MEKANISME AUTOIMUNITAS
KELOMPOK 2
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
MEKANISME AUTOIMUNITAS
1. Pengertian Autoimunitas
Salah satu definisi dari sistem imun adalah kumpulan mekanisme sel, zat kimia dan
protein terlarut, yang dimaksudkan untuk menjaga tubuh dari benda asing seperti infeksi
dan sel tumor, tanpa menyerang molekul tubuhnya sendiri. Antigen adalah molekul (self
atau non-self molekul) yang menimbulkan respon imun spesifik dalam tubuh. Sel imun
terletak diseluruh tubuh. Organ seperti limpa, timus, kulit dan usus mengandung sel imun
untuk menyaring masuknya benda asing. Fungsi optimum sistem imun terjadi saat sel imun
dan produk sel bekerja bersama dalam sekuen dan harmonis. Perbedaan yang jelas antara
self-molekul dan benda asing terjadi melalui mekanisme rumit yang bergantung pada
adanya pengenalan molekul tertentu pada permukaan sel imun kompeten, secara spesifik,
limfosit T dan B.
Perkembangan penyakit autoimun terjadi sebagai akibat dari respon imun yang
overaktif terhadap material tubuh dan jaringan yang ada di tubuh. Hal ini berarti tubuh
menyerang selnya sendiri. Sistem imun menyalahartikan suatu bagian spesifik dari badan
sebagai pathogen dan menyerangnya.
2. Toleransi Imunitas
Toleransi imun diartikan sebagai non-reaktifitas sistem imun spesifik pada antigen
tertentu, yang dalam keadaan lain dapat menginduksi respon imun. Administrasi antigen
baik pada dosis tinggi atau rendah dengan adanya infeksi dari virus tertentu pada saat
tingkat awal perkembangan imun juga dapat membantu menginduksi toleransi.1
Pada 1945, R.D.Owen membuat observasi penting yang menunjukkan bahwa toleransi
pada self-antigen terjadi karena sistem imun terpapar ke antigen tersebut ketika awal
perkembangan. Setelah itu, F.M.Burnet mengabarkan teori seleksi klonal (colonal selection
theory), dimana ia mengemukakan bahwa setiap lomfosit bersifat spesifik pada satu antigen
dan jika limfosit terpapar antigen ini saat perkembangan awal maka limfosit akan
mengalami delesi. Terdapat banyak bukti yang mendukung teori seleksi kolonal untuk sel
T dan sel B. Namun, delesi limfosit spesifik untuk self-antigen bukan satu-satunya
mekanisme self-tolerance. Baik sel T dan sel B spesifik untuk self-antigen dapat terdeteksi
di orang sehat, jadi dapat dipastikan terdapatnya mekanisme yang mencegah self teraktivasi
dan merusak jaringannya sendiri, kemudian menyebabkan penyakit autoimun.
Meskipun toleransi dapat terinduksi pada semua populasi limfosit, toleransi yang paling
penting adalah toleransi sel T CD4+ dan terjadi pada jauh dibawah ambang antigen
daripada untuk sel B dan CD8+.
a. Toleransi Sentral
Toleransi sentral adalah mekanisme dimana sel T dan sel B yang baru berkembang
dijadikan non-reaktif terhadap self. Toleransi sentral berbeda dari toleransi perifer yaitu
terjadi saat sel imun berkembang di organ limfoid primer (timus dan bone marrow),
sebelum diekspor ke perifer. Toleransi perifer terjadi ketika sel mencapai perifer dengan
sel T regulator. Sel T regulator dapat dianggap sebagai mekanisme toleransi sentral dan
toleransi perifer, karena sel T-reg dapat dihasilkan dari sel T self(atau asing)-reaktif pada
timus (saat diferensiasi sel T), namun dapat juga berusaha menekan imun di perifer pada
sel T self(atau asing)-reaktif lain.
Toleransi Sentral T
Sel T dipilih untuk pertahanan lebih kuat daripada sel B. Sel T menjalani seleksi
baik positif m aupun negative untuk memproduksi sel T yang mengenali molekul self
–major histocompatibility complex (MHC) tapi tidak mengenali peptida self. Toleransi
sel T diinduksi di timus.
Seleksi positif terjadi di korteks timus. Proses ini secara primer dimediasi oleh sel
epithelial timus, yang kaya (jumlahnya banyak) pada permukaan molekul MHC. Jika
sel T yang matur mampu berikatan dengan permukaan molekul MHC pada timus, sel
T akan selamat dari apoptosis; sel yang gagal mengenali MHC di sel epithelial timus
akan mati. Dengan demikian, seleksi positif memastikan bahwa sel T hanya mengenali
antigen dalam hubungannya dengan MHC. Hal ini penting karena salah satu fungsi
primer sel T adalah untuk mengidentifikasi dan merespon sel host yang terinfeksi
sebagai lawan pathogen ekstraseluler. Proses seleksi positif juga menentukan apakah
sebuah sel T akhirnya menjadi sel CD4+ atau sel CD8+: sebelum seleksi positif, semua
thymocytes merupakan ganda positif (CD4+ CD8+) i.e. menanggung co-reseptor
keduanya. Selama seleksi positif sel T berubah menjadi sel T CD4 + CD8- atau CD8 +
CD4- tergantung pada apakah mereka mengenali MHC II atau MHC I, masing-masing.
2
Sel T juga dapat mengalami seleksi negatif dalam proses sejalan dengan induksi
toleransi self dalam sel B, yang terjadi di korteks, di persimpangan cortico-meduler,
dan medula (dimediasi di medula didominasi oleh sel epitel thymus medula ( mTECs)
dan sel dendritik). mTec memperkenalkan "self" antigen untuk mengembangkan sel T
dan memberi sinyal kepada sel T yang bersifat “self reaktif” untuk mati melalui melalui
apoptosis dan dengan demikian dihapus dari repertoar sel T. Proses ini sangat
tergantung pada ekspresi ektopik dari antigen spesifik jaringan (TSAs) yang
dikendalikan oleh regulator transkripsi seperti AIRE dan Fezf2.
Delesi klonal sel T di timus tidak dapat mengeleminasi setiap sel T yang berpotensi
self-reaktif; Sel T yang mengenali protein yang hanya ditemukan di tempat lain di tubuh
atau hanya pada waktu perkembangan tertentu (misalnya setelah pubertas) harus
dinonaktifkan di perifer. Selain itu, banyak sel T self-reaktif yang berkemungkinan
tidak memiliki afinitas yang cukup (kekuatan mengikat) untuk menghapus self antigen
dalam timus.3
Sel T regulasi adalah grup sel T lain yang maturasi di timus, mereka juga terlibat
dengan regulasi sel imun.
Toleransi Sentral Sel B
Bahkan ketika sel B self-reaktif mature bertahan utuh, sel B reaktif ini akan sangat
jarang diaktifkan. Hal ini karena sel B perlu sinyal co-stimulasi dari sel T serta
kehadiran antigen yang dikenal untuk berkembang biak dan menghasilkan antibodi
(toleransi perifer). Jika sel B perifer mature menghadapi antigen multivalent (contoh:
permukaan sel) sel dieliminasi dengan apoptosis. Jika sel B matang mengenali soluable
antigen dalam perifer dengan tidak adanya bantuan sel T, sel permukaan reseptor IgM
dan menjadi anergik.3
Toleransi Perifer Sel T
Anergi
Sel T-reg juga dapat mengeskpresikan receptor CD25 dengan jumlah yang tinggi.
Receptor dapat berikatan dengan interleukin-2 (IL-2), yang merupakan sitokin kunci
untuk pertahanan dan fungsi sel T-reg. Terdapat sitokin lain yang memerankan peran
penting pada generasi sel T dengan kemungkinan dapat mestimulasikan pengeskpresian
FoxP3. Sitokin ini disebut jua dengan transforming growth factor-beta (TGF-β). TGF-
β dan IL-10 merupakan sitokin yang diproduksi oleh sel T regulator untuk menginhibisi
sel T akan tetapi mekanisme pastinya masih belum diketahui.
Apoptosis
Delesi limfosit self-reactive pada thymus dan perifer dijalankan melalui kematian
sel apoptosis. Apoptosis terjadi karena sel T memiliki afinitas terhadap self-antigen
yang tinggi. Kedua jalur apoptosis yang dimediasi baik oleh Fas- dan Bim penting
untuk limfosit self-reactive pada perifer. Walaupun signaling “death receptor” yang
diperantarai oleh Fas- dan signaling apoptosis yang diatur oleh BCL 2 secara mekanis
berbeda, tetapi kedua jalur ini berkoordinasi dan bekerja sama dalam membunuh
limfosit T yang distimulasi secara kronis oleh self-antigens in vivo.
3. Etiologi Autoimunitas
- Imunoglobulin;
- T-sel reseptor ;
- Mayor Histocompatibility Complex(MHC).
Alel HLA meningkatkan risiko dalam perkembangan penyakit tertentu, tetapi alel HLA
sendiri tidak menyebabkan penyakit tersebut. Hal ini telah dibuktikan pada beberapa orang
yang mempunyai alel HLA tidak mengembangkan penyakit ini, maka dari itu alel HLA
bukan merupakan penyebab penyakit tetapi dapat meningkatkan risiko dalam
mengembangkan penyakit. Salah satu alasan alel MHC dapan menyebabkan perkembangan
autoimunitas adalah karena alel MHC efisien dalam mempresentasikan self-antigen.
Presentasi self-antigenn dapat menyebabkan seleksi negative sel T yang defektif, atau
presentasi self-antigen idak dapat menstimulasi sel T-reg.
Hormone seks seperti estrogen, testosterone dan progesterone dipercaya untuk mediasi
banyak perbedaan berdasarkan gender pada respon imun dan untuk menghitung perbedaan
gender pada prevalensi penyakit autoimun. Estrogen dan androgen secara langsung
mempengaruhi respon imun dengan interaksi reseptor hormone pada sel imun. Demikian
juga, reseptor sitokin (seperti IL-1R, IL-18R) ditemukan pada jaringan yang memproduksi
hormon, ditandai dengan regulasi bi-directional pada respon imun. Factor lain yang harus
diperhatikan saat memeriksa perbedaan gender adalah efek hormone seks pada target organ
atau jaringan. Sebagai contoh, reseptor estrogen dan/atau reseptor androgen di hati
ditemukan tidak hanya pada sel imun infiltrasi tapi juga dalam/pada otot jantung, otot halus,
dan sel endothelial. Interaksi yang tepat antara hormone dan respon imun alami seletah
infeksi baru saja mulai dimengerti. Walaupun penyakit autoimun menunjukkan terjadi pada
lebih banyak wanita, studi pada efek estrogen pada fungsi imun masih kontradiksi.
Estrogen menstimulasi produksi antibody (dan autoantibody) oleh sel B. estrogen juga
memperlihatkan peningkatan IL-4, IL-10 dan TGF-level dan untuk meningkatkan ekspresi
CD80 dan Foxp3, yang meningkatkan populasi CD4+Tim-3+CTLA4+ dan
CD4+CD25+Foxp3+Treg klasik. Walaupun estrogen saat periovulatory tinggi untuk level
kehamilan menghambat sel T manusia dak tikus, itu memiliki efek berlawanan pada dosis
rendah. Selanjutnya, estrogen menghambat produksi TNF-α dari sel mononuclear darah
perifer yang diperoleh dari laki-laki atau wanita hanya jika itu diatur dengan
lipopolisakarida, ligan untuk TLR4 tapi memiliki efek yang berbeda jika estrogen diatur
tanpa lipopolisakarida.
Estrogen menstimulasi produksi IFN-γ dari sel T tapi menghambat INF-γ dari makrofag
dan sel dendrit. Dengan demikian, peran estrogen sebagai inhibitor akan menjadi sangat
penting selama imunitas alami ketika penyakit autoimun mulai terjadu, seperti yang terjadi
pada EAE. Selain itu, estrogen telah ditemukan dapat meningkatkan fibrosis karena
kemampuannya untuk merangsang IL-4, TGF-β, dan fibroblast growth factor. Secara
keseluruhan, studi ini menunjukkan bahwa pada dosis tinggi dan/atau selama respon imun
alami terhadap infeksi atau estrogen ajuvan menghasilkan anti-inflamasi, respon Th2
profibrotik.
DAFTAR PUSTAKA
1. Baratawidjaja, Karnen Garna. Iris Rengganis. “ Imunologi dasar (edisi ke-11)”. 2014.
Jakarta : FK UI
2. Page LM; Du Toit DF; Page BJ, “Understanding Autoimmune Disease – a review
article for the layman”, University of Stellenbosch, Western Cape, RSA.
3. Charles A Janeway; Paul Travers; Mark Walport; Mark Shlomchik (2001),
Immunobiology: The Immune System In Health And Disease (5th ed.), Garland
Publishing.
4. Thomas J. Kindt; Barbara A. Osborne; Richard A. Goldsby (2006), Kuby Immunology
(6th ed.), W. H. Freeman.
5. Halverson R; Torres; Pelanda R (2004), "Receptor editing is the main mechanism of B
cell tolerance toward membrane antigens", Nat Immunol. 5 (6): 645–50.