Anda di halaman 1dari 32

KATA PENGANTAR

Puji syukur allhamdulillah atas limpahan rahmat dan hidayah Allah SWT, bimbingan serta
petunjuk-Nya sehingga memperoleh nikmat sehat, kemudahan serta kesabaran dalam
menyelesaikan penulisan makalah ini. Salawat serta salam atas nabi besar Muhammad SAW
yang telah menjadi inspirasi dalam menyikapi hidup ini, beserta keluarga, sahabat dan pengikut
beliau.

Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan
Farmakologi pada Akademi Farmasi ISFI Banjarmasin.

Penyelesaian penulisan makalah yang berjudul “ TOKSIKOLOGI “ ini, tidak dapat lepas
dari peran berbagai pihak. Oleh sebab itu, penulis menyampaikan banyak terima kasih kepada:

1. Alex selaku dosen pengampu mata kuliah pendidikan Farmakologi 1 telah memberikan
bantuan dan arahan kepada penulis sehingga penulisan makalah ini berjalan lancar.
2. Mahasiswa dan mahasiswi Akfar ISFI Banjarmasin yang telah memotivasi dan berpartisipasi
dalam penyelesaian makalah ini.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna.
Oleh karena itu, saran dan kritik pembaca sangat diperlukan penulis untuk mengembangkan
kualitas makalah ini. Namun penulisan makalah ini merupakan upaya maksimal yang dapat
penulis hasilkan. Semoga makalah ini ada manfaatnya, baik bagi penulis sendiri maupun bagi
pembaca.

Banjarmasin, 20 Maret 2017

Penulis

1|Page
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ········································································· I

Daftar Isi ··············································································· II

Bab I Pembukaan

1.1 Latar Belakang ··························································· 3


1.2 Rumusan Masalah ······················································· 4
1.3 Tujuan Penulisan ························································· 4

BAB II Pembahasan
2.1 Pengertian Toksikologi ················································· 5
2.2 Jenis –jenis Toksikologi ················································ 6
2.3 Penggolongan Keracunan··············································· 7
2.4 Gejala Keracunan ······················································ 8-9
2.5 Diagnosa Keracunan ··············································· 10-11
2.6 Pemeriksaan Terapi ····················································· 11
2.7 Terapi Keracunan ······················································· 12
2.8 Keracunan Penting (Neftrotoksik) ······························· 13-19
2.9 Keracunan Penting (Hepatotoksik) ······························ 19-29

BAB III Penutup


3.1 Kesimpulan ···························································· 30
3.2 Saran ····································································· 31
3.3 Daftar Pustaka ·························································· 32

2|Page
BAB 1

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang

Toksikologi merupakan ilmu yang mempelajari tentang efek merugikan berbagai bahan
kimia dan fisik pada semua sistem kehidupan. Dalam istilah kedokteran, toksikologi
didefinisikan sebagai efek merugikan pada manusia akibat paparan bermacam obat dan unsur
kimia lain serta penjelasan keamanan atau bahaya yang berkaitan dengan penggunaan obat dan
bahan kimia tersebut. Toksikologi sendiri berhubungan dengan farmakologi, karena perbedaan
fundamental hanya terletak pada penggunaan dosis yang besar dalam eksperimen toksikologi.
Setiap zat kimia pada dasarnya adalah racun, dan terjadinya keracunan ditentukan oleh dosis dan
cara pemberian. Salah satu pernyataan Paracelsus menyebutkan “semua substansi adalah
racun; tiada yang bukan racun. Dosis yang tepat membedakan racun dari obat”. Pada
tahun 1564 Paracelsus telah meletakkan dasar penilaian toksikologis dengan mengatakan, bahwa
dosis menentukan apakah suatu zat kimia adalah racun (dosis sola facit venenum). Pernyataan
Paracelcus tersebut sampai saat ini masih relevan. Sekarang dikenal banyak faktor yang
menyebabkan keracunan, namun dosis tetap merupakan faktor utama yang paling penting.
Toksisitas merupakan istilah dalam toksikologi yang didefinisikan sebagai kemampuan
bahan kimia untuk menyebabkan kerusakan/injuri. Istilah toksisitas merupakan istilah kualitatif,
terjadi atau tidak terjadinya kerusakan tergantung pada jumlah unsur kimia yang terabsopsi.
Sedangkan istilah bahaya (hazard) adalah kemungkinan kejadian kerusakan pada suatu situasi
atau tempat tertentu; kondisi penggunaan dan kondisi paparan menjadi pertimbangan utama.
Untuk menentukan bahaya, perlu diketahui dengan baik sifat bawaan toksisitas unsur dan besar
paparan yang diterima individu. Manusia dapat dengan aman menggunakan unsur berpotensi
toksik jika menaati kondisi yang dibuat guna meminimalkan absopsi unsur tersebut. Risiko
didefinisikan sebagai kekerapan kejadian yang diprediksi dari suatu efek yang tidak diinginkan
akibat paparan berbagai bahan kimia atau fisik.
Istilah toksikokinetik merujuk pada absopsi, distribusi, ekskresi dan metabolisme
toksin, dosis toksin dari bahan terapeutik dan berbagai metabolitnya. Sedangkan istilah
toksikodinamik digunakan untuk merujuk berbagai efek kerusakan unsur tersebut pada fungsi
fital.

3|Page
1.2. Rumusan Masalah

1. Pengertian Toksikologi.
2. Jenis & Penggolongan Keracunan.
3. Gejala & Diagnosa Keracunan.
4. Pemeriksaan & Terapi keracunan.
5. Beberapa Keracunan Penting (Obat Yang Menginduksi Nefrotoksik)
6. Beberapa Keracunan Penting (Obat Yang Menginduksi Hepatoksik)

1.3. Tujuan

1. Untuk Memahami Pengertian Toksikologi


2. Untuk Mengetahui Jenis & Penggolongan Keracunan
3. Untuk Mengetahui Gejala & Diagnosa Dari Keracunan
4. Untuk Mengetahui Pemeriksaan Dan Terapi Keracunan
5. Untuk Mengetahui Beberapa Keracunan Penting (Obat Yang Menginduksi Nefrtatotoksik)
6. Untuk Mengetahui Beberapa Keracunan Penting (Obat Yang Menginduksi Hepatotoksik)

4|Page
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 PENGERTIAN TOKSIKOLOGI

Toksikologi adalah ilmu yang mempelajari tentang racun. Pengertian lain yaitu
semua subtansi yang digunakan dibuat, atau hasil dari suatu formulasi dan produk sampingan
yang masuk ke lingkungan dan punya kemampuan untuk menimbulkan pengaruh negative bagi
manusia.

Toksikologi merupakan studi mengenai efek-efek yang tidak diinginkan dari zat-zat
kimia terhadap organisme hidup. Toksikologi juga membahas tentang penilaian secara kuantitatif
tentang organ-organ tubuh yang sering terpajang serta efek yang di timbulkannya.

Efek toksik atau efek yang tidak diinginkan dalam sistem biologis tidak akan dihasilkan
oleh bahan kimia kecuali bahan kimia tersebut atau produk biotransformasinya mencapai tempat
yang sesuai di dalam tubuh pada konsentrasi dan lama waktu yang cukup untuk menghasilkan
manifestasi toksik. Faktor utama yang mempengaruhi toksisitas yang berhubungan dengan
situasi pemaparan (pemajanan) terhadap bahan kimia tertentu adalah jalur masuk ke dalam
tubuh, jangka waktu dan frekuensi pemaparan.

Pemaparan bahan-bahan kimia terhadap binatang percobaan biasanya dibagi dalam empat
kategori: akut, subakut, subkronik, dan kronik. Untuk manusia pemaparan akut biasanya terjadi
karena suatu kecelakaan atau disengaja, dan pemaparan kronik dialami oleh para pekerja
terutama di lingkungan industri-industri kimia.
Interaksi bahan kimia dapat terjadi melalui sejumlah mekanisme dan efek dari dua atau
lebih bahan kimia yang diberikan secara bersamaan akan menghasilkan suatu respons yang
mungkin bersifat aditif, sinergis, potensiasi, dan antagonistik. Karakteristik pemaparan
membentuk spektrum efek secara bersamaan membentuk hubungan korelasi yang dikenal
dengan hubungan dosis-respons

5|Page
2.2 JENIS-JENIS TOKSIKOLOGI

Jenis-jenis keracunan dapat dibagi atas :

1) Cara terjadinya

a. Self poisoning
Pada keadaan ini pasien memakan obat dengan dosis yang berlebih tetapi dengan pengetahuan
bahwa dosis ini tak membahayakan. Pasien tidak bermaksud bunuh diri tetapi hanya untuk
mencari perhatian saja.

b. Attempted Suicide
Pada keadaan ini pasien bermaksud untuk bunuh diri, bisa berakhir dengan kematian atau pasien
dapat sembuh bila salah tafsir dengan dosis yang dipakai
c. Accidental poisoning
Keracunan yang merapukan kecelakaan, tanpa adanya factor kesengajaan
d. Homicidal poisoning
Keracunan akibat tindakan kriminal yaitu seseorang dengan sengaja meracuni orang lain.

2) Mula waktu terjadi

a. Keracunan kronik
Keracunan yang gejalanya timbul perlahan dan lama setelah pajanan. Gejala dapat timbul secara
akut setalah pemajanan brkali-kali dalam dosis relative kecil cirri khasnya adalah zat penyebab
diekskresikan 24 jam lebih lama dan waktu paruh lebih panjang sehingga terjadi akumulasi.

b. Keracunan akut
Biasanya terjadi mendadak setelah makan sesuatu, sering mengenai banyak orang (pada
keracunan dapat mengenai seluruh keluarga atau penduduk sekampung ) gejalanya seperti
sindrom penyakit muntah, diare, konvulsi dan koma.

6|Page
3) Menurut alat tubuh yang terkena
Pada jenis ini, keracunan digolongkan berdasarkan orang yang terkena contohnya racun hati,
racun ginjal, dan racun jantung.

4) Menurut jenis bahan kimia


Golongan bahan kimia tertentu biasanya memperlihatkan sifat toksis yang sama, biasanya
golongan alcohol, fenol, logam berat, organoklorin dan sebagainya.

2.3 PENGGOLONGAN KERACUNAN

1) Racun yang tertelan atau tercerna


2) Keracunan korosif, yaitu keracunan yang disebabkan oleh zat korosif yang meliputi produk
alkalin ( Lye, pembersih kering, pembersih toilet, dterjen non pospat ) dan produk asam
(pembersih toilet, pembersih logam, pembersih kolam renang, dan penghilang karat).
3) Keracunan melalui inhalasi yaitu keracunan yang disebabkan oleh gas (karbon monoksida,
korbon dioksida, dan hydrogen sulfide).
4) Keracunan kontaminasi kulit (luka bakar kimiawi)
5) Keracunan melalui tusukan yang terdiri dari sengatan serangga seperti tawon dan kalajengking
dan gigitan ular.
6) Keracunan makanan, yaitu keracunan yang disebabkan oleh perubahan kimia (fermentasi) dan
pembusukkan Karena kerja bakteri daging busuk pada bahan makanan misalnya ubi ketela yang
mengandung asam sianida, jengkol, dan racun pada udang maupuin kepiting.
7) Penyalahgunaan zat yang terdiri dari penyalahgunaan obat stimulan (Amphetamin), depresan
(barbiturat), atau halusinogen (morfin) dan penyalahgunaan alcohol.

7|Page
2.4 GEJALA KERACUNAN
Banyak sekali gejala dan tanda tanda keracunan yang mirip dengan gejala atau tanda dari
suatu penyakit, seperti kejang, stroke dan reaksi insulin. Seseorang yang telah mengalami
keracunan kadang dapat diketahui dengan adanya gejala keracunan.

Gejala gejala keracunan tersebut secara umum dapat berupa gejala non spesipik dan
spesipik, namun kadang kadang sulit untuk menentukan adanya keracunan hanya dengan melihat
gejala gejala saja. Perlu dilakukan tindakan untuk memastikan telah terjadi keracunan dengan
melakukan pemeriksaan laboratorium. Pemerikasaan laboratorium ini dapat dilakukan melalui
pemeriksaan periodik urin, tinja, darah, kuku, rambut dan lain lain. Bila dicurigai telah terjadi
keracunan maka perlu diidentifikasi tanda dan gejala yang muncul seperti tersebut dibawah ini :

Luka bakar atau kemerahan di sekitar mulut dan bibir yang mungkin akibat menelan
bahan kimia korosif.
Bau napas seperti bau bahan kimia, contoh bensin, minyak tanah dan cat
Adanya bercak atau bau bahan pada tubuh korban, baik pada pakaian atau pada furnitur,
pada lantai atau objek disekitar korban
Tempat obat yang telah kosong atau adanya tablet / pil yang berserakan
Muntah, mulut berbuih, sulit bernapas, rasa kantuk yang berat, kebingungan atau gejala
lain yang tidak diharapkan.

Beberapa gejala keracunan yang sering dijumpai seperti :


Pusing
sakit kepala
Sesak nafas
Iritasi kulit/kulit seperti terbakar
Pingsan
Muntah,dll

8|Page
a. Keracunan bahan kimia korosif asam kuat atau basa yang tertelan akan segera timbul tanda-
tanda pada bibir dan selaput lendir mulut pada berwarna keputihan atau kebiruan akibat luka
bakar kimia, timbul rasa panas dan terbakar pada batang tenggorok sakit dan nyeri pada lambung
yang disertai rasa mual, rasa ingin muntah dan cairan muntah berwarna coklat karena
bercampuyr dengan darah. Pada bahan kimia lain seperti baigon atau insektisida lain akan
dijumpai konvulsi atau kejang dan pengeluaran ludah atau keringat yang berlebihan.

b. Pada keracunan melalui inhalasi oleh karena menghirup bahan kimia oleh gas, uap atau kabut
yang merangsang dan merusak selaput lender atau pernapasan, akan timbul gejala rasa pedih dan
panas pada tenggorok batuk kering dan pada kondisi yang parah akan disertai dengan sesak nafas
dfan muntah darah.

c. Pada keracunan yang disebabkan oleh sengatan serangga atau ular dapat dijumpai gejala
dengan adanya gatal, mailase,odema laring, bronkospasme berat, shock, dan kematian.

d. Pada keracunan kontaminasi kulit oleh bahan kimia karbon disulfide maka akan nampak
kemerahan, timbul gelembung kecil dan merata seperti luka bakar oleh air panas kulit menjadi
kering dan bersisisk dan berpotensi timbul infeksi sekunder dermatitis.

e. Pada keracunan yang disebabkan oleh gigitan ular dapat dijumpai gejala pada rongga mulut
dan pernapasan atau por-pori kulit, rasa haus, pusing banyak keluar keringat badan lemah nadi
kecil dan lemah. badan mengggil pernapasan pendek dan akhnrnya mati.

f. Keracunan oleh bahan makanan seperti jengkol dapat dijumpai gejala nyeri pada daerah
pinggang, ginjal, dan pusat konvusi hematuri dan dalam jumlah sedikit perut kembung, urine
berbau, kadang muntah dan dalam keadaaan parah dapat menyebabkan saluran kemih penuh
dengan asam asam jengkol.

g. Pada keracunan narkotik golongan stimulant dapat dijumpai tremor, bibnir kering, anoreksi,
mual, bibir kering, agresif halusinasi, insomnia dan hipertensi, pada gejala depresan akan
dijumpai gejala depresisehingga terdapat tanda mudah tertidur.

9|Page
2.5 DIAGNOSA KERACUNAN

1. Gambaran klinik
Yang paling menonjol adalah gambaran hiperaktivitas kelenjar-kelenjar ludah, air mata, keringat,
urine, saluran pencernaan makanan SLUD (Salivasi, Lakrimasi, Urinasi,dan Diare ) kelainan
visus dan kesukaran bernapas.
a. Keracunan ringan
Anoriksia
Rasa takut
Pupil miyosis
Nyeri kepala
Tremor lidah
Rasa lemah
Tremor kelopak mata

b. Keracunan sedang

Nausea
Hipersaliva
Bradikardi
Muntah-muntah
Tremor lidah
Rasa lemah
Hiperhidrosis
Kejang / keram perut
Fasikulasi otot

10 | P a g e
c. Keracunan berat
Diare
Sesak nafas
Koma
Inkontienensia urine
Sianosos
Edema paru
Konvulsi
Reaksi cahaya (-)
Inkontinensia feses
Blockade jantung dan akhirnya meninggal

2.6 Pemeriksaan laboratorium

a. Pemeriksaan rutin tidak banyak menolong


b. Pemeriksaan khusus pengukuran kadar kHE dalam sel darah merah dan plasma, penting untuk
memastikan diagnosis keracunan akut maupun kronik (menurun sekian persen dari harga
normal)

Pemeriksaan PA
Pada keracunan akut pemeriksaan patologi, biasanya tidak khas, sering hanya ditemukan edema
paru, dilatasi kapiler dan hiperemi paru, otak dan organ-organ lain.
· Prinsip pertolongan pada keracunan
Prinsip pertolongan p[ada keracunan adalah mencegah penyebaran racun kedalam tubuh yaitu,
dengan cara :
a. Emetic, yaitu mengeluarkan racun dengan jalann dimuntahkan, memberikan obat pencahar
untuk mencegah adsorbsi lanjut oleh usus dan mempercepat defikasi.
b. Cathartic, mencuci atau menguras isi lambung dengan menggunakan kateter lambung melalui
mulut memakai air hangat biasa atau larutan khusus untuk lambung.
c. Neutralizer, yaitu menetralkan racun dengan memberikan obat antidote khusus dan antidote
umum.
d. Mengencerkan bahan racun yang terkonsumsi oleh tubuh dengan cara memberikan minum
yang banyak.
11 | P a g e
2.7 TERAPI KERACUNAN
Pencegahan absorpsi lebih lanjut :
o Bila melalui kulit, cuci dengan air & sabun
o Bila melalui inhalasi, letakkan di ruangan yang segar
o Bila ditelan:
 Rangsang muntah
sentuh tenggorokan (tidak boleh pada keracunan zat korosif & minyak tanah, tidak
sadar)
 Bilas lambung: hanya bila pasien sadar, dalam 4 jam setelah zat kimia
ditelan
 Pencahar
 Norit (arang aktif) 1 gr/kg
 Pemberian Antidotum:
o Antidotum mekanis: Norit
o Antidotum kimia: BAL, EDTA, Penisilamin, Desferoksamin
o Antidotum fisiologis: Nalorfin, Atropin
 Sesuai gejala:
o Bila kejang, berikan antikejang
o Bila syok, berikan cairan IV

o Bila infeksi, berikan antibiotika


 Tindakan lain :
o Transfusi total
o Dialisis
o Diuresis paksa.

12 | P a g e
Bahan bahan penyebab keracunan yang masuk kedalam tubuh dapat mempengaruhi atau
merusak tubuh manusia sehingga dapat menyebabkan gangguan kesehatan atau keracunan dan
bahkan pada tingkat tertentu dapat mengakibatkan kematian. Ada berbagai jalur / rute cara racun
masuk kedalam tubuh, misalnya melalui penelanan lewat mulut, inhalasi pernapasan, kontak
lewat kulit atau mata maupun melalui suntikan dan semua jalur tersebut adalah sama
berbahayanya, dan pada tingkat tertentu untuk semua rute dapat berakibat fatal.

2.8 Beberapa Keracunan Penting (Obat Yang Menginduksi Nefrtatotoksik)

Ginjal merupakan salah satu organ tubuh yang sangat penting bagi manusia oleh karena organ ini
bekerja sebagai alat ekskresi utama untuk zat-zat yang tidak dibutuhkan lagi oleh tubuh. Dalam
melaksanakan fungsi ekskresi ini maka ginjal mendapat tugas yang berat mengngat hampir 25 %
dari seluruh aliran darah mengalir ke kedua ginjal.

Besarnya aliran darah yang menuju ke ginjal ini menyebabkan keterpaparan ginjal terhadap
bahan/zat-zat yang beredar dalam sirkulasi cukup tinggi. Akibatnya bahan-bahan yang bersifat
toksik akan mudah menyebabkan kerusakan jaringan ginjal dalam bentuk perubahan struktur dan
fungsi ginjal. Keadaan inilah yang disebut sebagai nefropati toksik dan dapat mengenai
glomerulus, tubulus, jaringan vaskuler, maupun jaringan interstitial ginjal.

Nefropati toksik penting diperhatikan, mengingat penyakit ini merupakan penyakit yang dapat
dicegah dan bersifat refersibel sehingga penggunaan berbagai prosedur diagnostik seperti
arteriografi, pielografi retrograd atau biopsi ginjal dapat dihindarkan.

13 | P a g e
Angka kejadian
Sampai sekarang tidak diketahui dengan pasti angka kejadian nefropati toksik baik pada anak
maupun orang dewasa. Nanra melaporkan bahwa kemungkinan 60% dari semua konsultasi
penyakit ginjal disebabkan oleh zat nefrotoksik dan sebanyak 5-10 % benar-benar diketahui
sebagai akibat nefrotoksik. Cronin yang melakukan penelitian pada kasus penyakit ginjal
menemukan bahwa 20 % penderita gagal ginjal disebabkan oleh pemakaian obat antibiotik.
Penelitian lain menunjukkan bahwa hampir 25 % kasus-kasus gagal ginjal akut dan kronik
diakibatkan oleh zat nefrotoksik.

Selain obat antibiotik maka pemakaian obat analgesik jangka panjang yang cukup luas baik di
negara maju maupun negara berkembang dapat menyebabkan timbulnya nefropati analgesik
yang merupakan penyebab penting gagal ginjal kronik.

Etiologi
Zat-zat yang dapat merusak ginjal baik struktur maupun fungsi ginjal disebut sebagai
nefrotoksin, yang dapat merupakan :
1. Makanan, yaitu makanan yang tercemar racun kimia, racun
tanaman serangga atau makanan yang secara alamiah sudah
mengandung racun seperti jengkol, singkong atau jamur yang
dapat merusak ginjal.
2. Bahan kimia, yaitu bahan yang mengandung logam berat seperti
timah (Pb),emas, kadmium.
3. Obat-obatan; antibiotik, obat kemoterapi, siklosporin,
sitostatik, dll.
4. Zat radiokontras.

Dari keempat nefrotoksin maka obat dan bahan kimia yang paling sering menyebabkan
kerusakan ginjal.

14 | P a g e
Patogenesis
Ginjal merupakan organ tubuh yang paling sering terpapar zat kimia dan metabolitnya terutama
obat yang dipakai secara meluas dimasyarakat. Kemudahan keterpaparan ginjal terhadap zat-zat
tersebut diakibatkanoleh sifat-sfat khusus ginjal, yaitu :

1. Ginjal menerima 25 %, curah jantung sedangkan beratnya hanya


kira-kira 0,4% dari berat badan.
2. Untuk menampung curah jantung yang begitu besar, ginjal
mempunyai permukaan endotel kapiler yang relatif luas
dianatara organ tubuh yang lain.
3. Permukaan endotel kapiler yang sangat luas ini menyebabkan
bahan yang bersifat imunologik sering terpapar didaerah
kapiler glomerulus dan tubulus.
4. Fungsi transportasi melalui sel-sel tubulus dapat menyebabkan
terkonsentrasinya zat-zat toksin di tubulus sendiri.
5. Mekanisme counter current sehingga medulla dan papil ginjal
menjadi hipertonik dapat menyebabkan konsentrasi zat toksik
sangat meningkat di kedua daerah tersebut.

Sifat-sifat khas yang disebut di atas inilah yang memudahkan terjadinya gangguan struktur dan
fungsi ginjal, bila didalam darah terdapat zat yang bersifat nefrotoksik. Berikut beberapa obat
serta zat kimia dengan potensi dapat merusak ginjal, yaitu :

1. Asetaminofen, dapat menimbulkan kerusakan pada papilla


renalis.
2. Salisilat, dapat menimbulkan nefritis interstitial.
3. Antibiotik golongan aminoglikosida dan golongan
sefalosporin, berpotensi menimbulkan keadaan nefritis
interstitial dan kerusakan sel-sel tubulus.
4. Basitrasin, dapat menimbulkan degenerasi epitel tubulus.

15 | P a g e
5. Polimiksin B dan E, berpotensi menimbulkan kerusakan tubulus
ginjal.
6. Tetrasiklin, dapat menimbulkan sindrom fanconi.
7. Amfoterisin B, berpotensi menimbulkan kerusakan pada
glomerulus dan atrofi pada jaringan tubulus ginjal.
8. Logam berat, misalnya merkuri dapat menimbulkan nekrosis pada
jaringan tubulus secara akut dan iskemia pada ginjal. Timah
(Pb) berpotensi menimbulkan keadaan sindrom fanconi dan
kerusakan pada tubulus ginjal.

Dikenal 5 macam mekanisme terjadinya nefropati toksik, yaitu :


A. Dampak langsung terhadap sel parenkim ginjal.
Kerusakan langsung ini terutama disebabkan oleh penggunaan zat yang mengandung logam
berat. Logam berat yang difiltrasi oleh glomerulus dapat diresorpsi kembali oleh sel tubulus
sehingga sel tubuluslah yang paling sering mengalami kerusakan. Kerusakan ini mengenai
hampir seluruh struktur subseluler seperti membran plasma, mitokondria, lisosom, retikulum
endoplasma dan inti sel.

B. Reaksi imunologis
Proses imunologis lebih sering terjadi pada pemakaian obat-obatan seperti penisilin, metisilin,
dsb. Reaksi yang terjadi merupakan reaksi hipersensitifitas terhadap zat tersebut di atas,
sedangkan proses yang timbul merupakan proses imunologik baik secara humoral seperti
terbentuknya deposit imun kompleks, reaksi antara antibodi dengan antigen membrana basalis
glomerulus, maupun secara seluler.

C. Obstruksi saluran kemih.


Umumnya obstruksi yang terjadi sebagai akibat kristalisasi zat tertentu yang kemudian
mengendap di lumen tubulus yang selanjutnya disertai pula dengan pengendapan sel tubulus
yang rusak. Pengendapan kristal dan sel tubulus yang rusak ini sering disertai proses inflamasi
yang akhirnya menyebabkan obstruksi lumen tubulus.

16 | P a g e
Di Indonesia dikenal keracunan jengkol yang dapat menyebabkan obstruksi saluran kemih
baik intrarenal maupun ekstrarenal. Diduga pengendapan asam jengkol yang menyumbat saluran
kemih.Gangguan fungsi ginjal yang paling sering terjadi akibat keracunan jengkol ini ialah gagal
ginjal akut.

D. Penghambatan produksi prostaglandin

Terdapat obat-obat yang dapat menghambat sintesis prostaglandin E2 yaitu aspirin dan anti
inflamasi non steroid. Obat-obat ini menghambat sintesis prostaglandin E2 dengan cara mengikat
siklo-oksigenase, suatu enzim yang dipakai untuk memproduksi Prostaglandin E2. Penggunaan
obat ini dalam jangka waktu tertentu akan menyebabkan penurunan aliran darah ke ginjal dan
laju filtrasi glomerulus sehingga dapat berpotensi menimbulkan keadaan gagal ginjal.

E. Memperburuk penyakit ginjal yang telah ada sebelumnya.


Misalnya pielonefritis yang diperberat akibat pemakaian obat-obat tertentu yang
meningkatkan ekskresi asam urat atau obat-obat yang menyebabkan hipokalemia.

Manifestasi klinik
Gejala nefropati toksik tergantung dari jenis-jenis bahan kimia atau obat yang terpapar pada
ginjal. kelainan ginjal yang ditimbulkan mulai dari proteinuria, hematuria, sindrom nefritik akut,
sindrom nefrotik, nefritis interstitial akut, nefritis tubulo-interstitial, sampai gagal ginjal baik
akut maupun kronik.

17 | P a g e
Diagnosis
Diagnosis nefropati toksik sering terlambat diketahui, kalaupun diagnosis dapat ditegakkan,
kelainan ginjal yang terjadi sudah berat, misalnya terjadi gagal ginjal baik akut maupun kronik.
Atas dasar inilah maka pada gagal ginjal nefropati toksik harus selalu dipertimbangkan sebagai
penyebab dalam diagnosis banding. Hal-hal yang dapat membantu diagnosis nefropati toksik
adalah :

1. Anamnesis: riwayat pemakaian obat tertentu atau kontak dengan


bahan kimia baik dalam waktu singkat maupun waktu lama.

2. Gejala klinik: tergantung dari kelainan ginjal yang timbul


seperti yang telah disebutkan di atas. Walaupun begitu gejala
sukar jadi pegangan oleh karena banyak penyakit ginjal dengan
kausa yang berbeda memberikan gejala yang sama dengan
nefropati toksik.

3. Pemeriksaan laboratorium :berguna untuk mengetahui kadar bahan


toksik dalam darah dan urin, ada tidaknya penurunan
Prostaglandin E2 dalam urin,untuk mengetahui Kadar beta-2
mikroglobulin di urin, serta kadar enzim di urin misalnya
alkali fosfatase dan LDH.

PENATALAKSANAAN

1. Keracunan obat
Mengingat sering terlambatnya diagnosis nefropati toksik akibat obat-obatan ini, maka
penanganan yang dilakukan sama dengan penanganan penyakit ginjal pada umumnya seperti
sindrom nefrotik atau GGA. Bila pada pengobatan penyakit tertentu dengan antibiotik terjadi
penigkatan kadar ureum atau kretinin dalam darah, maka pemberian obat sebaiknya dihentikan
atau bila sangat perlu maka dosis harus diturunkan sesuai dengan penurunan fungsi ginjal.

18 | P a g e
2. Keracunan zat kontras
Dengan berkembangnya prosedur diagnostik radiologik yang memakai zat kontras pada 20
tahun terakhir ini, maka kecendrungan menigkatnya kejadian GGA dihubungkan juga dengan
menigkatnya pemakaian zat kontras tersebut. Untuk menghindari terjadinya nefropati toksik
akibat pemakaian zat kontras ini, maka perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut :

a. Menggunakan zat kontras dengan dosis yang tepat dan tidak


melebihi dosis maksimal.
b. Menghindari terjadinya dehidrasi.
c. Menghindarkan pemeriksaan radiologik yang memakai zat kontras
secara berturut-turut.
d. Memperhatikan faktor-faktor predisposisi seperti azotemia,
anemia,proteinuria,hiperurikemia,hipertensi dan gangguan
fungsi hati.

Dari seluruh faktor pencetus atau faktor predisposisi di atas maka hal yang terpenting yang
harus diperhatikan sebelum dilakukan pemeriksaan radiologik ialah adanya azotemia yang
ditandai oleh kadar kretinin serum yang meninggi.

2.9 Beberapa Keracunan Penting (Obat Yang Menginduksi Hepatotoksik)


Hati merupakan organ terbesar dalam tubuh yang memiliki banyak fungsi vital dan beragam,
baik untuk meregulasi lingkungan internal maupun respon terhadap perubahan dari luar tubuh.
Hepar memiliki peran yang sangat penting, tidak hanya dalam proses sintesis, metabolisme dan
penyimpanan tetapi juga dalam detoksifikasi senyawa-senyawa endogen dan eksogen. Hati
memiliki peran sentral dalam mengubah dan membersihkan zat-zat kimia yang berbahaya dalam
tubuh, sehingga seringkali sel-sel hati rentan terhadap toksisitas darizat-zat tersebut. Istilah
hepatotoksisitas didefinisikan sebagai adanya kerusakan atau jejas pada sel-sel hati akibat zat-zat
maupun agen-agen kimiawi. Beberapa obat-obatan maupun produk-produk metabolitnya dapat
mengakibatkan kerusakan dari sel hati dalam berbagai macam tipe serta melalui beberapa jenis
mekanisme

19 | P a g e
Metabolisme Obat
Hati memetabolisme hampir setiap obat atau racun yang masuk ke dalam tubuh. Sebagian besar
obat bersifat lipofilik sehingga mampu menembus membran sel intestinal. Kemudian obat diubah
menjadi hidrofilik melalui proses biokimiawi dalam hepatosit, sehingga lebih larut air dan
diekskresi dalam urin atau empedu. Biotransformasi hepatic ini melibatkan jalur oksidatif
terutama melalui system enzim sitokrom P-450. Metabolisme obat terjadi dalam 2 fase. Pada
fase pertama, terjadi reaksi oksidasi atau hidroksilasi. Semua obat tidak mungkin menjalani
langkah ini, dan beberapa dapat langsung menjalani fase kedua. (Mehta, Nilesh, 2010)
Sitokrom P-450 mengkatalisis reaksi pada fase pertama (terletak dalam retikulum endoplasma
halus hati). Sebagian besar produk bersifat sementara dan sangat reaktif. Reaksi ini dapat
mengakibatkan pembentukan metabolit yang jauh lebih beracun daripada substrat induk dan
dapat mengakibatkan luka pada hati. Sebagai contoh, metabolit acetaminophen, N-asetil-p-
benzoquinon-imina (NAPQI), bersifat toksik apalagi jika dikonsumsi dengan dosis tinggi.
NAPQI bertanggung jawab atas luka pada hati dalam kasus keracunan. (Mehta, Nilesh, 2010)
Setidaknya 50 enzim telah diidentifikasi, dan berdasarkan struktur, mereka dikategorikan ke
dalam 10 kelompok, dengan kelompok 1, 2, dan 3 menjadi yang paling penting dalam
metabolisme obat. Sitokrom P-450 dapat memetabolisme banyak obat. Obat dapat mengalami
biotransformasi kompetitif dan menghambat satu sama lain, sehingga terjadi interaksi obat.
Beberapa obat dapat menginduksi dan menghambat Sitokrom P-450 enzim. Fase kedua dapat
terjadi baik di dalam ataupun di luar hati. Terjadi reaksi konjugasi dengan bagian (yaitu, asetat,
asam amino, sulfat, glutathione, asam glukuronat) sehingga akan meningkatkan kelarutan obat.
Selanjutnya, obat dengan berat molekul tinggi akan dikeluarkan dalam empedu, sementara ginjal
mengeluarkan obat dengan molekul yang lebih kecil. Obat yang menginduksi dan menghambat
sitokrom P-450 enzim adalah sebagai berikut:

 Inducers
o Phenobarbital
o Phenytoin
o Carbamazepine

20 | P a g e
o Primidone
o Ethanol
o Glucocorticoids
o Rifampin
o Griseofulvin
o Quinine
o Omeprazole - Induces P-450 1A2
 Inhibitors
o Amiodarone
o Cimetidine
o Erythromycin
o Grape fruit
o Isoniazid
o Ketoconazole (Mehta, Nilesh, 2010)

Sebagian besar obat memasuki saluran cerna, dan hati sebagai organ diantara permukaan
absorptif dari saluran cerna dan organ target obat dimana hati berperan penting dalam
metabolisme obat. Sehingga hati rawan mengalami cedera akibat bahan kimia terapeutik.
Hepatotoksisitas imbas obat merupakan komplikasi potensial yang hampir selalu ada pada setiap
obat. Walaupun kejadian jejas hati jarang terjadi, tapi efek yang ditimbulkan bisa fatal. Reaksi
tersebut sebagian besar idiosinkratik pada dosis terapeutik yang dianjurkan, dari 1 tiap 1000
pasien sampai 1 tiap 100.000 pasien dengan pola yang konsisten untuk setiap obat dan untuk
setiap golongan obat. Sebagian lagi tergantung dosis obat. Hepatoksisitas imbas obat merupakan
alasan paling sering penarikan obat dari pasaran di Amerika Serikat dan di dalamnya termasuk
lebih dari 50 persen kasus gagal hati akut. (Bayupurnama, Putut, 2006).
Sitokrom P-450
Sitokrom P450 (bahasa Inggris: Cytochrome P450, CYP) merupakan keluarga besar enzim
berjenis hemeprotein yang berfungsi sebagai katalis oksidator pada lintasan metabolisme steroid,
asam lemak, xenobiotik, termasuk obat, racun dan karsinogen. Berbagai reaksi kimiawi organik
dipercepat oleh CYP, seperti reaksi monooksigenasi, peroksidasi, reduksi, dealkilasi, epoksidasi
dan dehalogenasi. Reaksi tersebut secara spesifik ditujukan guna mengkonversi senyawa substrat

21 | P a g e
menjadi metabolit polar untuk diekskresi, atau diproses oleh enzim lain pada metabolisme fasa II
menjadi senyawa konjugasinya.
Secara keseluruhan, ada lebih dari 70 keluarga CYP, dimana sekitar 17 ditemukan pada manusia.
Keluarga diberi nomor, seperti CYP1, CYP2, CYP3, dst. Subfamili diidentifikasi memiliki 55
persen sekuens homologi, mereka diidentifikasi menggunakan huruf dan sering ada beberapa
subfamili dalam satu keluarga. Jadi, dapat dilihat sebagai CYP1A, CYP2A, CYP2B, CYP2C,
dst. Akhirnya, individual “isoform” yang berasal dari gen tunggal, diberi angka, seperti
CYP1A1, CYP1A2, dst.

Mekanisme Hepatotoksisitas
Mekanisme jejas hati imbas obat yang mempengaruhi protein-protein transport pada membran
kanalikuli dapat terjadi melalui mekanisme apoptosis hepatosit imbas empedu. Terjadi
penumpukan asam-asam empedu di dalam hati karena gangguan transport pada kanalikuli yang
meghasilkan translokasi fassitoplasmik ke membrane plasma, dimana reseptor ini mengalami
pengelompokan sendiri dan memicu kematian sel melalui apoptosis. Di samping itu banyak
reaksi hepatoseluler melibatkan system sitokrom P-450 yang mengandung heme dan
menghasilkan reaksi-reaksi energy tinggi yang dapat membuat ikatan kovalen obat dengan
enzim, sehingga menghasilkan ikatan baru yang tak punya peran. Kompleks obat-enzim ini
bermigrasi ke permukaan sel di dalam vesikel-vesikel untuk berperan sebagai imunogen-
imunogen sasaran serangan sitolitim ke sel T, merangsang respon imun multifaset yang
melibatkan sel-sel T sitotoksik dan bebagai sitokin. Obat-obat tertentu menghambat fungsi
mitokondria dengan efek ganda pada beta-oksidasi dan enzim-enzim rantai respirasi. Metabolit-
metabolit toksis yang dikeluarkan dalam empedu dapat merusak epitel saluran empedu. Cedera
pada hepatosit dapat terjadi akibat toksisitas langsung, terjadi melalui konversi xenobiotik
menjadi toksin aktif oleh hati, atau ditimbulkan oleh mekanisme imunologik (biasanya oleh obat
atau metabolitnya berlaku sebagai hapten untuk mengubah protein sel menjadi immunogen).
(Bayupurnama, Putut, 2006)
Reaksi obat diklasifikasikan sebagai reaksi yang dapat diduga (intrinsic) dan yang tidak dapat
diduga (idiosinkratik). Reaksi Intrinsik terjadi pada semua orang yang mengalami akumulasi
obat pada jumlah tertentu. Reaksi idiosinkratik tergantung pada idiosinkrasi pejamu (terutama

22 | P a g e
pasien yang menghasilkan respon imun terhadap antigen, dan kecepatan pejamu memetabolisme
penyebab). (Bayupurnama, Putut, 2006).

Mekanisme Kerusakan Sel-sel hepar akibat Induksi Obat-obatan

Gambar 1. Ilustrasi mekanisme dari kerusakan sel-sel hepar akibat obat-obatan, yang
melibatkan metabolisme obat, kerusakan hepatosit, aktivasi sel-sel imun innate, dan produksi
mediator-mediator.
Tipe Hepatotoksisitas Akibat Obat-obatan
Ada berbagai macam obat yang dapat menyebabkan injury pada hepar, baik secara klinis
maupun patologis. Tie-tipe hepatotoksisitas tersebut diilustrasikan pada gambar 2 berikut
ini.

23 | P a g e
Gambar 2. Tipe-tipe hepatotoksisitas akibat obat-obatan.
1. Interferensi uptake bilirubin, ekskresi dan konjugasi:
Tipe ini bisa dilihat sebagai suatu varian dati toksisitas kolestasis. Sebagai contoh,
Rifampicin dapat mengganggu transportasi bilirubin sehingga menimbulkan
hiperbilirubinemia.

2. Sitotoksik injury
Tipe ini mengacu pada kerusakan dari parenkim dan merupakan tipe hepatotoksisitas
yang relatif lebih serius daripada tipe sebelumnya.

3. Cholestatic injury
Jenis ini meliputi terperangkapnya aliran empedu dan menimbulkan jaundice yang dapat
terlihat mirip dengan obstruksi bilier. Tipe ini relatif kurang serius dibanding sitotoksik
injury, dengan tingkat kematian yang lebih rendah.

4. Campuran sitotoksik dan cholesatic injury:


Kerusakan hati yang bersifat sitotoksik terkdang dapat disertai dengan kolestasis,
misalnya setelah penggunaan terapi-p asam aminosalisilat.

5. Lemak hati
Lemak hati (steatosis) dapat dianggap sebagai jenis cedera sitotoksik, tetapi juga bisa
menjadi bentuk kerusakan hati kronis.

6. Sirosis:
Sirosis makronodular dapat langsung terjadi setelah kerusakan hati akut, dan kolestasis
jaundice dapat mengakibatkan sirosis bilier primer.

24 | P a g e
7. Phospholipidosis:
Hal ini mungkin dapat terjadi akibat dari penggunaan obat-obatan seperti Coralgil, (4, 4'-
diethylaminoethoxyhexestrol dihidroklorida), dan ditandai oleh hepatosit yang penuh
dengan lipid.

8. Tumor hepar
Lesi neoplastik dapat muncul akibat penggunaan obat-obatan. Adenoma dari sel hati telah
terbukti memiliki keterkaitan dengan penggunaan kontrasepsi steroid.

9. Lesi vascular
Oklusi vena hepatika, seperti efek thrombogenic dari kontrasepsi steroid, dapat
mengakibatkan kerusakan hati.

10. Hepatitis Kronis Aktif


Ini merupakan penyakit hati necroinflammatory yang bersifat progresif yang mungkin
memiliki banyak penyebab termasuk obat.

11. Nekrosis hepatik subakut


Sindrom ini terdiri penyakit hati yang progresif, disertai dengan sirosis dan jaundice

25 | P a g e
Obat-obat Penyebab Hepatotoksisitas
1. Analgesik
Asetaminofen (parasetamol) merupakan salah satu analgesik yang paling
umumdigunakan. Obat ini secara efektif menurunkan demam dan mengurangi
nyeriringan sampai sedang, dan dianggap, secara umum, sebagai obat yang sangataman.
Kerusakan sel yang disebabkan oleh acetaminophen tidak hanyaberhubungan dengan
overdosis atau penggunaan dosis tinggi, melainkan jugadapat diakibatkan oleh
penggunaan kronis pada dosis rendah (<4g / hari),terutama ditambah faktor predisposisi
lain, seperti konsumsi alkohol kronis. Injurysel hati setelah meminum acetaminophen
bukan karena disebabkan oleh obat itusendiri, tetapi karena metabolit beracun dari
acetaminophen yang dihasilkan olehkelompok enzim dalam hati,yaitu sitokrom P450.
Metabolit ini biasanya tidakberbahaya melalui karena berinteraksi dengan antioksidan
endogen, glutathione.Namun, bila terjadi overproduksi dari metabolit asetaminofen,
cadanganglutathione dalam hati menjadi habis, dan metabolit mulai menumpuk
danmenyebabkan kerusakan jaringan. Injury sel hepar dapat dibatasi denganpemberian
N-acetylcysteine, yang mengembalikan cadangan glutathione liver.Baru-baru ini, Aspirin
telah diketahui berpotensi hepatotoksik. Hampir semuakasus yang dilaporkan terjadi pada
anak-anak dan dewasa muda dengankelainan pada jaringan ikat seperti Still's disease,
rheumatoid arthritis dansystemic lupus erythematosus,, dan perempuan telah lebih sering
terpengaruhdaripada laki-laki. Aspirin terlibat dalam sebagian besar kasus tersebut.
Sekitar 50% dari pasien dengan juvenile rheumatoid arthritis
terbuktimenderita/mengalami berbagai derajat injury sel liver yang ditandai
olehpeningkatan dari plasma aminotransferases selama menjalani terapi aspirindosis
tinggi konvensional (conventional high-dosage aspirin therapy). Obat laindalam kategori
ini termasuk gabapentin yang menunjukkan hepatotoksisitassebagai salah satu efek
samping.

26 | P a g e
2. Obat-obatan anti tuberkulosis
Hepatotoksisitas adalah salah satu efek samping obat paling penting yang terkaitdengan
obat anti tuberkulosis yang mungkin membatasi penggunaan obat tersebut. Beberapa
studi sebelumnya menunjukkan peningkatan sementara serum enzim hepatoseluler
(misalnya alanine aminotransferase dan aspartat amino transferase) pada sekitar 10% dari
pasien yang menerima kombinasi kemoterapi standar, termasuk isoniazid dan rifampisin,
dari 1-2% penderita keluar/menghentikan terapi karena hepatotoksisitas berat yang
akhirnya menyebabkan hepatitis fulminan. Meskipun terjadinya hepatotoksisitas yang
diinduksi obat sulit diprediksi, telah diamati bahwa pasien tertentu memiliki risikolebih
tinggi untuk mengalami hepatotoksisitas selama menjalani kemoterapi anti-tuberkulosis.
Obat anti-tuberkulosis lain yang dapat menyebabkanhepatotoksisitas yaitu pirazinamid,
rifabutin.
3. Anti-hyperlipidemic
Obat anti-hiperlipidemia dengan potensi tertinggi untuk menyebabkan injury sel hepar
adalah sediaan lepas lambat dari niacin. Statin, yang merupakan HMGCoA reductase
inhibitors, sangat jarang menimbulkan hepatotoksisitas yang signifikan secara klinis,
meskipun sering didapatkan elevasi asimtomatik dari amino transferases. Dugaan bahwa
ezetimibe mungkin memiliki risiko rendahhepatotoksisitas baru-baru ini telah
dipertanyakan dan mungkin bukan merupakan "alternatif statin yang aman" pada pasien
yang memiliki penyakit liver sebelumnya. Pola injury liver yang disebabkan oleh obat
anti-hyperlipidemics biasanya hepato seluler atau bercampur dengan gambaran
cholestatic.
3.1 HMG CoA reduktase inhibitor (Statin). Penelitian awal statin yang dilakukan pada
hewan coba menunjukkan bahwa statin pada dosis yang sangat tinggi dapat menyebabkan
hepatotoksisitas, tetapi pada dosis terapi statin tidak menyebabkan liver injury yang
signifikan. Lovastatin dosis tinggi menyebabkan nekrosis hepatoseluler yang signifikan
pada kelinci.Pola injury juga terlihat pada model marmot (guinea pig) yang dipapar
simvastatin dosis tinggi. Namun, nekrosis hepatoseluler akibat statin ini sangat jarang
terjadi pada manusia.

27 | P a g e
3.1.1 Atorvastatin:Atorvastatin-related hepatotoxicity dikaitkan dengan pola campuran
liver injuryyang biasanya terjadi beberapa bulan setelah dimulai pengobatan.
3.1.2 Lovastatin:Telah dilaporkan terjadi liver injury campuran antara pola hepatoseluler
dankolestasis pada penggunaan lovastatin.
3.1.3 Simvastatin: Simvastatin hepatotoksisitas dihipotesiskan terjadi karena drug-drug
interactions
.3.1.4 Pravastatin:Pravastatin telah dilaporkan menyebabkan acute intrahepatic
cholestasis. Dalamhal ini, toksisitas hati terjadi dalam waktu 2 bulan setelah dimulainya
pengobatandan membaik dalam waktu 2 bulan setelah penghentian terapi.
3.2 Niacin:Penggunaan sediaan lepas-lambat niacin diluar pengawasan dokter
seringmengakibatkan dose-related toxicity. Terjadinya hepatotoksisitas yang
umumnyamuncul antara 1 minggu sampai 48 bulan setelah dimulainya pengobatan
danbiasanya reda dengan penghentian terapi.
3.3 ezetimibe:Penelitian terbaru menunjukan bahwa ezetimibe jarang menyebabkan
hepatotoksisitas dalam severe cholestatic hepatitis dan acute autoimmunehepatitis.
Terjadinya hepatotoksisitas yang umumnya muncul antara 1 minggu sampai 48 bulan
setelah dimulainya pengobatan dan biasanya reda denganpenghentian terapi.

4. Obat-obatan anti hipertensi


Metil dopa digunakan dalam pengobatan hipertensi. Telah dilaporkan terjadi kerusakan
liver ringan atau berat pada pasien yang mendapat terapi methyldopa. Pada kasus yang
ringan bias asimtomatik, peningkatan sementara dari transaminases, dan menurut
berbagai laporan dapat terjadi pada 2% sampai10% pasien yang mendapat methyldopa.
Kerusakan hati dalam bentuk acutehepatitis, chronic active hepatitis atau cholestasis lebih
sering terjadi padawanita dan tidak ada yang temporal hubungan dekat sama antara waktu
onset klinis cedera hati terbuka, yang pada 50% kasus terjadi setelah empat minggu.
Dalam studi in vitro telah ditunjukkan bahwa obat ini dimetabolisme oleh mikrosom liver
baik pada manusia atau pada tikus, oleh system cytochrome P-450, dengan konsekuensi
terbentuk ikatan kovalen dengan makromolekul seluler. Ikatan kovalen ini dihambat oleh
berbagai agent, termasuk gluthatione, ascorbic acid, dan superoxide dismutase.

28 | P a g e
5. Agen-agen anaesthesi
Halotan, anestesi yang paling banyak digunakan saat ini diterima sebagai penyebab
kerusakan hati. Multiple eksposur merupakan faktor utama yang menjadi predisposisi
pasien terhadap liver injury, terutama jika paparan kembali terjadi dalam waktu 3 bulan.
Pasien obesitas dan perempuan tampak lebih rentan tetapi anak-anak dan dewasa muda
kurang beresiko. Serangkaian penyelidikan yang dilakukan di Liver Unit
mengidentifikasi sebuah antibodi diarahkan terhadap hepatocyte surface antigen diubah
oleh metabolit halotan. Perubahan pada determinan antigenic (antigenic determinant)
tersebut mungkin disebabkan oleh hasil dari metabolisme oksidatif halotan yang
menghasilkan protein trifluroacetylated. (Gambar 5)

Gambar 3. Mekanisme yang mendasari predictable dan immune mediated hepatotoxicity


dari halotan
Sangat mungkin bahwa semua individu yang terpapar obat tersebut menghasilkan
perubahan pada hepatocyte membrane determinants tetapi hanya sebagian kecil yang
mencapai/mengalami reaksi imunologis melawan perubahan tersebut. Fakta bahwa
banyak pasien dengan severe halothane hepatitis memiliki circulating antibodies yang
ditujukan terhadap organ lain memunculkan dugaan yang kuat bahwa ada factor yang
mendasari, yaitu adanya defek genetic yang meregulasi system imun. Sebaliknya, pada
beberapa pasien dengan hepatitis akibat halotan tidak memiliki bukti keterlibatan system
immune, dan kerusakan hati pada kasus-kasus ini mungkin diakibatkan oleh overproduksi
turunan hepatotoksik dari reductive halothane metabolism. Stimulasi khusus yang sama
dengan proses ini dengan menggunakan hewan coba didapatkan dose related hepatotoxix.

29 | P a g e
BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
Toksikologi adalah ilmu yang mempelajari tentang racun. Pengertian lain yaitu
semua subtansi yang digunakan dibuat, atau hasil dari suatu formulasi dan produk
sampingan yang masuk ke lingkungan dan punya kemampuan untuk menimbulkan
pengaruh negative bagi manusia.

Toksikologi merupakan studi mengenai efek-efek yang tidak diinginkan dari zat-zat
kimia terhadap organisme hidup. Toksikologi juga membahas tentang penilaian secara
kuantitatif tentang organ-organ tubuh yang sering terpajang serta efek yang di
timbulkannya.

Sudah jelas bahwa obat dapat menyebabkan berbagai lesi pada hepar. Dalam beberapa
kasus mungkin tidak dapat dibedakan dari penyebab lainnya, baik secara patologis atau
secara biokimia. Drug-induced hepatic damage bervariasi mulai dari yang tidak dapat
diprediksi (unpredictable) dan non-dose related sampai sampai dapat diprediksi setelah
overdosis. Heptatotoksisitas obat mungkin melibatkan metabolism menjadi
toksik/beracun, reaksi intermediet dan ikatan kovalent dengan komponen sel,
mengganggu membrane transport atau biokimia selular seperti sintesa protein, atau
mekanisme immunologis. Kejadian kerusakan sel-sel hepar mungkin dapat diubah
dengan adanya perbedaan dalam respon imun dan genetik, pola diet dan faktor-faktor
lainnya. Berbagai terapi klinis harus melibatkan drug induced hepatotoxicity sebagai
parameter penting. Penelitian yang intensif terhadap obat yang sudah beredar di pasar dan
obat yang masih dalam tahap clinical trial harus dilakukan untuk menjawab pertanyaan
managemen penalaksanaan dari drug inducing hepatotxicity. Masa depan penelitian harus
mempertimbangkan aspek multi-faktorial diinduksi obat luka hati. Penelitian masa depan
diarahkan pada aspek multi-faktorial dari drug induced hepatic injury.

30 | P a g e
3.2 SARAN
Semoga makalah ini bisa memberi pengetahuan yang mendalam kepada para
mahasiswa khususnya pengetahuan mengenai Toksikologi
Semoga makalah ini bisa dimanfaatkan dan dipergunakan dengan sebaik-baiknya.

31 | P a g e
DAFTAR PUSTAKA
Corwin, Elizabeth J, 2000, Buku Saku Patofisiologi, Jakarta : EGC
Direktorat Keperawatan dan Keteknisan Medik, 2005, Standar Pelayanan Keperawatan
di ICU, Jakarta: Dirjen Pelayanan Medik Depkes RI
Ilmu Kesehatan Anak, Jilid 2, hal 847. Cetakan ke 9. 2000 bagian Ilmu Kesehatan Anak
FKUI
Linelle N.B.Pierce, 1995, Mechanical Ventilation and Intensive Respiratory Care,
Philadelpia : W.B.Saunders
Mansjoer, arif. 2001. Kapita Selekta Kedokteran Edisi III vol. 1. Jakarta : Media
Aesculapius.
Soetomo, 2007, Materi Pelatihan Intensif Care Unit (ICU), Surabaya : Bidang Diklit
RSUP Dr. Soetomo
Suzanne C. Smeltzer & Brenda G. Bare, 2001, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner & Suddarth, Edisi 8, Jakarta : EGC
http://farmakologi.files.wordpress.com/2011/02/toksikologi.pdf Diakses pada tanggal 14
maret 2017
http://www.scribd.com/doc/49637307/Definisi-Keracunan Diakses pada tanggal 14
maret
2017
http://id.scribd.com/doc/88461728/Klasifikasi-keracunan Diakses pada tanggal 10 juni
2012
Buku Nefrologi Anak, Yang diterbitkan oleh Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas
Kedokteran UNHAS, Makassar,Indonesia.
o Davis M, Williams R. 1977. Hepatic Disorders. In: Davies DM, editor. Textbook of Adverse
Drug Reactions, Oxford: Oxford University Press.
2. Zimmerman HJ. 1978. Hepatotoxicity. New York: Appleton Century Crofts..
3. Ostapowicz G, Fontana RJ, Schiødt FV. 2002. Results of a prospective study of acute
liver failure at 17 tertiary care centers in the United States. Ann Intern Med.
137(12):947–954
4. Lee WM. 2003. Acute liver failure in the United States. Semin Liver Dis. 23:217–226

32 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai