Anda di halaman 1dari 20

IMUNOMODULATOR, IMUNOSUPRESAN DAN IMUNOSTIMULAN 1.

PENDAHULUAN Imunosupresan adalah kelompok obat yang digunakan untuk menekan respon imun seperti pencegahan penolakan transplantasi, mengatasi penyakit autoimun dan mencegah hemolysis Rhesus pada neonates. Sebagian dari kelompok obat ini bersifat sitotoksik dan digunakan sebagai antikanker. Namun dalam bab ini hanya akan dibahas tentang pengguanaannya sebagai imunosupresan, dengan terlebih dahulu meninjau secara ringkas dasar-dasar imunologi.

1.1. RESPON IMUN Masuknya organisme atau benda asing ke dalam tubuh akan menimbulkan berbagai reaksi yang bertujuan menghancurkan atau menyingkirkan benda penggangu tersebut. Pada makhluk tingkat tinggi seperti hewan vertebrata dan manusia, terdapat dua sistem pertahanan (imunitas), yaitu imunitas nonspesifik (innate immunity) dan imunitas spesifik (adative immunity). Imunitas nonspesifik merupakan mekanisme pertahanan terdepan yang meliputi komponen fisik berupa keutuhan kulit dan mukosa; komponen biokimiawi seperti lambung, lisozim, komplemen; dan komponen seluler nonspesifik seperti netrofil dan makrofag. Netrofil dan makrofag melakukan fagositosis terhadap benda asing dan memproduksi berbagai mediator untuk menarik sel-sel inflamasi lain ke daerah infeksi. Selanjutnya benda asing akan dihancurkan dengan mekanisme inflamasi. Imunitas spesifik memiliki karakteristik khusus, antara lain kemampuannya untuk bereaksi secara spesifik dengan antigen tertentu; kemampuan membedakan antigen asing dengan antigen sendiri (nonself vs self), dan kemampuan untuk bereaksi lebih cepat dan lebih efisien terhadap antigen yang sudah dikenal sebelumnya. Respons imun spesifik ini terdiri dari dua sistem utama, yaitu imunitas seluler dan imunitas hormonal. Imunitas seluler melibatkan sel limfosit T, sedangkan imunitas humoral melibatkan limfosit B dan sel plasma yang berfungsi memproduksi antibodi. 1.2. AKTIVITAS REPONS IMUN SPESIFIK Aktifitas sistem imun spesifik memerlukan partisipasi kelompok sel yang disebut sebagai antigen presenting cell (APC), di antaranya sel makrofag, sel dendritik, sel

Langerhans, dan sel limposit B. Tahap paling awal aktivitas sistem imun adalah fagositosis/internalisasi antigen oleh sel APC, dilanjutkan dengan proses proteolisis menghasilkan peptide dengan 8-14 asam amino. Antigen yang sudah diolah ini selanjutnya digabungkan dengan protein khusus yang disebut MHC (major

histocompatibility complex). Kompleks antigen MHC ditampilkan dipermukaan sel APC untuk kemudian ditangkap oleh reseptor sel T (CD4). Terdapat dua kelompok MHC, yaitu MHC kelas I (HLA-A, B dan C) yang dapat dikenali oleh sel limposit T sitotoksik (CD8), dan MHC kelas II (HLA-DR, DP, dan DQ) yang dikenali oleh sel limfosit T Helper (CD4). Sel T Hepar (CD4) yang teraktivasi akan memproduksi berbagai sitokin, terutama interleukin-2 (IL-2) yang berperan mengaktifkan sel T-Helper 1 (TH-1) dan sel T-helper 2 (TH-2). TH1 menghasilkan interferon gama (IFN-), interleukin-2 (IL-2), dan tumor necrosis factor- (TNF-), yang nantinya akan mengaktifkan sel T sitotoksik (CD8), makrofag, dan sel natural killer (NK) untuk respon imunitas seluler. Sedangkan sel TH2 menghasilkan IL 4,5,6 dan 10, yang nantinya mengaktifkan sel B menjadi sel plasma penghasil antibody. Terdapat sistem umpan balik negative antara TH1 dan TH2. IL-10 yang dihasilkan TH2 memberi umpan balik negative untuk TH1 dengan cara menghambat ekpresi MHC II oleh sel APC, sedangkan IFN- yang dihasilkan TH1 memberi umpan balik negative untuk TH2. Sebagian sel B dan sel T yang sudah teraktivasi akan disimpan sebagai sel memori yang nantinya dikerahkan untuk respons sekunder. Respons terhadap antigen ekstrasel terjadi melalui kerja TH2 yang berakhir pada pembentukan antibodi netralisasi. Sebaliknya, respons terhadap organisme intrasel seperti mikrobakterium berkaitan dengan TH1 yang berakhir pada aktivitas sel makrofag. Sel T sitotoksik mengenal peptide yang disajikan oleh sel-sel yang terinfeksi virus. Sel NK dapat mengenal dan menghancurkan sel-sel tumor dan sel-sel yang terinfeksi. Kedua sistem tersebut mempunyai spesifisitas yang tinggi yang diarahkan pada epitope antigen yang terdapat pada mikroorganisme, transplan, sel kanker, atau sel autolog (autoiminutas). Komponen seluler yang terlibat dalam respons imun dapat dilihat

pada gambar 48-1. Berbagai sitokin diproduksi oleh sel-sel yang terlibat dalam respons imun dan menempati posisi penting dalam inisiasi dan regulasi respons imun. 1.3.INDIKASI IMUNOSUSPRESAN Imunosupresan digunakan untuk tiga indikasi utama yaitu, transplantasi organ, penyakit autoimun, dan pencegahan hemolysis Rhesus pada neonatus. TRANSPLANTASI ORGAN Imunosupresan sangan diperlukan untuk mencegah reaksi penolakan

transplantasi.pada awalnya obat yang digunakan adalah sitotoksik nonspesifik (azatiopirin dan siklofosfamid) dan kortikosteroid. Selanjutnya ditemukan siklosporin, takrolimus, dan yang lebih baru lagi, mikrofenolat mofetil. Obat sitotoksik nonspesifik menimbulkan efek imunosupresan dengancara menghambat proliferasi limfosit. Sayangnya, obat-obat ini juga menekan pertumbuhan sel-sel yang cepat berkembang seperti sumsum tulang dan mukosa saluran cerna. Hal ini menyebabkan efek samping seperti meningkatnya risiko infeksi dan supresi sumsum tulang. Penambahan kortikosteroid akan menambah risiko efek samping lainnya. Siklosporin dan takrolimus memiliki efek samping yang jauh lebih ringan dari imunosupresan jenis sitotoksik. Siklosporin sangat membantu meningkatkan keberhasilan transplatansi. Paduan obat yang sering di gunakan untuk transplantasi berbagai organ (ginjal, sumsum tukang, hati, jantung dan prankeas) menggunakan siklosporin dan prednison. Azatioprin juga digunakan sebagai kombinasi kedua obat diatas, terutama untuk transplantasi ginjal dan jantung. Untuk mengatasi penolakan jaringan akut umumnya digunakan immunoglobulin antilimfosit, immunoglobulin antitimosit, dan antibodi monokonal terhadap CD3 (muromonab CD3). Selain itu, antibody monoklonal juga digunakan dengan tujuan membersihkan sumsum tulang dari sel-sel ganas atau dari sel T yang menjadi penyebab penolakan transplantasi. PENCEGAHAN HEMOLISIS RHESUS PADA NEONATUS Eritroblastosis fetalis terjadi bila seorang ibu Rhesus negative mengandung bayi Rhesus positif. Darah bayi yang mengandung antigen D dapat masuk sirkulasi ibu pada waktu persalinan atau bila ada solusio plasenta, atau kehamilah ektopik. Proses ini akan menyebabkan ibu membentuk antibodi terhadap eritrosit Rh(+). Pada kehamilan

selanjutnya, antibodi terhadap Rh (+) akan semakin meningkat dengan risiko transfer antibody ke sirkulasi janin terutama pada trimester akhir dan menyebabkan hemolisis pada janin (eritroblastosis fetalis). Untuk pencegahan eritroblastosis fetalis, antibodi Rh(D) diberikan pada ibu Rh(-) dalam waktu 72 jam setelah melahirkan. MHC kelas I Sel alogenik Sel terinfeksi virus Sel ganas

Reseptor Sel T (CD8) sitokin

Sel T sitolitik (CD8)

MHC kelas II Sel dendritik Sel makrofag Sel B teraktivasi

Reseptor Sel T (CD8) sitokin

Sel T (CD4) hipersensitivitas tipe IV

Antigen protein

Reseptor IgG sel B

Sel plasma Antibodi

Gambar 48-1 komponen seluler yang terlibat dalam aktivitas respons imun

PENGOBATAN PENYAKIT AUTOIMUN Penyakit autoimun berkembang bila sistem imun mengalami sensitisasi oleh protein endogen dan menganggapnya seperti protein asing. Hal ini merangsang pembentukan antibody atau perkembangan sel T yang dapat bereaksi dengan antigen endogen ini. Efektivitas terapi imunosupresan bervariasi tergantung jenis penyakit, dan umumnya kurang efektif dibanding dengan pencegahan reaksi transplantasi atau pencegahan reaksi hemolitik Rhesus. Berbagai penyakit autoimun seperti ITP (idiopathic Thrombocytopenic purpura), anemia hemilitik autoimun, dan glomerulonefritis akut, umumnya memberi respons cukup baik terhadap pemberian prednisone saja. Untuk kasus berat diperlukan penambahan obat sitotoksik.

1.4.PRINSIP UMUM TERAPI IMUNOSUPRESAN Prinsip umum penggunaan imunosupresan untuk mencapai hasil terapi yang optimal adalah sebagai berikut : 1. Respon imun primer lebih mudah dikendalikan dan ditekan dibandingkan dengan respons imun sekunder. Tahap awal respons imun primer mencakup : pengolahan antigen oleh APC, sintesis limfokin, poliferasi dan diferensiasi sel-sel imun. Tahap ini merupakan yang paling sensitive terhadap obat imunosupresan. Sebaliknya, begitu terbentuk sel memori, maka efektivitas obat imunosupresan akan jauh berkurang. 2. Obat imunosupresan memberikan efek yang berbeda terhadap antigen yang berbeda. Dosis yang dibutuhkan untuk menekan respon imun terhadap suatu antigen berbeda dengan dosis untuk antigen lain. 3. Penghambatan respons imun lebih berhasil bila obat imunosupresan diberikan sebelum paparan terhadap antigen. Sayangnya, hamper semua penyakit autoimun baru bisa dikenal setelah autoimunitas berkembang, sehingga relatif sulit diatasi. 2. OBAT IMUNOSUPRESAN Tempat kerja obat imunosupresan. Gambar 48.2 memperlihatkan berbagai tahapan respons imun yang dapat dihambat oleh imunosupresan. Beberapa diantara obat ini memiliki efek yang relatif spesifik seperti antibodi muromonab CD3 (disebut juga OKT3), antitimosit glubolin atau anti CD4 yang menghambat proliferasi limfosit T, sedangkan yang lain bersifat nonspesifik seperti azatioprin, siklofosfamid, dan metotreksat, yang secara umum menghambat sel B dan sel T. Asam mikofenolat merupakan sitotoksik dengan efek spesifik menghambat sintesis purin. Obat ini secara langsung menghambat sel T dan sel B. OBAT-OBAT IMUNOSUPRESAN. Terdapat empat kelompok obat imunosupresan yang digunakan di klinik : a. Kortikosteroid b. Penghambat kalsineurin c. Sitotoksik, dan d. Antibodi 2.1.KORTOKOSTEROID Kortokosteroid (glukokortikoid) digunakan sebagai obat tunggal atau dalam kombinasi dengan imunosupresan lain untuk mencegah reaksi penolakan transplantasi

dan untuk mengatasi penyakit autoimun. Prednisone dan prednisolone merupakan glukokortikoid yang paling sering digunakan. Keterangan rinci tentang struktur jimia dan farmakokinetik glukokortikoid dapat dilihat dalam bab 32. Mekanisme kerja. Glukokortikoid dapat menurunkan jumlah limfosit secara cepat, terutama bila diberikan dalam dosis besar. Efek ini, yang berlangsung beberapa jam, diduga terjadi akibat redidtribusi limfosit. Setelah 24 jam jumlah limfosit dalam sirkulasi biasanya kembali ke nilai sebelumnya. Studi terbaru menunjukan bahwa kortokosteroid menghambat proliferasi sel limfosit T, imunitas seluler, dan ekspresi gen yang menyandi berbagai sitokin (IL-1, IL-2, IL-6, IFN- dan TFN-). Terdapat bukti bahwa gen sitokin memiliki glucocorticoid response element yang bila berkaitan dengan kortikosteroid akan menyebabkan hambatan transkipsi gen IL-2. Berbagai tahap respons imun yang dapat di hambat oleh kortikosteroid dapat dilihat pada gambar 48-2. Kortikosteroid juga memiliki efek antiinflamasi nonspesifik dan antiadhesi. PENGGUNAAN KLINIK. Kortikosteroid biasanya digunakan bersama imunosupresan lain dalam mencegah penolakan transplantasi. Untuk ini diperlukan dosis besar untuk beberapa hari. Kortikosteroid juga digunakan untuk mengurangi reaksi alergi yang bisa timbul pada pemberian antibodi monoclonal atau antibodi antilimfosit. Selain itu, kortikosteroid juga digunakan untuk berbagai penyakit autoimun. Toksisitas. Penggunaan kortikosteroid jangka panjang sering menimbulkan berbagai efek samping seperti meningkatnya resiko infeksi, ulkus lambung/ duodenum, hiperglikemia, dan osteoporosis. Keterangan rinci tentang efek samping kortikosteroid dapat dilihat pada bab 32. 2.2.PENGHAMBATAN KALSINEURIN : SIKLOSPORIN DAN TAKROLIMUS Mekanisme Kerja Siklosporin dan takrolimus memiliki struktur kimia yang berbeda, namun bekerja dengan mekanisme yang sama, yaitu menghambay kalsineurin. Didalam sitoplasma limfosit T (CD4), siklosporin berkaitan dengan siklofilin, sedangkan takrokimus dengan FK506-binding protein (FKBP). Ikatan ini selanjutnya menghambat fungsi kalsineurin. Kalsineurin adalah enzim fosfatase dependent kalsium dan memegang peranan kunci dalam defosfolirasi (aktivasi) protein regulator di sitosol, yaitu NFATc (nuclear factor of activated T cell). Setelah mengalami defosforilasi, NFATc ini

mengalami translokasi kedalam nucleus untuk mengaktifkan gen yang bertanggung jawab dalam sintesis sitokin, terutama IL-2 dan berbagai protoonkogen seperti c-myc dan H-Ras, serta reseptor sitokin tertentu seperti reseptor IL-2. Hambatan kalsineurin oleh siklosporin dan takrolimus akan menghambat transkipsi gen-gen tersebut.siklosporin juga mengurangi produksi IL-2 dengan cara meningkatkan ekspresi tumor grown factor- (TGF-) yang merupakan penghambat kuat aktivitas limfosit T oleh IL-2. Meningkatnya ekspresi TGF- diduga memegang peranan penting pada efek imunosupresan siklosporin. FARMAKOKINETIK, SEDIAAN DAN PASOLOGI SIKLOSPORIN (Sandimun). Sediaan IV terdapat dalam bentuk larutan dalam ethanolpolyoxyethylated castor oil dengan kadar 50 mg/ml, dan sediaan oral berupa kapsul lunak 25-100 mg dan larutan 100mg/mL untuk pemberian oral. Absorpsi oral lambat dan tidak lengkap, dengan bioavailabilitas 20-50%. Sediaan modifikasi dalam bentuk mikroemulsi menghasilkan absorpsi yang lebih baik. Sediaan IV dan sediaan oral bersifat tidak biekuivalen, sehingga penggantian dari sediaan IV ke sediaan oral harus dilakukan dengan perhitungan yang cermat. Pada pemberian peroral, kadar puncak tercapai setelah 1,3 sampai 4 jam. Adanya makanan berlemak sangat mengurangi absorpsi siklosporin kapsul lunak, tapi tidak siklosporin mikroemulsi siklosporin mengalami distribusi yang luas dengan volume distribusi 3-5 liter/Kg. dalam darah 50-60% siklosporin terakumulasi dalam eritrosit, dan 10-20% dalam leukosit, dan sisnya berada dalam plasma. Waktu paruh siklosporin kurang lebih 6 jam. Siklosporin mengalami metabolism dalam hati oleh sitokrom-P450 3A (CYP3A) menjadi lebih dari 30 macam metabolit. Hanya sekitar 0,1% yang di ekskresi dalam bentuk utuh ke urin. Sebagian dari metabolit masih bersifat imunosupresif dan diduga berperan dalam toksisitas. Ekskresi terutama melalui empedu dan feses; hanya sekitar 6% yang diekskresi melalui urin. Dalam keadaan gangguan fungsi hati, diperlukan penyesuaian dosis. TAKROLIMUS dapat diberikan IV dan peroral. Setelah pemberian IV selama 24 jam, kadar takrolimus mula-mula akan turun, selanjutnya takrolimus akan menunjukan waktu paruh yang cukup panjang, yaitu 11,7 jam pada pasien transplantasi hati dan 21,2 jam pada orang sehat. Data ini menunjukan adanya kinetika model dua kompartemen.

Pada pemberian oral, bioavailabilitas bervariasi antara 6% sampai 56%. Takrolimus sebagian besar mengalami metabolism di hati oleh sitokrom P-450, dan hanya 1% yang diekskresi utuh dalam urin. Dosis IV untuk dewasa adalah 25-50 mg/KgBB per hari dan pada anak 50-100 mg/KgBB per hari. Dosis oral berkisar antara 150-200 mg/KgBB per hari, dan pada anak 200-300 mg/KgBB per hari. INTERAKSI Siklosporin dan takrolimus berinteraksi dengan berbagai obat. Pemberian bersama fenobarbital, fenitoin, trimetoprim-sulfametoksazol, dan rifampisin, mempercepat eliminasi dan menurunkan kadar siklosporin, yang dapat berakibat penolakan transplantasi. Sebagian besar interaksi ini karena induksi enzim sitokrom P 450. Sebaliknya, klirens soklosporin menurun bila diberikan bersama amfoterisisn B, eritromisin, ketokonazol. Interaksi ini menimbulkan risiko toksisitas siklosporin. Oleh karena itu, penggunaan siklosporin dengan berbagai obat di atas, memerlukan monitor kadar siklosporin. PENGGUNAAN KLINIS SIKLOSPORIN sangat berperan meningkatkan keberhasilan transplantasi. Obat ini digunakan secara rutin bersama imunosupresan lain (paling sering dengan kortikosteroid) pada transplantasi ginjal, jantung, hati, sumsum tulang, paru, dan prankeas. Siklosporin di laporkan meningkatkan keberhasilan transplantasi ginjal dengan kesintasan (survival) 36 bulan mencapai 80%. Pemberian oral dimulai 4-24 jam sebelum transplantasi dengan dosis 15 mg/KgBB, satu kali sehari dilanjutkan 1 sampai 2 minggu pasca transplantasi. Selanjutnya dosis di turunkan tiap minggu sampai mencapai dosis pemeliharaan sebesar 3-10 mg/KgBB. Besarnya dosis disesuaikan berdasarkan adanya tanda-tanda gangguan fungsi ginjal berupa peningkatan kreatinin. Perlu perhatian khusus pada pasien transplantasi ginjal agar tidak salah membedakan antara reaksi penolakan dengan toksisitas siklosporin. Pada pasien yang tidak bisa mentoleransi siklosporin oral, dapat diberikan sediaan IV dengan dengan pemberian pelan selama 2-6 jam atau lebih. Dosis harian IV (baiasanya 5-6 mg/KgBB) hanya sepertiga dari dosis oral. Karena seringnya terjadi reaksi

terhadap vehikulum sediaan IV, pemberian IV harus segera dihentikan begitu pasien dapat menerima sediaan oral. Siklosporin juga bermanfaat pada beberapa penyakit autoimun seperti sindrom Behcet, uveitis endogen, psoriasis, dermatitis atopic, rematoid artritis, penyakit crohn, dan sindrom nefrotok. Siklosporin diberi jika terapi standar dengan kortikosteroid gagal. Dalam banyak kasus di atas, siklosporin di kombinasi dengan kortikosteroid. Selain itu, siklosporin juga diberi sebagai pengobatan lini pertama pada anemia aplastik yang tidak dapat dilakukan transplantasi sumsum tulang. Data terbaru menunjukann manfaat siklosporin pada sirosis bilier primer. Siklosporin diduga juga bermanfaat pada pioderma gangrenosun yang berat, polimiositis/dermatomiositis, dan asma berat yang tergantung steroid. TAKROLIMUS digunakan dengan indikasi yang sama dengan siklosporin, terutama untuk transplantasi hati, ginjal, dan jantung. Takrolimus kira-kira 100 kali lebih aktif dibandingkan siklosporin. Takrolimus juga tersedia dalam bentuk salep untuk pengobatan dermatitis atopic dan psoriasis. EFEK SAMPING SIKLOSPORIN. Efek samping utama siklosporin adalah gangguan fungsi ginjal yang dapat terjadi pada 75% pasien yang mendapat siklosporin. Gangguan fungsi ginjal juga sering menjadi factor utama penghentian pemberian siklosporin. Toksisitas lain meliputi hipertensi, hepatotoksisitas, neurotoksisitas, hirutisme, hyperplasia gingiva, dan toksisitas gastrointestinal (mual, muntah, diare, anoreksia dan sakit perut). TAKROLIMUS menunjukan toksisitas yang mirip dengan siklosporin. Nefrotoksisitas merupakan efek samping utama. Setelah itu dapat terjadi efek samping SSP (Sakit Kepala, tremor, insomnia), gastrointestinal (mual, diare), kardiovaskular (hipertensi), dan metabolic (hyperkalemia, hipomagnesemia, hiperglikemia). Efek jangka panjang sama dengan obat imunusupresan yang lain. SIROLIMUS KIMIA. Sirolimus (ripamisin) merupakan derivate Streptomyces hygroscopicus. Obat ini bekerja mirip dengan takrolimus, yaitu berikatan dengan imunofilin (FKBP-12). Komplek sirolimus-FKBP-12 tidak mempengaruhi kalsineurin, melainkan menghambat siklus sel dari G1 ke S. Sirolimus tidak menghambat produksi interleukin oleh sel CD4.

Tapi menghambat respons CD4 terhadap sitokin. Sirolimus juga menghambat proliferasi sel B dan produksi immunoglobulin; menghambat respons colony stimulating factor, dan menekan pemulihan hematopoetik setelah pemberian sitotoksik. PENGGUNAAN KLINIK. Sirolimus dapat digunakan secara tersendiri atau dalam kombinasi dengan imunosupresan lain dalam mencegah penolakan transplantasi. Sirolimus topical juga digunakan pada berbagai kelainan kulit, dan dalam kombinasi dengan siklosporin, pada kasus uveoretinitis. EFEK SAMPING. Meliputi imunosupresi yang kadang-kadang dapat berat (terutama trombositopenia). Dapat juga terjadi hepatotoksisitas, diare, hipertrigliseridemia, dan sakit kepala. 2.3.SITOTOKSIK Sebagian besar obat sitotoksik digunakan sebagai antikanker. Beberapa diantaranya digunakan sebagai imunosupresan untuk mencegah penolakan transplantasi dan pengobatan penyakit autoimun. Obat kelompok ini menghambat perkembangan sel limfosit B dan T. AZATIOPRIN (Imuran) MEKANISME KERJA. Azatioprin adalah antimetabolite golongan purin yang merupakan precursor 6-merkaptopurin. Azatioprin dalam tubuh diubah menjadi 6merkaptopurin (6-MP) yang merupakan metabolit aktif dan bekerja menghambat sintesis de novo purin. Yang terbentuk adalah Thio-GMP, kemudian Thio-GMP. Interaksi ThioGMP dalam DNA akan menyebabkan kerusakan DNA. FARMAKOKINETIK. Azatioprin mudah diabsorpsi melalui saluran cerna dan dimetabolisme menjadi 6-MP. Metabolism selanjutnya dilakukan oleh xantin oksidase menjadi 6-thiouric acid sebelum diekskresi melalui ginjal. Ekskresi terutama melalui urin, sebagian kecil dalam bentuk utuh dan yang lainnya dalam bentuk metabolit. INTERAKSI. Penggunaan bersama allopurinol menyebabkan hambatan xantin oksidase yang juga merupakan enzim penting dalam metabolism 6-merkaptopurin, sehingga kombinasi ini akan meningkatkan toksisitas azatioprin dan merkaptopurin. Bila kedua obat ini harus diberikan bersamaan, maka diperlukan pengurangan dosis azatioprin menjadi 65% sampai 75%.

PENGGUNAAN KLINIS. Azatioprin digunakan antara lain untuk mencegah penolakan transplantasi, lupus, nefritis, glomerulonephritis akut, artritis rematoid, penyakit chon dan sclerosis multiple. Obat ini kadang-kadang juga digunakan pada ITP (idiopatic thrombocytopenic purpura) dan hemolysis autoimun yang refrakter terhadap steroid. Untuk profilaksis digunakan dosis 3-10 mg/KgBB per hari, 1 atau 2 hari sebelum transplantasi. Dosis pemeliharaan 1-3 mg/KgBB per hari. Obat ini tersedia dalam bentuk tablet 50 mg dan sediaan IV 100 mg/vial. EFEK SAMPING. Seperti imunosupresan lain, azatioprin dapat menghambat proliferasi sel-sel yang cepat tumbuh seperti mukosa usus dan sumsum tulang dengan akibat leukopenia dan trombositopenia. Ruam kulit, demam obat, mual, muntah, dan diare juga dapat terjadi. Pernah dilaporkan hepatotoksisitas dengan peningkatan enzin transaminase, dan kolestasis. Efek samping lain adalah peningkatan risiko infeksi dan efek mutagenisitas dan karsinogenisitas. MIKOFENOLAT MOFETIL (Cellcept) Mikofenolat mofetil merupakan derivate semi sintetik dari asam mikofenolat yang diisolasi dari jamur Penicillium glaucum. Asam mikofenolat adalah penghambat kuat inosin monofosfat dehidrogenasi, suat enzim penting pada sintesis de novo purin. Limfosit B dan T tergantung pada enzim ini untuk sintesis purinnya sehingga obat ini menghambat aktivitas limfosit B dan T. limfosit yang tidak memiliki jalur alternatif untuk sintesis purin lebih sensitif terhadap obat ini dibandingkan sel-sel lain. Mikrofenolat mofetil menekan proferasi limfosit dan pembentukan antibody oleh sel B.obat ini juga menghambat migrasi lekosit ke tempat inflamasi. Pada hewan percobaan, obat ini terbukti efektif menghambat penolakan transplantasi, memperpanjang penerimaan transplantasi, dengan menggurangi penolakan akut dan kronik. FARMAKOKINETIK. Mikofenolat mofetil diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian obat peroral dan dohidrolisis menjadi asam mikofenolat yang merupakan komponen aktif. Asam mikrofenolat dimetabolisme terutama oleh glukoronil transferase menjadi inaktif. Sebagian besar obat (90%) diekskresi dalam bentuk mikrofebolat-glukoronat. Bioavaibilitas oral mencapai 94% dengan volume distribusi 4 1,2 liter/Kg, 95% terikat pada albumin plasma.

INTERAKSI. Pemberian mikofenolat mofetil bersama antacid yang mengandung alumunium hidroksida dan magnesium akan menurunkan absorpsi. Obat ini tidak mempengaruhi farmakokinetik siklosporin juga tidak terdapat interaksi signifikan dengan trimethoprim/ sulfametoksazol, kontrasepsi oral, asiklovir dan gansiklovir. Tapi pada gangguan fungsi ginjal bisa terjadi kompetisi antara asam mikofenolat dengan asiklovir dan gansiklovir dalam proses sekresi tubulus. PENGGUNAAN KLINIS. Mikofenolat mofenil digunakan untuk mencegah penolakan transplantasi ginjal. Penggunaan untuk transplantasi organ lain masih dalam penelitian. Obat ini diberikan dalam waktu 72 jam setelah transplantasi dengan dosis anjuran 1 g dua kali sehari dalam kombinasi dengan siklosporin dan kortikosteroid. Pemberian dosis lebih tinggi tidak memberi hasil lebih baik, dan profil keamanan lebih baik pada pemberian 2 g disbanding 3 g per hari. Mokofenolat mofetil dalam kombinasi dengan prednisone digunakan pada transplantasi organ, sebagai alternative dari siklosporin dan takrolimus, bila pasien tidak toleran terhadap obat terakhir ini. Obat ini juga digunakan untuk mengatasi penyakit graft vs host yang refrakter terhadap steroid, juga digunakan setelah transplantasi stem sel. Indikasi lain antara lain lupus nefritis, artritis rematoid, dan berbagai kelainan dermatologis. EFEK SAMPING DAN SEDIAAN. Efek samping meliputi gangguan gastrointestinal (mual, muntah, diare, sakit perut), dan mielosuspresi (terutama neutropenia). Tersedia dalam bentuk kapsul 250 mg, tablet 500 mg, dan bubuk 500 mg untuk injeksi. SIKLOFOSFAMID Siklofosfamid merupakan alkilator golongan mustar nitrogen yang menyebabkan alkilasi pada DNA sehingga menghambat sintesis dan fungsi DNA. Sel B dan T samasama di hambat oleh siklofosfamid walaupun toksisitas lebih besar pada sel B. oleh karena itu, efek obat ini lebih nyata pada penekanan imunitas hormoral. Pemberian dosis sangat besar dapat menyebabkan toleransi terhadap antigen baru. Efek terhadap imunitas seluler bervariasi. Sebagian dihambat, sebagian mrngalami perangsangan. Di dalam tubuh siklofosfamid diaktifkan oleh enzim mikrosom hati. Oleh karena itu, penggunaan obat ini bersama obat lain yang mempengaruhi enzim ini, seperti fenobarbital dan glukokortikoid, memerlukan penyesuaian dosis untuk masing-masing obat yang berinteraksi.

PENGGUNAAN KLINIK. Siklofosfamid dosis besar digunakan sebagai antikanker. Pada dosis yang lebih kecil digunakan untuk pengobatan penyakit autoimun seperti SLE, granulomatosis Wegener, ITP, artritis rematoid dan sindrom nefrotik. Pemberian siklofosfamid dapat mempertahankan remisi yang dihasilkan kortikosteroid, bahkan juga setelah kedua obat ini dihentikan. Hasil terapi pada sindrom nefrotik lebih memuaskan daripada artritis rematoid. Manfaat siklofosfamid jelas pada granulomatosis Wegener, suatu prnyakit yang cepat fatal dan kuranf responsive terhadap kortikosteroid. TOKSISITAS. Pemberian dosis besar dikaitkan dengan efek samping sistitis hemoragik, kardiotoksisitas, dan pansitopenia berat. Keterangan lebih rinci tentang efek samping siklofosfamid dapat dilihat dalam bab 47. DOSIS DAN SEDIAAN. Dosis berkisar antara 1,5-3 mh/KgBB per hari. Pada artritis rematoid, respons klinis niasanya diperoleh bersamaan dengan timbulnya leukopenia (2500-4000/L). Tersedia dalam bentuk tablet 25 dan 50 mg, larutan untuk injeksi IV 100 mg/vial 200 cc,dari vial 1 dan 2 g, bubuk 100, 200, dan 500 mg. Obat sitotoksik lain yang juga digunakan sebagai imunosupresan antara lain metotreksat, klorambusil, vinkristin, vinblastine, dan daktinomisin. Di atara obat ini, hanya metotreksat yang dipakai secara luas sebagai imunosupresan. MOTOTREKSAT MEKANISME KERJA. Obat ini bekerja dengan cara menghambat enzim dihidrofolat reduktase, sehingga menghambat sintesis timidilat dan purin. Obat ini menunjukan hambatan replikasi dan fungsi sel T dan mungkin juga sel B karena adanya efek hambatan sintesis DNA. Obat ini bekerja spesifik pada fase S siklus sel. Pada pasien leukemia yang menerima transplantasi sumsum tulang, kambuhnya leukemia lebih jarang bila diberi metotreksat dibandingkan pemberian siklosporin. Ini mungkin karena efek antileukemik intrinsic dari metotreksat. PENGGUNAAN KLINIK. Metotreksat merupakan obat antikanker yang digunakan sebagai obat tunggal atau kombinasi dengan siklosporin untuk mencegah penolakan transplantasi. Obat ini juga berguna untuk mengatasi penyakit autoimun dan merupakan lini kedua pada pengobatan artritis rematoid, dan psoriasis yang reftakter terhadap terapi standar. Untuk artritis rematoid digunakan dosis 7,5 mg sekali seminggu yang dapat

diberikan dalam dosis tunggal atau terbagi. Dosis ini dapat ditingkatkan sampai maksimum 20 mg per minggu. Untuk psoriasis dapat diberikan dosis yang sama. Sebagai antikanker, metotreksat merupakan obat terpilih pada neoplasma trofoblastik, dan juga berguna pada limfoma Burkitt stadium I dan II. EFEK SAMPING DAN KONTRAINDIKASI. Pada pemberian jangka panjang dosis rendah seperti pada osoriasis, dilaporkan terjadinya sirosis dan fibrosis hati pada 30-40% pasien. Sedangkan pada pengobatan artritis rematoid kejadiannya lebih rendah. Toksisitas meningkat dengan pemberian bahan yang bersifat hepatotoksis, seperti alcohol. Pneumonitis akut dan kronik juga dapat terjadi pada artritis rematoid, sedangkan pada psoriasis kejadiannya lebih jarang. Mekanisme perbedaan efek toksik ini belum diketahui dengan pasti, dan umumnya bersifat reversible. Obat ini dikontraindikasikan pada wanita hamil dan menyusui. SEDIAAN. Metotreksat tersedia dalam bentuk tablet 2,2 mg. 2.4.ANTIBODI Antibodi poliklonal dan monoklonal terhadap antigen yang ada dipermukaan limfosit digunakan secara luas untuk mencegah penolakan transplantasi dan pada berbagai penyakit autoimun. Antibodi poliklonal dihasilkan dengan cara injeksi berulang sel timfosit (menghasilkan antithymocyte globulin, ATG) atau limfosit (menghasilkan antilymphocyte globulin, ALG) pada hewan seperti kuda, kelinci, domba, kambing. Antibodi poliklonal sangat efektif, namun efektivitas dan toksisitasnya sangat bervariasi dari satu batch ke batch yang lain. Dengan cara hibridoma dapat dihasilkan antibody monoklonal yang lebih spesifik untuk antigen tertentu. Teknik ini dapat mengatasi masalah variabilitas efek seperti pada antibody poliklonal, namun spectrum penggunaannya lebih terbatas. ANTIBODI POLIKLONAL Antithymocyte globulin (ATG) merupakan antibody poliklonal yang dapat berikatan pada berbagai molekul permukaan limfosit T (CD2, CD3, CD4, CD8, CD11a CD18, CD25, CD44, CD45), dan molekul HLA kelas I dan II. Efek utama ATG adalah mengurangi jumlah limfosit karena efek sitotoksik langsung, menghambat fungsi limfosit dan menekan respons imun sel T. ATG umumnya digunakan untuk mengobati reaksi

penolakan transplantasi ginjal, jantung atau organ lain. Juga di gunakan sebagai profilaksis sebekum transplantasi. Dosis untuk transplantasi adalah 1,5 mg/KgBB/ hari (dalam infus 4-6 jam) selama 7-14 hari. Jumlah sel T biasanya mulai turun pada hari kedua. Efek samping yang relative sering adalah serum sickness dan nefritis. Efek samping lain meliputi deman, menggigil, leukopenia, trombositopenia, dan ruam kulit kadang-kadang bias terjadi reaksi anafilaksis. ATG tersedia dalam sediaan 25 mg/vial untuk suntikan IV. Biasanya diberikan melalui vena sentral dengan dosis 10-20 mg/KgBB. Waktu paruh lebih kurang 3-9 hari. Immunoglobulin inttravena (IGIV). IGIV merupakan immunoglobulin yang berasal dari darah donor dengan titer antibody yang tinggi terhadap antigen tertentu seperti virus dan toksin. Diharapkan jumpulan berbagai antibody ini memiliki efek netralisasi terhadap sistem imun pasien. IGIV dosis besar (2 g/KgBB) terbukti efektif untuk berbagai keadaan seperti asma dan penyakit imun lainnya. Pada penyakit Kawasaki, IGIV terbukti aman dan efektif, mengurangi inflamasi sistemik dan dapat mencegah aneurisma arteri coroner. IGIV juga efektif pada SLE dan ITP yang refrakter terhadap kortikosteroid. Mekanisme kerjanya diduga berdasarkan pengurangan jumlah sel T helper, peningkatan jumlah sel T suspresor, dan mengurangi produksi immunoglobulin. Walaupun mekanisme kerjanya belum pasti, tapi obat ini terbukti efektif pada berbagai kondisi klinis. IGIV tersedia untuk pengobatan respiratory sinctitial virus, sitomegaiovirus, varisella zoster, human herpes virus 3, hepatitis B, rabies dan tetanus. Tersedia dalam larutan 5 dan 10% , dan bubuk 2,5 g, 5g, 10g dan 12g untuk injeksi. ANTIBODI MONOKLONAL Anti CD3 (muromonab CD3, atau OKT 3). Antibody spesifik terhadap antigen CD3 di permukaan sel limfosit T sudah digunakan sejak tahun 1980-1n pada transplantasi organ, dan terbukti sangat efektif. Muromonab CD3 berikatan dengan molekul CD3, yaitu komponen reseptor sel T yang berperan pada fase pengenalan antigen. Oleh karena itu, obat ini bekerja pada fase yang sangat dini dari respons imun. Pemberian muromonab CD3 mencegah pengenalan antigen.

Efek yang terlihat adalah delepsi sel T secara cepat dari sirkulasi dan organ limfoid yang agaknya merupakan efek dari kematian sel T akibat aktivitas komplemen dan juga akibat redistribusi sel T ke jaringan nonlimfoid seperti paru-paru, dan endotelium vascular. Sel T yang muncul selanjutnya tidak memilki molekul CD3 dan antigen recognition site. Efek ini mencegah penolakan transplantasi. Muromonab CD3 juga berikatan dengan limfosit T dan menurunkan fungsi sel T yang masih tersisa, seperti terlihat dari berkurangnya produksi IL-2 dan berbagai sitokin lain, kecuali mungkin IL-4 dan IL-10. Penggunaan klinis. Antibody ini digunakan pada transplantasi ginjal, hati dan jantung. Selain iti juga digunakan untuk mengurangu jumlah set T sebelum transplantasi sumsum tolang. Dosis yang dianjurkan adalah 5 mg/hari, IV. Dalam dosis tunggal, selama 10-14 hari. Efek samping yang memungkinkan terjadi antara lain cytokine release syndrome, yang dapat terjadi pada dosis awal dan bervariasi mulai dari flu like syndrome sampai syok berat yang mengancam nyawa. Efek samping ini berkaitan dengan peningkatan kadar sitokon dalam seru, (TFN-, IL-2, IL-6, dan IFN-) yang di hasilkan oleh sel T dan monosit yang beraktivasi. Risiko ini dapat dikurangi dengan pemberian kortikosteroid 14 jam sebelumnya. Efek samping SSP meliputi rasa pusing, kejang, ensafalopati, edema serebral, meningitis aseptic, dan sakit kepala. Efek rebound berupa penolakan transplantasi dapat terjadi setelah penghentian Morumonab CD3. Antibody anti-CD3 generasi terbaru dihasilkan dengan cara humanisasi antibody, artinya penggabungan antibody yang diproduksi dari hewan dengan fraksi Fc dari immunoglobulin manusia. Cara ini mengurangi resiko cytokine release syndrome. Obat ini tersedia dalam ampul 5mg/5mL. Rh0 (D) Immune Globulin. Rh (D) immune Globulin (RHOGAM, GAMULIN) merupakan antibody spesifik terhadap antigen Rhesus di permukaan eritrosit. Data farmakokinetik antibody ini belum lengkap; waktu paruh diperkirakan 21-29 hari dan pemberian secara IM. Rh0 (D) immune globulin digunakan pada ibu Rhesus negative untuk mencegah sensitisasi terhadap antigen Rhesus yang berasal dari janin.

ANTIBODI MONOKLONAL LAIN. Saat ini terdapat berbagai antibody monoclonal spesifik terhadap antigen tertentu antara lain : Transtuzumab. Antibodi spesifik terhadap reseptor EGF (HER-2ineu receptor) yang digunakan pada kanker payudara metastatic pada pasien dengan ekspresi HER-2/neu berlebih. Rituksimab. Merupakan antibodi monoclonal (IgG1) yang mengikat CD20 sel normal dan sel limfosit B ganas. Obat ini digunakan untuk limfoma non hidgkin derajat rendah atau jenis folikuler yang relaps atau refrakter terhadap pengobatan. Daklizumab dan Basiliksimab. Merupakan IgG1 yang spesifik terhadap CD25 (subunit alfa dari IL-2) dan berfungsi menghambat ikatan IL-2 pada limfosit yang teraktivasi, sehingga secara keseluruhan menghasilkan efek imunosupresi. Absiksimab adalah fragmen Fab yang berfungsi mengikat reseptor GPIIb/IIIa pada permukaan trombosit. Obat ini menghambat ikatan fibrinogen dan faktor von Willerbrand dengan trombosit sehingga menghambat agregasi trombosit. Infliksimab (etanercept) dan adalimimab, mempunyai efek mengikat TFN- dan menghambat aktivitas sitokin lain seperti IL-1, IL6, dan molekul-molekul adhesi yang berperan pada migrasi dan aktivitas leukosit. Etenercept digunakan untuk pengobatan artritis rematoid dan artritis psoriatic, dan dapat digunakan dalam kombinasi dengan metotreksat. 3. IMUNOSTIMULAN Imunostimulan ditunjukan untuk perbaikan fungsi imun pada kondisi-kondisi imunosupresi. Kelompok obat ini dapat mempengaruhi respin imun seluler maupun hormoral. Kelemahan obat ini adalah efeknys yang menyeluruh dan tidak bersifat spesifik untuk jenis sel atau antibody tertentu. Selain itu , efeknya umumnya lemah. Indikasi penggunaan imunostimulan antara lain AIDS, infeksi kronik, dan keganasan, terutama yang melibatkan sistem limfatik. 3.1.ADJUVAN NATURAL Bacillus Calmette-guerin (BCG). BCG dan komponen aktifnya (dipeptide muramil) merupakan produk bakteri yang memiliki efek imunostimulan. BCG mengandung Mycobacterium bovis yang dilemahkan. Saat ini tersedia tiga bentuk sediaan BCG, yaitu live unlyophilized, live lyophilized, dan killedlyophilized. Pemberian dapat

secara intradermal, intravena, intralesi, intavesika, atau secara oral atau dengan goresan. BCG terutama berefek pada sel T, dan juga pada sel NK. Walaupun sudah dicoba untuk berbagai neoplasma, efek yang cukup nyata terlihat pada kanker kandung kemih dengan pemberian intravesika. Efek samping meliputi reaksi hipersensitivitas, syok, menggigil, lesu dan penyakit kompleks imun. Isoprinosin (inosipleks). Isoprinosin memiliki efek imunomodulator pada berbagai studi praklinik dan klinik. Oat ini mengingkatkan fungsi sel NK dan fungsi sel T dan monosit. Obat ini disetujui penggunaannya untuk berbagai penyakit imunodefisiensi di beberapa Negara eropa, tapi tidak di amerika. Berbagai derivate sintetiknya sedang dalam penyelidikan untuk AIDS dan berbagai neoplasma. Obat ini di laporkan mengurangi risiko infeksi pada HIV tahap lanjut. Namun, bukti klinik yang meyakinkan sangat langka. Obat ini tidak aktif pada tahap awal HIV, dan penggunaanya untuk bertujuan ini belum disetujui. Levamisol. Levamisol merupakan obat yang tadinya dugunakan untuk membasmi berbagai jenis cacing. Studi selanjutnya membuktikan bhwa levamisol memiliki efek imunostimulan pada hewan coba dan manusia karena kemampuannya meningkatkan imunitas seluler. Pada penyakit hidgokin, levamisol dilaporkan dapat meningkatkan jumlah sel T in vitro dan memperbaiki reaktivitas tes kulit. Levamisol juga sudah di gunakan pada artritis rematoid, dan sebagai adjuvant pada terapi kanker kolorektal, dan terlihat adanya efek potensial terhadap fluorourasil (5-FU). Pada pemberian oral obat ini di absorpsi dengan cepat dan lengkap dengan kadar puncak 1-2 jam setelah pemberian. Obat ini didistribusikan luas ke berbagai jaringan dan dimetabolisme oleh hati. Metabolitnya diduga berperan dalam efek imunostimulan. Waktu paru levamisol kira-kira 4 jam, sedangkan waktu paruh metabolitnya 16 jam. Efek samping antara flu-like syndrome dan agranulositosis yang kadang-kadang memerlukan penghentian obat. Tersedia dalam bentuk tablet 25,40, dan 50 mg. Talidomid. Talidomid pada awalnya digunakan sebagai sedative pada wanita hamil, namun karena banyaknya kejadian fekomelia berkaitan dengan obat ini, maka pemakaiannya pada wanita hamil dilarang. Belakangan peranan talidomid di evaluasi lagi karena memiliki efek imunosupresan. Sekarang ini talidomid digunakan pada

transplatansi sumsum tulang dan untuk mengatasi reaksi eritema nodosum. Obat ini tersedia dalam bentuk kapsul 50 mg. Leflunomid (Arava). Leflunomid merupakan pro drug yanga dalam tubuh diubah menjadi metabolit aktif dan bekerja menghambat primidin sintetase. Obat ini aktif pada pemberian per oral dengan waktu paruh beberapa minggu. Oleh karena itu, obat ini diberikan dengan dosis muat (loading dose) sampai tercapai kadar mantap, selanjutnya diberikan dengan dosis sekali sehari. Penggunaan nya masih terbatas untuk artritis rematoid. Efek samping meliputi peningkatan enzim hati, gangguan fungsi ginjal dan efek teratogenik. Pernah dilaporkan adanya efek samping kardiovaskular berupa angina dan takikardia. Obat ini tersedia dalam bentuk tablet 10, 20, dan 100 mg, dan dikontraindikasikan pada kehamilan. 3.2.SITOKIN Sitokin merupakan kelompok protein yang diproduksi oleh leukosit dan sel-sel berkaitan, dan memiliki peranan khusus dalam sistem imun dan hematopoiesis. Sitokin yang sering digunakan di klinik antara lain IL_2, dan colony stimulating factor (CSF). Inertleukin-2. IL-2 disebut juga T cell growth factor karena kemampuannya merangsang produksi sel T helper dan sel T sitotoksik. Sekarang ini tersedia dalam bentuk rekombinan. IL-2 berikatan dengan reseptor di permukaan sel-sel yang berfungsi mengaktifkan proliferasi dan diferensiasi sel T helper dan T sitotoksik. Selain itu, juga merangsang proliferasi dan diferensiasi sel B, makrofag dan meningkatkan toksisitas sel NK. IL-2 digunakan secara IV atau infus kontinyu, SK, dan IM. Data farmakokinetik saati ini belum lengkap. Aktivitas antitumor IL-2 terlihat pada jenis melanoma metastatik dan karsinoma sel ginjal. Efek samping IL-2 antara lain hipotensi berat dan toksisitas kardiovaskular. Edema paru yang berkaitan dengan dosis dapat terjadi akibat sindrom rembesan kapiler. Pada ginjal dapat meningkatkan kreatinin, dan pada sistem hematologi menimbulkan somnolen atau delirium. Dapat juga terjadi peradangan pada kulit terutama setelah pemberian subkutan.

Interferon. Interferon (IFN) merupakan protein terdiri dari tiga kelompok : IFN-, IFN-, dan IFN-. IFN- dan IFN- merupakan family IFN tipe I yang bersifat tahan asam dan bekerja pada reseptor yang sama. IFN tipe I biasanya diinduksi oleh infeksi virus. Leukosit memproduksi IFN-, fibroblast dan sel epitel memproduksi IFN-. IFN- merupakan IFN tipe II yang tidak tahan asam dan bekerja pada reseptor yang berbeda. IFN- biasanya dihasilkan oleh limfosit T. IFN menimbulkan efek yang bervariasi tergantung dari jenis IFN dan sel targetnya. IFN, terutama IFN-, memiliki sifat meningkatkan respons imun yang meliputi presentasi antigen, dan aktivitas makrofag, sel NK, dan limfosit T sitotoksik. IFN juga menghambat proliferasi sel. Dalam hal ini IFN- dan IFN- lebih poten dari pada IFN-, efek lain dai IFN adalah meningkatkan ekspresi, MHC di permukaan sel. Ketiga jenis IFN merangsang ekskresi MHC I, tapi hanya IFN- yang merangsang ekspresi MHC II. Di dalam sel gila, IFN- menghambat efek ini, dan dapat menekan penyajian antigen oleh sel dalam sistem saraf. Dalam klinik, IFN digunakan pada berbagai kanker seperti melanoma, karsinoma sel ginjal, leukemia mielositikkronik, hairy cell leukemia, dan kaposis sarcoma. IFN dalam kombinasi dengan ribavirin digunakan pada hepatitis C. Penelitian tentang efek IFN- pada multiple sclerosis memberi harapan adany perbaikan. Efek samping IFN meliputi demam, mengigil, lesu, mielosupresi, sakit kepala dan depresi. Colony stimulating factors (CFS). Granulocyte colony stimulating factors (G-CFS), seperti filgrastim dan levograstim telah disetujui penggunaannya untuk mencegah neutropenia akibat kemotrapi kanker. Granulocyte-macrophage colony stimulating factors (GM-CSF) digunakan untuk penyelamatan kegagalan transplantasi sumsum tulang dan untuk mempercepat pemulihan setelah transplantadi sumsum tulang autolog. Sitokin lain, IL dan IFN- merupakan yang paling banyak digunakan dalam terapi.

Anda mungkin juga menyukai