Anda di halaman 1dari 8

Nama : Muhammad Afif Abdillah

Kelas : Gamma 2018

1. Bagaimana sistem imunitas tubuh terhadap infeksi cacing nematoda ?

Infeksi cacing usus dan respon imun pejamu yang terbentuk merupakan hasil dari perubahan
dinamis yang panjang antara pejamu dan parasit cacing. Parasit cacing berusaha mengelabui
pejamu sehingga pejamu menghasilkan respon imun yang tidak efektif untuk melawan parasit
tersebut. Hal ini kemudian menciptakan keadaan toleran, sehingga parasit cacing dapat terus
berkembang dalam tubuh pejamu.

Antigen parasit akan dikenali oleh epitel usus pada lokasi tertentu. Hal ini kemudian akan
mengaktivasi pembentukan alarmin, yakni interleukin-25 (IL-25), IL-33, dan thymic stromal
lymphopoietin (TSLP). Alarmin TSLP akan mengaktivasi sel dendritic (DC) yang merupakan
antigen presenting cell (APC). Sel dendritic memiliki peranan penting dalam mengawali
respon imun alami (Innate) maupun adaptif. Sel ini dapat mengekspresikan beberapa kelas
pattern recognition receptors (PRR), seperti toll-like receptors (TLR), C-type lectin receptors,
nodlike receptors, dan RIG-I like receptor yang dapat mengenali komponen pathogen yang
spesifik.

Komponen dari cacing yang dikenali akan berikatan dengan PRR yang sesuai, kemudian
diterjemahkan oleh sel dendritic menjadi suatu stimulus untuk sel T. Stimulus tersebut
merupakan kaskade sinyal yang diawali dengan aktivasi mitogen activated protein kinase
(MAPK) dan nuclear factor-kB (NFkB) dan menginduksi ekspresi gen yang terlibat dalam
maturasi sel dendritik dan kemampuannya untuk mengarahkan respon sel T menuju respon
imun Th2. Hal ini akan mengawali respon sel T yang produktif. Stimulus sel T yang diterima
dari sel dendritic mencakup peptide MHC II (sinyal 1), ekspresi atau tidak adanya polarisasi
molekul kostimulator (sinyal 2) dan ekspresi atau tidak adanya polarisasi sitokin (sinyal 3).

Antigen dari parasit cacing, dalam hal ini digambarkan dengan antigen telur cacing, akan
dikenali oleh PRR pada sel dendritic. Kemudian akan teraktivasi kaskade sinyal, salah
satunya adalah sinyal untuk mengaktifkan NfkB1. NfkB1 merupakan faktor transkripsi yang
terdapat pada sitoplasma dengan diikat oleh protein inhibitor-kappaB (IkB). Sinyal aktivasi
akan menyebabkan IkB terfosforilasi dan didegradasi sehingga NF-kB dapat bertranslokasi
ke inti sel yang kemudian berperan dalam transkripsi berbagai gen respon imun yang
mendukung aktivasi respon imun Th2.
Alarmin IL-25 dan IL-33 akan menginduksi ampilifikasi sel helper innate yang juga disebut
dengan nuocyte atau natural helper. Sel ini kemudian akan melepaskan IL-13 yang kemudian
akan mendukung aktivasi imunitas tipe 2. IL-3 akan berikatan dengan reseptor IL-13 (IL-
13R) yang akan menginduksi respon pada beberapa tempat. Respon pertama adalah
hiperkontraktiitas pada otot polos saluran pencernaan. Respon kedua adalah hiperproliferasi
pada sel epitel usus. IL-13 akan meningkatkan turnover sel epitel usus sehingga
menghasilkan epithelial escalator dan menginduksi diferensiasi sel goblet. Sel goblet akan
memproduksi musin5AC (MUC5AC) dan protein anti nematoda resitin-
like moleculeβ (RELMβ). MUC5AC dan RELMβ akan menghambat kemampuan parasit
cacing dalam mengambil nutrisi dari tubuh penjamu

Respon lainnya adalah pembentukan IL5 dan alternatively activated macrophage


(AAM). IL-5 dan CC-Chemokine (CCL11) akan mendukung pembentukan eosinofil yang
diharapkan dapat mematikan parasit cacing. Hal ini dapat terjadi setelah eosinofil berikatan
dengan IgE yang menempel pada permukaan tubuh parasite cacing yang kemudian eosinofil
akan mengeluarkan granulanya yang dapat bersifat toksik.

AAM memiliki karakteristik yang berbeda dengan makrofag klasik. AAM dapat menekan
proliferasi sel lain apabila di kultur bersama. Pada tempat diproduksinya nitrat oksida, sel ini
akan meng-upregulasi ekspresi arginase, RELMα, dan dua protein baru, yakni YM1 dan
FIZZ1. YM1 telah diidentifikasi sebagai faktor kemotaktik eosinofil sehingga dapat
menjelaskan mengapa seringkali terdapat infiltrasi lokal eosinofil di sekitar AAM.
Karakteristik lain dari AAM adalah melemahkan produksi nitrit oksida (NO) dan
meningkatkan ekspresi reseptor transferrin. Hal ini mendukung pertumbuhan bakteri
intraseluler, diantaranya Mycobacterium Tuberculosis.

Diferensiasi Th0 menjadi Th2 akan menghasilkan IL4, IL3, dan IL9. IL4 kemudian akan
berikatan dengan reseptor IL4 (IL4R) sehingga menginduksi respons yang
mendukung pembentukan AAM dan produksi IL6 yang akan mendukung respon humoral
melalui aktivasi sel B yang akan menghasilkan imunoglobulinG1 (IgG1), IgG4,
IgE dan IgA. IgG1 berperan dalam mengurangi tingkat kesuburan parasite cacing.
Peningkatan IgE dalam sirkulasi darah sering ditemukan pada penjamu infeksi cacing usus.

IL3 dan IL9 akan menyebabkan amplifikasi efektor innate, diantaranya adalah sel mast yang
juga memiliki granul-granul untuk upaya eradikasi parasit cacing dari
tubuh pejamu. Selain sel mast, akan terjadi pula aktivasi pada sel basofil. Protease sel mast
akan mendegradasi tight junction pada lapisan sel epitel sehingga terdapat celah untuk
perpindahan cairan ke dalam usus. Hal ini akan mendukung terjadinya proses ‘weep and
sweep’. Penjelasan tersebut dapat dilihat pada gambar 1.

Terdapatnya MUC5AAC, RELMβ, dan IgG1 seharusnya akan mengurangi kemampuan


parasit cacing dalam bertahan di tubuh penjamu sehingga seharusnya akan menyebabkan
ekspulsi parasit tersebut. Akan tetapi, kenyataan bahwa penyakit ini seringkali terjadi secara
kronis menimbulkan perhatian bahwa masih ada faktor lain yang mendukung perjalanan
penyakit tersebut.

Infeksi parasit cacing ini juga mampu menginduksi populasi sel T yang supresif yang dikenal
sebagai sel T regulator (Treg). Sel ini dapat mengendalikan morbiditas dan melemahkan
resistensi pada reinfeksi melalui mekanisme regulator imun potennya. Beberapa jenis sel
Treg telah diketahui diantaranya adalah Treg natural, Tr1, dan Th3. Sel tersebut
mengekspresikan penanda, seperti Foxp3, CD25, CTLA-4, dan GITR, dan seringkali
menyekskresikan IL-10 dan/atau TGF-β. Treg memiliki peranan yang penting dalam
mengatur respon imun dan menjaga homeostasis pada beberapa keadaan penyakit termasuk
penyakit autoimun, inflamasi, kanker, dan infeksi mikroba. Treg mengatur imunitas melalui
mekanisme yang tergantung atau tidak tergantung sitokin. Sel Th3 membuat TGF-β, yang
menghambat perkembangan sel Th1 dan Th2. Sel Tr1 dapat mengatur imunitas melalui
mekanisme yang dipengaruhi oleh keberadaan IL-10 yang juga dapat menghambat respon
Th1 dan Th2.

Infeksi cacing usus telah dijelaskan akan menstimulus terbentuknya respon imun Th2 yang
kuat. Pembentukan respon imun Th2 ini aka menekan aktivasi respon imun Th1 melalui jalur
yang dideskripsikan pada gambar 1. Hal ini kan berhubungan dengan penurunan respon
tubuh pada keadaan infeksi mikroorganisme yang memerlukan respon imun Th1. Respon
imun Th1 diperlukan pada infeksi mikroorganisme intraseluler, seperti Mycobacterium
tuberculosis, Plasmodium sp, dan Human Immunodeficiency virus.

Hal tersebut mendukung beberapa penelitian yang memaparkan bahwa infeksi cacing dapat
menurunkan kemampuan pejamu dalam menimbulkan respon imun yang efektif terhadap
HIV dan tuberculosis. Terdapat pula pertimbangan bahwa salah satu kemungkinan penyebab
cepatnya perkembangan AIDS pada negara berkembang desebabkan karena adanya koinfeksi
cacing. Koinfeksi cacing juga dapat mengurangi kemanjuran vaksin. Imunogenitas yang
rendah dari vaksin tersebut karena pada penderita infeksi cacing usus terdapat peningkatan
produksi TGF-β

Akan tetapi, terdapat fakta lain bahwa pada negara maju yang telah terjadi
penurunan angka kejadian infeksi cacing usus, terjadi peningkatan prevalensi penyakit
autoimundan inflamasi, seperti inflammatory bowel disease dan multiple sclerosis. Oleh
karena itu, infeksi cacing usus perlu diperhatikan mengingat dampaknya terhadap
pola epidemiologi penyakit lain yang dapat berkonsekuensi pada tingkat kesehatan
yang rendah. Selain memperhatikan pengaruh negatifnya tersebut, perlu
juga dipelajariperanan parasit cacing atau produknya yang kemungkinan memiliki potensi
teurapeutik untukmengendalikan atau mencegah penyakit imunitas lainnya.
2. Obat antihelmintik dan antifungi (definisi, sistem kerja, dan pemakaian )
Obat-obat Antihelmintik :

a) Albendazol
Obat ini paling luas dipakai untuk pengendalian infeksi muktipel STH di masyarakat.
Albendazol pertama kali dipergunakan untuk terapi infeksi cacing pada manusia tahun 1982.
Albendazol kurang diabsorbsi di saluran cerna dan segera diubah menjadi metabolit aktif
sulfoksid dan sulfon. Sulfoksid menempel pada tubulin intraseluler sehingga menghambat
fungsi absorbsi parasit. Menurut WHO, obat ini dapat dipakai untuk wanita hamil mulai
trimester dua dan wanita menyususi serta anak-anak 12 bulan ke atas. Efek samping antara
lain nyeri epigstrium, sakit kepala, mual, muntah, pusing, konstipasi, gatal, dan mulut kering.
b) Mebendazol
Obat ini efektif untuk cacing dewasa maupun larva. Mebendazol menempel pada tubulin
nematode, menghambat pembentukan mikrotubulus, menghambat pembelahan sel, dan
uptake glukosa. Kadang-kadang mebendazol menstimulasi askaris keluar dari mulut atau
lubang hidung.
c) Tiabedazol
Tiabendazol sama efektifnya dengan albendazol dan mebendazol, namun pemakaiannya
sangat berkurang karena banyaknya efek samping (mual 33 %, gejala neuropsikiatri 25 %).
Tiabendazol oral maupun topical efektif untuk terapi cutaneous larva migrans (CLM) dan
visceral larva migrans (VLM). Dosis untuk CLM adalah 25 mg/kg/hari selama 2 hari dan
untuk VLM 25 mg/kg/hari selama 7 hari.
d) Pirantel Pamoat
Obat ini terikat pada reseptor asetilkolin parasite yang menyebabkan kelumpuhan cacing.
Penggunaan pada wanita hamil tidak dianjurkan. Efek samping bersifat ringan dan sementara,
antara lain dyspepsia, sakit kepala, pusing, mengantuk, insomnia, skin rash pirantel dan
piperazin bersifat antagonis sehingga tidak boleh diberikan bersamaan.
e) Levamisol
Obat ini memiliki cara kerja mirip pirantel yang menyebabkan paralisis spastik. Levamisole
efektif terhadap A. lumbricoides dan A. duodenale. Tidak dianjurkan diberikan pada
kehamilan trimester pertama.
f) Piperazin
Piperazin digunakan untuk terapi A. lumbricoides, khususnya bila terjadi obstruksi usus atau
biller. Dosis yang dianjurkan adalah 75mg/kg. pada E. vermicularis dosis yang
direkomedasikan adalah 50 mg/kg per hari selama 7 hari. Obat ini bekerja sebagai agonis
reseptor GABA ekstra-sinaptik yang menyebabkan masuknya klorida ke dalam otot cacing
dan kelumpuhan cacing. Keamanan pada kehamilan belum diketahui.
g) Ivermectin
Ivermectin adalah Suatu antiparasitik spectrum luas dan merupakan antibiotik semisintesis
yang berasal dari Streptomyces overmetilis. Obat ini bekerja pada saluran klorida
invertebrata yang menyebabkan paralisis otot, merupakan obat pilihan untuk strongyloidiasis,
CLM, onchocerciasis/river blindness (Onchocerca volvulus). Tidak diberikan pada wanita
hamil, laksasi, anak < 15 kg.
h) Nitazoxanid
Nitazoxanid merupakan obat anti-protozoa yang juga efektif terhadap STH. Obat ini berkerja
dengan menghambat pyrupate-ferredoxin oxidoreductase (PFOR) enzymedependent, yang
penting untuk metabolisme anaerobik. Dosis yang direkomendasikan adalah 100-400 mg per
hari dalam dosis terbagi selama 3 hari atau lebih.
i) Tribendimidin
Tribendimidin merupakan antihelmintik baru yang disintesis di cina tahun 1980-an.
Penelitian pendahuluan menunjukkan dosis tunggal tribendimidin efektif terhadap A.
lumbricoides, cacing tambang, E. Vermicularis, dan lebih superior daripada albendazol dalam
terapi cacing tambang dengan dosis tunggal 400 mg. efek samping adalah nyeri abdomen,
mual, muntah, diare.

3. Apakah infeksi cacing dapat terjadi berulang-ulang ? Jika iya, jelaskan mengapa ?

Iya, karena salah satu dari penyebab infeksi cacing berulang yaitu mengonsumsi obat cacing
yang tidak tuntas dan tidak teratur sehingga mengakibatkan antigen cacing menjadi resisten
terhadap obat tersebut. Selain itu, penyebab infeksi cacing berulang yaitu apabila
mengonsumsi obat cacing secara berlebih sehingga membuat sistem imun sebelumnya tidak
tuntas dalam pembersihan cacing tersebut. Kemudian infeksi obat cacing secara berulang
juga dapat terjadi dari antigen itu sendiri, dimana saat cacing dari paparan pertama dapat
bermutasi atau melapisi permukaan antigen dengan protein hospes / dapat mengeluarkan
ectoenzime yang dapat merombak antibodu hospes sehingga antibody dependent cell
cytotoxicity tidak terjadi sehingga cacing menjadi bebas / terhindar dari pertahanan tubuh
hospes. Dan dari sistem imun yang bila masa hidup limfosit memori mengingat antigen
cacing infeksi pertama telah habis, jika penderita terpapar kembali antigen tersebut maka
penderita akan terinfeksi kembali.

Daftar Pustaka
Mutiara, hanna. 2015. Imunitas Pada Infeksi Cacing Usus. Bandar lampung : FK
UNILA (diakses tanggal 03 agustus)

Katzung,BertramG,dkk. 2011.
Ksatzung_Basic_And_Clinical_Phanrmacology_12th_edition. Jakarta :Salemba
Medika (diakses tanggal 03 agustus)

Setiati,Siti. 2014. IPD_Papdi_Edisi_VI. Jakarta : Interna Publishing (diakses tanggal


03 agustus)

Anda mungkin juga menyukai