Anda di halaman 1dari 11

Tugas Baca

KERATITIS HERPES SIMPLEKS

Oleh

Rizqi Rifani
NIM I1A004052

Pembimbing

dr. Hj. Etty Eko S, Sp.M

BAGIAN/SMF ILMU PENYAKIT MATA


FK UNLAM – RSUD ULIN
BANJARMASIN

2010
KERATITIS HERPES SIMPLEKS

Virus herpes simpleks dapat menyebabkan berbagai macam kelainan mata

seperti blefaritis, konjungtivitis, keratitis, uveitis, dan glaukoma sekunder.

Keratitis herpes simpleks merupakan radang kornea yang disebabkan oleh infeksi

virus Herpes simpleks tipe 1 maupun tipe 2. Di negara barat 90% dari populasi

orang dewasa dilaporkan rnemiliki antibodi terbadap herpes simpleks. Namun

demikian, hanya kurang dari 1% yang menimbulkan kelainan pada mata.

Sebagian besar bersifat subklinis dan tidak terdiagnosis.1

Frekuensi keratitis herpes simpleks di Amerika Serikat sebesar 5% di

antara seluruh kasus kelainan mata. Di Negara-negara berkembang insidensi

keratitis herpes simpleks berkisar antara 5,9-20,7 per 100.000 orang tiap tahun. Di

Tanzania 35-60% ulkus kornea disebabkan oleh keratitis herpes simpleks.1

Keratitis herpes simpleks dapat merupakan infeksi primer dan bentuk

kambuhan. Kelainan akibat infeksi primer biasanya bersifat epitelial dan ringan.

Gejala-gejala klinis keratitis herpes simpleks kambuhan tergantung berat

ringannya daerah yang terkena. Secara umum gejalanya meliputi: mata merah,

lakrimasi, penglihatan kabur, adanya infiltrat maupun defek kornea dan yang

sangat spesifik adanya insensibilitas kornea.l,2

Patofisiologi

Ketidakseimbangan imunitas penderita dapat menyebabkan terjadinya

aktivasi virus herpes dan selanjutnya dapat menimbulkan keratitis. Kondisi

imunosupresi dapat terjadi akibat penggunaan kortikosteroid sistemik yang


menimbulkan aktivasi keratitis herpes simpleks. Pada infeksi virus mula-mula

kadar IgM meningkat, kemudian kadar IgG dalam darah juga meningkat dan

akhimya tampak antibodi IgA dalam sekresi mukosa. Selanjutnya dikatakan,

bahwa antibodi menghancurkan virus ekstraseluler. Virus yang bergabung dengan

antibodi terutama dengan IgA akan dicegah perlekatannya dengan sel membran

dan menginfeksi jaringan.1,3

Reaksi hipersensitivitas tipe II (sitotoksik) yang ditingkatkan oleh IgG

antibodi memudahkan fagositosis dan netralisasi virus. Virus herpes simpleks

yang stromal disertai oleh reaksi tipe IV dapat terjadi pada penderita yang

rnengalami depresi sistem imun akibat penggunaan kortikosteroid, karena usia

lanjut, atau karena penyakit sistemik. Keratitis disciformis dapat merupakan hasil

reaksi tipe IV terhadap antigen virus herpes.l,3

Gejala Klinis

Kelainan mata akibat infeksi herpes simpleks dapat bersifat primer dan

kambuhan. Infeksi primer ditandai adanya demam, malaise, limfadenopati

preaurikuler, konjungtivitis folikutans, blefaritis, dan 2/3 kasus terjadi keratitis

epitelial. Kira-kira 99% kasus bersifat unilateral, walaupun pada 40% atau lebih

dapat terjadi bilateral khususnya pada pasien-pasien atopik. Infeksi primer dapat

terjadi pada setiap umur, tetapi biasanya antara umur 6 bulan-5 tahun atau 16-25

tahun. Keratitis herpes simpleks didominasi oleh kelompok laki-Iaki umur 40

tahun ke atas.1

Gejala-gejala subyektif keratitis epitelial meliputi : lakrimasi, fotofobia,

injeksi perikornea, dan penglihatan kabur (tergantung lokasi dan luasnya lesi).
Berat ringannya gejala-gejala iritasi tidak sebanding dengan luasnya lesi epitel

karena adanya hipestesi atau insensibilitas kornea. Perlu dibedakan dengan

keratitis lain yang juga disertai hipestesi kornea, misalnya pada: herpes zoster

oftalmikus, keratitis akibat pemaparan dan mata kering, pengguna lensa kontak,

keratopati bulosa, dan keratitis kronik. Gejala spesifik pada keratitis herpes

simpleks ringan adalah tidak adanya fototobia.1

lnfeksi herpes simpleks laten terjadi setelah 2-3 minggu pasca infeksi

primer. Dengan mekanisme yang tidak jelas, virus menjadi inaktif dalam neuron

sensorik atau ganglion otonom. Dalam hal ini ganglion servikalis superior,

ganglion n.trigeminus, dan ganglion siliaris berperan sebagai penyimpan virus.l

Akhir·akhir ini dibuktikan bahwa jaringan kornea sendiri berperan sebagai

tempat berlindung virus herpes simpleks. Beberapa kondisi yang berperan

terjadinya infeksi kambuhan antara lain: demam, infeksi saluran nafas bagian atas,

stres emosional, pemaparan sinar matahari atau angin, haid, renjatan anafilaksis,

dan kondisi imunosupresi.1,2,4

Kira-kira 25% pasien akan kambuh pada tahun pertama meskipun diobati,

dan meningkat menjadi 33% pada tahun kedua. Penelitian lain bahkan melaporkan

angka yang lebih besar yaitu 46-57% keratitis herpes simpleks kambuh dalam

kurun waktu 4 bulan setelah infeksi primer. Penelitian di Yogyakarta

mendapatkan angka kekambuhan hanya 11,5% dalarn kurun waktu 6 bulan

pengamatan setelah penyembuhan.1,2,4

Keratitis herpes simpleks kambuhan dibedakan atas bentuk superfisiaI,

profunda, dan bersamaan dengan uveitis atau keratouveitis. Keratitis superfisial


dapat berupa punctata, dendritik, dan geografik. Keratitis dendritika merupakan

proses kelanjutan dari keratitis punctata yang diakibatkan oleh perbanyakan virus

dan menyebar sambil menimbulkan kematian sel serta membentuk defek dengan

garnbaran bercabang. Keratitis dendritika dapat berkembang menjadi keratitis

geografika, akibat bentukan ulkus bercabang yang melebar dan bentuknya

menjadi ovoid. Dengan demikian gambaran ulkus menjadi seperti peta geografi

dengan kaki cabang mengelilingi ulkus.1

Keratitis herpes simpleks bentuk dendrit harus dibedakan dengan keratitis

herpes zoster, pada herpes zoster bukan suatu ulserasi tetapi suatu hipertropi epitel

yang dikelilingi mucus plaques; selain itu, bentuk dendriform lebih kecil.

Tirosinemia juga sering menimbulkan lesi dendriform, tetapi biasanya bilateral

dan terjadi pada anak-anak. Lesi semacam ini pernah pula dilaporkan sebagai

akibat infeksi Acanthamoeba, trauma kimia, dan akibat toksisitas thiornerosal.1

Keratitis epitelial dapat berkembang menjadi ulkus metaherpetik dimana

terjadi perobekan membrana basalis. Ulkus metaherpetik bersifat steril,

deepitelisasi meluas sampai stroma. Ulkus ini berbentuk bulat atau lonjong

dengan ukuran beberapa mm dan bersifat tunggal. Pada kasus ini dapat dijumpai

adanya edema stroma yang berat disertai lipatan membrana descment. Reaksi

iritasi konjungtiva bersifat ringan akibat adanya hipestesia. Reflek lakrimasi


berkurang, sehingga produksi tear film menjadi relatif tidak cukup. Ulkus

metaherpetik dapat menetap dalam beberapa minggu sampai beberapa bulan.

Untuk penyembuhannya memerlukan waktu sekurang-kurangnya 6 minggu.1,2

Terdapat 2 bentuk keratitis stroma, yaitu keratitis disciform dan keratitis

interstitial. Keratitis disciform sebagai reaksi hipersensitivitas tipe lambat,

sedangkan keratitis interstitialis akibat reaksi hipersensitivitas imun komplek.1,3

Karakteristik keratitis disciform berupa edema stroma berbentuk lonjong

atau gambaran melingkar seperti cakram dengan ukuran diameter 57 mm,

biasanya disertai infiltrat ringan. Edema dapat terbatas pada bagian depan stroma,

tetapi dapat juga meluas ke seluruh tebal stroma. Keratic precipitates biasanya

dijumpai menempel di endotel kornea belakang daerah edema. Keluhan penderita

antara lain: penglihatan kabur, lakrimasi, rasa tidak enak, dan fotofobia terjadi bila

disertai adanya iritis. Pada kasus yang ringan, tanpa disertai nekrosis dan

neovaskularisasi penyembuhan dapat terjadi dalam beberapa bulan tanpa

meninggalkan sikatriks. Pada kasus yang berat, penyembuhan memerlukan waktu

sampai 1 tahun atau lebih, bahkan sering terjadi penyulit berupa penipisan kornea

maupun perforasi. Keratitis disciform dapat pula terjadi akibat infeksi herpes

zoster, varisela, campak, keratitis karena bahan kimia, dan trauma tumpul yang

mengenai kornea. Pada keratitis disciform dapat diisolir virus herpes simpleks dari

cairan akuos.1,3

Keratitis instertitialis memiliki bentuk bervariasi, lesi dapat tunggal

maupun beberapa tempat. Gambaran klinisnya dapat mirip keratitis bakteri

maupun jamur. Infiltrat tampak mengelilingi daerah stroma yang edema, dan
dijumpai adanya neovaskularisasi. Kadang-kadang dijumpai adanya infiltrat

marginal atau lebih dikenal sebagai Wessely ring, diduga sebagai infiltrat

polimorfonuklear disertai reaksi antigen antibodi virus herpes simpleks.1,2,3

Beberapa penyulit keratitis stroma antara lain: kornea luluh,

descementocele, penipisan kornea, superinfeksi, dan perforasi. Terjadinya kornea

luluh disebabkan oleh mekanisme aktif enzim kolagenase, nekrosis, replikasi

virus, dan efek steroid. Enzim kolagenase dilepaskan oleh sel epitel rusak, sel

polimorfonuklear, dan fibroblas selama reaksi radang.1,2

Klasifikasi Diagnosis

Hogan dkk (1964) membuat klasifikasi diagnosis keratitis herpes simpleks

sebagai berikut :1,2,3

1. Superfisial, dibedakan atas bentuk dendritika, dendritika dan stroma, geografika

2. Profunda, dibedakan alas stroma dan disciform, stroma dan penyembuhan,

stroma dan ulserasi.

3. Uveitis, dibedakan atas kerato uveitis (ulserasi dan non ulserasi) dan uveitis.

Klasifikasi tersebut kemudian disempurnakan oleb Pavan-Langston (1983)

yang sekarang ini dianut, yaitu : 1,4

1. Ulserasi epitelial, dibedakan atas bentuk punctate, dendritika,

dendrogeografika, geografika.

2. Ulserasi trophik atau meta herpetika.

3. Stroma, dibedakan atas bentuk keratitis disciform, keratitis interstitialis.

4. Uveitis anterior dan trabekulitis.


Penatalaksanaan

Hal-hal yang perlu dinilai dalam mengevaluasi keadaan klinis keratitis

meliputi: rasa sakit, fotofobia, lakrimasi, rasa mengganjal, ukuran ulkus dan

luasnya infiltrat. Pengobatan keratitis epitelial meliputi pemberian antiviral

topikal, bebat mata, dan pemberian antibiotik topikal untuk mencegah infeksi

sekunder. Debridement epitel kornea berperan untuk pengarnbilan spesimen

diagnostik, juga untuk menghilangkan sawar epitelial sebingga antiviral lebih

mudah menembus, selain itu juga untuk mengurangi subepithelial "ghost" opacity

yang sering mengikuti keratitis dendritik. Diharapkan debridement mampu

mengurangi kandungan virus epithelial sehingga reaksi radang cepat berkurang.

Apabila tidak ada perbaikan dalam 21 hari, perlu diganti dengan antiviral lain.6,7

Pada keratitis metaherpetik terjadi kerusakan membrana basalis, untuk itu

perlu dicegah kerusakan lebih lanjut dengan perban dan lensa kontak lunak.

Pengobatan yang diberikan meliputi pemberian antiviral, air mata buatan,

sikloplegik, dan asetil sistein 10-20% tetes mata tiap 2 jam bila ada tanda-tanda

penipisan dan luluhnya stroma. Selain itu, perlu ditambahkan lem cyanoacrylate

untuk menghentikan luIuhnya stroma. Bila gagal, harus dilakukan flap

konjungtiva; bahkan bila perlu dilakukan keratoplasti. Flap konjungtiva hanya

dianjurkan bila masih ada sisa stroma kornea, bila sudah terjadi descemetocele

flap konjungtiva tidak perilu, tetapi dianjurkan dengan keratoplastik lamelar.6,7

Pengobatan pada keratitis disciform meliputi pemberian steroid topikal,

antiviral salep, bila terjadi iritis perlu diberikan steroid oral 20-30 mg selama 7-10

hari. Antibiotik topikal perlu diberikan, jika steroid topikal diberikan secara masif.
Bila terjadi ulserasi, steroid topikal sebaiknya dikurangi dan bila perlu dihentikan.

Apabila terjadi penyulit misalnya luluh kornea, descemetocele, atau perforasi,

dikelola seperti pengelolaan uIkus metaherpetik yang mengalami penyulit.1,6,7

Antiviral yang efektif dan arnan adalah jika mampu menghentikan

replikasi virus tanpa merusak sel-sel sehat. Obat-obat lama seperti idoksuridin dan

vidarabin memiliki toksisitas dan khasiat sepadan untuk menghentikan replikasi

virus. Efek samping pemberian idoksuridin antara lain: keratitis pungtata,

dermatitis kontakta, konjungtivitis folikularis, dan oklusi pungtum lakrimalis.

Efektivitas kedua obat tersebut untuk pengobatan keratitis dendritik sebesar 80%,

sedang trifluridin mempunyai efektivitas 97% dengan waktu penyembuhan 2

minggu. Tingkat kepatuhan pasien pengguna tritluridin lebih baik dibanding

kedua obat antiviral terdahulu, karena lebih mudah larut dalam air. Pada 3-5%

kasus temyata dalam 1 minggu tidak ada perbaikan dengan trifluridin, dalam hal

ini diperlukan debridement. Resistensi trifluridin sangat jarang, dan bila dijumpai

temyata tidak dijumpai resistensi silang terhadap idoksuridin maupun vidarabin.3,6

Hasil penelitian tentang daya guna asiklovir dengan idoksuridin pertama

kali dilaporkan oleh CoIlun dkk. (1980), didapatkan hasil berupa lama

penyembuhan keratitis dendritik rata-ata 4,4 hari dan secara bermakna lebih

pendek dibandingkan kelompok idoksuridin. Untuk kasus-kasus keratitis

geografik memerlukan waktu penyembuhan rata· rata 5,6 hari. Keratitis stroma

memiliki hasil kurang baik bila diobati dengan idoksuridin maupun asiklovir.

Penggunaan kombinasi antara asikiovir dengan steroid topikal dapat


meningkatkan waktu penyembuhan. Steroid topikal dapat membantu menekan

reaksi radang dan menghambat vaskularisasi.3,7

Pornier dkk. (1982) membuktikan bahwa asiklovir topikal menghasilkan

daya penetrasi terbaik dibandingkan vidarabin maupun trifluridin. Pada pasien-

pasien keratitis stroma yang mendapat pengobatan kombinasi asiklovir salep mata

dan betametason 0,01% sembuh komplit memerlukan waktu rata-rata 19,4 hari.7

Porter dkk. (1990) membandingkan pengobatan asiklovir secara topikal

dan oral pada kasus-kasus keratitis disciform. Masing-masing kelompok

menggunakan tambahan prednisolon 0,05% tetes mata 5 kali sehari. Hasil

penelitian menunjukkan hilangnya lakrimasi dan perbaikan visus lebih cepat pada

kelompok pemberian oral, sedang waktu penyembuhan tidak berbeda dan

memerlukan waktu rata-rata 25,6 hari. Selain itu tidak dijumpai perbedaan angka

kekambuhan pada pengarnatan sampai 3 tahun pasca penyembuhan. Resistensi

antiviral, dilaporkan untuk idoksuridin sebesar 37%, dan vidarabin sebesar 11 %.7

Berdasarkan hasil uji laboratorik sensitivitas, beberapa antiviral terhadap

virus herpes simpleks mengalami penurunan, tetapi untuk asiklovir maupun

gansiklovir tidak sampai 10%, sedangkan untuk foscarnet, vidarabin, dan

idoksuridin didapatkan penurunan sensitivitas lebih banyak.1.7 Interferon tetes

mata sebagai terapi tunggal Pada keratitis dendritik kurang bermanfaat, tetapi

akan lebih efektif bila dikombinasi dengan antiviral selain vidarabin. Mekanisme

dasar interferon sebagai terapi adalah membuat sel-sel sehat menjadi resisten

terbadap virus, dan memblok penyebaran virus. Pada keratitis stroma pemberian

kombinasi steroid dan interferon memberikan hasil yang baik pada percobaan
binatang. Kombinasi antiviral dan interferon diharapkan dapat mengatasi

resistensi virus herpes simpleks di masa mendatang.6,7

DAFTAR PUSTAKA

1. Ilyas S. Dalam: Penuntun Ilmu Penyakit Mata. Jakarta, FKUI: 1998.

2. Wijana N. Ilmu Penyakit Mata. Edisi 6. Jakarta, Binarupa Aksara: 1996.

3. Vaughan D, Ashbury T : General Ophtalmology 11th ed, Lange Medical


Publication, California, 1986.

4. Liesegang TJ, Melton LJ 3rd, Daly PJ, Ilstrup DM. Epidemiology of ocular
herpes simplex. Incidence in Rochester, Minn. Arch Ophtamol
1999;107:1155-9.

5. Posavad CM, Koelle DM, Corey L. Tipping the scales of herpes simplex
virus reactivation: the important responses are local. Nat Med 1998;4:381-2.

6. WU X, Chen X. Acyclovir for the treatment and prevention of recurrent


infectious herpes simplex keratitis. Cin Med J (Engl) 2002;115:1569-72.

7. Sudesh S, Laibson PR. The impact of the herpetic eye diseases studies on the
management of herpes simplex virus ocular infections. Curr Opin Ophtamol
1999;10:230-3.

Anda mungkin juga menyukai