Anda di halaman 1dari 18

BAB 1

PENDAHULUAN
Kusta merupakan penyakit menahun, yang utamanya menyerang saraf tepi dan
mengakibatkan kecacatan tubuh serta menimbulkan masalah psikososial akibat
stigma di masyarakat, serta masih menjadi masalah kesehatan di negara-negara
berkembang termasuk Indonesia.1 Penyakit ini bersifat endemis dan tersebar
secara tidak merata di benua Asia (62%), Afrika (34%), Amerika Latin (3%), dan
lebih banyak pada daerah tropis dan subtropis. Penyebaran kusta dari suatu tempat
ke tempat yang lain sampai tersebar di seluruh dunia, tampaknya disebabkan oleh
perpindahan penduduk yang terinfeksi penyakit tersebut. Pada umumnya penyakit
ini menyerang kelompok umur 25-35 tahun. Sedangkan beberapa peneliti
melaporkan bahwa penyakit ini dapat mengenai semua ras dan jenis kelamin
dimana beberapa peneliti melaporkan bahwa laki-laki lebih sering terkena
daripada wanita dengan perbandingan 2:1. Hingga saat ini, Indonesia menempati
posisi ke tiga sebagai negara terbanyak penduduknya mengidap kusta, setelah
India dan Brazil.1,2
Penyakit kusta juga sering disebut penyakit imunologik karena gejala
klinis yang bergantung pada sistem imunitas seluler. Bila sistem imunitas seluler
baik akan tampak ke gambaran tuberkuloid dan bila sistem imunitas seluler pasien
memburuk maka akan memberikan gambaran lepromatosa dimana pada laporan
kasus kali ini akan dibahas Morbus Hansen tipe Multibasilar (lepromatosa,
borderline lepromatosa dan mid borderline.1
Penyakit ini dapat menyebabkan kecacatan, apabila tidak mendapatkan
penanganan yang cepat dan tepat. Oleh karena itu sangat penting untuk
mengetahui gejala-gejala dari penyakit ini sehingga dapat melakukan deteksi dini
yang pada akhirnya akan mengurangi komplikasi yang disebabkan yaitu
kecacatan.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.

Definisi Morbus Hansen

Morbus Hansen atau lepra merupakan penyakit infeksi kronis yang disebabkan
oleh Mycobacterium Leprae yang bersifat intraselular obligat dan predileksi pada
kulit dan saraf. Karakteristik klinis penyakit ini ditandai dari satu atau lebih tiga
tanda kardinal, seperti hipopigmentasi atau eritema dengan kehilangan sensasi,
penebalan saraf perifer, dan terdeteksi BTA (basil tahan asam) pada kerokan lesi
kulit. Saraf perifer merupakan afinitas pertama, kemudian kulit dan mukosa
traktus respiratorius bagian atas, dan dapat pula ke organ lain, kecuali susunan
saraf pusat.1,3,4
2.2.

Epidemiologi

Berdasarkan studi, penyakit kusta ini menyerang kelompok umur 25-35 tahun,
dengan berbagai macam ras dan jenis kelamin (pria:wanita, 2:1). Hingga kini
proses penyebaran penyakit masih belum pasti, namun teori kontak langsung antar
kulit yang lama dan erat, serta secara inhalasi sebab M. Leprae mampu hidup
dalam droplet untuk beberapa hari acuan untuk transmisi penyakit ini. 3,4,5
Prevalensi kusta di dunia berkisar 1,4 kasus per 10.000 penduduk, dan yang
terdaftar pada tahun 2003 adalah sebesar 612.110 kasus. Kira-kira 70% dari
seluruh kasus penyakit kusta di dunia berasal dari India, Indonesia, dan Myanmar.
Di Indonesia, prevalensi penyakit kusta pada tahun 2003 sebesar 16.837 atau 0.81
pada 10.000 penduduk. Distribusi penyakit MH di Indonesia tidak merata, namun
daerah dengan prevalensi tertinggi diantaranya, Jawa Timur, Jawa Barat dan
Sulawesi Selatan.5,6
2.3.

Etiologi

Penyakit kusta disebabkan oleh M .leprae yang ditemukan oleh G.H. Armauer
Hansen tahun 1873 di Norwegia. Basil ini bersifat tahan asam, bentuk pleomorf lurus,
batang ramping dan sisanya berbentuk paralel dengan kedua ujung-ujungnya bulat
dengan ukuran panjang 1-8 um dan diameter 0,25-0,3 um. Basil ini menyerupai
kuman berbentuk batang yang gram positif, tidak bergerak dan tidak berspora.

Dengan pewarnaan Ziehl-Nielsen basil yang hidup dapat berbentuk batang yang utuh,
berwarna merah terang, dengan ujung bulat (solid), sedang basil yang mati bentuknya
terpecah-pecah (fragmented) atau granular. Basil ini hidup dalam sel terutama
jaringan yang bersuhu rendah dan tidak dapat dikultur dalam media buatan (in vitro).

2.4.

2,3

Patogenesis

Faktor genetik manusia mempengaruhi akuisisi lepra dan manifestasi klinis


penyakit ini. Studi single-nucleotide polymorphism (SNP) mengemukakan
produksi rendah lymphotoxin- (LTA) adalah faktor resiko genetik utama untuk
onset awal lepra. Beberapa SNP juga memiliki hubungan dengan penyakit atau
perkembangan reaksi lepra, seperti vitamin D receptor (VDR), TNF-, IL-10,
IFN-, gen HLA, dan TLR1.1,2,3,4 Dua gen telah diidentifikasi sebagai faktor resiko
lainnya, seperti PARK2, yang mengode E3-ubiquitin ligase parkin, dan PACRG,
sedangkan gen lainnya yaitu NOD2 meningkatkan afinitas lepra dan
pengembangan reaksi lepra tipe I dan tipe II.3
Mycobacterium leprae merupakan parasit obligat intraseluler yang terutama
terdapat pada sel makrofag di sekitar pembuluh darah superfisial pada dermis atau
sel schawnn di jaringan saraf. Bila kuman ini masuk ke dalam tubuh maka tubuh
akan bereaksi mengeluarkan makrofag untuk memfagositnya.3
Pada kusta tipe LL terjadi kelumpuhan sistem imunitas selular dengan
demikian makrofag tidak mampu menghancurkan kuman sehingga kuman dapat
merusak jaringan. Pada tipe TT kemampuan fungsi sistem imunitas selular tinggi
sehingga makrofag sanggup menghancurkan kuman. Setelah menghancurkan
kuman, makrofag berubah menjadi sel epiteloid yang tidak bergerak aktif dan
kadang bersatu membentuk sel datia langhans. Sel epiteloid ini yang kemudian
akan menimbulkan kerusakan saraf dan jaringan di sekitarnya.3,7
Sel schwann (SC) adalah taget utama infeksi M. Leprae yang menyebabkan
jejas pada saraf, demielinisasi, dan disabilitas. Perlekatan M. Leprae pada sel
schwann menginduksi demielinisasi dan kehilangan konduksi aksonal. 35 M.
Leprae dapat menginvasi sel tersebut melalui protein laminin spesifik pada PGL1.36,37 PGL-1 merupakan glikokonjugasi pada M. Leprae. Identifikasi pada
reseptor target sel schwann (dystroglycan), memiliki peran dalam degenerasi awal
3

saraf.37 Demielinisasi merupakan hasil dari ligasi bakteri secara langsung terhadap
reseptor neuregulin, ErbB2, dan aktivasi Erk1/2, sehingga terjadi aktivasi signal
MAP kinase dan aktivasi sistem proliferasi.3
Makrofag adalah salah satu sel inang yang datang kontak dengan M. Leprae.
Proses fagositosis bakteri ini oleh monocyte-derived macrophages dapat dimediasi
oleh reseptor komplemen CR1 (CD35), CR3 (CD11b/CD18), dan CR4
(CD11c/CD18) dan diregulasi oleh protein kinase.4,5,6 Terkadang adanya sitokin
Th2 dapat menyebabkan proses fagositosis terganggu.7
2.5.

Klasifikasi Morbus Hansen

Terdapat beberapa pedoman klasifikasi penyakit ini, diantaranya yaitu:


1.

Ridley dan Jopling:7,8,9


a. Tipe Tuberkuloid Tuberkuloid (TT, stabil)
b. Tipe Borderline Tuberkuloid (BT)
c. Tipe Mid Borderline (BB)
d. Tipe Borderline Lepromatosa (BL)
e. Tipe Lepromatosa Lepromatosa (LL, stabil)

2.

Madrid:
a. Indeterminate
b. Tuberkuloid
c. Borderline
d. Lepromatosa

3.

WHO (1995):
a. Tipe Pausibasiler (PB): Tipe TT, Tipe BT
b. Tipe Multibasilar (MB): Tipe LL, Tipe BL, Tipe BB

2.6.

Morbus Hansen Tipe Multi Basiler

Berdasarkan klasifikasi WHO (1995), penyakit morbus hansen tipe MB, terdiri
atas tipe LL, tipe BL, dan tipe BB yang mengandung banyak M. Leprae.11 Pada
klasifikasi Ridley-Jopling MB didefinisikan dengan indeks bakteri (IB) > 2+,
sedangkan PB < 2+. Untuk kepentingan pengobatan, MH tipe MB merupakan
semua penderita kusta tipe LL, BL, dan BB atau klasifikasi klinis dengan BTA
4

positif, sehingga apabila MH tipe PB ditemukan hasil BTA positif, dapat


dimasukkan dalam tipe MB.11,12 Diagnosis penyakit ini, didasarkan pada
manifestasi klinis, bakterioskopis, histopatologis, dan serologis. Adapun
manifestasi klinis penyakit morbus hansen tipe MB, dapat dilihat pada tabel di
bawah ini.
Tabel 1. Gambaran Klinis, Bakteriologik, dan Imunologik Kusta MB12
SIFAT
Lesi
Bentuk

LEPROMATOSA
(LL)

BORDERLINE
LEPROMATOSA
(BL)

MID
BORDERLINE
(BB)

Makula
Infiltrat difus
Papul
Nodus
Tidak terhitung
Tidak ada kulit sehat

Makula
Plakat
Papul

Distribusi
Prmukaan

Simetris
Halus berkilat

Hampir simetris
Halus berkilat

Batas
Anestesi
BTA
Lesi kulit
Sekret
hidung
Tes
Lepromin

Tidak jelas
Biasanya tidak jelas

Agak jelas
Tak jelas

Plakat
Dome-shaped
(kubah)
Punched-out
Dapat dihitung
Kulit sehat jelas
ada
Asimetris
Agak kasar,agak
berkilat
Agak jelas
Lebih jelas

Banyak(ada globus)
Banyak(ada globus)

Banyak
Biasanya negatif

Agak banyak
Biasanya negatif

Negatif

Negatif

Biasanya negatif

Jumlah

Sukar dihitung
Masih ada kulit sehat

Pada pemeriksaan bakterioskopik (kerokan pada lesi kulit) dengan Ziehl


Neelsen ditemukan hasil yang positif pada penderita MH tipe MB. Adapun indeks
bakteri yang ditemukan berupa > 2+ atau > 10 BTA dalam 10 LP (lapang
pandang) untuk tipe MB. Sedangkan pada pemeriksaan serologik, ditemukan
antibodi spesifik terhadap M. Leprae, berupa antibodi anti phenolic glycolipid-1
dan antibodi antiprotein 16 kD serta 35 kD. Namun, terdapat pula antibodi nonspesifik yang dapat dihasilkan oleh bakteri ini, berupa liphoarabinomanan
(LAM). Pemeriksaan serologik penting dan sering dilakukan pada MH yang
meragukan, sebab temuan tanda klinis dan bakteriologis yang tidak jelas.8,9

Menurut WHO (1995), oleh karena keterbatasan pemeriksaan kerokan pada


lesi kulit di lapangan, maka WHO telah menyederhanakan diagnosis klinis
penyakit morbus hansen tipe MB yang didasarkan pada temuan lesi > 5 dengan
distribusi lesi lebih simetris, disertai kehilangan sensasi yang kurang jelas dan
kerusakan pada banyak cabang saraf (n. ulnaris, n. medianus, n. radialis, n.
poplitea lateralis, n. tibialis posterior, n. fasialis, dan n. trigemenus).11
2.7.

Pengobatan Morbus Hansen Tipe Multi Basiler

Terapi pengobatan untuk penyakit morbus hansen telah menggunakan teknik


MDT (multi drug treatment), hal ini dilaksanakan untuk mencegah resistensi,
memperpendek masa pengobatan, dan mempercepat pemutusan rantai transmisi
penyakit ini. Pengobatan untuk MH tipe MB, yaitu terlihat pada tabel berikut:
Tabel 2. Dosis dan Cara Pemakaian MDT pada Dewasa dan Anak-anak8,9
Dewasa

Rifampicin
600 mg/bulan

Dapson
100 mg/hari

Lamprene
300 mg/bulan

Diminum di depan

Diminum

Diminum di depan

petugas kesehatan

dirumah

petugas kesehatan,
dilanjutkan dengan 50
mg/hari diminum di
rumah atau 3 kali 100

Anak-anak

450 mg/bulan

50 mg/hari

mg/minggu
150 mg/bulan

(10-14

Diminum di depan

Diminum di

Diminum di depan

tahun)

petugas

rumah

petugas kesehatan,
dilanjutkan dengan 50
mg selang sehari di
rumah

Nb: diminum di depan petugas atau dalam pengawasan

Dosis MDT pada anak dibawah umur 10 tahun yaitu sebagai berikut:9
6

1.
2.
3.

Rifampicin: 10-15 mg/kg BB


Dapson : 1-2 mg/kg BB
Lamprene :
a. Bulanan: 100 mg/bulan
b. Harian: 50 mg/2x seminggu
Sebagai standar pengobatan, WHO Expert Committee membuat keputusan

dengan memperpendek masa pengobatan untuk kasus multibasiler dari 24 dosis


yang diselesaikan dalam waktu 24 36 bulan, menjadi 12 dosis dalam 12 18
bulan.13,14 Setelah selesai minum 12 dosis obat ini, dinyatakan sebagai RFT
(Release from Treatment) atau berhenti minum obat. Setelah masa RFT, maka
dilakukan tindak lanjut (tanpa pengobatan) secara klinis dan bakterioskopis
minimal setiap tahun dalam jangka waktu 5 tahun. Bila dalam jangka waktu
tersebut, bakterioskopis tetap negatif dan tidak ditemukan tanda-tanda relaps atau
kusta aktif, maka penderita dinyatakan bebas dari pengamatan atau disebut dengan
Release from Control (RFC).1

BAB III
LAPORAN KASUS

3.1. Identitas Pasien


Nama

: SWY

Umur

: 30 tahun

Kelamin

: Laki - laki

Agama

: Islam

Alamat

: Jalan Kubu Anyar Kuta

Status

: Belum menikah

Pekerjaan

: Pegawai Swasta

Pendidikan terakhir

: SMA

Suku

: Jawa

Bangsa

: Indonesia

Tanggal Periksa

: 15 Juni 2015

3.2. Anamnesa
Keluhan utama:
Bercak-bercak kemerahan pada seluruh badan
Perjalanan penyakit:
Penderita mengeluh adanya bercak bercak kemerahan yang terdapat pada seluruh
badan sejak kurang lebih 4 bulan yang lalu. Bercak tersebut lama kelamaan
semakin membesar dan mengalami peninggian. Pasien mengatakan bercak terlihat
lebih merah ketika ia merasa kelelahan namun aktivitas sehari - hari pasien tidak
mengalami gangguan.
Pasien sempat mencari pengobatan ke Puskesmas Kuta dan akhirnya dirujuk
ke RS Indera dan melakukan pemeriksaan BTA dengan hasil positif. Pasien
mengatakan tidak merasakan nyeri maupun gatal pada bercak di tubuhnya.
Riwayat demam maupun lemah badan sebelumnya disangkal oleh pasien.

Riwayat Pengobatan
Penderita sempat berobat ke Puskesmas Kuta dan dirujuk ke RS Indera. Pasien
tidak sempat mengkonsumsi obat - obatan terntentu untuk keluhan yang
dialaminya.
Riwayat Penyakit Terdahulu
Penderita belum pernah mengalami keluhan yang sama sebelumnya. Riwayat
penyakit sistemik disangkal oleh pasien.
Riwayat Keluarga
Pasien mengaku tidak mengetahui apa di keluarganya ada yang menderita hal
yang sama dengan pasien.
8

Riwayat Sosial
Pasien bekerja sebagai pegawai di restauran siap saji dimana ia merantau dari
Jawa ke Bali dan tinggal di sebuah kos-kosan bersama teman - temannya. Pasien
tetap bekerja dan beraktivitas seperti biasa. Pasien mengaku kurang tahu apabila
ada tetangga maupun rekan kerjanya yang menderita hal yang sama. Pasien juga
mengaku tidak memiliki riwayat minum-minuman beralkohol maupun merokok.
Riwayat Atopi
Penderita menyangkal riwayat alergi.
3.3. Pemeriksaan Fisik
Status present
Keadaan Umum

: baik

Kesadaran

: compos mentis

Tensi

: 110/80 mmHg

Nadi

: 78 x/mneit

Respirasi

: 18 x/menit

VAS

: 0/10

Temperatur

: 36.80C

Status general
Kepala

: normocefali

Mata

: konjungtiva anemia -/-, sklera hiperemis -/-,


Madarosis/kerontokan pada alis -/+

THT

: dalam batas normal

Thorax

: Cor: S1S2 tunggal regular, murmur (-)


Pul: vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/-

Abdomen

: dintensi (-), bising usus (+) normal,


hati dan lien tidak teraba

Extremitas

: akral hangat (+), edema (-)

Status Dermatologi
9

Lokasi

: seluruh tubuh

Effloresensi

: tampak plak eritema, batas tegas, multiple, bentuk bulat, ukuran


bervariasi dengan diameter 1 - 2 cm di atas kulit normal.

Stigmata atopik : tidak ada


Mukosa

: dalam batas normal

Rambut

: dalam batas normal

Kuku

: dalam batas normal

Penebalan saraf : tidak terdapat penebalan saraf

Pemeriksaan Fisik Khusus:


Tes sensitivitas : Hasil yang diperoleh pada pasien ini adalah tidak terdapat
adanya gangguan sensitivitas pada plak di tubuh penderita.
Pemeriksaan penebalan saraf tepi: pada pasien ini tidak ditemukan penebalan
saraf tepi.
Pemeriksaan sensorik : Hasil yang diperoleh pada pasien ini adalah sensoriknya
masih normal.
Pemeriksaan motorik : pada pemeriksaan ini kekuatan otot pasien yang dinilai
dan hasilnya kekuatan otot pada pasien ini maksimal.
3.4. Diagnosis Banding
10

Discoid Lupus Erythematosus

Erythema Nodusum

3.5. Usulan Pemeriksaan


1. Pemeriksaan BTA. Hasil BTA : positif
Tempat Pengambilan
Cuping Telinga Kanan
Cuping Telinga Kiri
IB = 4/2 = 2

Indeks Bakteri
+2
+2

Solid
45
40

Fragmented
111
98

2. Pemeriksaan Biopsi: belum dikerjakan


3.6. Resume
Penderita, laki-laki, 30 tahun, Hindu, Bali. Datang dengan adanya bercak bercak
kemerahan yang terdapat di seluruh tubuhnya. Keluhan pasien dimulai sejak 4
bulan yang lalu. Pasien merupakan rujukan dari Puskesmas Kuta dan belum
mendapat pengobatan apapun terkait keluhannya.
Pemeriksaan fisik :
Status present : dalam batas normal
Status general : madarosis + pada alis kiri
Status dermatologi :
Lokasi

: Seluruh tubuh

Effloresensi

: tampak plak eritema, batas tegas, multiple, bentuk bulat,


ukuran bervariasi dengan diameter 1 - 2 cm di atas kulit
normal.

Stigmata atopik : tidak ada


Mukosa

: dalam batas normal

Rambut

: dalam batas normal

Kuku

: dalam batas normal

Penebalan saraf : tidak terdapat penebalan saraf


Pemeriksaan fisik khusus : dalam batas normal

11

3.7. Diagnosis Kerja


Morbus Hansen Tipe Multi Basiler
3.8. Penatalaksanaan
MDT (Multi Drug Treatment) untuk multibasilar di puskesmas :
Rifampisin : 600 mg tiap bulan diminum didepan petugas
Lampren

: 300 mg tiap bulan diminum didepan petugas, dilanjutkan 50 mg tiap

hari dirumah
Dapson

: 100 mg tiap hari diminum di rumah

3.9. KIE
Reaksi kusta
Istirahat yang cukup dan makan minum yang bergizi.
Menyarankan untuk teratur minum obat dan kontrol kembali ke poliklinik
kulit dan kelamin saat obat habis untuk memantau hasil dan perkembangan
pengobatan.
Deteksi dini untuk keluarga yang kontak serumah.

3.10 Prognosis
Quo ad vitam
: dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad malam
Quo ad sanactionam : dubia ad bonam

12

BAB IV
PEMBAHASAN
Kusta merupakan penyakit infeksi yang kronis,dan penyebabnya ialah
Mycobacterium leprae yang bersifat intraselular obligat. Saraf perifer sebagai
afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian
dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat.
Diagnosa kusta dapat ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Dari pasien ini didapatkan bahwa pasien mengeluh
adanya bercak-bercak kemerahan pada seluruh tubuh tanpa disertai nyeri dan gatal
sejak 4 bulan yang lalu. Melalui pemeriksaan fisik didapatkan status dermatologi
pada regio seluruh tubuh tampak plak eritema, batas tegas, multiple, bentuk bulat,
13

ukuran bervariasi dengan diameter 1 - 2 cm di atas kulit normal. Pasien sudah


melakukan pemeriksaan BTA dan didapatkan hasil positif dengan indeks bakteri
2.
Lesi kulit yang terjadi pada pasien juga dapat didiagnosis banding dengan
Discoid Lupus Erythomatosum (DLE) dan Erythema Nodusum. Pada Discoid
Lupus Erythomatosum yang merupakan bentuk dari Chronic Cutaneous Lupus
Erythomatosum (CCLE) memberikan gambaran berupa makula, papula hingga
plak

eritema

yang

dapat

berkembang

menjadi

hiperkeratosis.

Perlu

dipertimbangkan juga keterlibatan organ lain seperti yang dipaparkan pada kriteria
American College of Rheumatology untuk mendiagnosis Systemic Lupus
Erythematosus (SLE) yang berupa malar rash, discoid rash, photosensitivity, oral
ulcers, athritis, serositis, renal disorder, neurologic disorder, hematologic
disorder, immunologic disorder dan antinuclear antibody.
Sedangkan Erythema Nodusum merukapakan penyakit yang bersifat akut,
nodular, dan merupakan erupsi eritema yang biasanya terjadi pada kaki bagian
ekstensor. Erythema Nodusum biasa dikaitkan dengan reaksi hipersensitivitas,
penyakit sistemik lain maupun akibat obat - obatan. Erythema nodusum
memberikan gambaran nodular eritema yang nyeri dimana pembengkakan
nodulnya sendiri disebabkan oleh inflamasi dari lapisan lemak dari kulit.
Diagnosis ditegakkan lewat anamnesis dan pemeriksaan fisik namun terkadang
biopsi juga dapat dilakukan untuk konfirmasi diagnosis.
Diagnosa pasti penyakit kusta dapat ditegakkan bila menemukan 2 dari 3
tanda kardinal atau adanya tanda yang ke 4 saja (anasthesia, penebalan saraf, lesi
kulit, BTA + pada slit skin smear). Pada pasien ini ditemukan pemeriksaan BTA
positif sehingga diagnosis banding dapat disingkiran dan diagnosis kerja
mengarah pada Morbus Hansen tipe multibasilar. Pemeriksaan biopsi dapat
dilakukan untuk mengetahui tipe kusta secara lebih spesifik.
Tabel 1. Gambaran Klinis, Bakteriologik, dan Imunologik Kusta MB12
SIFAT

LEPROMATOSA
(LL)

BORDERLINE
LEPROMATOSA
(BL)

MID
BORDERLINE
(BB)

Lesi
14

Bentuk

Makula
Infiltrat difus
Papul
Nodus

Makula
Plakat
Papul

Jumlah

Tidak terhitung
Tidak ada kulit sehat

Sukar dihitung
Masih ada kulit sehat

Distribusi
Prmukaan

Simetris
Halus berkilat

Hampir simetris
Halus berkilat

Batas
Anestesi
BTA
Lesi kulit
Sekret
hidung

Tidak jelas
Biasanya tidak jelas

Agak jelas
Tak jelas

Plakat
Dome-shaped
(kubah)
Punched-out
Dapat dihitung
Kulit sehat jelas
ada
Asimetris
Agak kasar,agak
berkilat
Agak jelas
Lebih jelas

Banyak(ada globus)
Banyak(ada globus)

Banyak
Biasanya negatif

Agak banyak
Biasanya negatif

Pemilihan terapi berdasarkan tipe dari penyakit kusta. Apabila hasilnya


menunjukkan tipe PB, terapi diberikan sesuai WHO begitu sebaliknya pada tipe
MB, terapi diberikan sesuai WHO. Pada pasien ini, kusta yang terjadi adalah kusta
tipe MB yang secara klinis ditandai dengan lesi yang lebih dari 5, lesi polimorfik,
distribusi di kedua sisi tubuh (bilateral) dan tidak adanya penurunan sensasi yang
jelas disertai dengan hasil BTA +. MDT yang diebrikan berupa Rifampisin 600
mg tiap bulan diminum didepan petugas, Lamprene atau Klofazimin 300 mg tiap
bulan diminum didepan petugas, dilanjutkan 50 mg tiap hari dirumah dan Dapson
(Diaminodifenil Sulfon) 100 mg tiap hari diminum di rumah.

15

BAB V
KESIMPULAN
Adapun kesimpulan yang dapat dikemukakan pada laporan kasus ini, yaitu
sebagai berikut:
1.

Morbus Hansen atau lepra merupakan penyakit infeksi kronis yang


disebabkan oleh Mycobacterium Leprae yang bersifat intraselular obligat dan
predileksi pada kulit dan saraf. Karakteristik klinis penyakit ini ditandai dari
satu atau lebih tiga tanda kardinal, seperti hipopigmentasi atau eritema
dengan kehilangan sensasi, penebalan saraf perifer, dan terdeteksi BTA (basil

2.

tahan asam) pada kerokan lesi kulit.


Proses patogenesis belum dapat diketahui secara pasti, namun studi baru-baru
ini menyebutkan, bahwa reaksi kusta tipe I merupakan reaksi hipersensitivitas

16

tipe lambat (delayed). Antigen M. Leprae ditemukan pada sel saraf dan kulit
yang terlokalisasi pada sel Schwann dan makrofag. TLR2 reseptor berperan
3.

besar dalam mengaktifkan sistem imun seluler dan sitokin pro inflamasi.
Terapi pengobatan untuk penyakit morbus hansen telah menggunakan teknik
MDT (multi drug treatment), hal ini dilaksanakan untuk mencegah
resistensin, memperpendek masa pengobatan, dan mempercepat pemutusan
rantai transmisi penyakit ini.

DAFTAR PUSTAKA
1.

Djuanda, S. Hamzah, M. Aisah, S. editor. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.


Edisi Keenam, Cetakan Kedua. Badan Penerbit Fakultas Kedokteran

2.

Universitas Indonesia : Jakarta. 2011.


M. A. M. Marques, V. L. Antnio, E. N. Sarno, P. J. Brennan, and M. C. V.
Pessolani, Binding of 2-laminins by pathogenic and non-pathogenic
mycobacteria and adherence to Schwann cells, Journal of Medical

3.

Microbiology, vol. 50, no. 1, pp. 2328, 2001.


V. Ng, G. Zanazzi, R. Timpl et al., Role of the cell wall phenolic
glycolipid-1 in the peripheral nerve predilection of Mycobacterium leprae,

4.

Cell, vol. 103, no. 3, pp. 511524, 2000.


A. Rambukkana, H. Yamada, G. Zanazzi et al., Role of -dystroglycan as a
Schwann cell receptor for Mycobacterium leprae, Science, vol. 282, no.
5396, pp. 20762079, 1998.
17

5.

N. Tapinos, M. Ohnishi, and A. Rambukkana, ErbB2 receptor tyrosine


kinase signalling mediates early demyelination induced by leprosy bacilli,

6.

Nature Medicine, vol. 12, no. 8, pp. 961966, 2006.


L. S. Schlesinger and M. A. Horwitz, Phagocytosis of Mycobacterium
leprae by human monocyte-derived macrophages is mediated by
complement receptors CR1 (CD35), CR3 (CD11b/CD18), and CR4
(CD11c/CD18) and IFN- activation inhibits complement receptor function
and phagocytosis of this bacterium, Journal of Immunology, vol. 147, no.

7.

6, pp. 19831994, 1991.


K. Prabhakaran, E. B. Harris, and B. Randhawa, Regulation by protein
kinase of phagocytosis of Mycobacterium leprae by macrophages, Journal

8.

of Medical Microbiology, vol. 49, no. 4, pp. 339342, 2000.


D. S. Ridley and W. H. Jopling, Classification of leprosy according to
immunity. A five-group system, International Journal of Leprosy and Other

9.

Mycobacterial Diseases, vol. 34, no. 3, pp. 255273, 1966.


WHO, Chemotherapy of leprosy for control programmes, World Health

10.

Organisation Technical Report Series, vol. 675, pp. 133, 1982


T. T. Fajardo, Indeterminate leprosy: a 3 year study, clinical observations,

11.

International Journal of Leprosy, vol. 39, pp. 9495, 1971.


World Health Organization. A Guide to eliminating leprosy as a public
problem. Edisi ke-1. Geneva: WHO 1995

18

Anda mungkin juga menyukai