BAB 6
AUTOIMUNITAS DAN DEFISIENSI IMUN
Suatu keadaan yang mungkin terjadi pada sistem imun adalah keadaan yang
tidak diharapkan dan menimbulkan keadaan patologi sehingga disebut dengan
imunopatologi.
Autoimunitas sebenarnya bukan merupakan penyakit tetapi merupakan suatu
keadaan di mana tubuh tidak mampu membedakan sel atau jaringan tubuh sendiri
dari sel atau jaringan asing sehingga jaringan tubuh sendiri dianggap sebagai
antigen asing. Antigen tersebut disebut autoantigen sedang antibodi yang dibentuk
disebut autoantibodi. Respons imun terhadap antigen jaringan sendiri yang
disebabkan karena mekanisme normal yang gagal berperan untuk
mempertahankan self tolerance sel B, sel T atau keduanya. Penyakit autoimun
adalah kerusakan jaringan atau gangguan fungsi fisiologis yang ditimbulkan oleh
respons autoimun. Perbedaan tersebut adalah penting karena respons imun dapat
terjadi tanpa disertai penyakit atau penyakit yang ditimbulkan mekanisme lain
(seperti infeksi).
Sel autoreaktif adalah limfosit yang mempunyai reseptor untuk self antigen
atau autoantigen. Bila sel tersebut memberikan respons autoimun , disebut sel
limfosit reaktif (SLR). Pada keadaan normal , meskipun SLR berpapasan dengan
autoantigen, tidak selalu terjadi respons autoimun, oleh karena ada sistem yang
mengontrol reaksi autoimun. Respons terhadap self-antigen melibatkan
komponen-komponen yang juga bekerja dalam respons imun seperti antibodi,
komplemen, kompleks imun dan Cell Mediated Immunity (CMI). Antigen yang
berperan pada penyakit autoimun pada umumnya belum diketahui.
Topik 1 Autoimunitas
Penyebab autoimunitas belum diketahui dengan pasti, namun para ahli
sependapat bahwa dalam hal ini ada bebarapa faktor, seperti faktor genetik, faktor
imunologik, atau karena mikroorganisme seperti virus.
I. Etiologi autoimunitas
1. Teori tentang terjadinya penyakit autoimun berubah-ubah
a. Teori forbidden clones menurut Jerne dan Burnett
Menurut teori Jerne dan Burnett, self antigen dalam sirkulasi
yang sampai di sistem limfoid yang belum matang akan dikenal sebagai
self dan selanjutnya tidak terjadi respons imun terhadapnya ( proses self
tolerance). Menurut teori clonal selection dari Burnett , limfosit
autoreaktif yang kontak dengan self antigen selama ontogeny
dihancurkan ( clonal abortion).
Mekanisme tersebut merupakan pertahanan terhadap
autoimunitas. Namun pada kenyataannya orang normal memiliki
limfosit yang dapat bereaksi dengan self–antigen, jika ada sel–sel yang
lepas dari clonal abortion. Limfosit imunokompeten tersebut dapat
dirangsang oleh antigen tertentu sehingga berploriferasi dan
berdiferensiasi menjadi klon sel yang dapat membentuk antibodi dan
sel-sel memori. Klon yang dapat meloloskan diri dari proses self
tolerance atau timbul kembali akibat mutasi disebut Forbidden clones.
b. Rangsangan molekul poliklonal
Autoimunitas dapat terjadi oleh karena molekul poliklonal seperti
virus Epstein–Bar (EBV) atau lipopolisakarida (LPS) dapat merangsang
sel B secara langsung dan menimbulkan autoimunitas. Beberapa reaksi
autoimun diduga terjadi akibat respons terhadap antigen yang
mempunyai reaksi silang dengan mikroorganisme yang masuk badan.
Antibodi yang dibentuk terdiri atas berbagai autoantibodi.
c. Kegagalan auroregulasi
Diketahui terdapat juga limfosit B yang self-reactive, namun
kenyataannya penyakit autoimun merupakan lebih banyak kekecualian.
Hal ini ditunjang teori immunoregulation yang mempertahankan
homeostasis. Sehingga terdapat anggapan bahwa gagalnya sistem
pengontrolan yang menimbulkan respons terhadap antigen sendiri.
Pengawasan beberapa sel autoreaktif diduga bergantung pada sel
Ts. Bila terjadi kegagalan sel Ts atau bila autoantigen bergabung
dengan molekulIa, maka sel Th dapat dirangsang sehingga
mengakibatkan autoimunitas. Penyakit autoimun baru terjadi bila reaksi
autoimun mengakibatkan kerusakan jaringan patologik.
d. Sequestered antigen
Sequstered antigen adalah antigen sendiri yang karena letak
anatominya, tidak terpajan dengan sel B atau sel T dari sistem imun.
Pada keadaan normal sequestered antigen dilindungi dan tidak
ditemukan untuk dikenal sistem imun. Perubahan anatomik dalam
jaringan seperti inflamasi, dapat memajankan sistem imun yang tidak
terjadi pada keadaan normal. Sebagai contoh adalah protein lensa
intraocular, sperma dan Myelin Basic Protein.
2. Peran Genetik pada autoimunitas.
Peran genetik pada penyakit autoimun melibatkan gen multiple. Namun
demikian efek sejumlah gen tunggal dapat juga menimbulkan autoimunitas.
Studi keluarga atau kembar menunjukkan kontribusi genetik dalam semua
penyakit autoimun dan autoimunitas sub klinis yang lebih sering ditemukan
pada anggota keluarga.
3. Faktor lingkungan yang berperan pada autoimunitas
Beberapa faktor lingkungan dapat memicu autoimunitas seperti
mikroba, hormon, radiasi UV, obat dan logam
a. Mikroba
Hubungan antara infeksi mikroba dapat berupa virus ataupun bakteri
dengan autoimunitas disebabkan karena adanya kemiripan (mimicracy).
Berbagai virus berhubungan dengan berbagai penyakit autoimun yang
mengenai sendi. Virus Adeno dan Coxsackie A9, B2, B4, B6 sering
berhubungan dengan polyarthritis, pleuritis, myalgia, ruam kulit,
faringitis, miokarditis dan leukositosis.
Penyakit autoimun yang ditimbulkan bakteri adalah demam reuma
pasca infeksi streptokok yang disebabkan oleh antibodi terhadap
streptokok yang diikat jantung dan menimbulkan miokarditis. Demam
reuma adalah gejala sisa nonsupuratif penyakit Streptokok A, biasanya
berupa faringitis dengan manifestasi 2-4 minggu pasca infeksi akut. Ada
tiga gejala utama yaitu arthritis, karditis dan korea (gerakan tidak
terkontrol, tidak teratur dari otot muka, lengan dan tungkai). Gejala
tersebut biasanya timbul pada penderita yang menunjukkan beberapa
gambaran klinis utama dan jarang terjadi dengan sendiri.
b. Hormon
Studi epidemiologi menemukan bahwa wanita lebih cenderung
menderita penyakit autoimun dibanding pria. Selain itu, wanita pada
umumnya memproduksi antibodi lebih banyak dibandingkan pria yang
biasanya merupakan respons proinfalmasi Th1. Kehamilan sering disertai
dengan memburuknya penyakit terutama artritis rheumatik dan relaps
sering terjadi setelah melahirkan. Kadar prolactin yang timbul tiba-tiba
setelah kehamilan berhubungan dengan kecenderungan terjadinya
penyakit autoimun seperti RA.
c. Radiasi UV
Pajanan dengan radiasi Ultraviolet (biasanya sinar matahari)
diketahui merupakan pemicu inflamasi kulit dan kadang LES. Radiasi UV
dapat menimbulkan modifikasi struktur radikal bebas self antigen yang
meningkatkan imunogenitas.
d. Logam
Berbagai macam logam seperti Zn, Cu, Cr,Pb, Cd,Pt, perak dan
silikon diduga dapat menimbulkan efek terhadap sistem imun, baik in
vitro maupun in vivo dan kadang serupa autoimunitas. Salah satu yang
banyak diteliti adalah terhadap silikon. Silikon merupakan metalloid
( kristal non logam) , dan bentuk dioksida nya disebut dengan silica.
Pajanan debu dari silikon yang berhubungan dengan pekerjaan dapat
menimbulkan penyakit yang disebut silikosis. Respons imun yang terjadi
dapat berupa produksi ANA, RF, dan mungkin dapat menunjukkan LES
atau sindrom serupa skeloderma dengan endapan kompleks imun di
glomerulus dan glomerulosklerosis lokal. Walaupun banyak dugaan
keterlibatan logam dalam autoimunitas, namun masih banyak penelitian
yang harus dilakukan terhadap keterlibatan logam dalam autoimuntas.
Sebagai contoh adalah logam Silikon dapat merangsang respon autoimun
dengan indikator terdeteksinya ANA serta menimbulkan penyakit serupa
skleroderma.
Patogenesis HIV
Virus umumnya masuk tubuh melalui infeksi sel Langerhans di mukosa
rectum atau mukosa vagina yang kemudian bergerak dan bereplikasi di
kelenjar getah bening setempat. Virus kemudian disebarkan melalui viremia
yang disertai dengan sindrom dini akut berupa panas, myalgia, dan arthralgia.
Pejamu memberikan respons seperti terhadap infeksi virus pada umumnya.
Virus menginfeksi sel CD4⁺ , makrofag dan sel dendritik dalam darah dan
organ limfoid.
Antigen virus nukleokapsid , p24 dapat ditemukan dalam darah selama
fase ini. Fase ini kemudian dikontrol sel T CD 8⁺ dan antibodi dalam sirkulasi
terhadap p42 dan protein envelop gp120 dan gp41. Efikasi sel Tc dalam
mengontrol virus terlihat dari menurunnya kadar virus. Respons imun tersebut
menghancurkan HIV dalam Kelenjar getah bening yang merupakan reservoir
utama HIV selama fase selanjutnya dan fase laten.
Setelah HIV masuk dalam sel dan terbentuk dsDNA, integrasi DNA viral
ke dalam genom sel pejamu membentuk provirus. Provirus tetap laten sampai
kejadian dalam sel terinfeksi mencetuskan aktivitasinya yang mengakibatkan
terbentuk dan penglepasan partikel virus. Walau CD 4 berikatan dengan
envelope glikoprotein HIV 1, diperlukan reseptor kedua supaya dapat masuk
dan terjadi infeksi.