Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA NY.

T
DENGAN KERATITIS DI RSUD dr. ISKAK TULUNGAGUNG
Dosen pembimbing : Gathut Pringgotomo S.Kep.Ners.M.Kep

Disusun oleh :
EKITA MOLIS FEBRIAN
NIM. A2R18065
PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
“HUTAMA ABDI HUSADA”
TULUNGAGUNG
2020/2021
LAPORAN PENDAHULUAN KERATITIS
A. DEFINISI
Keratitis adalah peradangan pada kornea yang biasanya diklasifikasikan menurut
lapisan kornea yang terkena yaitu keratitis superfisialis apabila mengenal lapisan epitel atau
bowman dan keratitis profunda atau interstisialis (atau disebut juga keratitis parenkimatosa)
yang mengenai lapisan stroma (Ilyas, 2010).
B. ETIOLOGI

1. Inflamasi kornea yang diperantarai imun.


Salah satu penyebab umum peradangan kornea adalah respons abnormal dari sistem
kekebalan inang. Ini bisa menjadi hasil dari reaksi hipersensitivitas terhadap produk
sampingan bakteri non-patologis atau oleh penyakit autoimun yang diarahkan pada jaringan
inang. Keratitis steril adalah reaksi inflamasi terhadap produk sampingan bakteri tanpa
infeksi kornea langsung pada pemakai lensa kontak dan penyakit margin kelopak mata.
Bakteri menjajah permukaan lensa kontak yang menghasilkan racun, yang dapat menjadi
katalis untuk keratitis infiltratif. Hipersensitivitas terhadap larutan lensa kontak juga dapat
terjadi. Dengan mekanisme yang sama, kolonisasi kelopak mata dapat menyebabkan
keratokonjungtivitis fliktenular atau keratitis marginal.
Selain itu, sistem autoimun inang dapat diarahkan pada jaringan kornea itu sendiri, seperti
yang diyakini terjadi pada ulkus Mooren.
2. Keratitis menular.
Keratitis mikroba merupakan sumber utama inflamasi kornea dan dapat disebabkan oleh
invasi bakteri, virus, jamur atau parasit.
Sebagai respons terhadap infeksi bakteri, molekul pemberi sinyal kimiawi seperti tumor
necrosis factor-alpha dan interleukin-1 menyebabkan neutrofil keluar dari pembuluh darah
limbal dan berpindah ke tempat infeksi. Akhirnya makrofag tiba untuk memfagosit bakteri
dan neutrofil yang mengalami degenerasi.Jenis mediator kimia dan sel imunologi yang
terlibat tergantung pada sumber infeksi. Tanda-tanda klinis keratitis bakterial termasuk
ulserasi kornea dengan infiltrasi stroma, edema kornea, uveitis anterior, hipopion dan
perforasi.
Bentuk keratitis virus yang paling umum adalah herpes simpleks (HSV) dan keratitis
herpes zoster (HZO). HSV datang dalam beberapa bentuk, termasuk keratitis epitel, keratitis
neurotrofik, keratitis stroma nekrotikans dan endotelitis:
Keratitis epitel ditandai dengan lesi epitel pungtata atau stellata yang berkembang
menjadi ulserasi dendritik dengan karakteristik terminal bulb. Dasar borok diwarnai dengan
baik dengan fluorescein dan tepinya diwarnai dengan mawar bengal. Jika tidak diobati
dengan benar, lesi dapat berkembang menjadi ulserasi geografis.
Keratitis neurotrofik ditandai dengan lesi epitel yang tidak sembuh dengan stroma abu-
abu buram di bawahnya, yang dapat menipis.
Keratitis stroma nekrotikans dan non-nekrotikans muncul dengan nekrosis stroma, uveitis
anterior, dan presipitat keratik. Peradangan yang ada pada keratitis stroma HSV adalah reaksi
hipersensitivitas terhadap antigen virus. Endoteliitis selalu menunjukkan presipitat keratik,
edema stroma dan epitel, dan iritis.
Dibandingkan dengan keratitis HSV, keratitis herpes zoster termasuk keratitis epitel—
ditandai dengan lesi pseudodendritik kecil, non-ulserasi, tanpa bulbus terminal. Presentasi
lain dari keratitis virus termasuk keratitis nummular, yang muncul dengan infiltrat sub-epitel
dan kabut stroma, endotelitis diskiformis dan uveitis anterior.
Infeksi jamur pada kornea biasanya memiliki onset bertahap nyeri dan fotofobia, dan
sering terjadi sebagai respons terhadap cedera traumatis. Kornea menampilkan ulkus keabu-
abuan / putih infiltratif dan memiliki margin yang kurang jelas dan lebih berbulu. Temuan
terkait lainnya termasuk lesi satelit, eksudat endotel tebal, uveitis anterior dan hipopion.
Acanthamoebakeratitisadalah infeksi parasit pada jaringan kornea. Infiltrasi sepanjang
saraf kornea, yang dikenal sebagai keratoneuritis radial, adalah patognomonik untuk infeksi
Acanthamoeba.7Gambaran klinis yang khas pada tahap awal infeksi adalah nyeri okular
lanjut yang tidak sebanding dengan tanda-tandanya. Pseudodendrit epitel, infiltrat stroma
anterior dan abses cincin juga dapat ditemukan.
Sebagaiacanthamoebainfeksiberlangsung, infiltrat subepitel dapat berkembang di
sepanjang saraf kornea dengan pembentukan kemudian infiltrat stroma cincin. Pasien yang
biasanya datang denganacanthamoebakeratitisbiasanya adalah pemakai lensa kontak dengan
kebersihan yang buruk dan/atau paparan sistem air tawar, kolam renang dan bak air panas.
3. Disfungsi endotel
Setiap kerusakan pada endotel kornea dapat mengakibatkan edema kornea, karena sel-sel
ini bertanggung jawab untuk mengatur gradien osmotik antara kornea dan bilik mata depan.
Penyebab pembengkakan stroma karena disfungsi endotel termasuk trauma selama operasi
intraokular, distrofi endotel kornea, iritis, keratitis virus atau peningkatan TIO. Yang paling
umum adalah distrofi Fuchs—akumulasi fokal kolagen abnormal pada membran Descemet
(guttata) di mana sel-sel endotel kehilangan kemampuannya untuk mengatur pergerakan ion.
Keratitis virus dapat menyebabkan peradangan langsung pada endotelium, yang
memengaruhi kemampuannya untuk mengatur hidrasi.
Pembengkakan juga dapat terlihat dengan adanya endotel kornea yang sehat dan utuh.
Dengan tekanan intraokular 55mm Hg atau lebih karena glaukoma sudut tertutup atau infeksi
virus (HSV, HZO), tekanan hidrostatik dari akuos menjadi terlalu besar untuk diatasi oleh
pompa endotel dan terbentuk edema. (McKenzie, 2012)
C. KLASIFIKASI

Menurut Biswell (2010), keratitis dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa hal:

a. Berdasarkan lapisan yang terkena

1) Keratitis Pungtata

Keratitis pungtata adalah keratitis yang mengenai lapisan superfisial dan subepitel
pada kornea dan berbentuk infiltrat halus pada kornea Faktor penyebab Keratitis Pungtata
tidak spesifik dan dapat terjadi akibat infeksi Herpes simpleks, Herpes zoster, Blefaritis
neuroparalitik, vaksinasi, trakoma, mata kering (dry eye), trauma, radiasi, keracunan obat
seperti neomisin dan tobramisin

2) Keratitis Marginal

Keratitis Marginal merupakan keratitis dengan infiltrasi subtrat terdapat pada bagian
tepi kornea sejajar dengan limbus. Infeksi konjungtiva dapat menyebabkan terjadinya
keratitis marginal atau keratitis kataral. Keratitis marginal biasanya terdapat pada pasien
paruh baya dengan adanya riwayat blefarokonjungtivitis. Penyebabnya yaitu Strepcoccus
pneumonie, Moraxella lacunata, Hemophilus aegepty, dan Esrichia

3) Keratitis Interstisial

Keratitis interstitial adalah kondisi serius dimana infeksi keratitis diikuti oleh infiltrasi
pembuluh darah ke dalam kornea yang dapat menyebabkan transparansi kornea berkurang
dan akhirnya menjadi keruh. Keratitis interstitial dapat menyebabkan komplikasi kebutaan
pada. Keratitis Interstisial terjadi akibat alergi atau infeksi spiroket ke dalam stroma kornea
dan akibat tuberkulosis .

Faktor penyebab paling sering dari keratitis interstitial adalah sifilis kongenital.
Keratitis yang disebabkan oleh sifilis kongenital biasanya ditandai dengan tanda trias
Hutchinson yaitu terjadi keratitis interstisial pada mata, tuli labirin pada telinga, dan gigi
seriberbentuk obeng, sadlenose, dan pemeriksaan serologis yang positif terhadap sifilis.

b. Berdasarkan penyebabnya

1) Keratitis Bakteri

Keratitis yang disebabkan oleh infeksi bakteri dapat menyebabkan komplikasi yang
mengancam penglihatan. Hal ini disebabkan proses nyerinya terjadi cepat dan disertai dengan
injeksio konjungtiva, fotofobia dan adanya penurunan visus, inflamasi endotel, tanda reaksi
bilik mata depan, dan hipopion yang sering terjadi pada pasien dengan ulkus kornea
bakterial. Penggunaan lensa kontak, obat kortikosteroid dan grafting kornea yang terinfeksi
dapat menjadi faktor predisposisi terjadinya infeksi bakteri.

Streptococcus pneumonia merupakan penyebab umum keratitis bakteri di banyak


bagian di dunia. Bakteri lain yang menjadi yaitu Staphylococcus aureus, Streptococcus beta-
hemolyticus, S. Epidermidis, Pseudomonas aeruginosa, Moraxella liquefaciens,
Mycobacterium fortuitum,., Haemophilus influenza, Neiseria sp, Corynebacterium
dhiptheriae, merupakan agen berbahaya karena dapat berpenetrasi ke dalam epitel kornea
yang terinfeksi. Manifestasi klinis pada keratitis bakteri sulit untuk ditentukan jenis bakteri
yang menjadi penyebabnya, walaupun demikian sekret yang berwarna kehijauan dan bersifat
mukopurulen menjadi tanda khas untuk infeksi yang disebabkan P. Aerogenosa. Ulkus
kornea padakeratitis bakteri terletak di sentral, namun beberapa dapat terbentuk di area
perifer.

2) Kreatitis Jamur

Keratitis jamur awalnya banyak terjadi di kalangan pekerja pertanian, namun


semenjak pemakaian secara luas obat kortikosteroid dalam pengobatan mata, kasus ini juga
banyak dijumpai diantara penduduk perkotaan. Ulkus kornea fungi hanya timbul bila stroma
kornea kemasukan sangat banyak organisme, yang masih mungkin timbul di daerah
pertanian. Tanda pada keratitis jamur berupa adanya infiltrat kelabu,peradangan bola mata,
hipopion, ulserasi superfisial dan lesi satelit (umumnya infiltrat terjadi di tempat yang jauh
dari daerah ulserasi utama).

3) Kreatitis Virus

Infeksi virus yang sering terjadi pada kornea disebabkan oleh infeksi Herpes simpleks
virus (HSV). Virus herpes merupakan parasit obligat intraselular yang dapat ditemukan pada
mukosa, rongga mulut, rongga hidung, mata dan vagina. Penularan virus dapat terjadi
melalui kontak langsung dengan cairan dan jaringan yang berasal dari mata, rongga mulut,
rongga hidung, dan alat kelamin yang mengandung virus. Pasien dengan HSV keratitis
memiliki keluhan utama nyeri pada mata, mata merah, mata berair, penglihatan kabur,
fotofobia, dan penurunan tajam penglihatan terutama jika terkena bagian pusat kornea .

4) Keratitis Acanthamoeba

Keratitis yang disebabkan infeksi Acanthamoeba biasanya terkait dengan penggunaan


lensa kontak. Tanda gejala khas pada keratitis jenis ini adalah terdapat cincin stroma, ulkus
kornea indolen, dan infiltrat perineural. Tanda gejala awal berupa hanya terbatas perubahan-
perubahan yang semakin banyak ditemukan pada epitel kornea. Keratitis Acanthamoeba
sering salah didiagnosis sebagai keratitis herpes (Biswell, 2010).
D. PATOFISIOLOGI
Awal dari keratitis bakteri adalah adanya gangguan dari epitel kornea yang intak dan
atau masuknya mikroorganisme abnormal ke stroma kornea, dimana akan terjadi proliferasi
dan menyebabkan ulkus. Faktor virulensi dapat menyebabkan invasi mikroba atau molekul
efektor sekunder yang membantu proses infeksi. Beberapa bakteri memperlihatkan sifat
adhesi pada struktur fimbriasi dan struktur nonfimbriasi yang membantu penempelan ke sel
kornea. Selama stadium inisiasi, epitel dan stroma pada area yang terluka dan infeksi dapat
terjadi nekrosis. Sel inflamasi akut (terutama neutrofil) mengelilingi ulkus awal dan
menyebabkan nekrosis lamella stroma.
Difusi produk-produk inflamasi (meliputi sitokin) di bilik posterior, menyalurkan sel-
sel inflamasi ke bilik anterior dan menyebabkan adanya hipopion. Toksin bakteri yang lain
dan enzim (meliputi elastase dan alkalin protease) dapat diproduksi selama infeksi kornea
yang nantinya dapat menyebabkan destruksi substansi kornea (Yanoff & Duker, 2014).

Bakteri Jamur Virus

G3 RASA Proses Masuk epitel


NYAMAN infeksi
NYERI
Pembiakan virus intra
Peradangan kornea
nyeri
Kerusakan sel epitel

Endotel cedera Reaksi antigen Reaksi Tukak kornea


antibody penyebaran
Sistem pompa infeksi
Lesi kornea Ulkus
endotel Menghantarkan indolen
proteolitik
Dekompensasi edotel

Edema kornea
Kerusakan stoma
sekitar
Pembiasan kornea
terganggu

Pandangan kabur

G3 PERSEPSI SENSORI
Penurunan kemampuan PENGLIHATAN
meilhat
RESIKO CIDERA
E. TANDA DAN GEJALA

•Keratitis pungtata superfisial (SPK).


Tanda paling umum dari peradangan kornea, SPK dapat disebabkan oleh dan terkait
dengan berbagai kondisi mata, paling sering penyakit mata kering . Menurut Ashley Behrens,
MD, dan rekan, keratitis punctate superfisial adalah temuan umum pada pasien yang datang
dengan penyakit mata kering Level 2. Tanda tambahan inflamasi kornea termasuk
pembengkakan kornea (edema epitel atau stroma), pertumbuhan pembuluh darah abnormal
(pannus dan neovaskularisasi), infiltrat kornea (akumulasi sel darah putih inflamasi), ulserasi
kornea, dan inflamasi yang dimediasi imun.
•Erosi epitel belang-belang (PEE).
Sebuah temuan non-spesifik yang muncul secara klinis sebagai cacat kecil pada epitel
yang diwarnai dengan fluorescein, PEE adalah tanda awal yang menunjukkan kompromi
epitel dan berhubungan dengan banyak kondisi inflamasi patologis.
•Keratitis epitel pungtata (PEK).
PEK muncul sebagai area fokal, infiltrat intraepitel, terkait dengan area pewarnaan
belang-belang.
•Infiltrat subepitel (SEI).
SEI umumnya terjadi setelah keratitis virus, tetapi juga ditemukan pada blefaritis dan
hipersensitivitas terkait lensa kontak. Mereka terjadi ketika molekul pemberi sinyal kimia
menarik sel darah putih dari pembuluh darah limbal ke dalam kornea avaskular.
•Pembengkakan kornea.
Hal ini dapat terjadi pada lapisan kornea yang berbeda; jenis pembengkakan dapat
dibedakan berdasarkan tampilan klinis. Edema epitel dapat muncul sebagai mikrokista epitel,
edema mikrokistik atau bula epitel. Mikrokista epitel kecil, bulat, lesi refraktil yang berasal
dari lapisan basal epitel dan bermigrasi ke permukaan, di mana mereka diwarnai dengan
fluorescein.
Bula terbentuk ketika kelebihan cairan menumpuk di epitel kornea, menyebabkan
lapisan epitel permukaan terpisah dari membran basal. Mereka muncul sebagai lesi datar,
seperti kerikil dan dapat hadir dalam berbagai konfigurasi.
Pembengkakan stroma kornea bermanifestasi sebagai peningkatan ketebalan stroma.
Munculnya edema di wilayah ini bervariasi dari kabut granular ringan hingga opasitas abu-
abu pekat dan dapat menghasilkan lipatan pada membran Descemet jika parah. Edema
stroma dapat terjadi sebagai respons terhadap sel epitel atau endotel yang terganggu.
Neovaskularisasi dan pannus.
Biasanya, kornea adalah struktur avaskular; namun, neovaskularisasi dan pannus
dapat terjadi sebagai respons terhadap penyakit inflamasi. Neovaskularisasi dapat disebabkan
oleh kondisi hipoksia yang disebabkan oleh pemakaian lensa kontak yang berlebihan, atau
dapat terbentuk sebagai respons terhadap peradangan dari keratitis interstisial, keratitis virus,
atau luka bakar kimia. Pannus adalah proliferasi jaringan fibrovaskular dari limbus yang
meluas ke kornea dan terlihat pada kondisi seperti trachoma dan keratokonjungtivitis limbik
superior. (McKenzie, 2012)
F. KOMPLIKASI KERATITIS
Jika keratitis dibiarkan berkembang semakin parah dapat memicu komplikasi penyakit
lainnya hingga kebutaan. Komplikasi keratitis dapat berupa:
 Pembengkakan jaringan parut pada kornea mata
 Infeksi kornea kronis
 Terdapat luka bernanah pada kornea
 Penurunan kemampuan melihat baik sementara atau permanen
 Kebutaan
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan yang dapat dilakukan pada klien dengan keratitis menurut Ilyas (2010) adalah
1. Pemeriksaan visus/tajam penglihatan: Pemeriksaan visus dilakukan untuk mengetahui tingkat
fungsi penglihatan pada masing masing mata secara terpisah.
2. Uji fluoresein: Uji ini dilakukan untuk mengetahui kerusakan pada epitel kornea yang
diakibatkan erosi, keratitis epitelial. Hasil tes positif bila terlihat warna hijau pada defek
epitel kornea.
3. Uji dry eye: Pemeriksaan kekeringan mata termasuk penilaian terhadap lapisan air mata (tear
film), danau air mata (teak lake), dan uji break up time untuk mengetahui fungsi fisiologik
film air mata yang melindungi kornea.
4. Pemeriksaan mikroskopik dengan KOH 10 % pada kerokan kornea
5. Uji sensibilitas kornea: Untuk mengetahui keadaan sensibilitas kornea yang berkaitan dengan
penyakit mata akibat gangguan ujung saraf sensibel kornea oleh infeksi herpes simpleks atau
akibat kelainan saraf trigeminus oleh herpes zooster
6. Uji fistel: Untuk melihat adanya fistel atau kebocoran kornea akibat adanya perforasi kornea
7. Uji biakan dan sensitivitas: mengidentifikasi patogen penyebab keratitis
8. Uji plasido: mengidentitifikasi kelainan permukaan kornea
Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan :
1. Tonometri digital palpasi
Cara ini dilakukan bila pemeriksaan mata dengan tonometer tidak dapat dipakai atau
sulit dinilai seperti pada kasus infeksi kornea, sikatrik kornea dan kornea ireguler.
2. Ofthalmoskop
Pemeriksaan ofthalmoskop dapat mengidentifikasi kelainan serabut retina, serat yang
atropi, dan tanda lain seperti perdarahan peripapilar.
3. Keratometri
Keratometri bertujuan untuk mengetahui tingkat kelengkungan kornea, secara
subjektif juga dapat dilihat tear lake yang kering atau yang terisi air mata dengan cara
mengalihkan fokus kearah lateral bawah
H. PENATALAKSANAAN
Rawat peradangan kornea dengan mengidentifikasi dan menargetkan etiologi spesifik
yang mendasari. Pertama, bedakan apakah kondisi kornea bersifat infeksi atau inflamasi. Jika
ragu, perlakukan sebagai menular sampai terbukti sebaliknya. Setelah infeksi terkendali, obat
antiinflamasi selalu dapat ditambahkan untuk mengurangi risiko kabut asap dan jaringan
parut. (AAO, 2012)
Terapi yang dapat dilakukan pada pasien dengan keratitis adalah:
1. Pemberian antibiotik, air mata buatan.
2. Antivirus, anti inflamasi dan analgesik
3. Pada keratitis bakterial diberikan gentacimin 15 mg/ml, tobramisin 15 mg/ml, seturoksim 50
mg/ml.
4. Terapi pada keratitis jamur berupa pemberian ekanazol 1% yang berspektum luas.
5. Pemberian sikloplegik untuk mengurangi nyeri akibat spasme siliar dan menghindari
terbentuknya sinekia posterior
Ada beberapa kelas obat yang digunakan dalam mengobati peradangan kornea, termasuk
kortikosteroid (sendiri atau dalam kombinasi), siklosporin A dan agen hipertonik. Steroid
mengatasi peradangan dalam berbagai cara (McKenzie, 2012):
1. Steroid menghambat fosfolipase A2, yang mencegah pelepasan asam arakidonat.
Melakukannya menghambat pembentukan prostaglandin, leukotrien, dan lipoksin, yang
merupakan mediator kimia yang kuat dalam kaskade inflamasi.9
2. Steroid menghambat sitokin pro-inflamasi, yang memanggil sel-sel inflamasi lain untuk
meningkatkan fagositosis.
3. Steroid menghambat produksi molekul komplemen, yang mengaktifkan sel mast dan
basofil.
4. Steroid menurunkan permeabilitas sistem kapiler dan menurunkan proliferasi fibroblas,
sehingga meminimalkan kerusakan jaringan.
Ada banyak steroid okular topikal untuk dipilih, berbeda dalam potensi, bioavailabilitas, dan
keamanan. Siklosporin mengatur peradangan dengan menghambat kemampuan sel T untuk
menghasilkan molekul pensinyalan pro-inflamasi. Ini biasanya digunakan pada sindrom mata
kering dan untuk mencegah penolakan cangkok kornea.
Agen hiperosmotik menarik cairan keluar dari kornea dengan menciptakan gradien osmotik
antara kornea dan lapisan air mata. Mereka sering digunakan untuk meningkatkan kenyamanan
dan penglihatan dalam kasus keratopati bulosa; namun, gliserin juga dapat digunakan untuk
tujuan diagnostik. Pertimbangan yang paling penting ketika mengobati peradangan kornea
adalah untuk mengikuti setiap pasien sampai resolusi. Ini memastikan manajemen pasien yang
tepat dan memungkinkan kami untuk memantau kondisi dan memodifikasi perawatan bila
diperlukan. Peradangan kornea adalah temuan umum dan berdampingan dengan kondisi lain
dari anatomi okular. Memahami gejala umum dan tanda-tanda klinis individu dapat lebih
membantu praktisi dalam membuat diagnosis yang tepat. (McKenzie, 2012)
I. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan gejala penyakit
2. Gangguan persepsi sensori berhubungan dengan gangguan penglihatan
3. Resiko cidera berhubungan dengan penurunan penglihatan

J. INTERVENSI KEPERAWATAN

1. Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan gejala penyakit

Gejala dan tanda mayor :


Data subjektif
- Mengeluh tidak nyaman
Data objektif
- Gelisah
Gejala tanda minor :
Data subjektif :
- Mengeluh sulit tidur
- Tidak mampu rileks
- Mengeluh kedinginan/kepanasan
- Merasa gatal
- Mengeluh mual
- Mengeluh lelah
Data objektif :
- Menunjukkan gejala distress
- Tampak merintih/menangis
- Pola eliminasi berubah
- Postur tubuh berubah
- Iritabilitas

Luaran utama (SLKI) : status kenyamanan


Luaran tambahan :
- Pola tidur
- Tingkat agitasi
- Tingkat ansietas
- Tingkat nyeri
- Tingkat keletihan
Kriteria hasil :
- Keluhan tidak nyaman menurun
- Gelisah menurun
Intervensi :
Manajemen nyeri
Observasi :
 Identifikasi lokasi,karakteristik,durasi,frekuensi,kuliatas dan intensitas nyeri
 Identifikasi skala nyeri
 Iedntifikasi respon nyeri non verbal
 Identifikasi pengetahuan dan kenyakinan tentang nyeri
 Identifikasi penguaruh nyeri terhadap kualitas hidup
Terapeutik :
 Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam pemilihan strategi merdakan nyeri
Edukasi :
 Jelaskan strategi meredakan nyeri
 Anjurkan menggunakan alagetik secara tepat
 Anjurkan teknik non farmakologis untuk mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi :
 Kolaborasi pemberian analgetik,jika perlu

2. Gangguan persepsi sensori berhubungan dengan gangguan penglihatan

Data mayor :
Data subjektif
- Mendengar suara bisikan atau melihat bayangan
- Merasakan sesuatu indera perabaan,penciuman,perabaan atau pengecapan
Data objektif
- Distorsi sensori
- Respons tidak sesuai
- Bersikap seolah melihat,mendengar,mengecap,meraba,mencium sesuatu
Data minor :
Data subjektif
- Menyatakan kesal
Data objektif
- Menyendiri
- Melamun
- Konsesntrasi buruk
- Disorientasi waktu,tempat,orang, situasi
- Curiga
- Melihat ke satu arah
- Mondar-mandir
- Bicara sendiri
Luaran (SLKI)
Luaran utama : persepsi sensori
Luaran pendukung :
- Fungsi sensori
- Orientasi kognitif
- Proses infromasi
- Status neurologis
- Status orientasi
Kriteria hasil :
- Verbalisasi melihat bayangan meningkat
- Verbalisasi merasakan sesuatu melalui indera perabaan meningkat
- Verbalisasi merasakan sesuatu melalui indera penciuman meningkat
- Verbalisasi merasakan sesuatu melalui indera pengecapan meningkat
- Distorsi sensori meningkat
- Perilaku halusinasi meningkat
- Respons sesuai stimulus meningkat
Intervensi :
Minimalisasi rangsangan
Observasi :
- Periksa status mental,status sensori,dan tingkat kenyamanan
(mis.nyeri,kelelahan)
Terapeutik :
- Diskusikan tingkat toleransi terhadap beban sensori (mis.bising,terlalu terang)
- Batasi stimulus lingkungan (mis.cahaya,suara,aktivitas)
- Jadwalkan aktivitas harian dan waktu istirahat
- Kombinasikan prosedur atau tindakan dalam satu waktu,sesuai kebutuhan
Edukasi :
- Ajarkan cara meminimalisasi stimulus (mis.mengatur pencahayaan
ruangan,mengurangi kebisingan,membatasi kunjungan)
Kolaborasi :
- Kolaborasi dalam meminimalkan rosedur/tindakan
- Kolaborasi pemberian obat yang mempengaruhi persepsi stimulus

3. Resiko cidera berhubungan dengan penurunan penglihatan

Luaran (SLKI) :
Luaran utama :
- Tingkat cidera
Luaran tambahan :
- Fungsi sensori
- Keamanan lingkungan rumah
- Keseimbangan
- Kinerja pengasuhan
- Kontrol kejang
- Koordinasi pergerakan
- Mobilitas
- Orientasi kognitif
- Tingkat derilium
- Tingkat demensia
- Tingkat jatuh
Kriteria hasil :
- Toleransi aktivitas meningkat
- Kejadian cedera menurun
- Luka/lecet menurun
Intervensi :
Manajemen keselamatan lingkungan
Observasi :
- Identifikasi kebutuhan keselamatan (mis.kondisi fisik,fungsi kognitif,dan
riwayat pelaku)
- Monitor perubahan status keselamatan lingkungan
Terapeutik :
- Hilangkan bahaya keselamatan lingkungan ( mis.fisik,biologi,kimia,) jka
memungkinkan
- Modifikasi lingkungan untuk meminimalkan bahaya dan resiko
- Sediakan alat bantu keamanan lingkungan (mis.commode chair dan pegangan
tangan)
- Gunakan perangkat pelindung (mis.pengekangan fisik,rel samping,pintu
terkunci,pagar)
- Hubungi pihak berwenang sesuai masalah komunitas
(mis.puskesmas,polisi,damkar)
- Fasilitas relokasi ke lingkungan yang aman
- Lakukan program skrinning bahaya lingkungan (mis.timbal)

Edukasi :
- Ajarkan individu,keluarga dan kelompok risiko tinggi bahaya lingkungan
DAFTAR PUSTAKA

PPNI (2016). Standart Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi Dan Indicator


Diagnostic, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI

PPNI (2016). Standart Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi Dan Kriteria Hasil
Keperawatan , Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI

PPNI (2016). Standart Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi Dan Tindakan


Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI

Biswell, R. 2010. Kornea. In: Vaughan, Asbury. Oftalmologi Umum Edisi 17. Jakarta: EGC.

Ilyas S. Anatomi dan Fisiologi Mata. Dalam : Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. Edisiketiga.
Jakarta : Balai Penerbit FKUI ; 2010

Yanoff, M. and Duker, J. S. 2014. OPHTHALMOLOGY. Elsevier Saunders.

AAO. (2012). External Disease and Cornea Section 8 .

McKenzie, M. (2012). A Closer Look at Corneal Inflammation .

Jurnal :

https://www.reviewofcontactlenses.com/article/a-closer-look-at-corneal-inflammation
diakses tanggal 02 Agustus 2021 .Jam 18.45 WIB

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3146960/ diakses tanggal 02 Agustus 2021


Jam. 19.10 WIB

https://academic.oup.com/mmy/article-abstract/58/3/293/5519517 diakses tanggal 03


Agustus 2021 Jam 08.45 WIB

Anda mungkin juga menyukai