Anda di halaman 1dari 38

LI. 1 Memahami dan menjelaskan autoimunitas LO 1.

1 Memahami dan menjelaskan definisi autoimunitas Autoimunitas adalah respons imun terhadap antigen jaringan sendiri yang disebabkan oleh mekanisme normal yang gagal berperan untuk mempertahankan self-tolerance sel B, sel T atau keduanya. Penyakit autoimun adalah kerusakan jaringan atau gangguan fungsi fisiologis yang ditimbulkan oleh respon autoimun. Penyakit-penyakit autoimun secara khas mencirikan peradangan dari beragam jaringan-jaringan tubuh. Dapat disertai penyakit atau penyakit yg ditimbulkan mekanisme lain (seperti infeksi). Penyakit autoimun ini berkaitan dengan sistem antibodi yang berlebihan dalam tubuh, dimana jaringan tubuh dianggap sebagai Benda Asing. LO 1.2 Memahami dan menjelaskan klasifikasi autoimunitas Penyakit Autoimun Organ Spesifik Contoh alat tubuh yang menjadi sasaran penyakit autoimun adalah kelenjar tiroid, kelenjar adrenal, lambung, dan pancreas. Pada penyakit-penyakit tersebut dibentuk antibody terhadap jaringan alat tubuh. Hal yang menarik perhatian adalah adanya antibody yang tumpang tindih (overlapping), misalnya antibody terhadap kelenjar tiroid dan antibody terhadap lambung sering ditemukan pada satu penderita. Kedua antibody tersebut jarang ditemukan bersamaan dengan antibody yang non-organ spesifik seperti antibody terhadap komponen nucleus dan nucleoprotein. Contoh : Anemia pernisiosa, pemfigoid bulosa (salah satu penyakit kulit melepuh), tiroiditis hashimoto, miksedem primer, tirotoksikosis, penyakit Addison, dll. Penyakit Autoimun Non-Organ Spesifik Penyakit autoimun yang non-organ spesifik terjadi karena dibentuknya antibody terhadap autoantigen yang tersebar luas di dalam tubuh, misalnya DNA. Pada penyakit autoimun non-organ spesifik, sering juga dibentuk kompleks imun yang dapat diendapkan pada dinding pembuluh darah, kulit, sendi, dan ginjal, serta menimbulkan kerusakan pada alat tersebut. Contoh : Artritis rheumatoid, SLE, LE discoid, scleroderma, Dermatomiositis, dll. LO 1.3 Memahami dan menjelaskan etiologi autoimunitas Kegagalan toleransi, diantaranya adalah : Kegagalan induksi kematian sel Kegagalan sel anergi Aktifasi secara langsung sel B tanpa bantuan sel limfosit Kegagalan sel limfosit suppression Molecular mimicry(menyerupai) Aktifasi limfosit secara polyclonal Faktor genetik Infeksi oleh mikroorganisme

LO 1.4 Memahami dan menjelaskan mekanisme autoimunitas Beberapa mekanisme dianggap operatif dalam patogenesis penyakit autoimun, dengan latar belakang kecenderungan genetik dan modulasi lingkungan. Hal ini di luar cakupan artikel ini membahas masing-masing dari mekanisme ini secara mendalam, tapi ringkasan dari beberapa mekanisme penting telah dijelaskan:

T-Cell Bypass Sistem kekebalan tubuh yang normal memerlukan aktivasi sel-B dengan T-sel sebelum mantan dapat menghasilkan antibodi dalam jumlah besar. Kebutuhan sel-T ini bisa di bypass dengan kasus yang jarang terjadi, seperti infeksi oleh organisme memproduksi super antigen , yang mampu memulai aktivasi poliklonal sel-B, atau bahkan T-sel, dengan langsung mengikat - subunit T-sel reseptor dalam mode non-spesifik. T-Cell-B-Cell discordance Sebuah respon imun normal diasumsikan melibatkan B dan respon sel T terhadap antigen yang sama, bahkan jika kita tahu bahwa sel B dan sel T mengenali hal yang sangat berbeda: konformasi pada permukaan molekul untuk sel B dan pra-olahan fragmen peptida protein untuk sel T. Namun, tidak ada sejauh kita tahu bahwa membutuhkan ini. Semua yang diperlukan adalah bahwa sel B mengenali antigen X endocytoses dan proses protein Y (biasanya = X) dan menyajikan itu ke sel T. Roosnek dan Lanzavecchia menunjukkan bahwa sel B mengenali IgGFc bisa mendapatkan bantuan dari setiap sel T menanggapi antigen coendocytosed dengan IgG oleh sel B sebagai bagian dari kompleks imun. Pada penyakit celiac nampaknya sel B mengenali transglutamine jaringan dibantu oleh sel T mengenali gliadin. Aberrant B cell receptor-mediated feedback Sebuah fitur penyakit autoimun manusia adalah bahwa hal itu sebagian besar terbatas pada sekelompok kecil antigen, beberapa di antaranya telah dikenal peran sinyal dalam respon imun (DNA, C1q, IgGFc, Ro, Con A. reseptor, Kacang Tanah agglutinin reseptor (PNAR)). Fakta ini memunculkan gagasan bahwa autoimun spontan dapat terjadi bila pengikatan antibodi terhadap antigen tertentu dapat sinyal menyimpang yang makan kembali ke induk sel B melalui ligan terikat membran. Ligan termasuk reseptor sel B (untuk antigen), Fc IgG reseptor, CD21, yang mengikat komplemen C3d, Pulsa seperti reseptor 9 dan 7 (yang dapat mengikat DNA dan nucleoproteins) dan PNAR. Aktivasi menyimpang tidak langsung sel B juga bisa dipertimbangkan dengan autoantibodies untuk reseptor asetil kolin (pada sel myoid thymus) dan hormon dan protein hormon mengikat. Bersama dengan konsep T-sel-sel B kejanggalan ide ini membentuk dasar hipotesis mengabadikan diri sel B autoreaktif. Autoreaktif B sel-sel di autoimunitas spontan dilihat sebagai surviving karena subversi kedua sel T membantu dan jalur dari sinyal umpan balik melalui reseptor sel B, dengan demikian mengatasi sinyal negatif yang bertanggung jawab untuk sel B toleransi diri tanpa harus memerlukan hilangnya sel T diri-toleransi. Molecular Mimicry Sebuah eksogen antigen dapat berbagi kesamaan struktural dengan antigen host tertentu, dengan demikian, antibodi apapun dihasilkan terhadap antigen ini (yang meniru antigen diri) juga bisa, secara teori, mengikat antigen host, dan memperkuat respon imun. Ide mimikri molekuler muncul dalam konteks Demam rematik , yang mengikuti infeksi dengan Grup A beta-hemolitik streptokokus . Meskipun demam rematik telah dikaitkan dengan mimikri molekuler selama setengah abad antigen belum ada secara resmi diidentifikasi (jika ada terlalu banyak telah diusulkan). Selain itu, jaringan distribusi yang kompleks penyakit (jantung, sendi, kulit, basal ganglia) berpendapat melawan antigen tertentu jantung. Masih mungkin
2

bahwa penyakit ini disebabkan misalnya interaksi yang tidak biasa antara kompleks imun, komponen komplemen dan endotelium. Idiotype Cross-Reaction Idiotypes adalah antigenik epitop ditemukan di bagian antigen-mengikat (Fab) dari molekul imunoglobulin. Plotz dan Oldstone disajikan bukti bahwa autoimunitas dapat timbul sebagai akibat dari reaksi silang antara idiotype pada antivirus antibodi dan sel reseptor inang untuk virus tersebut. Dalam hal ini, reseptor sel inang dibayangkan sebagai sebuah gambar internal dari virus, dan anti-idiotype antibodi dapat bereaksi dengan sel inang. Cytokine Dysregulation sitokin telah baru-baru dibagi menjadi dua kelompok sesuai dengan populasi sel yang fungsi mereka mempromosikan: Helper T-sel tipe 1 atau tipe 2. Kategori kedua sitokin, termasuk IL-4, IL-10 dan TGF- (untuk beberapa nama), tampaknya memiliki peran dalam pencegahan berlebihan pro-inflamasi respon imun. Dendritic cell apoptosis sel sistem kekebalan yang disebut sel dendritik menyajikan antigen untuk aktif limfosit . Sel dendritik yang cacat dalam apoptosis dapat menyebabkan tidak tepat sistemik limfosit aktivasi dan penurunan konsekuen dalam diri toleransi. Epitope spreading or epitope drift - ketika reaksi kekebalan perubahan dari menargetkan utama epitop untuk juga menargetkan epitop lainnya. Berbeda dengan mimikri molekuler, epitop lainnya tidak perlu secara struktural mirip dengan yang utama. Epitope modification or Cryptic epitope exposure mekanisme penyakit autoimun adalah unik karena bukan hasil dari cacat dalam sistem hematopoietik. Sebaliknya, penyakit hasil dari pemaparan samar N-glycan (polisakarida) hubungan umum untuk eukariota dan prokariota lebih rendah pada glikoprotein dari mamalia non-sel dan organ hematopoietik. Paparan glycans phylogenically primitif mengaktifkan satu atau lebih sel kekebalan tubuh mamalia bawaan reseptor untuk menginduksi kondisi inflamasi kronis steril. Dengan adanya kerusakan sel dan inflamasi kronis, sistem kekebalan tubuh adaptif yang direkrut dan self-toleransi hilang dengan produksi autoantibody meningkat. Dalam bentuk penyakit, tidak adanya limfosit dapat mempercepat kerusakan organ, dan intravena IgG administrasi dapat terapi. Meskipun rute ini untuk penyakit autoimun mungkin mendasari berbagai negara penyakit degeneratif, tidak ada diagnostik untuk mekanisme penyakit ada saat ini, sehingga perannya dalam autoimunitas manusia saat ini tidak diketahui. Peran khusus immunoregulatory jenis sel, seperti sel T peraturan , sel NKT , T-sel dalam patogenesis penyakit autoimun yang sedang diselidiki.

Ada beberapa mekanisme mengenai induksi autoimunitas 1.pelepasan antigen sekuester 2.kemiripan molekular 3.ekspresi MHC-II yang tidak sesuai

1. Sequestered Antigen

Adalah antigen sendiri yang kkarena letak anatominya tidak terpajan dengan sel b/ sel T dari sistem imun. Pada keadaan normal, sequestered antigen dilindungi dan tidak ditemukan untuk dikenal sistem imun. Perubahan anatomi dalam jaringan seperti inflamasi (sekunder oleh infeksi, kerusakan iskemia/ trauma) dapat memajankan sequestered antigen dengan sistem imun yang tidak terjadi pada keadaan normal. Contohnya protein lensa intraokular, sperma, dan MBP.

2. Gangguan Presentasi Gangguan dapat terjadi pada presentasi antigen, infeksi yang meningkatkan respons MHC, kadar sitokin yang rendah (misalnya TGF-B) dan gangguan respons terhadap IL-2. Pengawasan beberapa sel autoreaktif diduga bergantung pada sel Ts/ Tr. Bila terjadi kegagalan sel autoimuntas. Ts/ Tr, maka terjadi rengsangan ke sel Th yang akhirnya menimbulkan

3. Ekspresi MHC-II yang Tidak Benar Pada orang sehat, sel B mengekspresikan MHC-I yang lebih sedikit dan tidak mengekspresikan MHC-II sama sekali. Namun pada penderita dengan IDDM ekspresi MHCI dan MHC-II denga kadar tinggi. Contoh lain pada penderita Grave yang mengekspresikan MHC-II pada membran. Ekspresi MHC-II Yng tidak pada tempatnya itu yang biasanya diekspreskan pada APC dapat mensensitasi sel Th terhadap peptida yang berasal dari sel B/ tiroid dan mengaktifkan sel B /Tc/ Th1 terhadap self antigen.

Kerusakan pada penyakit autoimun terjadi melalui antibodi (tipe II dan III), tipe IV yang mengaktifkan sel CD4+ /sel CD8+ kerusakan organ dapat juga terajdi melalui autoantibodi yang mengikat tempat fungsional self antigwn seperti reseptor hormon, reseptor neurotransmitor, dan protein plasma. Autoantibodi tersebut dapat menyerupai /menghambat efek ligan endogen untuk self protein yang menibulkan gangguan fungsi tanpa terjadinya inflamasi/ kerusakan jaringan fenomena ini terliha t pda penyakit autoimunitas endokrin dengan autoantibodi yang menyerupai/ menghambat efek hoormon seperti TSH, yang menimbulkan aktifitas berlebihan/ kurang dari tiroid. 1. Penglepasan antigen sekuester

Antigen sekuester adalah antigen sendiri yang karena letak anatominya tidak terpajan dengan sel B atau sel T dari sistem imun. Pada keadaan normal, antigen sekuester dilindungi dan tidak ditemukan untuk dikenal sistem imun. Perubahan anatomik dalam jaringan, seperti inflamasi atau infeksi dapat memajankan antigen sekuester dengan antigen, yang mengakibatkan terbentuknya autoantibodi karena antigen sekuester tersebut dianggap benda asing oleh sistem imun. 2. Kemiripan molekul Kesamaan struktur antara protein diri dengan protein dari mikroorganisme juga dapat memicu respons autoimun. Peptida diri dengan konsentrasi rendah dan tanpa akses ke antigen-presenting cells dapat bereaksi silang dengan peptida mikrobial yang memiliki struktur serupa. Hal ini mengakibatkan ekspansi populasi sel T yang responsif yang dapat mengenali peptida diri, apabila kondisi lokal (seperti kerusakan jaringan) menyebabkan presentasi peptida tersebut dan akses sel T ke jaringan tersebut . Sekali toleransi rusak terhadap peptida tertentu, maka inflamasi berlanjut pada presentasi peptida lainnya dan respons imun akan meluas dan menghasilkan percepatan kerusakan jaringan lokal. Proses domino ini disebut epitope spreading. 3. Kelainan pada sel B Terjadinya kelainan pada sel B yang bersifat intrinsik, misalnya terdapat klon sel B autoreaktif yang hiperresponsif terhadap berbagai stimuli, atau kelainan ekstrinsik berupa aktivasi sel B oleh mitogen endogen atau eksogen yang disebut aktivator poliklonal. Sel B dapat bereaksi dengan autoantigen melalui berbagai reseptornya yang mempunyai aviditas rendah sampai tinggi, sementara sel T tetap toleran. Aktivator poliklonal yang terdiri dari produk bakteri, virus, atau komponen virus, parasit, atau substansi lainnya dapat langsung merangsang sel B tersebut untuk memproduksi autoantibody. Hal ini dapat terlihat dengan terdeteksinya faktor rheumatoid dan antinuklear, antilimfosit, antieritrosit, serta anti-otot polos setelah infeksi parasit, bakteri, atau virus. Selain itu terbukti pula bahwa lipopolisakarida bakteri dapat menginduksi limfosit tikus untuk memproduksi berbagai autoantibodi seperti anti DNA, antiglobulin ,antitimosit, dan antieritrosit. Aktivasi sel B ditentukan oleh sejumlah sinyal dan faktor yang datang dari sel T. Pada penyakit autoimun sistemik terdapat peningkatan jumlah sel B aktif dan yang memproduksi antibodi poliklonal. Hiperreaktivitas sel B ini disebabkan oleh defek sel B terhadap kebutuhan sinyal, produksi faktor proliferasi, diferensiasi, dan maturasi oleh sel T yang berlebih, atau respons sel B yang tidak normal terhadap faktor-faktor tersebut. Akibatnya akan terjadi hipergamaglobulinemia, produksi autoantibodi, alih imunoglobulin menjadi autoantibodi subkelas patologik, dan akhirnya penyakit autoimun sistemik. Faktor Imun yang Berperan pada Autoimunitas A. Sequestered antigen Sequestered antigen adalah antigen sendiri yang karena letak anatominya, tidak terpajan dengan sel B atau sel T dan sistem imun. Pada keadaan normal, sequestered antigen dilindungi dan tidak ditemukan untuk dikenal sistem imun. Perubahan anatomik dalam jaringan seperti inflamasi (sekunder oleh infeksi, kerusakan iskemia atau trauma), dapat memajankan sequestered antigen dengan sistem imun
5

yang tidak terjadi pada keadaan normal (Gambar 12.2), Contohnya protein lensa intraokular, sperma dan MBP. Uveitis pasca trauma dan orchitis pasca vasektomi diduga disebabkan respons autoiniun terhadap sequestered antigen. MBP yang dilepas oleh infeksi dan meningkat (oleh kerusakan sawar darah otak/inflamasi virus) akan mengaktifkan sel B dan T yang imunokompeten dan menimbulkan ensefalomielitis pasca infeksi. Inflamasi jaringan dapat pula menimbulkan perubahan struktur pada self antigen dan pembentukan determinan baru yang dapat memacu reaksi autoimun (Gambar 12.3).

B. Gangguan presentasi Gangguan dapat terjadi pada presentasi antigen, infeksi yang meningkatkan respons MHC, kadar sitokin yang rendah (misalnya TGF-) dan gangguan respons terhadap IL-2. Pengawasan beberapa sel autoreaktif diduga bergantung pada sel Ts atau Tr. Bila terjadi kegagalan sel Ts atau Tr, maka sel Th dapat dirangsang sehingga menimbulkan autoimunitas. Respons imun

selular

terhadap

mikroba

dan

antigen

asing

taiimya

dapat

juga

menimbulkan

kerusakanjaringan di tempat infeksi atau pajanan antigen.

C. Ekspresi MHC-II yang tidak benar

Sel pankreas pada penderita dengan IDDM mengekspresikan kadar tinggi MHC-I dan MHC-II, sedang subyek sehat sel 3 mengekspresikan MHC-I yang lebih sedikit dan tidak mengekspresikan MHC-II sama sekali. Sama halnya dengan sel kelenjar tiroid pada penderita Grave mengekspresikan MHC-II pada membran. Ekspresi MHC-II yang tidak pada tempatnya itu yang biasanya hanya diekspresikan pada APC dapat mensensitasi sd Th terhadap peptida yang berasal dari sel atau tiroid dan mengaktifkan sel atau Tc atau Th1 terhadap self antigen.

D. Aktivasi sel B poliklonal

Autoimunitas dapat terjadi oleh karena aktivasi sel B polikional oleh virus (EBV), LPS dan parasit malaria yang dapat merangsang set B secara langsung yang menimbulkan autoimunitas. Antibodi yang dibentuk terdiri atas berbagai autoantibodi (Gambar 12.4).

E. Peran CD4 dan reseptor MHC

Gangguan yang mendasari penyakit autoimun sulit untuk diidentifIkasi. Penelitian pada model hewan menunjukkan bahwa CD4 merupakan efektor utama pada penyakit autoimun. Pada tikus EAE ditimbulkan oleb Th1 CD4 yang spesifik untuk antigen. Penyakit dapat dipindahkan dan hewan yang satu ke yang lain melalui sel T hewan yang diimunisasi dengan MBP atau PLP atau sel lain dan klon sel T asal hewan. Penyakit dapat juga dicegah oleh antibodi anti CD4. Sel T mengenal antigen melalui TCR dan MHC serta peptida antigenik. Untuk seseorang menjadi rentan terhadap autoimunitas harus memiliki MHC dan TCR yang dapat mengikat antigen sel sendiri.

F. Keseimbangan Th1 Th2

Penyakit autoimun organ spesifik terbanyak terjadi melalui sel T CD4. Ternyata keseimbangan Th1-Th2 dapat mempengaruhi terjadinya autoimunitas. Th1 menunjukkan peran pada autoimunitas, sedang pada beberapa penelitian Th2 tidak hanya melindungi terhadap induksi penyakit, tetapi juga terhadap progres penyakit. Pada EAE sitokin Tb I (IL2, TNT- dan IFN-) ditemukan dalan SSP dengan kadar tertinggi pada penyakit.

G. Sitokin pada autoimunitas

Beberapa mekanisme kontrol melindungi efek sitokin patogenik, diantaranya adalah adanya ekspresi sitokin sementara dan reseptornya serta produksi antagonis sitokin dan inhibitornya. Gangguan mekanismenya menimbulkan upregulasi atau produksi sitokin yang tidak benar sehingga menimbulkan efek patofisiologik (Tabel 12.7). Sitokin dapat menimbulkan translasi berbagai faktor etiologis ke dalam kekuatan patogenik dan mempertahankan inflamasi fase kronis serta destruksi jaringan. IL-1 dan TNF telah mendapat banyak perhatian sebagai sitokin yang menimbulkan kerusakan. Kedua sitokin ini menginduksi ekspresi sejumlah protease dan dapat mencegah pembentukan matriks ekstraselular atau merangsang penimbunan matriks yang berlebihan.

FAKTOR LINGKUNGAN YANG BERPERAN PADA AUTOIMUNITAS

Faktor-faktor lingkungan dapat memicu autoinunitas seperti mikroba, hormon, radiasi UV, oksigen radikal bebas, obat dan agen bahan lain seperti logam.

A. Kemiripan molekular dan infeksi

Hubungan antara infeksi mikroba (virus, bakteri) dan autoimunitas yang terjelas ditimbulkan oleh adanya kemiripan (mimicracy) (Tabel 12.8).

1. Virus dan autoimunitas

Berbagai virus berhubungan dengan berbagai penyakit autoimun yang mengenai sendi. Virus adeno dan Coxsackie A9, 82, 84, B6 sering berhubungan dengan poliartritis, pleuritis, mialgia, ruam kulit, faringitis, miokarditis dan leukositosis. Respons autoimun terhadap virus Hepatitis C (HCV) adalah multifaktorial. Resolusi HCV terjadi pada penderita dengan respons antibodi yang cepat dan infeksi cenderung menjadi kronis pada penderita dengan respons antibodi yang lambat. Sekitar 10% 30% penderita dengan HCV kronis disertai

kadar rendah ANA dan 60% - 80% disertai RF. ACA ditemukan pada 22% penderita HCVdan berbagai antibodi lainnya telah juga ditemukan (Tabel 12.9).

2. Bakteri dan autoimunitas a. Karditis reumatik-demam reuma akut Contohnya penyakit autoimun yang ditimbulkan bakteri adalah demam reuma pasca infeksi streptokok yang disebabkan oleh antibodi terhadap streptokok yang diikat jantung dan menimbulkan miokarditis. Homologi juga ditemukan antara antigen protein jantung dan antigen Klamidia dan Tripanosoma cruzi. Keduanya berhubungan dengan miokarditis. Demam reuma adalah gejala sisa nonsupuratif penyakit Streptokok A, biasanya berupa faringitis dengan manifestasi 2-4 minggu pasca infeksi akut. Ada tiga gejala utama yaitu artritis (tersering), karditis dan korea (gerakan tidak terkontrol, tidak teratur dari otot muka, lengan dan tungkai) yang dapat disertai gejala kulit berupa ruam tidak sakit dan nodul subkutan (Gambar 12.5). Gejala gejala tersebut biasanya timbul pada penderita yang menunjukkan beberapa gambaran klinis utama dan jarang terjadi sendiri.

10

Pada pemeriksaan imunologik ditemukan antibodi yang bereaksi dengan protein M dari mikroba penyebab. Antigen streptokok tersebut memiliki epitop yang mirip dengan jaringan miokard jantung manusia dan antibodi terhadap streptokok akan menyerang jantung (jaringan, katup). Pada pemeriksaan biopsi katup jantung ditemukan infiltrasi sel plasma, endapan antibodi dan protein komplemen di jaringan. Antibodi terhadap antigen streptokok bereaksi silang dengan antigen otot jantung dan menimbulkan kerusakan dan penyakit demam reuma. Penyakit menghilang bila bakteri dieliminasi dan tidak terjadi produksi antibodi.

b. Sindrom Reiter dan artritis reaktif

lnfeksi saluran cerna oleh salmonela, sigela atau kampilobakter dan saluran kencing oleh Klamidia trakomatis atau Ureaplasma urealitikum dapat memacu sindrom Reiter yang berupa triad uretritis, ariritis dan uveitis. Inflamasi insersi tendon dan ligamen pada tulang merupakan ciri sindrom Reiter dan artritis reaktif. Penderita dengan artritis perifer asimetris, sakit tumit dan tendon akiles dapat merupakan ciri utama. Sel sel inflamasi ditemukan dalam cairan sinovia.

c. Eritema nodosum
11

Eritema nodosum biasanya terjadi pada orang dewasa usia antara 18 tahun 33 tahun. Infeksi streptokok ditemukan pada 28%, klamidia pada 1,5% dan pada satu kasus masing-masing ditemukan infeksi spesies mikoplasma, yersinia, HBV dan tuberkulosis. Klinis berupa nodul terutama pada ekstremitas bawah di permukaan ekstensor, namun lesi dapat pula ditemukan di kaki atau lengan bawah. Dapat pub ditemukan sindrom Lofgren yang terdiri atas eritema nodosum, limfadenopati hilus bilateral dan poliartritis terutama di pergelangan kaki seperti halnya juga terlihat pada sarkoidosis. Berbagai infeksi yang berhubungan dengan eritema nodosum.

d. Bakteri lain

Dua protein envelop Yersinia enterokolitis memiliki epitop yang sama dengan domen ekstraselular reseptor TSH. Pada sindrom Guillain-Barre, antibodi terhadap gang liosid manusia bereaksi silang dengan endotoksin C. jejuni. Antibodi kolon yang ditemukan pada kolitis ulseratif bereaksi silang dengan E.coli. Antigen dalam T.cruzi juga dapat bereaksi silang dengan antigen otot jantung dan susunan saraf perifer dan memacu beberapa lesi imunopatologik seperti terlihat pada penyakit Chagas.

B. Hormon

Studi epidemiologi menemukan bahwa wanita lebih cenderung menderita penyakit autoimun dibanding pria. Wanita pada umumnya juga memproduksi lebih banyak antibodi dibanding pria yang biasanya merupakan respons proinfalamasi Th1. Kehamilan sering disertai dengan memburuknya penyakit terutama artritis reumatik dan relaps sering terjadi setelah melahirkan. Pengangkatan ovarium mencegah awitan autoimunitas spontan pada hewan (terutama LES) dan pemberian estrogen mempercepat awitan penyakit. Hormon hipofisa, prolaktin menunjukkan efek stimulator terutama terhadap sel T. Kadar prolaktin yang timbul
12

tiba-tiba setelah kehamilan berhubungan dengan kecenderungan terjadinya penyakit autoimun seperti AR.

C. Obat Banyak obat berhubungan dengan efek samping berupa idiosinkrasi dan patogenesisnya terjadi melalui komponen autoimun (Gambar 12.6). Konsep autoimun melibatkan 2 komponen yaitu respons imun tubuh berupa respons autoagresif dan antigen. Hal yang akhir sulit untuk dibuktikan pada banyak autoimunitas oleh obat. Contoh-contoh sindrom autoimun yang diduga ditimbulkan obat Antibodi menghilang bila obat dihentikan.

D. Radiasi UV

13

Pajanan dengan radiasi ultraviolet (biasanya sinar matahari) diketahui merupakan pemicu inflamasi kulit dan kadang LES. Radiasi UV dapat menimbulkan modifikasi struktur radikal bebas self antigen yang meningkatkan imunogenesitas.

E. Oksigen radikal bebas

Bentuk lain dan kerusakan fisis dapat mengubah imunogenesitas self antigen terutama kerusakan self molekul oleh radikal bebas oksigen yang menimbulkan sebagian proses inflamasi. Pemicu lainnya adalah stres psikologi dan faktor makanan.

F. Logam

Berbagai logan seperti Zn, Cu, Cr, Pb, Cd, Pt, perak dan metaloid (silikon) diduga dapat menimbulkan efek terhadap sistem imun, baik in vitro maupun in vivo dan kadang serupa autoimunitas. Salah satu bentuk yang sudah banyak diteliti antara lain adalah reaksi terhadap silikon. Silikon adalah kristal nonmetal, elemen ringan dan bentuk dioksidnya disebut silika. Pajanan inhalasi debu silikon yang berhubungan dengan pekerjaan dapat menimbulkan penyakit yang disebut silikosis. Respons imun yang terjadi dapat berupa produksi ANA, RF dan beberapa karyawan menunjukkan gejala serupa LES atau sindrom serupa skleroderma dengan endapan kompleks imun di glomerulus dan glomerulosklerosis lokal. Penderita dengan silikosis menunjukkan kadar antibodi terhadap kolagen tipe I dan III. Bentuk fulminan silikosis dikenal sebagai silikoproteinosis ditandai oleh peningkatan ANA dan glomeruonefritis kresentik yang progresif cepat. Meskipun banyak dugaan ketertibatan logam dalam autoimunitas, namun masih banyak penelitian yang harus dilakukan terhadap keterlibatan logam dalam autoimunitas. Efek autoimunnya hanya kadang dilaporkan. Pada hewan dilaporkan: Litium menimbulkan penyakit tiroid autoimun; Merkuri menimbulkan penyakit ginjal autoimirn, penyakit serupa GvH, artritis, vaskulitis. LI 2. Memahami dan menjelaskan Sistemik Lupus Erithematosus LO 2.1 Memahami dan menjelaskan definisi SLE Sistemik lupus erythematosus (SLE), atau lupus, adalah penyakit autoimun dimana sistem kekebalan tubuh seseorang menyerang berbagai organ atau sel-sel tubuh, menyebabkan
14

kerusakan dan disfungsi. Lupus disebut penyakit multisistem karena dapat mempengaruhi banyak jaringan dan organ dalam tubuh. Beberapa pasien dengan lupus memiliki penyakit yang sangat ringan, yang dapat diobati dengan obat yang sederhana, sedangkan yang lain dapat menjadi serius, komplikasi yang mengancam jiwa. Lupus lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan pria, dan untuk alasan yang tidak dipahami secara tepat, kejadian puncaknya adalah setelah pubertas. Sementara lupus adalah penyakit kronis, hal ini ditandai dengan periode ketika aktivitas penyakit minimal atau tidak ada (remisi) dan saat aktif (kambuh atau flare). Prospek (prognosis) untuk pasien dengan lupus saat ini jauh lebih baik daripada tahun lalu karena kesadaran yang lebih besar dan tes yang lebih akurat mengarah ke diagnosis dini dan pengobatan serta lebih efektif dan obat yang lebih aman dan pemantauan metode LO 2.2 Memahami dan menjelaskan etiologi SLE Meskipun penyebab spesifik dari SLE tidak diketahui, beberapa kecenderungan genetik dan interaksi gen-lingkungan telah diidentifikasi. Situasi ini kompleks mungkin menjelaskan manifestasi klinis variabel pada orang dengan SLE. Dalam systemic lupus erythematosus (SLE), faktor genetik-kerentanan, lingkungan pemicu, (Ab) respon antigen-antibodi, interaksi sel B dan sel T, dan proses pembersihan imun, berinteraksi untuk menghasilkan dan melestarikan autoimunitas. HLA = human leukocyte antigen, UV = sinar ultraviolet. SLE memiliki tingkat kekambuhan sederhana dalam keluarga: 8% dari pasien yang terkena memiliki setidaknya satu anggota keluarga tingkat pertama (orang tua, saudara, dan anakanak) dengan SLE, ini berbeda dengan 0,08% dari populasi umum. Selain itu, SLE terjadi pada kedua kembar di 24% dari kembar identik dan 2% dari kembar nonidentical, yang mungkin disebabkan oleh kombinasi faktor genetik dan lingkungan.

Beberapa studi telah disintesis apa yang diketahui tentang mekanisme penyakit SLE dan asosiasi genetik. Setidaknya 35 gen yang diketahui meningkatkan risiko SLE. Sebuah kecenderungan genetik didukung oleh 40% konkordansi di kembar monozigot, jika seorang ibu memiliki SLE, risiko putrinya terkena penyakit telah diperkirakan 1:40, dan risiko anaknya, 1:250. Sebuah studi genome dalam populasi Eropa utara direplikasi asosiasi SLE dengan gen kerentanan yang berhubungan dengan B-sel reseptor jalur sinyal, serta menegaskan hubungan SLE dengan gen di interferon peraturan faktor 5 (IRF5)-TNPO3 lokus. Para peneliti juga menegaskan asosiasi lokus lain dengan SLE (TNFAIP3, FAM167A-BLK, BANK1 dan KIAA1542), namun, ditetapkan bahwa lokus ini memiliki tingkat signifikansi yang lebih rendah dan memberikan kontribusi yang lebih rendah untuk risiko individu untuk SLE Studi antigen leukosit manusia (HLAs) mengungkapkan bahwa HLA-A1, HLA-B8, dan HLA-DR3 lebih sering terjadi pada orang dengan SLE dibandingkan dengan populasi umum. Kehadiran alel komplemen nol dan kekurangan bawaan komplemen (terutama C4, C2, dan komponen awal lainnya) juga dikaitkan dengan peningkatan risiko SLE.

15

Sejumlah penelitian telah meneliti peran etiologi infeksi yang juga dapat mengabadikan autoimunitas. Pasien dengan SLE memiliki titer tinggi antibodi terhadap virus Epstein-Barr (EBV), telah meningkat beredar viral load EBV, dan membuat antibodi terhadap retrovirus, termasuk antibodi ke daerah protein homolog dengan antigen nuklir. Pada pasien dengan infeksi EBV dan SLE, sel B tidak cacat, melainkan fenomena SLE / EBV adalah karena kelainan sel-T, yang menyebabkan kegagalan dalam immunoregulation normal respon sel B. Virus mungkin. menstimulasi sel-sel tertentu dalam jaringan kekebalan tubuh. Infeksi kronis dapat menginduksi antibodi anti-DNA atau gejala bahkan lupuslike, dan flare lupus akut sering mengikuti infeksi bakteri.

Penyebab lingkungan dan paparan terkait SLE kurang jelas. Mereka berpotensi meliputi: Debu silika dan merokok dapat meningkatkan risiko pengembangan SLE Administrasi estrogen pengembangan SLE. untuk wanita menopause tampaknya meningkatkan risiko

Menyusui dikaitkan dengan penurunan risiko SLE Fotosensitifitas jelas merupakan endapan penyakit kulit Sinar ultraviolet merangsang keratinosit, yang mengarah tidak hanya untuk berlebih dari ribonucleoproteins nuklir (snRNPs) pada permukaan sel mereka tetapi juga untuk sekresi sitokin yang mensimulasikan peningkatan produksi autoantibodi. Hasil dari satu penelitian menunjukkan bahwa kadar vitamin D rendah meningkatkan produksi autoantibodi pada orang sehat,. Kekurangan vitamin D juga terkait dengan B-sel hiperaktivitas dan aktivitas interferon-alfa pada pasien dengan SLE

Link genetik Seperti dengan penyakit autoimun lainnya, orang dengan pangsa lupus beberapa jenis link genetik umum. Kembar identik dari orang dengan lupus memiliki risiko tiga kali lipat menjadi sepuluh kali lipat lebih besar untuk mendapatkan lupus daripada kembar nonidentical. Selain itu, kerabat tingkat pertama (ibu, ayah, kakak, adik) dari orang dengan lupus memiliki delapan kali lipat untuk sembilan kali lipat peningkatan risiko memiliki lupus dibandingkan dengan masyarakat umum. Faktor-faktor lingkungan Meskipun kembar identik lebih mungkin untuk memiliki lupus jika saudara identik nya memiliki lupus, kemungkinan mengembangkan penyakit pada kembar tidak terpengaruh tidak 100%. Meskipun genetik hampir identik kembar identik, kemungkinan kembar terpengaruh mengembangkan penyakit jika kembar lain memiliki itu adalah sekitar 30% 50% atau kurang. Ini berarti bahwa faktor lingkungan dapat membantu menentukan apakah
16

atau tidak penyakit ini berkembang dalam diri seseorang. Di luar kejadian acak lupus, obatobatan tertentu, racun, dan diet telah dikaitkan dalam perkembangannya. Paparan sinar matahari (sinar ultraviolet) adalah agen lingkungan yang diketahui yang dapat memperburuk ruam pasien dengan lupus dan kadang-kadang memicu suar seluruh penyakit. Reversible lupus obat-induced Di masa lalu, obat yang paling sering bertanggung jawab untuk obat-induced lupus adalah procainamide (Procanbid), hydralazine (Apresoline), minocycline (Minocin), phenytoin (Dilantin), dan isoniazid (Laniazid). Namun, obat yang lebih baru telah dikaitkan dengan obat-induced lupus, seperti agen biologis baru (etanercept [Enbrel], infliximab [Remicade], dan adalimumab [Humira]) digunakan untuk mengobati rheumatoid arthritis. Umumnya, lupus yang disebabkan oleh paparan obat hilang setelah obat dihentikan. Asosiasi dengan kehamilan dan menstruasi Banyak wanita dengan lupus dicatat bahwa gejala mungkin lebih buruk setelah ovulasi dan lebih baik pada awal masa menstruasi. Estrogen telah terlibat dalam membuat kondisi lebih buruk, dan masalah ini saat ini sedang dipelajari. Namun demikian, sebagai hasil dari penelitian terbaru, kita tahu bahwa wanita dengan lupus dapat mengambil obat kontrol kelahiran tanpa risiko mengaktifkan penyakit mereka. Wanita yang memiliki antibodi antifosfolipid (seperti antibodi cardiolipin, lupus anticoagulant, dan tes positif palsu untuk sifilis / RPR) tidak harus mengambil estrogen atau pil KB karena risiko pembekuan darah. Ibu hamil dengan antibodi antifosfolipid memiliki peningkatan risiko keguguran dan kelahiran prematur. Perawatan termasuk aspirin dan obat pengencer darah (antikoagulan, heparin berat molekul heparin atau rendah, Lovenox). Kehamilan tampaknya tidak memperburuk hasil jangka panjang pasien dengan lupus. Di sisi lain, lupus aktif cenderung meningkatkan risiko keguguran dan kelahiran prematur. Bayi dari ibu dengan lupus antibodi SSA (antibodi anti-Ro) dapat mengembangkan kelainan listrik jantung dan ruam kulit sementara (lupus neonatorum, juga dikenal sebagai neonatal lupus). Ibu hamil dengan lupus dipantau ketat oleh dokter kandungan. Pada awal lupus, gejala umumnya sangat umum, terkadang membuat diagnosis penyakit sulit. Keluhan awal yang paling umum adalah kelelahan, demam, dan otot dan nyeri sendi. Ini disebut "sindrom seperti flu."

LO 2.3 Memahami dan menjelaskan prevalensi Lupus Eritematosus sistemik merupakan penyakit yang jarang terjadi. Di seluruh dunia diperkirakan terdapat 5 juta orang mengidap lupus eritematosus. Penyakit lupus ditemukan baik pada wanita maupun pria, tetapi wanita lebih banyak dibanding pria yaitu 9:1, umumnya pada usia 18-65 tahun tetapi paling sering antara usia 25-45 tahun, walaupun dapat juga dijumpai pada anak usia 10 tahun.1 Insidensi lupus tidak diketahui, tetapi bervariasi menurut lokasi dan etnis. Tingkat prevalensi 4-250/100, 000 telah dilaporkan, dengan penurunan prevalensi putih dibandingkan dengan penduduk asli Amerika, Asia, Latin, dan Amerika. Walaupun awal awitan sebelum usia 8 tahun tidak biasa, lupus telah di diagnosis selama 1 tahun kehidupan. Dominasi perempuan bervariasi dari kurang dari 4:1 sebelum pubertas ke 8:1 sesudahnya.4

17

Insidens LES pada anak secara keseluruhan mengalami peningkatan, sekitar 15-17%. Penyakit LES jarang terjadi pada usia di bawah 5 tahun dan menjelang remaja. Perempuan lebih sering terkena dibanding laki-laki, dan rasio tersebut juga meningkat seiring dengan pertambahan usia. Prevalensi penyakit LES di kalangan penduduk berkulit hitam ternyata lebih tinggi dibandingkan dengan penduduk berkulit putih.2 SLE ditemukan lebih banyak pada wanita keturunan ras Afrika-Amerika, Asia, Hispanik, dan dipengaruhi faktor sosioekonomi. Sebuah penelitian epidemiologi melaporkan insidensi rata-rata pada pria ras kaukasia yaitu 0,3-0,9 (per 100.000 orang per tahun); 0,7-2,5 pada pria keturunan ras Afrika-Amerika; 2,5-3,9 pada wanita ras Kaukasia; 8,1-11,4 pada wanita keturunan ras Afrika-Amerika. Menelusuri epidemiologi SLE merupakan hal yang sulit karena diagnosis dapat sukar dipahami.1 http://www.scribd.com/doc/32209242/SLE Prevalensi bervariasi di tiap negara. Di Indonesia sampai saat ini belum pernah dilaporkan. Pada dekade terakhir terlihat adanya kenaikan kasus yang berobat di RSCM Jakarta. Salah satu faktor adalah kewaspadaan dokter yang meningkat. Untuk peningkatan ini perlu upaya penyebarluasan gambaran klinis kasus LES yang perlu diketahui sehingga diagnosa lebih dini dan pengobatan yang lebih adekuat. Baron dkk melaporkan keterlibatan ginjal lebih sering ditemukan pada LES dengan onset usia kurang dari 18 tahun. Sedangkan penelitian Font dkk lesi diskoid dan serositis lebih sering ditemukan sebagai manifestasi awal pasien LES laki-laki sedangkan artritis lebih jarang. Samanta dkk pada penelitian di Asia dan kulit putih di Inggris melaporkan kelainan ginjal lebih sering ditemukan pada populasi di Asia. Wanita lebih sering terkena dibanding laki-laki dan umumnya pada kelompok usia produktif. (http://www.internafkui.or.id/?page=article.detail&id=2) Di seluruh dunia, prevalensi SLE bervariasi. Tingkat tertinggi prevalensi telah dilaporkan di Italia, Spanyol, Martinique, dan Inggris populasi Afro-Karibia. Meskipun prevalensi SLE tinggi pada orang kulit hitam di Inggris, penyakit ini jarang dilaporkan pada orang kulit hitam di Afrika, menunjukkan bahwa mungkin ada pemicu lingkungan, serta dasar genetik, untuk penyakit pada populasi Inggris. Ras, jenis kelamin, dan demografi yang berkaitan dengan usia Di seluruh dunia, prevalensi SLE tampaknya bervariasi menurut ras. Namun, ada tingkat prevalensi yang berbeda bagi orang-orang dari ras yang sama di berbagai wilayah dunia. Kontras antara tarif melaporkan rendahnya SLE pada wanita kulit hitam di Afrika dan tingkat tinggi pada wanita kulit hitam di Inggris menunjukkan bahwa ada pengaruh lingkungan. Secara umum, perempuan kulit hitam memiliki tingkat yang lebih tinggi dari SLE dibandingkan wanita dari ras lain , diikuti oleh perempuan Asia dan kemudian perempuan kulit putih.

Di Amerika Serikat, perempuan kulit hitam 4 kali lebih mungkin untuk memiliki SLE daripada wanita kulit putih. Sebuah tinjauan SLE di seluruh negara Asia Pasifik mengungkapkan variasi dalam tingkat prevalensi dan kelangsungan hidup. Sebagai contoh, tingkat prevalensi keseluruhan berkisar 4,3-45,3 per 100.000, dan kejadian secara keseluruhan berkisar 0,9-3,1 per 100.000 per tahun. Selain itu, orang Asia dengan SLE
18

memiliki tingkat lebih tinggi keterlibatan ginjal dibandingkan kulit putih lakukan, dan keterlibatan kardiovaskular merupakan penyebab utama kematian di Asia. Rasio perempuan-ke-laki-laki Lebih dari 90% kasus SLE terjadi pada wanita, sering dimulai pada usia subur. Penggunaan hormon eksogen telah dikaitkan dengan lupus onset dan flare, menunjukkan peran faktor hormonal dalam patogenesis penyakit. Risiko pengembangan SLE pada pria adalah sama dengan pada wanita prapubertas atau postmenopause. Menariknya, pada pria, SLE lebih sering terjadi pada orang dengan sindrom Klinefelter (yaitu, genotipe XXY), lebih lanjut mendukung hipotesis hormonal. Bahkan, sebuah studi oleh Dillon et al menemukan bahwa pria dengan sindrom Klinefelter memiliki efek samping yang lebih parah dari SLE daripada perempuan, tetapi efek samping kurang parah daripada orang lain. [46] Puncak rasio perempuan-ke-laki pada 11:01 selama tahun-tahun subur. Sebuah korelasi antara usia dan kejadian cermin SLE tahun puncak produksi hormon seks perempuan.. Onset dari SLE biasanya setelah pubertas, biasanya dalam 20-an dan 30-an, dengan 20% dari semua kasus didiagnosis selama 2 dekade pertama kehidupan. Sebuah tinjauan literatur di seluruh dunia (terutama Amerika Utara, Eropa, dan Asia) menemukan bahwa kejadian SLE anak-onset berkisar 0,36-2,5 per 100.000 per tahun dan prevalensi berkisar 1,89-25,7 per 100.000. Prevalensi SLE adalah tertinggi pada wanita berusia 14 sampai 64 tahun. SLE tidak memiliki predileksi usia pada laki-laki, meskipun harus dicatat bahwa pada orang dewasa yang lebih tua, rasio perempuan-ke-laki-laki jatuh. Efek ini mungkin karena hilangnya efek estrogen pada wanita lebih tua.. LO 2.4 Memahami dan menjelaskan manifestasi klinik SLE Manifestasi Klinik Manifestasi klinik penyakit ini sangat beragam dan seringkali pada keadaan awal tidak dikenali sebagaiLES. Hal ini dapat terjadi karena manifestasi klinik penyakit LES ini seringkali tidak terjadi secara bersamaaan. Gambaran klinis keterlibatan sendi atau muskuloskeletal dijumpai pada 90 % kasus LES, walaupun artritis sebagai manifestasi awal hanya dijumpai pada 55% kasus. Gejala Konstitusional Kelelahan Kelelahan merupakan keluhan umum yang dijumapi pada penderita LES dan biasanya mendahului berbagai manifestasi klinis lainnya. Kelelhana ini dapat diukur dengan menggunakan Profile of mood states (POMS) dan tes toleransi latihan. Apabila kelelahan disebabkan oleh aktifitas penyakit LES maka diperlukan pemeriksaan penunjang lain, yaitu kadar C3 serum yang rendah. Kelelahan akibat penyakit ini memberikan respons terhadap pemberian sterois atau latihan. Penurunan Berat Badan Keluhan ini dijumpai pada sebagian penderita LES dan terjadi dalam beberpa bulan sebelum diagnosis ditegakkan. Penurunan berat badan ini dapat disebabkan oleh menurunnya nafsu makan atau akibat gejala gastrointestinal. Demam
19

Demam akibat LES biasanya tidak disertai menggigil Lain-lain Gejala yang dering dijumpai pada penderita LES dapat terjadi sebelum ataupun seiring dengan aktifitas penyakitnya seperti rambut rontok, hilangnya nafsu makan, pembesaran kelenjar getah bening, bengkak, sakit kepala, mual dan muntah.

Gejala Mukokutan Kelainan kulit atau selaput lendir ditemukan pada 55% kasus SLE. Lesi Kulit Akut Ruam kulit yang paling dianggap khas adalah ruam kulit berbentuk kupu-kupu (butterfly-rash) berupa eritema yang sedikit edematus pada hidung dan kedua pipi. Karakteristik malar atau ruam kupu-kupu termasuk jembatan hidung dan bervariasi dari merah pada erythematous epidermis hingga penebalan scaly patches. 4 Ruam mungkin akan fotosensitif dan berlaku untuk semua daerah terkena sinar matahari. Lesi-lesi tersebut penyebarannya bersifat sentrifugal dan dapat bersatu sehingga berbentuk ruam yang tidak beraturan. Dengan pengobatan yang tepat, kelainan ini dapat sembuh tanpa bekas.5

Lesi Kulit Sub Akut Lesi kulit sub akut yang khas berbentuk anular.5

Lesi Diskoid Sebesar 2 sampai 2% lesi discoid terjadi pada usia di bawah 15 tahun. Sekitar 7 % lesi discoid akan menjadi LES dalam waktu 5 tahun, sehingga perlu di monitor secara rutin. Hasil pemeriksan laboratorium menunjukkan adanya antibodi antinuclear (ANA) yang disertai peningkatan kadar IgG yang tinggi dan lekopeni ringan.5
20

Ruam diskoid adalah ruam pada kulit leher, kepala, muka, telinga, dada, punggung, dan ekstremitas yang menimbul dan berbatas tegas, dengan diameter 5-10 mm, tidak gatal maupun nyeri Berkembangnya melalui 3 tahap, yaitu erithema, hiperkeratosis dan atropi. Biasanya tampak sebagai bercak eritematosa yang meninggi, tertutup oleh sisik keratin disertai oleh adanya penyumbatan folikel. Kalau sudah berlangsung lama akan terbentuk sikatrik.5 Lesi diskoid tidak biasa di masa kanak-kanak. Namun, mereka terjadi lebih sering sebagai manifestasi dari SLE daripada sebagai diskoid lupus erythematosis (DLE) saja; 2-3% dari semua DLE terjadi di masa kanak-kanak. 5

Livido Retikularis Suatu bentuk vaskulitis ringan, sering ditemukan pada SLE. Vaskulitis kulit dapat menyebabkan ulserasi dari yang berbentuk kecil sampai yang besar. Sering juga tampak perdarahan dan eritema periungual.4,5 Urtikaria Biasanya menghilang perlahan-lahan beberapa bulan setelah penyakit tenang secara klinis dan serologis.5 http://www.scribd.com/doc/32209242/SLE manifestasi Cardiopulmonary: gejala umumnya radang selaput dada berulang, dengan atau tanpa efusi pleura. Pneumonitis jarang terjadi. komplikasi lain termasuk emboli paru, hipertensi pulmonal, dan sindrom paru menyusut. komplikasi jantung meliputi perikarditis (paling sering), efusi perikardial, dan miokarditis Sering terjadi, bising jantung sistolik dan diatolik http://www.merck.com/ Hati dan Limpa Splenomegaly mungkin ditemukan pada anak-anak, tetapi jarang disertai ikterus terjadi pada 10% pasien. limpa dapat mengembangkan fibrosis periarterial. http://www.scribd.com/doc/32209242/SLE www.merck.com Manifestasi Neurologi Neuropati perifer yang terjadi berupa gangguan sensorik dan motorik. Biasanya bersifat sementara Kelainan lain yang mungkin ditemukan ialah korea, paraplegia karena mielitis transversal, hemiplegia, afasia, psikosis, pseudotumor cerebri, aseptic meningitis, chorea, defisit kognitif global, melintang myelitis, neuritis perifer dan sebagainya
21

http://www.scribd.com/doc/32209242/SLE Isbagio Harry, dkk 2008 Manifestasi Muskuloskeletal Pada anak-anak paling sering berupa athralgia (90%) sendi interfalangeal proksimal diikuti oleh lutut, pergelangan tangan, metakarpophalangeal, siku dan pergelangan kaki. Artritis (sangat nyeri ) > 90% anak pada tangan dapat menyebabkan kerusakan ligament dan kekakuan sendi yang berat. Osteonecrosis umum terjadi dan dapat timbul belakangan setelah dalam pengobatan kortikosteroid dan vaskulopati. 4 Berikut merupakan mekanisme arthritis pada SLE.4

http://www.scribd.com/doc/32209242/SLE Manifestasi Hematologi Terjadi anemia dengan proses imun ataupun non imun : Proses imun anemia aplastik, anemia hemolitik autoimun Non imun sickle cell anemia, defisiensi besi, anemia sideroblastik leukopenia (biasanya lymphopenia, dengan <1500 sel / L,), dan trombositopenia Isbagio Harry, dkk 2008 www.merck.com Manifestasi Gastrointestinal Rasa tidak enak di perut, mual ataupun diare vaskulitis intestinalis (dapat menyebabkan preforasi usus halus/kolonfatal Nyeri esofagus Nyeri pankreasitis nyeri sbdomen disertai mual dan muntah. Inflamantory bowel disease (IBS) Isbagio Harry, dkk 2008 http://www.scribd.com/doc/32209242/SLE LO 2.5 Memahami dan menjelaskan pathogenesis Etiologi penyakit LES masih belum terungkap dengan pasti tetapi diduga merupakan interaksi antara faktor genetik, faktor yang didapat dan faktor lingkungan. Gangguan imunitas yang ditandai oleh persistensi limfosit B dan T yang bersifat autoreaktif. Autoantibodi yang terbentuk akan berikatan dengan autoantigen membentuk kompleks imun yang mengendap berupa depot dalam jaringan. Akibatnya akan terjadi aktivasi komplemen sehingga terjadi reaksi inflamasi yang menimbulkan lesi di tempat tersebut. Faktor keluarga yang kuat terutama pada keluarga dekat. Resiko meningkat 25-50% pada kembar identik dan 5% pada kembar dizygotic, diduga menunjukkan kaitannya dengan faktor genetik. Penyakit lupus disertai oleh petanda penyakit genetik seperti defisiensi herediter komplemen (seperti C1q, C1r, C1s, C4 dan C2) dan imunoglobulin (IgA), atau
22

kecenderungan jenis fenotip HLA (-DR2 dan -DR3). Faktor imunopatogenik yang berperan dalam LES bersifat multipel, kompleks dan interaktif. Jumlah sel B meningkat pada pasien dengan lupus yang aktif dan menghasilkan peningkatan kadar antibodi dan hipergamaglobulinemia. Jumlah sel B yang memproduksi IgG di darah perifer berkorelasi dengan aktivitas penyakit. Aktivasi sel B poliklonal disebabkan oleh antigen eksogen, antigen yang merangsang proliferasi sel B atau abnormalitas intrinsik dari sel B. Antibodi IgG anti-dsDNA dengan afinitas tinggi juga merupakan karakteristik, yang disebabkan oleh hipermutasi somatik selama aktivasi sel B poliklonal yang diinduksi oleh faktor lingkungan seperti virus atau bakteri. Selain memproduksi autoantibodi, sel B juga mempengaruhi presentasi antigen dan respon diferensiasi sel Th. Gangguan pengaturan produksi autoantibodi disebabkan gangguan fungsi CD8+, natural killer cell dan inefisiensi jaringan idiotip-antiidiotip. Imunoglobulin mempunyai struktur tertentu pada bagian determinan antigenik yang disebut idiotip, yang mampu merangsang respons pembentukan antibodi antiidiotip. Sebagai respons tubuh terhadap peningkatan kadar idiotip maka akan dibentuk antiidiotip yang bersifat spesifik terhadap berbagai jenis struktur determin antigen sesuai dengan jenis idiotip yang ada. Secara teoritis mungkin saja salah satu dari antiidiotip mempunyai sifat spesifik antigen diri hingga dengan pembentukan berbagai antiidiotip dapat timbul aktivitas autoimun. Persistensi antigen dan antibodi dalam bentuk kompleks imun juga disebabkan oleh pembersihan yang kurang optimal dari sistem retikuloendotelial. Hal ini disebabkan antara lain oleh kapasitas sistem retikuloendotelial dalam membersihkan kompleks interaksi antara autoantibodi dan antigen yang terlalu banyak. Dengan adanya kadar autoantibodi yang tinggi, pengaturan produksi yang terganggu dan mekanisme pembersihan kompleks imun yang terganggu akan menyebabkan kerusakan jaringan oleh kompleks imun. Selama perjalanan penyakit lupus tubuh membuat beberapa jenis autoantibodi terhadap berbagai antigen diri. Di antara berbagai jenis autoantibodi yang paling sering dijumpai pada penderita lupus adalah antibodi antinuklear (autoantibodi terhadap DNA, RNA, nukleoprotein, kompleks protein-asam nukleat). Umumnya titer antiDNA mempunyai korelasi dengan aktivitas penyakit lupus. Beberapa antibodi antinuklear mempunyai aksi patologis direk, yaitu bersifat sitotoksik dengan mengaktifkan komplemen, tetapi dapat juga dengan mempermudah destruksi sel sebagai perantara bagi sel makrofag yang mempunyai reseptor Fc imunoglobulin. Contoh klinis mekanisme terakhir ini terlihat sebagai sitopenia autoimun. Ada pula autoantibodi tertentu yang bersifat membahayakan karena dapat berinteraksi dengan substansi antikoagulasi, diantaranya antiprotrombinase, sehingga dapat terjadi trombosis disertai perdarahan. Antibodi antinuklear telah dikenal pula sebagai pembentuk kompleks imun yang sangat berperan sebagai penyebab vaskulitis. Autoantibodi pada lupus tidak selalu berperan pada patogenesis ataupun bernilai sebagai petanda imunologik penyakit lupus. Antibodi antinuklear dapat ditemukan pada bukan penderita lupus, atau juga dalam darah bayi sehat dari seorang ibu penderita lupus. Selain itu diketahui pula bahwa penyakit lupus ternyata tak dapat ditularkan secara pasif dengan serum penderita lupus. Adanya keterlibatan kompleks imun dalam patogenesis LES didasarkan pada adanya kompleks imun pada serum dan jaringan yang terkena (glomerulus renal, tautan dermisepidermis, pleksus koroid) dan aktivasi komplemen oleh kompleks imun menyebabkan hipokomplemenemia selama fase aktif dan adanya produk aktivasi komplemen. Beberapa kompleks imun terbentuk di sirkulasi dan terdeposit di jaringan, beberapa terbentuk insitu (suatu mekanisme yang sering terjadi pada antigen dengan afinitas tinggi, seperti dsDNA). Komponen C1q dapat terikat langsung pada dsDNA dan menyebabkan aktivasi komplemen tanpa bantuan autoantibodi.
23

Kompleks imun menyebabkan lesi inflamasi melalui aktivasi kaskade komplemen. Akibatnya terdapat faktor kemotaktik (C3a, C5a), adanya granulosit dan makrofag sehingga terjadi inflamasi, seperti vaskulitis. Beberapa faktor terlibat dalam deposit kompleks imun pada LES, antara lain banyaknya antigen, respon autoantibodi yang berlebih dan penurunan pembersihan kompleks imun karena inefisiensi atau kelelahan sistem retikuloendotelial. Penurunan fungsi ini dapat disebabkan oleh penurunan reseptor komplemen CR1 pada permukaan sel. Pada lupus nefritis, lesi ginjal mungkin terjadi karena mekanisme pertahanan di daerah membran basal glomerulus, yaitu ikatan langsung antara antibodi dengan membran basal glomerulus, tanpa intervensi kompleks imun. Pasien dengan LES aktif mempunyai limfositopenia T, khususnya bagian CD4+ yang mengaktivasi CD8+ (Tsupressor) untuk menekan hiperaktif sel B. Terdapat perubahan (shift) fenotip sitokin dari sel Th0 ke sel Th2. Akibatnya sitokin cenderung untuk membantu aktivasi sel B melalui IL-10, IL-4, IL-5 dan IL-6. Autoantibodi yang terdapat pada LES ditujukan pada antigen yang terkonsentrasi pada permukaan sel apoptosis. Oleh karena itu abnormalitas dalam pengaturan apoptosis mempunyai peranan penting dalam patogenesis LES. Pada LES terjadi peningkatan apoptosis dari limfosit. Selain itu, terjadi pula persistensi sel apoptosis akibat defek pembersihan (clearance). Kadar C1q yang rendah mencegah ambilan sel apoptosis oleh makrofag. Peningkatan ekspresi Bcl-2 pada sel T dan protein Fas pada CD8+ mengakibatkan peningkatan apoptosis dan limfositopenia. Meskipun hormon steroid (sex hormone) tidak menyebabkan LES, namun mempunyai peranan penting dalam predisposisi dan derajat keparahan penyakit. Penyakit LES terutama terjadi pada perempuan antara menars dan menopause, diikuti anak-anak dan setelah menopause. Namun, studi oleh Cooper dkk menyatakan bahwa menars yang terlambat dan menopause dini juga dapat mendapat LES, yang menandakan bahwa pajanan estrogen yang lebih lama bukan risiko terbesar untuk mendapat LES. Adanya defisiensi relatif hormon androgen dan peningkatan hormon estrogen merupakan karakteristik pada LES. Anak-anak dengan LES juga mempunyai kadar hormon FSH (Follicle-stimulating hormone), LH (Luteinizing hormone) dan prolaktin yang meningkat. Pada perempuan dengan LES, juga terdapat peningkatan kadar 16 alfa hidroksiestron dan estriol. Frekuensi LES juga meningkat saat kehamilan trimester ketiga dan postpartum. Pada hewan percobaan hormon androgen akan menghambat perkembangan penyakit lupus pada hewan betina, sedangkan kastrasi prapubertas akan mempertinggi angka kematian penderita jantan. Fakta bahwa sebagian kasus bersifat sporadis tanpa diketahui faktor predisposisi genetiknya belum dapat diungkapkan secara jelas, menunjukkan faktor lingkungan juga berpengaruh. Infeksi dapat menginduksi respon imun spesifik berupa molecular mimicry yang mengacau regulasi sistem imun. LO 2.5 Memahami dan menjelaskan diagnosis dan diagnosis banding Kecurigaan akan penyakit SLE peril dipikirkan bila dijumpai 2 (dua) atau lebih kriteria, yaitu : 1. Wanita muda dengan eterlibatan dua organ atau lebih. 2. Gejala konstitusional: kelelahan, demam (tanpa bukti infeksi) dan penurunan berat badan. 3. Musculoskeletal: arthritis, arthralgia, myositis. 4. KUlit: ruam kupu-kupu (butterfly atau malar rash), fotosensitivitas, lesi membrane mukosa, alopesia, fenomena Raynaud, purpura, urtikaria, vasculitis. 5. Ginjal: hematuria, proteinuriasilinderia. Sindroma nefritik.
24

6. Gastrointestinal: mual, muntah, nyeri abdomen. 7. Paru-paru: pleurisy, hipertensi pulmonal, lesi parenkim paru-paru. 8. Jantung: pericarditis, endocarditis, miokarditis. 9. Retikulo-endotel: organomegali (limfadenopati, splenomegaly, hepatomegaly). 10. Hematologi: anemia, leukopenia, dan trombositopenia. 11. Neuropsikiatri: psikosis, kejang, sindroma otak organic, myelitis transversus, gangguan kognititf neuropati kranial dan perifer. Rekomendasi Kecurigaan terhadap SLE perlu dipikirkan pada penderita yang memiliki 2 atau lebih kriteria kewaspadaan SLE. Diagnosis SLE Batasan operasional diagnosis SLE yang dipakai dalam rekomendasi mengacu pada kriteria diagnosis dari American College of Rheumatology (ACR) revisi tahun 1997. Terkait dengan dinamisnya perjalan penyakit SLE, maka diagnosis ini tidak mudah ditegakkan . SLE pada tahap awal sering sekali bermanifestasi sebagai penyakit lain mislanya artritis rheumatoid, glomerulonephritis, anemia, dermatitis, dan sebagainya. Maka dari itu ketepatan dalam diagnosis dan pengenalan dini penyakit SLE sangat penting. Tabel. Kriteria Diagnosis Lupus Eritematosus Sistemik Kriteria Definisi Bercak malar (butterfly rash) Bercak diskoid Bercak eritema yang menimbul dengan adherent keratotic scaling dan follicular plugging, pada lesi lama dapat terjadi parut atrofi Fotosensitif Bercak di kulit yang timbul akibat paparan sinar matahari, pada anamnesis atau pemeriksaan fisik Ulkus mulut Artritis Artritis nonerosif pada dua atau lebih persendian perifer, ditandai dengan nyeri tekan, bengkak atau efusi Serositif a. Pleuritis Riwayat pleuritic pain atau terdengar pleural friction rub atau terdapat efusi pleura pada Ulkus mulut atau nasofaring, biasanya tidak nyeri Eritema datar atau menimbul yang menetap di daerah pipi, cenderung tidak menyebar ke lipatan nasolabial

25

pemeriksaan fisik atau b. Perikarditis Dibuktikan dengan EKG atau terdengar pericardial friction rub atau terdapat efusi perikardial pada pemeriksaan fisik Gangguan ginjal a. Proteinuria persisten > 0,5 g/hr atau pemeriksaan +3 jika pemeriksaan kuantitatif tidak dilakukan atau b. Silinder seluler : eritrosit, Hb, granular, tubular atau campuran Gangguan saraf Tidak disebabkan oleh obat atau kelainan metabolik (uremia, ketoasidosis atau ketidakseimbangan elektrolit) atau Psikosis Tidak disebabkan oleh obat atau kelainan metabolik (uremia, ketoasidosis atau ketidakseimbangan elektrolit) Gangguan darah Anemia hemolitik dengan retikulositosis Leukopenia < 4000/mm3 pada > 1 pemeriksaan Terdapat salah satu kelainan darah Kejang

26

Limfopenia < 1500/mm3 pada > 2 pemeriksaan Trombositopenia < 100.000/mm3 tanpa adanya intervensi obat Gangguan imunologi Anti ds-DNA diatas titer normal Anti-Sm(Smith) (+) Antibodi fosfolipid (+) berdasarkan kadar serum IgG atau IgM antikardiolipin yang abnormal antikoagulan lupus (+) dengan menggunakan tes standar tes sifilis (+) palsu, paling sedikit selama 6 bulan dan dikonfirmasi dengan ditemukannya Treponema palidum atau antibodi treponema Antibodi antinuklear Tes ANA (+) Titer abnormal dari antibody anti-nuklear berdasarkan pemeriksaan imunofluoresensi atau pemeriksaan setingkat pada setiap kurun waktu perjalanan penyakit tanpe keterlibatan obat yang diketahui berhubungan dg sindroma lupus yang diinduksi obat. Terdapat salah satu kelainan

Keterangan: a. Klasifikasi ini terdiri dari 11 kriteria dimana diagnosis harus memenuhi 4 dari 11 kriteria tersebut yang terjadi bersamaan atau dengan tenggang waktu b. Modifikasi kriteria ini dilakukan pada tahun 1997 Bila dijumpai 4 atau lebih kriteria diatas, diagnosis SLE memiliki sensitisitas 85% dan spesitifitas 95%. Sedangkan bila hanya 3 kriteria salah satunya ANA positif, maka sangat mungkin SLE dan diagnosis bergantung pada pengamatan klinis. Bila hasil tes ANA

27

negative, maka kemungkinan bukan SLE. Apabila hanya tes ANA positif dan manifestasi klinis lain tidak ada, maka belum tentu SLE, dan observasi jangka panjang diperlukan. Diagnosis Banding Beberapa penyakit atau kondisi dibawah ini sering mengacaukan diagnosis akibat gambaran klinis yang mirip atau beberapa tes laboratorium yang serupa, yaitu: a. Undifferentiated connective tissue disease b. Sindroma Sjogren c. Sindroma antibody antifosfolipid (APS) d. Fibromialgia (ANA positif) e. Purpura trombositopenik idiopatik f. Lupus imbas obat g. Artritis rheumatoid dini h. Vaskulitis

Pemeriksaan darah lengkap untuk melihat jumlah leukosit, trombosit, limfositdan kadar Hb dan LED. LED yang meningkat menandakan aktifnya penyakit. Pemeriksaan CRP sangat membantu untuk membedakan lupus aktif dengan infeksi. Pada lupus yang aktif kadar CRP norma atau meningkat tidak bermakna, sedangkan pada infeksi terdapat peningkatan CRP yang sangat tinggi. Pemeriksaan komplemen C3 dan C4 membantu untuk menilai aktivitas penyakit. Pada keadaan aktif kadar kedua komplemen ini rendah. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan terhadap pasien SLE: a. Tes ANA (Anti Nuclear Antibody) Tes ANA memiliki sensitivitas yang tinggi namun spesifitas yang rendah b. Tes Anti dsDNA (double stranded) Tes ini sangat spesifik untuk SLE, biasanya titernya akan meningkat sebelum SLEkambuh. c. Tes Antibodi anti-S (Smith) Antibodi spesifik terdapat 20-30% pasien d. Tes Anti-RNP (Ribonukleoprotein), anti-ro/anti-SS-A, anti-La (antikoagulan lupus anti SSB, dan antibodi antikardiolipin). Titernya tidak terkait dengan kambuhnya SLE a. Komplemen C3, C4, dan CH50 (komplemen hemolitik) b. Tes sel LE Kurang spesifik dan juga positif pada arthritis rheumatoid, syndrome sjogren, scleroderma, obat, dan bahan-bahan kimia lain c. Tes anti ssDNA (single stranded) Pasien dengan anti ssDNA positif cenderung menderita nefritis Pemeriksaan serologi Tes ANA merupakan pemeriksaan serologi awal. ANA tes juga di pakai untuk menilai aktivitas penyakit. Antibodi antibodi lainnya mempunyai sensitivitas dan spesivitas yang berbeda beda.
28

Ada beberapa pemeriksaan laboratorium yang dapat membantu dokter untuk membuat diagnosa SLE, antara lain : 1. Pemeriksaan anti-nuclear antibodi (ANA) yaitu : pemeriksaan untuk menentukan apakah auto-antibodi terhadap inti sel sering muncul di dalam darah. 2. Pemeriksaan anti ds DNA ( Anti double stranded DNA ). yaitu : untuk menentukan apakah pasien memiliki antibodi terhadap materi genetik di dalam sel. 3. Pemeriksaan anti-Sm antibodi yaitu : untuk menentukan apakah ada antibodi terhadap Sm (protein yang ditemukan dalam sel protein inti). 4. Pemeriksaan untuk mendeteksi keberadaan immune complexes (kekebalan) di dalam darah 5. Pemeriksaan untuk menguji tingkat total dari serum complement (kelompok protein yang dapat terjadi pada reaksi kekebalan) dan pemeriksaan untuk menilai tingkat spesifik dari C3 dan C4 dua jenis protein dari kelompok pemeriksaan ini. 6. Pemeriksaan sel LE (LE cell prep) yaitu : pemeriksaan darah untuk mencari keberadaan jenis sel tertentu yang dipengaruhi membesarnya antibodi terhadap lapisan inti sel lain pemeriksaan ini jarang digunakan jika dibandingkan dengan pemeriksaan ANA, karena pemeriksaan ANA lebih peka untuk mendeteksi penyakit Lupus dibandingkan dengan LE cell prep. 8. Pemeriksaan darah lengkap, leukosit, thrombosit 9. Urine Rutin 10. Antibodi Antiphospholipid 11. Biopsy Kulit 12. Biopsy Ginjal Hasil pemeriksaan ANA positif pada hampir semua pasien dengan sistemik lupus dan ini merupakan pemeriksaan diagnosa terbaik yang ada saat ini untuk mengenali sistemik lupus. Hasil pemeriksaan ANA negatif merupakan bukti kuat bahwa lupus bukanlah penyebab sakitnya orang tersebut walaupun sangat jarang terjadi dimana SLE muncul tanpa ditemukannya ANA. Kemungkinan seseorang mempunyai pemeriksaan ANA positif akan meningkat seiring dengan meningkatnya usia. Pola dari hasil pemeriksaan ANA sangat membantu dalam menentukan jenis penyakit auto imun yang muncul dan menentukan program pengobatan seperti apa yang cocok bagi seorang pasien Lupus. Hasil pemeriksaan ANA bisa positif pada banyak keadaan, oleh karena itu dalam pemeriksaan ANA harus di dukung dengan catatan kesehatan pasien serta gejala-gejala klinis lainnya. Karena itu apabila hasil tes laboratorium ANA positif (hanya ANA saja) tidak cukup untuk mendiagnosa lupus. Lain halnya jika ANA negatif merupakan bantahan terhadap lupus akan tetapi tidak sepenuhnya mengesampingkan adanya penyakit tersebut. Bagaimanapun juga jika hasil pemeriksaan ANA positif, bukanlah bukti keberadaan Lupus, karena hasil pemeriksaan juga bisa positif terhadap : Orang - orang dengan penyakit jaringan connective lainnya. Pasien yang sedang diobati dengan obat-obatan tertentu, misal menggunakan obat prokrainamid, hidralazin, isoniazidklorpromazin. dan

29

Orang-orang dengan kondisi selain dari lupusseperti skeloderma, sjogrens syndrome,rematik arthritis, penyakit kelenjar gondok (thyroid), penyakit hati (liver)

LO 2.7 Memahami dan menjelaskan prognosis SLE LES memiliki angka survival untuk masa 10 tahun sebesar 90%. Penyebab kematian dapat langsung akibat penyakit lupus, yaitu karena gagal ginjal, hipertensi maligna, kerusakan SSP, perikarditis, sitopenia autoimun. Data dari beberapa penelitian tahun 1950-1960, menunjukkan 5-year survival rates sebesar 17.5%-69%. Sedangkan tahun 1980-1990, 5-year survival rates sebesar 83%-93%. Beberapa peneliti melaporkan bahwa 76%-85% pasien LES dapat hidup selama 10 tahun, sebesar 88% dari pasien mengalami sedikitnya cacat dalam beberapa organ tubuhnya secara jangka panjang dan menetap. (www.medicastore.com) (www.scribd.com ) LO 2.8 Memahami dan menjelaskan tatalaksana SLE Penyuluhan dan intervensi psikososial merupakan hal penting dalam penatalaksanaan penderita yang baru terdiagnosis SLE. Sistemik Lupus Eritematosus merupakan golongan penyakit yang dapat relaps dan remisi. Penatalaksanaan ditujukan pada manifestasi yang terjadi pada penyakit imun ini dan pada strategi-strategi pencegahan seperti : Perlindungan terhadap sinar UV (penderita mengalami fotosensitifitas) Profilaksis antibiotik (penderita menjalani tindakan-tindakan invasif) Pengaturan kehamilan (terutama pada penderita nefritis lupus/penderita terapi antimalaria atau siklifosfamid) Evaluasi serta terapi terhadap infeksi

mendapat

Pemantauan klinis yang ketat, dengan penilainan perkembangan penyakit secara rutin, penting untuk menentukan kebutuhan terapi antiinflamasi dan imunosupresi, terutama untuk meminimalkan kerusakan ginjal dan sistem saraf pusat. Penderita SLE mendapat terapi tergantung tingkat keparahan yang dialami: Terapi konservatif Diberikan apabila penyakit ini tidak mengancam nyawa dan tidak berhubungan dengan kerusakan organ. Bila dipertimbangkan pemberian glukokortikoid dapat diberikan prednison 0.5 mg/kgBB/hari. Arthritis, arthralgia, myalgia Merupakan keluhan yang sering dijumpai pada penderita SLE. Keluhan ringan seperti ini dapat diberikan analgetik sederhana/obat antiinflamasi nonsteroid, tetapi pemberiannya dihentikan bila menunjukkan efek samping yang memperberat keadaan umum penderita, seperti pada sistem gastrointestinal, hepar, dan ginjal sehingga diperlukan pemantauan kreatinin serum berkala. Bila pemberian analgetik dan OAINS tidak berespon baik, pertimbangkan pemberian obat antimalaria : Hidroksiklorokuin 400mg/hari (bila hingga 6 bulan tidak memberikan respon baik, maka pemberian dihentikan). Hidroksiklorokuin (> 6 bulan pemakaian) dan klorokuin (> 3 bulan pemakaian) perlu diperiksa oftalmologik karena beresiko toksik terhadap retina. Bila pemberian OAM tidak berespon baik, pertimbangkan pemberian kortikosteroid dosis rendah (< 15 mg/pagi hari). Metotreksat (7.5-15 mg/minggu) dan diberikan berdampingan dengan obat anti artritis.
30

Bila terjadi artralgia pada 1 atau 2 sendi yang menetap dan bukan merupakan bukti tambahan peningkatan aktivitas penyakit, kemungkinan penderita mengalami osteonekrosis (terutama pada penderita terapi kortikosteroid). Osteonekrosis awal, sering tidak menunjukkan gambaran bermakna pada foto radiologik konvensional, sehingga memerlukan pemeriksaan MRI. Lupus kutaneus Sekitar 70% mengalami fotosensitifitas. Eksaserbasi akut SLE timbul bila penderita terpapar sinar UV, inframerah, fluoresensi. Sehingga perlu diberikan sunscreen berupa cream, minyak, lotion, atau gel yang mengandung PABA (-aminobenzoit acid) dan esternya, benzofenon, salisilat, sinamat yang kesemuanya dapat menyerap sinar UV dan (pemakaian diulang setelah mandi dan berkeringat). Glukokortikosteroid lokal (cream, salep, atau injeksi) dapat dipertimbangkan pada dematitis lupus, pemilihan preparat harus diperhatikan karena bersifat diflorinasi (atrofi kulit, depigmentasi, teleangiektasis, dan fragilitis), anjuran preparat steroid untuk kulit : 1) Muka (steroid lokal berkekuatan rendah dan tidak diflorinasi (hidrokortison) 2) Badan dan lengan [steroid lokal berkekuatan sedang (betametason valerat dan triamsinolon asetonid)] 3) Palmar dan plantar pedis dengan lesi hipertrofik (glukokortikoid berkekuatan tinggi contohnya betametason dipropionat, penggunaan cream dibatasi selama 2 minggu dan diganti dengan yang berkekuatan rendah) Fatigue dan keluhan sistemik Fatigue merupakan keluhan yang sering terjadi, demikian juga penurunan berat badan, dan demam. Fatigue juga dapat timbul akibat terapi glukokortikoid, sedangkan penurunan berat badan dan demam diakibatkan oleh pemberian quinakrin. Seringkali hal ini tidak memerlukan terapi spesifik, cukup dengan menambah waktu istirahat dan mengatur jam kerja. Pada keadaan yang berat dapat menunjukkan peningkatan akitivitas SLE dan pemberian glukokortikoid sistemik dapat dipertimbangkan. Serositis (radang membran serosa) Nyeri dada dan abdomen merupakan tanda serositis. Keadaan ini dapat diatasi dengan salisilat, OAINS, OAM, atau glukokortikoid dosisi rendah (< 15 mg/hari). Pada keadaan berat diberikan glukokortikoid sistemik. Terapi agresif Pemberian glukokortikoid dosis tinggi segera saat mulai timbul manifestasi serius SLE dan mengancam nyawa, misalnya : Vaskulitis Trombositopenia Lupus kutaneus berat Sindrom otak organik Poliartritis Defek kognitif berat Poliserositis Mielopati Miokarditis pneumonitis lupus Neuropati perifer Glomerulonefritis (bentuk Krisis lupus (demam tinggi, proliferat) prostrasi) Anemia hemolitik
31

Dosis glukokortikoid lebih penting untuk diperhatikan dibandingkan dengan jenisnya yang akan diberikan. Sebaiknya hindari pemberian deksametason karena berefek panjang, lebih baik menggunakan prednison karena lebih mudah untuk mengatur dosisnya. Pemberian glukokortikoid oral sebaiknya diberikan pada pagi hari. Pada manifestasi berat dapat diberikan prednison 1-1.5 mg/kgBB/hari. Pemberian bolus metilprednisolon intravena 1 gram atau 15 mg/kgBB/hari selama 3-5 hari, dapat dipertimbangkan sebagai pengganti glukokortikoid dosis tinggi, kemudian dilanjutkan dengan prednison oral 1-1.5 mg/kgBB/hari. Efek terapi dapat terlihat secepat mungkin atau mungkin 6-10 minggu kemudian. Toksisitas SLE merupakan masalah tersendiri pada penatalaksanaan SLE. Setelah pemerian glukokortikoid dosis tinggi selama 6 minggu, maka harus dilakukan penurunan dosis bertahap (5-10%) setiap minggu agar tidak timbul ekserbasi akut. Setelah dosis prednison mencapai 30 mg/hari, maka penurunan dosis dilakukan 2.5 mg/minggu. Setelah dosis prednison mencapai 10-15 mg/hari, penurunan dosis dilakukan 1 mg/minggu. Bila timbul ekserbasi akut, naikkan dosis hingga dosis efektif sampai beberapa minggu, kemudian turunkan dosis kembali. Bila dalam 4 minggu pemberian glukokortikoid tidak menunjukkan perbaikan yang nyata, maka pertimbangkan untuk memberikan imunosupresan lain atau terapi agresif lainnya. Obat sitotoksik adalah bolus siklofosfamid intravena 0.5-1 gr/m2 dalam 250 ml NaCl 0.9% selama 60 menit diikuti dengan pemberian cairan 2-3 liter/24 jam setelah pemberian obat. Siklofosfamid diindikasikan pada : 1. Penderita SLE dengan terapi steroid dosis tinggi (steroid sparing agent) 2. Penderita SLE dengan kontraindikasi terhadap steroid dosis tinggi 3. Penderita yang kambuh setelah diterapi dengan steroid jangka panjang lama atau berulang 4. Glomerulonefritis difus awal 5. SLE dengan trombositopenia yang resisten terhadap steroid 6. Penurunan GFR atau peningkatan kreatinin serum tanpa adanya faktor-faktor ekstrarenal lainnya. 7. SLE dengan manifestasi SSP Pada penderita dengan penurunan fungsi ginjal sampai 50%, dosis siklofosfamid diturunkan sampai 500-750 mg/m2. Setelah pemberian siklofosfamid, segera pantau jumlah leukosit darah, bila mencapai 1500/ml maka dosis siklofosfamid berikutnya diturunkan 25%. Kegagalan menekan jumlah leukosit sampai 4000/ml menunjukkan dosis yang tidak adekuat, sehingga harus ditingkatkan 10% pada pemberian berikutnya. Siklofosfamid diberikan selama 6 bulan dengan interval 1 bulan, kemudian tiap 3 bulan selama 2 tahun. Selama pemberian siklofosfamid diberikan, dosis steroid diturunkan secara bertahap dengan memperhatikan aktifitas lupusnya. Toksisitas siklofosfamid meliputi : Nausea Vomitus alopesia Sistitis hemoragika
32

Keganasan kulit Penekanan fungsi ovarium dan azoospermia

Obat sitotoksik lain dengan toksisitas dan efektifitas yang lebih rendah dari siklofosfamid adalah azatioprin yang merupakan analog purin yang dapat digunakan sebagai alternatif siklofosfamid dengan dosis 1-3 gr/kgBB/hari peroral. Obat ini dapat diberikan selama 6-12 bulan pada penderita SLE, setelah penyakitnya dapat dikontrol dengan steroid seminimal mungkin, maka dosis azatioprin dapat diturunkan perlahan dan dihentikan. Toksisitas dari azatioprin meliputi : 1. Penekanan sistem hemopoetik 2. Peningkatan enzim hati 3. Mencetuskan keganasan Imunosupresan lain yang dapat digunakan adalah siklosporin-A dosis rendah (3-6 mg/kgBB/hari) dan mofetil mikofenolat. Siklosporin A dapat digunakan pada SLE baik tanpa manifestasi renal maupun dengan nefropati membranosa. Selama pemberian harus diperhatikan tekanan darah dan kada kreatinin darah, bila kadar kreatinin darah meningkat 20% dari kadar sebelum pemberian siklosporin maka dosis harus diturunkan. Terapi lain masih dalam taraf penelitian yaitu : 1. Terapi hormonal 2. Imunoglobulin 3. Afaresis o Plasmafaresis o Leukofaresis o Kriofaresis Yang paling banyak digunakan yaitu danazol, merupakan androgen yang dapat mengatasi trombositopenia pada SLE. Mekanismenya tidak diketahui secara pasti. Pemberian Ig intravena juga dapat mengatasi trombositopenia, dengan dosis 300-400 mg/kgBB/hari selama 5 hari berturut-turut, diikuti dosis pemeliharan setiap bulan untuk mencegah kekambuhan. Pemberian Ig kontraindikasi mutlak dengan penderita defisiensi IgA pada penderita SLE. Penatalaksanaan SLE keadaan khusus Trombosis Merupakan manifesatasi SLE dan berhubungan dengan adanya antibodi antifosfolipid. Antikoagulan merupakan obat pilihan untuk mengatasinya (warfarin) dan mempertahankan nilai INR (international normalization ratio) 33,5, terutama pada trombosis arteri karotis interna. Antikoagulan lupus berespon baik terhadap glukokortikoid dosis tinggi, sedangkan sedangkan antibodi antikardiolipin sangat resisten terhadap glukokortikoid dosis tinggi maupun imunosupresan lainnya. Abortus berulang pada SLE Disebabkan oleh aktivitas SLE atau adanya antibodi antifosfolipid, untuk menekan aktivitas SLE, glukokortikoid cukup aman dan tidak mempengaruhi janin kecuali betametason dan deksametason karena dapat mencapai janin dalam bentuk aktif. Pada penderita yang belum pernah mengalami abortus, dapat dipertimbangkan untuk tidak diberikan terapi apapun. Makin
33

sering terjadi abortus, kemungkinan mempertahankan kehamilan makin kecil, sehingga terapi perlu diberikan. Pilihan terapi : a. Aspirin dosis rendah b. Kombinasi aspirin dosis rendah dengan glukokortikoid dosis sedang c. Glukokortikoid dosis tinggi d. Glukokortikoid dosis tinggi dengan aspirin e. Heparin (warfarin bersifat teratogenik pada kehamilan trimester I) Semua regimen ini meningkatkan keberhasilan kehamilan secara bermakna, pemantauan pada ibu dan janin secara ketat sangat penting untuk diperhatikan. Lupus neonatal Merupakan sindrom pada neonatus yang lahir dari ibu yang menderita SLE. Gejala paling sering adalah ruam kemerahan dikulit disertai plakat. Lesi ini berhubungan dengan transmisi antibodi Anti Ro (SS-A) melalui plasenta. Kelainan yang serius seperti blok jantung kongenital jarang terjadi. Sehingga pada wanita hamil perlu diperiksa kemungkinan adanya antibodi antiRo. Trombositopenia Pertama-tama cari penyebab terjadinya trombositopenia : a. Efek samping obat b. Purpura trombositopenia trombotik c. Infeksi virus (HIV, HBV, CMV) d. Infeksi bakteri (Endokarditis bakterialis, sepsis gram-negatif) Berikan prednison 0.5-1 mg/kgBB/hari selama 3-4 minggu, bila jumlah trombosit < 50.000/ml kemudian turunkan dosis secara perlahan, target terapi ini trombosit > 50.000/ml. Bila prednison tidak berefek baik, berikan danazol 400-800 mg/hari, Ig atau splenektomi. Pada penderita yang resisten atau penderita dengan keterlibatan organ mayor dapat diberikan bolus siklofosfamid tiap bulan sampai 6 bulan. SLE pada susunan saraf pusat Penderita SLE pada susunan saraf pusat dibagi menjadi dua, yaitu : Penderita dengan strok Pemberian antikoagulan lebih berguna dibandingkan pemberian imunosupresan Penderita dengan kelainan SSP yang lebih luas Apabila disertai vaskulitis perifer, maka imunosupresan menjadi pilihan utama. Pada penderita SLE dengan kejang-kejang tanpa aktivitas pada organ lain, dapat diberikan antikonvulsan tanpa imunosupresan. Pada penderita psikotik tanpa manifestasi SLE lain cukup diberikan obat psikoaktif. Kelainan kognitif ringan dapat diberikan prednison 30mg/hari selama beberapa minggu lalu dosis diturunkan secara bertahap. Pada sindrom otak organik berat, koma, mielopati diberikan terapi agresif dengan glukokortikoid dosis tinggi, dengan atau tanpa obat sitotoksik.
34

Nefritis lupus Penatalaksanaan umum : 1. Penderita yang diduga menderita nefritis lupus, harus dilakukan biopsi ginjal (bila tidak ada kontraindikasi) guna menentukan strategi penatalaksanaan lebih lanjut. 2. Kurangi asupan : a. Garam (bila ada hipertensi) b. Lemak (bila ada dislipidemia) c. Protein (bila fungsi ginjal mulai terganggu) 3. Perhatikan asupan kalsium untuk mencegah osteoporosis akibat steroid 4. Berikan loop diuretics untuk mengatasi edema 5. Hindari penggunaan salisilat dan OAINS 6. Terapi agresif terhadap hipertensi 7. Hindrai kehamilan, karena beresiko tinggi untuk mengalami kegagalan ginjal 8. Penderita nefritis lupus dengan manifestasi SLE kulit, dapat diberikan OAM 9. Pemantauan berkala aktifitas penyakit dan fungsi ginjal meliputi : a. Tekanan darah b. Sedimen urin c. Kreatinin serum d. Albumin serum e. Protein urin 24 jam f. Komplemen C3 g. Anti DNA LO. 2.9 Memahami dan menjelaskan komplikasi Gagal ginjal adalah penyebab tersering kematian pada penderita SLE. Gagal ginjal dapat terjadi akibat deposit kompleks antibody-antigen pada glomerulus disertai pengaktifan komplemen resultan yang menyebabkan cedera sel, suatu contoh reaksi hipersensitivitas tipe III Dapat terjadi pericarditis (peradangan kantong pericardium yang mengelilingi jantung) Peradangan membrane pleura yang mengelilingi paru dapat membatasi pernapasan sering terjadi bronchitis Dapat terjadi vaskulitis disemua pembulu serebrum dan perifer Komplikasi susunan saraf pusat termasuk stroke dan kejang. Perubahan kepribadian termasuk psikosis dan depresi dapat terjadi. Perubahan kepribadian mungkin berkaitan dengan terapi obat atau penyakitnya

Komplikasi LES pada anak meliputi: Hipertensi


35

Gangguan pertumbuhan Gangguan paru-paru kronik Abnormalitas mata Kerusakan ginjal permanen Gejala neuropsikiatri Kerusakan muskuloskeleta Gangguan fungsi gonad

LI 3. Memahami dan menjelaskan pandangan islam mengenai bersabar, ikhlas dan ridho dalam menghadapi cobaan Sabar di dalam Islam merupakan salah satu tuntunan akhlak Islam yang harus dilaksanakan dalam kehidupan ini.

Hai orang-orang yang beriman jadikanlah sabar dan solat sebagai penolongmu,sesungguhnya allah beserta orang-orang yang sabar. (QS Al-Baqarah : 153) Sabar termasuk akhlak yang paling utama yang banyak mendapat perhatian Al-Quran dalam surat-suratnya. Imam al-Ghazali berkata, Allah swt menyebutkan sabar di dalam al-Quran lebih dari 70 tempat. Ibnul Qoyyim mengutip perkataan Imam Ahmad: Sabar di dalam al-Quran terdapat di sekitar 90 tempat. Abu Thalib al-Makky mengutip sebagian perkataan sebagian ulama: Adakah yang lebih utama daripada sabar, Allah telah menyebutkannya di dalam kitab-Nya lebih dari 90 tempat. Kami tidak mengetahui sesuatu yang disebutkan Allah sebanyak ini kecuali sabar.

Dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa. (QS Al-Baqarah : 177)
36

Surga Allah Untuk orang yang Sabar

Dan dia memberi balasan kepada mereka karena kesabaran mereka dengan surga dan pakaian sutra (QS Al-Insan : 12) Sabar menghadapi penyakit serta keutamaannya. Tidak ada orang yang ingin ditimpa penyakit. Meskipun demikian ternyata ada maksud tertentu dari Allah atas penyakit yang diderita hamba-Nya. Tidaklah seorang muslim tertimpa derita dari penyakit atau perkara lain kecuali Allah hapuskan dengannya (dari sakit tersebut) kejelekan-kejelekannya (dosa-dosanya) sebagaimana pohon menggugurkan daunnya. (Imam Muslim) 1. Menghapus Dosa, Ini merupakan keutamaan yang besar dari Allah Swt karena dengan sakit yang diderita oleh seorang muslim, dosa yang pernah dilakukannya bisa terhapus karena penderitaannya dalam menghadapi penyakit menjadi kafarat (penebus) dosanya, Rasulullah Saw bersabda: Tiada seorang mumin yang rasa sakit, kelelahan (kepayahan), diserang penyaki tatau kesedihan (kesusahan) sampai duri yang menusuk (tubuhnya) kecuali dengan itu Allah menghapus dosa-dosanya (HR. Bukhari). 2. Memperoleh Pahala Kebaikan Segala sesuatu yang terjadi pada manusia pasti ada hikmahnya. Seorang muslim yang sabar dalam menghadapi penyakit maka baginya pahala kebaikan. Rasulullah Saw bersabda: Tiada seorang muslim tertusuk duri atau yang lebih dari itu, kecuali Allah mencatat baginya kebaikan dan menghapus darinya dosa. (HR. Bukhari). Di dalam hadits lain yang senada tentang ini, Rasulullah Saw bersabda: Barangsisapa dikehendaki oleh Allah kebaikan baginya, maka dia (diuji) dengan suatu musibah. (HR. Bukhari). 3. Memperoleh Derajat Yang Tinggi di Sisi Allah SWT Seorang hamba memiliki suatu derajat di surga. Ketika dia tidak dapat mencapainya dengan amal-amal kebaikannya, maka Allah menguji dan mencobanya agar dia dapat mencapai derajat itu. (HR. Thabrani) 4. Memperoleh Ganjaran Berupa Surga Manakala seorang muslim menghadapi penyakit dengan penuh kesabaran, misalnya penyakit yang sangat menyulitkan penderitanya dalam kehidupan ini seperti buta matanya, Rasulullah saw bersabda:
37

Apabila Aku menguji hamba-Ku dengan membutakan kedua matanya dan dia bersabar, maka Aku ganti kedua matanya itu dengan surga. (HR. Ahmad).

38

Anda mungkin juga menyukai