Anda di halaman 1dari 47

AUTOIMUN

BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Autoimun adalah respon imun terhadap antigen jaringan sendiri yang
disebabkan

kegagalan

mekanisme

normal

yang

berperan

untuk

mempertahankan self-tolerance sel B, sel T atau keduanya. Potensi autoimun


ditemukan pada semua individu oleh karena limfosit dapat mengeskpresikan
reseptor spesifik untuk banyak self antigen (Baratawidjaya , 2006).
Dalam kaitannya dengan fenomena autoimun harus dibedakan antara
pengertian respon autoimun dan penyakit autoimun. Respons autoimun selalu
dikaitkan dengan didapatkannya autoantibodi atau reaktivitas limfosit terhadap
antigennya sendiri. Respons autoimun tidak selalu harus mempunyai kaitan
dengan penyakit autoimun yang dideritanya, bahkan respon autoimun tidak
selalu menampakkan gejala penyakit autoimun.
Dalam keadaan normal, sistem imun dapat membedakan self antigen
(antigen tubuh sendiri) dari antigen asing, karena tubuh mempunyai toleransi
terhadap self antigen (self-tolerance), tetapi pengalaman klinis menunjukkan
bahwa adakalanya timbul reaksi autoimunitas. Autoimunitas terjadi karena selfantigen yang dapat menimbulkan aktivasi, proliferasi serta diferensiasi sel T
autoreaktif menjadi sel efektor yang menimbulkan kerusakan jaringan dan
berbagai organ.
Dalam autoimunitas, antigen disebut autoantigen, sedang antibodi disebut
autoantibodi. Sel autoreaktif adalah limfosit yang mempunyai reseptor untuk
autoantigen. Bila sel tersebut memberikan respon autoimun, disebut SLR (sel
limfosit reaktif).
Dalam populasi, sekitar 3,5% orang menderita penyakit autoimun. 94%
dari jumlah tersebut berupa penyakit Grave (Hipertiroidism), Diabetes Mellitus
tipe 1, Anemia Pernisiosa, Artritis Rheumatoid, Tiroiditis, Vitiligo dan Sclerosis
Multiple. Penyakit ditemukan lebih banyak pada wanita (2,7 kali dibandingkan
pria), yang diduga karena disebabkan oleh hormon.

I.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud dengan Autoimun ?
2. Apa saja Klasifikasi Penyakit Autoimun ?
3. Apa saja Teori-Teori Fenomena Autoimun ?
4. Apakah Faktor-Faktor yang berperan pada Autoimun ?
5. Bagaimana Contoh dan Gejala Penyakit Autoimun ?
6. Bagaimana Pengobatan Penyakit Autoimun ?
I.3 Tujuan Penulisan
1. Untuk menjelaskan definisi dari autoimun
2. Untuk menjelaskan klasifikasi penyakit autoimun
3. Untuk menjelaskan teori-teori fenomena autoimun
4. Untuk menjelaskan faktor-faktor yang berperan pada autoimun
5. Untuk menjelaskan contoh dan gejala penyakit autoimun
6. Untuk menjelaskan pengobatan penyakit autoimun

BAB II
PEMBAHASAN
II.1 Definisi Autoimun
Respons autoimun selalu dikaitkan dengan didapatkannya autoantibodi
atau reaktivitas limfosit terhadap antigennya sendiri. Respons autoimun tidak
selalu harus mempunyai kaitan dengan penyakit autoimun yang dideritanya,
bahkan respon autoimun tidak selalu menampakkan gejala penyakit autoimun.
Autoimun adalah respon imun terhadap antigen jaringan sendiri yang
disebabkan

kegagalan

mekanisme

normal

yang

berperan

untuk

mempertahankan self-tolerance sel B, sel T atau keduanya. Potensi autoimun


ditemukan pada semua individu oleh karena limfosit dapat mengeskpresikan
reseptor spesifik untuk banyak self antigen.
II.2 Klasifikasi Penyakit Autoimun
Penyakit autoimun dapat diklasifikasikan menjadi dua golongan, menurut
mekanisme terjadinya, yaitu melalui antibodi/humoral, kompleks imun, selular,
selular dan humoral atau menurut organ yang menjadi sasaran yaitu organ
spesifik dan non organ spesifik atau sistemik.
A.

Klasifikasi Penyakit Autoimun Menurut Organ yang Terlibat


Contoh alat tubuh yang menjadi sasaran penyakit autoimun adalah
darah, saluran cerna, jantung, paru, ginjal, susunan saraf, endokrin, kulit,
otot, alat reproduksi, telinga-tenggorok dan mata.3
Berdasarkan organ yang menjadi sasaran , penyakit-penyakit autoimun
dapat dianggap membentuk spektrum. Suatu upaya untuk mengelompokkan
penyakit-penyakit utama yang dianggap berkaitan dengan autoimunitas
dalam suatu spektrum penyakit autoimun yang organ spesifik dan non organ
spesifik (sistemik) diperlihatkan pada tabel 1.

Pada salah satu ujung spektrum kita lihat penyakit autoimun spesifik
organ dengan autoantibodi spesifik organ. Penyakit Hashimoto pada kelenjar
tiroid merupakan satu contoh yang menunjukkan lesi spesifik pada tiroid.
Sedangkan Pada ujung lain dari spektrum terdapat penyakit autoimun tidak
spesifik

organ

(sistemik)

yang

secara

luas

digolongkan

penyakit

reumatologik; salah satu contoh adalah lupus eritematosus sistemik (SLE)


yang baik lesi maupun autoantibodinya tidak terbatas pada organ tertentu.
Ada kecenderungan bahwa pada seseorang dapat dijumpai lebih dari
satu jenis kelainan autoimun dan apabila ini terjadi maka seringkali
kelainan-kelainan itu berada dalam satu kelompok pada spektrum. Jadi
penderita dengan tiroiditis autoimun (penyakit Hashimoto atau miksedema
primer) lebih sering menderita anemia pernisiosa dibanding yang
diharapkan pada populasi umum dengan umur dan jenis kelamin yang sama
(10 % vs 0,2 %). Hubungan lain sering dijumpai antara penyakit Addison
dengan penyakit tiroid autoimun dan pada remaja yang menderita anemia
pernisiosa

dan

poliendokrinopati

termasuk

penyakit

Addison,

hipoparatiroidisme, diabetes dan tiroiditis.


Perbedaan dan kesamaan antara penyakit autoimun organ spesifik dan
non-organ spesifik (sistemik) terlihat pada tabel 2.

B.

Klasifikasi Penyakit Autoimun menurut Mekanismenya


1). Penyakit autoimun yang terjadi melalui antibodi
Berbagai

antibodi

dapat

menimbulkan

kerusakan

langsung.

Penyakit-penyakit yang ditimbulkannya serta autoantigennya terlihat


pada tabel.
Tabel 3. Efek patogenik antibodi humoral langsung

2). Penyakit autoimun yang terjadi melalui antibodi dan sel T


Pada banyak penyakit autoimun, kerusakan dapat ditimbulkan oleh
antibodi (humoral) serta sel T.
Tabel 4. Contoh-contoh penyakit autoimun yang terjadi melalui antibodi

3). Penyakit autoimun yang terjadi melalui kompleks antigen-antibodi


Kompleks imun yang terbentuk dalam sirkulasi menimbulkan
penyakit sistemik seperti LES. Sebaliknya, autoantibodi atau respons sel
T terhadap self antigen menimbulkan penyakit dengan distribusi
jaringan yang terbatas, organ spesifik seperti miastenia gravis, diabetes
melitus tipe I dan sklerosis multipel.
4). Penyakit autoimun yang terjadi melalui komplemen
Oleh sebab yang belum jelas, defisiensi komplemen dapat
menimbulkan penyakit autoimun seperti LES. Di samping itu beberapa
alotipe dari komplemen memudahkan timbulnya autoimunitas. Diduga
bahwa kompleks imun yang mungkin timbul dalam tubuh tidak dapat
disingkirkan oleh sistem imun yang komplemen dependen.
II.3 Teori Fenomena Autoimun
Ada tiga hipotesis yang mencoba menjelaskan tentang fenomena
autoimunitas :
- Teori klon terlarang (forbidden clones theory)
- Teori antigen terasing (sequestered/hidden antigen theory)
- Teori defisiensi imun (immunologic deficiency theory)
a. Teori klon terlarang (forbidden clones theory)
Burnett mengajukan teori forbidden clones, yang menyatakan bahwa
tubuh menjadi toleran terhadap jaringannya sendiri oleh karena sel-sel yang
autoreaktif selama perkembangan embriologiknya akan musnah.

Mutan yang memiliki antigen permukaan akan segera dibinasakan,


sedangkan mutan yang memiliki antigen tersembunyi dapat hidup terus
sehingga berfungsi dalam respon imun dan menimbulkan kerusakan.
Gambar 1. Bagan teori klon terlarang

b. Teori antigen terasing (sequestered/hidden antigen theory)


Pada masa embrio merupakan tahap pengenalan antigen. Sequestered
atau hidden antigen adalah antigen yang karena sawar anatomik tidak pernah
terpajan dengan sistem imun misalnya antigen sperma, lensa mata, dan saraf
pusat. Bila sawar tersebut rusak pada tahap dewasa, antigen yang tadinya
terasing sekarang terpapar sehingga limfosit mengenal sebagai asing sehingga
dapat timbul penyakit autoimun.
c. Teori defisiensi imun
Hilangnya self tolerance mungkin disebabkan oleh karena adanya
gangguan sistem limfoid. Teori ini didasarkan atas kemunduran fungsi sistem
imun. Adanya kenyataan pada pengamatan bahwa penyakit autoimun sering
ditemukan bersamaan pada individu dengan defesiensi imun, misalnya pada
lanjut usia.

II.4 Faktor yang Berperan pada Autoimun


1. Faktor mikroba (Infeksi dan Kemiripan Molekular)
Banyak infeksi yang menunjukkan hubungan dengan penyakit autoimun
tertentu. Beberapa penyakit memiliki epitope yang sama dengan antigen
sendiri. Respon imun yang timbul terhadap bakteri tersebut bermula pada
rangsangan terhadap sel T yang selanjutnya merangsang sel B untuk
membentuk autoantibodi.
Gambar 2. Pembentukan autoantibodi 2

Infeksi virus dan bakteri dapat berkontribusi dalam terjadinya


eksaserbasi autoimunitas. Pada kebanyakan hal, mikroorganisme tidak
dapat ditemukan. Kerusakan tidak disebabkan oleh penyebab mikroba,
tetapi merupakan akibat respon imun terhadap jaringan pejamu yang rusak.
Contoh penyakit yang ditimbulkan oleh kemiripan dengan antigen sendiri
adalah demam reumatik pasca infeksi streptococcus grup A, disebabkan
antibodi terhadap streptococcus yang diikat jantung dan menimbulkan
miokarditis.

Berbagai infeksi yang berhubungan dengan eritema nodosum


terlihat pada tabel 5.
Tabel 5. Infeksi yang berhubungan dengan eritema nodosum

2. Sequestered Antigen
Sequestered antigen

adalah antigen sendiri yang karena letak

anatominya, tidak terpapar dengan sistem imun. Pada keadaan normal,


sequestered antigen tidak ditemukan untuk dikenal sistem imun. Perubahan
anatomik dalam jaringan seperti inflamasi (sekunder oleh infeksi, kerusakan
iskemia atau trauma), dapat memajankan sequestered antigen dengan sistem
imun yang tidak terjadi pada keadaan normal. Contohnya protein
intraoktakular pada sperma.
Inflamasi jaringan dapat pula menimbulkan perubahan struktur pada
self antigen dan pembentukan determinan baru yang dapat memacu reaksi
autoimun.
Gambar 3. Penglepasan sequestered antigen

3. Kegagalan Autoregulasi
Regulasi

imun

berfungsi

untuk

mempertahankan

homeostasis.

Gangguan dapat terjadi pada presentasi antigen, infeksi yang meningkatkan


respons MHC, kadar sitokin yang rendah (misalnya TGF-) dan gangguan
respons terhadap IL-2. Pengawasan beberapa sel autoreaktif diduga
bergantung pada sel Ts atau Tr. Bila terjadi kegagalan sel Ts atau Tr, maka
sel Th dapat dirangsang sehingga menimbulkan autoimunitas.
4. Aktivasi Sel B Poliklonal
Autoimunitas dapat terjadi oleh karena aktivasi sel B poliklonal oleh
virus (EBV), LPS dan parasit malaria yang dapat merangsang sel B secara
langsung yang menimbulkan autoimunitas. Antibodi yang dibentuk terdiri
atas berbagai autoantibodi.
Gambar 4. Aktivasi anergi anti-self sel B

10

5. Faktor non mikroba (Lingkungan, Makanan dan Obat)


Sinar matahari merupakan perangsang timbulnya kelainan kulit pada
SLE. Pemaparan pada larutan organik dapat mengawali penyakit autoimun
membran basal yang menyebabkan sindroma Good-pasture.
Diet mungkin merupakan salah satu faktor. Minyak ikan yang
mengandung asam lemak tak jenuh omega-3 yang berantai panjang dianggap
menguntungkan bagi penderita artritis reumatoid.
Beberapa jenis penyakit yang disebabkan oleh obat misalnya SLE,
trombositopenia, miastenia gravis, anemia hemolitik autoimun dan lain-lain.
Berbagai obat dapat memacu LES, misalnya hidralazin, metildopa,
prokainamid, sulfalazin, penisilamin, klorpromazin, sitokin, antibodi
monoklonal, kinidin dan kinin, antikonvulsan (fenitoin, mefenitoin,
etoksuksidin, trimetadion, karbamazepin, valproat dan primidon). Obat
(penisilamin) dapat menginduksi pemfigus dengan efek direk terhadap
epidermis atau indirek melalui modifikasi sistem imun. Sejumlah obat
seperti -metil-dopa, iproniazid, minosiklin, asam tienilik, klometasin,
halotan dan herbal dai-saiko dapat menginduksi hepatitis melalui produksi
autoantibodi organ non spesifik. Diduga bahwa -bloker dapat menginduksi
psoriasis melalui ikatan dengan reseptor di kulit, sehingga menjadi lebih
imunogenik.
Tabel 6. Obat-obat yang berhubungan dengan LES

6. Faktor keturunan/genetik
Penyakit autoimun mempunyai persamaan predisposisi genetik.
Meskipun sudah diketahui adanya kecenderungan terjadinya penyakit pada
keluarga, tetapi bagaimana hal tersebut diturunkan, pada umumnya adalah

11

kompleks dan diduga terjadi atas pengaruh beberapa gen. Bukti yang ada
hanya menunjukkan hubungan antara penyakit dan HLA. Halotipe HLA
merupakan risiko relatif untuk penyakit autoimun tertentu.
Fenomena autoimun cenderung dijumpai pada satu keluarga tertentu.
Misalnya, anggota keluarga generasi pertama (saudara kandung, orang tua
dan

anak-anak)

dari

penderita

penyakit

Hashimoto

mengandung

autoantibodi dan tiroiditis yang nyata maupun yang subklinis dengan angka
kekerapan

tinggi.

Persentase

anggota

keluarga

yang

mengandung

autoantibodi lebih tinggi dalam keluarga dengan lebih dari seorang anggota
keluarga menderita penyakit itu.
Hubungan dalam keluarga ini dapat disebabkan oleh faktor lingkungan
misalnya kuman penyebab infeksi, tetapi ada bukti bahwa peran satu atau
lebih komponen genetik perlu dipertimbangkan secara serius. Pertamatama, bila tiroiditis terjadi pada kembar, kemungkinan bahwa keduanya
menderita penyakit yang sama lebih besar pada kembar identik dibanding
kembar tidak identik. Kedua, autoantibodi terhadap tiroid lebih sering
dijumpai pada penderita dengan disgenesis ovarium yang menunjukkan
aberasi kromosom X misalnya XO khususnya kelainan isokromosom X.
7. Faktor hormon dan seks
Hormon dari kelenjar tiroid, hipotalamus dan adrenal memang
diketahui mempengaruhi homeostasis sistem imun dan rangsangan
terhadap antigen. Hormon seks berbeda yang terdapat pada pria dan wanita
mungkin juga berperan pada kekerapan untuk menderita penyakit
autoimun. SLE dan artritis reumatoid lebih kerap berlaku pada wanita, dan
myasthenia gravis lebih kerap berlaku pada pria.
Tabel 7. Angka kekerapan penyakit autoimun yang meningkat pada wanita

12

Ada kecenderungan umum bahwa penyakit autoimun lebih sering


dijumpai pada wanita dibanding pria. Alasan pasti untuk hal ini belum
diketahui. Ada kemungkinan bahwa kadar estrogen yang tinggi dijumpai
pada penderita dan mencit dengan SLE. Kehamilan sering dikaitkan dengan
makin beratnya penyakit, terutama pada artritis reumatoid, dan kadangkadang terjadi kekambuhan setelah melahirkan, pada saat mana terjadi
perubahan kadar hormon yang drastis dan hilangnya plasenta.
II.5 Beberapa Contoh dan Gejala Penyakit Autoimun
1. Lupus Eritematosus Sistemik (LES)
Lupus eritematosus sistemik (LES) adalah penyakit autoimun sistemik
yang

ditandai

dengan

adanya

autoantibodi

terhadap

autoantigen,

pembentukan kompleks imun, dan disregulasi sistem imun, menyebabkan


kerusakan pada beberapa organ tubuh. Perjalanan penyakitnya bersifat
episodic (berulang) yang diselingi periode sembuh. Pada setiap penderita,
peradangan akan mengenai jaringan dan organ yang berbeda. Beratnya
penyakit bervariasi mulai dari penyakit yang ringan sampai penyakityang
menimbulkan kecacatan, tergantung dari jumlah dan jenis antibodi yang
muncul dan organ yang terkena. Perjalanan penyakit LES sulit diduga dan
sering berakhir dengan kematian.
Gejala sistemik meliputi lemah, anoreksia, demam, lemah, dan
menurunnya berat badan. Gejala di kulit termasuk ruam malar (butterfly
rash), ulkus di kulit dan mukosa, purpura, alopesia (kebotakan), fenomena
Raynaud, dan fotosensitifitas. Gejala sendi sering ditemukan. Bersifat
simetris dan tidak menyebabkan kelainan sendi. Nefritis lupus umumnya
belum bergejala pada masa awitan, tetapi sering berkembang menjadi
progresif dan menyebabkan kematian. Gejalanya berupa edema, hipertensi,
gangguan elektrolit, dan gagal ginjal akut. Biopsi ginjal diindikasikan pada
pasien yang tidak responsive pada terapi kortikosteroid. Pengendalian
hipertensi sangat penting untuk mempertahankan fungsi ginjal.
2. Penyakit Graves
Pada tahun yang sama Adams dan Purves menemukan pula stimulator
tiroid abnormal pada penderita penyakit Graves yang kerjanya mirip TSH,
disebut sebagai long-acting thyroid stimulator (LATS). Baru sekitar 20

13

tahun kemudian diketahui bahwa LATS adalah suatu autoantibodi yang


mampu merangsang reseptor TSH (thyrotropinreceptor antibodies = TRAb)
untuk menghasilkan hormon tiroid tiroksin dan triiodotironin. Pada tahuntahun berikutnya ditemukan pula berbagai antibodi antitiroid lainnya.
Penyakit Graves dan Hashimoto merupakan penyakit tiroid autoimun
(Autoimmune Thyroid Disease = AITD ; Penyakit Tiroid Autoimun = PTAI)
yang paling sering ditemukan di klinik, tergolong dalam penyakit autoimun
bersifat organ spesifik.
3. Atritis Reumatoid
Kelaianan sendi pada arthritis rheumatoid pada dasarnya disebabkan
oleh pertumbuhan ganas sel-sel sinovial sebagai suatu selaput yang melapisi
dan merusak tulang rawan dan tulang. Membran sinovial yang mengelilingi
dan membentuk rongga sendi menjadi sangat seluler sebagai akibat
hipereaktivitas imunologik seperti yang ditunjukkan oleh adanya sejumlah
besar sel-T, terutama CD4, dalam berbagai stadium maturasi, biasannya
disertai sel-sel dendrite dan makrofag; gumpalan sel-sel plasma sering
terlihat dan bahkan kadang-kadang folikel sekunder dengan pusat-pusat
germinal seolah-olah membrane sinovial menjadi kelenjar limfe yang aktif.
Sintesis autoantibody terhadap bagian Fc IgG yang dikenal sebagai
antiglobulin atau factor rheumatoid, merupakan cirri khas penyakit ini,
dijumpai pada hampir semua penderita dengan arthritis rheumatoid. Salah
satu hal yang menarik pada arthritis rheumatoid adalah penemuan bahwa
IgG peenderita mengalami glikosilasi yang abnormal.
Sinovium yang terkena radang kronik penuh dengan sel-T yang
teraktivasi dan perannya yang penting pada proses penyakit. Seperti
dijelaskan sebelumnya bahwa sekresi TNF dan GM-CSF oleh sel-T akan
menyebabkan pembentukan selaput ganas dengan konsekuensi erosi tulang
rawan dan tulang.
4. Tiroiditis Autoimun
Infiltrat radang pada tiroiditis autoimun biasanya hanya terdiri atas
sel-sel mononuclear dan walaupun bukan merupakan petunjuk pastii, hal ini
dianggap menunjukkan hipersensitivitas sel-T Bukti kuat partisipasi
langsung limfosit-T masih harus dicari walaupun adanya molekul kelas II

14

pada tirosit penderita dan sel-T spesifik antigen dalam kelenjar tiroid sesuai
dengan adanya keterlibatan sel ini.
5. Diabetes Melitus Insulin-Dependen (IDDM)
Seperti halnya pada tiroiditis autoimun, pada IDDM terdapat infiltrasi
radang kronik dan destruksu jaringan spesifik, yaitu destruksi sel-sel pulau
Langerhans pancreas yang memproduksi insulin. Kelambatan timbulnya
awal penyakit yang disebabkan oleeh pengobatan awal siklosporin A dengan
kadar yang hanya memberi dampak sedikit pada produksi antibody,
menunjukan bahwa sel-T efektor adalah penyebab destruksi karena obat itu
ditujukan pada sintesis sitokin oleh sel-T secara spesifik. In vitro, respons sel
T terhadap antigen-antigen sel pulau, termasuk glutamic acid decarboxylase,
secara langsung menggambarkan resiko perkembangan ke arah IDDM klinik.
6. Sklerosis Multipel (SM)
Dugaan bahwa MS mungkin merupakan penyakit autoimun telah lama
diramalkan berdasarkankemiripan morfologik dengan ensefalomielitis
alergik eksperimental (EAE), yaitu suatu penyakit dengan demielinasi yang
berakibat paralysis motorik. Diduga bahwa sel-T mencetuskan radang local
pada sel-sel endotel jaringan sawar darah-otak yang menyebabkan antibody
dari darah bisa masuk ke dalam jaringan otak.
II.6 Pengobatan Penyakit Autoimun
1. Pegontrolan Metabolik
Pada

banyak

penyakit

spesifik

organ,

upaya

memperbaiki

metabolisme, biasanya mencukupi, misalnya pemberian tiroksin pada


miksedema primer, insulin pada diabetes juvenile, vitamin B12 pada anemia
pernisiosa, obat abtitiroid pada penyakit Graves, dan lain-lain. Obat
antikolinergik biasanya digunakan untuk pengobatan jangka panjang
miastenia gravis; timektomi bermanfaat untuk sebagian besar kasus dan
dapat dimengerti bahwa kelenjar pada

keadaan imunogenik tertentu

mengandung resseptor terhadap Ach.


2. Obat Anti Inflamasi
Penderita dengan gejala miastenia berat memberikan respon baik
terhadap steroid dosis tinggi, demikian pula penyakit autoimun berat yang

15

lain, misalnya SLE dan nefritis kompleks imun di mana obat-obat itu
mengurangi lesi inflamasi.
Pada Artritis rheumatoid, selain steroid, obat anti inflamasi seperti
salisilat dan obat sintetik penghambat prostaglandin yang tak terhitung
banyaknya digunakan secara luas. Sulfasalazin, penisilamin, garam emas dan
anti malaria seperti klorokuin, semuanya mendapat tempat penting dalam
tempat pengobatan, tetapi cara kerjanya tidak diketahui.
3. Obat Imunosupresif
Pada dasarnya karena siklosporin menghambat sekresi limfokin oleh
sel-T, disebut obat anti inflamasi dan karena limfokin seperti IL-2 pada
keadaan tertentu juga dapat meningkatkan proliferasi, siklosporin juga
dapat dianggap sebagai obat anti mitotic. Obat ini telah terbukti bermanfat
pada uveitis, diabetes dini tipe I, sindroma nefrotik dan psoriasis, dan
terbukti menunjukkan manfaat moderat pada purpura trombositopenia
idiopatik, SLE, poliomiositis, penyakit Crohn, sirosis bilier primer dan
miastenia gravis. Pada uji klinik obat dengan cara double blind acak,
siklosporin menunjukkan penekanan gejala penyakit secara bermakna
selama 12 bulan walaupun tidak lengkap pada kelompok penderita arthritis
rheumatoid yang sebelumnya refrakter.

16

BAB III
PENUTUP
III.1 Kesimpulan
Dari hasil pembahasan diatas, bahwa dapat ditarik kesimpulan yaitu
sebagai berikut :
1. Autoimun adalah respon imun terhadap antigen jaringan sendiri yang
disebabkan

kegagalan

mekanisme

normal

yang

berperan

untuk

mempertahankan self-tolerance sel B, sel T atau keduanya.


2. Penyakit autoimun dapat diklasifikasikan menjadi dua golongan, yaitu
menurut mekanisme terjadinya dan menurut ogan yang menjadi sasaran.
3. Teori-teori Autoimun ialah forbidden clones theory, Sequestered/hidden
antigen theory dan immunologic deficiency theory.
4. Faktor-faktor yang berperan ialah faktor mikroba, Faktor non mikroba,
keturunan, sequestered antigen dan lain sebagainya.
5. Salah satu contoh penyakit autoimun ialah Lupus Eritematosus Sistemik,
Rheumatoid artritis, Diabetes Mellitus dan Penyakit Graves.
6. Pengobatannya yaitu dengan pengontrolan metabolic, pembeian obat anti
inflamasi dan obat imunosupresif

III.2 Saran
-

17

DAFTAR PUSTAKA
1.

Harnawatiaj.

Teori

Autoimunitas.

Maret

2008,

dari

http://harnawatiaj.wordpress.com/2008/03/09/teori-autoimunitas.html
2.

Penyakit Autoimun. Dalam : Imunologi Klinik

3.

Baratawidjaja, K. Autoimunitas . Dalam : Imunologi Dasar ed. ke-7. Jakarta :


Balai Perbit FKUI; 2006 : 202 304.

4.

Kresno, S. Penyakit Autoimun . Dalam : Imunologi : Diagnosis dan Prosedur


Laboratorium. Jakarta : Balai Penerbit FKUI; 2001 : 286 307.

5.

Baratawidjaja, K., Rengganis, I. Imunologi Dasar . Dalam : Buku Ajar Ilmu


Penyakit Dalam. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI; 2006

6.

Subowo. Otoimunitas dan Penyakit Otoimun . Dalam : Imunologi Klinik.


Bandung : Penerbit Angkasa Bandung; 1993 : 37 70.

7.

Danial.

Penyakit

Penyakit

Autoimun.

2008,

dari

http://pkukmweb.ukm.my/~danial/Penyakit%20autoimun.html
8.

Lupus
Eitematosus
Sistemik.
pdf
diakses
dari
:
http://adulgopar.files.wordpress.com/2009/12/lupuseritematosussistemik.pdf

18

TRANSPLANTASI
(PENCANGKOKAN ORGAN : GRAFTING)

19

BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kedokteran saat ini telah
berkembang dengan pesat. Salah satu diantaranya adalah teknik transplantasi
organ manusia. Transplantasi organ manusia merupakan suatu teknologi medis
untuk penggantian organ tubuh pasien yang tidak berfungsi lagi dengan organ
dari manusia lain yang masih berfungsi dengan baik.
Transplantasi adalah merupakan proses pengambilan sel, jaringan atau
organ, disebut dengan graft , dari satu individu dan memindahkannya ke individu
yang lain. Individu yang memberikan graft disebut dengan donor, sedangkan
yang mendapatkan graft disebut dengan resipien.
Abad ini transplantasi organ telah menjadi salah satu jalan keluar yang
paling berarti dalam dunia kedokteran modern, banyak nyawa manusia yang
tertolong dengan cara transplantasi organ ini. Didukung dengan semakin
majunya ilmu dan teknologi bidang transplantasi organ manusia maka tingkat
keberhasilan dari transplantasi yang dilakukan pun semakin tinggi.
Faktor utama yang membatasi kesuksesan transplantasi adalah respon
imun dari resipien terhadap jaringan donor. Kegagalan ini terjadi akibat suatu
proses inflamasi yang disebut sebagai rejeksi (Abbas et al, 2007). Rejeksi
merupakan hasil dari proses reaksi inflamasi yang merusak jaringan transplant.
Antigen dari allograft yang berperan utama sebagai target rejeksi adalah protein
major histocompatibility complex (MHC).
Imunologi transplantasi pentig terkait dengan dua alasan, yaitu selain
karena respon rejeksi imunologi yang hingga saat ini masih menjadi barier utama
pada proses transplantasi, respon imun terhadap molekul allogeneik model studi
mekanisme aktivasi limfosit.

20

I.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud dengan transplantasi ?
2. Apa saja jenis-jenis transplantasi ?
3. Apa saja istilah lain pada transplantasi ?
4. Bagaimana respon imun terhadap allograft ?
5. Bagaimana mekanisme effektor rejeksi allograft ?
6. Bagaimana pencegahan dan pengobatan rejeksi allograft ?
7. Apa saja organ yang dapat ditransplantasikan ?

I.3 Tujuan Penulisan


1. Untuk menjelaskan definisi transplantasi.
2. Untuk menjelaskan jenis-jenis transplantasi.
3. Untuk menjelaskan istilah lain pada transplantasi.
4. Untuk menjelaskan respon imun terhadap allograft.
5. Untuk menjelaskan mekanisme effektor rejeksi allograft.
6. Untuk menjelaskan pencegahan dan pengobatan rejeksi allograft.
7. Untuk menjelaskan organ yang dapat ditransplantasikan .

21

BAB II
PEMBAHASAN
II.1 Definisi Transplantasi
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Online transplantasi adalah
pemindahan jaringan tubuh dari suatu tempat ke tempat lain (seperti menutup
luka yg tidak berkulit dengan jaringan kulit dari bagian tubuh yg lain).
Menurut

Medicastore,

pencangkokan

(Transplantasi)

adalah

pemindahan sel, jaringan maupun organ hidup dari seseorang (donor) kepada
orang lain (resipien) atau dari satu bagian tubuh ke bagian tubuh lainnya
(misalnya pencangkokan kulit), dengan tujuan mengembalikan fungsi yang
telah hilang.
Jadi dapat disimpulkan transplantasi atau pencangkokan adalah
pemindahan organ sel, atau jaringan dari si pendonor kepada orang lain yang
membutuhkan penggantian organ disebabkan kegagalan organ, kerusakan sel
maupun jaringan dengan tujuan untuk mengembalikan fungsi organ, sel,
maupun jaringan yang telah rusak tersebut.
II.2 Jenis-Jenis Transplantasi
1. Dari Segi Pemberi Organ (Pendonor)
Jika ditinjau dari sudut penyumbang atau donor atau jaringan tubuh,
maka transplantasi dapat dibedakan menjadi :
a. Transplantasi dengan donor hidup
Transplantasi dengan donor hidup adalah pemindahan jaringan
atau organ tubuh seseorang yang hidup kepada orang lain atau ke bagian
lain dari tubuhnya sendiri tanpa mengancam kesehatan. Biasanya yang
dilakukan adalah transplantasi ginjal, karena memungkinkan seseorang
untuk hidup dengan satu ginjal saja. Akan tetapi mungkin bagi donor
hidup juga untuk memberikan sepotong/sebagian dari organ tubuhnya
misalnya paru, hati, pankreas dan usus. Juga donor hidup dapat
memberikan jaringan atau selnya degeneratif, misalnya kulit, darah dan
sumsum tulang.
b. Transplantasi dengan donor mati atau jenazah

22

Transplantasi

dengan

donor

mati

atau

jenazah

adalah

pemindahan organ atau jaringan dari tubuh jenazah orang yang baru saja
meninggal kepada tubuh orang lain yang masih hidup. Pengertian donor
mati adalah donor dari seseorang yang baru saja meninggal dan biasanya
meninggal karena kecelakaan, serangan jantung, atau pecahnya
pembuluh darah otak. Jenis organ yang biasanya didonorkan adalah
organ yang tidak memiliki kemampuan untukregenerasi misalnya
jantung, kornea, ginjal dan pankreas, hati, jantung dan hati.
2. Dari Penerima Organ (Resipien)
Sedangkan ditinjau dari sudut penerima organ atau resipien, maka
transplantasi dapat dibedakan menjadi:
a. Autograft
Autotransplantasi adalah pemindahan suatu jaringan atau organ
ke tempat lain dalam tubuh orang itu sendiri. Biasanya transplantasi ini
dilakukan pada jaringan yang berlebih atau pada jaringan yang dapat
beregenerasi kembali. Sebagai contoh tindakan skin graft pada penderita
luka bakar, dimana kulit donor berasal dari kulit paha yang kemudian
dipindahkan pada bagian kulit yang rusak akibat mengalami luka bakar.

b. Isograft
Termasuk dalam autograft adalah "syngraft" atau isograft yang
merupakan prosedur transplatasi yang dilakukan antara dua orang yang
secara genetik identik. Transplantasi model seperti ini juga selalu
berhasil, kecuali jika ada permasalahan teknis selama operasi.

23

c. Allograft
Allograft adalah pemindahan suatu jaringan atau organ dari tubuh
seseorang ke tubuh orang lain. Misalnya pemindahan jantung dari
seseorang yang telah dinyatakan meninggal pada orang lain yang masih
hidup. Kebanyakan sel dan organ manusia adalah Allografts.

d. Xenotransplantation
Xenotransplantation adalah pemindahan suatu jaringan atau
organ dari spesies bukan manusia kepada tubuh manusia. Contohnya
pemindahan organ dari babi ke tubuh manusia untuk mengganti organ
manusia yang telah rusak atau tidak berfungsi baik.

e. Transplantasi Domino (Domino Transplantation)


Merupakan multiple transplantasi yang dilakukan sejak tahun
1987. Donor memberikan organ jantung dan parunya kepada penerima
donor, dan penerima donor ini memberikan jantungnya kepada penerima
donor yang lain. Biasanya dilakukan pada penderita "cystic fibrosis"
(hereditary disease) dimana kedua parunya perlu diganti dan secara

24

teknis lebih mudah untuk mengganti jantung dan paru sebagai satu
kesatuan.
f. Transplantasi Dibagi (Transplantation Split)
Kadangkala donor mati khususnya donor hati, hatinya dapat
dibagi untuk dua penerima, khususnya dewasa dan anak, akan tetapi
transplatasi ini tidak dipilih karena transplantasi keseluruhan organ lebih
baik.
3. Dari Sel Induk (Stem Cell)
Sedangkan khusus mengenai transplantasi sel induk dibedakan
menjadi:
a.

Transplantasi

sel

induk

dari

sumsum

tulang

(bone

marrow

transplantation)
Sumsum tulang adalah jaringan spons yang terdapat dalam
tulang-tulang besar seperti tulang pinggang, tulang dada, tulang
punggung dan tulang rusuk. Sumsum tulang merupakan sumber yang
kaya akan sel induk hematopoetik.
b.

Transplantasi sel induk darah tepi (peripheral blood stem cell


transplantation)
Peredaran tepi merupakan sumber sel induk walaupun jumlah sel
induk yang terkandung tidak sebanyak pd sumsum tulang untuk jumlah
sel induk mencukupi suatu transplantasi.biasanya pada donor diberikan
granulocyte-colonystimulating factor (G-CSF). Transplantasi dilakukan
dengan proses yang disebut Aferesis.

c.

Transplantasi sel induk darah tali pusat (Stem cord)


Darah tali pusat mengandung sejumlah sel induk yang bermakna
dan memiliki keunggulan diatas transplantasi sel induk dari sumsum
tulang atau dari darah tepi bagi pasien-pasien tertentu. Transplantasi
sel induk dari darah tali pusat telah mengubah bahan sisa dari proses
kelahiran menjadi sebuah sumber yang dapat menyelamatkan jiwa.

25

II.3 Istilah Lain pada Transplantasi


1. Hukum Transplantasi
Autograft dan isograft biasanya memberikan hasil yang baik, sedang
allograft sering ditolak. Telah dibuktikan bahwa rejeksi allograft disebabkan
karena reaksi imun yang ditimbulkan oleh limfosit. Reaksi tersebut terjadi
dengan memori, sehingga jaringan kedua yang dicangkokkan dari donor
yang sama akan menimbulkan rejeksi yang lebih cepat.
2. Histokompatibilitas
Histokompatibilitas adalah kemampuan seseorang untuk menerima
graft dan orang lain, suatu keadaan bila tidak terjadi respons imun.
3. Gen Histokompatibilitas
Gen histokompatibilitas adalah gen yang menentukan apakah graft
dapat diterima. Banyak lokus gen yang dapat menolak graft, tetapi yang
terpenting adalah gen MHC. Gen MHC diwarisi sebagai suatu kelompok
(haplotype), satu dari setiap orangtua. Dengan demikian, manusia mewarisi
heterozigot satu dari ayah dan satu dari ibu, masing-masing berisi tiga
kelas-I (B, C dan A) dan tiga kelas II (DP, DQ dan DR) lokus. Karena molekul
MHC kelas II terdiri dari dua rantai yaitu alpha dan beta, dengan beberapa
determinan antigen pada setiap rantai, dan rantai alpha dan beta DR dapat
terkait dengan

kombinasi cis atau trans eter, seorang individu dapat

memiliki spesifitas DR tambahan.


4. Antigen Transplantasi
Sebelum transplantasi dilakukan, harus ditentukan terlebih dahulu
kompatibilitas donor dan resipien untuk mendapatkan hasil optimal dan
hidup graft dan meminimalkan penolakan.
a. Antigen golongan darah
Kompatibilitas golongan darah ABO merupakan hal yang pertama
harus dilakukan. Antigen ABO yang merupakan golongan darah utama,
ditemukan pada permukaan sel darah merah. Gen yang memberi
kodenya adalah polimorfik.
Antigen karbohidrat ditemukan pada sel darah merah dan
beberapa jaringan lain. Kebanyakan orang mempunyai antibodi
(isohemaglutinin) yang mengenal antigen tersebut.

26

b. Antigen Histokompatibilitas Mayor


Tissue typing adalah identifikasi antigen MHC. MHC-I menentukan
antigen permukaan semua sel dalam tubuh yang memiliki nukleus yang
dapat menjadi sasaran rejeksi pada transplantasi atas pengaruh CTL,
antibodi dan komplemen. Gen-gen yang memberi kode molekul MHC
adalah polimorfik.
Antigen yang ditentukan lokus A dan B memberikan respons kuat
sedang antigen yang ditentukan lokus C hanya memberikan respons
lemah. Antigen MHC-II atau antigen Ia merupakan antigen yang
mengaktifkan sel Th. Antigen MHC-II merupakan antigen terpenting
pada rejeksi tandur. Pada umumnya graft tidak akan hidup bila donor
dan resipien tidak memiliki satu haplotip DR pun yang sama.
c. Antigen Histokompatibilitas Minor
Antigen histokompatibilitas minor antara lain adalah golongan
non ABO dan antigen yang berhubungan dengan kromosom seks.
Antigen tersebut biasanya lebih lemah dibanding antigen MHC, dan
diduga merupakan antigen yang dijadikan sasaran pada rejeksi.
5. Sel Passenger
Sel passenger adalah sel leukosit donor yang terdapat dalam jaringan
tandur. Sel Th resipien dapat memberikan respons terhadap antigen donor.
Interaksi dapat pula terjadi antara sel-sel sistem imun donor dan resipien
karena keduanya memiliki profil MHC-II. Leukosit donor dapat bermigrasi
ke luar dari graft dan masuk ke dalam sistem limfoid resipien .
II.4 Respon Imun terhadap Allograft
Proses rejeksi yang menyebabkan kerusakan pada graft merupakan
akibat dari respon imun yang terjadi pada tubuh resipien terhaap graft dari
donor. Beberapa penelitian menunjukkan keterlibatan dari respon imun adaptif
dalam prose rejeksi. Skin graft ditransplantasikan antara dua individu yang
secara genetic tidak berhubungan, sebagai contoh, dari mencit strain A ke
mencit strain B dan terjadi rejeksi oleh resipien naiv dalam 7 hingga 10 hari.
Proses ini disebut dengan first set rejection. Hal ini terkait dengan respon imun
primer tehadap graft. Transplantasi kedua dari donor yang sama atau donor
yang sama secara genetic dengan donor pertama direjeksi lebih cepat, yaitu 2

27

hingga 3 hari. Respon yang lebih cepat ini terkait dengan respon imun
sekunder. Sehingga dapat disimpulkan bahwa graft yang berbeda secara genetic
menginduksi timbulnya memori immunologi sebagai salah satu tanda respon
imun adaptive.

Kemampuan dalam merejeksi ini dapat ditransfer dari mencit strain B


yang telah mendapat graft ke strain B naiv melalui perantara limfosit.
Eksperimen ini menunjukkan bahwa second set rejection dimediasi oleh limfosit
yang telah tersensitisasi dan memastikan bahwa rejeksi merupakan akibat dari
respon imun adaptive.
Interaksi antara faktor humoral dan selular yang terjadi pada rejeksi
graft sangat kompleks. Sistem imun yang berperan pada proses rejeksi adalah
sistem imun yang juga berperan terhadap mikroba. Sebabnya adalah
polimorfisme genetik, terutama oleh karena antigen transplantasi merupakan
produk gen yang polimorfik. Golongan darah dan molekul MHC di antara
berbagai

individu

berbeda.

Reaksi

rejeksi

dapat

dikurangi

dengan

menggunakan anggota keluarga sebagai donor, tissue typing dan obat


imunosupresi.
II.5 Mekanisme Effektor Rejeksi Allograft
Reaksi allograft adalah suatu keadaan dimana transplantasi jaringan, sel
atau alat tubuh dan donor singeneik dengan cepat diterima resipien dan
mendapat vaskularisasi serta berfungsi normal. Graft yang berasal dan donor
28

allogeneik akan diterima untuk sementara dan mendapat vaskularisasi.


Selanjutnya dapat terjadi rejeksi yang lamanya tergantung dari derajat
inkompatibilitas. Reaksi rejeksi pada umumnya berlangsung sesuai respon CMI.
Pada beberapa eksperimen menggunakan hewan coba dan pada transplantasi
di klinik, sel T CD4 atau CD8 alloreaktif maupun alloantibody dapat memediasi
terjadinya rejeksi allograft. Effektor imun yang berbeda ini menyebabkan
mekanisme yang berbeda.
Terkait dengan alasan historikal, rejeksi graft diklasifikasikan
berdasarkan dasar dari gambaran histopathologinya atau waktu terjadinya
rejeksi setelah transplantasi dari pada berdasarkan dasar mekanisme
effektornya. Istilah hiperakut, akut, dan kronik, menggambarkan kecepatan
terjadinya rejeksi, sebagai contoh adalah proses rejeksi terhadap transplant
ginjal.
Gambar klasifikasi rejeksi graft

Tabel. Rejeksi hiperakut, akut dan


kronik

a. Reaksi Hiperakut
Rejeksi hiperakut ditandai dengan oklusi trombotik vaskularisasi
graft yang terjadi dalam beberapa menit sampai beberapa jam sesudah
transplantasi dan terjadi anastomose pembuluh darah host dengan
pembuluh darah graft. Hal ini disebabkan destruksi oleh antibodi yang
sudah ada pada sirkulasi resipien terhadap tandur/antigen donor akibat
transplantasi, transfusi darah atau kehamilan sebelumnya. Antibodi yang
terikat pada endothelium tersebut mengaktifkan komplemen yang

29

menimbulkan edema dan perdarahan interstisial dalam jaringan graft


sehingga mengurangi aliran darah ke seluruh jaringan.
Pada awal transplantasi, rejeksi hiperakut biasanya dimediasi oleh
alloantibody

IgM

dengan

titer

yang

tinggi

sebelum

dilakukan

transplaantasi. Alloantibody yang telah diketahui dengan baik adalah


antigen golongan darah ABO yang diekspresikan oleh sel darah merah.
Antigen ABO juga diekspresikan oleh sel endotel vaskuler. Tidak seperti
graft lain, ginjal mempunyai antigen ABO yang diekspresikan pada endotel
pembuluh darah. Jadi bila donor mempunyai golongan darah lain dari
resipien, antibodi akan menimbulkan reaksi hipersensitivitas tipe 2 dalam
graft ginjal. Saat ini, rejeksi hiperakut terhadap antibodo anti-ABO
sangatlah jarang terjadi karena proses seleksi sebelumnya, namun mayor
antibody inilah yang menjadi barrier utama dalam pelaksanaan
xenotransplantasi.
Upaya dalam mencegah rejeksi hiperakut dilakukan skrining secara
rutin terkait dengan keberadaan antibody alloreaktif sebelum dilakukan
transplantasi.
b.

Rejeksi Akut
Rejeksi akut merupakan proses injuri vaskuler dan parenchymal
yang dimediasi oleh sel T dan antibody yang biasanya dimulai minggu
pertama setelah transplantasi. Penolakan akut terlihat pada resipien yang
sebelumnya tidak disensitisasi terhadap graft. Hal ini merupakan rejeksi
umum yang sering dialami resipien yang menerima graft yang missmatch
atau yang menerima allograft dan pengobatan imunosupresif yang kurang
dalam usaha mencegah penolakan. Rejeksi dapat terjadi sesudah beberapa
minggu sampai bulan setelah tandur/ ginjal tidak berfungsi sama sekali
dalam waktu 5-21 hari.
Pada

transplantasi

ginjal,

penolakan

akut

disertai

dengan

pembesaran ginjal yang disertai rasa sakit, penurunan fungsi dan aliran
darah, Adanya sel darah dan protein dalam urin. Pemeriksaan histologis
menunjukkan infiltrasi limfosit dan monosit yang diaktifkan. Bila resipien
sebelumnya sudah disensitasi antigen donor, reaksi dapat terjadi dalam 2-5

30

hari. Rejeksi akut dapat dihambat dengan imunosupresi misalnya serum


anti limfosit, steroid dan lainnya.
c. Rejeksi Kronik
Rejeksi kronik adalah hilangnya fungsi organ yang dicangkokkan
secara perlahan beberapa bulan sampai tahun sesudah organ berfungsi
normal. Hal ini disebabkan oleh sensitivitas yang timbul terhadap antigen
graft atau oleh karena timbulnya intoleransi terhadap sel T. Kadang timbul
sesudah pemberian imunosupresan dihentikan. Infeksi yang ada akan
mempermudah timbulnya rejeksi yang kronik.
Pada transplantasi ginjal, gejala gagal ginjal terjadi perlahan-lahan
dan progresif. Pemeriksaan histologik menunjukkan proliferasi sejumlah
besar sel mononuklear yang memacu hal ini, terutama sel T. Mekanisme
rejeksi tidak jelas, tetapi sesudah transplantasi, respons memori (dan
primer) yang menimbulkan produksi antibodi dan imunitas selular
terhadap HLA yang memerlukan waktu lama dapat berperan. Antigen
transplantasi minor juga dapat memacu respons imun yang cukup berarti
dan menimbulkan penolakan. Oleh karena kerusakan sudah terjadi,
pengobatan dengan imunosupresi tidak lagi banyak berguna.
II.6 Pencegahan dan Pengobatan Rejeksi Allograft
Jika resepien memiliki system imun yang fungsional secara keseluruhan,
transplantasi hampir pasti akan direjeksi. Strategi yang di gunakan pada
praktek klinik maupun pada eksperimen menggunakan hewan coba untuk
menghindari atau menunda terjadinya ejeksi adalah dengan penggunaan
imunosupresi dan meminimalisasi kekuatan reaksi allogeneik graft.
1. Immunosupresi untuk Mencegah atau Mengobati Rejeksi Allograft
Imunosupresi merupakan pendekatan utama untuk mencegah dan
memenejemen rejeksi transplantasi. Berbagai metode immunosupressi telah
banyak digunakan.
Gambar Tempat kerja berbagai immunosupresan untuk mengontrol rejeksi graft

31

Obat-obat bekerja di berbagai tempat dan respons imun. Pengobatan


yang simultan dengan bahan yang bekerja pada berbagai urutan tahap
perkembangan respons rejeksi diharapkan terdapat sinergi yang kuat dan
hal ini jelas terlihat pada siklosporin dan ripampisin.
Tabel obat imunosupresi yang digunakan untuk menekan rejeksi

Imunosupresan yang menghambat atau membunuh sel limfosit T


Di antara bahan-bahan yang menekan respons imun, banyak yang
bersifat sitotoksik terhadap limfosit T. Contoh bahan-bahan tersebut
adalah serum anti-limfosit (ALS) atau Anti-Lymphocyte Globulin (ALG).
Bahan imunosupresan lainnya adalah steroid yang mencegah migrasi
neutrofil dan produksi IL-i, IL-6 dan IL-i2. Bahan sitotoksik seperti
azatioprin, metotreksat dan sikiofosfamide dapat membunuh sel yang
berproliferasi sedangkan siklosporin A, FK506 dan Rapamisin mencegah
produksi IL-2 atau respons terhadap IL-2 .
Anti metabolit
Anti-metabolit menekan respons imun melalui toksin yang
membunuh sel T yang sedang proliferasi. Agen ini mencegah maturasi

32

limfosit dan juga membunuh sel T matur yang sedang berproliferasi


akibat

stimulus

mercaptopurin

alloantigen.

yang

mencegah

Contohnya
sintesis

ialah
RNA.

azatioprin

dan

Klorambusil

dan

sikiofosfamid merupakan bahan yang mengalkylkan DNA dan juga


memiliki efek antimetabolit dan mencegah metabolisme DNA.
Antibodi yang bereaksi dengan struktur permukaan sel T
Antibodi terhadap jaringan asing berkompetisi dengan sel T untuk
mengikat antigen transplantasi sehingga antibodi tersebut dapat
mencegah penghancuran oleh CMI. Pencegahan rejeksi dan perpanjangan
masa hidup graft oleh antibodi spesifik disebut enhancement dan
antibodi tersebut disebut enhancing antibody .
Agen yang memblok jalur kostimulator sel T
Agen yang dapat mengeblok jalur kostimulator sel T digunakan
untuk mencegah rejeksi allograft akut. Hal ini karena agen ini dapat
mencegah pengirima signal kedua yang dibutuhkan dalam aktivasi sel T
Bahan anti inflamasi
Steroid adrenokortikoid (prednison dan prednisolon) mempunyai
khasiat anti-inflamasi. Efek steroid ialah menstabilkan membran lisosom
sehingga mencegah penglepasan enzim lisosom yang dapat merusak
jaringan. Steroid juga mencegah rejeksi dan presentasi antigen oleh APC
ke sel T.
2. Metode untuk mengurangi immunogenicity allograft
Strategi utama untuk mengurangai immunogenesitas graft pada
transplantasi adalah dengan meminimalisasi perbedaan alloantigenik antara
donor dan resipien. Untuk menghindari rejeksi hiperakut, antigen golongan
darah ABO donor graft harus identik dengan resipien.
3. Metode untuk menginduksi toleransi tehadap donor (Donor Specific
Tolerance)
Rejeksi allograft dapat dicegah dengan membuat host
terhadap alloantigen graft. Toleransi dalam hal

toleran

ini berarti host tidak

menyebabkan injuri graft meskipun tanpa immunosupresif maupun agen


anti inflamasi. Toleransi terhadap allograft akan melibatkan mekanisme
yang terlibat dalam toleransi terhadap antigen self, yaitu anergi perifer,

33

delesi, atau supresi aktif sel T alloreaktif. Toleransi sangat diharapkan dapat
terjadi pada transplantasi karena bersifat spesifik alloantigen dan dapat
menghindarkan dari masalah utama terkait dengan immunosupresif yang
non spesifik yaitu kerentanan terhadap infeksi dan tumor yang diinduksi
oleh virus. Selain itu toleransi terhadap graft dapat mengurangi rejeksi
kronik yang tidak terpengaruh oleh agen immunosupresif.
II.7 Organ yang dapat Ditransplantasikan
1. Pencangkokan Ginjal
Untuk

orang-orang

yang

ginjalnya

sudah

tidak

berfungsi,

pencangkokan ginjal merupakan alternatif pengobatan selain dialisa dan


telah berhasil dilakukan pada semua golongan umur. Ginjal yang
dicangkokkan kadang berfungsi sampai lebih dari 30 tahun. Transplantasi
ginjal dilakukan pada gagal ginjal tingkat akhir dengan menggunakan ginjal
asal anggota keluarga atau mayat sebagai donor. Matching lokus HLA-B dan
HLA-DR sangat penting, Sedang matching lokus HLA-A tidak memberikan
keuntungan yang lebih bila resipien mendpat pengobatan dengan
imunosupresan seperti siklosporin.
2. Pencangkokan Hati
Jika hati sudah tidak berfungsi lagi, maka satu-satunya pilihan
pengobatan adalah pencangkokkan hati. Angka keberhasilan transplantasi
hati lebih rendah daripada transplantasi ginjal, tetapi 70-80% resipien
bertahan hidup minimal selama 1 tahun. Hati merupakan imunogen yang
lemah dan masa hidup satu tahun melebihi 70%. Mismatch HLA sering tidak
praktis dan tidak menunjukkan keuntungan pula, tetapi anti-HLA pada
resipien dapat menimbulkan kerusakan saluran empedu.
Reaksi penolakan pada transplantasi hati tidak sehebat reaksi
penolakan pada transplantasi organ lainnya (seperti ginjal dan jantung).
Tetapi setelah pembedahan harus diberikan obat immunosupresan.
3. Pencangkokan Jantung dan Paru
Transplantasi jantung dilakukan pada penderita penyakit jantung
yang paling serius dan tidak dapat diatasi dengan obat-obatan atau
pembedahan lainnya. Reaksi penolakan terhadap jantung biasanya berupa
demam, lemah dan denyut jantung yang cepat atau abnormal.

34

Meskipun HLA matching dapat menguntungkan pada transplantasi


jantung dan paru, namun hal tersebut sering tidak sempat dilakukan. Masa
hidup satu tahun mencapai 80% pada penderita yang ditangani dengan baik.
rejeksi dini jantung yang menunjukkan adanya peningkatan ekspresi MHC-I
dapat diukur dengan perubahan elektrokardiogram dan biopsi miokard.
Adanya

perubahan

tersebut

menunjukkan

diperlukannya

dosis

imunosupresan yang lebih tinggi .


4. Pencangkokan Kulit
Transplantasi kulit hanya dapat dilakukan sebagai homografi oleh
karena kulit sangat imunogenik. Ada kalanya diperlukan allograft untuk
sementara menutupi luka yang luas dan kemudian diganti dengan
homograft.
5. Pencangkokan Pankreas
Transplantasi pankreas hanya dilakukan pada penderita diabetes
tertentu. Tujuan dari pencangkokkan adalah untuk mencegah terjadinya
komplikasi diabetes dan terutama untuk mengontrol kadar gula darah
secara lebih efektif.
6. Pencangkokan Kornea
Tramsplantasi komea sangat efektif dan berhasil untuk waktu yang
lama. Tempat kornea tersebut terlindung dan aliran limfe sehingga biasanya
tidak mempunyai kapiler (sequestered antigen). Bila terjadi vaskularisasi
(misalnya akibat trauma) maka risiko rejeksi bertambah. Matching HLA-DR
mempunyai keuntungan dan imunosupresan yang menggunakan tetes
steroid juga diperlukan untuk mencegah penolakan
7. Pencangkokan Sumsum Tulang
Pencangkokkan sumsum tulang pertama kali digunakan sebagai
bagian dari pengobatan

leukemia,

limfomajenis tertentu dan

anemia

aplastik. Transplantasi sumsum tulang dilakukan pada defisiensi imun,


aplasia hematologis dan untuk mengganti sumsum tulang pada penderita
yang mendapat pengobatan agresif seperti pada leukemia. Masa hidup
berbeda yang tergantung dan berat dan jenis penyakit yaitu 70% pada
anemia aplastik dan 10- 50% pada leukemia.
Tabel Keadaan klinis yang memerlukan transplantasi sumsum tulang

35

Sumsum tulang sangat imunogenik dan donor terbaik adalah saudara


kembar dengan HLA identik. Kompatibilitas ABO tidaklah terlalu penting,
oleh karena sel darah merah sudah disingkirkan dari sumsum tulang dan sel
asal tidak menunjukkan antigen ABO. Resipien sudah mendapat iradiasi total
dan atau dosis tinggi imunosupresan sebelum dilakukan transplantasi untuk
mengurangi risiko host versus graft rejection (GvHD), Pada transplantasi
sumsum tulang selalu ada risiko terjadinya komplikasi berupa GvHD,
mengingat sumsum tulang mengandung sel T matur.
Penyakit Graft versus Host (GvH) ialah keadaan yang terjadi bila sel
yang imunokompeten asal donor mengenal dan memberikan respons imun
terhadap jaringan resipien. Bila sel T yang matur dan imunokompeten
ditransfusikan kepada resipien yang alogeneik dan oleh karena salah satu
sebab tidak dapat menolaknya, maka sel tersebut bereaksi dengan sel
pejamu. Reaksi yang fatal tersebut disebut GvH. Sel-sel yang diserang ialah
semua sel yang mengekspresikan MHC-II.
Tanda dan respons GvH antara lain pembesaran kelenjar getah
bening, urnpa, hati, diare, kemerahan di kulit, ram- but rontok, berat badan
menurun dan akhirnya meninggal. Kematian diduga terjadi karena destruksi
sel pejamu dan jaringan akibat respons CMI yang berlebihan terhadap
banyak sel sasaran pada pejamu yang memiliki antigen MHC-II. Reaksi GvH
dapat terjadi akibat transplantasi sumsum tulang kepada resipien dengan
supresi sistem imun atau akibat transfusi darah segar kepada anak atau
neonatus yang imunokompromais. Hal ini lebih mudah terjadi bila sebelum
transplantasi atau transfusi tidak diusahakan untuk menyingkirkan semua
sel T matur yang imunokompeten.

36

BAB III
PENUTUP
III.1 Kesimpulan
Dari hasil pembahasan diatas, bahwa dapat ditarik kesimpulan yaitu
sebagai berikut :
1. Transplantasi adalah merupakan proses pengambilan sel, jaringan atau
organ, disebut dengan graft , dari satu individu dan memindahkannya ke
individu yang lain. Individu yang memberikan graft disebut dengan donor,
sedangkan yang mendapatkan graft disebut dengan resipien.
2. Adapun organ-organ yang dapat ditransplantasikan ialah, ginjal, jantung,
paru, kulit, hati, kornea, pankreas dan sumsum tulang belakang.
3. Jenis-jenis transplantasi ialah allograft, xenograft, isograft dan autograft.
4. Molekul utama yang menjadi target rejeksi transplant adalah molekul mhc
allogeneik kelas I dan II. Molekul allogeneik dipresenasikan melalui dua cara.
Jalur yang pertama disebut dengan direct presentation dan cara yang kedua
disebut dengan indirect presentation.
III.2 Saran
-

37

DAFTAR PUSTAKA
1.

Abbas AK & Litchtman AH. 2009. Basic Immunology Functions and Disorders of
The Immune System. Saunders Elsevier, 3:45-63

2.

Abbas AK, Lichtman AH, Pillai S. 2007. Cellular and Molecular Immunology-6th
edition. Saunders Elsevier, 5-6:97-133.

3.

Baratawidjaja, KG. 2009. Imunologi Dasar-Edisi 9. Jakarta: FKUI, 8:197-217.

4.

Ghaffar A and Nagarkatti P. 2010. MHC: Genetics And Role In Transplantation .


Http://Pathmicro.Med.Sc.Edu/ Book/Immunol-Sta.Htm. Diakses Pada Tanggal
26 Desember 2010.

5.

Pauly E, Kunz P, Maurer B, Po schl J, Fritzsching B. Regulatory T cells and


tolerance induction. Clin Transplant 2009: 23 (Suppl. 21): 1014

6.

Kamus

Besar

Bahasa

Indonesia

Online,

yang

diakses

dari

http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/index.php
7.

Medicastore, Pencangkokan organ manusia . Yang diakses dari :


http://medicastore.com/penyakit/789/Pencangkokan.html

38

IMUNOPROFILAKSIS

39

BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang

Imunologi adalah suatu cabang yang luas dari ilmu biomedis yang
mencakup kajian mengenai semua aspek sistem imun (kekebalan) pada semua
organisme.
Kata imun berasal dari bahasa latin imunitas yang berarti
pembebasan (kekebalan). Sistem imun adalah suatu sistem dalam tubuh yang
terdiri dari sel-sel serta produk zat-zat yang dihasilkannya, yang bekerja sama
secara kolektif dan terkoordinir untuk melawan benda asing seperti kumankuman penyakit atau racun yang masuk ke dalam tubuh.
Imunoprofilaksis adalah pencegahan penyakit infeksi terhadap antibodi
spesifik. Selain itu juga, merupakan pencegahan penyakit melalui sistem imun
dengan tindakan mendapatkan kekebalan resistensi relatif terhadap infeksi
mikroorganisme yang patogen serta menimbulkan efek positif untuk
pertahanan tubuh dan efek negatif menimbulkan reaksi hipersensivitas.
I.2 Rumusan Masalah
1. Apa Yang Dimaksud Dengan Imunoprofilaksis Dan Imunisasi ?
2. Apa Fungsi Imunoprofilaksis ?
3. Apakah Manfaat Imunisasi ?
4. Apa Saja Tindakan Imunoprofilaksis ?
5. Bagaimana Jenis-Jenis Imunisasi Dan Vaksin ?
6. Bagaimana Kontraindikasi Pemberian Imunisasi ?
I.3 Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui definisi Imunoprofilaksis dan Imunisasi
2. Untuk mengetahui Fungsi Imunoprofilaksis
3. Untuk mengetahui Manfaat Imunisasi
4. Untuk mengetahui Tindakan Imunoprofilaksis
5. Untuk mengetahui Jenis-Jenis Imunisasi Dan Vaksin
6. Untuk mengetahui Kontraindikasi Pemberian Imunisasi

40

BAB II
PEMBAHASAN
II.1 Pengertian Imunoprofilaksis dan Imunisasi
Imunisasi merupakan suatu program yang dengan sengaja memasukkan
antigen lemah agar merangsang antibodi keluar sehingga tubuh dapat resisten
terhadap penyakit tertentu. Sedangkan Sistem kekebalan tubuh (imunitas)

adalah sistem mekanisme pada organisme yang melindungi tubuh terhadap


pengaruh biologis luar dengan mengidentifikasi dan membunuh patogen serta
sel tumor.
Sistem ini mendeteksi berbagai macam pengaruh biologis luar yang
luas, organisme akan melindungi tubuh dari infeksi, bakteri, virus sampai
cacing parasit, serta menghancurkan zat zat asing lain dan memusnahkan
mereka dari sel organisme yang sehat dan jaringan agar tetap dapat berfungsi
seperti biasa.
Imunoprofilaksis adalah pencegahan penyakit infeksi terhadap
antibodi spesifik. Selain itu juga, merupakan pencegahan penyakit melalui
sistem imun dengan tindakan mendapatkan kekebalan resistensi relatif
terhadap infeksi mikroorganisme yang patogen serta menimbulkan efek
positif untuk pertahanan tubuh dan efek negatif menimbulkan reaksi
hipersensivitas.
Imunisasi merupakan kemajuan besar dalam usaha imunoprofilaksis.
Imunisasi merupakan upaya pencegahan terhadap penyakit tertentu pada diri
seseorang dengan pemberian vaksin. Vaksin adalah antigen yang dapat
bersifat aktif maupun inaktif yang berasal dari mikroorganisme ataupun racun
yang dilemahkan.
II.2 Fungsi Imunoprofilaksis
1. Meningkatkan sistem kekebalan tubuh terhadap penyakit, kekebalan
terhadap penyakit dapat dipacu dengan pemberian imunostimulan
termasuk vaksinasi dan vitamin.
2. Mengurangi penularan suatu penyakit.

41

3. Imunisasi menurunkan angka morbiditas (angka kesakitan) dan mortalitas


(angka kematian) pada balita.
II.3 Manfaat imunisasi
1. Untuk anak : mencegah penderitaan yang disebabkan oleh penyakit dan
kemungkinan cacat atau kematian.
2. Untuk keluarga : menghilangkan kecemasan dan psikologi pengobatan
bila anak sakit. Mendorong pembentukan keluarga apabila orang tua
yakin bahwa anaknya akan menjalani masa kanak-kanak yang nyaman.
3. Untuk Negara : memperbaiki tingkat kesehatan, menciptakan bangsa yang
kuat dan berakal untuk melanjutkan pembangunan Negara.
II.4 Tindakan Imunoprofilaksis
Ada beberapa tindakan yang dapat dilakukan yaitu :
1. Tindakan mendapatkan kekebalan
2. Resistensi relatif hospes terhadap reinfeksi mikro-organisme tertentu
3. Mencegah penyakit infeksi dengan mikro-organisme patogen
4. Efek (+) : pertahanan tubuh
5. Efek (-) : reaksi hipersensitivitas
II.5 Jenis Jenis Imunisasi
Pada dasarnya, ada 2 jenis imunisasi, yaitu :
A. Imunisasi aktif adalah pemberian satu atau lebih antigen atau agen
yang menginfeksi pada seorang individu untuk merangsang sistem
imun untuk memproduksi antibodi yang akan mencegah infeksi.
Antibodi dapat timbul secara alami, tetapi paling sering sengaja
diberikan. Antibodi dapat memberi perlindungan seumur hidup atau
perlindungan untuk sementara waktu. Beberapa vaksin perlu diulangi
pemberiannya pada interval tertentu. Contoh imunisasi aktif adalah
imunisasi polio atau campak. Adapun hal-hal yang perlu diperhatikan
dalam imunisasi aktif, yaitu:
Perlu ada paparan (exposure) antigen
Dapat alami (infeksi) atau buatan (vaksin)

42

Perlu waktu untuk pembentukan


Terbentuk kekebalan untuk jangka waktu yang lama terhadap infeksi
mendatang

Faktor- factor yang pengaruhi Imunisasi Aktif yaitu :


Faktor genetik
Umur
Metabolisme.
B. Imunisasi pasif adalah adalah pemindahan antibodi yang telah dibentuk
yang dihasilkan oleh host lain. Antibodi ini dapat timbul secara alami
atau sengaja diberikan. Contoh imunisasi pasif adalah penyuntikan ATS
(Anti

Tetanus

Serum)

pada

orang

yang

mengalami

luka

kecelakaanAdapun hal-hal yang perlu diperhatikan dalam imunisasi


pasif, yaitu:
Tak perlu ada paparan (exposure) antigen
Kekebalan humoral (antibodi)
Dapat bersifat alami, terdiri dari: maternal mel. Plasenta dan
kolostrum.
Dapat

bersifat

perolehan/buatan,

imunoglobulin.

43

terdiri

dari

antiserum

dan

Derajat kekebalan
Antigenisitas
Portal of entery
Kuantitas antigen
Kecepatan penyebaran antigen
II.6 Jenis Jenis Vaksin
Beberapa jenis vaksin dibedakan berdasarkan proses produksinya, antara
lain:
a) Vaksin hidup (Live Attenuated Vaccine)
Vaksin terdiri dari kuman atau virus yang dilemahkan, masih
antigenik namun tidak patogenik. Contohnya adalah virus polio oral. Oleh
karena vaksin diberikan sesuai infeksi alamiah (oral), virus dalam vaksin
akan hidup dan berkembang biak di epitel saluran cerna, sehingga akan
memberikan kekebalan lokal. Sekresi IgA lokal yang ditingkatkan akan
mencegah virus liar yang masuk ke dalam sel tubuh.
b) Vaksin mati (Killed vaccine/ Inactivated vaccine)
Vaksin mati tidak jelas patogenik dan tidak berkembang biak
dalam tubuh. Oleh karena itu, diperlukan pemberian beberapa kali.
c) Rekombinan
Susunan vaksin ini (misal hepatitis B) memerlukan epitop
organisme yang patogen. Sintesis dari antigen vaksin tersebut melalui
isolasi dan penentuan kode gen epitop bagi sel penerima vaksin.
d) Toksoid
Bahan bersifat imunogenik yang dibuat dari toksin kuman.
Pemanasan dan penambahan formalin biasanya digunakandalam proses
pembuatannya. Hasil pembuatan bahan toksoid yang jadi disebut sebagai
natural fluid plain toxoid dan merangsang terbentuknya antibodi
antitoksin. Imunisasi bakteriil toksoid efektif selama satu tahun. Bahan
ajuvan

digunakan

untuk

merperlama

meningkatkan imunogenesitasnya.

44

rangsangan

antigenik

dan

e) Vaksin Plasma DNA (Plasmid DNA Vaccines)


Vaksin ini berdasarkan isolasi DNA mikroba yang mengandun
kode antigen yang patogen dan saat ini sedang dalam perkembangan
penelitian. Hasil akhir penelitian pada binatang percobaan menunjukkan
bahwa vaksin DNA (virus dan bakteri) merangsang respon humoral dan
seluar yang cukup kuat, sedangkan penelitian klinis pada manusia saatini
sedang dilakukan.
II.7 Kontraindikasi pemberian imunisasi
Kontraindikasi dalam pemberian imunisasi ada 3 yaitu:
1) Analfilaksis

atau

reaksi

hipersensitivitas

yang

hebat

merupakan

kontraindikasi mutlak terhadap dosis vaksin berikutnya. Riwayat kejang


demam dan panas lebih dari 38C merupakan kontraindikasi pemberian
DPT atau HB1 dan campak.
2) Jangan berikan vaksin BCG kepada bayi yang menunjukkan tanda-tanda
dan gejala AIDS, sedangkan vaksin yang lain sebaiknya diberikan.
3) Jika orang tua sangat berkeberatan terhadap pemberian imunisasi kepada
bayi yang sakit, lebih baik jangan diberikan vaksin, tetapi mintalah ibu
kembali lagi ketika bayi sudah sehat.

45

BAB III
PENUTUP
III.1 Kesimpulan

Imunoprofilaksis adalah pencegahan penyakit infeksi terhadap


antibodi spesifik. Fungsi imunoprofilaksis yaitu meningkatkan kekebalan
tubuh terhadap penyakit dan mengurangi penularan penyakit. Tindakan
yang dilakukan dalam imunoprofilaksis untuk mencegah masuknya virus
atau vaksin masuk dalam tubuh. Jenis-jenis imunisasi yaitu imunisasi aktif
dan imunisasi pasif. Jenis jenis vaksin yaitu vaksin hidup, vaksin mati,
rekombinan, toksoid, dan vaksin plasma DNA.
III.2 Saran
-

46

DAFTAR PUSTAKA
1. http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/118/jtptunimus-gdl-octaviawid-5867-2babii.pdf
2. Rahardjo,P.,Adi,. Imunoprofilaksis dan Imunoterapi , Universitas Airlangga,
Fakultas

Kedokteran

Hewan

Bagian

Mikrobiologi

Veteriner,

Laboratorium Virologi dan Imunologi.


3. Oen L.H. Majalah Cermin Dunia Kedokteran. Jakarta: PT.Kalbe Farma. 1990. h.58.
4. Bellanti, J.A. Penggunaan Vaksin. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.1993.
p. 553-560.
5. Bratawidjaja, Karnen Garna. Imunologi Dasar. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2009. p. 68.
6. M.William Schwartz. Pediatri. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 1996.
p.56.

47

Anda mungkin juga menyukai