Penyakit autoimun adalah penyakit yang terjadi akibat sistem kekebalan tubuh
atau sistem imun menyerang sel-sel sehat dalam tubuh.
Penyakit ini berkembang ketika sistem kekebalan tubuh salah dalam menilai sel
sehat yang ada dalam tubuh dan malah menganggapnya sebagai zat asing, jadi
tidak bisa membedakan antara sel sehat (sel diri sendiri) dengan benda asing (non
self). Akibatnya, tubuh mulai memproduksi antibodi yang akan menyerang dan
merusak sel sehat didalam tubuh.
NEXT
Penyakit autoimun dapat diklasifikasikan menurut beberapa kriteria. Salah
satunya adalah lokasi serangan autoimun. Berdasarkan kriteria ini, penyakit
autoimun dibedakan menjadi sistemik atau spesifik organ. Skema klasifikasi ini
berguna untuk mengarahkan pasien dan dokter perawatan primer ke spesialis
yang sesuai.
Etiologi
Polymyalgia rheumatic
Usia – penyakit ini sangat jarang diderita oleh seseorang berusia di bawah
50 tahun, meskipun tetap memiliki kemungkinan untuk terjadi dengan
cepat seiring pertambahan usia. Penyakit ini biasanya didiagnosis pada
mereka yang berusia di atas 65 tahun (usia rata-rata adalah 70 tahun)
Lingkungan – Karena PMR adalah infeksi yang mempengaruhi sendi dan
otot, beberapa orang percaya bahwa virus dapat pula memicu gejala-gejala
penyakit ini dan pada akhirnya menyebabkan gangguan tersebut. Namun,
belum jelas virus apa yang menjadi pemicu.
Rheumatoid arthritis
Henoch-Schonlein purpura
Systemic Lupus Erythematosus (SLE)
Faktor gentik :
Pasien lupus biasanya memiliki anggota keluarga yang juga menderita
lupus.
Faktor lingkungan :
Faktor lingkungan yang berperan terhadap terjadinya SLE yaitu agen infeksi
seperti virus Epstein-Bar yang diduga dapat menginduksi renspon spesifik
melalui kemiripan molekular (molecular mimicri) dan gangguan terhadap
regulasi imun; faktor nutrisi atau diet yang mempengaruhi produksi
mediator inflamasi; toksin/obat-obatan yang dapat memodifikasi respon
seluler dan imunogenisitas dari self antigen; dan agen fisik atau kimia
seperti sinar ultraviolet (UV) yang dapat menyebabkan inflamasi, memicu
apoptosis sel dan menyebabkan kerusakan jaringan
Jenis kelamin:
Lupus lebih banyak diderita oleh wanita daripada pria, sehingga para
peneliti percaya bahwa hormon estrogen wanita memiliki peran dalam
terjadinya lupus.
NEXT
Mekanisme penyakit autoimun yang menyebabkan kerusakan sel merupakan suatu siklus yang
dapat berulang. Dimulai dari pengenalan self antigen oleh antibodi dan sel limfosit akan
menyebabkan terjadinya aktivasi antibodi dan limfosit tersebut. Hasil dari aktivitas ini adalah
terjadinya reaksi inflamasi pada tempat tertentu. Stimulasi perbanyakan antibodi terhadap sel
antigen terus berlanjut dan siklus akan kembali dari awal, begitu seterusnya. Berdasarkan gambar
dapat dijelaskan prosesnya sebagai berikut:
1. Sel B yang bersirkulasi mengikat self antigen yang dilepaskan dari sel yang mengalami
injury.
2. Hal tersebut membuat sel B dapat teraktivasi oleh sel T yang memang spesifik untuk
peptida sendiri.
3. Teraktivasinya sel B ini selanjutnya membuat sel B berdiferensiasi menjadi sel plasma
yang mampu mengeluarkan sejumlah besar antibodi spesifik self antigen atau disebut
autoantibodi.
4. Di lokasi terjadinya cedera, terjadinya ikatan antara autoantibodi tadi dengan self antigen
memicu terjadinya inflamasi yang selanjutnya dapat menyebabkan lebih banyak cedera
sel.
5. Yang mana, semakin banyak sel B yang mengikat self antigen memperkuat terjadinya
siklus kerusakan jaringan ini.
NEXT
Patogenesis autoimun terdiri atas gangguan aktivitas seluler dan protein regulator. Gangguan
aktivitas selular dapat terjadi apabila tubuh gagal mempertahankan toleransi akan self-antigen
dan terjadi aktivasi autoreaktif sel imun terhadap self-antigen tersebut. Mekanisme kegagalan
toleransi tersebut diperankan oleh sel T perifer dalam berbagai proses.
Berdasarkan tabel dijelaskan apa saja yang dapat terjadi akibat kegagalan toleransi tadi sehingga
memicu terjadinya autoimunitas.
1. Di mana, sel T perifer tidak mampu mengenali self antigen sebagai antigen tubuh
sendiri dan menganggapnya sebagai antigen asing yang harus dihancurkan. Hal ini
tentunya tidak sesuai dengan mekanisme toleransi self antigen. Adapun hal-hal yang
dapat menyebabkan kondisi ini seperti dikeluarkannya self antigen (misal tadi akibat
adanya sel yang mengalami injury), adanya ekspresi yang menyimpang pada MHC kelas
II (yang mana MHC itu sendiri adalah suatu molekul protein yang terdapat pada hampir
semua permukaan sel-sel tubuh. MHC II berperan dalam mempresentasikan antigen-
antigen ke sel limfosit T, B, dan makrofag untuk dikenali. Dengan adanya ekspresi yang
menyimpang dapat membuat peran dari MHC II juga menyimpang), ataupun dengan
meningkatnya ekspresi dari autoantigen/MHC II, begitupun dengan adanya mimikri
molekul (didefinisikan kemungkinan teoritis bahwa terjadinya kemiripan urutan antara
peptida asing dengan peptida sendiri. Hal ini cukup mampu menghasilkan aktivasi silang
sel T atau B menjadi autoreaktif terhadap self antigen), serta karena terjadinya
penyebaran epitop.
2. Selanjutnya, menyebabkan terjadinya anergi atau tidak responsifnya sel T perifer
sehingga tidak bereaksi terhadap antigen menyebabkan terlepasnya mediator inflamasi
(seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya mengenai siklus terjadinya autoimunitas),
serta meningkatnya ekspresi atau fungsi dari molekul kostimulatori (yaitu molekul yang
memicu terlepasnya sinyal sekunder atau ko-stimulasi untuk mengaktifkan respon imun
ketika dihadapkan dengan antigen).
3. Menyebabkan sel T regulator untuk melepaskan mediator inflamasi.
4. Serta menyebabkan terjadinya penurunan sinyal apoptosis misalnya apoptosis virus.
Selain itu, gangguan aktivitas protein regulator dijelaskan dalam hubungan antara Gen non-
HLA yaitu limfosit T sitotoksik dengan antigen-4 (CTLA4), protein tirosin fosfat non reseptor
tipe 22 (PTPN22), lokasi rentan autoimun (PDCD1, FCRL3, SUMO4, CD25, PADI4 dan
SLC22A4), TNF-a dan FOXP3. Interaksi gen non-HLA dengan protein tersebut akan mengubah
aktivitas regulator dan menyebabkan kekacauan atau defek pada protein terkait. Keadaan
tersebut menjadi target utama dari respon autoimun.
Adapun berikutnya mengenai berbagai mekanisme terjadinya penyakit autoimun adalah sebagai
berikut:
1. Melalui toleransi sel T helper: yang mana seperti yang telah dijelaskan sebelumnya
bahwa toleransi sel T diantaranya sel T helper CD4+ (yang nantinya akan mengaktivasi
sel B untuk membentuk suatu antibodi) sangat penting untuk pencegahan autoimunitas.
Oleh karena itu, toleransi dapat rusak jika sel T helper dilewati atau diganti.
2. Munculnya antigen yang diasingkan: Induksi toleransi membutuhkan interaksi antara
antigen dan sistem imun. Jadi setiap self antigen yang benar-benar diasingkan selama
perkembangan, kemungkinan akan dianggap asing sehingga respon imun akan teraktivasi
terhadapnya.
3. Ketidakseimbangan fungsi sel-T helper suppressor: hilangnya fungsi sel penekan
akan berkontribusi pada autoimunitas dan sebaliknya, bantuan sel-T yang berlebihan
dapat mendorong sel-sel B untuk memproduksi autoantibodi yang sangat tinggi.
4. Agen mikroba dalam autoimunitas: Berbagai mikroba, termasuk bakteri, mikoplasma
dan virus telah terlibat dalam memicu autoimunitas. Mikroba dapat memicu reaksi
autoimun dengan beberapa cara. Pertama, antigen virus dan autoantigen mungkin terkait
untuk membentuk unit imunogenik dan melewati toleransi sel T. Kedua, beberapa virus
(EBV) adalah mitogen sel B poliklonal nonspesifik dan dengan demikian dapat
menginduksi pembentukan autoantibodi. Ketiga, infeksi virus dapat menyebabkan
hilangnya fungsi sel-T suppressor.
5. Mimikri molekular: yang mana beberapa agen infeksi dapat bereaksi silang dengan
jaringan manusia dan determinan hapteniknya. Mikroorganisme yang menginfeksi dapat
memicu respons antibodi dengan menghadirkan determinan haptenik yang bereaksi
silang dalam hubungannya dengan pembawa mereka sendiri yang tidak dapat ditoleransi
oleh sel T helper. Antibodi yang terbentuk kemudian dapat merusak jaringan yang
berbagi determinan yang bereaksi silang.
6. Aktivasi limfosit poliklonal: Beberapa mikroorganisme dan produknya mampu
menyebabkan aktivasi sel B poliklonal (yaitu antigen nonspesifik). Misalnya, endotoksin
dapat menginduksi limfosit tikus untuk membentuk antibodi anti-DNA, antitimosit dan
sel darah merah secara in vitro sehingga dapat merusakan self antigen tersebut.
NEXT
Sistemik Lupus Eritematosus (SLE)
Kerusakan berbagai organ tubuh pada penyakit SLE terjadi akibat pembentukan dan deposisi
autoantibodi dan kompleks imun. Sel B yang hiperaktif berasal dari stimulasi sel T dan antigen
yang akan meningkatkan produksi antibodi terhadap antigen yang terpapar pada permukaan sel
apoptotik. Antigen menyebabkan stimulasi sel T dan sel B yang berkontribusi terhadap
clearance sel apoptotik yang tidak sempurna. Selama proses apoptosis, ada potongan-potongan
bahan seluler yang terbentuk pada permukaan sel yang mati. Normalnya, antigen tidak ada pada
permukaan sel akan tetapi pada SLE didapatkan antigen pada permukaan sel. Nukleosom dan
fosfolipid anionik adalah contoh antigen yang ditemukan pada pasien SLE, antigen tersebut
berpotensi memicu respons imun.
Peningkatan jumlah asam nukleat endogen yang berkaitan dengan apoptosis menstimulasi
produksi IFN dan autoimun dengan pemecahan self tolerance melalui aktivasi dan maturasi sel
dendritik konvensional (mieloid). Sel dendritik imatur menyebabkan toleransi sedangkan sel
dendritik matur yang teraktivasi menyebabkan otoreaktif.
Kompleks imun yang mengandung kromatin menstimulasi sel B melalui ikatan silang BCR/TLR.
Penyakit SLE berkembang ketika limfosit T teraktivasi oleh antigen yang dipresentasikan oleh
Antigen Presenting Cells (APC) melalui Major Histocompatibility Complex (MHC), kemudian
limfosit T yang teraktivasi tersebut akan melepaskan sitokin, inflamasi dan menstimulasi sel B.
Stimulasi sel B dan produksi autoantibodi imunoglobulin G (IgG) dapat menyebabkan kerusakan
jaringan. Sel T dan sel B yang spesifik terhadap autoantigen akan berinteraksi dan memproduksi
autoantibodi.
1. Faktor Genetik
Penyakit autoimun cenderung terjadi dalam keluarga yang sama. Demikian pula, tingkat
kejadian penyakit autoimun tertentu pada kembar identik (biasanya antara 25% dan 50%)
sekitar 10 kali lebih tinggi daripada pada kembar fraternal (biasanya antara 2% dan 8%).
Pengamatan ini menunjukkan bahwa penyakit autoimun sangat dipengaruhi oleh gen
pasien. Gen autoimun ditemukan di banyak kromosom. Misalnya, pada lupus
eritematosus sistemik, lebih dari 80 gen telah diidentifikasi di masing-masing dari 22
kromosom XY.
Jadi, protein yang dikode oleh gen yang berkaitan dengan penyakit autoimun terlibat
dalam beberapa mekanisme inflamasi, seperti APC, interferon tipe I, reseptor Toll-like
reseptor dan pensinyalan NF-κB (Nuclear Factor Kappa B), fungsi sel B dan sel T,
apoptosis, cell clearance dan kompleks imun. Varian genetik dapat menyebabkan
modifikasi protein, dalam hal laju produksi dan fungsi, dengan kemungkinan perubahan
dalam proses terkait. Selain itu, penyakit autoimun yang berbeda dapat berkaitan dengan
modifikasi genetik yang sama, mengakibatkan jalur genetik bersama untuk hilangnya
toleransi dan induksi autoimunitas.
Melihat spektrum yang luas dari genetika dan autoimunitas, alel HLA-DRB1 berperan
pada pasien yang terkena penyakit autoimun, ditemukan bahwa terdapat
penurunan/kekurangan HLA-DRB1 pada semua penyakit autoimun yang dievaluasi
[misalnya, SLE, Psoriasis (PS), Psoriatic Arthritis (PsA), Rheumatoid Arthritis (RA),
Systemic Sclerosis (SSc), Multiple Sclerosis (MS), dan Myasthenia Gravis (MG)]. Hal
ini mengidentifikasi terdapat hubungan antara alel spesifik dan penyakit autoimun.
3. Faktor Infeksi
Infeksi dapat berpartisipasi dalam aktivasi dan kemudian proliferasi klonal autoreaktif
limfosit T dan B yang penting untuk perkembangan penyakit autoimun. Hampir semua
penyakit autoimun dapat dikaitkan dengan setidaknya satu infeksi. Selain itu, pasien yang
didiagnosis dengan penyakit autoimun memiliki risiko infeksi yang lebih tinggi sebagai
akibat dari pengobatan mereka. Menurut "hipotesis kebersihan", infeksi dapat bertindak
sebagai mekanisme perlindungan untuk perkembangan autoimun. Namun, diketahui juga
bahwa mereka juga memicu manifestasi autoimun. Selain itu, satu atau lebih
mikroorganisme dapat dikaitkan dengan penyakit autoimun yang sama. Contoh infeksi
dan penyakit autoimun: Pada SLE, infeksi virus Epstein-Barr (EBV) dapat memicu
produksi antibodi autoreaktif. Kemudian, pada RA, respon IgM terhadap beberapa infeksi
bakteri, misalnya Escherichia coli, Klebsiella pneumonia, dan Proteus mirabilis dikaitkan
dengan faktor rheumatoid. Dan pada MS, infeksi CMV dan EBV mendukung
perkembangan penyakit.
4. Faktor Obesitas
Terdapat hubungan antara peradangan (respon imun yang meningkat) dan obesitas.
Obesitas dapat mempengaruhi fungsi sistem kekebalan kita dan memainkan peran utama
dalam perkembangan penyakit autoimun. Beberapa peneliti berpendapat bahwa BMI
yang tinggi dan obesitas sebelum dewasa dikaitkan dengan risiko yang lebih tinggi untuk
mengembangkan multiple sclerosis. Mereka juga menghubungkan obesitas dan sindrom
metabolik dengan psoriasis dan rheumatoid arthritis. Selain itu, beberapa penelitian
mengaitkan obesitas dengan peningkatan risiko sarkoidosis, diabetes tipe 1, dan Crohn’s
disease. Mekanismenya adalah jaringan adiposa (lemak) yang secara aktif memproduksi
sitokin (memberi sinyal molekul yang memediasi dan mengatur kekebalan, peradangan
dan hematopoiesis). Sitokin ini juga disebut adipokin. Pada orang dengan obesitas,
jaringan adiposa dapat terjadi gangguan fungsional dan mengeluarkan lebih banyak
adipokin. Hal ini dapat menyebabkan peradangan kronis tingkat rendah yang tidak terkait
dengan infeksi atau kerusakan jaringan. Peradangan terkait obesitas ini dapat
mengganggu fungsi organ lain dan menyebabkan penyakit penyerta terkait obesitas.
5. Faktor Merokok
Rokok diketahui memainkan peran patogenik pada penyakit autoimun tertentu karena
dapat memicu perkembangan autoantibodi dan bekerja pada mekanisme patogen yang
mungkin terkait dengan ketidakseimbangan sistem imunitas. Jadi, rokok, dengan
memprovokasi stres oksidatif, dapat berkontribusi pada penyakit SLE dengan
mendisregulasi demetilasi DNA, meningkatkan gen kekebalan, sehingga menyebabkan
autoreaktivitas. Selain itu, dapat mengubah lingkungan mikro paru-paru, memfasilitasi
infeksi, yang pada akhirnya dapat memicu perkembangan kondisi autoimun. Ini, pada
akhirnya, dapat menyebabkan disregulasi sistem kekebalan yang menyebabkan fenomena
autoimun. Tidak hanya asap rokok, tetapi juga polusi udara dilaporkan dapat menjadi
faktor atas perkembangan autoimunitas.
6. Faktor Pengobatan
Faktor obat-obatan tertentu seperti antibiotik (terutama isoniazid, Nitrofurantoin,
Minocycline), hydralazine (digunakan untuk tekanan darah tinggi), isotretinoin
(digunakan untuk jerawat) dan procainamide (digunakan untuk irama jantung abnormal)
dan antikonvulsan, digunakan untuk epilepsi. Dalam beberapa kasus, menghentikan
pengobatan dapat memperbaiki penyakit autoimun tetapi orang yang mengembangkan
penyakit autoimun akibat obat sudah rentan secara genetik, dan bahkan mungkin sudah
menderita penyakit autoimun subklinis ringan, yang baru saja dibuka kedoknya oleh obat
tersebut.
NEXT
ANAMNESIS
Yang perlu kita tanyakan meliputi, identitas , keluhan utama, onset, kronologi , keluhan penyerta , factor
yang memperberat , factor yang memperingan , riwayat penyakit dahulu , riwayat keluarga , riwayat
pengobatan , riwayat social ekonomi dan kebiasaan pribadi
• Keluhan penyerta lemas dan kurang bergairah sejak 1 tahun yang lalu
NEXT
PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik kita akan mencari tanda yang ada pada pasien dimana biasanya kelainan autoiumun
ditandai dengan adanya butterfly rash, hepatomegaly, spleenomegali, misalnya kita palpasi didapatkan
nyeri abdomen dan biasanya juga ada edema
NEXT
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Jika kita dapatkan pasien dengan tanda dan gejala dan kita curiga pasien terkena autoimun maka
pemeriksaan awal yang kita lakuan adalah ANA
NEXT
DIAGNOSIS SLE
Nah table disini merupakan kriteria diagnosis dari pasien sle menururt ACR 1997
NEXT
Untuk pemeriksaan penunjang pasien yang kita curiga SLE adalah sebagai beriikutt
5. Tatalaksana dan edukasi penyakit autoimun
Gangguan autoimun pada umumnya tidak dapat disembuhkan, tetapi kondisinya dapat dikontrol dalam
banyak kasus. Secara historis, perawatan meliputi:
2. Colchicine
Indikasi penggunaan: Gout flare, Familial Mediterranean Fever (FMF), gangguan autoinflamasi
lainnya
Target pengobatan: Menghambat fungsi neutrofil (sejenis sel darah putih)
Cara kerjanya: Dengan mengurangi fungsi neutrofil, ia bekerja dengan mengurangi peradangan
pada penyakit tertentu.
Yang harus diwaspadai: Colchicine biasanya dapat menyebabkan diare, mual, dan muntah. Ini
juga dapat menyebabkan kerusakan hati, ginjal atau otot dan dapat menyebabkan jumlah sel
darah rendah. Obat ini dapat menyebabkan interaksi berbahaya dengan obat lain, jadi
pemeriksaan obat lengkap diperlukan. Ini tidak boleh dikonsumsi dengan jus jeruk bali.
3. Hydroxychloroquine (Plaquenil)
Indikasi penggunaan: Lupus, rheumatoid arthritis, malaria, gatal-gatal kronis dan kondisi
autoimun lainnya
Target pengobatan: Pensinyalan sel kekebalan
Cara kerjanya: Dengan mengurangi sinyal dalam sistem kekebalan, ini mengurangi respons
peradangan. Ini dapat mencegah aktivasi sel kekebalan tertentu yang disebut sel dendritik.
Apa yang harus diwaspadai: Hydroxychloroquine dapat menyebabkan diare, mual, muntah dan
sakit perut. Ini juga dapat menyebabkan ruam, perubahan penglihatan dan jumlah sel darah
rendah. Itu tidak terkait dengan peningkatan risiko infeksi. Pasien harus menjalani pemeriksaan
mata secara teratur saat minum obat ini. Ini memiliki banyak interaksi obat.
4. Sulfasalazine
Indikasi penggunaan: Rheumatoid arthritis, juvenile rheumatoid arthritis, psoriatic arthritis,
ulcerative colitis dan kondisi autoinflamasi lainnya
Target pengobatan: Menghambat pembentukan bahan kimia yang disebut prostaglandin
Cara kerjanya: Komponen aktif sulfasalazine, 5-aminosalicylate, membantu mengurangi
peradangan secara bertahap.
Yang harus diwaspadai: Obat ini dapat menyebabkan mual, sakit kepala, sensitif terhadap sinar
matahari, dan ruam. Ini harus dihindari pada pasien yang alergi terhadap antibiotik sulfa atau
salisilat dan digunakan dengan hati-hati pada pasien dengan defisiensi G6PD. Pasien harus
menggunakan pelindung matahari saat minum obat ini. Ini untuk sementara waktu dapat
mengurangi jumlah sperma dan menyebabkan urin berwarna oranye. Karena jarang
menyebabkan penurunan jumlah darah dan risiko infeksi, Anda mungkin harus menjalani tes
darah saat minum obat ini.
5. Metotreksat
Indikasi penggunaan: Rheumatoid arthritis, banyak penyakit autoimun lainnya dan kanker
tertentu
Target pengobatan: Menghalangi cara sel menggunakan asam folat, nutrisi tertentu. Ini adalah
bagian penting dari pembuatan DNA dan RNA yang penting bagi sel T dan sel B untuk tumbuh,
membelah, dan bertahan.
Cara kerjanya: Sel T dan sel B perlu membuat DNA dan RNA untuk hidup dan tumbuh.
Memperlambat proses ini membantu mengontrol peradangan dalam kondisi autoimun.
Apa yang harus diwaspadai: Methotrexate adalah obat penekan kekebalan. Ini digunakan pada
dosis rendah untuk pengobatan penyakit autoimun. Anda lebih mungkin terkena infeksi bakteri
dan virus saat Anda menggunakan metotreksat karena itu menurunkan kemampuan tubuh Anda
untuk membuat sel T dan B. Anda harus diperiksa untuk infeksi virus seperti hepatitis B dan C,
serta fungsi ginjal dan hati Anda sebelum memulai obat ini. Tes ginjal dan hati Anda akan
diperiksa saat Anda minum obat ini. Penderita sering diresepkan asam folat untuk mengurangi
efek samping obat ini, seperti sariawan, diare atau mual
6. Azathioprine (Imuran)
Indikasi penggunaan: Digunakan pada banyak penyakit autoimun lainnya dan pencegahan
penolakan transplantasi
Target pengobatan: Obat ini dipecah menjadi molekul yang dibangun menjadi DNA saat
disatukan dan menghentikan pembuatan DNA dengan benar. Hal ini menyebabkan sel T dan B
tumbuh dan membelah dengan lebih lambat.
Cara kerjanya: Sel T dan sel B perlu membuat DNA dan RNA untuk tumbuh dan membelah.
Memperlambat proses ini membantu mengontrol respons imun pada penyakit autoimun.
Apa yang harus diwaspadai: Ada risiko lebih tinggi terkena infeksi dari bakteri atau virus saat
Anda menggunakan azathioprine karena menurunkan kemampuan tubuh Anda untuk membuat
sel T dan B. Anda harus diperiksa untuk infeksi virus, seperti hepatitis B dan C, sebelum memulai
pengobatan ini. Dokter Anda mungkin memeriksa apakah tubuh Anda membuat protein yang
disebut thiopurine methyltransferase (TPMT) sebelum Anda memulai pengobatan ini untuk
memastikan tubuh Anda dapat membuangnya secara normal. Tes jumlah sel darah, ginjal, dan
hati Anda akan diperiksa saat Anda mengonsumsi obat ini. Ini dapat meningkatkan risiko
keganasan.
NEXT
Tatalaksana farmakologi SLE
NEXT
Komplikasi
Penyakit autoimun berpotensi membuat Anda berisiko mengalami komplikasi
serius. Risiko spesifik bervariasi berdasarkan kondisinya, tetapi beberapa yang
lebih umum termasuk:
Hal-hal inilah yang dapat menyebabkan pasien lupus rentan mengalami depresi.
Dukungan dari keluarga sangat diperlukan untuk membantu meminimalkan risiko
terjadinya perubahan mood, termasuk depresi,