Anda di halaman 1dari 19

KERATITIS

Keraititis jamur infiltrat berhifa dan satelit. Terletak di stroma


Keratitis virus pungtata superficial. Terkumpul di membrane bowman
Keratitis herpetic berbentuk dendritik

Etiologi: bakteri, jamur, virus

Keratitis numularis infiltrat bundar berkelompok, tepi tegas membentuk gambaran halo.
Kronis, unilateral
Keratitis neuroparalitik akibat kelainan saraf trigeminus kekeruhan + kering daya
tahan menurun infeksi

Faktor Resiko:

Perawatan lensa kontak yang buruk; penggunaan lensa kontak yang berlebihan
Herpes genital atau infeksi virus lain
imunodefisiensi
Higienis buruk
Nutrisi kurang baik (kekurangan vitamin A)
Defisiensi air mata

Klasifikasi

epitel
Superficia
l
KERATITIS

fotofobia
epifora
blefarospasme

Herpes zoster, herpes


simplek, punctata

subepite
l

Numularis, disiform

stroma

neuroparalitik

interstitial
Profunda
disiformis
sklerotika
n halus, bilateral. Penyebabnya tidak
Keratitis pungtata infittrat berupa bercak-bercak
spesifik

Trias keratitis

Spasme iris nyeri hebat terutama jika kena sinar fotofobi berusaha menutup mata
di palpebra spasme palpebra (blefarospasme)
Nyeri epifora
Jika keratitis terletak di sentral pandangan kabur

Adanya spasme iris dan nyeri kornea bila kena cahaya nyeri fotofobia

Macam-macam infiltrate:
Nummular: keratitis numularis
Punctata: keratitis punctata superficialis
Dendrite/filament : herpes simpleks

Tujuan bebat mata:


-

menghindari infeksi sekunder


menghindari cahaya
mempercepat epitelisasi

Disceform: stromal keratitis


Komplikasi keratitis:
Infiltrate bakteri: abu-abu dari perifer ke sentral. Hipopion(+)

ulkus hipopion endoftalmitis panoftalmitis meningitis/ensefalitis


sembuh sikatriks

Jamur: infiltrate abu-abu dg lesi satelit


Virus: filament, stelata, atau dendrite

3 tingkatan sikatriks
1. Leukoma di stroma. Dengan mata telanjang bisa dilihat

Pada herpes simpleks sensibilitas kornea menurun karena menyerang cabang saraf oftalmika
hipostesia tidak/kurang nyeri

2. Makula di subepitel. Dengan senter bisa dilihat


3. Nebula di epitel. Dengan slitlamp atau lup bisa dilihat

Tes flouresensi (+) hanya pada keratitis superficial di epitel. Selebihnya, hasilnya (-)

Perbedaan sikatriks dan infiltrat

Tes flouresensi:

Sikatriks

Infiltrat

Batas tegas

Tidak tegas

Licin

Suram

Tes flouresin (-)

Tes flouresin (+)

Tanda radang (-)

Tanda radang (+)

pantocain 1%
kertas flouresin diberi 1 tetes cairan fisiologis
tempelkan pada forniks inferior
penderita menutup dan membuka matanya meratakan cairan
hasil (+) = warna hijau

Terapi:
1.
2.
3.

sesuai kausa
siklopegik
bebat mata

Keratoplasti/ tandur kornea: mengganti potongan kornea yang keruh dengan kornea yang
transparan, baik mengenai keseluruhan ketebalan kornea (keratoplasti penetrans) atau hanya
lapisan superfisialnya (keratoplasti lamellar).

BAB I
RINGKASAN AWAL

Pasien datang ke poli mata RSU Mataram dengan keluhan kabur dan terasa seperti ada
pasir di mata bagian kanan sejak 1 minggu yang lalu. Mata kanan terasa nyeri dan memerah

Anak laki-laki berusia 9 tahun, datang dengan keluhan penglihatan mata kanan

ketika malam harinya. Apabila melihat cahaya, penglihatan pasien silau. Pasien juga

pasien kabur dan terasa ada pasir sejak 1 minggu yang lalu. Mata terasa nyeri, silau jika

mengeluh mata kanannya sering berair namun tidak terdapat kotoran pada mata. Riwayat

melihat cahaya, merah serta berair. Pasien mengeluh gejala tersebut selalu timbul ketika

demam serta pusing disangkal oleh pasien.


Riwayat Penyakit Dahulu:
Pasien tidak pernah mengalami keluhan seperti ini sebelumnya.
Riwayat Pengobatan :
Pasien tidak pernah melakukan pengobatan pada mata sebelumnya.

sore dan malam hari.

Riwayat mata merah, terdapat kotoran pada mata dan demam

disangkal oleh pasien. Pada pemeriksaan visus didapatkan VOD = 6/7, VOS = 6/6,
pemeriksaan mata sebelah kanan ditemukan injeksi silier pada perikorneal, pemeriksaan
segmen anterior ditemukan COA agak keruh dan pemeriksaan dengan pemulasan flurescen

III. PEMERIKSAAN FISIK :

kemudian dilihat dengan slit lamp hasilnya ditemukan bintik-bintik berwarna hijau
dipermukaan tengah kornea. Pasien dicurigai menderita Keratitis Punctata Superfisialis.
BAB II
LAPORAN KASUS
I.

IDENTITAS PASIEN
Nama Pasien
Umur
Jenis Kelamin
Agama/suku
Pendidikan
Pekerjaan

: H
: 9 tahun
: Laki-laki
: Islam/sasak
: SD
:: Dasan Cermen, Mataram
: 10 Desember 2008

Alamat

No.
1.
2.
2.
3.
4.

5.

Tanggal pemeriksaan
II.

ANAMNESIS

Keluhan utama:
Pasien mengeluh mata kanan kabur dan seperti ada pasir.
Perjalanan penyakit:

6.

Tanggal pemeriksaan
Keadaan umum : Baik
Kesadaran
Status lokalis

: Compos Mentis
:

Pemeriksaan
Visus
Pinhole
Lapang pandang
Gerakan bola mata
Palpebra
Edema
Hiperemi
superior
Papil
Entropion
Silia
Pseudoptosis
Sikatrik
Palpebra
Silia
Trikiasis
Inferior
Hiperemi
Edema
Konjungtiva
Injeksi
bulbi

7.

: 10 Desember 2008

Kornea

konjungtiva
Injeksi siliar

Mata Kanan
6/7
Maju 6/6
normal
Baik ke segala arah
Normal
Normal
(-)
(+)
Keruh
ermukaan cembung
Infiltrate (-)

Mata Kiri
6/6
6/6
normal
Baik ke segala arah
Normal
Normal
Jernih
Permukaan cembung
Infiltrate (-)

8.
9.

10.
11.
12.
13.

14.

Bilik mata depan


Iris

Pupil

Bentuk
Diameter
refleks

Lensa
TIO (palpasi)
Slit lamp dengan flurescein

Dalam
Hifema (-)
Hipopion (-)
Warna coklat
Iridodenesis (-)
Iridodialisis (-)
Sinekia (-)
Regular
(+)
Jernih
Normal
Flurescein (+)
Bintik-bintik hijau di
tengah kornea
Tidak dievaluasi

Funduskopi

Dalam
Hifema (-)
Hipopion (-)
Warna coklat
Iridodenesis (-)
Iridodialisis (-)
Sinekia (-)
Reguler
(+)
Jernih
Normal
-

IV. DIAGNOSIS
V.

pompa bikarbonat aktif pada endotel dan oleh fungsi sawar epitel dan endotel. Endotel lebih
penting daripada epitel dalam mekanisme dehidrasi dan cidera kimiawi atau fisik pada
endotel jauh lebih berat daripada cedera pada epitel. Kerusakan sel-sel endotel
menyebabkan edema kornea dan hilangnya sifat transparan. Sebaliknya cedera pada epitel
hanya menyebabkan edema lokal sesaat stroma kornea yang akan menghilang bila sel-sel
epitel itu telah beregenerasi. Penguapan air dari film air mata prakornea akan mengkibatkan
film air mata akan menjadi hipertonik; proses itu dan penguapan langsung adalah faktorfaktor yang yang menarik air dari stroma kornea superfisialis untuk mempertahankan
keadaan dehidrasi (1).
Penetrasi kornea utuh oleh obat bersifat bifasik. Substansi larut lemak dapat melalui

Tidak dievaluasi

Gambar :
OD

deturgenes. Deturgenes, atau keadaan dehidrasi relative jaringan kornea dipertahankan oleh

OS

epitel utuh, dan substansi larut air dapat melalui stroma yang utuh. Karenanya agar dapat
melalui kornea, obat harus larut lemak dan larut air sekaligus (1).
2. Resistensi Kornea Terhadap Infeksi
Epitel adalah sawar yang efisien terhadap masuknya mikroorganisme ke dalam kornea.

Bintik-bintik hijau

Namun sekali ini cedera, stroma yang avaskuler dan membrane bowman mudah terkena

Flurescein (+)

infeksi oleh berbagai macam mikroorganisme, seperti bakteri, amuba, dan jamur.

Keratitis Punctata Superfisisalis Okuli Dextra

Streptococcus pneumonia (pneumokokkus) adalah bakteri pathogen kornea sejati; pathogen

DIAGNOSIS BANDING

lain memerlukan inokulum yang berat atau hospes yang lemah (mis; defisiensi imun) agar

Keratitis Subepithelial

dapat menimbulkan infeksi(1).


Moraxella liquefacies, yang terutama terdapat pada peminum alcohol (sebagai akibat

VI. PENATALAKSANAAN
Terapi : Pemberian antibiotic (Xitrol), air mata buatan, dan sikloplegik (Tropin).
KIE : menggunakan pelindung mata (kaca mata hitam) untuk melindungi dari exposure
dari luar seperti debu dan sinar ultraviolet.
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
KORNEA
1. Fisiologi
Kornea berfungsi sebagai membran pelindung dan jendela yang dilalui berkas cahaya
menuju retina. Sifat tembus cahayanya disebabkan strukturnya yang uniform, avaskuler dan

kehabisan piridoxin), adalah contoh klasik oportunismen bakteri, dan dalam tahun-tahun
belakangan ini sejumlah oportunis kornea baru telah ditemukan. Diantaranya adalah serratia
marcens,

kompleks

mycobacterium

fortuitum-chelonei,

streptococcus

viridians,

staphylococcus epidermidis, dan berbagai organism coliform dan proteus, selain virus dan
jamur(1).
Kortikosteroid local atau sistemik akan mengubah reaksi imun hospes dengan berbagai
cara dan memungkinkan organisme oportunistik masuk dan tumbuh dengan subur(1).
3. Fisiologi Gejala

Karena kornea memiliki banyak serabut nyeri, kebanyakan lesi kornea, superfisisalis

penyakit-penyakit sistemik, seperti diabetes, AIDS, dan penyakit ganas, selain oleh terapi

maupun dalam (benda asing kornea, abrasi kornea, phlyctenule, keratitis interstisisal),

imunosupresi khusus(1).
KERATITIS
Keratitis adalah infeksi pada kornea yang biasanya diklasifikasikan menurut lapisan

menimbulkan rasa sakit dan fotofobia. Rasa sakit ini diperhebat oleh gesekan palpebra
(terutama palpebra superior) pada kornea dan menetap sampai sembuh. Karena kornea
berfungsi sebagai jendela bagi mata dan membiaskan cahaya, lesi kornea umunya agak
mengaburkan penglihatan, terutama kalau letaknya di pusat(1).
Fotofobia pada penyakit kornea adalah akibat kontraksi iris beradang yang sakit.
Dilatasi pembuluh iris adalah fenomena reflex yang disebabkan iritasi pada ujung saraf
kornea. Fotofobia, yang berat pada kebanyakan penyakit kornea, minimal pada keratitis
herpes karena hipestasi terjadi pada penyakit ini, yang juga merupakan tanda diagnostik
berharga. Meskipun berair mata dan fotofobia umunya menyertai penyakit kornea,
(1)

umumnya tidak ada tahi mata kecuali pada ulkus bakteri purulen .
4. Investigasi Penyakit Kornea
Gejala dan tanda
Dokter memeriksa di bawah cahaya yang memadai. Pemeriksaan sering lebih mudah
dengan meneteskan anestesi lokal. Pemulusan flurescein dapat memperjelas lesi epitel
superfisialis yang tidak mungkin tidak telihat bila tidak dipulas. Pemakaian biomikroskop
(slitlamp) penting untuk pemeriksaan kornea dengan benar; jika tidak tersedia, dapat dipakai
kaca pembesar dan pencahayaan terang. Harus diperhatikan perjalanan pantulan cahaya saat
menggerakkan cahaya di atas kornea. Daerah kasar yang menandakan defek pada epitel
terlihat dengan cara ini(1).
Anamnesis pasien penting pada penyakit kornea. Sering dapat diungkapkan adanya
riwayat trauma---kenyataannya, benda asing dan abrasi merupakan abrasi merupakan dua
lesi yang umum pada kornea. Adanya riwayat penyakit kornea juga bermanfaat. Keratitis
akibat infeksi herpes simpleks sering kambuh, namun karena erosi kambuh sangat sakit dan

kornea yang terkena; yaitu keratitis superfisialis apabila mengenal lapisan epitel atau
bowman dan keratitis profunda atau interstisialis (atau disebut juga keratitis parenkimatosa)
yang mengenai lapisan stroma(2).
Keratitis superfisialis
Bentuk-bentuk klinik keratitis superfisialis antara lain adalah:
1. Keratitis punctata superfisialis
Berupa bintik-bintik putih pada permukaan kornea yang dapat disebabkan oleh
berbagai penyakit infeksi virus antara lain virus herpes simpleks, herpes zoster dan
vaksinia(2).
2. Keratitis flikten
Benjolan putih yang yang bermula di limbus tetapi mempunyai kecenderungan
untuk menyerang kornea(2).
3. Keratitis sika
Suatu bentuk keratitis yang disebabkan oleh kurangnya sekresi kelenjar lakrimale
atau sel goblet yang berada di konjungtiva(2).
4. Keratitis lepra
Suatu bentuk keratitis yang diakibatkan oleh gangguan trofik saraf, disebut juga
keratitis neuroparalitik(2).
5. Keratitis nummularis
Bercak putih berbentuk bulat pada permukaan kornea biasanya multiple dan banyak
didapatkan pada petani(2).
6. Keratitis profunda
Bentuk-bentuk klinik keratitis profunda antara lain:
- Keratitis interstisialis luetik atau keratitis sifilis congenital
- Keratitis sklerotikans.

keratitis herpetik tidak, penyakit-penyakit ini dapat dibedakan dari gejalanya. Hendaknya
pula ditanyakan pemakaian obat local oleh pasien, karena mungkin telah memakai

KERATITIS PUNCTATA SUPERFISISALIS THYGESON

kortikosteroid, yang dapat merupakan predisposisi bagi penyakit bakteri, fungi, atau oleh

Keratitis punctata superfisialis adalah penyakit bilateral recurens menahun yang jarang

virus, terutama keratitis herpes simpleks. Juga mungkin terjadi imunosupresi akibat

ditemukan, tanpa pandang jenis kelamin maupun umur. Penyakit ini ditandai kekerutan
epitel yang meninggi berbentuk lonjong dan jelas, yang menampakkan bintik-bintik pada

pemulasan dengan flurescien, terutama di daerah pupil. Kekeruhan ini tidak tampak dengan
mata telanjang, namun mudah dilihat dengan slit-lamp atau kaca pembesar. Kekeruhan
subepitelial dibawah lesi epitel (lesi hantu) sering terlihat semasa penyembuhan penyakit
epitel ini(1,4).
Etiologi
Belum ditemukan organisme penyebabnya, namun dicurigai virus. Pada satu kasus

BAB IV
PEMBAHASAN
Pada kasus diatas, dari anamnesis didapatkan anak laki-laki berusia 9 tahun, datang
dengan keluhan penglihatan mata kanan kabur dan terasa ada pasir sejak 1 minggu yang

. Penyebab lainnya dapat

lalu. Mata terasa nyeri, silau jika melihat cahaya, merah serta berair. Pasien mengeluh gejala

terjadi pada moluskulum kontangiosum, acne roasea, blefaritis neuroparalitik, trachoma,

tersebut selalu timbul ketika sore dan malam hari. Riwayat mata merah, terdapat kotoran

trauma radiasi, lagoftalmos, keracunan obat seperti neomisin, tobramisin dan bahan

pada mata dan demam disangkal oleh pasien. Dari anamnesis menunjukkan bahwa pasien

pengawet lainnya (2).


Manifestasi klinis
Iritasi ringan, mata berair, penglihatan yang sedikit kabur, dan fotofobia adalah gejala

mengalami suatu infeksi didaerah mata bagian kanan dengan keluhan mata merah, silau

berhasil diisolasi virus varicella-zoster dari kerokan kornea

(1,3)

satu-satunya. Konjungtiva tidak terkena (1,4).


Keratitis epithelial sekunder terhadap blefarokonjungtivitis stafilokokus dapat
dibedakan dari keratitis punctata superfisialis karena mengenai sepertiga kornea bagian
bawah. Keratitis epithelial pada trachoma dapat disingkirkan karena lokasinya dibagian
sepertiga kornea bagian atas dan ada pannus. Banyak diantara keratitis yang mengenai
kornea bagian superfisialis bersifat unilateral atau dapat disingkirkan berdasarkan
riwayatnya (1).
Terapi
Pasien diberi air mata buatan, tobramisin tetes mata, dan sikloplegik (2). Pemberian tetes
kortikosteroid untuk jangka pendek sering kali dapat menghilangkan kekeruhan dan keluhan

(fotofobia), berair dan penurunan visus (kabur). Dari gejala yang timbul tersebut
menunjukkan diagnosis sementara mengarah ke diagnosis keratitis.
Pada pemeriksaan visus didapatkan VOD = 6/7, VOS = 6/6, pemeriksaan mata
sebelah kanan ditemukan injeksi silier pada perikorneal, pemeriksaan segmen anterior
ditemukan COA agak keruh dan pemeriksaan dengan pemulasan flurescein kemudian dilihat
dengan slit lamp hasilnya ditemukan bintik-bintik berwarna hijau di permukaan kornea
bagian tengah. Dari hasil pemeriksaan status lokalis ini menunjukkan bahwa infeksi kornea
dapat diklasifikasikan sesuai dengan lapisan kornea yang terkena yaitu bagian superfisialis
dan terbentuk bintik-bintik yang terkumpul di daerah membrane bowman. Diagnosis kerja
yang ditegakkan pada pasien tersebut adalah keratitis punctata superfisisalis.

subjektif, namun pada umunya kambuh. Prognosis akhirnya baik karena tidak terjadi parut
atau vaskularisasi pada kornea. Bila tidak diobati, penyakit ini berlangsung 1-3 tahun.
Pemberian kortikosteroid topical untuk waktu lama memperpanjang perjalanan penyakit
hingga bertahun-tahun dan berakibat timbulnya katarak teriduksi steroid dan glaukoma.
Lensa kontak sebagai terapi telah dipakai untuk mengendalikan gejala, khususnya pada
(1)

kasus yang mengganggu .


Gambar:

Terapi yang diberikan yaitu pemberian antibiotik, air mata buatan, dan sikloplegik.
Pasien juga dianjurkan menggunakan pelindung mata (kaca mata hitam) untuk melindungi
dari exposure dari luar seperti debu dan sinar ultraviolet.
DAFTAR PUSTAKA

1.

Vaughan, Daniel G et al. 2002. Oftalmologi Umum edisi-14. Jakarta: Widya Medika. Hal:

2.

129 152
Ilyas, Sidarta. 2002. Ilmu Penyakit Mata edisi2. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. Hal: 113

3.

116
Mansjoer, Arif M. 2001. Kapita Selekta edisi-3 jilid-1. Jakarta: Media Aesculapius FKUI.
Hal: 56

4.

Thygeson, Phillips. 1950. "Superficial Punctate Keratitis". Journal of the American


Medical Association; 144:1544-1549. Available at : http://webeye. ophth.uiowa.edu/
dept/service/cornea/cornea.htm (accessed: december 2008)

5.

Reed, Kimberly K. 2007. Thygeson's SPK photos. Nova Southeastern University College

Terdiri dari sel epitel squamos yang bertingkat, terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak bertanduk
yang saling tumpang tindih; sel poligonal dan sel gepeng. Tebal lapisan epitel kira-kira 5 %
(0,05 mm) dari total seluruh lapisan kornea. Epitel dan film air mata merupakan lapisan
permukaan dari media penglihatan. Pada sel basal sering terlihat mitosis sel, dan sel muda
ini terdorong ke depan menjadi lapis sel sayap dan semakin maju ke depan menjadi sel
gepeng, sel basal berikatan erat dengan sel basal di sampingnya dan sel poligonal di
depannya melalui desmosom dan makula okluden; ikatan ini menghambat pengaliran air,
elektrolit dan glukosa melalui barrier. Sel basal menghasilkan membran basal yang melekat
erat kepadanya. Bila terjadi gangguan akan mengakibatkan erosi rekuren. Sedangkan
epitel berasal dari ektoderem permukaan. Epitel memiliki daya regenerasi (Ilyas, 2005).
1.

2.

Membran bowman

of Optometry 3200 South University Drive Ft. Lauderdale, Florida. Available at:
http://www.fechter.com/Thygesons.htm. (accessed: december 2008)
Kornea merupakan jaringan yang avaskular, bersifat transparan, berukuran 11-12 mm
horizontal dan 10-11 mm vertikal, serta memiliki indeks refraksi 1,37. Kornea memberikan
kontribusi 74 % atau setara dengan 43,25 dioptri (D) dari total 58,60 kekuatan dioptri mata
manusia. Kornea juga merupakan sumber astigmatisme pada sistem optik. Dalam nutrisinya,
kornea bergantung pada difusi glukosa dari aqueus humor dan oksigen yang berdifusi
melalui lapisan air mata. Sebagai tambahan, kornea perifer disuplai oksigen dari sirkulasi
limbus. Kornea adalah salah satu organ tubuh yang memiliki densitas ujung-ujung saraf
terbanyak dan sensitifitasnya adalah 100 kali jika dibandingkan dengan konjungtiva. Kornea
dipersarafi oleh banyak saraf sensoris terutama berasal dari saraf siliar longus, saraf
nasosiliar, saraf ke V, saraf siliar longus yang berjalan suprakoroid, masuk ke dalam stroma
kornea, menembus membran Bowman melepas selubung Schwannya. Seluruh lapis epitel
dipersarafi sampai pada kedua lapis terdepan. Sensasi dingin oleh Bulbus Krause ditemukan
pada daerah limbus (Ilyas, 2005).
Kornea dalam bahasa latin cornum artinya seperti tanduk, merupakan selaput bening
mata, bagian dari mata yang bersifat tembus cahaya, merupakan lapis dari jaringan yang
menutup bola mata sebelah depan dan terdiri atas :
1.

1.

Epitel

Membran yang jernih dan aselular, Terletak di bawah membran basal dari epitel. Merupakan
lapisan kolagen yang tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari epitel bagian
depan stroma. Lapisan ini tidak mempunyai daya generasi (Ilyas, 2005).
1.
3. Stroma
Lapisan ini mencakup sekitar 90% dari ketebalan kornea. Merupakan lapisan tengah pada
kornea. Bagian ini terdiri atas lamel fibril-fibril kolagen dengan lebar sekitar 1 m yang
saling menjalin yang hampir mencakup seluruh diameter kornea, pada permukaan terlihat
anyaman yang teratur sedang di bagian perifer serat kolagen ini bercabang; terbentuknya
kembali serat kolagen memakan waktu lama, dan kadang sampai 15 bulan. Keratosit
merupakan sel stroma kornea yang merupakan fibroblas terletak di antara serat kolagen
stroma. Diduga keratosit membentuk bahan dasar dan serat kolagen dalam perkembangan
embrio atau sesudah trauma (Ilyas, 2005).
1.

4.

Membran Descemet

Merupakan membran aselular dan merupakan batas belakang stroma kornea yang
dihasilkan oleh endotel. Bersifat sangat elastis dan jernih yang tampak amorf pada
pemeriksaan mikroskop elektron, membran ini berkembang terus seumur hidup dan
mempunyai tebal + 40 mm. Lebih kompak dan elastis daripada membran Bowman. Juga
lebih resisten terhadap trauma dan proses patologik lainnya dibandingkan dengan bagianbagian kornea yang lain (Ilyas, 2005).

1.

5.

Endotel

Berasal dari mesotelium, terdiri atas satu lapis sel berbentuk heksagonal, tebal antara 20-40
mm melekat erat pada membran descemet melalui taut. Endotel dari kornea ini dibasahi oleh
aqueous humor. Lapisan endotel berbeda dengan lapisan epitel karena tidak mempunyai
daya regenerasi, sebaliknya endotel mengkompensasi sel-sel yang mati dengan
mengurangi kepadatan seluruh endotel dan memberikan dampak pada regulasi cairan, jika
endotel tidak lagi dapat menjaga keseimbangan cairan yang tepat akibat gangguan sistem
pompa endotel, stroma bengkak karena kelebihan cairan (edema kornea) dan kemudian
hilangnya transparansi (kekeruhan) akan terjadi. Permeabilitas dari kornea ditentukan oleh
epitel dan endotel yang merupakan membrane semipermeabel, kedua lapisan ini
mempertahankan kejernihan daripada kornea, jika terdapat kerusakan pada lapisan ini maka
akan terjadi edema kornea dan kekeruhan pada kornea (Ilyas, 2005).

2.2 Fisiologi Kornea


Kornea berfungsi sebagai membran pelindung dan jendela yang dilalui berkas cahaya
menuju retina. Sifat tembus cahayanya disebabkan oleh strukturnya yang uniform,
avaskuler dan deturgesensi. Deturgesensi atau keadaan dehidrasi relatif jaringan kornea,
dipertahankan oleh pompa bikarbonat aktif pada endotel dan oleh fungsi sawar epitel dan
endotel. Dalam mekanisme dehidrasi ini, endotel jauh lebih penting daripada epitel, dan
kerusakan kimiawi atau fisis pada endotel berdampak jauh lebih parah daripada kerusakan
pada epitel. Kerusakan sel-sel endotel menyebabkan edema kornea dan hilangnya sifat
transparan. Sebaliknya, kerusakan pada epitel hanya menyebabkan edema stroma kornea
lokal sesaat yang akan meghilang bila sel-sel epitel telah beregenerasi. Penguapan air dari
lapisan air mata prekorneal menghasilkan hipertonisitas ringan lapisan air mata tersebut,
yang mungkin merupakan faktor lain dalam menarik air dari stroma kornea superfisial dan
membantu mempertahankan keadaan dehidrasi (Vaughan, 2009).
Penetrasi kornea utuh oleh obat bersifat bifasik. Substansi larut-lemak dapat melalui epitel
utuh dan substansi larut-air dapat melalui stroma yang utuh. Karenanya agar dapat melalui
kornea, obat harus larut-lemak dan larut-air sekaligus. Epitel adalah sawar yang efisien

terhadap masuknya mikroorganisme kedalam kornea. Namun sekali kornea ini cedera,
stroma yang avaskular dan membran bowman mudah terkena infeksi oleh berbagai macam
organisme, seperti bakteri, virus, amuba, dan jamur (Vaughan, 2009).
Kornea merupakan bagian anterior dari mata, yang harus dilalui cahaya, dalam perjalanan
pembentukan bayangan di retina, karena jernih, sebab susunan sel dan seratnya tertentu dan
tidak ada pembuluh darah. Biasan cahaya terutama terjadi di permukaan anterior dari
kornea. Perubahan dalam bentuk dan kejernihan kornea, segera mengganggu pembentukan
bayangan yang baik di retina. Oleh karenanya kelainan sekecil apapun di kornea, dapat
menimbulkan gangguan penglihatan yang hebat terutama bila letaknya di daerah pupil
(Vaughan, 2009).

2.3 Keratitis
2.3.1 Definisi
Keratitis adalah infeksi pada kornea yang biasanya diklasifikasikan menurut lapisan kornea
yang terkena yaitu keratitis superfisialis apabila mengenal lapisan epitel atau bowman dan
keratitis profunda atau interstisialis (atau disebut juga keratitis parenkimatosa) yang
mengenai lapisan stroma (Ilyas, 2006).
2.3.2 Etiologi dan faktor pencetus
Penyebab keratitis bermacam-macam. Bakteri, virus dan jamur dapat menyebabkan
keratitis. Penyebab paling sering adalah virus herpes simplex tipe 1. Selain itu penyebab lain
adalah kekeringan pada mata, pajanan terhadap cahaya yang sangat terang, benda asing
yang masuk ke mata, reaksi alergi atau mata yang terlalu sensitif terhadap kosmetik mata,
debu, polusi atau bahan iritatif lain, kekurangan vitamin A dan penggunaan lensa kontak
yang kurang baik (Mansjoer, 2001).
2.3.3 Tanda dan Gejala Umum
Tanda patognomik dari keratitis ialah terdapatnya infiltrat di kornea. Infiltrat dapat ada di
seluruh lapisan kornea, dan menetapkan diagnosis dan pengobatan keratitis. Pada

peradangan yang dalam, penyembuhan berakhir dengan pembentukan jaringan parut


(sikatrik), yang dapat berupa nebula, makula, dan leukoma. Adapun gejala umum adalah :

Keluar air mata yang berlebihan

Nyeri

Penurunan tajam penglihatan

Radang pada kelopak mata (bengkak, merah)

Mata merah

Sensitif terhadap cahaya (Mansjoer, 2001).


2.3.4 Klasifikasi
Keratitis biasanya diklasifikasikan berdasarkan lapisan kornea yang terkena : yaitu keratitis
superfisialis apabila mengenai lapisan epitel dan bowman dan keratitis profunda apabila
mengenai lapisan stroma.
Bentuk-bentuk klinik keratitis superfisialis antara lain adalah (Ilyas, 2006):
1.
Keratitis punctata superfisialis
Berupa bintik-bintik putih pada permukaan kornea yang dapat disebabkan oleh sindrom dry
eye, blefaritis, keratopati logaftalmus, keracunan obat topical, sinar ultraviolet, trauma kimia
ringan dan pemakaian lensa kontak.
1.

Keratitis flikten

Benjolan putih yang yang bermula di limbus tetapi mempunyai kecenderungan untuk
menyerang kornea.
1.

Keratitis sika

Suatu bentuk keratitis yang disebabkan oleh kurangnya sekresi kelenjar lakrimale atau sel
goblet yang berada di konjungtiva.
1.

Keratitis lepra

Suatu bentuk keratitis yang diakibatkan oleh gangguan trofik saraf, disebut juga keratitis
neuroparalitik.
1.

Keratitis nummularis

Bercak putih berbentuk bulat pada permukaan kornea biasanya multiple dan banyak
didapatkan pada petani.
Bentuk-bentuk klinik keratitis profunda antara lain adalah :
1.

Keratitis interstisialis luetik atau keratitis sifilis congenital

2.
Keratitis sklerotikans.
2.3.5 Patofisiologi Gejala
Karena kornea avaskuler, maka pertahanan pada waktu peradangan tidak segera datang,
seperti pada jaringan lain yang mengandung banyak vaskularisasi. Maka badan
kornea, wandering cell dan sel-sel lain yang terdapat dalam stroma kornea, segera bekerja
sebagai makrofag, baru kemudian disusul dengan dilatasi pembuluh darah yang terdapat
dilimbus dan tampak sebagai injeksi perikornea. Sesudahnya baru terjadi infiltrasi dari selsel mononuclear, sel plasma, leukosit polimorfonuklear (PMN), yang mengakibatkan
timbulnya infiltrat, yang tampak sebagai bercak berwarna kelabu, keruh dengan batas-batas
tak jelas dan permukaan tidak licin, kemudian dapat terjadi kerusakan epitel dan timbulah
ulkus kornea (Vaughan, 2009).
Kornea mempunyai banyak serabut saraf maka kebanyakan lesi pada kornea baik superfisial
maupun profunda dapat menimbulkan rasa sakit dan fotofobia. Rasa sakit juga diperberat
dengan adanaya gesekan palpebra (terutama palbebra superior) pada kornea dan menetap
sampai sembuh. Kontraksi bersifat progresif, regresi iris, yang meradang dapat
menimbulkan fotofobia, sedangkan iritasi yang terjadi pada ujung saraf kornea merupakan
fenomena reflek yang berhubungan dengan timbulnya dilatasi pada pembuluh iris.
Fotofobia, yang berat pada kebanyakan penyakit kornea, minimal pada keratitis herpes
karena hipestesi terjadi pada penyakit ini, yang juga merupakan tanda diagnostik berharga.
Meskipun berair mata dan fotofobia umumnya menyertai penyakit kornea, umumnya tidak
ada tahi mata kecuali pada ulkus bakteri purulen (Vaughan, 2009).

Karena kornea berfungsi sebagai jendela bagi mata dan membiaskan berkas cahaya, lesi
kornea umumnya agak mengaburkan penglihatan, terutama kalau letaknya di pusat
(Vaughan, 2009).
2.3.6
Diagnosa
Anamnesis pasien penting pada penyakit kornea. Sering dapat diungkapkan adanya riwayat
traumakenyataannya, benda asing dan abrasi merupakan dua lesi yang umum pada
kornea. Adanya riwayat penyakit kornea juga bermanfaat. Keratitis akibat infeksi herpes
simpleks sering kambuh, namun karena erosi kambuh sangat sakit dan keratitis herpetik
tidak, penyakit-penyakit ini dapat dibedakan dari gejalanya. Hendaknya pula ditanyakan
pemakaian obat lokal oleh pasien, karena mungkin telah memakai kortikosteroid, yang
dapat merupakan predisposisi bagi penyakit bakteri, fungi, atau oleh virus, terutama keratitis
herpes simpleks. Juga mungkin terjadi imunosupresi akibat penyakit-penyakit sistemik,
seperti diabetes, AIDS, dan penyakit ganas, selain oleh terapi imunosupresi
khusus(Vaughan, 2009).
Dokter memeriksa di bawah cahaya yang memadai. Pemeriksaan sering lebih mudah
dengan meneteskan anestesi lokal. Pemulusan fluorescein dapat memperjelas lesi epitel
superfisialis yang tidak mungkin tidak telihat bila tidak dipulas. Pemakaian biomikroskop
(slitlamp) penting untuk pemeriksaan kornea dengan benar; jika tidak tersedia, dapat dipakai
kaca pembesar dan pencahayaan terang. Harus diperhatikan perjalanan pantulan cahaya saat
menggerakkan cahaya di atas kornea. Daerah kasar yang menandakan defek pada epitel
terlihat dengan cara ini(Vaughan, 2009).
Mayoritas kasus keratitis bakteri pada komunitas diselesaikan dengan terapi empiris dan
dikelola tanpa hapusan atau kultur.Hapusan dan kultur sering membantu dalam kasus
dengan riwayat penyakit yang tidak jelas. Hipopion yang terjadi di mata dengan keratitis
bakteri biasanya steril, dan pungsi akuos atau vitreous tidak perlu dilakukan kecuali ada
kecurigaan yang tinggi oleh mikroba endophthalmitis.
Kultur adalah cara untuk mengidentifikasi organisme kausatif dan satu-satunya cara untuk
menentukan kepekaan terhadap antibiotik. Kultur sangat membantu sebagai panduan
modifikasi terapi pada pasien dengan respon klinis yang tidak bagus dan untuk mengurangi
toksisitas dengan mengelakkan obat-obatan yang tidak perlu. Dalam perawatan mata secara

empiris tanpa kultur dimana respon klinisnya tidak bagus, kultur dapat membantu meskipun
keterlambatan dalam pemulihan patogen dapat terjadi.
Sampel kornea diperoleh dengan memakai agen anestesi topikal dan menggunakan
instrumen steril untuk mendapatkan atau mengorek sampel dari daerah yang terinfeksi pada
kornea. Kapas steril juga dapat digunakan untuk mendapatkan sampel. Ini paling mudah
dilakukan dengan perbesaran Slit Lamp.
Biopsi kornea dapat diindikasikan jika terjadi respon yang minimal terhadap pengobatan
atau jika kultur telah negatif lebih dari satu kali dengan gambaran klinis yang sangat
mendukung suatu proses infeksi. Hal ini juga dapat diindikasikan jika infiltrat terletak di
pertengahan atau dalam stroma dengan jaringan atasnya tidak terlibat.
Pada pasien kooperatif, biopsi kornea dapat dilakukan dengan bantuan Slit Lamp atau
mikroskop operasi. Setelah anestesi topikal, gunakan sebuah pisau untuk mengambil
sepotong kecil jaringan stroma, yang cukup besar untuk memungkinkan pembelahan
sehingga satu porsi dapat dikirim untuk kultur dan yang lainnya untuk histopatologi.
Spesimen biopsi harus disampaikanke laboratorium secara tepat waktu.
2.4 Keratitis Bakterialis
Keratitis bakteri adalah gangguan penglihatan yang mengancam. Ciri-ciri khusus keratitis
bakteri adalah perjalanannya yang cepat. Destruksi corneal lengkap bisa terjadi dalam 24
48 jam oleh beberapa agen bakteri yang virulen. Ulkus kornea, pembentukan abses stroma,
edema kornea dan inflamasi segmen anterior adalah karakteristik dari penyakit ini.
2.4.1 Patogen
Grup bakteri yang paling banyak menyebabkan keratitis bakteri adalah Streptococcus,
Pseudomonas, Enterobacteriaceae (meliputi Klebsiella, Enterobacter, Serratia, and Proteus)
dan golongan Staphylococcus. Lebih dari 20 kasus keratitis jamur (terutama candidiasis)
terjadi komplikasi koinfeksi bakteri.

Banyak jenis ulkus kornea bakteri mirip satu sama lain dan hanya bervariasi dalam beratnya
penyakit. Ini terutama berlaku untuk ulkus yang disebabkan bakteri oportunistik
(mis., Streptococcus alfa-hemolyticus, Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis,
Nocardia, dan M fortuitum-chelonei), yang menimbulkan ulkus kornea indolen yang
cenderung menyebar perlahan dan superficial (Vaughan, 2009).
2.4.2 Patofisiologi
Awal dari keratitis bakteri adalah adanya gangguan dari epitel kornea yang intak dan atau
masuknya mikroorganisme abnormal ke stroma kornea, dimana akan terjadi proliferasi dan
menyebabkan ulkus. Faktor virulensi dapat menyebabkan invasi mikroba atau molekul
efektor sekunder yang membantu proses infeksi. Beberapa bakteri memperlihatkan sifat
adhesi pada struktur fimbriasi dan struktur non fimbriasi yang membantu penempelan ke sel
kornea. Selama stadium inisiasi, epitel dan stroma pada area yang terluka dan infeksi dapat
terjadi nekrosis. Sel inflamasi akut (terutama neutrofil) mengelilingi ulkus awal dan
menyebabkan nekrosis lamella stroma.
Difusi produk-produk inflamasi (meliputi cytokines) di bilik posterior, menyalurkan sel-sel
inflamasi ke bilik anterior dan menyebabkan adanya hypopyon. Toksin bakteri yang lain dan
enzim (meliputi elastase dan alkalin protease) dapat diproduksi selama infeksi kornea yang
nantinya dapat menyebabkan destruksi substansi kornea.
2.4.3 Temuan Klinis
a. Keratitis Pneumokokus
Ulkus kornea pneumokokus biasanya muncul 24-48 jam setelah inokulasi pada kornea yang
lecet. Infeksi ini secara khas menimbulkan sebuah ulkus berbatas tegas warna kelabu yang
cenderung menyebar secara tak teratur dari tempat infeksi ke sentral kornea. Batas yang
maju menampakkan ulserasi aktif dan infiltrasi sementara batas yang ditinggalkan mulai
sembuh. (Efek merambat ini menimbulkan istilah ulkus serpiginosa akut.) Lapis
superfisial kornea adalah yang pertama terlibat, kemudian parenkim bagian dalam. Kornea
sekitar ulkus sering bening. Biasanya ada hipopion. Kerokan dari tepian depan ulkus kornea
pneumokokus mengandung diplokokus berbentuk-lancet gram-positif (Vaughan, 2009).

Ulkus Pseudomonas

b. Keratitis Pseudomonas
Ulkus kornea pseudomonas berawal sebagai infiltrat kelabu atau kuning di tempat epitel
kornea yang retak. Nyeri yang sangat biasanya menyertainya. Lesi ini cenderung cepat
menyebar ke segala arah karena pengaruh enzim protcolitik yang dihasilkan organisme ini.
Meskipun pada awalnya superfisial, ulkus ini dapat mengenai seluruh kornea. Umumnya
terdapat hipopion besar yang cenderung membesar dengan berkembangnya ulkus. Infiltrat
dan eksudat mungkin berwarna hijau kebiruan. Ini akibat pigmen yang dihasilkan organisme
dan patognomonik untuk infeksi P aeruginosa.
Pseudomonas adalah penyebab umum ulkus kornea bakteri. Kasus ulkus
kornea Pseudomonas dapat terjadi pada abrasi kornea minor atau penggunaan lensa kontak
lunak, terutama yang dipakai agak lama. Ulkus kornea yang disebabkan organisme ini
bervariasi dari yang sangat jinak sampai yang menghancurkan. Organisme itu ditemukan
melekat pada permukaan lensa kontak lunak. Beberapa kasus dilaporkan setelah
penggunaan larutan florescein atau obat tetes mata yang terkontaminasi (Vaughan, 2009).
c. Keratitis Streptokokus
Khas sebagai ulkus yang menjalar dari tepi ke arah tengah kornea (serpinginous). Ulkus
bewarna kuning keabu-abuan berbentuk cakram dengan tepi ulkus yang menggaung. Ulkus
cepat menjalar ke dalam dan menyebabkan perforasi kornea, karena eksotoksin yang
dihasilkan oleh streptokok pneumonia.
2.4.4 Terapi
1.

Terapi antibiotika

Tetes mata antibiotik mampu mencapai tingkat jaringan yang tinggi dan merupakan metode
yang banyak dipakai dalam pengobatan banyak kasus. Salep pada mata berguna sewaktu

tidur pada kasus yang kurang berat dan juga berguna sebagai terapi tambahan. Antibiotik
subkonjungtiva dapat membantu pada keadaan ada penyebaran segera ke sclera atau
perforasi atau dalam kasus di mana kepatuhan terhadap rejimen pengobatan diragukan.
Antibiotik topikal spektrum luas empiris digunakan pada pengobatan awal dari keratitis
bakteri. Untuk keratitis yang parah (melibatan stroma atau dengan defek yang lebih besar
dari 2 mm dengan nanah yang luas), diberikan dosis loading setiap 5 sampai 15 menit untuk
jam pertama, diikuti oleh aplikasi setiap 15 menit sampai 1 jam pada jam berikutnya. Pada
keratitis yang kurang parah, rejimen terapi dengan dosis yang kurang frekuen terbukti
efektif. Agen Cycloplegic dapat digunakan untuk mengurangi pembentukan sinekhia dan
untuk mengurangi nyeri pada kasus yang lebih parah pada keratitis bakteri dan ketika
adanya peradangan bilik anterior mata.
Terapi single-drug dengan menggunakan fluoroquinolone (misalnya ciprofloksasin,
ofloksasin) menunjukkan efektiftivitas yang sama seperti terapi kombinasi. Tetapi beberapa
patogen (misalnya Streptococcus, anaerob) dilaporkan mempunyai kerentanan bervariasi
terhadap golongan fluoroquinolone dan prevalensi resistensi terhadap golongan
fluoroquinolones tampaknya semakin meningkat. Gatifloksasin dan moksifloksasin
(generasi keempat fluoroquinolone) telah dilaporkan memiliki cakupan yang lebih baik
terhadap bakteri gram-positif dari fluoroquinolone generasi sebelumnya pada uji in-vitro.
Namun, fluoroquinolone generasi keempat belum disetujui FDA untuk pengobatan keratitis
bakteri.
Terapi kombinasi antibiotika digunakan dalam kasus infeksi berat dan mata yang tidak
responsif terhadap pengobatan. Pengobatan dengan lebih dari satu agen mungkin diperlukan
untuk kasus-kasus penyebab mikobakteri non-tuberkulos. Antibiotik sistemik jarang
dibutuhkan, tetapi dapat diipertimbangkan pada kasus-kasus yang parah di mana proses
infeksi telah meluas ke jaringan sekitarnya (misalnya, sclera) atau ketika adanya ancaman
perforasi dari kornea. Terapi sistemik juga diperlukan dalam kasus-kasus keratitis
gonokokal.
b. Terapi kortikosteroid

Terapi topikal kortikosteroid memiliki peran bermanfaat dalam mengobati beberapa kasus
menular keratitis. Keuntungan potensial adalah penekanan peradangan dan pengurangan
pembentukan jaringan parut pada kornea, yang dapat menyebabkan kehilangan penglihatan.
Antara kerugiannya pula termasuk timbulnya aktivitas infeksi baru, imunosupresi lokal,
penghambatan sintesis kolagen dan peningkatan tekanan intraokular. Meskipun berisiko,
banyak ahli percaya bahwa penggunaan kortikosteroid topikal dalam pengobatan keratitis
bakteri dapat mengurangi morbiditas. Terapi kortikosteroid pada pasien yang sedang diobati
dengan kortikosteroid topikal pada saat adanya curiganya keratitis bakteri hendaklah
diberhentikan dahulu sampai infeksi telah dikendalikan.
Prinsip pada terapi kortikosteroid topikal adalah menggunakan dosis minimal kortikosteroid
yang bisa memberikan efek kontrol peradangan. Keberhasilan pengobatan membutuhkan
perkiraan yang optimal, regulasi dosis secara teratur, penggunaan obat antibiotika yang
memadai secara bersamaan, dan follow-up. Kepatuhan dari pasien sangat penting, dan
tekanan intraokular harus sering dipantau. Pasien harus diperiksa dalam 1 sampai 2 hari
setelah terapi kortikosteroid topikal dimulai.
2.4.5 Komplikasi
Komplikasi yang paling ditakuti dari keratitis bakteri ini adalah penipisan kornea, dan
akhirnya perforasi kornea yang dapat mengakibatkan endophthalmitis dan hilangnya
penglihatan.
2.4.6 Prognosis
Prognosis visual tergantung pada beberapa faktor, seperti diuraikan di bawah ini, dan dapat
mengakibatkan penurunan visus derajat ringan sampai berat.
- Virulensi organisme yang bertanggung jawab atas keratitis
- Luas dan lokasi ulkus kornea
- Hasil vaskularisasi dan / atau deposisi kolagen

2.5 Keratitis Virus


2.5.1 Keratitis Herpes Simplek
Keratitis herpes simpleks merupakan salah satu infeksi kornea yang paling sering ditemukan
dalam praktek. Disebabkan oleh virus herpes simpleks, ditandai dengan adanya infiltrasi sel
radang & edema pada lapisan kornea manapun. Pada mata, virus herpes simplek dapat
diisolasi dari kerokan epitel kornea penderita keratitis herpes simpleks. Penularan dapat
terjadi melalui kontak dengan cairan dan jaringan mata, rongga hidung, mulut, alat kelamin
yang mengandung virus (Ilyas, 2006).
1.

Walaupun diobati, kira-kira 25% pasien akan kambuh pada tahun pertama, dan
meningkat menjadi 33% pada tahun kedua. Peneliti lain bahkan melaporkan angka yang
lebih besar yaitu 46,57% keratitis herpes simpleks kambuh dalam kurun waktu 4 bulan
setelah infeksi primer. Penelitian di Yogyakarta mendapatkan angka kekambuhan hanya
11,5% dalam kurun waktu 6 bulan pengamatan setelah penyembuhan. Perbedaan angkaangka tersebut dimungkinkan oleh perbedaan cara pengobatan (American academy, 2007).
Kebanyakan infeksi HSV pada kornea disebabkan HSV tipe 1 namun beberapa kasus pada
bayi dan dewasa dilaporkan disebabkan HSV tipe 2. Lesi kornea kedua jenis ini tidak dapat
dibedakan.

Temuan klinis
1.

Kelainan mata akibat infeksi herpes simpleks dapat bersifat primer dan kambuhan. lnfeksi
primer herpes simplek primer pada mata jarang ditemukan ditandai oleh adanya demam,
malaise, limfadenopati preaurikuler, konjungtivitis folikutans, bleparitis, dan 2/3 kasus
terjadi keratitis epitelial. Kira-kira 94-99% kasus bersifat unilateral, walaupun pada 40%
atau lebih dapat terjadi bilateral khususnya pada pasien-pasien atopic (Vaughan, 2009).
Bentuk ini umumnya dapat sembuh sendiri, tanpa menimbulkan kerusakan pada mata yang
berarti. Terapi antivirus topikal dapat dipakai unutk profilaksis agar kornea tidak terkena dan
sebagai terapi untuk penyakit kornea. Infeksi primer dapat terjadi pada setiap umur, tetapi
biasanya antara umur 6 bulan-5 tahun atau 16-25 tahun. Keratitis herpes simpleks didominir
oleh kelompok laki-laki pada umur 40 tahun ke atas (American academy, 2006).
Infeksi herpes simpleks laten terjadi setelah 2-3 minggu pasca infeksi primer. Dengan
mekanisme yang tidak jelas, virus menjadi inaktif dalam neuron sensorik atau ganglion
otonom. Dalam hal ini ganglion servikalis superior, ganglion n.trigeminus, dan ganglion
siliaris berperan sebagai penyimpan virus. Namun akhir-akhir ini dibuktikan bahwa jaringan
kornea sendiri berperan sebagai tempat berlindung virus herpes simpleks. Beberapa kondisi
yang berperan terjadinya infeksi kambuhan antara lain: demam, infeksi saluran nafas bagian
atas, stres emosional, pemaparan sinar matahari atau angin, haid, renjatan anafilaksis,
dan kondisi imunosupresi (Vaughan, 2009).

Gejala Klinis

Gejala utama umumnya iritasi, fotofobia, mata berair. Bila kornea bagian pusat yang terkena
terjadi sedikit gangguan penglihatan. Karena anestesi kornea umumnya timbul pada awal
infeksi, gejala mungkin minimal dan pasien mungkin tidak datang berobat. Sering ada
riwayat lepuh lepuh, demam atau infeksi herpes lain, namun ulserasi kornea kadang
kadang merupakan satu satunya gejala infeksi herpes rekurens (Vaughan, 2009).
Berat ringannya gejala-gejala iritasi tidak sebanding dengan luasnya lesi epitel, berhubung
adanya hipestesi atau insensibilitas kornea. Dalam hal ini harus diwaspadai terhadap
keratitis lain yang juga disertai hipestesi kornea, misalnya pada: herpes zoster
oftalmikus,keratitis akibat pemaparan dan mata kering, pengguna lensa kontak, keratopati
bulosa, dan keratitis kronik. Gejala spesifik pada keratitis herpes simpleks ringan adalah
tidak adanya foto-fobia (Ilyas, 2000).
1.

Lesi

Keratitis herpes simplek juga dapat dibedakan atas bentuk superfisial, profunda, dan
bersamaan dengan uveitis atau kerato uveitis. Keratitis superfisial dapat berupa pungtata,
dendritik, dan geografik. Keratitis dendritika merupakan proses kelanjutan dari keratitis
pungtata yang diakibatkan oleh perbanyakan virus dan menyebar sambil menimbulka
kematian sel serta membentuk defek dengan gambaran bercabang. Lesi bentuk dendritik

merupakan gambaran yang khas pada kornea, memiliki percabangan linear khas dengan
tepian kabur, memiliki bulbus terminalis pada ujungnya. Pemulasan fluoresein memudahkan
melihat dendrit, namun sayangnya keratitis herpes dapat juga menyerupai banyak infeksi
kornea yang lain dan harus dimasukkan dalam diagnosis diferensial (Vaughan, 2009).
Ada juga bentuk lain yaitu bentuk ulserasi geografik yaitu sebentuk penyakit dendritik
menahun yang lesi dendritiknya berbentuk lebih lebar hat ini terjadi akibat bentukan ulkus
bercabang yang melebar dan bentuknya menjadi ovoid. Dengan demikian gambaran ulkus
menjadi seperti peta geografi dengan kaki cabang mengelilingi ulkus. Tepian ulkus tidak
kabur. Sensasi kornea, seperti halnya penyakit dendritik, menurun. Lesi epitel kornea lain
yang dapat ditimbulkan HSV adalah keratitis epitelial blotchy, keratitis epitelial stelata,
dan keratitis filamentosa. Namun semua ini umumnya bersifat sementara dan sering menjadi
dendritik khas dalam satu dua hari (Vaughan, 2009).

sendiri, setelah berlangsung beberapa minggu sampai bulan. Edema adalah tanda terpenting,
dan penyembuhan dapat terjadi dengan parut dan vaskularisasi minimal (Vaughan, 2009).
Keratitis HSV stroma dalam bentuk infiltrasi dan edema fokal yang sering disertai
vaskularisasi, agaknya terutama disebabkan replikasi virus. Kadang-kadang dijumpai
adanya infiltrat marginal atau lebih dikenal sebagai Wessely ring, diduga sebagai infiltrat
polimorfonuklear disertai reaksi antigen antibodi virus herpes simpleks. Penipisan dan
perforasi kornea dapat terjadi dengan cepat, apalagi jika dipakai kortikosteroid topikal. Jika
terdapat penyakit stroma dengan ulkus epitel, akan sulit dibedakan superinfeksi bakteri atau
fungi pada penyakit herpes. Pada penyakit epitelial harus diteliti benar adanya tanda tanda
khas herpes, namun unsur bakteri atau fungi dapat saja ada dan dapat pula disebabkan oleh
reaksi imun akut, yang sekali lagi harus mempertimbangkan adanya penyakit virus aktif.
Mungkin terlihat hipopion dengan nekrosis, selain infeksi bakteri atau fungi sekunder
(Vaughan, 2009).
1.

Lesi geografik
Lesi dendritik
1.
Keratitis herpes simpleks bentuk dendrit harus dibedakan dengan keratitis herpes zoster,
pada herpes zoster bukan suatu ulserasi tetapi suatu hipertropi epitel yang dikelilingi mucus
plaques; selain itu, bentuk dendriform lebih kecil (Ilyas, 2006).
Keratitis diskiformis adalah bentuk penyakit stroma paling umum pada infeksi HSV. Stroma
didaerah pusat yang edema berbentuk cakram, tanpa infiltrasi berarti, dan umumnya tanpa
vaskularisasi. Edemanya mungkin cukup berat untuk membentuk lipatan-lipatan dimembran
descement. Mungkin terdapat endapan keratik tepat dibawah lesi diskiformis itu, namun
dapat pula diseluruh endotel karena sering bersamaan dengan uveitis anterior. Seperti
kebanyakan lesi herpes pada orang imunokompeten, keratitis disciformis normalnya sembuh

Patogenesa

Keratitis herpes simplek dibagi dalam 2 bentuk yaitu epitelial dan stromal Kerusakan
terjadi pada pembiakan virus intraepitelial, mengakibatkan kerusakan sel epitelial dan
membentuk tukak kornea superfisial. Pada yang stromal terjadi reaksi imunologik tubuh
terhadap virus yang menyerang yaitu reaksi antigen antibodi yang menarik sel radang
kedalam stroma. Sel radang ini mengeluarkan bahan proteolitik untuk merusak virus tetapi
juga akan merusak jaringan stroma disekitarnya. Hal ini penting diketahui karena
manajemen pengobatan pada yang epitelial ditujukan terhadap virusnya sedang pada yang
stromal ditujukan untuk menyerang virus dan reaksi radangnya. Perjalanan klinik keratitis
dapat berlangsung lama kaena stroma kornea kurang vaskuler, sehingga menghambat
migrasi limfosit dan makrofag ke tempat lesi. Infeksi okuler HSV pada hospes

imunokompeten biasanya sembuh sendiri, namun pada hospes yang secara imunologik tidak
kompeten, perjalanannya mungkin menahun dan dapat merusak (Vaughan, 2009).
1.

Terapi

Bertujuan menghentikan replikasi virus didalam kornea, sambil memperkecil efek merusak
akibat respon radang.
1.

Debridement

Cara efektif mengobati keratitis dendritik adalah debridement epitelial, karena virus
berlokasi di dalam epitel. Debridement juga mengurangi beban antigenik virus pada stroma
kornea. Epitel sehat melekat erat pada kornea, namun epitel terinfeksi mudah dilepaskan.
Debridement dilakukan dengan aplikator berujung kapas khusus. Yodium atau eter topikal
tidak banyak manfaat dan dapat menimbulkan keratitis kimiawi. Obat siklopegik seperti
atropi 1 % atau homatropin5% diteteskan kedalam sakus konjugtiva, dan ditutup dengan
sedikit tekanan. Pasien harus diperiksa setiap hari dan diganti penutupnya sampai defek
korneanya sembuh umumny adalah 72 jam. Pengobatan tambahan dengan anti virus topikal
mempercepat pemulihan epitel. Terapi obat topikal tanpa debridement epitel pada keratitis
epitel memberi keuntungan karena tidak perlu ditutup, namun ada kemungkinan pasien
menghadapi berbagai keracunan obat (Vaughan, 2009).
1.
Terapi obat
Agen anti virus topikal yang di pakai pada keratitis herpes adalah idoxuridine, trifluridine,
vidarabine, dan acyclovir. Trifluridine dan acyclovir jauh lebih efektif untuk penyakit
stroma dari pada yang lain. Idoxuridine dan trifluridine sering kali menimbulkan reaksi
toxik. Acyclovir oral ada mamfaatnya untuk pengobatan penyakit herpes mata berat,
khususnya pada orang atopik yang rentan terhadap penyakit herpes mata dan kulit agresif
(eczema herpeticum). Study multicenter terhadap efektivitas acyclovir untuk pengobatan
kerato uveitis herpes simpleks dan pencegahan penyakit rekurens kini sedang dilaksanakan
( herpes eye disease study) (Vaughan, 2009).

Replikasi virus dalam pasien imunokompeten, khususnya bila terbatas pada epitel kornea,
umumnya sembuh sendiri dan pembentukan parut minimal. Dalam hal ini penggunaan
kortikosteroid topikal tidak perlu, bahkan berpotensi sangat merusak. Kortikosteroid topikal
dapat juga mempermudah perlunakan kornea, yang meningkatkan risiko perforasi kornea.
Jika memang perlu memakai kortikosteroid topikal karena hebatnya respon peradangan,
penting sekali ditambahkan obat anti virus secukupnya untuk mengendalikan replikasi virus
(Vaughan, 2009).
3. Bedah
Keratolasti penetrans mungkin diindentifikasi untuk rehabilitasi penglihatan pasien yang
mempunyai parut kornea berat, namun hendaknya dilakukan beberapa bulan setelah
penyakit herpes non aktif. Pasca bedah, infeksi herpes rekurens dapat timbul karena trauma
bedah dan kortikosteroid topikal yang diperlukan untuk mencegah penolakan transplantasi
kornea. Juga sulit dibedakan penolakan transplantasi kornea dari penyakit stroma rekurens
(Vaughan, 2009).
Perforasi kornea akibat penyakit herpes stroma atau superinfeksi bakteri atau fungi mungkin
memerlukan keratoplasti penetrans darurat. Pelekat jaringan sianokrilat dapat dipakai secara
efektif untuk menutup perfosi kecil dan graft petak lamelar berhasil baik pada kasus
tertentu. Keratoplasi lamelar memiliki keuntungan dibanding keratoplasti penetrans karena
lebih kecil kemungkinan terjadi penolakan transparant. Lensa kontak lunak untuk terapi atau
tarsorafi mungkin diperlukan untuk pemulihan defek epitel yang terdapat padakeratitis
herpes simplek (Vaughan, 2009).
4. Pengendalian mekanisme pemicu yang mengaktifkan kembali infeksi HSV
Infeksi HSV rekurens pada mata banyak dijumpai kira kira sepertiga kasus dalam 2 tahun
serangan pertama. Sering dapat ditemukan mekanisme pemicunya. Setelah denga teliti
mewawancarai pasien. Begitu ditemukan, pemicu itu dapat dihindari. Aspirin dapat dipakai
untuk mencegah demam, pajanan berlebihan terhadap sinar matahari atau sinar UV dapat
dihindari. Keadaan keadaan yang dapat menimbulkan strea psikis dapat dikurangi. Dan
aspirin dapat diminum sebelum menstruasi (Vaughan, 2009).

1.

Prognosis

Prognosis akhirnya baik karena tidak terjadi parut atau vaskularisasi pada kornea. Bila tidak
diobati, penyakit ini berlangsung 1-3 tahun dengan meninggalkan gejala sisa.
2.3.7 Keratitis Virus Varisela Zoster
Infeksi virus varicella zoster terjadi dalam 2 bentuk: primer (varicella) dan rekuren (zoster).
Manifestasi pada mata jarang terjadi pada varicella namun sering pada zoster ophthalmic.
Pada varicella, lesi mata umumnya pada kelopak dan tepian kelopak. Jarang ada keratitis
(khas lesi stroma perifer dengan vaskularisasi), dan lebih jarang lagi keratitis epithelial
dengan atau tanpa pseudodendrite. Pernah dilaporkan keratitis disciformis, dengan uveitis
yang lamanya bervariasi (Vaughan, 2009).
Berbeda dari lesi kornea varicella, yang jarang dan jinak, zoster ophthalmic relatif banyak
dijumpa, kerap kali disertai keratouveitis yang bervariasi beratnya sesuai dengan status
kekebalan pasien. Komplikasi kornea pada zoster ophthalmic dapat diperkirakan timbul jika
terdapat erupsi kulit di daerah yang dipersarafi cabang-cabang Nervus Nasosiliaris
(Vaughan, 2009).

HSV. Kehilangan sensasi kornea selalu merupakan ciri mencolok dan sering berlangsung
berbulan-bulan setelah lesi kornea tampak sudah sembuh. Uveitis yang timbul cenderung
menetap beberapa minggu sampai bulan, namun akhirnya sembuh. Skleritis dapat menjadi
masalah berat pada penyakit VZV mata (Vaughan, 2009).
Acyclovir intravena dan oral telah dipakai dengan hasil baik untuk mengobati herpes zoster
ophthalmic, khususnya pada pasien yang kekebalannya terganggu. Dosis oralnya adalah
800mg, 5 kali sehari untuk 10-14 hari. Terapi hendaknya dimulai 72 jam setelah timbulnya
kemerahan. Peranan antivirus topikal kurang meyakinkan. Kortikosteroid topikal mungkin
diperlukan untuk mengobati keratitis berat, uveitis, dan glaukoma sekunder. Penggunaan
kortikosteroid sistemik masih kontroversial. Terapi ini mungkin diindikasikan untuk
mengurangi insidensi dan hebatnya neuralgia paska herpes. Namun demikian keadaan ini
sembuh sendiri (Vaughan, 2009).
2.6 Keratitis Fungi
Keratitis jamur dapat menyebabkan infeksi jamur yang serius pada kornea dan berdasarkan
sejumlah laporan, jamur telah ditemukan menyebabkan 6%-53% kasus keratitis ulseratif.
Lebih dari 70 spesies jamur telah dilaporkan menyebabkan keratitis jamur (Grayson, 1983).
2.6.1 Etiologi
Secara ringkas dapat dibedakan :
1.

Keratitis Herpes Zoster pada cabang N Nasosiliaris

cabang hifa.
a) Jamur bersepta : Furasium sp, Acremonium sp, Aspergillus sp, Cladosporium sp,
Penicillium sp, Paecilomyces sp, Phialophora sp, Curvularia sp, Altenaria sp.
b) Jamur tidak bersepta : Mucor sp, Rhizopus sp, Absidia sp.
2.

Berbeda dari keratitis HSV rekuren, yang umumnya hanya mengenai epithel, keratitis VZV
mengenai stroma dan uvea anterior pada awalnya. Lesi epitelnya keruh dan amorf, kecuali
kadang-kadang pada pseudodendrite linear yang sedikit mirip dendrite pada keratitis HSV.
Keluhan stroma disebabkan oleh edema dan sedikit infiltrate sel yang pada awalnya hanya
subepitel. Keadaan ini dapat diikuti penyakit stroma dalam dengan nekrosis dan
vaskularisasi. Kadang-kadang timbul keratitis disciformis dan mirip keratitis disciformis

Jamur berfilamen (filamentous fungi) : bersifat multiseluler dengan cabang-

Jamur

ragi

(yeast) yaitu

jamur

uniseluler

dengan

pseudohifa

dan

tunas : Candida albicans, Cryptococcus sp, Rodotolura sp.


2.6.2 Manifestasi Klinik
Reaksi peradangan yang berat pada kornea yang timbul karena infeksi jamur dalam bentuk
mikotoksin, enzim-enzim proteolitik, dan antigen jamur yang larut. Agen-agen ini dapat
menyebabkan nekrosis pada lamella kornea, peradangan akut , respon antigenik dengan
formasi cincin imun, hipopion, dan uveitis yang berat.

Ulkus kornea yang disebabkan oleh jamur berfilamen dapat menunjukkan infiltrasi abu-abu
sampai putih dengan permukaan kasar, dan bagian kornea yang tidak meradang tampak
elevasi keatas. Lesi satelit yang timbul terpisah dengan lesi utama dan berhubungan dengan
mikroabses stroma. Plak endotel dapat terlihat paralel terhadap ulkus. Cincin imun dapat
mengelilingi lesi utama, yang merupakan reaksi antara antigen jamur dan respon antibodi
tubuh. Sebagai tambahan, hipopion dan sekret yang purulen dapat juga timbul. Reaksi
injeksi konjungtiva dan kamera okuli anterior dapat cukup parah. Pada keratitis candida
biasaya ditandai dengan lesi berwarna putih kekuningan.

dikembangkan Nomarski differential interference contrast microscope untuk melihat


morfologi jamur dari kerokan kornea (metode Nomarski) yang dilaporkan cukup
memuaskan. Selanjutnya dilakukan kultur dengan agar Sabouraud atau agar ekstrak maltosa
(Srinavan, 2006).
2.6.4 Terapi
Terapi medikamentosa di Indonesia terhambat oleh terbatasnya preparat komersial yang
tersedia, tampaknya diperlukan kreativitas dalam improvisasi pengadaan obat, yang utama
dalam terapi keratomikosis adalah mengenai jenis keratomikosis yang dihadapi bisa dibagi:

Untuk menegakkan diagnosis klinik dapat dipakai pedoman berikut :


1.

Belum diidentifikasi jenis jamur penyebabnya.

1.

Riwayat trauma terutama tumbuhan, pemakaian steroid topikal lama.

2.

Jamur berfilamen.

2.

Lesi satelit.

3.

Ragi (yeast).

3.

Tepi ulkus sedikit menonjol dan kering, tepi yang ireguler dan tonjolan seperti hifa

4.

Golongan Actinomyces yang sebenarnya bukan jamur sejati.

di bawah endotel utuh.


4.

Plak endotel.

5.

Hypopyon, kadang-kadang rekuren.

6.

Formasi cincin sekeliling ulkus.

Untuk golongan I : Topikal Amphotericin B 1,02,5 mg/ml, Thiomerosal (10 mg/ml),


Natamycin > 10 mg/ml, golongan Imidazole.
Untuk golongan II : Topikal Amphotericin B 0,15%, Miconazole 1%, Natamycin 5%
(obat terpilih), econazole 1% (obat terpilih).
Untuk golongan III : Econazole 1%, Amphoterisin B 0,15 %, Natamycin 5%,
Clotrimazole 1%, fluoconazol 2 % (Jack, 2009).

7.
Lesi kornea yang indolen (Duane, 1987).
2.6.3 Diagnosa Laboratorik
Sangat membantu diagnosis pasti, walaupun bila negatif belum menyingkirkan diagnosis
keratomikosis. Yang utama adalah melakukan pemeriksaan kerokan kornea (sebaiknya
dengan spatula Kimura) yaitu dari dasar dan tepi ulkus dengan biomikroskop. Dapat
dilakukan pewarnaan KOH, Gram, Giemsa atau KOH + Tinta India, dengan angka
keberhasilan masing-masing 20-30%, 50-60%, 60-75% dan 80%. Lebih baik lagi
melakukan
biopsi
jaringan
kornea
dan
diwamai
denganPeriodic
Acid
Schiff atau Methenamine Silver, tapi sayang perlu biaya yang besar. Akhir-akhir ini

Untuk golongan IV : Golongan Sulfa, berbagai jenis Antibiotik.


Steroid topikal adalah kontra indikasi, terutama pada saat terapi awal. Diberikan juga obat
sikloplegik (atropin) guna mencegah sinekia posterior untuk mengurangi uveitis anterior.
Tidak ada pedoman pasti untuk penentuan lamanya terapi; kriteria penyembuhan antara lain
adalah adanya penumpulan (blunting atau rounding-up) dari lesi-lesi ireguler pada tepi
ulkus, menghilangnya lesi satelit dan berkurangnya infiltrasi di stroma di sentral dan juga
daerah sekitar tepi ulkus. Perbaikan klinik biasanya tidak secepat ulkus bakteri atau virus.

Adanya defek epitel yang sulit menutup belum tentu menyatakan bahwa terapi tidak
berhasil, bahkan kadang-kadang terjadi akibat pengobatan yang berlebihan. Jadi pada terapi
keratomikosis diperlukan kesabaran, ketekunan dan ketelitian dari kita semua (Grayson,
1983).
BAB III
PENUTUP
1.1

Kesimpulan

Keratitis adalah suatu peradangan kornea yang disebabkan oleh bakteri, virus, dan jamur.
Keratitis dapat diklasifikasikan berdasarkan lapis kornea yang terkena seperti keratitis
superficial dan profunda, atau berdasarkan penyebabnya yaitu keratitis karena berkurangnya
sekresi air mata, keratitis karena keracunan obat, keratitis reaksi alergi, infeksi, reaksi
kekebalan, reaksi terhadap konjungtivitis menahun.
Pada Keratitis sering timbul rasa sakit yang berat oleh karena kornea bergesekan dengan
palpebra, karena kornea berfungsi sebagai media untuk refraksi sinar dan merupakan media
pembiasan terhadap sinar yang yang masuk ke mata maka lesi pada kornea umumnya akan
mengaburkan penglihatan terutama apabila lesi terletak sentral dari kornea. Fotofobia
terutama disebabkan oleh iris yang meradang Keratitis dapat memberikan gejala mata
merah, rasa silau dan merasa ada yang mengganjal atau kelilipan.
Manajemen yang tepat dapat mengurangi insidensi kehilangan penglihatan dan membatasi
kerusakan kornea. Keterlambatan diagnosis infeksi adalah salah satu faktor yang berperan
terhadap terapi awal yang tidak tepat. Kebanyakan gangguan penglihatan ini dapat dicegah,
namun hanya bila di diagnosis penyebabnya ditetapkan secara dini dan diobati secara
memadai.

Anda mungkin juga menyukai