Anda di halaman 1dari 11

ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI

Terdapat beberapa kondisi yang dapat sebagai predisposisi terjadinya inflamasi pada
kornea seperti blefaritis, perubahan pada barrier epitel kornea (dry eyes), penggunaan lensa
kontak, lagopthalmos, gangguan paralitik, trauma dan penggunaan preparat imunosupresif
topical maupun sistemik. Kornea mendapatkan pemaparan konstan dari mikroba dan pengaruh
lingkungan, oleh sebab itu untuk melindunginya kornea memiliki beberapa mekanisme
pertahanan. Mekanisme pertahanan tersebut termasuk refleks berkedip, fungsi antimikroba film
air mata (lisosim), epitel hidrofobik yang membentuk barrier terhadap difusi serta kemampuan
epitel untuk beregenerasi secara cepat dan lengkap.
Epitel adalah merupakan barrier yang efisien terhadap masuknya mikroorganisme ke
dalam kornea. Pada saat epitel mengalami trauma, struma yang avaskuler dan lapisan bowman
menjadi mudah untuk mengalami infeksi dengan organisme yang bervariasi, termasuk bakteri,
amoeba dan jamur. Sreptokokus pneumonia adalah merupakan pathogen kornea bacterial,
pathogen-patogen yang lain membutuhkan inokulasi yang berat atau pada host yang
immunocompromised untuk dapat menghasilkan sebuah infeksi di kornea.
Ketika pathogen telah menginvasi jaringan melalui lesi kornea superfisial, beberapa
rantai kejadian tipikal akan terjadi, yaitu:
1. Lesi pada kornea
2. Patogen akan menginvasi dan mengkolonisasi struma kornea
3. Antibodi akan mneginfiltrasi lokasi invasi pathogen
4. Hasilnya akan tampak gambaran opasitas pada kornea dan titik invasi pathogen akan
membuka lebih luas dan memberikan gambaran infiltrasi kornea. Iritasi dari bilik mata
depan dengan hipopion (umumnya berupa pus yang akan berakumulasi pada lantai dari
bilik mata depan)
5. Pathogen akan menginvasi seluruh kornea.
6. Hasilnya stroma akan mengalamii atropi dan melekat pada membarana descement yang
relatif kuat dan akan menghasilkan descematocele yang dimana hanya membarana
descement yang intak. Ketika penyakit semakin progresif, perforasi dari membrane
descement terjadi dan humor aquos akan keluar. Hal ini disebut ulkus kornea perforate
dan merupakan indikasi bagi intervensi bedah secepatnya. Pasien akan menunjukkan
gejala penurunan visus progresef dan bola mata akan menjadi lunak.

KLASIFIKASI
Keratitis dapat dibagi berdasarkan :
1. LAPISAN KORNEA
a. Keratitis superfisialis antara lain:
- Keratitis punctata superfisialis
Berupa bintik-bintik putih pada permukaan kornea yang dapat disebabkan oleh
berbagai penyakit infeksi virus antara lain virus herpes simpleks, herpes zoster
dan vaksinia.
- Keratitis flikten
Benjolan putih yang yang bermula di limbus tetapi mempunyai kecenderungan
untuk menyerang kornea.
- Keratitis sika
Suatu bentuk keratitis yang disebabkan oleh kurangnya sekresi kelenjar lakrimale
atau sel goblet yang berada di konjungtiva.
- Keratitis lepra
Suatu bentuk keratitis yang diakibatkan oleh gangguan trofik saraf, disebut juga
keratitis neuroparalitik.
- Keratitis nummularis
Bercak putih berbentuk bulat pada permukaan kornea biasanya multiple dan
banyak didapatkan pada petani.
b. Keratitis profunda antara lain:
- Keratitis interstisialis luetik atau keratitis sifilis kongenital.
- Keratitis sklerotikans.

2. ORGANISME PENYEBABNYA
a. Keratitis Bakterial
Lebih dari 90% inflamasi kornea disebabkan oleh bakteri. Sejumlah bakteri yang
dapat menginfeksi kornea yaitu Staphylococcus epidermis, Staphylococcus aureus,
Streptococcus  pnemoniae, koliformis, pseudomonas dan haemophilus. Kebanyakan
bakteri tidak dapat menetrasi kornea sepanjang epitel kornea masih intak. Hanya
bakteri gonococci dan difteri yang dapat menetrasi epitel korea yang intak. Gejala–
gejalanya antara lain yaitu nyeri, fotofobia, visus lemah, lakrimasi dan sekret purulen.
Sekret purulen khas untuk keratitis bakteri sedangkan keratitis virus mempunyai
sekret yang berair.
Terapi konservatif pada keratitis bakteri adalah antibiotik topikal (ofloxacin dan
polymixin) yang berspektrum luas untuk bakteri gram positif dan bakteri gram
negative sampai hasil kultur pathogen dan resistensi diketahui. Immobilisasi badan
siliar dan iris oleh terapi midriasis diindikasikan jika ada iritasi intraocular. Keratitis
bakteri dapat diterapi pertama kalinya dengan tetes mata ataupun salep. Terapi
pembedahan berupa keratoplasti emergency dilakukan jika terdapat descematocel
atau ulkus kornea yang perforasi.
b. Keratitis Viral
1) Keratitis Herpes Simpleks
Keratitis herpes simpleks merupakan peradangan pada kornea yang
disebabkan oleh infeksi virus herpes simplek tipe 1 maupun tipe 2. Keratitis
akibat infeksi herpes simpleks terdapat dalam berbagai bentuk seperti : keratitis
pungtata superfilis, keratitis dendritic, keratitis profunda. Keratitis dendritic yang
disebakan oleh virus akan memberikan gambaran spesifik berupa infiltrate pada
kornea dengan bentuk seperti ranting pohon yang bercabang-cabang dengan
memberikan uji fluorescein positif nyata pada tempat percabangan. Sensibilitas
kornea nyata menurun diakibatkan karena ujung saraf ikut terkena infeksi virus
herpes simpleks. Infeksi ini biasanya bersifat reinfeksi endogen. Infeksi primer
berjalan tanpa gejala klinis atau sub klinis. Virus pada infeksi primer masuk
melalui akson saraf menuju ganglion dan menetap menjadi laten. Bila penderita
mengalamin penurunan daya tahan tubuh seperti demam maka akan terjadi
rekurensi.
Gambaran klinik dari infeksi primer herpes simplek pada mata berupa
konjungtivitis folikularis akuta disertai blefaritis vesikuler yang ulseratif, serta
pembengkakan kelenjar limfe regional. Pada dasarnya, infeksi ini dapat sembuh
sendiri, akan tetapi pada keadaan tertentu di mana daya tahan tubuh sangat lemah
akan menjadi parah dan menyerang stroma. Secara subyektif, keratitis herpes
simpleks epithelial kadang tidak dikeluhkan oleh penderita, keluhan mungkin
karena kelopak yang sedikit membengkak atau mata berair bila sering diusap
yang menyebabkan lecetnya kulit palpebra. Secara obyektif, pada mata biasanya
didapatkan iritasi yang ringan, sedikit merah, berair, dan unilateral.
Pengobatan dapat diberikan virustatika seperti IDU trifluoritimidin1%
diberikan setiap jam, atau salep 0,5% setiap 4 jam. Antiviral ini bersifat tidak
stabil, bekerja menghambat sintesis DNA virus dan manusia, dan tidak boleh
dipergunakan lebih dari 2 minggu. Dapat pula diberikan asiklovir 3% setiap 4
jam. Pemberian streroid pada penderita herpes sangat berbahaya, karena gejala
akan sangat berkurang akan tetapi proses berjalan trus karena daya tahan tubuh
yang berkurang.
2)    Keratitis Herpes Zoster
Keratitis herpes zoster merupakan manifestasi infeksi virus herpes zoster
pada cabang pertama saraf trigeminus, termasuk puncak hidung dan demikian
pula dengan kornea atau konjungtiva. Bila terjadi kelainan saraf trigeminus ini,
maka akan memberikan keluhan pada daerah yang dipersarafinya dan pada herpes
zoster akan mengakibatkan terdapatkan vesikel pada kulit. Pada mata akan terasa
sakit dengan perasaan yang berkurang (anastesia dolorosa). Pengobatan adalah
simtomatik seperti pemberian analgetika, vitamin dan antibiotik topical atau
umum untuk mencegah infeksi sekunder.
c. Keratitis Jamur
Pathogen yang lebih sering adalah Aspergilus dan Candida albicans. Mekanisme yang
sering adalah trauma terkena bahan -  bahan organic yang mengandung jamur seperti
ranting pohon. Pasien pada umumnya mengeluhkan gejala yang sedikit. Pada inspeksi
didapatkan mata merah, ulkus yang berbatas tegas dan dapat meluas menjadi ulkus
kornea serpiginuous. Pada pemeriksaan slitlamp menunjukkan infiltrate stroma yang
berwarna putih keabuan, khusuhnya jika penyebabnya adalah candida albicans. Lesi –
lesi yang lebih kecil berkelompok mengililingi lesi yang besar membentuk lesi satelit.
Indentifikasi mikrobiologi jamur sulit dan memakan waktu. Pengobatan konservatif
berupa anti nikotik topikal seperti natamycin, nystatin dan amphoterisin B, sedangkan
tindakan pembedahan berupa keratoplasti jika dengan pengobatan konservatif gagal
dan keadaan makin memburuk dalam perawatan.

d. Keratitis Akantamoeba
Gejalanya berupa pasien mengeluh nyeri, fotopobia dan lakrimasi. Pasien sering
mempunyai riwayat beberapa minggu atau bulan tidak berhasil dengan pengobatan
antibiotik. Dari inspeksi menunjukkan mata merah unilateral biasanya tidak
mempunyai secret. Infeksi dapat membentuk infiltrate pada sub epitel, opasasifikasi
disiformis intrasstromal pada kornea atau abses kornea yang membentuk cincin.
Amoeba air tawar ini menyebabkan keratitis infeksi. Infeksi ini menjadi lebih
sering terjadi seiring dengan peningkatan penggunaan lensa kontak lunak. Terjadi
keratitis yang nyeri dengan tonjolan saraf kornea. Amoeba dapat diisolasi dari kornea
(dan dari lensa kontak) dengan kerokan dan dikultur dalam media khusus yang
dipenuhi dengan Escherichia coli.

Gejala Klinis

Pada anamnesis pasien, bisa didapatkan beberapa gejala klinis pada pasien yang
terkait dengan perjalan penyakit keratitis pungtata superfisial. Pasien dapat
mengeluhkan adanya rasa nyeri, pengeluaran air mata berlebihan, fotofobia,
penurunan visus, sensasi benda asing, rasa panas, iritasi okuler dan blefarosspasma.
Oleh karena korea memiliki banyak  serat – serat saraf, kebanyakan lesi kornea baik
supervisial ataupun profunda, dapat menyebabkan nyeri dan fotofobia. Nyeri pada
keratitis diperparah degan pergerakan dari palpebral (umunnya palpebral superior)
terhadap kornea dan biasanya menetap hingga terjadi penyembuhan karena kornea
bersifat sebagai jendela mata dan merefraksikan cahaya, lesi kornea sering kali
mengakibatkan penglihatan menjadi kabur, terutama ketika lesinya berada dibagian
central.
Pada keratitis pungtata superfisial didapatkan lesi kornea berupa lesi epithelia
multiple sebanyak 1 – 50 lesi (rata – rata sekitar 20 lesi didapatkan). Lesi epithelia
yang didapatkan pada keratitis pungtata superfisial berupa kumpulan bintik – bintik
kelabu yang berbentuk oval atau bulat dan cenderung berakumulasi di daerah pupil.
Opasitas pada kornea tersebut tidak tampak apabila di inspeksi secara langsung, tetapi
dapat dilihat dengan slitlamp ataupun loup setelah diberi flouresent.

Sensitifitas kornea umumnya normal atau hanya sedikit berkurang, tapi tidak pernah
menghilang sama sekali seperti pada keratitis herpes simpleks. Walaupun umumnya
respons konjungtiva tidak tampak pada pasien akan tetapi reaksi minimal seperti
injeksi konjungtiva bulbar dapat dilihat pada pasien.
 
Diagnosis
Kecurigaan akan adanya keratitis pada pasien dapat timbul pada pasien yang datang
dengan trias keluhan keratitis yaitu gejala mata merah, rasa silau (fotofobia) dan
merasa kelilipan (blefarospasma). Adapun radang kornea ini biasanya
diklasifikasikan dalam lapisan kornea yang terkena, seperti keratitis superfisial dan
interstisial atau propunda. Keratitis superfisial termasuk lesi inflamasi dari epitel
kornea dan membrane bowman superfisial terkait.

Sangat penting untuk melaksanakan penegakan diagnosis morfologis pada pasien


yang dicurigai dengan lesi kornea. Letak lesi di kornea dapat diperkirakan dengan
melihat tanda – tanda yang terdapat pada kornea. Pada keratitis epithelial, perubahan
epitel bervariasi secara luas mulai dari edema ringan dan vakuolasi hingga erosi,
pembentukan filament maupun keratinisasi partial. Pada keratitis stromal, respon
struma kornea dapat berupa infiltrasi sel radang, edema yang bermanifestasi kepada
edema kornea yang awalnya bermula dari stroma lalu ke epitel kornea.

Pemeriksaan fisis pada keluhan yang mengarahkan kecurigaan kepada keratitis


dilakukan melalui inspeksi dengan pencahayaan adekuat. Larutan flouresent dapat
menggambarkan lesi epitel superfisial yang mungkin tidak dapat terlihat dengan
inspeksi biasa. Pemeriksaan biomikroskop (slit lamp) esensial dalam pemeriksaan
kornea, apabila tidak terdapat alat tersebut dapat digunakan sebuah loup dan iluminasi
yang terang. Pemeriksaan harus melihat jalannya refleksi cahaya sementara
memindahkan cahaya dengan hati – hati ke seluruh kornea. Dengan cara ini area yang
kasar sebagai indikasi dari defek kornea dapat terlihat.

Keratitis pungtata superfisial yang disebut juga keratitis pungtata epithelial atau
Thygenson’s desease merupakan salah satu tipe inflamasi atau peradangan pada
kornea mata dengan hilangnya epitel kornea. Lesinya berupa pungtata yang terlihat
seperti titik – titik meskipun dapat juga berupa dendritic dengan gambaran linier dan
bercabang. Karateristik dengan tidak adanya jaringan parut sisa dan jarang
menyisakan penglihatan.8
Keadaan yang meyebabkan penyakit ini dapat berupa infeksi mata (virus, bakteri)
maupun noninfeksi seperti :
Abnormalitas air mata
Reaksi imun

Denervasi
Distrofi
Trauma kimia ringan
Lensa kontak
Reaksi terhadap pengobatan sistemik, dll

Pasien biasanya mengeluhkan adanya sensasi benda asing, fotofobia dan air mata
yang berlebihan. Lesi pungtata pada kornea dapat dimana saja tapi biasanya pada
daerah sentral. Daerah lesi biasanya meninggi dan berisi titik – titik abu – abu yang
kecil. Tidak adanya terapi spesifik untuk keadaan ini, tergantung factor penyebabnya.
Pengguna kortikosteroid topikal terbukti dapat mengurangi gejala.

Larutan floresens diteteskan pada mata dan mata diperiksa dengan menggunakan slit
lamp ataupun dengan iluminasi terang dan melihat menggunakan loup. Hal tersebut
dapat memberikan gambaran defek epithelial. Pola distribusi flouresensi yang spesifik
dapat sebagai informasi yang berguna dalam menegakkan kemungkinan etiologi dan
keratitis pungtata superfisial.

Floresensi topikal adalah merupakan larutan nontoksik dan water-soluble yang


tersedia dalam beberapa sediaan : dalam larutan 0,25% dengan zat anestetik
(benoxinate atau proparacaine), sebagai antiseptic (povidone-iodine), maupun dalam
zat pengawet sebagai tetes mata tanpa pengawet 2% dosis unit. Floresens akan
menempel pada defek epithelial pungtata maupun yang berbentuk makroulseratif
(positive stanining) dan dapat memberikan gambaran akan lesi yang tidak bebrbekas
melalui film air mata (negative staining). Floresens yang terkumpul dalam sebuah
defek epithelial akan mengalami difusi ke dalam strauma kornea dan tampak dengan
warna hijau pada kornea.

Pemeriksaan  Penunjang
Pemeriksaan laboratorium dengan melakukan kultu dari flora kornea dilakukan
selama terjadi inflamasi aktif dapat membantu dalam penelitian selanjutnya akan
tetapi hal tersebut tidak begitu signifikan dalam penegakan diagnosis dan
penatalaksana penyakit keratitis pungtata superfisial. Pemeriksaan pencitraan dengan
menggunakan fotografi slit lamp untuk mendokumentasikan inflamasi aktif dan
periode inaktivitas dapat dilakukan tapi hal tersebut juga tidak begitu penting dalam
penegakan diagnosis maupun penanganan penyakit.

Penatalaksaan / Terapi
Terdapat beberapa terapi yang dapat secara baik menangani keratitis pungtata
superfisial. Terapi suportif dengan lubrikans topikal seperti air mata artifisial
seringkali adekuat pada kasus – kasus yang ringan. Air mata artifisial dapat
mengurangi sisa produk inflamasi yang tertinggal pada reservoir air mata. Mereka
tidak hanya bekerja sebegai lubrikans, tapi juga sebagai agen pembersih, pembilas
dan dilusi dari film air mata serta sebagai agen pemoles dari epitel superfisial untuk
membentuk kembali microvillae dan menstabilkan lapisan mucin dari air mata.
Tergantung dari keparahan gejala pada pasien,air mata artifisial dengan viskositas
berbeda (dari tetes mata hingga jel viskositas tinggi) diresepkan pada pasien dan
diaplikasikan dengan frekuensi yang berbeda. Pada keratitis akibat pemaparan
(exposure keratitis ), jel atau krim dengan viskositas yang tinggi digunakan karena
waktu retensinya yang panjang.8
Lensa kontak terapeutik yang lunak dapat digunakan sebagai lubrikasi alternative
pada beberapa kasus yang berat, walaupun komplikasi potensial (seperti keratitis
microbial) dapat terjadi. Lensa kontak memperbaiki gejala dengan menutupi lesi
kornea dan saraf yang secara konstan mengalami fraksi dengan konjungtiva selama
berkedip.10
Sekitar 90% dari inflamasi kornea disebabkan oleh bakteri. Selain itu epitel yang
tidak intsk dapat sebagai jalur penetrasi dari bakteri ke dalam kornea. Penanganan
diawali dengan antibiotik topikal dengan aktivitas broad spectrum terhadap
kebanyakan organisme Gram-positif dan Gram-negative hingga hasil kultur dan tes
sensitifitas diketahui. Regimen awal yang diberikan termasuk aminoglycoside dengan
cephalosporin generasi pertama setiap 15-30 menit. Seringkali digunakan
ciprofloxacin 0,3% yang meberikan percepatan waktu rata – rata penyembuhan dan
penururnan terapi dibandingkan terapi konvensional.8
Penggunaan kortikosteroid topikal masih kontroversial dikarenakan penggunaannya
pada infeksi virus dan jamur dikontraindikasikan. Akan tetapi kortikosteroid sistemik
dapat mencegah perforasi kornea dan pembentukan jaringan parut pada kornea.

Antibiotik sistematik digunakan apabila terdapat ekstensi ke sklera akibat infeksi atau
didapatkan adanya ancaman perforasi pada pasien. Levofloxacin maupun ofloxacin
memiliki penetrasi aqueous dan vitreus yang baik dengan pemberian oral.

Tidak perlu untuk menangani pasien hingga seluruh lesi di kornea hilang. Akan tetapi
penanganan dilaksanakan hanya hingga pasien dapat mencapai titik kenyamanan.

Prognosis
Secara umum prognosis dari keratitis pungtata superfisial adalah baik jika tidak
terdapat jaringan parut ataupun vaskularisasi dari kornea. Sesuai dengan metode
penanganan yang dilaksanakan prognosis dalam hal visus pada pasien dengan
keratitis pungtata superfisial sangat baik. Parut ringan pada kornea dapat timbul pada
kasus – kasus dengan keratitis pungtata superfisial yang berlangsung lama.

 
Daftar Pustaka

1.    Skuta GL,Cantor LB,Weiss JS. Structure dan Function of the External Eye dan
Cornea. In : Skuta GL, Cantor LB, Weiss JS. Basic and Cliniccal Science Cources :
External Disease dan Cornea 2008-2009. Singapore : American Academy of
Ophthalmology ; 2007. p.5-14
2.    Doggart JH. Superficial Punctate Keratitis [online]. 1933 [cited 2011 July]; [1
screen]. Available from URL:http://bjo.bmj.com/cgi/pdf_extract
3.    Ilyas S. Mata Merah dengan Penglihatan Turun Mendadak. Dalam : Ilyas S. Ilmu
Penyakit Mata. Edisi ketiga. Jakarta : Balai Penerbit FKUI ; 2008. H 147-78
4.    Mills TJ. Corneal Ulceration and Ulcerative Keratitis [online]. 2008 [cited 2011
July]; [4 screen]. Available from
URL:http://www.emedicine.medscape.com/article/798100
5.    Ilyas S. Anatomi dan Fisiologi Mata. Dalam : Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. Edisi
ketiga. Jakarta : Balai Penerbit FKUI ; 2008. h. 1-13
6.    Riordan-Eva. Anatomy and embryology of The Eye. In  : Vaughan D,Asbury T,
Riordan-Eva P. general Ophthalmology. 15th edition. Connecticut; Appleton & lange;
1999. p. 1-26
7.    Pavan-Langston D. Cornea and External Desease. In: Pavan-Langston D. Manual
of Ocular Diagnosis and Theraphy. 5th edition. Philadelphia; Lippincott Williams &
Wilkins; 2002. p. 67-129
8.    Biswell R. Cornea. In: Vaughan D, Asbury T, Riordon-Eva P. General
Ophthalmology. 15th edition. Connecticut ; Appleton & Lange; 1999. p. 119-41
9.    Skuta GL,Cantor LB,Weiss JS. Clinical Approach to Immune-Related Disorders
of the External Eye. In : Skuta GL, Cantor LB, Weiss JS. Basic and Cliniccal Science
Cources : External Disease dan Cornea 2008-2009. Singapore : American Academy
of Ophthalmology ; 2007. p.205-41
10.    Lang GK. Cornea. In : Lang GK. Ophthalmology A Pocket Textbook Atlas. 2nd
edition. Stuttgart ; thieme ; 2007. p. 115-60
11.    Duszak RS. Thygeson Superficial Punctata Keratitis [online]. 2008 [cited 2011
July]. Available from
URL:http://www.emedicine.medscape.com/article/1197335

Anda mungkin juga menyukai