Anda di halaman 1dari 11

Referat

KEMOTERAPI KARSINOMA NASOFARING

Oleh :
Supriati
NIM. 2208438035

Pembimbing :
dr. Harianto, Sp.THT-KL(K)

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN ILMU PENYAKIT THT-KL
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU
RSUD ARIFIN ACHMAD PROVINSI RIAU
PEKANBARU
2023
I. KEMOTERAPI
a. Definisi Kemoterapi
Kemoterapi adalah obat-obat anti kanker dengan menggunakan zat
kimia sebagai perawatan penyakit. Obat-obat anti kanker ini dapat
digunakan sebagai terapi tunggal (active single agents), tetapi kebanyakan
berupa kombinasi karena dapat lebih meningkatkan potensi sitotoksik
terhadap sel kanker. Selain itu sel-sel yang resisten terhadap salah satu obat
mungkin sensitif terhadap obat lainnya. Dosis obat sitostatika dapat
dikurangi sehingga efek samping menurun.1
b. Tujuan Kemoterapi
Tujuan kemoterapi adalah untuk menyembuhkan pasien dari penyakit
tumor ganasnya. Kemoterapi bisa digunakan untuk mengatasi tumor secara
lokal dan juga untuk mengatasi sel tumor apabila ada metastasis jauh.
Secara lokal dimana vaskularisasi jaringan tumor yang masih baik, akan
lebih sensitif menerima kemoterapi sebagai antineoplastik agen. Dan
karsinoma sel skuamosa biasanya sangat sensitif terhadap kemoterapi ini.1
c. Sensitivitas Kemoterapi Terhadap Karsinoma Nasofaring
Kemoterapi memang lebih sensitif untuk karsinoma nasofaring WHO
1 dan sebagian WHO 2 yang dianggap radioresisten. Secara umum
karsinoma nasofaring WHO 3 memiliki prognosis paling baik sebaliknya
karsinoma nasofaring WHO 1 yang memiliki prognosis paling buruk.2
Perbedaan kecepatan pertumbuhan (growth) dan pembelahan
(division) antara sel kanker dan sel normal yang disebut siklus sel (cell
cycle) merupakan titik tolak dari cara kerja sitostatika. Hampir semua
sitostatika mempengaruhi proses yang berhubungan dengan sel aktif seperti
mitosis dan duplikasi DNA. Sel yang sedang dalam keadaan membelah pada
umumnya lebih sensitif daripada sel dalam keadaan istirahat. 3

1
Gambar 1. Siklus sel spesifik dan non spesifik

Berdasarkan siklus sel kemoterapi ada yang bekerja pada semua


siklus (Cell Cycle non Specific) artinya bisa pada sel yang dalam siklus
pertumbuhan sel bahkan dalam keadaan istirahat. Ada juga kemoterapi yang
hanya bisa bekerja pada siklus pertumbuhan tertentu (Cell Cycle phase
specific).3
Obat yang dapat menghambat replikasi sel pada fase tertentu pada
siklus sel disebut cell cycle specific. Sedangkan obat yang dapat
menghambat pembelahan sel pada semua fase termasuk fase G0 disebut cell
cycle nonspecific. Obat-obat yang tergolong cell cycle specific antara lain
Metotrexate dan 5-FU, obat-obat ini merupakan anti metabolit yang bekerja
dengan cara menghambat sintesa DNA pada fase S. Obat antikanker yang
tergolong cell cycle nonspecific antara lain Cisplatin (obat ini memiliki
mekanisme cross-linking terhadap DNA sehingga mencegah replikasi,
bekerja pada fase G1 dan G2), Doxorubicin (fase S1, G2, M), Bleomycin
(fase G2, M), Vincristine (fase S, M).3

2
Dapat dimengerti bahwa zat dengan aksi multipel bisa mencegah
timbulnya klonus tumor yang resisten, karena obat-obat ini cara kerjanya
tidak sama. Apabila resiten terhadap agen tertentu kemungkinan sensitif
terhadap agen lain yang diberikan, dikarenakan sasaran kerja pada siklus sel
berbeda.3
d. Efek Samping Kemoterapi
Agen kemoterapi tidak hanya menyerang sel tumor tapi juga sel
normal yang membelah secara cepat seperti:
1. Depresi Sum-Sum Tulang
Depresi sumsum tulang merupakan hambatan terbesar
kemoterapi. Kebanyakan obat antitumor, kecuali hormon, bleomisin,
L-asparaginase, semuanya menimbulkan leukopenia, trombositopenia
dan anemia dengan derajat bervariasi. Diantaranya obat golongan
nitrosourea (BCNU, CCNU clan Me- CCNU) clan prokar bazin dapat
menimbulkan depresi sumsum tulang tertunda selama 6-8 minggu.
Depresi sumsum tulang yang parah dapat menyebabkan timbulnya
infeksi, septikemia dan hemoragi visera.
2. Reaksi Gastrointestinal
Banyak obat antitumor yang sering menimbulkan mual, muntah
dengan derajat bervariasi. Diantaranya dosis tinggi DDP,DTIC, HN2,
Ara-C, CTX, BCNU menimbulkan mual muntah yang hebat.
Pemberian penyekat reseptor S-hidroksitriptamin 3 (S-HT 3), seperti
ondansentron, granisentron, tropisentron, ramosentron, azasentron, dll,
dapat mencegah dan mengurangi kejadiaanya, mual, muntah. SFU,
MTX, bleomisin, adriamisin dapat menimbulkan ulserasi mukosa
mulut, selama kemoterapi harus meningkatkan perawatan higiene oral.
3. Gangguan Fungsi Hati
Gangguan fungsi hati terutama disebabkan oleh MTX, 6MP,
SFU, DTIC, VP-16, asparaginase, dll. Peningkatan bilirubin, ALK
mempengaruhi ekskresi obat golongan antrasiklin (misal, adriamisin)
3
dan golongan vinka alkaloid. Berdasarkan tingkat keparahan
gangguan fungsi hati perlu dilakukan penyesuaian dosis obat. Perlu
perhatian khusus, bahwa obat kemoterapi dapat menyebabkan infeksi
virus hepatitis laten yang memburuk dan tiba-tiba menimbulkan
nekrosis hati akut atau subakut (hepatitis berat).
4. Gangguan Fungsi Ginjal
Dosis tinggi siklofosfamid, ifosfamid dapat menimbulkan sistitis
herogaik, penggunaan bersama merkaptoetan sulfonat (mesna) dapat
menghambat pembentukan metabolit aktifnya, akrilaldehid, mencegah
terjadinya sistitis hemoragik. Dosis tinggi MTX yang diekskresi lewat
urin dapat menyumbat duktuli renalis hingga menimbulkan oliguri,
urenia. Untuk rnenjamin keamanan harus dilakukan hidrasi,
alkalinisasi, pertolongan CF atau memantau konsentrasi MTX darah.
Cisplatinum secara langsung merusak parenkim ginjal untuk
pemakaian dosis tinggi memerlukan hidrasi dan diuresis.
5. Kardiotoksisitas
Adriamisin dan urobisin, dapat menimbulkan efek kardiotoksik
terutama efek kardiotoksik kumulatif. Dosis total adriamisin harus
dikendalikan <550 mg/rn" bila dipakai tunggal dan <4500 mg/m' bila
dalam kemoterapi kombinasi. Pada pasien dengan EKG abnormal atau
infusiensi jantung perlu pemantauan jantung selama terapi. Epirubisin,
pirarubisin, mitoksantron memiliki kardiotoksisitas yang lebih ringan.
Obat lain lain seperti takson, herseptin juga berefek kardiotoksin.
Penggunaan obat-obat tersebut sedapat mungkin tidak bersamaan
dengan radioterapi daerah prekordial.
6. Pulmotoksisitas
Pengguanaan jangka panjang bleomisin, busulfan (Myleran)
dapat menimbulkan fibrosis kronis paru, secara klinis harus
mengendalikan dosis totalnya. Obat baru dengan target molekular
Iressa dapat menimbulkan pneumonitis interstisial, sebagian fatal,
4
harus diwaspadai.
7. Reaksi Alergi
Bleomisin, asparaginase, taksol, taksotere, dll dapat
menimbulkan mengigil, demam, syok anafilaktik dan udem. Untuk
mencegah dan mengurangi reaksi dernikian, sebelum memakai
bleomisin dapat minum indometasin. Terhadap asparaginase perlu
pengujian reaksi alergi, sebelum memakai taksol perlu diberikan
deksametason, difenhidramin, sirnetidin (atau ranitidin). Sebelum dan
setelah terapi taksosere diberikan deksametason 3-5 had. Selain itu,
VM-26, Ara-c, gemsitabin juga dapat menimbulkan reaksi serupa,
dapat dilakukan tindakan yang sesuai untuk mencegah dan
mengatasinya.
8. Karsinogenitas
Beberapa obat antitumor seperti HNz' prokarbazin, melfalan, dll.
Beberapa bulan atau tahun setelah digunakan meningkatkan peluang
terjadinya tumor primer kedua.
9. Infertilitas
Umumnya obat antikanker dapat menekan fungsi spermatozoa
dan ovarium hingga timbul penurunan fertilitas. Anak dalam masa
pertumbuhan harus menghindari overterapi.2

Jaringan tubuh normal yang cepat proliferasi misalnya sum-sum


tulang, folikel rambut, mukosa saluran pencernaan mudah terkena efek obat
sitostatika. Untungnya sel kanker menjalani siklus lebih lama dari sel
normal, sehingga dapat lebih lama dipengaruhi oleh sitostatika dan sel
normal lebih cepat pulih dari pada sel kanker.4
Untuk menghindari efek samping intolerable, dimana penderita
menjadi tambah sakit sebaiknya dosis obat dihitung secara cermat
berdasarkan luas permukaan tubuh (m2) atau kadang-kadang menggunakan
ukuran berat badan (kg). Selain itu faktor yang perlu diperhatikan adalah
5
keadaan biologik penderita. Untuk menentukan keadaan biologik yang perlu
diperhatikan adalah keadaan umum (kurus sekali, tampak kesakitan, lemah
sadar baik, koma, asites, sesak, dll), status penampilan (skala karnofsky,
skala ECOG), status gizi, status hematologis, faal ginjal, faal hati, kondisi
jantung, paru dan lain sebagainya.5
Penderita yang tergolong good risk dapat diberikan dosis yang relatif
tinggi, pada poor risk (apabila didapatkan gangguan berat pada faal organ
penting) maka dosis obat harus dikurangi, atau diberikan obat lain yang efek
samping terhadap organ tersebut lebih minimal.5
Efek samping kemoterapi dipengaruhi oleh:6
1. Masing-masing agen memiliki toksisitas yang spesifik terhadap
organ tubuh tertentu
2. Dosis
3. Jadwal pemberian
4. Cara pemberian (iv, im, peroral, per drip infus)
5. Faktor individual pasien yang memiliki kecenderungan efek
toksisitas pada organ tertentu

e. Cara-cara Kemoterapi
1. Kemoterapi Kuratif
Kemoterapi kuratif ini harus memakai formula kemoterapi
kombinasi yang terdiri atas obat dengan mekanisme kerja berbeda,
efek toksik berbeda dan masing-masing efektif bila digunakan
tersendiri, diberikan dengan banyak siklus, untuk setiap bat dalam
formula tersebut diupayakan memakai dosis maksimum yang dapat
ditoleransi tubuh, masainterval sedapat mungkin diperpendek agar
tercapai pembasmian total sel kanker dalam tubuh.
2. Kemoterapi Adjuvan
Kemoterapi adjuvan adalah kemoterapi yang dikerjakan setelah
operasi radikal. Pada dasarnya ini adalah bagian dari operasi kuratif.
6
Karen banyak tumor pada waktu pra-operasi sudah memiliki mikro
metastasis di luar lingkup operasi, maka setelah lesi primer dieksisi,
tumor tersisa akan tumbuh semakin pest, kepekaan terhadap obat
bertambah.
3. Kemoterapi Neoadjuvan
Kemoterapi neoadjuvan adalah kemoterapi yang dilakukan
sebelum operasi atau radioterapi. Kanker terlokalisir tertentu hanya
dengan operasi atau radioterapi sulit mencapai ketuntasan, jika
berlebih dahulu kemoterapi 2-3 siklus dapat mengecilkan tumor,
memperbaiki pasokan darah, berguna bagi pelaksanaan operasi dan
radioterapi selanjutnya.

II. DEFINISI KARSINOMA NASOFARING


Kanker adalah segolongan penyakit yang ditandai dengan pembelahan sel
yang tidak terkendali dan kemampuan sel sel tersebut untuk menyerang jaringan
biologis lainnya, baik dengan pertumbuhan langsung di jaringan yang
bersebelahan (invasi) atau dengan migrasi sel ke tempat yang jauh (metastasis).7
Karsinoma nasofaring (KNF) adalah karsinoma sel skuamosa yang berasal
dari fossa Rosenmuller pada nasofaring yang merupakan daerah transisional dari
epitel kuboid berubah menjadi epitel skuamosa.7
Nasofaring terletak di antara bagian posterior saluran hidung, atap
nasofaring berhubungan dengan dasar tengkorak, serta terhubung pada bagian
faring yang ada di bawahnya. Karsinoma nasofaring biasanya berkembang di
sekitar ostium tuba Eustachius di dinding lateral nasofaring. 8

III. HISTOPATOLOGI KARSINOMA NASOFARING


Mukosa nasofaring memiliki epitel skuamosa dan epitel pseudostratified
columnar. Pada karsinoma nasofaring, memiliki epitel sel maligna berupa
poligonal besar tanpa karakter sinsitial. Nukleus tampak jelas berbentuk bulat atau

7
oval dan disertai oleh infiltrasi inflamasi limfosit, sel plasma, dan eosinofil, yang
melimpah, sehingga menyebabkan istilah limfoepithelioma. Pada daerah lateral
nasofaring memiliki epitel transisional antara epitel respiratori pseudostratified
columnar dan epitel skuamosa yang merupakan area paling sering terjadinya
karsinoma nasofaring.2
Klasifikasi histopatologi karsinoma nasofaring menurut World Health
Organization (WHO) sebelum tahun 1991, dibagi menjadi 3 tipe, yaitu :
1) WHO tipe I : Keratinizing Squamous Cell Carcinoma
Sel tumor menunjukkan differensiasi skuamosa dengan adanya
jembatan interseluler dan atau keratinisasi di atasnya.

2) WHO tipe II : Non-Keratinizing Carcinoma


Sel tumor menunjukkan diferensiasi dengan rangkaian maturasi yang
terjadi di dalam sel, terdiri dari sel-sel yang bervariasi mulai dari sel matur
sampai anaplastik dan hanya beberapa yang membuat keratin atau tidak
sama sekali.

3) WHO tipe III : Undifferentiated Carcinoma


Pada tipe ini sel tumor tampak inti yang vesikuler, berbentuk oval atau
bulat dengan nukleoli yang jelas namun batas sel tidak terlihat serta dapat
ditemukan sel ganas berbentuk spindle dengan inti hiperkromatik.
Karsinoma yang tidak berdiferensiasi dan tidak berkeratinisasi
memiliki sifat yang sama, yaitu bersifat radiosensitif dan mempunyai titer
antibodi terhadap virus Epstein-Barr. Sedangkan jenis karsinoma yang
berkeratinisasi kurang radiosensitif dan tidak menunjukan hubungan dengan
virus Epstein-Barr.9

Karsinoma nasofaring tipe non-keratinisasi (Non-keratinizing


carcinoma) dengan subtipe tidak berdiferensisasi (undifferentiated) banyak
terjadi di berbagai negara, misalnya pada Hongkong (99%), Singapore
8
(86%), Tunisia (92%), Jepang (87%) dan Amerika Serikat (75%).10
Sedangkan pada Indonesia terbanyak dijumpai adalah subtipe WHO 2 dan
WHO 3 (Undifferentiated Carcinoma).6

9
DAFTAR PUSTAKA

1. Kentjono WA, Kemoterapi pada Tumor Ganas THT-Kepala Leher


Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan III Ilmu Penyakit Telinga Hidung
Tenggorok-Kepala Leher, SMF Ilmu Penyakit THT FK Unair/ RSUD dr. Soetomo,
Surabaya November 2012,108- 21.
2. Chan TC, Teo PM; Nasopharyngeal Carcinoma : Review; Annals of Oncology 13:
2016; 1007-15.
3. Lika L. Radiation therapy: Gale Encyclopedia of Medicine. Gale Research, 2011.
4. Cody DT. Kern EB. Penyakit Telinga, Hidung dan Tenggorokan; EGC, Jakarta
1993: 371-2.
5. Sukardja IGD. Onkologi Klinik , Edisi 2, Airlaga University Press, 2014: 243 – 55.
6. Skeel RT, Handbook of Cancer Chemoterapy, 3th Edition, Little, Brown and
Company, London, 2013; 59-78.
7. Pignon JP, Bourhis J, Domenge C. Chemotherapy added to locoregional treatment
for head and neck squamous-cell carcinoma, The Lancet , 2010; Vol 355: 949-55.
8. Chao SS. Modalities of surveillance in treated nasopharyngeal cancer; Otolaryngol
Head Neck Surg 2013; 129 :61-4.
9. Quinn FB, Ryan,WM; Chemotherapy for Head and Neck Cancer; Grand Rounds
Presentation, UTMB, Dept. of Otolaryngology; April 16, 2003.
10. Vijayakumar S, Hellman S;Advances in radiation oncology ; Lancet 2008: 349
(suppl II): 1-3.

Anda mungkin juga menyukai