwi Noerjoedianto, SKM., M.Kes, CIQaR

Disusun Oleh :

Kelompok IV

1. Fatmasari Astuti G1D121050


2. Nadhira Beninda G1D121080
3. Putri Nurul Aqla Pagan G1D121157
4. Rivanda Irdhanve G1D121074
5. Sosa Melsa G1D121041
6. Winner M.S G1D121047

PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS JAMBI

2021

KATA PENGANTAR

1
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Konsep dan
Etika Moral” ini tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi
tugas oleh bapak Dr. Dwi Noerjoedianto, S.KM., M.Kes, CIQaR pada mata kuliah Etika
dan Hukum Kesehatan Masyarakat. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk
menambah wawasan tentang “Konsep dan Etika Moral” bagi para pembaca dan juga
bagi penulis.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada bapak Dr. Dwi Noerjoedianto, S.KM.,
M.Kes, CIQaR selaku dosen pada mata kuliah Etika dan Hukum Kesehatan
Masyarakat yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan
dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang penulis tekuni.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membagi sebagian pengetahuannya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah
ini. Penulis menyadari, makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu,
penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan makalah
ini.

Jambi, 04 Oktober 2021

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................................................... 1


DAFTAR ISI .................................................................................................................... 3
BAB 1 ............................................................................................................................. 4
PENDAHULUAN............................................................................................................. 4
1.1 Latar Belakang ................................................................................................... 4
1.2. Rumusan Masalah ............................................................................................. 5
BAB II ............................................................................................................................. 6
PEMBAHASAN .............................................................................................................. 6
2.1. Etika dan Etiket .................................................................................................. 6
2.1.1. Pengertian Etika .......................................................................................... 6
2.1.2. Pengertian Etiket ......................................................................................... 7
2.1.3. Jenis-Jenis Etika .......................................................................................... 8
2.1.4. Fungsi Etika ................................................................................................. 9
2.1.5. Persamaan dan Perbedaan Etika dan Etiket ............................................. 11
2.2. Faktor-Faktor yang Melandasi Etika................................................................. 12
2.3. Etika Sebagai Cabang Filsafat ......................................................................... 13
2.3.1. Pengertian Filsafat ..................................................................................... 13
2.3.2. Hubungan Etika dengan Ilmu Filsafat ........................................................ 15
2.3.3. Etika Sebagai Ciri Khas Filsafat ................................................................ 17
2.4. Moral dan Kode Etik ......................................................................................... 17
2.4.1. Moral.......................................................................................................... 17
2.4.2. Kode Etik ................................................................................................... 19
2.5. Prinsip Etika dalam Kesehatan ........................................................................ 22
BAB III .......................................................................................................................... 27
PENUTUP ..................................................................................................................... 27
3.1. Kesimpulan ...................................................................................................... 27
3.2. Saran ............................................................................................................... 28
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................... 29

3
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Di era modern ini, dalam kehidupan bermasyarakat sudah sangat
memperhatinkan. Karena di masyarakat khususnya di kalangan remaja, banyak
tingkah laku yang kurang sesuai dengan norma kehidupan. Hal ini dikarenakan
akibat perkembangan budaya di era modern dan di perkembangan tekhnologi
yang sudah ada dimana-mana. Namun, sebenarnya dalam perkembangan
budaya dan perkembangan tekhnologi tersebut, ada dampak positif dan
dampak negatif. Dampak positif dari media informasi yaitu dapat menjadi media
pendidikan, contohnya perkembangan tekhnologi yang dapat memudahkan
untuk belajar. Sedangkan dampak negatif dari perkembangan budaya yaitu
dapat menurunkan nilai-nilai kesopanan, contohnya tata cara mengenakan
busana yang baik. Pada jaman saat ini banyak remaja yang memakai busana
kurang sesuai, hal itu terjadi akibat masuknya budaya asing di Indonesia.
Mereka tidak memanfaatkan perkembangan tersebut menjadi hal positif tapi
menjadi hal negatif.

Perkembangan teknologi yang terjadi dalam kehidupan manusia, seperti


revolusi yang memberikan banyak perubahan pada cara berpikir manusia, baik
dalam penyelesaian masalah, perencanaan, maupun dalam pengambilan
keputusan. Dalam hal ini pengertian etika, etiket, dan moral sangat penting
untuk dipelajari dan dimengerti dikalangan masyarakat, khususnya dikalangan
remaja. Karena sebagian masyarakat di Indonesia belum begitu mengerti dan
memahami etika, etiket dan moral yang sebenarnya. Oleh karena itu, dengan
adanya etika, etiket, dan moral ini manusia mempunyai acuan atau pedoman
dalam berperilaku yang baik di kehidupan bermasyarakat. Karena hal ini juga
sangat penting dalam kemajuan bangsa dan Negara, manusia harus tahu etika

4
yang sudah diberlakukan untuk mengatur kehidupan bermasyarakat menjadi
lebih baik.

1.2. Rumusan Masalah

1. Apakah persamaan dan perbedaan etika dan etiket?


2. Faktor apa saja yang melandasi etika?
3. Mengapa etika dapat disebut sebagai cabang filsafat?
4. Apa sajakah prinsip etika dalam kesehatan?

1.3. Tujuan Pembahasan

1. Mengetahui persamaan dan perbedaan etika dan etiket.


2. Dapat mengetahui faktor yang melandasi etika.
3. Dapat mengetahui etika sebagai cabang filsafat.
4. Mengetahui prinsip etika dalam kesehatan.

5
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Etika dan Etiket

2.1.1. Pengertian Etika

Kata ”etika” dalam bahasa Yunani adalah ”ethos” (tunggal) yang berarti
kebiasaan- kebiasaan tingkah laku manusia, adab, akhlak, watak, perasaan,
sikap dan cara berfikir serta ”ta etha” (jamak), yang berarti adab kebiasaan.
Dalam bahasa Inggris, ”ethics”, berarti ukuran tingkah laku atau perilaku manusia
yang baik, tindakan yang tepat, yang harus dilaksanakan oleh manusia sesuai
dengan moral pada umumnya.

Menurut Aristoteles (384-322 s.M.) ”etika” berarti ilmu tentang apa yang
biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan. Dalam Kamus Umum Bahasa
Indonesia yang lama (Poerwadarminta, sejak 1953) ”etika” dijelaskan sebagai:
”ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral)”.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang baru (Departemen


Pendidikan dan Kebudayaan, 1988) ”etika” dijelaskan dengan membedakan tiga
arti :

1.) Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan
kewajiban moral (akhlak);
2.) Kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak;
3.) Nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau
masyarakat.

Hal ini terjadi apabila nilai - nilai, norma - norma moral, asas - asas akhlak
(moral), atau kode etik yang terdapat dalam kehidupan suatu masyarakat
menjadi bahan refleksi (pemikiran) secara menyeluruh (holisti), sistematis,
dan metodis. Etika merupakan pemikiran kritis tentang berbagai ajaran dan
pandangan moral. Etika sering disebut filsafat moral, karena berhubungan
dengan adat istiadat, norma - norma, dan nilai - nilai yang menjadi pegangan
dalam suatu kelompok atau seseorang untuk mengatur tingkah laku.

6
2.1.2. Pengertian Etiket

Etiket berasal dari bahasa Inggris Etiguette. Etiket berarti ”sopan santun”
Etiket adalah tata cara atau adab sopan santun di masyarakat beradab dalam
memelihara hubungan baik diantara sesama manusia.

Banyak yang berpendapat bahwa etiket adalah turunan atau bagian dari
etika itu sendiri, yang memanifestasikan dirinya sebagai tatakrama atau cara
dalam membangun hubungan antar manusia, tetapi lebih bersifat relatif.

Artinya, etiket tergantung pada cara pandang dan kebiasaan yang


dilakukan dalam kelompok masyarakat tertentu. Seperti yang dijelaskan oleh
Sedarmayanti (2005) adalah cara berbicara yang sopan , seperti duduk,
menerima tamu dan cara lainnya. Selain itu, Ernawati, (2004) menjelaskan etika
adalah tata cara bersosialisasi di antara manusia yang meliputi aturan, karma,
ketertiban, sopan santun dalam tindakan.

Dari dua pandangan pada di atas, makna etiket lebih mengacu pada
tindakan yang dapat digunakan oleh dalam memfasilitasi hubungan dan juga
dapat membantu mendukung dan mencapai tujuan yang diinginkan.

Definisi etiket, menurut para pakar ada beberapa pengertian, yaitu


merupakan kumpulan tata cara dan sikap baik dalam pergaulan antar manusia
yang beradab. Pendapat lain mengatakan bahwa etiket adalah tata aturan sopan
santun yang disetujui oleh masyarakat tertentu dan menjadi norma serta panutan
dalam bertingkah laku sebagai anggota masyarakat yang baik dan
menyenangkan.

K. Bertens dalam bukunya yang berjudul “Etika” (2000) memberikan 4


(empat) macam etiket, yaitu :

1. Etiket menyangkut cara (tata acara) suatu perbuatan harus dilakukan


manusia. Contoh: Ketika saya menyerahkan sesuatu kepada orang lain, saya
harus menyerahkannya dengan menggunakan tangan kanan. Jika saya
menyerahkannya dengan tangan kiri, maka saya dianggap melanggar etiket.
2. Etiket hanya berlaku dalam situasi dimana kita tidak seorang diri (ada orang
lain di sekitar kita). Bila tidak ada orang lain di sekitar kita atau tidak ada saksi
mata, maka etiket tidak berlaku. Contoh: Saya sedang makan bersama teman
sambil meletakkan kaki saya di atas meja makan, maka saya dianggap
melanggat etiket. Tetapi kalau saya sedang makan sendirian (tidak ada orang
lain), maka saya tidak melanggar etiket jika saya makan dengan cara
demikian.

7
3. Etiket bersifat relatif. Yang dianggap tidak sopan dalam satu kebudayaan,
bisa saja dianggap sopan dalam kebudayaan lain. Contoh: makan dengan
tangan atau bersendawa waktu makan.
4. Etiket memandang manusia dari segi lahiriah saja. Orang yang berpegang
pada etiket bisa juga bersifat munafik. Contoh: Bisa saja orang tampi sebagai
“manusia berbulu ayam”, dari luar sangan sopan dan halus, tapi di dalam
penuh kebusukan.

Etiket juga merupakan aturan - aturan konvensional melalui tingkah laku


individual dalam masyarakat beradab, merupakan tata cara formal atau tata
krama lahiriah untuk mengatur relasi antarpribadi, sesuai dengan status sosial
masingmasing individu. Etiket didukung oleh berbagai macam nilai, antara lain;

1. Nilai-nilai kepentingan umum


2. Nilai-nilai kejujuran, keterbukaan dan kebaikan
3. Nilai-nilai kesejahteraan
4. Nilai-nilai kesopanan, harga-menghargai
5. Nilai diskresi (discretion: pertimbangan) penuh piker. Mampu membedakan
sesuatu yang patut dirahasiakan dan boleh dikatakan atau tidak dirahasiakan.

2.1.3. Jenis-Jenis Etika

Manusia disebut etis, ialah manusia secara utuh dan menyeluruh mampu
memenuhi hajat hidupnya dalam rangka asas keseimbangan antara
kepentingan pribadi dengan pihak yang lainnya, antara rohani dengan
jasmaninya, dan antara sebagai makhluk berdiri sendiri dengan penciptanya.
Termasuk di dalamnya membahas nilai-nilai atau normanorma yang
dikaitkan dengan etika, terdapat dua jenis etika (Keraf: 1991: 23), sebagai
berikut:

a. Etika Deskriptif
Etika yang menelaah secara kritis dan rasional tentang sikap dan perilaku
manusia, serta apa yang dikejar oleh setiap orang dalam hidupnya sebagai
sesuatu yang bernilai. Artinya Etika deskriptif tersebut berbicara mengenai
fakta secara apa adanya, yakni mengenai nilai dan perilaku manusia
sebagai suatu fakta yang terkait dengan situasi dan realitas yang
membudaya. Dapat disimpulkan bahwa tentang kenyataan dalam
penghayatan nilai atau tanpa nilai dalam suatu masyarakat yang dikaitkan
dengan kondisi tertentu memungkinkan manusia dapat bertindak secara
etis. Etika deskriptif dibagi menjadi dua, yaitu:

8
1) Sejarah moral, yang meneliti cita-cita, aturan-aturan dan normanorma
moral yang pernah berlaku dalam kehidupan manusia dalam kurun
waktu dan tempat tertentu.
2) Fenomenologi moral, yang berupaya menemukan arti dan makna
moralitas dari beragam fenomena yang ada. Fenomenologi moral
berkepentingan untuk menjelaskan fenomena moral yang terjadi
masyarakat. Ia tidak memberikan petunjuk moral dan tidak
mempersalahkan apa yang salah.

b. Etika Normatif
Etika yang menetapkan berbagai sikap dan perilaku yang ideal dan
seharusnya dimiliki oleh manusia atau apa yang seharusnya dijalankan
oleh manusia dan tindakan apa yang bernilai dalam hidup ini. Jadi Etika
Normatif merupakan norma-norma yang dapat menuntun agar manusia
bertindak secara baik dan meng-hindarkan hal-hal yang buruk, sesuai
dengan kaidah atau norma yang disepakati dan berlaku di masyarakat.

Dari berbagai pembahasan definisi tentang etika, etika dapat


diklasifikasikan menjadi tiga jenis definisi, antara lain:
a. Jenis pertama
Etika dipandang sebagai cabang filsafat yang khusus membicarakan
tentang nilai baik dan buruk dari perilaku manusia.
b. Jenis kedua
Etika dipandang sebagai ilmu pengetahuan yang membicarakan baik
buruknya perilaku manusia dalam kehidupan bersama. Definisi tersebut
tidak melihat kenyataan bahwa ada keragaman norma, karena adanya
ketidaksamaan waktu dan tempat, akhirnya etika menjadi ilmu yang
deskriptif dan lebih bersifat sosiologik.
c. Jenis ketiga
Etika dipandang sebagai ilmu pengetahuan yang bersifat normatif, dan
evaluatif yang hanya memberikan nilai baik buruknya terhadap perilaku
manusia. Dalam hal ini tidak perlu menunjukkan adanya fakta, cukup
informasi, menganjurkan dan merefleksikan. Definisi etika ini lebih bersifat
informatif, direktif dan reflektif.

2.1.4. Fungsi Etika

Bahasan Etika meliputi semua tindak tanduk (perilaku) manusia baik


secara pribadi dan maupun komunitas (sosial)/bersama yang dapat diterima
mulai dari tata aturan sopan santun sehari-hari hingga pendirian yang
menentukan jenis perbuatan kita. Etika sebagai sarana untuk memperoleh

9
orientasi hidup yang benar, memiliki makna yang lebih besar dari sekadar alat
bantu bagi manusia.

Etika bertujuan untuk menerangkan hakikat dari kebaikan dan kejahatan.


Hal ini sangat penting untuk dipahami supaya manusia dibantu untuk memiliki
pegangan/patokan dalam menentukan mana yang baik dan mana yang tidak
baik (tidak benar) dalam bertindak. Sebab mau tidak mau, senang tidak senang,
hidup manusia selalu dikuasai oleh gagasan-gagasan yang benar dan yang tidak
benar, yang baik dan yang tidak baik. Etika menjadi sangat penting karena
memberi rambu-rambu bahwa tindakan itu penting dan cara bertindak manusia
sangat dipengaruhi oleh keyakinan mana yang benar dan yang tidak benar, atau
mana yang baik dan yang tidak baik.

Dengan kata lain, sasaran etika ialah terwujudnya praktik hidup yang baik
dimana setiap orang mampu mengetahui apa yang baik dan apa yang tidak baik
untuk dilakukan berdasarkan aturan-aturan untuk mengendalikan kegiatan itu
berdampingan dengan nilai-nilai yang tersirat di dalam kegiatan tersebut.

Ada empat fungsi etika yang diperlukan untuk membangun kehidupan yang
manusiawi untuk kehidupan di zaman sekarang ini, ialah:

a) Di zaman sekarang ini, kita hidup dalam masyarakat yang semakin


pluralistik. Hal ini berdampak pada penafsiran nilai-nilai/norma-norma
perilaku manusia, termasuk penafsiran baik nilai etika maupun nilai moral.
Semuanya menyatakan pendapatnya adalah benar. Bagaimanapun
pandangan dari segi etika tetap yang paling dipercaya, sebab pandangan
etika berdasarkan kajian ilmiah.
b) Dewasa ini kita hidup di zaman transformasi, bentuk masyarakat yang
tanpa tanding (masyarakat di atas segalanya). Perubahan nilai yang ada
sangat ditentukan oleh arus zaman. Nilai-nilai yang dulu sudah baku, kini
berubah secara total. Dalam hal ini etika mau membantu kita agar jangan
sampai kita kehilangan orientasi nilai, melalui etika kita dapat membedakan
mana nilai-nilai yang hakiki (tetap, baku) dan mana nilai-nilai yang
boleh/dapat berubah. Dengan memiliki pedoman yang benar, kita dapat
mengambil sikap dalam menghadapi perubahan zaman dan tentu saja
dapat mempertanggungjawabkannya pula.
c) Perubahan sosial budaya sering dimanfaatkan oleh kelompok yang ingin
memancing di air keruh. Mereka menawarkan gagasan ideologi yang
dikatakan sebagai obat penyelamat. Padahal belum tentu manjur untuk
kita. Di sini etika membantu kita untuk sanggup menghadapi perubahan
sosial budaya secara kritis dan objektif, sehingga kita dapat menentukan
sikap sendiri dan tidak mudah terpancing dalam gagasan ideologi yang

10
baru. Etika juga membantu kita untuk tidak naif dan tidak ekstrem dalam
menanggapi ideologi/pemikiran tentang kebenaran baru. Jangan cepat
percaya pada pandangan yang baru, namun juga jangan cepat menolak
nilai yang dianggap baru atau belum biasa.
d) Etika sangat membantu dalam mencerahkan ajaran agama, sehingga umat
beragama dapat lebih baik dalam menghayati iman mereka serta
menjalankan nilai-nilai agamanya.

2.1.5. Persamaan dan Perbedaan Etika dan Etiket

a) Persamaan antara etika dengan etiket


1. Etika dan etiket menyangkut perilaku manusia.
2. Kedua-duanya mengatur perilaku manusia secara normatif artinya
memberi norma bagi perilaku manusia. Dengan demikian menyatakan
apa yag harus dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan.

b) Perbedaan antara etika dengan etiket


Secara harpiah etiket memiliki keterkaitan dengan etika, sementara
apabila dilihat secara mendalam ternyata konsepsi etikat dan etiket tentunya
memiliki perbedaan, meskipun sama-sama berkaitan dengan pengaturan
perilaku manusia. K. Berten dalam Sutarno (2008) menjelaskan perbedaan
antara etika dengan etiket, yaitu:
1) Etiket selalu berhubungan dengan cara aturan bagaimana suatu perbuatan
harus kita lakukan, biasanya diharapkan dan ditentukan oleh suatu
masyarakat atau budaya tertentu. Sementara etika, tidak membatasi diri pada
soal cara dan bagaimana suatu tindakan harus dilakukan. Etika dalam hal ini
memberi norma atau tatanan mengenai perbuatan itu sendiri.
2) Etiket hanya berlaku dalam pergaulan dan sangat bergantung pada
kehadiran orang lain. Artinya etiket hanya berlaku ketika adanya kehadiran
orang lain sedangkan apabila tidak ada saksi atau orang lain, maka etiket
tidak berlaku. Lain halnya dengan etika, ada atau tidak ada orang lain etika
tetap berlaku dan tetap dijadikan sebagai pedoman yang harus dilakukan.
3) Etiket bersikap relatif, tidak mutlak dan tidak permanen. Artinya etiket tidak
bisa diterapkan diberbagai tempat atau dalam semua periode waktu.
Sedangkan etika lebih bersifat absolut atau mutlak, yaitu tanpa memandang
tempat, waktu atau situasi dimanpun dan kapanpun.
4) Etiket hanya memandang manusia dari lahiriah, bukan dari sisi batiniah.
Artinya etiket hanya melihat dari sisi penampilan atau menyoroti hanya dari
pandangan secara fisik dari luar. Disisi lain etika justru lebih melihat dari sisi
batiniah yang lebih pada perilaku etis yang benarbenar sungguh dari dalam
hati tanpa ada kemunafikan.

11
Melihat pada poin-poin tersebut mempertegas tentang orientasi dari etiket
yang cenderung mengarahkan pada perhatian-perhatian yang relatif pada
pembentukan perilaku manusia yang menyesuiakan dengan keadaan dan situasi
tanpa memerlukan pertimbangan-pertimbangan yang berorientasi pada
landasan, alasan, dan pandangan hidup. Karena tidak menutup kemungkinan
untuk etiket dapat berupa suatu tindakan yang dimungkinkan dapat bertentangan
dengan nilai-nilai yang terkandung dalam etika. Selama ini, ketika etiket
memainkan peranannya maka ada bagian lain dari etika yang terkadang tidak
begitu diperhitungkan, mengingat dalam kehidupan yang pluralist dan
menghadapi keragaman masyarakat sisi nilai etiket yang merupakan modal
dalam pergaulan yang sifatnya konvensional, sehingga etiket dapat saja terjadi
selama hal itu merupakan suatu kesepahaman atau kesepakatan dalam suatu
kesempatan atau dalam kondisi tertentu. dalam suatu kesempatan atau dalam
kondisi tertentu.

2.2. Faktor-Faktor yang Melandasi Etika


Faktor-faktor yang melandasi etika. antara lain:

a) Religius, agama mempunyai hubungan erat dengan moral, agama merupakan


motivasi terkuat perilaku moral atau etik, agama merupakan salah satu sumber
nilai dan norma etis yang paling penting, setiap agama mengandung ajaran
moral yang menjadi pegangan bagi perilaku para anggotanya.
b) Nilai-nilai atau value, sesuatu yang berguna dan sangat memberi makna bagi
seseorang atau kelompok orang.
c) Norma, aturan atau kaidah perilaku &tindakan manusia yang memberikan
pedoman tentang bagaimana bertindak/berperilaku yang baik atau benar dan
tepat.
d) Sosial budaya, dibangun oleh konstruksi sosial dan dipengaruhi oleh
perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi.
e) Kebijakan atau policy maker, siapa stakeholders nya dan / bagaimana
kebijakan yang dibuat sangat berpengaruh atau mewarnai etika maupun kode
etik.

12
2.3. Etika Sebagai Cabang Filsafat
Etika filsafat termasuk salah satu cabang ilmu filsafat dan malah dikenal sebagai
salah satu cabang filsafat yang paling tua. Dalam konteks filsafat yunani kuno etika
filsafat sudah terbentuk terbentuk dengan kematangan yang mengagumkan. Etika
filsafat merupakan ilmu, tetapi sebagai filsafat ia tidak merupakan suatu ilmu
emperis, artinya ilmu yang didasarkan pada fakta dan dalam pembicaraannya tidak
pernah meniggalkan fakta. Ilmu-ilmu itu bersifat emperis, karena seluruhnya
berlangsung dalam rangka emperis (pengalaman inderawi) yaitu apa yang dapat
dilihat, didengar, dicium, dan dirasakan. Ilmu emperis berasal dari observasi
terhadap fakta-fakta dan jika ia berhasil merumuskan hukumhukum ilmiah, maka
kebenaran hukum-hukum itu harus diuji lagi dengan berbalik kepada fakta-fakta.

Dibandingkan dengan ilmu-ilmu lain, etika filsafat tidak membatasi gejala-gejala


konkret. Tentu saja, filsafat berbicara juga tentang yang konkret, kadang-kadang
malah tentang hal-hal yang amat konkret, tetapi ia tidak berhenti di situ.

Pada awal sejarah timbulnya ilmu etika, terdapat pandangan bahwa


pengetahuan bener tentang bidang etika secara otomatis akan disusun oleh
perilaku yang benar juga. Itulah ajaran terkenal dari sokrates yang disebut
Intelektualisme Etis. Menurut sokrates orang yang mempunyai pengetahuan
tentang baik pasti akan melakukan kebaikan juga. Orang yang berbuat jahat,
dilakukan karena tidak ada pengetahuan mendalam mengenai ilmu etika.

2.3.1. Pengertian Filsafat

Filsafat dari kata philo yang berarti cinta dan kata sophos yang berarti ilmu
atau hikmah. Secara etimologi filsafat berarti cinta terhadap ilmu dan hikmah.
Dalam hubungan ini al-Syabani berpendapat, bahwa filsafat bukanlah
hikmah melainkan cinta terhadap hikmah dan berusaha mendapatkannya,
memusatkan perhatian padanya dan menciptakan sikap positif terhadapnya.
Untuk itu ia mengatakan bahwa filsafat berarti mencari hakikat sesuatu,
berusaha menautkan sebab dan akibat dan berusaha menafsirkan
pengalaman-pengalaman manusia.

Menurut istilah (terminologi) filsafat adalah cinta terhadap hikmah dan


berusaha mendapatkan falsafah Islam, memusatkan perhatian pada falsafah
Islam dan menciptakan sikap positif terhadap falsafah Islam. Filsafah Islam
merupakan medan pemikiran yang terus berkembang dan berubah. Dalam
kaitan ini, diperlukan pendekatan historis terhadap filsafat islam yang tidak
hanya menekankan pada studi tokoh, tetapi yang lebih penting lagi adalah
memahami proses dialektik pemikiran yang berkembang melalui kajian-

13
kajian tematik atas persoalan-persoalan yang terjadi pada setiap zaman.
Istilah filsafat dapat ditinjau dari dua sagi, yaitu:

1) Segi semantik
Filsafat berasal dari bahasa Arab yaitu falsafah. Dari bahasa Yunani
yaitu philosophia, yaitu pengetahuan hikmah (wisdom). Jadi,
philosophia berarti cinta pengetahuan, kebijaksanaan dan kebenaran.
Maksudnya ialah orang menjadikan pengetahuan sebagai tujuan
hidupnya dan mengabadikan dirinya kepada pengetahuan.
2) Segi praktis
Filsafat yaitu alam pikiran artinya berfilsafat itu berpikir. Orang yang
berpikir tentang filsafat disebut filosof, yaitu orang yang memikirkan
hakikat segala sesuatu dengan sungguhsungguh di dalam tugasnya.
Filsafat merupakan hasil akal manusia yang mencari dan memikirkan
suatu kebenaran dengan sedalamdalamnya. Jadi, filsafat adalah ilmu
yang mempelajari dengan sungguh-sungguh hakikat kebenaran segala
sesuatu. (M. Yatimin Abdullah: 2006)

Adapun definisi ilmu filsafat yang diberikan oleh para ahli filsafat
adalah sebagai berikut:
a) Plato
Mengatakan filsafat ialah ilmu pengetahuan tentang segala yang ada
(ilmu pengatahuan yang berminat mencapai kebenaran yang asli)
b) Aristoteles
Mengatakan filsafat ialah ilmu pengetahuan yang mengikuti
kebenaran, yang di dalamnya terkandung ilmu-ilmu metafisika,
logika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan etistika.
c) Al-Farabi (889-950 M)
Mengatakan filsafat ialah ilmu pengetahuan tentang alam maujud
dan bertujuan menyelidiki hakikat yang sebenarnya.
d) Immanuel Kant (1724-1804 M)
Mengatakan filssafat ialah ilmu pokok dan pangkal segala
pengetahuan yang mencakup di dalamnya empat persoalan, yaitu
Tuhan, alam, pikiran dan manusia. 5. Prancis Bacon Mengatakan
filsafat merupakan induk agung dari ilmuilmu dan filsafat menangani
semua pengatahuan sebagai bidangnya.
e) John Dewey
Mengatakan filsafat harus dipandang sebagai suatuu pengungkapan
mengenai perjuangan manusia secara terus-menerus.

14
Perbedaan definisi itu menurut Ahmad Tafsir (1992) disebabkan
oleh berbedanya konotasi filsafat pada tokoh-tokoh itu karena perbadaan
keyakinan hidup yang dianut mereka. Perbadaan itu juga dapat muncul
karena perkembangan filsafat itu sendiri yang menyebabkan beberapa
pengetahuan khusus memisahkan diri dari filsafat. Sampai di sini dapat
diambil kesimpulan bahwa perbadaan definisi filsafat antara satu tokoh
dengan tokoh lainnya disebabkan oleh perbadaan konotasi filsafat pada
mereka masing-masing.

Berfilsafat adalah berpikir, namun tidak semua berpikir adalah


berfilsafat. Berpikir dikatakan berfilsafat, apabila berpikir tersebut memiliki
tiga ciri utama, yaitu: radikal, sistematik, dan universal.

Berpikir radikal, artinya berpikir sampai ke akar-akar persoalan,


berpikir terhadap sesuatu dalam bingkai yang tidak tanggung-tanggung,
sampai kepada konsekueisinya yang terakhir. Berpikir sistematik, artinya
berpikir logis, yang bergerak selangkah demi selangkah (step by steep)
dengan penuh kesadaran, dengan urutan yang bertanggung jawab.
Berpikir universal, artinya berpikir secara menyeluruh, tidak terbatas pada
bagian-bagian tertentu, tetapi mencakup keseluruhan aspek yang konkret
dan absrtak atau yang fisik dan metafisik. (Cecep: 2008)

2.3.2. Hubungan Etika dengan Ilmu Filsafat

Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang berusaha mengkaji segala sesuatu


yang ada dan yang mungkin ada dengan menggunakan pikiran. Bagian-
bagiannya meliputi:

a) Metafisika yaitu kajian dibalik alam yang nyata.


b) Kosmologia yaitu kajian tentang alam.
c) Logika yaitu pembahasa tentang cara berpikir cepat dan tepat.
d) Etika yaitu pembahasan tentang tingkah laku manusia.
e) Teologi yaitu pembahasan tentang ketuhanan.
f) Antropologi yaitu pembahasan tentang manusia.

Dengan demikian, jelaslah bahwa etika termasuk salah satu komponen


dalam filsafat. Banyak ilmu yang pada mulanya merupakan bagian dari

15
filsafat, tetapi karena ilmu tersebut kian meluas dan berkambang, akhirnya
membentuk disiplin ilmu tersendiri dan terlepas dari filsafat. Demikian juga
etika, dalam proses perkembangannya sekalipun masih diakui sebagai
bagian dalam pembahasan filsafat, ia merupakan ilmu yang mempunyai
identitas sendiri. (Alfan: 2011)

Hubungan etika dengan ilmu filsafat menurut Ibnu Sina seperti indera
bersama, estimasi dan rekoleksasi yang menolong jiwa manusia untuk
memperoleh konsep-konsep dan ide-ide dari alam sekelilingnya. Jika
manusia telah mencapai kesempurnaan sebelum ia berpisah dengan badan,
maka ia selamanya akan berada dalam kesenangan. Jika ia berpisah
dengan badan dalam keadaan tidak sempurna, ia selalu dipengaruhi hawa
nafsu. Ia hidup dalam keadaan menyesal dan terkutuk untuk selama-
lamanya di akhirat. Pemikiran filsafat tentang jiwa yang dikemukakan Ibnu
Sina memberi petunjuk dalam pemikiran filsafat terhadap bahan-bahan atau
sumber yang dapat dikembangkan lebih lanjut menjadi konsep ilmu etika.

Ibn Khaldun dalam melihat manusia mendasarkan pada asumsi-asumsi


kemanusiaan yang sebelumnya lewat pengetahuan yang ia peroleh dalam
ajaran Islam. Ia melihat sebagai mekhluk berpikir. Oleh karena itu, manusia
mampu melahirkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sifat-sifat semacam ini
tidak dimiliki oleh makhluk-makhluk lainnya. Lewat kemampuan berfikirnya
itu, manusia tidak hanya membuat kehidupannya, tetapi juga menaruh
perhatian pada berbagai cara guna memperoleh makna hidup. Proses-
proses semacam ini melahirkan peradaban. Dalam pemikiran ilmu, Ibn
Khaldun tampak bahwa manusia adalah makhluk budaya yang
kesempurnaannya baru akan terwujud manakla ia berinteraksi dengan
lingkungan sosialnya.

Etika sebagai cabang filsafat dapat dipahami bahwa istilah yang


digunakan untuk memberikan batasan terhadap aktifitas manusia dengan
nilai ketentuan baik atau buruk. Etika memiliki objek yang sama dengan
filsafat, yaitu samasama membahas tentang perbuatan manusia. Filsafat
sebagai pengetahuan berusaha mencari sebab yang sedalam-dalamnya
berdasarkan pikiran. (Yatimin: 2006) Jika ia memikirkan pengetahuan jadilah
ia filsafat ilmu, jika memikirkan etika jadilah filsafat etika. (Ahmad Tafsir:
2005).

16
2.3.3. Etika Sebagai Ciri Khas Filsafat

Etika filsafat merupakan ilmu penyelidikan bidang tingkah laku manusia


yaitu menganai kewajiban manusia, perbuatan baik buruk dan merupakan
ilmu filsafat tentang perbuatan manusia. Banyak perbuatan manusia yang
berkaitan dengan baik atau buruk, tetapi tidak semua perbuatan yang netral
dari segi etikanya.

Immanuel Kant (1724-1804) berpendapat bahwa manusia mempunyai


perasaan etika yang tertanam dalam jiwa dan hati sanubarinya. Orang
merasa bahwa ia mempunyai kewajiban untuk menjauhi perbuatan buruk
dan menjalankan perbuatan baik. Etika filsafat merupakan suatu tindakan
manusia yang bercorak khusus, yaitu didasarkan kepada pengertiannya
mengenai baik dan buruk. Etika sebagai cabang filsafat sebenarnya yang
membedakan manusia daripada makhluk Tuhan lainnya dan
menempatkannya bila telah menjadi tertib pada derajat di atas mereka. (M.
Yatimin Abdullah: 2006).

Sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Mohamad Mufid: 2009 bahwa


etika sering disebut filsafat moral. Etika merupakan cabang filsafat yang
berbicara mengenai tindakan manusia dalam kaitannya dengan tujuan utama
hidupnya. Etika membahas baik-buruk atau benar-tidaknya tingkah laku dan
tindakan manusia serta sekaligus menyoroti kewajiban-kewajiban manusia.
Etika mempersoalkan bagaimana manusia seharusnya berbuat atau
bertindak.

Tindakan manusia ditentukan oleh macam-macam norma. Etika menolong


manusia untuk mengambil sikap terhadap semuah norma dari luar dan dari
dalam, supaya manusia mencapai kesadaran moral yang otonom.

2.4. Moral dan Kode Etik

2.4.1. Moral

Secara etimologis, kata moral berasal dari kata mos dalam bahasa Latin,
bentuk jamaknya mores, yang artinya adalah tata-cara atau adat-istiadat.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989: 592), moral diartikan sebagai
akhlak, budi pekerti, atau susila.

Secara terminologis, terdapat berbagai rumusan pengertian moral, yang


dari segi substantif materiilnya tidak ada perbedaan, akan tetapi bentuk

17
formalnya berbeda. Widjaja (1985: 154) menyatakan bahwa moral adalah
ajaran baik dan buruk tentang perbuatan dan kelakuan (akhlak).

Al-Ghazali (1994: 31) mengemukakan pengertian akhlak, sebagai


padanan kata moral, sebagai perangai (watak, tabiat) yang menetap kuat
dalam jiwa manusia dan merupakan sumber timbulnya perbuatan tertentu
dari dirinya secara mudah dan ringan, tanpa perlu dipikirkan dan
direncanakan sebelumnya.

Sementara itu Wila Huky, sebagaimana dikutip oleh Bambang Daroeso


(1986: 22) merumuskan pengertian moral secara lebih komprehensip
rumusan formalnya sebagai berikut :

1. Moral sebagai perangkat ide-ide tentang tingkah laku hidup, dengan


warna dasar tertentu yang dipegang oleh sekelompok manusia di dalam
lingkungan tertentu.
2. Moral adalah ajaran tentang laku hidup yang baik berdasarkan
pandangan hidup atau agama tertentu.
3. Moral sebagai tingkah laku hidup manusia, yang mendasarkan pada
kesadaran, bahwa ia terikat oleh keharusan untuk mencapai yang baik ,
sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku dalam lingkungannya.

Kata moral juga sering disinonimkan dengan etika, yang berasal


dari kata ethos dalam bahasa Yunani Kuno, yang berarti kebiasaan, adat,
akhlak, watak, perasaan, sikap, atau cara berfikir.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989: 237) etika diartikan
sebagai :
(1) lmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan
kewajiban moral (akhlak).
(2) Kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak, dan
(3) Nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau
masyarakat. Sementara itu Bertens (1993: 6) mengartikan etika sejalan
dengan arti dalam kamus tersebut. Pertama, etika diartikan sebagai nilai-
nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang
atau sekelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Dengan kata lain,
etika di sini diartikan sebagai sistem nilai yang dianut oleh sekelompok
masyarakat dan sangat mempengaruhi tingkah lakunya. Sebagai contoh,
Etika Hindu, Etika Protestan, Etika Masyarakat Badui dan sebagaimya.
Kedua, etika diartikan sebagai kumpulan asas atau nilai moral, atau biasa
disebut kode etik. Sebagai contoh Etika Kedokteran, Kode Etik Jurnalistik,

18
Kode Etik Guru dan sebagainya. Ketiga, etika diartikan sebagai ilmu
tentang tingkah laku yang baik dan buruk. Etika merupakan ilmu apabila
asas-asas atau nilai-nilai etis yang berlaku begitu saja dalam masyarakat
dijadikan bahan refleksi atau kajian secara sistematis dan metodis.
Sementara itu menurut Magnis Suseno, etika harus dibedakan
dengan ajaran moral. Moral dipandang sebagai ajaran-ajaran, wejangan-
wejangan, khotbah-khotbah, patokan-patokan, entah lisan atau tertulis,
tentang bagaimana ia harus bertindak, tentang bagaimana harus hidup
dan bertindak, agar ia menjadi manusia yang baik. Sumber langsung
ajaran moral adalah orang-orang dalam berbagai kedudukan, seperti
orang tua dan guru, para pemuka masyarakat dan agama, dan tulisan-
tulisan para bijak seperti kitab Wulangreh karangan Sri Sunan Paku
Buwana IV. Sumber dasar ajaran-ajaran adalah tradisi dan adat istiadat,
ajaran agama-agama atau ideologiideologi tertentu. Sedangkan etika
bukan suatu sumber tambahan bagi ajaran moral, melainkan merupakan
filsafat atau pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaranajaran dan
pandangan-pandangan moral. Etika adalah sebuah ilmu, bukan sebuah
ajaran. Jadi etika adalah ajaran-ajaran moral tidak berada pada tingkat
yang sama.

2.4.2. Kode Etik

Kode etik ( Latin : “codex” = himpunan ) berarti usaha menghimpun


apa yang tersebar. Kode etik adalah himpunan norma – norma yang
disepakati dan ditetapkan oleh dan untuk para pengembang profesi tertentu.
Contohnya Kode Etik Rumah Sakit Indonesia, Kode Etik Apoteker, Kode Etik
Kedokteran Indonesia, kode Etik Keperawatan.

Kode etik adalah kumpulan asas dan nilai yang berkenaan dengan
moral, sehingga ia bersifat normatif dan tidak empiris. Sebuah kode etik
seharusnya bersifat mencakup apa-apa yang dicita-citakan (das Sollen) dan
tidak merupakan uraian apa adanya kenyataan sekarang (das Sein). Karena
sifat yang normatif, maka perumusan suatu kode etik harus memakai istilah-
istilah seperti : “harus, seharusnya, wajib, tidak boleh bersifat anjuran atau
larangan”.

Kode etik merupakan pedoman perilaku bagi pengembangan


profesi. Kode etik profesi merupakan sekumpulan norma yang ditetapkan
dan diterima oleh kelompok profesi, yang mengarahkan atau memberi
petunjuk kepada anggotanya bagaimana seharusnya berbuat dalam
menjalankan profsinya dan sekaligus menjamin mutu moral profesi tersebut
dimata masyarakat. Kode etik merupakan salah satu ciri atau persyaratan

19
profesi, yang memberikan arti penting dalam penentuan, pemertahanan, dan
peningkatan standar profesi kode etik menunjukkan bahwa tanggung jawab
dan kepercayaan dari masyarakat telah diterima oleh profesi.

Kode etik adalah norma – norma yang harus diindahkan oleh setiap
profesi didalam melaksanakaan tugas profesinya dan didalam kehidupan
masyarakat. Kode etik merupakan ciri profesi yang bersumber dari nilai –
nilai internal dan eksternal suatu disiplin ilmu merupakan pernyataan
komperhensif suatu profesi yang meberikan tuntutan bagi anggota dalam
melaksanakan pengabdian profesi. Lebih lanjut sebaiknya kode etik dibuat
oleh profesi itu sendiri, dan kode etik tidak efektif bila dibuat oleh atasan atau
instansi pemerintah karena tidak akan hidup dan dijiwai oleh kalangan
profesi itu sendiri, agar bisa berfungsi dengan baik, suatu kode etik harus
bisa menjadi hasil self regulation dari profesi.

Fungsi kode etik adalah sebagai pedoman perilaku bagi para pengemban
profesi, dalam hal ini, perawat sebagai tenaga kesehatan dalam upaya
pelayanan kesehatan. Kode etik yang mencerminkan nilai dan pandangan
hidup yang dianut oleh kalangan profesi yang bersangkutan. Kode etik
merupakan norma etik yang dapat berfungsi :

1. Sebagai sarana kontrol sosial.


2. Sebagai pencegah campur tangan pihak lain.
3. Sebagai pencegah kesalah pahaman dan konflik.

Kode etik memuat hak dan kewajiban profesional anggotanya sehingga


setiap anggota profesi telah dipenuhi. Tentang bagaimana anggota profesi
melaksanakan kewajiban profesionalnya (Triwibowo C. , 2004) Kode etik
memiliki hubungan yang kuat terkait dalam kepuasan standar pelayanan
kesehatan. Ukuran kepuasan pemakai jasa pelayanan terbatas hanya pada
penerapan kode etik serta standar pelayanan saja. Suatu pelayanan
kesehatan disebut sebagai pelayanan yang bermutu apa bila penerapan
kode etik serta ukuran-ukuran pelayanan dapat memuaskan pasien. Dengan
pendapat ini, maka penerapan kode etik secara standar pelayanan yang baik
saja (Azwar, 1996). Ukuran-ukuran tersebut adalah :

1. Hubungan dokter-pasien ( doctor-patient reationship )

Terbinanya hubungan dokter dengan pasien yang baik, adalah salah satu
dari kewajiban etik. Untuk dapat terselenggaranya pelayanan kesehatan
yang bermutu, hubungan dokterpasien yang baik ini harus dapat

20
dipertahankan. Sangat diharapkan setiap dokter dapat dan bersedia
memberikan perhatian yang cukup kepada pasiennya secara pribadi,
menampung dan mendengar semua keluhan, serta menjawab dan
memberikan keterangan yang sejelas – jelasnya tentang hal yang ingin
diketahui oleh pasien.

a) Kenyamanan pelayanan ( amenities )

Mengupayakan terselenggaranya kenyamanan, adalah salah ssatu dari


kewajiban etik. Untuk dapat terselenggaranya pelayanan yang bermutu,
suasana pelayanan yang nyaman tersebut harus dapat dipertahankan.
Kenyamanan yang dimaksudkan disini tidak hanya yang menyangkut
fasilitas yang disediaakan, tetapi yang terpenting lagi yang menyangkut
sikap serta tindakan para pelaksana ketika menyelenggarakan pelayanan
kesehatan.

b) Kebebasan melakukan pilihan ( choice )

Memberikan kebebasan kepada pasien untuk memilih serta menentukan


pelayanan kesehatan, adalah salah satu dari kewajiban etik. Suatu
pelayanan kesehatan disebut bermutu apabila kebebasan memilih ini
ditemukan.

c) Kemampuan dan kompetensi teknis ( scientific knowledge and technical


skill )

Menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang didukung oleh


pengetahuan dan kompetensi teknis bukan saja merupakan bagian dari
kewajiban etik, tetapi juga merupakan prinsip pokok penerapan standar
pelayanan. Secara umumdisebutkan makin tinggi tingkat pengetahuan
dan kompetensi teknis tersebut maka makin tinggi mutu pelayanan
kesehatan.

d) Efetifitas pelayanan ( effectivess )

Sama halnya dengan pengetahuan dan kompetensi teknis, maka


efektifitas pelayanan juga meupakan bagian dari kewajiban etik serta
prinsip pokok penerapan standar pelayanan. Secara umum disebutkan,
makin efektif pelayanan kesehatan tersebut, makin tinggi pula mutunya.

e) Keamanan tindakan ( safety )

Keamanan tindakan adalah bagian dari kewajiban etik standar pelayanan.


Untuk dapat terselenggaranya pelayanan kesehatan yang bermutu, aspek

21
keamanan tindakan ini haruslah diperhatikan. Pelayanan medis yang
memembahayakan pasien, bukanlah pelayanan yang baik, dan karena itu
tidak boleh dilakukan.

Dari beberapa hal tersebut yang telah dijelaskan, peranan kode etik
profesi memiliki peranan yang sangat penting dalam pelayanan kesehatan.
Pelayanan yang baik sesuai dengan aturan – aturan atau norma – norma
yang telah ditetapkan sesuai dengan profesi yang dimiliki, juga menjadi salah
satu hal terpenting dalam meningkatkan mutu dari suatu pelayanan
kesehatan 59 yang menyangkut kepuasan pasien. Maka, kode etik profesi
sangat penting dimiliki oleh setiap profesi yang berada di bidang pelayanan
kesehatan.

2.5. Prinsip Etika dalam Kesehatan


Prinsip-Prinsip Etika Kesehatan Filosofi moral etika kesehatan dijelaskan dalam
Prinsip Dasar Etika Kesehatan sebagai berikut:

a) Autonomy ( otonomi )
Prinsip “Autonomy” (self-determination) yaitu prinsip yang menghormati
hak-hak pasien, terutama hak otonomi pasien (the rights to self determination)
dan merupakan kekuatan yang dimiliki pasien untuk memutuskan suatu
prosedur medis. Prinsip moral inilah yang kemudian melahirkan konsep Informed
consent.
Prinsip otonomi didasarkan pada keyakinan bahwa individu mampu
berpikir secara logis dan membuat keputusan sendiri, memilih dan memiliki
berbagai keputusan atau pilihan yang harus dihargai oleh orang lain. Prinsip
otonomi merupakan bentuk respek terhadap seseorang, atau dipandang sebagai
persetujuan tidak memaksa dan bertindak secara rasional. Otonomi merupakan
kebebasan individu yang menuntut pembedaan diri.
Beberapa contoh prinsip otonomi adalah sebagai berikut :
1. Pasien berhak menentukan tindakan-tindakan baru dapat
dilakukan atas persetujuan dirinya.

22
2. Seorang warga menentukan sikap untuk ikut penyulu han ataupun
kegiatan kesehatan yang diselenggrakan oleh Sarjana Kesehatan
Masyarakat (SKM)

b) Beneficience ( Berbuat baik )


Beneficience ( Berbuat baik ) adalah prinsip moral yang mengutamakan
tindakan yang bertujuan untuk kebaikan pasien atau penyediaan keuntungan
dan menyeimbangkan keuntungan tersebut dengan risiko dan biaya. Dalam
Beneficence tidak hanya dikenal perbuatan untuk kebaikan saja, melainkan juga
perbuatan yang sisi baiknya (manfaat) lebih besar daripada sisi buruknya.
Beneficience berarti hanya melakukan sesuatu yang baik. Kebaikan,
memerlukan pencegahan dari kesalahan, penghapusan kesalahan atau
kejahatan dan peningkatan kebaikan oleh diri dan orang lain.
Terkadang, dalam situasi pelayanan kesehatan, terjadi konflik antara
prinsip ini dengan otonomi. Contohnya dapat dilihat sebagai berikut :
1. Dokter memberi obat gatal tetapi mempunyai efek yang lain, maka dokter
harus mempertimbangkan secara cermat atas tindakannya tersebut.
2. Seorang sarjana Kesehatan Masysrakat ( SKM ) memberikan pelayanan
kepada seoarang pasien yang menderita penyakit TBC, maka SKM tersebut
harus mempertimbangkan dan berkonsultasi dengan ahlinya dalam
memberikan pelayanan kesehatan.

c) Non Maleficience (Tidak merugikan)


Prinsip tidak merugikan “Non-maleficence” adalah prinsip menghindari terjadinya
kerusakan atau prinsip moral yang melarang tindakan yang memperburuk
keadaan pasien. Prinsip ini dikenal sebagai “primum non nocere” atau “ above all
do no harm “. Prinsip ini berarti tidak menimbulkan bahaya atau cidera fisik dan
psikologis pada klien atau pasien. Contoh:
1. Pendapat dokter dalam memberikan pelayanan tidak dapat diterima oleh
pasien dan keluarganya sehingga jika dipaksakan dapat merugikan pasien.

23
2. Seorang Sarjana Kesehatan Masyarakat ( SKM ) memberikan pelayanan
yang terbaik dalam usaha penyembuhan pencegahan tanpa merugikan
masyarakat.

d) Confidentiality ( kerahasiaan)
Institusi kesehatan akan menjaga kerahasiaan informasi yang bisa
merugikan seseorang atau masyarakat. Aturan dalam prinsip kerahasiaan
adalah informasi tentang pasien harus dijaga. Segala sesuatu yang terdapat
dalam dokumen catatan kesehatan pasien hanya boleh dibaca dalam rangka
pengobatan pasien. Tidak ada seorangpun dapat memperoleh informasi tersebut
kecuali jika diijinkan oleh pasien dengan bukti persetujuan. Diskusi tentang
pasien diluar area pelayanan, menyampaikan pada teman atau keluarga tentang
pasien dengan tenaga kesehatan lain harus dihindari. Contohnya antara lain :
1. Seorang dokter maupun tenaga medis yang menangani pasien menjaga
setiap data informasi yang dimiliki dari pasien tersebut, baik itu nama, alamat,
panyakit yang diderita, dan sebagainya.
2. Seorang Sarjana Kesehatan Masyarakat ( SKM ) merahasiakan segala
bentuk data terkait dengan data survei yang bersifat pribadi ( tidak
dipublikasikan )

e) Fidelity ( Menepati janji )


Prinsip fidelity dibutuhkan individu untuk menghargai janji dan
komitmennya terhadap orang lain. Tenaga Kesehatan setia pada komitmen dan
menepati janji serta menyimpan rahasia pasien. Ketaatan, kesetiaan, adalah
kewajiban seseorang untuk mempertahankan komitmen yang dibuatnya.
Kesetiaan, menggambarkan kepatuhan tenaga kesehatan terhadap kode etik
yang menyatakan bahwa tanggung jawab dasar dari tenaga kesehatan adalah
untuk meningkatkan kesehatan, mencegah penyakit, memulihkan kesehatan dan
meminimalkan penderitaan. Contoh:

24
1. Seorang dokter berjanji dengan sungguh untuk menjaga setiap rahasia
pasiennya, dan sampai kapanpun akan tetpa menjaga komitmennya untuk
menjaga kerahasiaan setiap pasiennya
2. Seorang Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM) menepati janjinya dalam
usaha peningkatan dan perbaikan kesehatan di masyarakat sesuai dengan
program yang telah dibuat.

f) Fiduciarity ( Kepercayaan )
Adalah hukum hubungan atau etika kepercayaan antara dua atau lebih
pihak. Kepercayaan dibutuhkan untuk komunikasi antara professional kesehatan
dan pasien. Seseorang secara hukum ditunjuk dan diberi wewenang untuk
memegang aset dalam kepercayaan untuk orang lain. Para fidusia mengelola
aset untuk kepentingan orang lain daripada untuk keuntungan sendiri. Contoh:
1. Seorang dokter dipercaya oleh pasiennya untuk melakukan operasi
pengangkatan sel kanker dalam tubuhnya.
2. Seorang Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM) diberi kepercayaan oleh
masyarakat dalam memberantas wabah DBD dan malaria.

g) Justice (Keadilan)
Yaitu prinsip moral yang mementingkan fairness dan keadilan dalam
bersikap maupun dalam mendistribusikan sumber daya (distributive justice) atau
pendistribusian dari keuntungan, biaya dan risiko secara adil. Prinsip keadilan
dibutuhkan untuk tercapai yang sama rata dan adil terhadap orang lain yang
menjunjung prinsip-prinsip moral, legal dan kemanusiaan. Misalnya :
1. Tenaga kesehatan medis tidak boleh diskriminatif dalam memberikan
pelayanan kesehatan antara pasien kelas III dan pasien VVIP.
2. Seorang Sarjana Kesehatan Masyarakat ( SKM ) memberikan pelayanan
kesehatan seperti imunisasi, penyuluhan, pemberantasan jentik – jentik pada
semua lapisan masyarakat.

h) Veracity (Kejujuran)

25
Prinsip veracity berarti penuh dengan kebenaran. Nilai ini diperlukan oleh
pemberi pelayanan kesehatan untuk menyampaikan kebenaran pada setiap
pasien dan untuk meyakinkan bahwa pasien sangat mengerti. Prinsip veracity
berhubungan dengan kemampuan seseorang untuk mengatakan kebenaran.
Informasi harus ada agar menjadi akurat, komprensensif, dan objektif untuk
memfasilitasi pemahaman dan penerimaan materi yang ada, dan mengatakan
yang sebenarnya kepada klien tentang segala sesuatu yang berhubungan
dengan keadaan dirinya selama menjalani perawatan. Walaupun demikian,
terdapat beberapa pendapat yang mengatakan adanya batasan untuk kejujuran
seperti jika kebenaran akan kesalahan prognosis klien untuk pemulihan atau
adanya hubungan paternalistik bahwa ”doctors knows best” sebab individu
memiliki otonomi, mereka memiliki hak untuk mendapatkan informasi penuh
tentang kondisinya. Kebenaran merupakan dasar dalam membangun hubungan
saling percaya. Diantaranya :
1. Tenaga kesehatan harus menyampaikan sejujurnya penyakit pasien namun
tidak dapat diutarakan semua kecuali kepada keluarga pasien.
2. Seorang Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM) meberikan informasi tekait
dengan kondisi kesehatan masyrakat dengan transparan dan dapat
dipertanggung jawabkan.

26
BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Etika merupakan pemikiran kritis tentang berbagai ajaran dan pandangan
moral. Sedangkan Etiket adalah tata cara atau adab sopan santun di masyarakat
beradab dalam memelihara hubungan baik diantara sesama manusia.

Terdapat dua jenis etika, yaitu etika deskriptif dan etika nomatif. Kedua
jenis etika ini membahas nilai-nilai atau norma-norma yang dikaitkan dengan
etika. Dari kedua jenis etika tersebut ,maka definisi etika dapat diklasifikasikan
menjadi tiga, yaitu etika sebagai cabang ilmu filsafat, etika sebagai ilmu
pengetahuan yang membicarakan perilaku manusia, dan etika sebagai ilmu yang
bersifat normatif dan evaluatif terhadap perilaku manusia.

Etika bertujuan untuk menerangkan hakikat dari kebaikan dan kejahatan.


Dengan kata lain ialah terwujudnya praktik hidup yang baik berdasarkan aturan-
aturan untuk mengendalikan kegiatan itu berdampingan dengan nilai-nilai yang
tersirat di dalam kegiatan tersebut.

Etika dan etiket bersama-sama mengatur tentang perilaku manusia yang


dilakukan secara normatif. Adapun perbedaannya, yaitu etiket berhubungan
dengan aturan, hanya berlaku dalam pergaulan, relatif, dan hanya memandang
manusia secara lahiriah, sedangkan etika tidak dibatasi pada aturan, berlaku
dalam keadaan apapun, bersifat mutlak, dan memandang manusia secara
batiniah. Adapun faktor yang melandasi etika yaitu religius, nilai-nilai, norma,
sosial budaya, dan kebijakan.

Filsafat berarti mencari hakikat sesuatu, berusaha menautkan sebab dan


akibat dan berusaha menafsirkan pengalaman-pengalaman manusia. Istilah
filsafat dapat ditinjau dari dua sagi, yaitu segi semantik dan praktis. Etika sebagai
cabang filsafat dapat dipahami bahwa istilah yang digunakan untuk memberikan
batasan terhadap aktifitas manusia dengan nilai ketentuan baik atau buruk.

moral adalah ajaran baik dan buruk tentang perbuatan dan kelakuan
(akhlak). sedangkan kode etik adalah himpunan norma – norma yang disepakati
dan ditetapkan oleh dan untuk para pengembang profesi tertentu.

Adapun prinsip-prinsip etika kesehatan, yaitu otonomi, berbuat baik, tidak


merugikan, kerahasiaan, menepati janji, kepercayaan, keadilan, dan kejujuran.

27
3.2. Saran
Tentunya terhadap penulis sudah menyadari jika dalam penyusunan
makalah di atas masih banyak ada kesalahan serta jauh dari kata sempurna.
Adapun nantinya penulis akan segera melakukan perbaikan susunan makalah itu
dengan menggunakan pedoman dari beberapa sumber dan kritik yang bisa
membangun dari para pembaca.

28
DAFTAR PUSTAKA

Amin, Y. (2017). Etika Profesi dan Hukum Kesehatan. Pusat Pendidikan Sumber Daya
Manusia Kesehatan.

Amri, A. d. (2011). ETIKA PROFESI & HUKUM KESEHATAN. Palopo.

Frayudha, A. D. (t.thn.). Etika Sebagai Cabang Filsafat. Etika Sebagai Cabang Filsafat.

Sang Gede Purnama, S. M. (2016). Modul Prinsip-Prinsip Etika Kesehatan. Bali:


Universitas Udayana.

Sang Gede Purnama, S. M. (2017). MODUL ETIKA DAN HUKUM KESEHATAN. Bali:
Universitas Udayana.

Sx, F. W. (2018). ETIKA MORAL BERJALAN, HUKUM JADI SEHAT. ETIKA MORAL
BERJALAN, HUKUM JADI SEHAT, Vol. 7.

Yogyakarta, U. N. (t.thn.). Dasar Dasar Pengertian Moral.

YUSUF, I. M. (t.thn.). ETIKA VS ETIKET. ETIKA VS ETIKET.

29

Anda mungkin juga menyukai