Anda di halaman 1dari 8

Penggunaan Kortikosteroid sebagai Imunosupresan dan Imunostimulan

Stela Angelia Dj Babua


Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jalan Terusan Arjuna No.6, Kebon Jeruk, Jakarta Barat 11510
Pendahuluan

Imunosupresan adalah kelompok obat yang digunakan untuk menekan respons imun
seperti pencegahan penolakan transplantasi, mengatasi penyakit autoimun dan mencegah
hemolisis Rhesus pada neonates. Sebagian dari kelompok obat ini bersifat sitotoksik dan
digunakan sebagai anti kanker. Imunitas nonspesifik merupakan mekanisme pertahanan terdepan
yang meliputi komponen fisik berupa keutuhan kulit dan mukosa; komponen biokimiawi seperti
asam lambung lisozim, komplemen; dan komponen seluler nonspesifik seperti netrofil dan
makrofag. Netrofil dan makrofag melakukan fagositosis terhadap benda asing dan memproduksi
berbagai mediator untuk menarik sel-sel inflamasi lain ke daerah infeksi. Imunitas spesifik
memiliki karakteristik khusus, anatara lain kemampuannya untuk bereaksi secara spesifik dengan
antigen tertentu; kemampuan membedakan antigen asing dengan antigen sendiri dan kemampuan
untuk bereaksi lebih cepat dan lebih efisien terhadap antigen yang sudah dikenal sebelumnya.
Respons imun spesifik ini terdiri dari dua sistem imunitas utama yaitu imunitas seluler dan
imunitas humoral. Imunitas seluler melibatkan sel limfosit T, sedangkan imunitas humoral
melibatkan limfosit B dan sel plasma yang befungsi memproduksi antibodi.

Pembahasan

1. Indikasi Imunosupresan
Imunosupresan digunakan untuk tiga indikasi utama yaitu, transplantasi organ, penyakit
autoimun, dan pencegahan hemolisis rhesus pada neonatus:1
Transplantasi Organ
Imunosupresan sangat diperlukan untuk mencegah reaksi penolakan transplantasi.
Pada awalnya obat yang digunakan adalah sitotoksik nonspesifik (azatioprin dan
siklofosfamid) dan kortikosteroid. Selanjutnya, ditemukan siklosporin, takrolimus, dan
yang lebih baru lagi, mikofenolat mofetil. Obat sitotoksik nonspesifik menimbulkan efek
imunosupresan dengan cara menghambat proliferasi limfosit. Sayangnya, obat-obat ini
juga menekan pertumbuhan sel-sel yang cepat berkembang seperti sumsum tulang dan
mukosa saluran cerna. Hal ini dapat menyebabkan efek samping seperti meningkatnya
risiko infeksi dan supresi sumsum tulang. Penambahan kortikosteroid akan menambah
risiko infeksi dan risiko efek samping lainnya. Siklosporin dan takrolimus memiliki efek
samping yang jauh lebih ringan dari imunosupresan jenis sitotoksik. Siklosporin sangat
membantu meningkatkan keberhasilan transplantasi.
Paduan obat yang sering digunakan untuk transplantasi berbagai organ (ginjal,
sumsum tulang, hati, jantung, pankreas) menggunakan siklosporin dan prednison.
Azatioprin juga digunakan sebagai kombinasi kedua obat diatas, terutama untuk
transplantasi ginjal dan jantung. Untuk mengatasi penolakan jaringan akut umumnya
digunakan imunoglobulin antilimfosit, imunoglobulin antitimosit, dan antibodi
monoklonal terhadap CD3 (muromonab CD3). Selain itu, antibodi monoclonal juga
digunakan dengan tujuan membersihkan sumsum tulang dari sel-sel ganas atau dari sel T
yang menjadi penyebab penolakan transplantasi.
Pencegahan Hemolisis Rhesus pada Neonatus
Eritroblastosis fetalis terjadi bila seorang ibu rhesus negatif mengandung bayi
rhesus positif. Darah bayi yang mengandung antigen D dapat masuk ke sirkulasi ibu pada
waktu persalinan atau bila ada solusio plasenta, atau kehamilan ektopik. Proses ini akan
menyebabkan ibu membentuk antibodi terhadap eritrosit Rh(+). Pada kehamilan
selanjutnya, antibodi terhadap Rh(+) akan semakin meningkat dengan risiko transfer
antibodi ke sirkulasi janin terutama pada trisemester akhir dan menyebabkan hemolisis
pada janin (eritroblastosis fetalis). Untuk pencegahan eritroblastosis fetalis, antibodi
Rh(D) diberikan pada ibu Rh(-) dalam waktu 72 jam setelah melahirkan.
Pengobatan Penyakit Autoimun
Penyakit autoimun berkembang bila sistem imun mengalami sensitiasi oleh
protein endogen dan menganggapnya sebagai protein asing. Hal ini merangsang
pembentukan antibodi atau perkembangan sel T yang dapat bereaksi dengan antigen
endogen ini. Efektivitas terapi imunosupressan bervariasi tergantung dari jenis penyakit,
dan umumnya kurang efektif dibanding dengan pencegahan reaksi transplantasi atau
pencegahan reaksi hemolitik rhesus. Berbagai penyakit autoimun seperti ITP (idiopathic
thrombocytopenic purpura), anemia hemolitik autoimun, dan glomerulonefritis akut,
umumnya memberi respons cukup baik terhadap pemberian prednison saja. Untuk kasus
berat diperlukan penambahan obat sitotoksik.
1.1 Prinsip Umum Terapi Imunosupresan
Prinsip umum penggunaan imunosupresan untuk mencapai hasil terapi yang optimal
adalah sebagai berikut:2
 Respons imun primer lebih mudah dikendalikan dan ditekan dikendalikan
dengan respons imun sekunder. Tahap awal respons imun primer
mencakup: pengolahan antigen oleh APC, sintesis limfokin, proliferasi dan
diferensiasi sel-sel imun. Tahap ini merupakan yang paling sensitif terhadap
obat imunosupresan. Sebaliknya, begitu terbentuk sel memori, maka
efektivitas obat imunosupresan akan jauh berkurang.
 Obat imunosupresan memberikan efek yang berbeda terhadap antigen yang
berbeda. Dosis yang dibutuhkan untuk menekan respons imun terhadap
suatu antigen berbeda dengan dosis untuk antigen lain.
 Penghambatan respons imun lebih berhasil bila obat imunosupresan
diberikan sebelum paparan terhadap antigen. Sayangnya, hampir semua
penyakit autoimun baru bisa dikenal setelah autoimunitas berkembang,
sehingga relatif sulit diatasi.2
1.2 Obat Imunosupresan
 Kortikosteroid
Kortikosteroid digunakan sebagai obat tunggal atau dalam kombinasi
dengan imunosupresan lain untuk mencegah reaksi penolakan transplantasi
dan untuk mengatasi penyakit autoimun. Prednison dan prednisolon
merupakan glukokortikoid yang paling sering digunakan.
Toksisitas: penggunaan kortikosteroid jangka panjang sering
menimbulkan berbagai efek samping seperti meningkatnya risiko infeksi,
ulkus lambung/duodenum, hiperglikemia, dan osteoporosis.
Kontraindikasi: sebenarnya sampai sekarang tidak ada kontraindikasi
absolut kortikosteroid. Pemberian dosis tunggal besar bila diperlukan selalu
dapat dibenarkan, keadaan yang mungkin dapat merupakan kontraindikasi
relatif dapat dilupakan, terutama pada keadaan yang mengancam jiwa pasien.
Bila obat akan diberikan untuk beberapa hari atau beberapa minggu,
kontraindikasi relatif yaitu diabetes mellitus, tukak peptik/duodenum, infeksi
berat, hipertensi atau gangguan sistem kardiovaskular lain patut diperhatikan.
Efek samping: dapat timbul karena penghentian pemberian secara tiba-tiba
atau pemberian terus menerus terutama dengan dosis besar. Pemberian
kortikosteroid jangka lama yang dihentikan tiba-tiba dapat menimbulkan
insufisiensi adrenal akut dengan gejala demam, mialgia, atralgia, dan
malaise. Insufisiensi terjadi akibat kurang berfungsinya kelenjar adrenal yang
telah lama tidak memproduksi kortikosteroid endogen karena rendahnya
mekanisme umpan balik oleh kortikosteroid eksogen. Gejala ini sukar
dibedakan dengan gejala reaktivasi artritis reumatoid yang sering terjadi bila
kortikosteroid dihentikan. 3
 Penghambat kalsineurin : siklosporin dan takrolimus
Siklosporin dan takrolimus berinteraksi dengan berbagai obat. Pemberian
bersama fenobarbital, fenitoin, trimetropim-sulfametoksazol, rimfapisin,
mempercepat eliminasi dan menurunkan kadar siklosporin, yang dapat
berakibat penolakan transplantasi.
1. Siklosporin efek samping utama gangguan fungsi ginjal yang dapat
terjadi pada 75% pasien yang mendapat siklosporin. Gangguan fungsi
ginjal juga sering menjadi factor utama penghentian pemberian
siklosporin. Toksisitas lain meliputi hipertensi, hepatotoksisitas,
neurotoksisitas, hirsutisme, hyperplasia gingiva, dan toksisitas
gastrointestinal (mual, muntah, diare, anoreksia, dan sakit perut).
2. Takrolimus menunjukan toksisitas yang mirip dengan siklosporin.
Nefrotoksisitas merupakan efek samping utama. Selain itu dapat terjadi
efek samping SSP (sakit kepala, tremor, insomnia), gastrointestinal
(mual, diare), kardiovaskular (hipertensi), metabolik (hiperkalemia,
hipomagnesemia, hiperglikemia). Efek jangka panjang sama dengan obat
imunosupresan yang lain.3
 Sitotoksik: azatioprin, mikofenolat mofetil, siklofosfamid, metotreksat
1. Azatioprin
Azatioprin adalah antimetabolit golongan purin yang merupakan
precursor 6-merkaptopurin.
Efek samping: seperti imunosupresan lain, azatioprin dapat
menghambat proliferasi sel-sel yang cepat tumbuh seperti mukosa usus
dan sumsum tulang dengan akibat leukopenia dan trombositopenia.
Ruam kulit, mual, muntah, dan diare juga dapat terjadi. Pernah
dilaporkan hepatotoksisitas dengan peningkatan enzim transaminase,
dan kolestasis. Efek samping lain adalah peningkatan risiko infeksi
dan efek mutagenisitas dan karsinogenisitas.
2. Mikofenolat mofetil
Mikofenolat mofetil merupakan derivat semisintetik dari asam
mikofenolat yang di isolasi dari jamur Penicillium glaucum.
Efek samping: gangguan gastrointestinal (mual, muntah, diare, sakit
perut) dan mielosupresi (terutama netropenia). Tersedia dalam bentuk
kapsul 250 mg, tablet 500 mg, dan bubuk 500 mg untuk injeksi.
3. Siklofosfamid
Siklofosfamid merupakan alkilator golongan mustar nitrogen yang
menyebabkan alkilasi pada DNA sehingga menghambat sintesis dan
fungsi DNA. Sel B dan T sama-sama dihambat oleh siklofosfamid,
walaupun toksisitas lebih besar pada sel B. Oleh karena itu, efek obat
ini lebih nyala pada penekanan imunitas humoral.
Toksisitas: pemberian dosis besar dikaitkan dengan efek samping
sistitis hemoragik, kardiotoksisitas, dan pansitopenia berat.
Leukopenia berat terjadi pada hari ke 10-12 setelah pengobatan dan
pemulihan pada hari 17-21. Sistitik hemoragik dapat terjadi dengan
angka kejadian 20% pada anak dan 10% pada dewasa. Efek toksik ini
sukar diatasi dan mungkin fatal, maka sebaiknya obat ini di
kontraindikasikan pada pasien yang mengalami sistitis hemoragik.
Obat ini juga menyebabkan anoreksia, disertai mual dan muntah.
Sesekali terjadi amenore, stomatitis aftosa, hiperpigmentasi kulit,
enterokolitis, ikterus, dan hipoprotrombinemia. Dosis siklofosfamid
harus dikurangi sebanyak sepertiga sampai setengahnya, bila diberikan
pada pasien dengan gangguan fungsi sumsum tulang, penggunaan
pada trimester pertama kehamilan harus dihindarkan karena obat ini
potensial bersifat teratogenik.
4. Metotreksat
Obat ini bekerja dengan cara menghambat enzim dihidrofolat
reduktase, sehingga menghambat sintesis timidilat dan purin.
Efek samping dan kontraindikasi: pada pemberian jangka panjang
dosis rendah seperti pada psoriasis, dilaporkan terjadinya sirosis dan
fibrosis hati pada 30-40% pasien. Sedangkan pada pengobatan artritis
rematoid kejadiannya lebih rendah. Toksisitas meningkat pada
pemberian bahan yang bersifat hepatotoksik, seperti alkohol.
Pneumonitis akut dan kronik juga dapat terjadi pada artritis rematoid,
sedangkan pada psoriasis kejadiannya lebih jarang. Mekanisme
perbedaan efek toksik ini belum diketahui dengan pasti, dan umumnya
bersifat reversibel. Obat ini dikontraindikasikan pada wanita hamil dan
menyusui.3
 Antibodi
Antibodi poliklonal dan monoklonal terhadap antigen yang ada dipermukaan
limfosit digunakan secara luas untuk mencegah penolakan transplantasi dan
pada berbagai penyakit autoimun.5
1. Antibodi poliklonal
Antithymocyte globulin (ATG) merupakan antibodi poliklonal yang
dapat diberikan pada berbagai molekul permukaan limfosit T dan
molekul HLA kelas I dan II.
Efek samping: yang relatif sering adalah serum sickness dan nefritis.
Efek samping lain meliputi demam, menggigil, leukopenia,
trombositopenia, dan ruam kulit. Kadang-kadang bisa terjadi reaksi
anafilaksis.
2. Antibodi monoklonal
Anti CD3, antibodi spesifik terhadap antigen CD3 dipermukaan sel
limfosit T sudah digunakan sejak tahun 1980-an pada transplantasi organ,
dan terbukti sangat efektif.
Efek samping: yang mungkin terjadi antara lain cytokine release
syndrome, yang dapat terjadi pada dosis awal dan bervariasi mulai dari
flu like syndrome sampai syok berat yang mengancam nyawa. Efek
samping ini berikatan pada peningkatan kadar sitokin dalam serum
(TNF-α, IL-2, IL-6, dan IFN-γ) yang dihasilkan oleh sel T dan monosit
yang teraktivasi. Risiko ini dapat dikurangi dengan pemberian
kortikosteroid 1-4 jam sebelumnya.
Efek samping SSP meliputi rasa pusing, kejang, ensefalopati, edema
serebral, meningitis aseptik, dan sakit kepala. Efek rebound berupa
penolakan transplantasi dapat terjadi setelah penghentian Muromonab
CD3. Antibodi anti-CD3 generasi terbaru dihasilkan dengan cara
humanisasi antibodi, artinya penggabungan antibodi yang diproduksi dari
hewan dengan fraksi Fc dari immunoglobulin manusia. Cara ini
mengurangi risiko cytokine release syndrome.5

2.Imunostimulan

Imunostimulan ditunjukan untuk perbaikan fungsi imun pada kondisi-kondisi


imunosupresi. Kelompok obat ini dapat mempengaruhi respon imun seluler maupun
humoral. Kelemahan obat ini adalah efeknya yang menyeluruh dan tidak bersifat spesifik
untuk jenis sel atau antibodi tertentu. Selain itu efeknya umumnya lemah. Indikasi
penggunaan imunostimulan antara lain AIDS, infeksi kronik, dan keganasan, terutama yang
melibatkan sistem limfatik.4

2.1 Adjuvan natural


 Bacillus Calmette-Guerin (BCG)
BCG dan komponen aktifnya merupakan produk bakteri yang memiliki efek
imunostimulan.
Efek samping: reaksi hipersensitivitas, syok, menggigil, lesu, dan penyakit
komplek imun.
 Levamisol
Merupakan obat yang tadinya digunakan untuk membasmi berbagai jenis
cacing. Obat ini didistribusi luas ke berbagai jaringan dan dimetabolisme
oleh hati. Metabolitnya diduga berperan dalam efek imunostimulan.
Efek samping: flu-like syndrome dan agranulositosis yang kadang-kadang
memerlukan penghentian obat.
 Talidomid
Pada awalnya digunakan sebagai sedatif pada wanita hamil, namun
banyaknya kejadian fokomelia berkaitan dengan obat ini, maka
pemakaiannya pada wanita hamil dilarang. Belakangan peranan talidomid
dievaluasi lagi karena memiliki efek imunosupresan.
 Leflunomid
Merupakan prodrug yang dalam tubuh diubah menjadi metabolit aktif dan
bekerja menghambat pirimidin sintetase.
Efek samping: peningkatan enzim hati, gangguan fungsi ginjal, dan efek
teratogenik. Pernah dilaporkan adanya efek samping kardiovaskular berupa
angina dan takikardia dan di kontraindikasikan pada kehamilan.4
2.2 Sitokin
Sitokin merupakan kelompok protein yang diproduksi oleh leukosit dan
sel-sel yang berkaitan, dan memiliki peranan khusus dalam sistem imun
dan hematopoesis. Sitokin yang digunakan di klinik antara lain IL-2,
IFN, dan colony stimulating factor (CSF).
 Interleukin-2
IL-2 disebut juga T cell growth factor karena kemampuannya merangsang
produksi sel T helper dan set T sitotoksik.
Efek samping: IL-2 antara lain hipotensi berat dan toksisitas kardiovaskular.
Edema paru yang berkaitan dengan dosis dapat terjadi akibat sindrom
rembesan kapiler. Pada ginjal dapat meningkatkan kreatinin, dan pada sistem
hematologi menimbulkan supresi sumsum tulang. Pada SSP dapat
menimbulkan somnolen atau delirium. Dapat juga terjadi peradangan pada
kulit terutama setelah pemberian subkutan.
 Interferon
Interferon merupakan protein yang terdiri dari tiga kelompok IFN-α, IFN-β,
IFN-γ. IFN-α dan IFN-β merupakan family IFN tipe I yang bersifat tahan
asam dan bekerja pada resptor yang sama. IFN-γ tipe II yang tidak tahan
asam dan bekerja pada reseptor yang berbeda.
IFN menimbulkan efek yang bervariasi tergantung dari jenis IFN terutama
IFN-γ memiliki sifat meningkatkan respons imun yang meliputi presentasi
antigen, aktivasi makrofag, sel NK, dan limfosit T sitotoksik. Dalam hal ini
IFN-α dan IFN-β lebih poten dari pada IFN-γ.
Efek samping: demam, menggigil, lesu, mialgia, mielosupresi, sakit kepala,
dan depresi. 4

Kesimpulan

Dikasus kenapa dokter ingin memberikan kortikosteroid karena kortikosteroid itu glukokortikoid
yang dapat menurunkan jumlah limposit secara cepat.

kortikosteroid menghambat proliverasi sel limposit T dan karena kortikosteroid biasanya


digunakan bersama imunosupresan lain dalam mencega penolakan transplantasi untuk ini
diperlukan dosisi besar untuk beberapa hari.

Kortikosteroid juga digunakan untuk mengurangi reaksi alergi yang bisa yang timbul pada
pemberian antibodi monoklonal atau antibodi antilimposit selain itu, kortikosteroid juga
digunakan untuk berbagai penyakit autoimun.

Daftar pustaka

1. Heynes BF, Fauci AS. Introduction to the immune system. In: Kasper, Braunwald, Fauci,
Hauser, Longo, Jameson, eds. Harrison’s Principles of Internal Medicine. New York:
McGraw-Hill;2005. p. 1907-29.
2. Staf Pengajar Departemen Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.
Kumpulan kuliah farmakologi. Edisi 2. Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2009. h. 221.
3. Michael, JN. Farmakologi medis. Penerbit Erlangga;2006. h.32-35.
4. Supriyatna, Dewanto, Maya RF, Indra W, Ferry F. Fitoterapi sistem organ. Penerbit
Deepublish;2015. h.72.
5. Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Farmakologi dan terapi. Edisi 5. Jakarta: Penerbit FKUI;2007. h. 765-66.

Anda mungkin juga menyukai