Anda di halaman 1dari 18

TUGAS ORAL BIOLOGI - 5

MEKANISME AUTOIMUNITAS

KELOMPOK 2

Feby Kuntum Mayang Sari 04031181621004

Aurelia Maulini R 04031181621005

Aulia Azzahra 04031381621064

Ramadhan Ariestha P 04031381621065

FAKULTAS KEDOKTERAN

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS SRIWIJAYA
MEKANISME AUTOIMUNITAS
1. Pengertian Autoimunitas

Salah satu definisi dari sistem imun adalah kumpulan mekanisme sel, zat kimia dan
protein terlarut, yang dimaksudkan untuk menjaga tubuh dari benda asing seperti infeksi
dan sel tumor, tanpa menyerang molekul tubuhnya sendiri. Antigen adalah molekul (self
atau non-self molekul) yang menimbulkan respon imun spesifik dalam tubuh. Sel imun
terletak diseluruh tubuh. Organ seperti limpa, timus, kulit dan usus mengandung sel imun
untuk menyaring masuknya benda asing. Fungsi optimum sistem imun terjadi saat sel imun
dan produk sel bekerja bersama dalam sekuen dan harmonis. Perbedaan yang jelas antara
self-molekul dan benda asing terjadi melalui mekanisme rumit yang bergantung pada
adanya pengenalan molekul tertentu pada permukaan sel imun kompeten, secara spesifik,
limfosit T dan B.

Autoimunitas didefinisikan sebagai perkembangan dari reaktifitas sistem imun dalam


bentuk auto-antibodi dan respon sel T pada self-struktur. Penyakit autoimun adalah kondisi
yang dipicu oleh sistem imun yang menginisiasi serangan pada self-molekul akibat dari
toleransi imun yang memburuk pada auto-reaktif sel imun. Autoimunitas sejatinya
merupakan proses yang dibutuhkan untuk regulasi jaringan imun dalam tubuh yang harus
menopang kesehatan tubuh. Sampai sekarang masih belum diketahui mengapa
autoimunitas terkadang berkembang pada keadaan patologis yang secara general
dikarakteristikan dengan kerusakan jaringan, dimediasi oleh perkembagan sel humoral self-
reaktif.

Perkembangan penyakit autoimun terjadi sebagai akibat dari respon imun yang
overaktif terhadap material tubuh dan jaringan yang ada di tubuh. Hal ini berarti tubuh
menyerang selnya sendiri. Sistem imun menyalahartikan suatu bagian spesifik dari badan
sebagai pathogen dan menyerangnya.

Autoimun dapat dibagi menjadi beberapa kelompok berdasarkan tempat yang


diserangnya, yakni:

a. Terbatas pada organ spesifik


Contoh:
- Thiroiditis dengan auto-antibodi terhadap tiroid;
- Diabetes Melitus dengan auto-antibodi terhadap pankreas;
- Sclerosis multiple dengan auto-antibodi terhadap susunan saraf; penyakit
radang usus, auto-antibodi terhadap usus.
b. Melibatkan jaringan spesifik di beberapa tempat
Contoh:
- Penyakit Good pasture’s yang dapat memiliki efek pada dasar membrane
paru-paru maupun ginjal;
- Systemic Lupus Erythemathosus (SLE) dengan autoantibodi terhadap ginjal,
sendi, kulit, pembuluh darah dan system saraf pusat;
- Arthritis Rheumatoid, vaskulitis sistemik dan scleroderma, dengan auto-
antibodi terhadap berbagai organ.
c. Di beberapa kasus, antibody tidak menyerang langsung pada jaringan atau organ
spesifik
Contoh: Antibody antifosfolipid dapat bereaksi dengan zat seperti fosfolipid yang
merupakan komponen normal platelet darah dan lapisan terluar sel (membrane sel),
yang dapat mempengaruhi pembentukan bekuan darah pada pembuluh saat
thrombosis.

Pathogenesis penyakit autoimun adalah multifactorial, dimana factor genetic, infeksi


dan lingkungan memainkan peran dalam penentuan onset dan perkembangan penyakit.
Terdapat kemungkinan adanya multiple “gen autoimunitas” yang dapat meningkatkan
risiko dalam mengembangkan penyakit autoimun. Faktor lain seperti dampak lingkungan
juga dapat berkontribusi terhadap perkembangan penyakit autoimun tertentu. Telah
dibuktikan dan disepakati bahwa penyakit autoimun merupakan penyakit multifactorial
yang merupakan hasil interaksi antara “gen autoimunitas” spesifik dan faktor lingkungan.

2. Toleransi Imunitas

Toleransi imun diartikan sebagai non-reaktifitas sistem imun spesifik pada antigen
tertentu, yang dalam keadaan lain dapat menginduksi respon imun. Administrasi antigen
baik pada dosis tinggi atau rendah dengan adanya infeksi dari virus tertentu pada saat
tingkat awal perkembangan imun juga dapat membantu menginduksi toleransi.1

Pada 1945, R.D.Owen membuat observasi penting yang menunjukkan bahwa toleransi
pada self-antigen terjadi karena sistem imun terpapar ke antigen tersebut ketika awal
perkembangan. Setelah itu, F.M.Burnet mengabarkan teori seleksi klonal (colonal selection
theory), dimana ia mengemukakan bahwa setiap lomfosit bersifat spesifik pada satu antigen
dan jika limfosit terpapar antigen ini saat perkembangan awal maka limfosit akan
mengalami delesi. Terdapat banyak bukti yang mendukung teori seleksi kolonal untuk sel
T dan sel B. Namun, delesi limfosit spesifik untuk self-antigen bukan satu-satunya
mekanisme self-tolerance. Baik sel T dan sel B spesifik untuk self-antigen dapat terdeteksi
di orang sehat, jadi dapat dipastikan terdapatnya mekanisme yang mencegah self teraktivasi
dan merusak jaringannya sendiri, kemudian menyebabkan penyakit autoimun.

Meskipun toleransi dapat terinduksi pada semua populasi limfosit, toleransi yang paling
penting adalah toleransi sel T CD4+ dan terjadi pada jauh dibawah ambang antigen
daripada untuk sel B dan CD8+.

a. Toleransi Sentral

Toleransi sentral adalah mekanisme dimana sel T dan sel B yang baru berkembang
dijadikan non-reaktif terhadap self. Toleransi sentral berbeda dari toleransi perifer yaitu
terjadi saat sel imun berkembang di organ limfoid primer (timus dan bone marrow),
sebelum diekspor ke perifer. Toleransi perifer terjadi ketika sel mencapai perifer dengan
sel T regulator. Sel T regulator dapat dianggap sebagai mekanisme toleransi sentral dan
toleransi perifer, karena sel T-reg dapat dihasilkan dari sel T self(atau asing)-reaktif pada
timus (saat diferensiasi sel T), namun dapat juga berusaha menekan imun di perifer pada
sel T self(atau asing)-reaktif lain.

Penelitian telah membuktikan bahwa toleransi sentral biasanya merujuk kepada


eliminadi atau inaktivasi sel T dan sel B yang mengenali self-antigen. Sel-sel ini
dihancurkan atau diinaktivasikan setelah mereka mengekspresikan reseptor untuk self
antigen dan sebelum mereka berkembang sepenuhnya menjadi limfosit yang
imunokompeten. Delesi sel self-reaktif pada tahap awal perkembangan mereka disebut juga
dengan “clonal abortion” atau “clonal deletion”.

 Toleransi Sentral T

Sel T dipilih untuk pertahanan lebih kuat daripada sel B. Sel T menjalani seleksi
baik positif m aupun negative untuk memproduksi sel T yang mengenali molekul self
–major histocompatibility complex (MHC) tapi tidak mengenali peptida self. Toleransi
sel T diinduksi di timus.
Seleksi positif terjadi di korteks timus. Proses ini secara primer dimediasi oleh sel
epithelial timus, yang kaya (jumlahnya banyak) pada permukaan molekul MHC. Jika
sel T yang matur mampu berikatan dengan permukaan molekul MHC pada timus, sel
T akan selamat dari apoptosis; sel yang gagal mengenali MHC di sel epithelial timus
akan mati. Dengan demikian, seleksi positif memastikan bahwa sel T hanya mengenali
antigen dalam hubungannya dengan MHC. Hal ini penting karena salah satu fungsi
primer sel T adalah untuk mengidentifikasi dan merespon sel host yang terinfeksi
sebagai lawan pathogen ekstraseluler. Proses seleksi positif juga menentukan apakah
sebuah sel T akhirnya menjadi sel CD4+ atau sel CD8+: sebelum seleksi positif, semua
thymocytes merupakan ganda positif (CD4+ CD8+) i.e. menanggung co-reseptor
keduanya. Selama seleksi positif sel T berubah menjadi sel T CD4 + CD8- atau CD8 +
CD4- tergantung pada apakah mereka mengenali MHC II atau MHC I, masing-masing.
2

Sel T juga dapat mengalami seleksi negatif dalam proses sejalan dengan induksi
toleransi self dalam sel B, yang terjadi di korteks, di persimpangan cortico-meduler,
dan medula (dimediasi di medula didominasi oleh sel epitel thymus medula ( mTECs)
dan sel dendritik). mTec memperkenalkan "self" antigen untuk mengembangkan sel T
dan memberi sinyal kepada sel T yang bersifat “self reaktif” untuk mati melalui melalui
apoptosis dan dengan demikian dihapus dari repertoar sel T. Proses ini sangat
tergantung pada ekspresi ektopik dari antigen spesifik jaringan (TSAs) yang
dikendalikan oleh regulator transkripsi seperti AIRE dan Fezf2.

Delesi klonal sel T di timus tidak dapat mengeleminasi setiap sel T yang berpotensi
self-reaktif; Sel T yang mengenali protein yang hanya ditemukan di tempat lain di tubuh
atau hanya pada waktu perkembangan tertentu (misalnya setelah pubertas) harus
dinonaktifkan di perifer. Selain itu, banyak sel T self-reaktif yang berkemungkinan
tidak memiliki afinitas yang cukup (kekuatan mengikat) untuk menghapus self antigen
dalam timus.3

Sel T regulasi adalah grup sel T lain yang maturasi di timus, mereka juga terlibat
dengan regulasi sel imun.
 Toleransi Sentral Sel B

Pengenalan antigen oleh sel B immature di bone marrow penting untuk


perkembangan toleransi imun self. Proses ini memproduksi populasi sel B yang tidak
mengenali self-antigen namun dapat mengenali antigen yang berasal dari pathogen
(non-self).

Sel B immature hanya mengeskpresikan permukaan molekul IgM melalui seleksi


negative dengan mengenali molekul self yang ada di bone marrow. Antigen yang
menginduksi hilangnya sel B dari sel B repertoire dikenal sebagai klonal delesi. Sel B
dapat menghadapi 2 tipe antigen, permukaan sel antigen multivalensi atau antigen low
valensi terlatut:

 Ketika sel B immature mengekspresikan permukaan IgM yang mengenali


permukaan sel self antigen yang ada dimana-mana (i.e. multivalent) (seperti dari
MHC) mereka dieliminasi oleh proses yang dikenal sebagai klonal delesi. Sel B ini
diyakini untuk menjalani program kematian sel atau apoptosis. Namun, ada selang
waktu sebelum apoptosis selama sel B sel-reaktif dapat diselamatkan oleh
penyusunan ulang gen lanjut (receptor editing) yang mungkin menggantikan
reseptor self-reaktif dengan reseptor baru, yang tidak auto-reaktif. 4
 Sel B immature yang mengikat soluble self-antigen (i.e.valensi rendah) tidak mati
tetapi kemampuan mereka mengekspresikan permukaan IgM menghilang (sebagai
akibat dari penurunan regulasi dalam sintesis reseptor karena perkembangan
toleransi reseptor - mirip dengan proses yang terlihat pada toleransi obat - melalui
paparan konstan untuk self-antigen). Dengan demikian, mereka bermigrasi ke
perifer hanya mengekspresi IgD (didorong oleh divisi sel B tambahan) dan tidak
dapat merespon antigen. Sel B ini dikatakan anergik. Hanya sel B yang tidak
bertemu antigen sementara mereka maturasi di sumsum tulang (bone marrow) yang
dapat diaktifkan setelah mereka memasuki perifer. Sel ini menanggung baik
reseptor IgM dan IgD dan merupakan repertoire sel B yang mengenali antigen
asing.2

Bahkan ketika sel B self-reaktif mature bertahan utuh, sel B reaktif ini akan sangat
jarang diaktifkan. Hal ini karena sel B perlu sinyal co-stimulasi dari sel T serta
kehadiran antigen yang dikenal untuk berkembang biak dan menghasilkan antibodi
(toleransi perifer). Jika sel B perifer mature menghadapi antigen multivalent (contoh:
permukaan sel) sel dieliminasi dengan apoptosis. Jika sel B matang mengenali soluable
antigen dalam perifer dengan tidak adanya bantuan sel T, sel permukaan reseptor IgM
dan menjadi anergik.3
 Toleransi Perifer Sel T

 Anergi

Anergi adalah inaktivasi memanjang atau ireversibel limfosit yang diinduksi


melalui pertemuannya dengan antigen pada keadaan tertentu. Mekanisme toleransi
perifer yang aktif meliputi delesi sel autoreakitf melalui apoptosis atau induksi keadaan
anergi (tidak respons). Sel T CD4+ naive memerlukan dua sinyal untuk menjadi aktif
dan memulai respons imun. Sinyal pertama berupa sinyal spesifik antigen melalui
reseptor antigen di sel T. Sinyal kedua berupa sinyal non-spesifik ko-stimulasi,
biasanya sinyal oleh CD28 (pada sel T) yang terikat ke salah satu lingkup B7 (CD80
atau CD86) pada stimulator. Oleh karena itu, meskipun terdapat pengenalan sel T
terhadap molekul peptida spesifik jaringan atau kompleks MHC, namun bila tidak
terdapat ikatan dengan molekul ko-stimulator, maka stimulasi melalui reseptor sel T
akan berujung pada anergi atau kematian sel T melalui apoptosis. Ekspresi molekul ko-
stimulator ini sangat terbatas. Sinyal stimulator juga terbatas pada antigen-presenting
cells seperti sel dendritik. Dengan adanya distribusi yang terbatas dan pola resirkulasi,
interaksi sel CD4+ dengan sel dendritik hanya terjadi di jaringan limfoid sekunder
seperti nodus limfe. Ekspresi molekul ko-stimulator dapat diinduksi melalui beberapa
cara, biasanya melalui inflamasi atau kerusakan sel. Namun, dengan adanya restriksi
pola resirkulasi limfosit, maka hanya sel yang telah teraktivasi sebelumnya yang
mempunyai akses ke lokasi perifer.

Sel T teraktivasi juga dapat mengekspresikan molekul permukaan yang mempunyai


struktur serupa dengan molekul ko-stimulator, namun mempunyai efek negatif terhadap
aktivasi sel T, yaitu CTLA-4 yang mempunyai struktur serupa dengan CD28 dan
mengikat ligand yang sama. Ikatan antara CD80 atau CD86 dengan CTLA4
menginduksi anergi atau kematian melalui apoptosis. Adanya defek genetik pada
mekanisme apoptosis dapat berakibat pada berkembangnya autoimunitas.
 Supresi

Mekanisme lain yang dapat mengurangi risiko autoimunitas adalah pengembangan


sel T regulator. Sel CD4+ yang dapat mengenali self-antigen dapat berdiferensiasi
menjadi sel T-reg pada thymus dan jaringan sekitar. Sel T-reg ini akan
mengekspresikan faktor transkripsi tertentu yang penting untuk perkembangan dan
fungsi sel regulator.

Sel T-reg juga dapat mengeskpresikan receptor CD25 dengan jumlah yang tinggi.
Receptor dapat berikatan dengan interleukin-2 (IL-2), yang merupakan sitokin kunci
untuk pertahanan dan fungsi sel T-reg. Terdapat sitokin lain yang memerankan peran
penting pada generasi sel T dengan kemungkinan dapat mestimulasikan pengeskpresian
FoxP3. Sitokin ini disebut jua dengan transforming growth factor-beta (TGF-β). TGF-
β dan IL-10 merupakan sitokin yang diproduksi oleh sel T regulator untuk menginhibisi
sel T akan tetapi mekanisme pastinya masih belum diketahui.
 Apoptosis

Delesi limfosit self-reactive pada thymus dan perifer dijalankan melalui kematian
sel apoptosis. Apoptosis terjadi karena sel T memiliki afinitas terhadap self-antigen
yang tinggi. Kedua jalur apoptosis yang dimediasi baik oleh Fas- dan Bim penting
untuk limfosit self-reactive pada perifer. Walaupun signaling “death receptor” yang
diperantarai oleh Fas- dan signaling apoptosis yang diatur oleh BCL 2 secara mekanis
berbeda, tetapi kedua jalur ini berkoordinasi dan bekerja sama dalam membunuh
limfosit T yang distimulasi secara kronis oleh self-antigens in vivo.

 Jalur Intrinsik: Pengenalan Self antigen oleh sel T tanpa kostimulasi


menyebabkan defisiensi relatif protein anti apoptotik intraselular, dan
kelebihan protein pro-apoptotik menyebabkan kematian sel dengan
merangsang pelepasan mediator apoptotik dari mitokondria.
 Jalur Ekstrinsik: Pelepasan molekul sinyal yang disebut ligan oleh sel lain
tetapi bukan berasal dari sel yang akan mengalami apoptosis. Ligan tersebut
berikatan dengan death receptor yang terletak pada transmembran sel target
yang menginduksi apoptosis. Death receptor yang terletak di permukaan sel
adalah famili reseptor TNF (Tumor Necrosis Factor), yang meliputi TNF-
R1, CD 95 (Fas), dan TNF-Related Apoptosis Inducing Ligan (TRAIL)-R1
dan R2.
 Toleransi Perifer Sel B
Sel B mature yang mengenali antigen tanpa pertolongan dari Sel T Helper (karena sel
T helper telah dieleminasi atau bersifat toleran) akan diinaktivasi secara fungsional dan
menjadi tidak mampu menanggapi antigen tersebut (anergi) atau apoptosis atau
aktivasinya ditekan oleh reseptor pengahambat.

3. Etiologi Autoimunitas

Walaupun penyakit autoimunitas (AD) secara genetik bersifat kompleks, terdapat


kemajuan signfikan akan pemahaman mengenai AD selama beberapa tahun belakangan ini.
Untuk beberapa AD, rusaknya toleransi peripheral yang menyebabkan imun anti-self
dihubungkan dengan pertemuan dengan pathogen, zat kimia, obat, toksin dan hormone
tertentu. Akan tetapi, faktor paling penting yang berkontribusi dalam AD adalah genetik
make-up host. Konstelasi kompleks akan alel kerentanan AD dan terdapatnya haplotypes
yang menentukan deregulasi mekanisme self-toleransi terus menerus.
No. Faktor yang Mempengaruhi Keterangan

1. Genetik Predisposisi terhadap respon autoimun tertentu


berkaitan dengan alel human leukocyte antigen (HLA)
tertentu. Alel HLA bekerja pada level sel penyaji
antigen yang kehadiran atau ketiadaannya menentukan
presentasi dan respon yang dihasilkan terhadap
autoantigen. Terdapat tiga bagian utama dari gen yang
diduga terlibat dalam penyakit autoimun. Gen init
erkait dengan:

- Imunoglobulin;
- T-sel reseptor ;
- Mayor Histocompatibility Complex(MHC).

2. Pengaruh Lingkungan  Toksin


- Metal berat mercuric-chloride atau polyvinyl-
chloride dapat menyebabkan immune complex
nephritis, sclerosis sistemik dan perkembangan
autoantibodi;
- Merokok, penggunaan pewarna rambut (yang
mengandung aromatic amines), menghirup
lem, atau paparan debu silica (yang sering
ditemukan pada berbagai jenis kerja
pembangunan dan penambangan) atau toksin
lainnya dapat menyebabkan RA, SLE, penyakit
Grave (GD) dan scleroderma;
- Pekerja dalam industri seperti re-finishing
furniture, spray-painting, pembuat parfum atau
kosmetik juga memiliki peningkatan risiko
dalam mengembangkan AD;
- Paparan siliki pada tempat kerja berhubungan
dengan SLE. Pada orang yang terpapar silica
terus menerus, terdapat penurunan fungsi dan
ukuran sel T-reg sehingga rentan terhadap
apoptosis yang diperantai CD95. Terdapat juga
aktivasi sel T responder. Jika digabungkan,
pengurangan fungsi dan ukuran sel T-reg dan
subtitusi sel T responder yang diaktivasi secara
kronis akan memfalisitasi disregulasi imun
pada orang yang terpapar silica.
 Paparan terhadap sinar UV: Penelitian In Vitro
menunjukkan bahwa paparan sinar UV B
terhadap DNA dan ribonucleoprotein kecil
(snRNPs) dapat menimbulkan perubahan
bentuk dan lokasi molekul-molekulnya yang
meningkatkan kemungkinan DNA dan snRNPs
untuk mengaktivasi limfosit autoreaktif.
 Pengobatan
- Obat yang mengandung thiol dan sulfonamide,
serta antibiotic dan obat non-steroid anti
imlamasi golongan tertentu merupakan pemicu
pemphigus;
- Obat seperti hydrazaline dan procainamide atau
serupa dengan obat aromatic amine dapat
menginduksi symptom SLE, seperti arthritis,
pleuropericarditis dan myocarditis.
 Infeksi: Infeksi terhadap virus, bakteri dan
mycoplasma tertentu merupakan pemeran
utama dalam faktor lingkungan yang dapat
memodulasi perkembangan AD. Terlebih lagi,
infeksi bakteri dan virus yang parah dapat
menyebabkan peningkatan antibody autoreaktif
atau sel T konvensional yang dapat
menyebabkan flare-up dan eksarserbasi dari
gejala yang ada.
3. Hormon Sebuah fitur umum yang mencolok dari banyak
penyakit autoimunitas baik pada manusia dan model
hewan percobaan adalah bahwa perempuan lebih
rentan terhadap kondisi autoimun daripada laki-laki .
Hormon seks seperti estrogen dan androgen diyakini
memainkan peran penting pada kerentanan
berdasarkan jenis kelamin pada kebanyakan AD.

4. Imunitas  Sequestered antigen: antigen sendiri yang


karena letak anatominya, tidak terpajan dengan
sel B atau sel T dari sistem imun. Perubahan
anatomik dalam jaringan inflamasi (sekunder
oleh infeksi, iskemia, trauma), dapat
memajankan sequestered antigen dengan
sistem imun yang tidak terjadi pada keadaan
normal.
 Gangguan presentasi: gangguan dapat terjadi
pada presentasi antigen, infeksi yang
meningkatkan respon MHC (Major
Histocompatibility Complex), kadar sitokin
yang rendah dan gangguan respon terhadap IL-
2. Pengawasan terhadap sel autoreaktif diduga
bergantung pada sel Ts atau Tr, bila terjadi
kegagalan sel Ts atau Tr, maka sel Th dapat
dirangsang sehingga menimbulkan
autoimunitas.
 Ekspresi MHC-II yang tidak benar: pada
orang sehat, sel β pankreas mengekspresikan
MHC-I lebih sedikit dan tidak
mengekspresikan MHC-II sama sekali,
sedangkan pada penderita penyakit autoimun
Insulin Dependent Diabetes Melitus sel β
mengekspresikan kadar tinggi MHC-I dan
MHC-II.
 Aktivasi sel B poliklonal: autoimun dapat
terjadi oleh karena aktivasi sel B poliklonal
oleh virus (EVB), lipopolisakarida dan parasit
malaria yang dapat merangsang sel B secara
langsung yang menimbulkan antibodi.
 Peran CD4 dan reseptor MHC: penelitian
model hewan menunjukkan bahwa CD4
merupakan efektor utama pada penyakit
autoimun. Sel T mengenal antigen melalui TCR
(T cell receptor) dan MHC serta peptide
antigenik. Untuk seseorang menjadi rentan
terhadap autoimunitas harus memiliki MHC
dan TCR yang dapat mengikat antigen sel
sendiri.
 Keseimbangan Th1-Th2 (T-helper):
keseimbangan Th1 –Th2 dapat mempengaruhi
terjadinya autoimunitas. Th1 menunjukkan
peran pada autoimunitas, sedang pada beberapa
penelitian Th2 tidak hanya melindungi terhadap
induksi penyakit, tetapi juga terhadap progres
penyakit.
 Sitokin pada autoimunitas: beberapa
mekanisme kontrol melindungi efek sitokin
patogenik, diantaranya adalah ekspresi sitokin
sementara dan reseptornya serta produksi
antagonis sitokin dan inhibitornya. Gangguan
mekanismenya menimbulkan upregulasi atau
produksi sitokin yang tidak benar sehingga
menimbulkan efek patofisiologik.
4. Mekanisme Autoimun

Terdapat dua faktor prinsip dalam mengembangkan autoimmunitas, yakni faktor


genetik dan faktor lingkungan, termasuk cedera dan penyakit infeksi.

a. Peran Faktor Genetik terhadap Perkembangan Autoimunitas

Alel HLA meningkatkan risiko dalam perkembangan penyakit tertentu, tetapi alel HLA
sendiri tidak menyebabkan penyakit tersebut. Hal ini telah dibuktikan pada beberapa orang
yang mempunyai alel HLA tidak mengembangkan penyakit ini, maka dari itu alel HLA
bukan merupakan penyebab penyakit tetapi dapat meningkatkan risiko dalam
mengembangkan penyakit. Salah satu alasan alel MHC dapan menyebabkan perkembangan
autoimunitas adalah karena alel MHC efisien dalam mempresentasikan self-antigen.
Presentasi self-antigenn dapat menyebabkan seleksi negative sel T yang defektif, atau
presentasi self-antigen idak dapat menstimulasi sel T-reg.

b. Peran Faktor Lingkungan terhadap Perkembangan Autoimunitas

Infeksi jaringan dapat menginduksi respons imun, yang akan menyebabkan


peningkatan ekspresi ko-stimulator dan sitokin oleh APC jaringan. APC yang teraktivasi
dapat mestimulasi sel T self-reactive. Beberapa infeksi dapat memproduksi mikroba yang
sama dengan self-antigen sehingga akan mengalami reaksi silang (cross-reaction) yang
akan menyebabkan imun menyerang self-antigen. Reaksi silag ini dikenal juga dengan
mimikri molecular walaupun signifikansinya dalam mengembangkan penyakit autoimun
masih belum diketahui. Infeksi dapat menyebabkan cedera jaringan sehinnga menyebabkan
pelepasan antigen yang biasanya diasingkan oleh sistem imun. Beberapa antigen ini tidak
biasanya dikenali oleh sistem imun, sehingga menyebabkan pelepasan antigen yang dapat
menyebabkan reaksi autoimunitas jaringan.6

b. Peran Hormon terhadap Perkembangan Autoimunita

Hormone seks seperti estrogen, testosterone dan progesterone dipercaya untuk mediasi
banyak perbedaan berdasarkan gender pada respon imun dan untuk menghitung perbedaan
gender pada prevalensi penyakit autoimun. Estrogen dan androgen secara langsung
mempengaruhi respon imun dengan interaksi reseptor hormone pada sel imun. Demikian
juga, reseptor sitokin (seperti IL-1R, IL-18R) ditemukan pada jaringan yang memproduksi
hormon, ditandai dengan regulasi bi-directional pada respon imun. Factor lain yang harus
diperhatikan saat memeriksa perbedaan gender adalah efek hormone seks pada target organ
atau jaringan. Sebagai contoh, reseptor estrogen dan/atau reseptor androgen di hati
ditemukan tidak hanya pada sel imun infiltrasi tapi juga dalam/pada otot jantung, otot halus,
dan sel endothelial. Interaksi yang tepat antara hormone dan respon imun alami seletah
infeksi baru saja mulai dimengerti. Walaupun penyakit autoimun menunjukkan terjadi pada
lebih banyak wanita, studi pada efek estrogen pada fungsi imun masih kontradiksi.

Estrogen menstimulasi produksi antibody (dan autoantibody) oleh sel B. estrogen juga
memperlihatkan peningkatan IL-4, IL-10 dan TGF-level dan untuk meningkatkan ekspresi
CD80 dan Foxp3, yang meningkatkan populasi CD4+Tim-3+CTLA4+ dan
CD4+CD25+Foxp3+Treg klasik. Walaupun estrogen saat periovulatory tinggi untuk level
kehamilan menghambat sel T manusia dak tikus, itu memiliki efek berlawanan pada dosis
rendah. Selanjutnya, estrogen menghambat produksi TNF-α dari sel mononuclear darah
perifer yang diperoleh dari laki-laki atau wanita hanya jika itu diatur dengan
lipopolisakarida, ligan untuk TLR4 tapi memiliki efek yang berbeda jika estrogen diatur
tanpa lipopolisakarida.

Estrogen menstimulasi produksi IFN-γ dari sel T tapi menghambat INF-γ dari makrofag
dan sel dendrit. Dengan demikian, peran estrogen sebagai inhibitor akan menjadi sangat
penting selama imunitas alami ketika penyakit autoimun mulai terjadu, seperti yang terjadi
pada EAE. Selain itu, estrogen telah ditemukan dapat meningkatkan fibrosis karena
kemampuannya untuk merangsang IL-4, TGF-β, dan fibroblast growth factor. Secara
keseluruhan, studi ini menunjukkan bahwa pada dosis tinggi dan/atau selama respon imun
alami terhadap infeksi atau estrogen ajuvan menghasilkan anti-inflamasi, respon Th2
profibrotik.
DAFTAR PUSTAKA
1. Baratawidjaja, Karnen Garna. Iris Rengganis. “ Imunologi dasar (edisi ke-11)”. 2014.
Jakarta : FK UI
2. Page LM; Du Toit DF; Page BJ, “Understanding Autoimmune Disease – a review
article for the layman”, University of Stellenbosch, Western Cape, RSA.
3. Charles A Janeway; Paul Travers; Mark Walport; Mark Shlomchik (2001),
Immunobiology: The Immune System In Health And Disease (5th ed.), Garland
Publishing.
4. Thomas J. Kindt; Barbara A. Osborne; Richard A. Goldsby (2006), Kuby Immunology
(6th ed.), W. H. Freeman.
5. Halverson R; Torres; Pelanda R (2004), "Receptor editing is the main mechanism of B
cell tolerance toward membrane antigens", Nat Immunol. 5 (6): 645–50.

Anda mungkin juga menyukai