PENDAHULUAN
Imunosupresan adalah keiompok obat yang digunakan untuk menekan respons imun
seperti pencegah penolakan transplantasi, mengatasi penyakit autoimun dan mencegah
hemolisis Rhesus pada neonates. Sebagian dari kelompok obat ini bersifat sitotoksik dan
digunakan sebagai antikanker
1.1 RESPONS IMUN
Masuknya organisme atau benda asing ke dalam tubuh akan menimbulkan
berbagai reaksi yang bertujuan menghancurkan atau menyingkirkan benda
penggangu tersebut. Pada makhluk tingkat tinggi seperti hewan vertebrata dan
manusia, terdapat dua sistem pertahanan (imunitas), yaitu imunitas nonspesifik
(innate immunity) dan imunitas spesifik (adaptive immunity).
lmunitas non spesifik merupakan mekanisme pertahanan terdepan yang meliptiti
komponen fisik berupa.keutuhan kulit dan mukosa komponen biokimiawi seperti
asam lambung, lisozim, kompenen dan komponen seluler nonspesifik seperti netrofil
dan makrofag. Netrofil dan makrofag melakukan fagositosis terhadap benda asing
dan memproduksi berbagai mediator untuk menarik sel-sel inflamasi lain ke daerah
infeksi. Selanjutnya benda asing akan dihancurkan dengan mekanisme inflamasi.
lmunitas spesifik memiliki karakteristik khusus, antara lain kemampuannya
untuk bereaksi secara spesifik dengan antigen tertentu kemampuan membedakan
antigen asing dengan antigen sendiri (nonself vs self) dan kemampuan untuk bereaksi
lebih cepat dan lebih efisien terhadap antigen yang sudah dikenal sebelumnya.
Respons imun spesifik ini terdiri dari dua sistem imunitas utama, yaitu imunitas
seluler dan imunitas humoral. lmunitas seluler melibatkan sel limfosit T, sedangkan
imunitas humoral melibatkan limfosit B dan sel plasma yang berfungsi memproduksi
antibodi.
1.2 AKTIVITAS RESPONS IMUN SPESIFIK
Aktivasi sistem imun spesifik memerlukan partisipasi kelompok sel yang disebut
sebagai antigen presenting cell (APC), diantaranya sel makrofag, sel dendritik, sel
Langerhans, dan sel limfosit B. Tahap paling awal aktivasi sistem imun adalah
fagositosis/intemalisasi antigen oleh sel APC, dilanjutkan dengan proses proteolisis
menghasilkan peptida dengan 8-14 asam ·amino. Antigen yang sudah diolah ini
selanjutnya digabungltan dengan protein khusus yang disebut MHC (major
histocompatibility complex). Kornpleks antigen-MHC ditampilkan di permukaan sel
APC untuk kemudian ditangkap oleh reseptor sel T (CD4). Terdapat dua kelompok
MHC, yaitu MHC kelas I (HLA-A, B,dan C) yang dapat dikenali oleh sel limfosit T
sitotoksik (CD8), dan MHC kelas II (HLA-DR, DP, dan DQ) yaitu dikenali oleh sel
limfosit T Helper (CD4). Sel T Helper (CD4) yang teraktivasi akan memproduksi
berbagai sitokin, terutama interleukin-2 (IL-2) yang berperan niengaktifkan sel T-
Helper 1(TH1 ) dan sel T-Helper 2 (TH2). TH1 menghasilkan interferon gama (IFN-
y), interleukin 2 (IL-2), dan tumor necrosis factor-p (TNF-p), yang nantinya akan
mengaktifkan sel T sitotoksik (CDS), makrofag, dan sel natural killer (NK) untuk
respon imunitas seluler. Sedangkan sel TH2 menghasilkan IL-4,5,6 dan 10, yang
nantinya mengaktifkan sel B menjadi sel plasma penghasil antibodi.
Terdapat slstem umpan balik negatif antara TH1 dim TH2. IL-10 yang dihasilkan
TH2 memberi umpan balik negatif untuk TH1 dengan cara menghambat ekspresi
MHC II oleh sel APC, sedangkan IFN-y yang dihasilkan TH1 memberi umpan balik
negatif untuk TH2. Sebagian sel B dan sel T yang sudah teraktivasi akan disimpan
sebagai sel memori yang nantinya dikerahkan untuk respons sekunder.
Respons terhadap antigen ekstrasel terjadi melalui kerja TH2 yang berakhir pada
pembentukan antibodi netralisasi. Sebaliknya, respons terhadap organisme intrasel
seperti mikobakterium berkaitan dengan TH 1 yang berakhir pada aktivasi sel
makrofag. Sel T sitotoksik mengenal peptida yang disajikan oleh sel-sel yang
terinfeksi virus. Sel NK dapatmengenal dan menghancurkan sel-sel tumor dan sel-sel
yang terinfeksi.
Kedua sistem tesebut mempunyai spesifisitas yang tinggi yang diarahkan pada
epitop antigen yang terdapat pada mikroorganisme, transplan, sel kanker, atau sel
autolog (autoimunitas). Komponen seluler yang terlibat dalam respons imun.
Berbagai sitokin diproduksi oleh sel-sel yang terlibat dalam respons imun dan
menempati posisi penting dalam inisiasi dan regulasi respons imun.
1.3 INDIKASI IMUNOSUPRESAN
lmunosupresan digunakan untuk tiga indikasi utama yaitu, transplantasi organ,
penyakit autoimun, dan pencegahan hemolisis Rhesus pada neonatus.
1. Transplantasi organ
lmunosupresan sangat diperlukan untuk mencegah reaksi penolakan
transplantasi. Pada awalnya obat yang digunakan adalah sitotoksik nonspesifik
(azatioprin dan siklofosfamid) dan kortikosteroid. Selanjutnya ditemukan
siklosporin, takrolimus, dan yang lebih baru lagi, mikofenolat mofetil.
Obat sitotoksik nonspesifik menimbulkan efek imunosupresan dengan
cara menghambat proliferasi limfosit. Sayangnya, obat-obat ini juga menekan
pertumbuhan sel-sel yang cepat berkembang seperti sumsum tulang dan mukosa
saluran cerna. Hal ini dapat menyebabkan efek samping seperti rneningkatnya
risiko infeksi dan supresi sumsum tulang. Penambahan kortikosteroid akan
menambah risiko infeksi dan risiko efek samping lainnya. Siklosporin dan
takrolimus memiliki efek samping yang jauh lebih ringan dari imunosupresan
jenis sitotoksik. Siklosporin sangat membantu meningkatkan keberhasilan
transplantasi.
Paduan obat yang sering digunakan untuk transplantasi berbagai organ
(ginjal, sumsum tulang, hati, jantung dan pankreas) menggunakan siklosporin dan
prednison. Azatioprin juga digunakan sebagai kombinasi kedua obat di atas,
terutama untuk transplantasi ginjal dan jantung. Untuk mengatasi penolakan
jaringan akut umumnya digunakan imunoglobulin antilimfosit, imunoglobulin
antitimosit, dan antibodi monoklonal terhadap CD3 (muromonab CD3). Selain
itu, antibodi monoklonal juga digunakan dengan tujuan membersihkan sumsum
tulang dari sel-sel ganas atau dari sel T yang menjadi penyebab penolakan
transplantasi.
2. Pencegahan Hemolisis Rhesus Pada Neonatus.
Eritroblastosis fetalis terjadi bila seorang ibu Rhesus negatif mengandung
bayi Rhesus positif. Darah bayi yang rnengandung antigen D dapat masuk .ke
sirkuiasi ibu pada waktu persalinan atau bila ada solusio plasenta, atau kehamilan
ektopik. Proses ini akan menyebabkan ibu membentuk antibodi terhadap eritrosit
Rh(+). Pada kehamilan selanjutnya, antibodi terhadap Rh(+) akan semakin
meningkat dengan risiko transfer antibodi ke sirkulasi janin terutama pada
trimester akhir dan menyebabkan hemolisis pada janin (eritroblastosis fetalis).
Untuk pencegahan eritroblastosis fetalis, antibodi Rh(D) diberikan pada ibu Rh(-)
dalam waktu 72 jam setelah melahirkan.
3. Pengobatan Penyakit Autoimun.
Penyakit autoimun berkembang bila sistem imun mengalami sensitlsasl
oleh protein endogen dan menganggapnya sebagai protein asing. Hal ini
rnerangsang pembentukan antlbodl atau perkernbangan sel T yang dapat bereaksi
dengan antigen endogen ini. Efektivitas terapi imunosupresan bervariasi
tergantung dari jenis penyakit, dan umurnnya kurang efektif dibanding dengan
pencegahan reaksi transplantasi atau pencegahan reaksi hemolitik Rhesus.
Berbagal penyakit autoimun seperti ITP (Idiopathic thrombocytopenic
purpura), anemia hemolitik autoimun, dan glomerulonefritis akut, umumnya
memberi respons cukup baik terhadap pemberian prednison saja. Untuk kasus
berat diperlukan penambahan obat sitotoksik.
2.4 ANTIBODI
Antibodi poliklonal dan monoklonal terhadap antigen yang ada di permukaan
limfosit digunakan secara luas untuk mencegah penolakan transplantasi dan pada
berbagai penyakit autoimun. Antibodi poliklonal dihasilkan dengan cara injeksi
berulang sel timosit (menghasilkan antithymocyte globulin, ATG) atau limfosit
(menghasilkan antilymphocyte globulin, ALG) pada hewan seperti kuda, kelinci,
domba, kambing. Antibodi poliklonal sangat efektif, namun efektivitas dan
toksisitasnya sangat bervariasi dari satu batch ke batch yang lain. Dengan cara
hibridoma dapat dihasilkan antibodi monoklonal yang lebih spesifik untuk antigen
tertentu. Teknik ini dapat mengatasi masalah variabilitas efek seperti pada antibodi
poliklonal, nam1m spektrum penggunaannya lebih terbatas.
ANTIBODI POLIKLONAL
Antlthymocyte globulin (ATG) merupakan antibodi poliklonal yang dapat
berikatan pada berbagai molekul permukaan limfosit T (CD2, CD3, C04, CDS,
CD11 a, CD18, CD25, CD44, CD45), dan molekul HLA kelas I dan II. Efek utama
ATG adalah mengurangi jumlah limfosit karena efek sttotoksik langsung,
menghambat fungsi limfosit dan menekan respons imun sel T. ATG umumnya
digunakan untuk mengobati reaksi penolakan t1'81'lsplantasi ginjal, jantung atau
organ lain. Juga digunakan sebagai profilaksis sebelum transplantasi.
Dosis untuk transplantasi adalah 1,5 mg/kgBB/ hari (dalam infus 4-6 jam) selama
7-14 hari. Jumlah sel T biasanya mulai turun pada hari kedua.
Efek samping yang relatif sering adalah serum sickness dan nefritis. Efek samping
lain meliputi demam, menggigil, leukopenia, trombosltopenia dan ruam kulit.
Kadang-kadang bisa terjadi reaksi anafilaksis.
ATG tersedia dalam sediaan 25 mg/vial untuk suntikan IV. Biasanya diberikan
melaiui vena sentral dengan dosis .10-30 mg/kgBB. Waktu paruh lebih kurang 3-9
hari
lmunoglobulin /ntravena (IGIV). IGIV tnerupakan imunoglobulin yang berasal dari
darah donor dengan titer antibodi yang tinggi terhadap antigen tertentu seperti virus
tlan toksin. Diharapkan kumpulan berbagai antibodi ini memiliki efek netralisasi
terhadap sistem imun pasien. IGIV dosis besar (2 g/kgBB), terbukti efektif untuk
bebagai keadaan seperti asma dan penyakit imun lainnya. Pada penyakit Kawasaki,
IGIV terbukti aman dan efektif, mengurangi inflamasi sistemik dan dapat mencegah
aneurisma arteri koroner. IGIV juga efektif pada SLE dan ITP yang refrakter
terhadap kortikosteroid. Mekanisme kerjanya diduga berdasarkan pengurangan
jumlan sel T helper, peningkatan jumlah sel T supresor, dan mengurangi produksi
imunoglobulin. Walaupun mekanisme kerjanya belum pasti, tapi obat ini terbukti
efektif pada berbagai kondisi klinis. IGIV tersedia untuk pengobatan respiratory
sinctitial virus, ·sitomegalovirus, varisella zoster, human herpes virus 3, hepatitis B,
rabies, dan tetanus
Tersedia dalam larutan 5 dan · 10%, dan bubuk 2,5 g, 5 g, 10 g, dan 12 g, untuJ<
injeksi.
ANTIBODI MONOKLONAL
Anti CD3 (Muromonab CD3, atau. OKT3). Antibodi spesifik te.rhadap antigen
CD3 di permukaan sel limfosit T sudah digunakan sejak tahun 1980-an pada
transplantasi organ, dari terbukti sangat efektif.
Muromonab CD3 berikatan dengan molekul COO, yaitu komponen reseptor sel T
yang berperan pada fase pengenalan antigen. Oleh karena itu, obat ini bekerja pada
fase yang sarigat dini dari respons imun. Pemberian Muroinonab CD3 mencegah
pengenalan antigen. Efek yang terlihat adalah deplesi sel T secara cepat dari sirkulasi
dan organ limfoid yang agaknya merupakan efek dari kematian sel T akibat aktivasi
komplemen dan juga akibat redistribusi sel T ke jaringan nonlimfoid seperti paru-
paru, dan endotelium vaskular. Sel T yang muncul selanjutnya tidak memiliki
molekul CD3 dan antigen recognition
site. Efek ini mencegah penolakan transplantasi. Muromonab CD3 juga berikatan
dengan limfosit T dan menurukan fungsi sel T yang masih tersisa, seperti terlihat dari
berkurangnya produksi iL-2, dan berbagai sitokin lain, kecuali mungkin IL-4 dan IL-
10.
Penggunaan klinis. Antibodi ini digunakan pada transplantasi ginjal, hati, dan
jantung. Selain itu juga digunakan untuk mengurangi jumlah sel T sebelum
transplantasi sumsum tulang. Dosis yang dianjurkan adalah 5 mg/hari, iv: dalam
dosis tunggal, selama 10-14 hari. Efek samplng yang mungkin terjadi antara lain
cytokine release syndrome, yang dapat terjadi pf:lda dosis awal .dan -Oervariasi
mulai dari flu like syndrome . sampai syok berat yang mengancam nyawa. Efek
samping ini berkaitan dengan peningkatan kadar sitokin dalam serum (TNF-a, IL-2,
IL-6, daA IFN-y) yang dihasilkan oleh sel T dan monosit yang teraktivasi. Risiko ini
dapat dikurangi dengan pemberian kortikosteroid 1-4 jam sebelumnya.
Efek samping SSP meliputi rasa pusing, kejang, ensefalopati, edema serebral,
meningitis aseptik, dan sakit kepala. Efek rebound berupa penolakan transplantasi
dapat terjadi setelah penghentian Muronab CD3. Antibodi anti-CD3 generasi terbaru
dihasilkan dengan cara humanisasi antibodi, artinya penggabungan antibodi yang
diproduksi dari hewan dengan fraksi Fe dari imunoglobulin manusia. Cara
ini mengurangi risiko cytokine 'release syndrome.
Obat ini tersedia dalam ampul 5 mg/5 ml. Rho (D) Immune Globulin. Rh(D)
immune globulin {RHOGAM, GAMULIN) merupakan antibodi spesifik terhadap
antigen Rhesus di permukaan eritrosit. Data farmakokinetik antibodi ini belum
lengkap waktu paruh diperkirakan 21-29 hari dan pemberian secara IM. Rh<(D)
immune globulin digunakan pada ibu Rhesus negatif untuk mencegah sensitisasi
terhadap antigen Rhesus yang berasal dari janin.
ANTIBODI MONOKLONAL LAIN. Saal ini terdapat berbagai antibodi
monoklonal spesifik terhadap antigen tertentu antara lain:
Trastuzumab. Antibodi spesifik terhadap reseptor EGF (HER-2/neu receptor)
yang digunakan pada kanker payudara metastatik pada pasien dengan ekspresi HER-
2/neu berlebihan.
Rituksimab. Merupakan antibodi monoklonal (lgG1) yang mengikat CD20 sel
normal dan sel limfosit B ganas. Obat ini digunakan untuk limfoma non Hodgkin
derajat rendah atau jenis . folikuler yang relaps atau refrakter terhadap pengobatan.
Daklizumab dan Basiliksimab. Merupakan lgG1 yang spesifik terhadap CD25
{subunit alfa dari IL-2) dan berfungsi menghambat ikatan IL-2 pada limfosit yang
teraktivasi, sehingga secara keseluruhan menghasilkan efek imunosupresi.
Absiksimab adalah fragmen Fab yang berfungsi mengikat reseptor GPllb/llla
pada permukaan trombosit. Obat ini menghambat ikatan fibrinogen dan faktor von
Willebrand dengan trombosit sehingga menghambat agregasi trombosit. lnfliksimab
(etanercept) dan adalimumab, · mempunyai efek mengikat TNF-a dan menghambat
aktivasi sitokin lain seperti IL-1 , IL-6, dan molekulmolekul adesi yang berperan
pada migrasi dan aktivasi leukosit. Etanercept digunakan untuk pengobatan artritis
rematuid dan artritis . psoriatik, dan dapat digunakan dalam kombinasi dengan
metotreksat.
3. IMUNOSTIMULAN
lmunostimulan ditujukan untuk perbaikan fungsi imun pada kondisi-kondisi
imunosupresi. Kelompok obat ini dapat mempengaruhi respon imun seluler maupun
humoral. Kelemahan obat ini adalah efeknya yang meyeluruh dan tidak bersifat spesifik
untuk jenis sel atau antibodi tertentu. Selain itu, efeknya umumnya lemah. lndikasi
penggunaan imunostimulan antara lain AIDS, infeksi kronik, dan keganasan, ten,itama
yang melibatkan sistem limfatik.
3.1 ADJUVAN NATURAL
Bacillus Calmett6-Guerln (BCG). BCG dan komponen aktifnya (dipeptida
muramil) merupakan produk bakteri yang memiliki efek imunostimulan. BCG
mengandung Mycobacterium bovis yang dilemahkan. Saat ini tersedia tiga bentuk
sediaan BCG, yaitu live unlyophilized, live lyophilized, dan killed lyophilized.
Pemberian dapat secara intradermal, intravena, in ralesi, intravesika, atau secara oral
atau dengan goresan. BCG terutama ber~f~k pada selT, dari juga pada sel NK.
Walaupun su'(!ati diC9ba untuk berbagai neoplasma, efek yang cukup' nyata terliha.t
pada kanker kandung kemih · dengan pemberian intravesika. Efek samping meliputi
reaksi hipersensitivitas, syok, menggigil, lesu, dan penyakit komplek imun.
Isoprinosin (lnosipleks). lsoprinosin memiliki efek imunoniudulator pada
beibagai studi praklinik dan klinik. Obat ini meriingkatkan fungsi sel NK dan fungsi
sel T dan monosit. Obat ini disetujui pengguniiannya untuk berbagai penyakit
imunodefisiensi di beberapa negara Eropa, tapi tidak di Amerika. Beroagai derivat
sintetiknya sedang dalam penyelidikan untuk AIDS dan berbagai neoplasma. Obat
ini dilaporkan mengurangi risiko infeksi pada HIV tahap lanjut. Namun, bukti klinik
yang meyakinkan sangat langka. Obat ini tidak aktif pada tahap awal HIV, dan
periggunaannya untuk tujuan ini belum disetujui. ·
Levamisol. Levamisol merupakan obat yang tadi nya digunakan untuk membasmi
berbagai jenis cacing. Studi selanjutnya mernbuktikan bahwa levamisol memiliki
efek imunostimulan pads hewan coba dan manusia karena kemampuannya.
meningkatkan meningkatkan imunitas seluler. Pada penyakit Hodgkin, levamisol
dilaporkan dapat meningkatkan jumlah sel T in vitro dan memperbaiki reaktivitas tes
kulit. Levamisol juga sudah digunakan pada artritis rematoid, dan sebagai adjuvan
pada terapi kanker kolorektal, dan ter1ihat adanya efek potensiasi terhadap
fluorourasil (5-FU). Pada pemberian oral obat ini diabsorpsi dengan cepat dan
lengkap dengan kadar puncak 1-2 jam setelah pemberian. Obat ini didistribusi luas
ke berbagai jaringan dan dimetabolisme oleh hati. Metabolitnya diduga beri)eran
dalam efek imunostimulan. Waktu paru levamisol kira-kira 4 jam, sedangkan waktu
paruh metabolitnya 16 jam. Efek samping antara lain flu-like syndrome dan
agranulositosis . yang kadang-kadang memer1ukan penghentian obat. Tersedia dalam
benfuk tablet-25, 40, dan 50 mg.
Talidomid. Talidomid pada awalnya digunakan sebagai seciatif pada wanita
hamil, namun karena banyaknya kejadian fokomelia berkaitan dengan obat ini, maka
pemakaiannya pada wanita hamil dilarang. Belakangan peranan talidomid dievaluasi
lagi karena memiliki efek imunosupresan. Sekarang ini talidomid digunakan pada
transplantasi sumsum tulang dan untuk mengatasi reaksi eritema nodosum
leprosumm Obat ini tersedia dalam bentuk kapsul 5o mg.
Leflunomid (Arava); Leflunomid merupakan produg yang dalam tubuh diubah
menjadi IT'etabolit aktif dan bekerja menghambat pirimidin sintetase. Obat ini aktif
pada pemberian per . oral derigan waktu paruh beberapa mir\ggu. Oleh karena itu,
obat ini diberikan dengan dosis muat (laading dose) sampai tercapai kadar mantap;.
Selanjutnya diberikan dengan dosis sekali seharL Penggunaannya masih terbatas
untuk artritis rematoid.
Efek samping meliputi peningkatan enzim hati, ganguan fungsi ginjal, dan efek
teratogenik. Pemah dilaporkan adanya efek samping kardiovaskular berupa angina
dan takikardia. Obat ini tersedia dalam bentuk tablet 10, 20, dan 100 mg,
dan dikontraindikasikan pada kehamilan.
3.2 SITOKIN
Sitokin merupakan kelompok protein yang diproduksi oleh leukosit dan sel-sel
yang berkaitan, dan memiliki peranan khusus qalam sistem imun dan hematopoesis.
Sitokin yang sering digunakan di klinik antara lain IL-2, IFN, dan colony stimulating
factor (CSF).
lnterleukin-2. IL-2 d,isebut juga T cell growth factor karena kemampuannya
merangsang produksi set T helper dan set T sitotoksik. ~ekarang.ini· tersedia , dalam
bentuk rekombinan. IL-2 berikatan dengan reseptor di i)ermlfkaan sel-sel yang
berfungsi mengaktifkan prolifeiresi dart diferensiasi sel T helper dan T sitotoksik.
Selain itu, juga merangsang proliferasi dan diferensiasi sel B, makrofag, dan
meningkatkan toksisitas set NK. IL-2 digunakan secara IV atau infus kontinyu, SK,
dan IM. Data farmakokinetik saat ini belum lengkap. Aktivitas antitur'nor IL-2
terlihat pada jenis melanoma metastatik dan. karsinoma sel ginjal.
Efek samping IL-2. antara lain hipotensi berat dan toksisitas kardiovaskular.
Edema paru yang berkaitan dengan dosis dapat terjadi akibat sindrom rembesan
kapiler. Pada ginjal dapat meningkatkan kreatinin, dan pada sistem hematologi
menimbulkan supresi sumsum tulang. Pada .SSP dapat menimbulkan somrnolen atau
delirium. Dapat juga terjadi peradangan pada kulit terutama setelah pemberian
subkutan.
Interferon. Interferon (IFN) merupakan protein yang terdiri dari tiga kelompok,
IFN-a, IFN-p. dan IFN-iy. IFN-a dan IFN-P merupakan famili IFN tipe I yang
bersifat tahan asam dan bekerja pada reseptor yang sama. IFN tipe I biasanya
diinduksi oleh : infeksi virus. Leukosit memproduksi IFN-a, fibroblas dan sel
epltelial memproduksi IFN-p. IFN-iy merupakan IFN tipe II yang tidak tahan asam
dan bekerja pada reseptor yang berbeda. IFN-iy biasanya dihasilkan oleh limfosit T.
IFN menimbulkan efek yang bervariasi tergantung darl jenis IFN dan sel targetnya.
IFN, terutama IFN-iy, memiliki sifat meningkatkan respons lmun yang meliputi
presentasi antigen, dan aktivasi makrofag, sel NK, dan limfosit T sltotoksik. IFN juga
menghambat proliferasi sel. Dalam hal ini IFN-a dan IFN-p lebih poten dari pada
IFN-iy. Efek lain darl IFN adatah meningkatkan ekspresi MHC di permukaan sel.
Ketiga jenis IFN merangsang ekspresi MHC I, tapi hanya IFNy yang merangsang
ekspresi MHC II. Di dalam sel glia, IFN-p menghambat efek ini, .dan dapat menekan
penyajian antigen oleh sel dalam sistem saraf.
Dalam kilinik, IFN digunakan pada berbagai kanker seperti melanoma, karsinoma
sel ginjal, leukemia mielositik kronik, hairy cell leukemia, dan Kaposi's sarcoma.
IFN-a dalam kombinasi dengan ribavirin digunakan pada hepatitis C. Penelitian
tentang efek IFNp pada multipel sklerosis memberi harapan adanya perbaikan.
Efek samping IFN meliputi demam, menggigil, lesu, mialgia, mielosupresi, sakit
kepala, dan depresi.
Colony Stimmuiatlng Factors (CSF). Granulocyte colony stimulating factor (G-
CSF), seperti fligrastlm dan levograstim telah disetujui penggunannya untuk
mencegah neutropenia akibat kemoterapi kanker. Granulocyte-macrophage colony
stimulating factor (GM-CSF) digunakan untuk penyelamatan kegagalan transplantasi
sumsum tuiang dan untuk mempercepat pemulihan setelah transplantasi sumsum
tulang autolog. Sitokin lain, II., dan JFN-a merupakan yang paling banyak digunakan
dalam terapi.