Anda di halaman 1dari 18

Imunologi lepra dan tantangan diagnostik

Abstrak

Lepra disebabkan Mycobacterium leprae (ML) dan memiliki berbagai manifestasi

yang berhubungan dengan respon imun inang. Manifestasi kulit disertai dengan

kerusakan saraf perifer yang berujung pada sensory motor loss dan deformitas.

Respon imun baik innate maupun acquired sama-sama terlibat. Sel utama yang

terserang adalah sel T helper+CD4, dimana menunjukkan penurunan responsivitas

spesifik antigen terhadap ML saja dan tidak terhadap antigen umum lainnya pada

bentuk penyakit lepra generalisata basiliferus. Sebaliknya, bentuk tuberkuloid

lokalisata pausibasiler memiliki fungsi sel T yang sesuai dan respon antibodi yang

lemah. Dikotomi antara fungsi sel T dan antibodi dibahas dalam informasi terkini

mengenai sitokin, subset Th dan sel T regulatoris. Selama reaksi lepromatus,

terdapat kenaikan imunitas sel T sementara nahkan pada subyek lepromatus. Lesi

dermal mengkonfirmasi berbagai tampilan klinis yang diamati dengan sel

mononuklear darah perifer dan memberikan informasi tambahan mengenai respon

imun lokal. Kerusakan saraf melibatkan mekanisme imun dan nonimun. Lepra

merupakan model penyakit untuk memahami respon imun inang terhadap bakteri

basil intraseluler. Ada tantangan dalam mendiagnosis lepra secara dini. Terlepas

dari usaha intensif oleh berbagai kelompok, konsensus mengenai tes universal

yang cocok untuk daerah endemis masih belum ada.


Pendahuluan

Lepra yang disebabkan oleh obligat mycobacterium leprae (ML)

merupakan penyakit infeksius yang menyerang kulit dan saraf perifer. Lepra

memiliki spektrum tampilan klinis-patologis berdasarkan respon imun inang.

Klasifikasi lepra telah menjadi subyek pembahasan beberapa tahun silam dan

tetap masih dibahas. Kini, sebagian besar peneliti menggunakan kriteria Ridley

Jopling yang didasarkan pada populasi limfosit dan makrofag pada lesi kulit.

Kriteria ini membagi lima poin spektrum lepra yakni lepra polar (TT) dan

borderline tuberculoid (BT), lepra polar (LL) dan borderline lepromatous (BL)

dan borderline-borderline (BB). Kegunaan klasifikasi ini adalah diketahuinya

bahwa bentuk polar bersifat stabil secara linis sementara bentuk borderline

menunjukan kencenderung untuk menimbulkan reaksi. ML merupakan bakteri

basil yang menginfeksi dan menetap di sel Schwann sehingga mengakibatkan

sensory loss. Lepra merupakan model yang baik untuk meneliti respon inang

terhadap patogen intraseluler pada umumnya dan saraf perifer khususnya.

Respon inang terhadap bakteri lepra yang menentukan tampilan klinis

telah disebutkan pada 1954, ketika Mitsuda pertama kal imenunjukkan bahwa

injeksi intradermal ML yang telah mati akan menimbulkan reaksi kulit 3-4

minggu kemudian berupa eritema dan pembengkakan di lokasi injeksi. Reaksi

semacam itu hanya ditemukan pada pasien dengan lepra tuberkuloid (T-lep) dan

tidak pada yang lepra lepromatus (L-lep). Ini menandakan bahwa respon inflamasi

subye bergantung pada respon imun inang terhadap bakter. Dharmendra

menunjukkan bahwa faktor solubel bebas lemak dari bakteri lepra juga
menghasilkan reaksi semacam itu untuk periode waktu yang lebih singkat yakni

48-72 jam. Sementara tes Mitsuda mengukur respon granulomatus, kinetik waktu

tes Dharmendra sesuai dengan reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Tidak ada tes

yang spesifik untuk lepra, tapi keduanya tetap digunakan untuk menentukan status

imun. Tampilan histopatologis bersama dengan tes kulit dan penelitian imunologis

menunjukkan bahwa pasien T-lep memiliki imunitas sel T/delayed type

hypersensitivity (DTH) terhadap patogen, sementara subyek L-lep memiliki

antibodi tapi hanya sedikit fungsi sel T bahkan tidak sama sekali.

Pertanyaan menantang dalam imunologi lepra adalah: apa yang

menimbulkan spektrum lepra? Mengapa subyek lepromatus menunjukkan

penurunan responsifitas sel T yang nyata terhadap ML saja, namun masih

berespon secara efisien terhadap patogen lain? Apa yang memicu penurunan

imunologi yang berujung pada episode reaksi pada pasien dengan latar belakang

tuberkuloid (reaksi Tipe 1) atau lepra lepromatus (reaksi Tipe 2)? Apa dasar dari

kerusakan saraf yang ditemukan pada lepra?

Karena patogen ini tidak dapat dibiakkan dengan cara konvensional, maka

tidak mungkin untuk mempelajari sifat antigeniknya hingga biologi molekuler

berkembang pesat hingga mampu membuat ekspresi E. Coli dan mendapatkan

sekuens genome sepenuhnya. Nine banded armadilo terbukti sebagai sumber

bagus untuk bakteri lepra dan antigen. Kini memungkinkan untuk

meneliti/mendiagnosis pasien lepra dengan antigen tertentu seperti

protein/peptida, phenolic glycolipid, lipoarabinomannan patogen pada antibodi

dan respon sel T. Karena kurangnya model binnateang yang bagus untuk meniru
spektrum lepra, penelitian hanya memungkinkan pada pasien setelah mereka

timbul penyakit klinis, sehingga sulit untuk memisahkan efek kausa dini dari

tampilan klinis imunitas yang didapat. Ini semakin diperumit dengan lamanya

periode inkubasi penyakit, mulai dari bulanan hingga tahunan.

Imunitas innate pada lepra

Pertahanan terhadap agen patogen/eksternal pertama kali diinisiasi oleh

respon imun innate, kemudian diikuti oleh respon imun adaptif. Keduanya bekerja

melalui sel, begitu juga faktor solubel. Kini makin disadari bahwa respon imun

innate dan adaptif akan saling overlap pada bagian penting.

ML masuk dan menetap dalam makrofag, sel dendritik dan sel Schwann.

Entry merupakan tahap pertama bagi patogen intraseluler. ML menggunakan

berbagai cara untuk masuk sel inang. Pada lepra, reseptor fragmen komplemen

CR1, CR3 dan CR4 akan membantu fagositosis. Phenolic glycolipid 1 (PGL1)

merupakan sebuah lipid dinding sel ML yang dikenali oleh komplemen 3.

Meskipun sel tersebut mengenali banyak patogen melalui rekognisi pola

molekuler; reseptor komplemen dan toll-like receptors (TLRs) yang ada pada

makrofag dan sel dendritik sangatlah penting untuk rekognisi patogen mikrobial.

TLR banyak tersimpan dan berikatan dengan lipoprotein. TLR 2 dan 4

mengenali bakteri basil lepra, mengaktivasi monosit dan melepaskan IL 12,

sebuah sitokin yang memicu sitokin proinflamasi dan membunuh bakteri. Sitokin

seperti IFN dan GM-CSF akan meningkatkan ekspresi TLR1. Proses ini
menimbulkan inflamasi melalui produksi TNF. PGL1 yang merupakan glikolipid

spesifik ML akan mengakibatkan penurunan produksi TNF, IL1 dan IL10 serta

memicu molekul regulatoris negatif seperti MCP1 dan IL1Ra. Overlap respon

imun innate dengan adaptif telah menunjukkan bahwa IL4 yang merupakan

sitokin Th2 dan IL10 memainkan peran regulatoris negatif dan menimbulkan

down-regulation ekspresi TLR2 beserta produksi sitokin. TLR 1 dan 2

diekspresikan lebih banyak pada lesi kulit lepra tuberkuloid.

Vitamin D dapat berkontribusi terhadap respon innate melalui peptida

antimikrobial dan diekspresikan pada pasien T-lep dibandingkan pasien L-lep.

Sementara IL10 memicu jalur fagositik, IL15 memicu jalur antimikrobial vitamin

D dan mengurangi fagositosis.

Respon imun adapif

Respon imun adaptif melibatkan interaksi spesifik limfosit, sel dendritik,

makrofag, dan faktor solubel seperti antibodi yang dilepaskan oleh sel B dimana

ia akan menangkap mikroba bebas, dan sitokin yang dilepaskan oleh sel T yang

akan menyeberangi membran sel untuk merusak patogen intraseluler. Pasien lepra

menunjukkan adanya dikotomi pada respon sel B dan T. Sementara pasien T-lep

tidak ada antibodi yang terdeteksi namun respon sel T masih baik, pasien L-lep

memiliki banyak antibodi tapi respon imun sel T nya lemaah bahkan tidak ada,

sebagaimana dideteksi melalui tes kulit dan secara in vitro berkorelasi dengan

imunitas sel T.
Respon antibdi

Respon antibodi pada pasien lepra lepromatus telah dievaluasi pada ML

secara keseluruhan, begitu juga komponen biokimianya. Pada L-lep, terdapat

respon sel B poliklonal. Respon antibodi terhadap PGL 1 dan glikokonjugatnya

diketahui ada pada 90-95% pasien L-lep dan 25060% pasien T-lep.

Respon imun ang diperantarai sel T

Sebagaimana disebutkan di atas, tes kulit memberikan indikasi dini bahwa

respon tipe lambat diperantarai oleh sel T yang divergen pada spektrum lepra.

Jumlah sel T, nonproliferasi peripheral blood mononuclear cell (PBMC) terhadap

mitogen, dan antigen ML pada L-lep juga merupakan indikator dini. Sementara

itu, rendahnya respon terhadap mitogen sel T akan terbalik setelah terapi obat,

penurunan responsifitas spesifik akan berlangsung lama dan persisten selama

bertahun-tahun. Pasien L-lep memiliki penurunan responsifitas spesifik antigen

yang unik ditandai dengan fakta bahwa respon sel T terhadap antigen lain seperti

M tuberculosis tetap tak terganggu.

Penurunan responsifitas imunologi


Dasar penurunan responsifitas pada L-lep tetap belum menemukan titik

terang, meskipun telah diteliti secara intensif. penurunan responsifitas ini bukan

karena toleransi sentral atau delesi sel T spesifik ML tapi diduga diakibatkan oleh

faktor-faktor perifer. Awalnya diduga bahwa supresi yang diperantarai antibodi

bisa jadi tanda klinisnya, tapi teori ini juga akhirnya runtuh. Phenolic glycolipid

(PGL), antigen spesifik bakteri lepra, juga diduga bertanggung jawab terhadap

supresi sel T seperti ditemukan pada pasien dari Brazil, namun, penelitian India

menunjukkan PGL memiliki aktivitas supresif umum pada PBMC, yang tidak

menjelaskan penurunan responsifitas yang unik terhadap ML. Pada 1980, konsep

sel T supresor banyak dibahas karena kemampuannya dalam mentransfer toleransi

melalui sel T pada model ekspreimental. Oleh beberapa grup, adanya sel T CD8+

diduga merupakan indikasi sel T supresor. Kelompok di India menunjukkan

bahwa makrofag L-lep atau faktor-faktor makrofag menekan limfoproliferasi sel T

dan produksi Il2. Temuan ini didukung oleh reversal supresi in vitro dengan

menggunakan HLA matched T-lep macrophages. Baru-baru ini, alternatively

activated (M2) macrophage dengan fungsi imunosupresif telah dilaporkan pada

tahap lanjut infeksi mikobakteri dengan perubahan fenotip dari Th1 ke Th2.

Supresi tersebut bisa reversibel secara parsial sebagaimana ditemukan pada pasien

L-lep yang menunjukkan aktivasi sel T selama ENL atau reaksi tipe 2.

Subset Th
Subset Th1 dan 2 dari sel CD4+ akan menghasilkan interferon gamma

(IFN merupakan marker DTH dan IL4, yang memicu antibodi). Pada penelitian

awal, pasien T-lep diketahui memiliki subset Th1 sementara Th2 lebih dominan

pada L-lep yang konsisten dengan hilangnya antibodi dan respon sel T yang

ditemukan pada lepra, namun , penelitian lain menunjukkan bahwa beberapa

pasien juga memiliki profil Th0 dengan IFN dan IL4. Tidak ada perbedaan klini

antara pasien yang memiliki fenotip polar atau Th0. Pelepasan sitokin lebih

dipengaruhi oleh sel dendritik dibandingkan monosit dari pasien yang sama.

Tampanya ada kecenderungan terhadap Th1 dan Th2, masing-masing pada kedua

tipe lepra, meski tidak absolut.

Sitokin tersebut memainkan peran penting dalam proteksi lepra

sebagaimana ditunjukkan lewat klirens bakteri yang cepat melalui injeksi IFN

dan IL2 pada pasien lepra begitu juga melalui induksi DTH dengan injeksi PPD.

Peran molekul kostimulatoris seperti B7, CD40/CD40L, dan CD28 juga telah

diteliti sebagai penjelasan untuk paradigma fenotip Th tapi bukti definitif

mengenai efek langsungnya masih belum ada. kesimpulannya, ada banyak faktor

yang belum terdeteksi yang dapat bertanggung jawab terhadap penurunan

responsifitas spesifik antigen.

Sel T regulatoris

Baru-baru ini, dua sel T regulatoris sedang diteliti. Sebuah subset sel Th17

telah diidentifikasi pada manusia yang menghasilkan IL17 sebagai sitokin khas
dan memiliki faktor transkripsi RORC. Pertama kali ditemukan pada ensefalitis

ekspreimental dan kemudian pada rematoid artritis, leishmaniasis dan

tuberkulosis. Sel Th17 telah dilaporkan pada reaksi ENL. Kelompok kami

menemukan bahwa sel Th17 lebih berhubungan dengan T-lep pada lesi kulit dan

kultur PBMC yang dipicu antigen. Ini menandakan adanya peran berbeda dari sel

ini pada spektrum lepra. Hal lebih penting adalah hubungan kuat Th17 dengan

tipe Th0 nonpolar yang menandakan bahwa sel-sel ini bisa menyusun tipe Th

ketiga pada lepra. Th17 bisa jadi jalur penyelamatan pada pasien yang tidak

mampu menciptakan respon Th atau ketika polarisasi Th tidak terbentuk.

TGF memicu sel T CD25hi CD4+ dengan faktor transkripsi Foxp3 (fork

head box protein 3) di nukelus. Proses ini diketahui akan secara negatif

meregulasi respon imun dan sel Th17. Sel ini tampaknya merupakan versi baru

dari sel T supresor yang lama. Laporan terkini menunjukkan besarnya plastisitas

kedua subset tersebut dan beberapa overlap dalam respon imun.

Laporan mengani sel Foxp3 sangatlah bervariasi pada lepra dimana

hubungan yang lebih kuat dengan subyek T-lep dan ENL ditemukan oleh satu

kelompok. Sebaliknya, peneliti lain menemukan bahwa sel Foxp3 meningkat pada

pasien L-lep. Subset sel Treg CD4+CD25+IL10+ juga ditemukan pada pasien L-

lep. Data dari kelompok kami mendukung adanya peningkatan TGF + Foxp3+

naive dan sel memori pada L-lep. Secara singkat, biologi sel T melibatkan

interaksi kompleks antara efektor dan sel regulatoris serta merupakan pedang

bermata dua, yang bisa berujung pada proteksi melalui eliminasi patogen dan/atau

imunopatologi sebagai hasil dari kerusakan jaringan yang disebabkan oleh DTH.
Reaksi lepra

Reaksi lepar merupakan episode inflamasi akut dengan insidensi dan

derajat kerusakan jaringan yang bervariasi di negara yang berbeda; 10-20%

penduduk India dan 40-50% penduduk Amerika Latin dan Mexico juga terkena,

sementara Amerika latin merupakan bentuk yang lebih berat. Inflamasi sering

meluas keratinosit saraf perifer tetangga, yang membutuhkan perhatian medis

segera karena nyeri berat dan utuk mencegah kerusakan serta deformitas saraf.

Dua tipe klinis mayor adalah Tipe 1 atau reversal reactions (RR) yang terlokalisir

pada bagian dermal dan saraf tetangga, serta terjadi sebagian besar pada pasien

dengan lepra borderline yakni BT, BB, dan BL, serta Tipe 2 atau erythema

nodusum leprosum (ENL) yang terjadi dominan pada L-lep.

Pada reaksi tipe 1, respon yang diperantarai sel T terhadap ML akan

teraktivasi akibat dari respon inflamasi di bagian kulit dan saraf yang terserang

penyakit. Belum jelas apa yang memivu aktivasi sel T yang alami nan spontan ini.

Selama reaksi, terdapat peningkatan limfoproliferasi terhadap antigen ML, begitu

juga peningkatan pelepasan sitokin proliferasi. Bukti terkini menunjukkan bahwa

IP 10 merupakan sebuah kemokin yang dipicu oleh IFN. Kemokin ini jga

meningkat dalam serum selama reaksi reversal. Sebuah mutasi TLR2 diduga turut

berperan dalam reaksi reversal.

ENL atau reaksi tipe 2 awalnya diduga diakibatkan oleh deposisi

kompleks imun di pembuluh darah hasil reaksi Arthus. Deposisi semacam itu
tidak bisa ditemukan terus menerus dan penyakit kompleks imun konvensional

bukan merupakan tanda klinis pada ENL. Akuisisi sementara aktivasi sel T

spesifik antigen, ekspresi dan pelepasan IFN dan IL12, begitu juga dilaporkan

adanya sel T CD3+CD4+ pada lesi ENL. Beberapa penelitian juga menemukan

peningkatan IL4, IL6 dan IL8 yang bersifat kemotaktik bagi neutrofil dan sejalan

dengan bukti histologi infiltrasi neutrofil pada lesi ENL. Namun tes kulit tetap

negatif pada pasien LL dan ini menunjukkan ketidakmampuan untuk

menimbulkan DTH pada kulit.

Pemicu timbulnya respon imun spesifik antigen yang spontan pada reaksi

lepar masih menjadi teka-teki. Lokasi tersembunyi pada bakteri bisa terpapar dan

pengenalan melalui L-lep ditunjukkan menggunakan protein rekombinan LSR2

dan peptidanya pada ENL. Pasien memiliki sekuens RGD dan GVTY serta NAA

selama dan sebelum ENL. Yang menarik adalah, sekuens peptida LSR2 yang

dikenali oleh sel T pada ENL akan berbeda dari yang dikenali pada pasien dengan

L-lep stabil. Memprovokasi respon tipe lambat dengan PPD atau injeksi intra-lesi

IFN juga menimbulkan ENL pada pasien Brazil. Thalidomide, sebuah obat

efektif untuk pasien ENL yang resisten steroid, telah diketahui mampu

menghambat TNF inflamatoris dan apoptosis neutrofil. Sikosporin tampak secara

klinis meringankan ENL dengan menhambat IL2 dan sitokin-sitokin lainnya.

Kesimpulannya, terdapat kemunculan respon sel T pada pasien L-lep yang

sedang mengalami reaksi. Kemunculan ini tetap berlanjut meski gejala klinis

menurun.
Imunopatologi lesi kulit

Lesi lepra di kulit uga telah diteliti untuk pemahaman imunopatologi. Pada

lepra tuberkuloid, granuloma menunjukkan adanya sel T CD4+ tersebar diantara

sel epiteloid dengan sel T CD8+ di perifer. Sel T dilaporkan berpusat di

granuloma lepra. Molekul CD1 dilaporkan meningkat pada T-lep dan lesi kulit

reaksi Tipe 1.

Sel Langerhans menurun pada L-lep dan tampak bermigrasi keratinosit

dermis pada granuloma T-lep. Migrasi tersebut dapat mencerminkan transport

antigen dari kulit untuk presentasi sel T. Pada lokasi reaksi, lesi dermal

menunjukkan peningkatan sel yang menhasilkan CD4+ begitu juga IL17+. Lesi

lepra lepromatus lymphophenic juga menunjukkan entri sel T CD4+ selama ENL.

Pelepasan antibodi lokal IgG dan IgM juga ditemukan.

Granuloma T-lep dan L-lep masing-masing menunjukkan adanya ekspresi

sitokin Th1 dan Th2. Terdapat polarisasi berbeda teradap tipe Th1. Fakta IFN

relevan untuk membunuh/klirens bakteri lepra semakin didukung oleh penelitian

dimana IFN buatan diinjeksikan keratinosit lesi dermal dan ditemukan klirens

bakteri yang lebih cepat dibandingkan kelompok kontrol yang hanya mendapat

MDT. Sel lesi ditemukan mengalami peningkatan radikal NO pada lokasi injeksi,

radikal ini bertanggung jawab terhadap organisme yang mati dan kerusakan

jaringan. Perubahan ini ditemukan 3 minggu setelah inejksi IFN. Ini menandakan

efektifitas sitokin dibandingkan kombinasi berbagai obat lepra. Sebuah penelitian


multicenter dengan follow up longitudinal menunjukkan bahwa TNF, iNOS dan

TGF ditemukan pada kulit pasien dengan reaksi tipe 1.

Kerusakan saraf pada lepra

Keterlibatan seraf perifer merupakan ciri khas lepra. Kerusakan ini

berujung pada sensorimotor loss dan merupakan komplikasi tunggal terberat pada

lepra. Mekanisme imun dan nonimun tampaknya memainkan peran. Sel Schwann

(SC) merupakan target utama dan bekerja sebagai inang ML. PGL1 penting untuk

interiorisasi mikroba kemudian dilanjutkan dengan demielinisasi. Ini terbukti

melalui sistem kultur menggunakan Shwannoma. SC menampung bakteri selama

periode waktu yang lama dan melindunginya agar tidak terbunuh. Baru-baru ini,

telah diketahui bahwa sel mirip SC dewasa telah diprogram ulang menyerupai

stem sel, yang membantu perluasan bakteri.

Kerusakan saraf diakibatkan oleh proses imunologis terhadap SC yang

terinfeksi ML. Pada kultur jangka panjang, SC manusia diketahui

mengekspresikan MHC kelas I dan II, ICAM1 dan molekul permukaan CD80,

yang diketahui terlibat dalam presentasi antigen. Penelitian terkini menunjukkan

bahwa SC manusia menyaji bakteri ML asli begitu juga protien ML rekombinan

dan peptida terhadap sel T. Sel T yang teraktivasi tersebut kemudian akan

melisiskan SC yang terinfeksi. TNF dan TNF mRNA telah ditemukan pada lesi

saraf lepra baik pada kondisi stabil maupun reaksiona dan sama-sama dapat

berkontribusi terhadap demielinisasi. TLR2 pada SC juga dapat berkontribusi


terhadap kerusakan saraf. Reaksi tipe 1 dan ENL kronis sering berujung pada

kerusakan saraf, yang dipicu oleh DTH pada deposisi kompleks imun dan aktivasi

komplemen.

Pada sistem kultur, telah dilaporkan adanya demielinisasi dependen kontak

yang dipicu dengan tidak adanya sel imun. Ini menandakan peran mekanisme

nonimun selama tahap awal infeksi saraf. Myelin-associated SC ditemukan relatif

bebas sementara nonmyelinating SC tampak terkolonisasi ML. Masih kotroversial

apakah hanya nonmyelinated SC yang dapat diinfeksi oleh ML karena penelitian

lain tidak menemukan perbedaan ini dan penelitian ultrastruktur sebelumnya pada

saraf dari pasien lepra juga menemukan keberadaan bakteri di dalam SC axon

yang bermielin.

Tantangan diagnostik

Identifikasi bbiomarker semakin dibutuhkan untuk memonitor transmisi

dan untuk diagnosis dini lepra. Availabilitas sekuens genom untuk patogen dan

inang memberi hambatan bagi penelitian. Analisis ulangan nukleotida ML dapat

mendeteksi perbedaan rantai dan berguna untuk mempelajari transmisi penyakit

dan dalam membedakan relaps klinis dari reinfeksi. Deeksi alela polimorfisme

nukleotida tunggal menunjukkan pola migrasi di seluruh dunia. Penelitian ganda,

analisis segregasi, family-based linkage dan penelitian asosiasi, serta penelitian

asosiasi genom menunjukkan bahwa faktor genetik inang mempengaruhi

perkembangan penyakit.
Identifikas dan karakterisasi biomarker yang memicu respon imun inang

sedang diteliti secara intensif untuk mengevaluasi imunitas humoral dan seluler.

Meskipun penelitian terdahulu menggunakan metode klasik yang melibatkan

separasi dan pemurnian protein dari bakteri, peneliti kini bergantung pada sekuens

genom ML dan alat-alat bioinformasi guna mengidentifikasi antigen kandidat.

Selain itu, protein rekombinan berbasis in silico sering digunakan dalam

pemeriksaan in vitro untuk mengidentifikasi epitop imunogenik.

Analisis berbasis serologi

Antibodi spesifik antigen berkorelasi erat dengan beban bakter shingga

berperan dalam polarisasi lepra. Antibodi IgM spesifik untuk PGL1 dapat

mengidentifikasi sebagian besar L-lep tapi tidak demikian pada pasien T-lep.

Sejumlah besar individu asimtomatik di negara endemik, beberapa yang tidak

timbul lepra, juga positif antibodi ini. Titer antibodi berguna untuk memonitor

efikasi terapi dan menilai progresi penyakit pada individu berisiko tinggi, tapi titer

ini tidak berguna dalam mengidentifikasi lepra dini/laten. Telah diduga bahwa

antibodi IgG terhadap antigen lain dapat menjadi komplemen tes Igm anti-PGL1.

Asai berbasai sel T

Pemeriksaan berbasis sel T bergantung pada recall/memori paparan

sebelumnya. Tes kulit, seperti antgen Mitsuda dan Dharmendra, telah diganti oleh
campuran antigen lainnya. Hingga kini, tes untuk lepra masih belum spesifik,

khususnya di daerah endemik yang disertai infeksi tuberkulosis. Antigen yang

disekresi oleh bakteri yang aktif bermetabolisme sedang diidentifikasi

mengunakan peralatan molekuler. Homolog ML ESAT6 dan CFP10 dari

diagnostik populer tuberkulosis juga tidak spesifik untuk lepra. Seleksi antigen

ML berbasis genom lebih berhasil dikarenakan 71% penduduk Brazil sehat telah

dapat teridentifikasi. Tantangan dalam mengembangkan asai universal tidak

hanya bergantung pada pilihan biomarker tapi juga pemeriksaannya pada

negara/populasi berbeda dengan endemik dan hiperendemik lepra karena paparan

terhadap infeksi berhubungan dengan pelepasan IFN terhadap antigen-antigen

tertentu.

Tabel 2 menyajikan daftar biomarker yang kini sedang diteliti baik pada

asai serologis maupun asai sel T. Spesifitas dan imunogenisitas antigen

merupakan faktor penting yang digunakan dalam asai. Beberapa peneliti

menggunakan protein rekombinan berdasarkan bioinformasi dan mereka

mempelajari pelepasan IFN. Namun, korelasi jelas antara IFN dan tipe lepra

masih belumb bisa dibuat. Banyak antigen yang dianggap unik terhadap ML telah

terbukti cross-reactive. Yang menarik adalah, meski antigen ML tertentu

memiliki kesamaan homolog dengan spesies mycobacteria lainnya, hanya pasien

lepra yang bereaksi dengan mereka. Ini menandakan bahwa pola respon imun

merupakan hal penting. Prediksi in silico terkait reaktivitas spesifik penyakit

harus digunakan dengan hati-hati.


Biomarker lainnya

Berbagai biomarker kini diteliti termasuk NOD2 dan CD1b+ DC yang

lebih banyak pada pasien T-lep dibanding L-lep. Penelitian genom menunjukkan

beberapa gen kandidat berhubungan dengan kerentanan terhadap lepra.

Polimorfisme pada gen TLR1 dan TLR2, HLA-DR, NRAMP1 (encoding natural

resistance associated macrophage protein 1, kini dikenal SLC1 1A1) dan gen

penyandi parkin (PARK2) dan limfotoksin alfa (LTA) berhubungan dengan

kerentanan lepra. Penelitian genom di populasi Cina telah menemukan hubungan

signifikan antara 15 varian genetik pada enam gen [CCDC122, (CI) 1,87 (1,38-

2,53); C13orf31, NOD2, TNFSF15, HLA-DR, RIPK2], tiga diantaranya

memetakan jalur signalling yang diperantai NOD2, sebuah regulator penting pada

respon imun innate.

Simpulan

Telah dilakukan penelitian intensif biomarker untuk keperluan diagnosis

dan untuk mempelajari pola transmisi lepra. Identifikasi dalam membedakan

imunitas protektif dari respon DTH masih jadi tantangan. Kini, IFN secara luas

digunakan untuk mengevaluasi imunitas sel T pada PBMC terstimulasi dan whole

blood assays. Dari sudut pandang subset Th pada tipe klinis lepra yang berbeda,

disarankan untuk menerapkan sitokin Th1 dan Th2 (IFN + IL4/IL5) begitu jgua

antigen sel B dan sel T sebagai bahan dalam lateral flow assays. Ini juga

memberikan manfaat dalam mendeteksi imunitas humoral dan seluler. Semakin


dibutuhkan skrining universal untuk mengembangkan diagnostik universal.

Jaringan seperti program IDEAL telah diinisiasi untuk mencapai tujuan tersebut.

Lepra meupakan masalah kesehatan masyarakat di banyak negara berkembang

dan pemeriksaan untuk diagnosis dini sangat amat dibutuhkan untuk pengendalian

lepra.

Anda mungkin juga menyukai