Anda di halaman 1dari 25

TUJUAN PEMBELAJARAN :

1. Definisi, Klasifikasi, & Etiologi penyakit autoimun

Penyakit autoimun adalah penyakit yang terjadi akibat sistem kekebalan tubuh
atau sistem imun menyerang sel-sel sehat dalam tubuh.

Penyakit ini berkembang ketika sistem kekebalan tubuh salah dalam menilai sel
sehat yang ada dalam tubuh dan malah menganggapnya sebagai zat asing, jadi
tidak bisa membedakan antara sel sehat (sel diri sendiri) dengan benda asing (non
self). Akibatnya, tubuh mulai memproduksi antibodi yang akan menyerang dan
merusak sel sehat didalam tubuh.
NEXT
Penyakit autoimun dapat diklasifikasikan menurut beberapa kriteria. Salah
satunya adalah lokasi serangan autoimun. Berdasarkan kriteria ini, penyakit
autoimun dibedakan menjadi sistemik atau spesifik organ. Skema klasifikasi ini
berguna untuk mengarahkan pasien dan dokter perawatan primer ke spesialis
yang sesuai.

SISTEMIK: MEMPENGARUHI BANYAK ORGAN


Penyakit autoimun sistemik adalah penyakit di mana autoantigen ditemukan di
hampir semua jenis sel dalam tubuh, misalnya DNA - protein kompleks.
Akibatnya, kerusakan patologis melibatkan banyak organ dan jaringan yang
berbeda. Penyakit autoimun sistemik yang khas adalah artritis reumatoid, lupus
eritematosus sistemik, skleroderma, dan dermatomiositis. Penyakit ini ditangani
oleh ahli reumatologi, dan sebenarnya istilah "penyakit autoimun sistemik" dan
"penyakit autoimun rematik" sering digunakan secara bergantian.

ORGAN-SPECIFIC: MEMPENGARUHI SATU ORGAN UTAMA


Penyakit autoimun spesifik organ adalah penyakit di mana organ atau jaringan
tertentu ditargetkan secara istimewa oleh sistem kekebalan pasien. Misalnya
kelenjar tiroid pada penderita penyakit Graves, sel beta dari pankreas endokrin
pada penderita diabetes tipe 1, atau kulit pada penderita vitiligo.
Klasifikasi
 Polimialgia reumatik adalah penyakit yang menimbulkan rasa nyeri dan
kaku otot di bagian tubuh tertentu, seperti bahu, leher, dan panggul. Jika
tidak diobati, penyakit ini bisa menyebabkan penderitanya kesulitan
beraktivitas dan bekerja.
 Rheumatoid arthritis adalah suatu penyakit autoimun dimana persendian
mengalami peradangan, sehingga terjadi pembengkakan, nyeri dan
seringkali myebabkan kerusakan pada bagian dalam sendi. Rheumatoid
arthritis akan paling sering mengenai bagian kaki dan tangan
 Juvenile chronic arthritis adalah suatu penyakit yg Biasanya menyebabkan
nyeri sendi dan pembengkakan di lutut, pergelangan kaki, siku, tangan dan
pergelangan tangan. Jenis arthritis ini yg paling umum pada anak” dan
remaja
 Henoch-Schonlein purpura adalah suatu penyakit yg menimbulkan ruam
berwarna merah atau ungu pada kulit karena peradangan pembuluh darah
pada kulit, sendi, usus dan ginjal. Ruam biasanya timbul pada bagian tubuh
seperti pantat(bokong), tungkai, sekitar siku
 Systemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah penyakit autoimun multisistem
kronik dengan spektrum manifestasi yang luas dan mempengaruhi setiap
organ atau sistem di dalam tubuh. . Pada penyakit ini, organ dan sel
mengalami kerusakan yang pada awalnya dimediasi oleh antibodi yang
berikatan dengan jaringan dan kompleks imun

Etiologi
 Polymyalgia rheumatic
Usia – penyakit ini sangat jarang diderita oleh seseorang berusia di bawah
50 tahun, meskipun tetap memiliki kemungkinan untuk terjadi dengan
cepat seiring pertambahan usia. Penyakit ini biasanya didiagnosis pada
mereka yang berusia di atas 65 tahun (usia rata-rata adalah 70 tahun)
Lingkungan – Karena PMR adalah infeksi yang mempengaruhi sendi dan
otot, beberapa orang percaya bahwa virus dapat pula memicu gejala-gejala
penyakit ini dan pada akhirnya menyebabkan gangguan tersebut. Namun,
belum jelas virus apa yang menjadi pemicu.
 Rheumatoid arthritis

 Juvenile chronic arthritis


Penyebab nya belum jelas. Respon imun abnormal yang dipicu oleh
interaksi antara faktor lingkungan pada individu yg rentan secara genenitik
bersifat spekulatif. Beberapa factor sperti paparan antibiotik dan persalinan
cesar mrupakan risiko potensial

 Henoch-Schonlein purpura
 Systemic Lupus Erythematosus (SLE)
Faktor gentik :
Pasien lupus biasanya memiliki anggota keluarga yang juga menderita
lupus.
Faktor lingkungan :
Faktor lingkungan yang berperan terhadap terjadinya SLE yaitu agen infeksi
seperti virus Epstein-Bar yang diduga dapat menginduksi renspon spesifik
melalui kemiripan molekular (molecular mimicri) dan gangguan terhadap
regulasi imun; faktor nutrisi atau diet yang mempengaruhi produksi
mediator inflamasi; toksin/obat-obatan yang dapat memodifikasi respon
seluler dan imunogenisitas dari self antigen; dan agen fisik atau kimia
seperti sinar ultraviolet (UV) yang dapat menyebabkan inflamasi, memicu
apoptosis sel dan menyebabkan kerusakan jaringan
Jenis kelamin:
Lupus lebih banyak diderita oleh wanita daripada pria, sehingga para
peneliti percaya bahwa hormon estrogen wanita memiliki peran dalam
terjadinya lupus.

2. Patofisiologi dari penyakit autoimun

Patogenesis Penyakit Autoimun


Penyakit autoimun merupakan respon imun yang mengakibatkan kerusakan pada jaringan tubuh
sendiri serta mengganggu fungsi fisiologis tubuh. Mekanisme utama terjadinya penyakit
autoimun ialah karena adanya kesalahan dalam pengenalan self antigen oleh limfosit. Pada
normalnya dalam sistem imun, terdapat yang namanya self toleransi. Self toleransi adalah
keadaan tubuh yang mampu menerima epitop sendiri sebagai antigen sendiri (epitop itu sendiri
berarti area tertentu pada molekul antigenik, yang mengikat antibodi atau pencerap sel B maupun
sel T). Kondisi ini membuat sistem imun tidak akan menghancurkan sel tubuh sendiri yaitu
dengan kata lain tubuh toleran terhadap autoantigen yang dipajankan ke sel limfoid sistem imun
penjamu. Toleransi terhadap antigen sendiri ini berkembang selama hidup fetal. Yang mana self
toleransi disebabkan oleh karena in-aktivasinya limfosit self reaktif yang diinduksi antigen
sendiri. Mekanisme ini disebut clonal delection.
Clonal delection adalah penghapusan melalui apoptosis sel B dan sel T yang telah
mengekspresikan reseptor untuk sel tubuh sendiri sebelum berkembang menjadi limfosit
imunokompeten penuh. Mekanisme ini mencegah pengenalan dan penghancuran sel inang diri.
Dengan demikian, clonal delection dapat membantu melindungi individu dari terjadinya
autoimunitas. Walaupun demikian, ada kalanya mekanisme ini mengalami kelainan yang justru
dapat meloloskan sel B dan sel T yang seharusnya dihapus karena mengekspresikan reseptor
terhadap self antigen, malah berkembang menjadi limfosit matang dan menuju sirkulasi.

NEXT
Mekanisme penyakit autoimun yang menyebabkan kerusakan sel merupakan suatu siklus yang
dapat berulang. Dimulai dari pengenalan self antigen oleh antibodi dan sel limfosit akan
menyebabkan terjadinya aktivasi antibodi dan limfosit tersebut. Hasil dari aktivitas ini adalah
terjadinya reaksi inflamasi pada tempat tertentu. Stimulasi perbanyakan antibodi terhadap sel
antigen terus berlanjut dan siklus akan kembali dari awal, begitu seterusnya. Berdasarkan gambar
dapat dijelaskan prosesnya sebagai berikut:
1. Sel B yang bersirkulasi mengikat self antigen yang dilepaskan dari sel yang mengalami
injury.
2. Hal tersebut membuat sel B dapat teraktivasi oleh sel T yang memang spesifik untuk
peptida sendiri.
3. Teraktivasinya sel B ini selanjutnya membuat sel B berdiferensiasi menjadi sel plasma
yang mampu mengeluarkan sejumlah besar antibodi spesifik self antigen atau disebut
autoantibodi.
4. Di lokasi terjadinya cedera, terjadinya ikatan antara autoantibodi tadi dengan self antigen
memicu terjadinya inflamasi yang selanjutnya dapat menyebabkan lebih banyak cedera
sel.
5. Yang mana, semakin banyak sel B yang mengikat self antigen memperkuat terjadinya
siklus kerusakan jaringan ini.
NEXT
Patogenesis autoimun terdiri atas gangguan aktivitas seluler dan protein regulator. Gangguan
aktivitas selular dapat terjadi apabila tubuh gagal mempertahankan toleransi akan self-antigen
dan terjadi aktivasi autoreaktif sel imun terhadap self-antigen tersebut. Mekanisme kegagalan
toleransi tersebut diperankan oleh sel T perifer dalam berbagai proses.

Berdasarkan tabel dijelaskan apa saja yang dapat terjadi akibat kegagalan toleransi tadi sehingga
memicu terjadinya autoimunitas.
1. Di mana, sel T perifer tidak mampu mengenali self antigen sebagai antigen tubuh
sendiri dan menganggapnya sebagai antigen asing yang harus dihancurkan. Hal ini
tentunya tidak sesuai dengan mekanisme toleransi self antigen. Adapun hal-hal yang
dapat menyebabkan kondisi ini seperti dikeluarkannya self antigen (misal tadi akibat
adanya sel yang mengalami injury), adanya ekspresi yang menyimpang pada MHC kelas
II (yang mana MHC itu sendiri adalah suatu molekul protein yang terdapat pada hampir
semua permukaan sel-sel tubuh. MHC II berperan dalam mempresentasikan antigen-
antigen ke sel limfosit T, B, dan makrofag untuk dikenali. Dengan adanya ekspresi yang
menyimpang dapat membuat peran dari MHC II juga menyimpang), ataupun dengan
meningkatnya ekspresi dari autoantigen/MHC II, begitupun dengan adanya mimikri
molekul (didefinisikan kemungkinan teoritis bahwa terjadinya kemiripan urutan antara
peptida asing dengan peptida sendiri. Hal ini cukup mampu menghasilkan aktivasi silang
sel T atau B menjadi autoreaktif terhadap self antigen), serta karena terjadinya
penyebaran epitop.
2. Selanjutnya, menyebabkan terjadinya anergi atau tidak responsifnya sel T perifer
sehingga tidak bereaksi terhadap antigen menyebabkan terlepasnya mediator inflamasi
(seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya mengenai siklus terjadinya autoimunitas),
serta meningkatnya ekspresi atau fungsi dari molekul kostimulatori (yaitu molekul yang
memicu terlepasnya sinyal sekunder atau ko-stimulasi untuk mengaktifkan respon imun
ketika dihadapkan dengan antigen).
3. Menyebabkan sel T regulator untuk melepaskan mediator inflamasi.
4. Serta menyebabkan terjadinya penurunan sinyal apoptosis misalnya apoptosis virus.
Selain itu, gangguan aktivitas protein regulator dijelaskan dalam hubungan antara Gen non-
HLA yaitu limfosit T sitotoksik dengan antigen-4 (CTLA4), protein tirosin fosfat non reseptor
tipe 22 (PTPN22), lokasi rentan autoimun (PDCD1, FCRL3, SUMO4, CD25, PADI4 dan
SLC22A4), TNF-a dan FOXP3. Interaksi gen non-HLA dengan protein tersebut akan mengubah
aktivitas regulator dan menyebabkan kekacauan atau defek pada protein terkait. Keadaan
tersebut menjadi target utama dari respon autoimun.
Adapun berikutnya mengenai berbagai mekanisme terjadinya penyakit autoimun adalah sebagai
berikut:
1. Melalui toleransi sel T helper: yang mana seperti yang telah dijelaskan sebelumnya
bahwa toleransi sel T diantaranya sel T helper CD4+ (yang nantinya akan mengaktivasi
sel B untuk membentuk suatu antibodi) sangat penting untuk pencegahan autoimunitas.
Oleh karena itu, toleransi dapat rusak jika sel T helper dilewati atau diganti.
2. Munculnya antigen yang diasingkan: Induksi toleransi membutuhkan interaksi antara
antigen dan sistem imun. Jadi setiap self antigen yang benar-benar diasingkan selama
perkembangan, kemungkinan akan dianggap asing sehingga respon imun akan teraktivasi
terhadapnya.
3. Ketidakseimbangan fungsi sel-T helper suppressor: hilangnya fungsi sel penekan
akan berkontribusi pada autoimunitas dan sebaliknya, bantuan sel-T yang berlebihan
dapat mendorong sel-sel B untuk memproduksi autoantibodi yang sangat tinggi.
4. Agen mikroba dalam autoimunitas: Berbagai mikroba, termasuk bakteri, mikoplasma
dan virus telah terlibat dalam memicu autoimunitas. Mikroba dapat memicu reaksi
autoimun dengan beberapa cara. Pertama, antigen virus dan autoantigen mungkin terkait
untuk membentuk unit imunogenik dan melewati toleransi sel T. Kedua, beberapa virus
(EBV) adalah mitogen sel B poliklonal nonspesifik dan dengan demikian dapat
menginduksi pembentukan autoantibodi. Ketiga, infeksi virus dapat menyebabkan
hilangnya fungsi sel-T suppressor.
5. Mimikri molekular: yang mana beberapa agen infeksi dapat bereaksi silang dengan
jaringan manusia dan determinan hapteniknya. Mikroorganisme yang menginfeksi dapat
memicu respons antibodi dengan menghadirkan determinan haptenik yang bereaksi
silang dalam hubungannya dengan pembawa mereka sendiri yang tidak dapat ditoleransi
oleh sel T helper. Antibodi yang terbentuk kemudian dapat merusak jaringan yang
berbagi determinan yang bereaksi silang.
6. Aktivasi limfosit poliklonal: Beberapa mikroorganisme dan produknya mampu
menyebabkan aktivasi sel B poliklonal (yaitu antigen nonspesifik). Misalnya, endotoksin
dapat menginduksi limfosit tikus untuk membentuk antibodi anti-DNA, antitimosit dan
sel darah merah secara in vitro sehingga dapat merusakan self antigen tersebut.

NEXT
Sistemik Lupus Eritematosus (SLE)

Kerusakan berbagai organ tubuh pada penyakit SLE terjadi akibat pembentukan dan deposisi
autoantibodi dan kompleks imun. Sel B yang hiperaktif berasal dari stimulasi sel T dan antigen
yang akan meningkatkan produksi antibodi terhadap antigen yang terpapar pada permukaan sel
apoptotik. Antigen menyebabkan stimulasi sel T dan sel B yang berkontribusi terhadap
clearance sel apoptotik yang tidak sempurna. Selama proses apoptosis, ada potongan-potongan
bahan seluler yang terbentuk pada permukaan sel yang mati. Normalnya, antigen tidak ada pada
permukaan sel akan tetapi pada SLE didapatkan antigen pada permukaan sel. Nukleosom dan
fosfolipid anionik adalah contoh antigen yang ditemukan pada pasien SLE, antigen tersebut
berpotensi memicu respons imun.
Peningkatan jumlah asam nukleat endogen yang berkaitan dengan apoptosis menstimulasi
produksi IFN dan autoimun dengan pemecahan self tolerance melalui aktivasi dan maturasi sel
dendritik konvensional (mieloid). Sel dendritik imatur menyebabkan toleransi sedangkan sel
dendritik matur yang teraktivasi menyebabkan otoreaktif.
Kompleks imun yang mengandung kromatin menstimulasi sel B melalui ikatan silang BCR/TLR.
Penyakit SLE berkembang ketika limfosit T teraktivasi oleh antigen yang dipresentasikan oleh
Antigen Presenting Cells (APC) melalui Major Histocompatibility Complex (MHC), kemudian
limfosit T yang teraktivasi tersebut akan melepaskan sitokin, inflamasi dan menstimulasi sel B.
Stimulasi sel B dan produksi autoantibodi imunoglobulin G (IgG) dapat menyebabkan kerusakan
jaringan. Sel T dan sel B yang spesifik terhadap autoantigen akan berinteraksi dan memproduksi
autoantibodi.

3. Faktor Resiko penyakit autoimun

1. Faktor Genetik
Penyakit autoimun cenderung terjadi dalam keluarga yang sama. Demikian pula, tingkat
kejadian penyakit autoimun tertentu pada kembar identik (biasanya antara 25% dan 50%)
sekitar 10 kali lebih tinggi daripada pada kembar fraternal (biasanya antara 2% dan 8%).
Pengamatan ini menunjukkan bahwa penyakit autoimun sangat dipengaruhi oleh gen
pasien. Gen autoimun ditemukan di banyak kromosom. Misalnya, pada lupus
eritematosus sistemik, lebih dari 80 gen telah diidentifikasi di masing-masing dari 22
kromosom XY.
Jadi, protein yang dikode oleh gen yang berkaitan dengan penyakit autoimun terlibat
dalam beberapa mekanisme inflamasi, seperti APC, interferon tipe I, reseptor Toll-like
reseptor dan pensinyalan NF-κB (Nuclear Factor Kappa B), fungsi sel B dan sel T,
apoptosis, cell clearance dan kompleks imun. Varian genetik dapat menyebabkan
modifikasi protein, dalam hal laju produksi dan fungsi, dengan kemungkinan perubahan
dalam proses terkait. Selain itu, penyakit autoimun yang berbeda dapat berkaitan dengan
modifikasi genetik yang sama, mengakibatkan jalur genetik bersama untuk hilangnya
toleransi dan induksi autoimunitas.

Melihat spektrum yang luas dari genetika dan autoimunitas, alel HLA-DRB1 berperan
pada pasien yang terkena penyakit autoimun, ditemukan bahwa terdapat
penurunan/kekurangan HLA-DRB1 pada semua penyakit autoimun yang dievaluasi
[misalnya, SLE, Psoriasis (PS), Psoriatic Arthritis (PsA), Rheumatoid Arthritis (RA),
Systemic Sclerosis (SSc), Multiple Sclerosis (MS), dan Myasthenia Gravis (MG)]. Hal
ini mengidentifikasi terdapat hubungan antara alel spesifik dan penyakit autoimun.

2. Faktor Jenis Kelamin


Disebutkan bahwa faktor jenis kelamin juga berperan aktif terhadap penyakit autoimun.
Wanita memiliki risiko lebih besar terkena penyakit autoimun daripada pria. Tidak
diketahui secara pasti, tetapi faktor hormonal atau fakta bahwa wanita cenderung
memiliki sistem kekebalan yang lebih kuat dapat berperan. Imunitas seluler dan humoral
umumnya lebih kuat pada wanita; wanita memiliki tingkat antibodi yang lebih tinggi
dalam sirkulasi, lebih banyak sel T CD4 yang bersirkulasi, produksi sitokin yang lebih
kuat sebagai respons terhadap infeksi. Pada progesterone, progesterone umumnya bersifat
penekan kekebalan, menurunkan mediator pro-inflamasi dan menghambat aktivasi sel
imun. Pensinyalan progesteron terjadi terutama melalui reseptor progesteron, yang
diekspresikan dalam banyak jenis sel imun termasuk sel NK, makrofag, sel dendritik, dan
sel T. Progesteron menurunkan aktivasi sel NK, makrofag, dan sel dendritic. dan
mendorong respons sel T dari tipe Th1 ke Th2, yang dapat memberikan perbaikan
penyakit autoimun terkait Th1 seperti MS dan RA selama kehamilan. Studi menunjukkan
juga bahwa progesteron memiliki aktivitas induksi sel T regulasi (Treg) yang kuat dan
menekan diferensiasi sel Th17. Beberapa efek progesteron dapat dimediasi oleh inhibisi
NF-κB.

Sementara, pada Estrogen, subtipe reseptor estrogen (ER) menunjukkan ekspresi


diferensial dalam sel kekebalan: ERα sangat diekspresikan dalam sel T dan ERβ dalam
sel B. Estrogen meningkatkan sejumlah faktor imunitas utama termasuk faktor regulasi
interferon (IFN) 5 (IRF5), dan IFN-γ. Estrogen juga berfungsi melalui ERα untuk
menurunkan regulasi autoimun regulator (AIRE), faktor penting dalam toleransi pusat,
melalui metilasi promoter. Pada konsentrasi rendah, estrogen memiliki efek
imunostimulan, mendorong respons Th1 melalui peningkatan sekresi IFN-γ, sebaliknya,
pada konsentrasi tinggi, estrogen meningkatkan respons Th2. Pada pasien SLE hamil,
terjadi perubahan pada Th2 ini dan akibatnya peningkatan produksi autoantibodi sering
memperburuk penyakit.

3. Faktor Infeksi
Infeksi dapat berpartisipasi dalam aktivasi dan kemudian proliferasi klonal autoreaktif
limfosit T dan B yang penting untuk perkembangan penyakit autoimun. Hampir semua
penyakit autoimun dapat dikaitkan dengan setidaknya satu infeksi. Selain itu, pasien yang
didiagnosis dengan penyakit autoimun memiliki risiko infeksi yang lebih tinggi sebagai
akibat dari pengobatan mereka. Menurut "hipotesis kebersihan", infeksi dapat bertindak
sebagai mekanisme perlindungan untuk perkembangan autoimun. Namun, diketahui juga
bahwa mereka juga memicu manifestasi autoimun. Selain itu, satu atau lebih
mikroorganisme dapat dikaitkan dengan penyakit autoimun yang sama. Contoh infeksi
dan penyakit autoimun: Pada SLE, infeksi virus Epstein-Barr (EBV) dapat memicu
produksi antibodi autoreaktif. Kemudian, pada RA, respon IgM terhadap beberapa infeksi
bakteri, misalnya Escherichia coli, Klebsiella pneumonia, dan Proteus mirabilis dikaitkan
dengan faktor rheumatoid. Dan pada MS, infeksi CMV dan EBV mendukung
perkembangan penyakit.

4. Faktor Obesitas
Terdapat hubungan antara peradangan (respon imun yang meningkat) dan obesitas.
Obesitas dapat mempengaruhi fungsi sistem kekebalan kita dan memainkan peran utama
dalam perkembangan penyakit autoimun. Beberapa peneliti berpendapat bahwa BMI
yang tinggi dan obesitas sebelum dewasa dikaitkan dengan risiko yang lebih tinggi untuk
mengembangkan multiple sclerosis. Mereka juga menghubungkan obesitas dan sindrom
metabolik dengan psoriasis dan rheumatoid arthritis. Selain itu, beberapa penelitian
mengaitkan obesitas dengan peningkatan risiko sarkoidosis, diabetes tipe 1, dan Crohn’s
disease. Mekanismenya adalah jaringan adiposa (lemak) yang secara aktif memproduksi
sitokin (memberi sinyal molekul yang memediasi dan mengatur kekebalan, peradangan
dan hematopoiesis). Sitokin ini juga disebut adipokin. Pada orang dengan obesitas,
jaringan adiposa dapat terjadi gangguan fungsional dan mengeluarkan lebih banyak
adipokin. Hal ini dapat menyebabkan peradangan kronis tingkat rendah yang tidak terkait
dengan infeksi atau kerusakan jaringan. Peradangan terkait obesitas ini dapat
mengganggu fungsi organ lain dan menyebabkan penyakit penyerta terkait obesitas.

5. Faktor Merokok
Rokok diketahui memainkan peran patogenik pada penyakit autoimun tertentu karena
dapat memicu perkembangan autoantibodi dan bekerja pada mekanisme patogen yang
mungkin terkait dengan ketidakseimbangan sistem imunitas. Jadi, rokok, dengan
memprovokasi stres oksidatif, dapat berkontribusi pada penyakit SLE dengan
mendisregulasi demetilasi DNA, meningkatkan gen kekebalan, sehingga menyebabkan
autoreaktivitas. Selain itu, dapat mengubah lingkungan mikro paru-paru, memfasilitasi
infeksi, yang pada akhirnya dapat memicu perkembangan kondisi autoimun. Ini, pada
akhirnya, dapat menyebabkan disregulasi sistem kekebalan yang menyebabkan fenomena
autoimun. Tidak hanya asap rokok, tetapi juga polusi udara dilaporkan dapat menjadi
faktor atas perkembangan autoimunitas.

6. Faktor Pengobatan
Faktor obat-obatan tertentu seperti antibiotik (terutama isoniazid, Nitrofurantoin,
Minocycline), hydralazine (digunakan untuk tekanan darah tinggi), isotretinoin
(digunakan untuk jerawat) dan procainamide (digunakan untuk irama jantung abnormal)
dan antikonvulsan, digunakan untuk epilepsi. Dalam beberapa kasus, menghentikan
pengobatan dapat memperbaiki penyakit autoimun tetapi orang yang mengembangkan
penyakit autoimun akibat obat sudah rentan secara genetik, dan bahkan mungkin sudah
menderita penyakit autoimun subklinis ringan, yang baru saja dibuka kedoknya oleh obat
tersebut.

4. Kriteria diagnosis dan pemeriksaan penunjang penyakit autoimun

Unntuk mendiagnosis penyakkit auto imun

1. Anamnesis -> mengetahui gejala yang didapat


Anamnnesis ini meliputi rps rpd rpk dan rkp

2. Pemeriksaan fisik -> mengetahui tanda yang didapat pada pasien


3. Pemeriksaan penunjang -> untuk menegakkan diagnosis

NEXT
ANAMNESIS

Yang perlu kita tanyakan meliputi, identitas , keluhan utama, onset, kronologi , keluhan penyerta , factor
yang memperberat , factor yang memperingan , riwayat penyakit dahulu , riwayat keluarga , riwayat
pengobatan , riwayat social ekonomi dan kebiasaan pribadi

Nah pada scenario tutor kita didapatkan

• Identitas  wanita, 30 tahun

• Keluhan utaman pipi merahh jika terpapar sinar matahari

• Onset  keluhan utama sejak 6 bulan yang lalu

• Keluhan penyerta  lemas dan kurang bergairah sejak 1 tahun yang lalu

NEXT
PEMERIKSAAN FISIK

Pemeriksaan fisik kita akan mencari tanda yang ada pada pasien dimana biasanya kelainan autoiumun
ditandai dengan adanya butterfly rash, hepatomegaly, spleenomegali, misalnya kita palpasi didapatkan
nyeri abdomen dan biasanya juga ada edema

NEXT
PEMERIKSAAN PENUNJANG

Jika kita dapatkan pasien dengan tanda dan gejala dan kita curiga pasien terkena autoimun maka
pemeriksaan awal yang kita lakuan adalah ANA
NEXT
DIAGNOSIS SLE

Nah table disini merupakan kriteria diagnosis dari pasien sle menururt ACR 1997
NEXT
Untuk pemeriksaan penunjang pasien yang kita curiga SLE adalah sebagai beriikutt
5. Tatalaksana dan edukasi penyakit autoimun

Gangguan autoimun pada umumnya tidak dapat disembuhkan, tetapi kondisinya dapat dikontrol dalam
banyak kasus. Secara historis, perawatan meliputi:

1. obat anti-inflamasi - untuk mengurangi peradangan dan nyeri


2. kortikosteroid - untuk mengurangi peradangan. Mereka kadang-kadang digunakan untuk
mengobati gejala akut
3. obat pereda nyeri - seperti parasetamol dan kodein
4. obat imunosupresan - untuk menghambat aktivitas sistem kekebalan
5. terapi fisik - untuk mendorong mobilitas
6. pengobatan untuk defisiensi - misalnya, suntikan insulin dalam kasus diabetes
7. operasi - misalnya, untuk mengobati penyumbatan usus dalam kasus penyakit Crohn
8. imunosupresi dosis tinggi - penggunaan obat penekan sistem kekebalan (dalam dosis yang
diperlukan untuk mengobati kanker atau untuk mencegah penolakan organ transplantasi) telah
dicoba baru-baru ini, dengan hasil yang menjanjikan. Terutama ketika intervensi dini,
kemungkinan penyembuhan dengan beberapa kondisi ini tampaknya mungkin dilakukan.
NEXT
Penekan Kekebalan Umum
1. Steroid
 Contoh: Prednison, metilprednisolon, deksametason
 Indikasi penggunaan: Banyak kegunaan dalam banyak penyakit autoimun, asma, urtikaria
 Target pengobatan: Steroid memiliki efek luas untuk memblokir peradangan
 Cara kerjanya: Steroid menghentikan tubuh membuat sitokin yang menyebabkan peradangan,
menguras sel kekebalan tertentu yang disebut sel T dan B dan eosinofil, serta mempersulit sel
kekebalan untuk melakukan perjalanan ke tempat infeksi atau cedera di seluruh tubuh. Mereka
berbeda dari "steroid anabolik" yang terkadang disalahgunakan oleh para atlet.
 Apa yang harus diperhatikan: Menggunakan steroid dalam waktu lama membuat Anda berisiko
mengalami banyak masalah yang berkaitan dengan kesehatan tulang, tekanan darah tinggi,
kontrol gula darah, katarak, dan infeksi. Bergantung pada seberapa banyak steroid yang Anda
gunakan dan berapa lama Anda akan menggunakannya, Anda akan dipantau untuk jenis infeksi
tertentu, termasuk jenis pneumonia yang jarang terjadi. Anda mungkin perlu menggunakan
antibiotik untuk membantu mencegah beberapa jenis infeksi. Tindakan ini biasanya tidak
diperlukan jika Anda menggunakan steroid untuk waktu yang singkat. Untuk mereka yang
menggunakan steroid jangka panjang, Anda harus berbicara dengan dokter Anda sebelum
menerima vaksinasi.

2. Colchicine
 Indikasi penggunaan: Gout flare, Familial Mediterranean Fever (FMF), gangguan autoinflamasi
lainnya
 Target pengobatan: Menghambat fungsi neutrofil (sejenis sel darah putih)
 Cara kerjanya: Dengan mengurangi fungsi neutrofil, ia bekerja dengan mengurangi peradangan
pada penyakit tertentu.
 Yang harus diwaspadai: Colchicine biasanya dapat menyebabkan diare, mual, dan muntah. Ini
juga dapat menyebabkan kerusakan hati, ginjal atau otot dan dapat menyebabkan jumlah sel
darah rendah. Obat ini dapat menyebabkan interaksi berbahaya dengan obat lain, jadi
pemeriksaan obat lengkap diperlukan. Ini tidak boleh dikonsumsi dengan jus jeruk bali.

3. Hydroxychloroquine (Plaquenil)
 Indikasi penggunaan: Lupus, rheumatoid arthritis, malaria, gatal-gatal kronis dan kondisi
autoimun lainnya
 Target pengobatan: Pensinyalan sel kekebalan
 Cara kerjanya: Dengan mengurangi sinyal dalam sistem kekebalan, ini mengurangi respons
peradangan. Ini dapat mencegah aktivasi sel kekebalan tertentu yang disebut sel dendritik.
 Apa yang harus diwaspadai: Hydroxychloroquine dapat menyebabkan diare, mual, muntah dan
sakit perut. Ini juga dapat menyebabkan ruam, perubahan penglihatan dan jumlah sel darah
rendah. Itu tidak terkait dengan peningkatan risiko infeksi. Pasien harus menjalani pemeriksaan
mata secara teratur saat minum obat ini. Ini memiliki banyak interaksi obat.

4. Sulfasalazine
 Indikasi penggunaan: Rheumatoid arthritis, juvenile rheumatoid arthritis, psoriatic arthritis,
ulcerative colitis dan kondisi autoinflamasi lainnya
 Target pengobatan: Menghambat pembentukan bahan kimia yang disebut prostaglandin
 Cara kerjanya: Komponen aktif sulfasalazine, 5-aminosalicylate, membantu mengurangi
peradangan secara bertahap.
 Yang harus diwaspadai: Obat ini dapat menyebabkan mual, sakit kepala, sensitif terhadap sinar
matahari, dan ruam. Ini harus dihindari pada pasien yang alergi terhadap antibiotik sulfa atau
salisilat dan digunakan dengan hati-hati pada pasien dengan defisiensi G6PD. Pasien harus
menggunakan pelindung matahari saat minum obat ini. Ini untuk sementara waktu dapat
mengurangi jumlah sperma dan menyebabkan urin berwarna oranye. Karena jarang
menyebabkan penurunan jumlah darah dan risiko infeksi, Anda mungkin harus menjalani tes
darah saat minum obat ini.

5. Metotreksat
 Indikasi penggunaan: Rheumatoid arthritis, banyak penyakit autoimun lainnya dan kanker
tertentu
 Target pengobatan: Menghalangi cara sel menggunakan asam folat, nutrisi tertentu. Ini adalah
bagian penting dari pembuatan DNA dan RNA yang penting bagi sel T dan sel B untuk tumbuh,
membelah, dan bertahan.
 Cara kerjanya: Sel T dan sel B perlu membuat DNA dan RNA untuk hidup dan tumbuh.
Memperlambat proses ini membantu mengontrol peradangan dalam kondisi autoimun.
 Apa yang harus diwaspadai: Methotrexate adalah obat penekan kekebalan. Ini digunakan pada
dosis rendah untuk pengobatan penyakit autoimun. Anda lebih mungkin terkena infeksi bakteri
dan virus saat Anda menggunakan metotreksat karena itu menurunkan kemampuan tubuh Anda
untuk membuat sel T dan B. Anda harus diperiksa untuk infeksi virus seperti hepatitis B dan C,
serta fungsi ginjal dan hati Anda sebelum memulai obat ini. Tes ginjal dan hati Anda akan
diperiksa saat Anda minum obat ini. Penderita sering diresepkan asam folat untuk mengurangi
efek samping obat ini, seperti sariawan, diare atau mual

6. Azathioprine (Imuran)
 Indikasi penggunaan: Digunakan pada banyak penyakit autoimun lainnya dan pencegahan
penolakan transplantasi
 Target pengobatan: Obat ini dipecah menjadi molekul yang dibangun menjadi DNA saat
disatukan dan menghentikan pembuatan DNA dengan benar. Hal ini menyebabkan sel T dan B
tumbuh dan membelah dengan lebih lambat.
 Cara kerjanya: Sel T dan sel B perlu membuat DNA dan RNA untuk tumbuh dan membelah.
Memperlambat proses ini membantu mengontrol respons imun pada penyakit autoimun.
 Apa yang harus diwaspadai: Ada risiko lebih tinggi terkena infeksi dari bakteri atau virus saat
Anda menggunakan azathioprine karena menurunkan kemampuan tubuh Anda untuk membuat
sel T dan B. Anda harus diperiksa untuk infeksi virus, seperti hepatitis B dan C, sebelum memulai
pengobatan ini. Dokter Anda mungkin memeriksa apakah tubuh Anda membuat protein yang
disebut thiopurine methyltransferase (TPMT) sebelum Anda memulai pengobatan ini untuk
memastikan tubuh Anda dapat membuangnya secara normal. Tes jumlah sel darah, ginjal, dan
hati Anda akan diperiksa saat Anda mengonsumsi obat ini. Ini dapat meningkatkan risiko
keganasan.
NEXT
Tatalaksana farmakologi SLE
NEXT

Tatalaksana non farmakologi SLE


1. Menghindari sinar matahari langsung, menutupi dengan pakaian pelindung matahari, dan
menggunakan lotion tabir surya UVA / UVB yang kuat juga bisa efektif dalam mencegah
masalah fotosensitifitas.
2. Penurunan berat badan juga dianjurkan pada pasien yang kelebihan berat badan dan
obesitas untuk mengurangi beberapa efek penyakit, terutama di mana keterlibatan sendi
itu signifikan.

6. Komplikasi pada penyakit autoimun

Komplikasi
Penyakit autoimun berpotensi membuat Anda berisiko mengalami komplikasi
serius. Risiko spesifik bervariasi berdasarkan kondisinya, tetapi beberapa yang
lebih umum termasuk:

 Penyakit jantung: Kondisi yang menyebabkan peradangan, seperti lupus,


scleroderma, dan RA, dapat menyebabkan masalah katup dan
pembengkakan otot jantung. Akibatnya, penderita dapat mengalami
tekanan darah tinggi, ateroskeloris (penumpukan kolesterol pada
pembuluh darah), pericarditis (peradangan pada selaput jantung),
endocarditis (peradangan selaput dalam jantung), dan miocarditis
(peradangan otot jantung).
 Perikarditis terjadi karena adanya peradangan pada perikardium, yaitu
lapisan tipis berbentuk kantong yang melapisi jantung alias selaput jantung.
Lapisan ini memiliki tugas untuk menjaga jantung agar tidak berpindah
posisi serta melindungi jantung dari gesekan atau penyebaran infeksi dari
jaringan lain. Perikarditis sering ditandai dengan gejala berupa rasa nyeri
dada, sesak napas yang terasa lebih berat saat berbaring, lemas dan mudah
merasa lelah, jantung berdebar, demam, serta batuk.

 Gangguan mood:Pada pasien lupus, masalah psikologis memang umum


terjadi. Data menunjukkan bahwa angka kejadian depresi dan kecemasan
pada pasien lupus dua kali lebih tinggi dibandingkan populasi umum. Selain
itu, depresi dan kecemasan berkontribusi terhadap meningkatnya angka
kematian pada pasien dengan lupus dan berhubungan dengan penyakit
kardiovaskular, ide bunuh diri, dan cacat fisik.

Lupus Foundation of America mengumpulkan fakta-fakta hubungan antara lupus


dan depresi, yakni sebagai berikut:

 Gangguan depresi mungkin disebabkan oleh penyakit lupus yang


memengaruhi tubuh penderita secara fisik.
 Beberapa obat-obatan untuk mengobati lupus dapat menyebabkan efek
samping perubahan mood berupa depresi, terutama jenis kortikosteroid
seperti prednisone.
 Depresi mungkin merupakan hasil dari serangkaian stres emosional dan
psikologis yang terus-menerus, akibat mengalami penyakit kronis atau
berkepanjangan.
 Perasaan yang umum dialami oleh pasien lupus terkait dengan depresi
adalah keputusasaan dan ketidakberdayaan. Mereka percaya bahwa gejala
yang menyedihkan yang dialaminya tidak akan pernah membaik.

Hal-hal inilah yang dapat menyebabkan pasien lupus rentan mengalami depresi.
Dukungan dari keluarga sangat diperlukan untuk membantu meminimalkan risiko
terjadinya perubahan mood, termasuk depresi,

 Neuropati: Neuropati adalah kerusakan pada saraf perifer yang sering


menyebabkan gejala kelemahan, mati rasa dan nyeri, dan biasanya di
tangan dan kaki. Neuropati dapat terjadi akibat cedera traumatis, infeksi,
masalah metabolisme, faktor turunan, dan paparan toksin. Neuropati
perifer bukan penyakit tunggal, melainkan kerusakan saraf yang disebabkan
oleh sejumlah kondisi.yaitu Penyakit autoimun, seperti sindrom Sjorgen,
lupus, rheumatoid arthritis, sindrom Guillan-Barre, radang kronis
demielinasi polineuropati, dan vaskulitis.

 Trombosis vena dalam: Deep vein thrombosis (DVT) atau trombosis vena


dalam adalah penggumpalan darah pada satu atau lebih pembuluh darah
vena dalam. Pada sebagian besar kasus, DVT terbentuk di pembuluh darah
paha atau betis.
Contoh Aktivitas penyakit dan / atau tidak bergerak atau membutuhkan
kursi roda membuat Anda berisiko mengalami pembekuan darah di kaki. ini
kadang-kadang berjalan ke paru-paru dan menyebabkan emboli paru
Pada deep vein thrombosis, terjadi penggumpalan darah di vena dalam
sehingga menyumbat aliran darah. Bila dibiarkan, gumpalan darah ini bisa
terlepas dan mengikuti aliran darah hingga menyumbat pembuluh darah
arteri di paru-paru. Akibatnya, penderita akan sulit bernapas, bahkan bisa
mengalami kematian.
 Kerusakan organ:
Penyakit autoimun adalah penyakit yang terjadi akibat sistem kekebalan
tubuh atau sistem imun menyerang sel-sel sehat dalam tubuh . Penyakit ini
berkembang ketika sistem kekebalan tubuh salah dalam menilai sel sehat
yang ada dalam tubuh dan malah menganggapnya sebagai zat asing.
Contohnya

Berikut ini adalah beberapa jenis penyakit autoimun

1. Autoimun Hepatitis: penyakit autoimun ini menyerang sel-sel hati dan


sistem kekebalan tubuh yang bisa mengakibatkan hati mengeras dan gagal
hati.
2. Celiac Dease: jenis penyakit autoimun ini menyebabkan penderitanya tidak
mampu menerima gluten dan zat yang terkandung dalam gandum.
3. Antibody Syndrome atau Antiphospholipid (APS): jenis penyakit autoimun
ini bekerja dengan menyerang lapisan dalam pembuluh darah yang
mengakibatkan terjadinya pembekuan darah pada saluran darah, baik
saluran vena maupun arteri.
4. Hemolytic Anemia: penyakit autoimun ini bekerja dengan menghancurkan
sel darah merah yang terdapat dalam tubuh.
5. Guillain-Barre Syndrome (GBS): penyakit autoimun ini menyerang saraf
yang menghubungkan otak dan tulang belakang dengan seluruh. Akibatnya
otak mengalami kesulitan untuk memberikan perintah pada saraf otot,
hingga menimbulkan kelumpuhan.
6. Ideophathic Thrombosythopenic Purpura (ITP): merupakan salah satu
penyakit autoimun yang banyak menyerang wanita dan menyebabkan
pecahnya jaringan pembuluh darah. 
7. Lupus Eritematosus Sistemik: penderita yang mengalami serangan penyakit
autoimun ini ditandai dengan tanda merah di bagian wajah seperti
sepasang sayap kupu-kupu.
8. Multiple Sclerosis: penyakit autoimun ini menyerang lapisan pelindung di
sekitar syaraf, hingga menyebabkan terganggunya kerja otak dan syaraf
tulang belakang.
9. Psoriasis: penyakit autoimun ini ditandai dengan penumpukan sel kulit yang
terjadi akibat sel- kulit yang tumbuh di dalam kulit tumbuh cepat dan
segera naik ke permukaan hingga kulit menebal dan menumpuk di
permukaaan kulit.
10. Diabetes: jenis penyakit autoimun ini menyerang sel-sel insulin, sehingga
tubuh tidak bisa memenuhi kebutuhan insulin. Hal ini tentu saja
menyebabkan terlalu banyak gula beredar dalam darah.

Anda mungkin juga menyukai