Anda di halaman 1dari 15

REFERAT

Efek Samping Kemoterapi

Nuria Lafiza Wulandini


H1A 014 060

Pembimbing
dr. Ramses Indriawan, Sp.B(K)Onk

Dalam Rangka Mengikuti Kepaniteraan Klinik Madya


Di Bagian Ilmu Bedah
Rumah Sakit Umum Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat
Fakultas Kedokteran Universitas Mataram
2020
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kanker adalah salah satu penyakit paling berkembang di seluruh dunia.


Insidensi kanker dan angka kematian meningkat di dunia secara luas dan.
Kejadian kanker dapat dikaitkan dengan berbagai faktor lingkungan, sosial,
budaya, gaya hidup, hormonal dan genetik. Selain merokok, aktivitas fisik yang
berkurang dan konsumsi makanan yang sangat diproses dan kaya kalori adalah
penyebab utama kanker. Kanker payudara, kolorektal, paru-paru dan prostat
adalah penyakit yang paling sering menyebar di seluruh dunia. Penanganan
terhadap kanker yang biasanya dilakukan adalah operasi, radioterapi atau terapi
radiasi dan atau kemoterapi. Kemoterapi adalah penggunaan zat kimia untuk
perawatan penyakit.1,2

Obat-obatan kemoterapi secara khusus membunuh sel-sel kanker saja tetapi


sekarang diketahui bahwa itu juga merusak sel-sel normal yang menghasilkan
efek samping yang tergantung pada dosis kemoterapi seperti kelelahan, mual,
muntah rambut rontok. Indonesia, pada 2013, memiliki prevalensi kanker di
antara semua usia 1,4 ‰, atau diperkirakan 347.792 orang. Daerah Istimewa
Yogyakarta di Pulau Jawa memiliki insiden kanker tertinggi di Indonesia pada
tahun 2013, yaitu 4,1 ‰ dengan perkiraan jumlah absolut 14.596 orang (NIHRD
2003). Kanker serviks dan kanker payudara memiliki prevalensi tertinggi, masing-
masing 0,8 0.5 dan 0,5 resp. Khususnya di Yogyakarta, di mana insiden kanker
tertinggi ditemukan, prevalensi kanker serviks adalah 1,5 ‰, dan 2,4 ‰ untuk
kanker payudara.1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

4.5.1. Definisi

Kanker adalah sekelompok penyakit yang ditandai dengan pertumbuhan sel


yang tidak teratur serta menembus jaringan-jaringan disekitarnya kemudian sel
akan berproliferasi dan menyebar dari tempat asal atau tempat utama ke tempat
lain di dalam tubuh. Di Indonesia, data terakhir dari Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) 2013 yang diterbitkan Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan (Balitbangkes) Kementrian Kesehatan RI menyatakan bahwa
prevalensi kanker mencapai 0,14% penderitanya menjadi 347.792 penduduk
(Medicinus, 2016). WHO memperkirakan insiden kanker di Indonesia adalah 180
per 100.000 penduduk.1,2,3

Pengobatan kanker dikenal beberapa cara yaitu terapi utama dan terapi
tambahan (adjuvant). Terapi utama adalah terapi yang ditujukan pada penyakit
kanker itu sendiri yaitu dapat dengan cara bedah, radioterapi, kemoterapi,
hormonoterapi dan bioterapi. Terapi tambahan (adjuvant) adalah terapi yang
ditambahkan pada terapi utama untuk menghancurkan sisa sel-sel kanker yang
mikroskopik yang mungkin masih ada.Tidak jarang walaupun pada terapi utama
penderita kelihatan telah bebas kanker setelah beberapa lama timbul residif atau
metastase. 1

Kemoterapi yaitu pengobatan dengan menggunakan obat-obatan yang dapat


menghambat atau membunuh sel-sel kanker. Kemoterapi menyebabkan beberapa
efek samping. Efek samping kemoterapi bervariasi tergantung regimen
kemoterapi yang diberikan. Berdasarkan National Cancer Institute, efek samping
yang dapat terjadi akibat kemoterapi antara lain mual, muntah, diare, alopesia,
trombositopenia, neuropati, myalgia. Selain itu dapat berupa toksisitas hematologi
seperti anemia, neutropenia, dan trombositopenia.4
4.5.2. Obat-obat Sitototiska
Obat-obatan anti-kanker (sitostatika) yang umum digunakan di klinik yaitu4:

1. Alkilator: Mostar Nitrogen, Siklofosfamid, Ifosfamid, Ttio-tepa, Myleran,


Melfalan, Karmustin, Lomustin, Me-CCNU, Cisplatin, Karboplatin,
Oksaliplatin, Dakarbazin, Temozolamid, Prokarbazin.
2. Antimetabolit: Metotreksat, Merkaptopurin, Tioguanin, Fluorourasil,
Ftorafur, Urasil Tegafur, Xeloda, Sitarabin, Gemsitabin, Fludarabin,
Hidroksiurea, L-Asparaginase.
3. Antimikrotubular: Onkovin/Vinkristin, Vinblastin, Vindesin, Navelbin,
Taksol, Taksoter.
4. Inhibitor topoisomerase: Etoposid, Vumon, Topotekan, Irinotekan.
5. Antibiotic: Adriamisin, Epirubisin, Daunorubisin, Pirarubisin, Bleomisin,
Mitomisin-C, Aktinomisin D, Doksil.
6. Hormonal: Tamoksifen, Toremifen, Medroksi-progesteron, Megestrol,
Flutamid, Aminoglutotimid, Lentaron, Letrozol, Anastrozol, Eksemestran,
Goserelin, Lupron.
7. Target molecular: Gleevac, Mabthera, Herceptin, Iressa, Erbitux, Tarceva,
Avastin.

4.5.3. Cara Pemberian Kemoterapi


 Pemberian per-oral
Beberapa jenis kemoterapi dapat diberikan secara oral, diantaranya adalah
chlorambucil dan etoposide.
 Pemberian secara intra-muskular
Pemberian dengan cara ini relative lebih mudah dan sebaiknya disuntiikan.
Tidak diberikan pada lokasi yang sama dengan pemberian dua-tiga kali
berturut-turut yang dapat diberikan secara intra-muskulus antara lain
bleomycin dan methotrexate.
 Pemberian secara intravena
Pemberian secara intravea dapat dengan bolus perlahan-lahan atau diberikan
secara infuse (drip). Cara ini merupakan cara pemberian kemoterapi yang
paling umum dan banyak digunakan.
 Pemberian secara intra-arteri
Pemberian intra-arteri jarang dilakukan karena membutuhkan sarana yang
cukup banyak antara lain alat radiologi dignostik, mesin, atau alat filter,
serta memerlukan keterampilan tersendiri.

4.5.4. Syarat Pasien Kemoterapi Pertama

Pasien dengan keganasan memiliki kondisi dan kelemahan, yang apabila


diberikan kemoterapi dapat terjadi untolerable side effect. Sebelum memberikan
kemoterapi perlu pertimbangan sebagai berikut3:

Menggunakan kriteria Eastern Cooperative Oncology Group (ECOG) yaitu


status penampilan ≤ 2 atau karnoffsky ≥ 60.

1. Jumlah lekosit ≥4000/ml.


2. Jumlah trombosit≥100.000/ul.
3. Cadangan sumsum tulang masih adekuat, missal HB≥10ml/dl.
4. Creatinin Clearence diatas 60ml/menit (dalam24jam) (test faal ginjal)
5. Bilirubin <2mg/dl, SGOT dan SGPT dalam batas normal (testfaalhepar).
6. Elektrolit dalam batas normal.
7. Tidak diberikan pada usia diatas 70 tahun.

4.5.5. Efek Samping Kemoterapi


Kemoterapi adalah proses memasukkan obat-obatan melalui pembuluh
darah ke dalam tubuh. Metode ini membuat tingkat konsentrasi obat di pusat
tumor dan jaringan lain sama. Dengan demikian, kemoterapi dapat merusak
berbagai organ sehat, tidak hanya jaringan tubuh yang sakit. Ini menyebabkan
beberapa efek samping seperti; penurunan leukosit dan trombosit, hematuria,
penurunan sel imun tubuh, rambut rontok pada sebagian besar pasien,1
Kemoterapi akan menyebabkan sel kanker serta beberapa jenis sel sehat
mengalami kerusakan. Namun, sel kanker akan mengalami kerusakan lebih parah
dibandingkan dengan yang sel sehat. Setelah beberapa masa waktu sel akan pulih
kembali, tetapi sel kanker mengalami kerusakan yang berarti. Itulah sebabnya
kemoterapi tetap dipakai sebagai salah satu pilihan untuk kasus keganasan.
Pengobatan kanker dengan kemoterapi memberikan efek samping, antara lain
pengaruh yang ditimbulkan terhadap organ misalnya hati, ginjal atau sistem tubuh
misalnya kerontokan rambut, mual, muntah, penghambatan sumsum
(mielosupresi), gangguan kesuburan (fertilitas) dan lain-lain, maka sebelum
mendapatkan kemoterapi penderita harus menjalani beberapa pemeriksaan.
Pemeriksaan tersebut antara lain terkait dengan: darah lengkap, uji fungsi hati, dan
lain-lain.2,3
Efek toksik kemoterapi terdiri dari beberapa toksik jangka pendek dan
jangka panjang. Efek toksik jangka pendek meliputi: depresi sumsum tulang,
reaksi gastrointestinal (mual, muntah, ulserasi mukosa mulut, diare), trauma
fungsi hati (infeksi virus hepatitis laten memburuk dan nekrosis hati akut), trauma
fungsi ginjal (sistitis hemoragik, oliguria, uremia, nefropati asam urat,
hiperurikemia, hiperkalemia, dan hiperfosfatemia), kardiotoksisitas,
pulmotoksisitas (fibrosis kronis paru), neurotoksisitas (perineuritis), reaksi alergi
(demam, syok, menggigil, syok nafilaktik, udem), efek toksik local
(tromboflebitis), dan lainnya (alopesia, melanosis, eritoderma palmar-plantar).
Sedangkan efek jangka panjang meliputi: karsinogenisitas (meningkatkan peluang
terjadinya tumor primer kedua), dan infertilitas. Toksisitas umum yang
diakibatkan oleh obat-obatan kemoterapi yaitu mielosupresi (seperti anemia,
leucopenia, trombositopenia), mual muntah, ulserasi membran mukosa, dan
alopesia (kebotakan).4,5
Kompleksitas kanker menyebabkan banyak jenis protein yang berperan
dalam pertumbuhan dan keganasan sel kanker. Salah satu biomarker kanker yang
banyak digunakan sebagai target terapi adalah HER2. Senyawa ini telah terbukti
memiliki kemampuan untuk berinteraksi dengan penanda kanker secara spesifik
dan memiliki efek yang signifikan dalam pengobatan kanker. Pentagamaboronon-
0 (PGB-0) adalah analog dari kurkumin yang memiliki efek terapi yang sama
dengan kurkumin, yang menunjukkan penghambatan sel kanker yang
mengekspresikan protein HER2. Analog curcumin ini masih dalam
pengembangan di Indonesia. Kombinasi PGB-0 dan agen kemoterapi diketahui
menghambat migrasi sel kanker payudara metastatik. Diharapkan bahwa PGB-0
akan memiliki beberapa cara pengembangan, satu sebagai agen pengiriman 10-B
di BNCT dan lainnya sebagai ko-kemoterapi.5
Banyak efek samping menghilang dengan cepat, tetapi beberapa mungkin
memerlukan waktu berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun untuk sepenuhnya
hilang. Kadang-kadang efek samping dapat bertahan seumur hidup, seperti ketika
kemo menyebabkan kerusakan jangka panjang pada jantung, paru-paru, ginjal,
atau organ reproduksi. Beberapa jenis kemoterapi terkadang menyebabkan efek
yang tertunda, seperti kanker kedua yang mungkin muncul bertahun-tahun
kemudian. Waktu yang diperlukan untuk mengatasi beberapa efek samping dan
mendapatkan kembali energi bervariasi untuk setiap orang dan itu tergantung pada
banyak faktor, termasuk status kesehatan dan pengobatan saat ini.1
Berikut beberapa efek samping jangka pendek yang dapat dijelaskan lebih
sebagai berikut:
2.5.1. Mual dan Muntah
Mual dan muntah masih menjadi efek samping yang paling umum terjadi
dan yang ditakuti pasien yang menerima kemoterapi. Bahkan, beberapa pasien
kanker yang mengalami mual dan muntah akibat kemoterapi akan menunda
perawatan kemoterapinya.6 Mual dan muntah yang diinduksi kemoterapi (CINV)
secara luas diklasifikasikan ke dalam tipe akut, delayed atau antisipatif tergantung
pada periode waktu muntah.7
a. Muntah yang terjadi dalam 24 jam pertama pemberian kemoterapi dikenal
sebagai CINV akut dan biasanya dimulai dalam satu hingga dua jam
kemoterapi dan biasanya mencapai puncak dalam empat hingga enam jam
pertama.
b. Muntah yang terjadi kemudian disebut delayed CINV. Frekuensi dan jumlah
episode emesis mungkin kurang selama periode delayed dibandingkan
dengan emesis akut, bentuk tertunda kurang terkontrol dengan baik dengan
obat antiemetik saat ini.
c. Episode emetik antisipatif dipicu oleh rasa, bau, penglihatan, pikiran, atau
kecemasan sekunder dari riwayat respons yang buruk terhadap agen
antiemetik atau profilaksis antiemetik yang tidak memadai dalam siklus
kemoterapi sebelumnya. Biasanya dimulai 1 hingga 4 jam sebelum
kemoterapi tetapi kadang-kadang dapat terjadi beberapa hari sebelum
kemoterapi
Muntah adalah refleks yang dipicu oleh zat beracun di dalam tubuh seperti
kemoterapi. agen. Secara luas, agen-agen ini dirasakan di mukosa lambung atau
usus halus dan menyebabkan stimulasi vagal aferen yang berinteraksi dengan
sistem saraf pusat (SSP), menghasilkan rekasi vagal eferen yang akhirnya
mengarah pada respons emetik.6
Pensinyalan senyawa/reseptor adalah kunci untuk memulai dan
mengendalikan respons emetik. Senyawa yang paling banyak adalah serotonin (5-
hydroxytryptamine [5-HT]), yang diproduksi oleh sel enterochromaffin dan
merupakan tipe sel yang tersebar di seluruh epitel enterik. Sel-sel ini secara
konstitutif mengekspresikan 5-HT dan, pada paparan agen kemoterapi, 5-HT
diekspresikan lebih banyak. Pada kondisi ini, 5-HT dilepaskan dari permukaan
basal ke dalam lamina propria. Di sana, 5-HT yang mengikat reseptor 5-HT3 yang
berada di terminal saraf vagus, sehingga bertindak sebagai neurotransmitter yang
mentransduksi sinyal ke otak belakang. Pada gilirannya, sinyal yang
diterjemahkan memicu respons motorik nausea-vomitting (NV) yang dibawa oleh
saraf vagal efferen. Untuk mengakhiri respons NV 5-HT-mediated endogen,
senyawa harus diambil oleh enterosit usus melalui pengikatan reseptor transporter
serotonin (SERT).6,7
Antagonis 5-HT3 telah sangat berguna untuk membatasi NV pada pasien
yang menerima kemoterapi. Obat-obatan ini mengerahkan potensi antiemetik
mereka dengan bersaing dengan 5-HT untuk mengikat reseptor 5-HT3 dan dengan
demikian memblokir sinyal pro-emetik ke SSP. Antagonis 5-HT3 terbaru,
palonosetron, memiliki afinitas pengikatan reseptor yang lebih tinggi daripada
antagonis 5-HT3 yang biasa digunakan, yang mungkin membuatnya lebih efektif
dalam mencegah NV. Selain itu, obat ini memiliki waktu paruh 40 jam, yang
memungkinkan pencegahan NV lebih efektif tertunda daripada yang dicapai
dengan antagonis 5-HT3 lainnya. Karena sintesis 5-HT meningkat secara
signifikan setelah kemoterapi, manfaat terapi potensial adalah dengan
menurunkan sintesis 5-HT dalam usus. Karena sintesis HT tergantung pada
triptofan hidroksilase (TPH), enzim ini dapat mewakili target yang layak.
Faktanya, studi pra-klinis telah dilakukan dengan menggunakan inhibitor TPH
untuk secara selektif menghambat 5-HT dalam usus menggunakan model ferret
dari emesis yang diinduksi kemoterapi.6,7,8
Substansi P adalah regulator kuat lain dari respons emetik; ia berikatan
dengan reseptor neurokinin-1 (NK-1). Baik senyawa maupun reseptor ditemukan
di dalam SSP dan usus. Tidak seperti interaksi reseptor 5-HT / 5-HT3, sedikit
yang diketahui tentang bagaimana dan di mana zat P dan neurokinin-1 bertindak
dalam memiliki potensi emetik, meskipun komponen perifer dan sentral mungkin
terlibat. Studi pra-klinis menunjukkan bahwa tindakan antagonis reseptor
neurokinin-1 di CNS adalah kunci untuk mencegah NV, karena agen yang tidak
mampu melintasi sawar darah-otak tidak melindungi terhadap emesis. Secara
klinis, pemberian aprepitant, obat pertama dibuat sebagai antagonis reseptor NK-
1, telah terbukti efektif dalam mencegah NV ketika dikombinasikan dengan terapi
lain.8
Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa palonosetron lebih unggul
daripada antagonis reseptor 5-generasi HT3 pertama (ondansetron dan
dolasetron). Kemajuan dalam agen antiemetik generasi pertama dan pengenalan
terapi baru telah memfasilitasi kontrol CINV; palonosetron (Aloxi) dan aprepitant
(Emend) adalah dua agen antiemetik terbaru. Palonosetron, antagonis reseptor 5-
HT3 generasi kedua, adalah agen antiemetik kuat dengan afinitas ikatan 100 kali
lipat lebih besar untuk reseptor serotonin tipe 3 dan waktu paruh lima kali lebih
lama (~40 jam). Dosis tunggal (0,25 mg intravena [IV]) palonosetron telah
terbukti secara efektif mencegah NV akut terkait dengan kemoterapi sedang
hingga sangat emetogenic.8
Aprepitant, antagonis reseptor neurokinin-1 (NK-1), mewakili kelas agen
antiemetik terbaru. Menurut pedoman saat ini, kombinasi tiga obat dari antagonis
reseptor serotonin 5-HT3, deksametason, dan aprepitant direkomendasikan
sebelum kemoterapi pada pasien dengan risiko emetik tinggi; kombinasi tiga obat
dari antagonis reseptor serotonin 5-HT3, deksametason, dan aprepitant atau
kombinasi dua obat antagonis reseptor serotonin 5-HT3 dan deksametason untuk
pasien risiko emetik sedang (tergantung pada regimen kemoterapi); dan
deksametason hanya untuk pasien berisiko rendah emetik.6,7

Gambar. Terapi Farmakologi pada Mual Muntah Akibat Kemoterapi7

2.5.2. Alopesia
Rambut rontok atau alopecia adalah peristiwa buruk yang umum yang
mempengaruhi 65% pasien yang menerima rejimen kemoterapi. alopecia yang
diinduksi kemoterapi (CIA/Chemotherapy Induced Alopecia) adalah sekuel fisik
dan psikologis yang dapat berdampak negatif pada persepsi pasien tentang
penampilan pasien. CIA biasanya dimulai 1-3 minggu setelah dimulainya
kemoterapi, dengan pertumbuhan kembali rambut terjadi setelah penundaan 3-6
bulan.9
Folikel rambut mengalami siklus pertumbuhan yang konstan yaitu fase
proliferasi (anagen), involution (catagen), dan istirahat (telogen), dengan
regenerasi dalam siklus rambut berturut-turut. Merupakan karakteristik utama dari
folikel rambut anagen bahwa kompartemen epitel mengalami proliferasi, dengan
sel-sel bulb matriks menunjukkan aktivitas proliferasi terbesar dalam membangun
batang rambut. Penghentian aktivitas mitosis yang tiba-tiba menyebabkan
melemahnya bagian rambut yang keratinisasi dan proksimal sebagian,
penyempitan, dan kerusakan selanjutnya dalam saluran rambut. Konsekuensinya
adalah rambut rontok yang biasanya dimulai pada 1 - 3 minggu setelah
dimulainya terapi.9
Penghentian aktivitas mitosis yang tiba-tiba menyebabkan melemahnya
bagian rambut yang keratinisasi dan bagian proksimal selanjutnya dalam folikel
rambut. Karena fase anagennya yang panjang, kulit kepala adalah lokasi paling
umum untuk kerontokan rambut, tetapi rambut lainnya dipengaruhi secara
bervariasi tergantung pada persentase rambut di anagen. Karena biasanya hingga
90% rambut kulit kepala berada dalam fase anagen, kerontokan rambut biasanya
berlebihan dan alopesia yang dihasilkan cukup jelas. Namun demikian,
kemoterapi yang diberikan dalam dosis tinggi untuk waktu yang cukup lama dan
dengan banyak paparan juga dapat mempengaruhi janggut, alis mata, bulu mata,
aksila, dan rambut kemaluan.10
Sejumlah langkah pencegahan telah diusulkan dan mencoba mengurangi
CIA. Namun demikian, tidak ada perawatan yang dapat menjamin untuk
mencegah kondisi tersebut. Dari perawatan sejauh ini diselidiki, cooling scalp
(hipotermia) telah menjadi yang paling banyak digunakan dan dipelajari. Pasien
yang menjalani hipotermia kulit kepala umumnya melaporkan merasa kedinginan
dan menderita sakit kepala.10
Sejauh ini, tidak ada pengobatan farmakologis yang disetujui untuk CIA.
Dalam uji klinis, agen pemacu pertumbuhan rambut minoxidil (larutan topikal
2%) mampu mempersingkat durasi, tetapi tidak mencegah CIA pada pasien
kanker.10
2.5.3. Mucositis
Mucositis adalah cedera akut pada lapisan mukosa gastrointestinal atau
saluran pernapasan yang disebabkan oleh radioterapi dan / atau kemoterapi.
Radioterapi dan kemoterapi memengaruhi mukosa secara langsung melalui efek
toksik pada sel-sel induk epitel yang membelah dengan cepat dan menyebabkan
gangguan integritas barier mukosa.11
Radioterapi (RT) tampaknya memproduksinya pada 80% pasien,
kemoterapi (CM) pada 20-80% tergantung pada rejimen dan> 75% pasien yang
menjalani transplantasi sumsum tulang akan menderita efek samping ini (1-5) .
Komplikasi ini biasanya mulai 5-10 hari setelah perawatan dan berlangsung
selama 7-14 hari.11,12
Sudah diketahui bahwa obat-obat kemoterapi menargetkan sel-sel sehat
yang berkembang biak dengan cepat seperti mukosa mulut. Ini merusak lapisan
mukosa mulut yang mengarah ke atrofi dan ulser. Sitokin inflamasi dan spesies
oksigen reaktif dilepaskan di mukosa. Ini akan mengaktifkan faktor-faktor
transkripsi (faktor nuklir kappa B) dan mengatur gen secara berlebihan (faktor
nekrosis tumor, IL-6, dan IL-1) yang akan mengaktifkan apoptosis.11
Ini juga telah dijelaskan sebagai hilangnya faktor pertumbuhan epitel (faktor
pertumbuhan keratinosit), yang mengarah ke apoptosis fibroblas dan sel endotel
vaskular yang mengakibatkan cedera submukosa. Semua perubahan ini akan
mengganggu pertumbuhan epitel normal yang menghasilkan ulser.11
Oral mucositis (OM) tergantung pada jenis tumor, usia pasien (lebih sering
pada usia muda), tingkat kebersihan dan kesehatan mulut, status gizi, fungsi ginjal
dan hati, agen kemoterapi (antimetabolit seperti 5-fluorouracil (5-FU) atau analog
purin sebagai sitarabin) atau kombinasi kemoterapi, OM muncul sebagai eritema,
pembengkakan, atau ulserasi dan digambarkan sebagai sensasi ringan terbakar
hingga ulser yang menyakitkan. Ini memperburuk kualitas hidup pasien dan dapat
mempengaruhi bicara, menelan air liur atau makan. Dalam kasus yang menerima
kemoterapi konvensional, ini terjadi pada 20-40%. OM muncul lebih cepat setelah
kemoterpi daripada setelah radioterapi, dan lebih sering mempengaruhi mukosa
non-keratin. 12

Terdapat beberapa kalsifikasi oral mucositis dilihat dari klinis dan


kemampuan untuk makan pada pasien menurut WHO.12
Tabel. Klasifikasi oral mucositis menurut WHO

*grade 2–3, pasien yang memiliki tukak lambung tetapi dapat mentolerir
makanan padat dan juga cairan.12

Manajemen OM adalah tantangan dan banyak strategi digunakan untuk


meminimalkan kerusakan yang disebabkan oleh antineoplastic, termasuk
pengurangan dosis CM (DR) yang dapat berdampak pada hasil akhir. Telah
dijelaskan bahwa rasa sakit di mulut dan tenggorokan OM meningkat dengan
siklus berturut-turut, dengan amplifikasi sebanyak 44%. Meskipun ada beberapa
perawatan untuk mengurangi rasa sakit dan meningkatkan nutrisi pasien, tujuan
yang ideal adalah pencegahan. Sejauh ini, tidak ada ukuran pasti yang
menunjukkan dapat mencegahnya secara efektif dan episode berulang dari OM.12
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Kanker merupakan penyakit dengan pertumbuhan sel yang abnormal yang
akan berpengaruh pada sel yang normal. Sel kanker merupakan sel ganas yang
mempunyai sifat anaplastic, invasi, serta metastasis tetapi kanker bukan suatu
penyakit menular. Kanker dapat muncul di semua sel dan tau jaringan tubuh,
seperti jaringan ikat, sel paru, sel darah, sel otak, sel kulit, sel hati, dan lain
sebagainya. Kemoterapi merupakan salah satu modalitas pengobatan pada kanker
secara sistemik yang sering dipilih terutama untuk mengatasi kanker stadium
lanjut, local maupun metastatis. Kemoterapi sangat penting dan dirasakan besar
manfaatnya karena bersifat sistemik mematikan/membunuh sel-sel kanker dengan
cara pemberian melalui infuse, dan sering menjadi pilihan metode efektif dalam
mengatasi kanker terutama kanker stadium lanjut local.  Kemoterapi Merupakan
bentuk pengobatan kanker dengan menggunakan obat sitostatika yaitu suatu zat-
zat yang dapat menghambat proliferasi sel-sel kanker.
DAFTAR PUSTAKA

1. Poedjomartono, B., et al. Boron Neutron Capture Therapy for Cancer:


Future Prospect in Indonesia. 2018. 35(3). 199-201
2. Cancercare. Understanding and Mnaging: Chemotherapy Side Effect.
2018.
3. Perhimpunan Dokter Spesialis Patologis Klinik Indonesia. Indonesian
Journal of clinical Patholgy and Medical Laboratory. 2011. 17(2).
4. American Cancer Society. Chemotherapy Side Effect. Pp.1-6
5. Aslam, MS., et al. Side Effect ofChemotherapy in Cancer Patient and
Evaluation of Patient Opinion About Starvation Based Differential
Chemotherapy. Journal of Cancer Therapy. 2014. 5.817-822
6. Mustian K., Pascak J.P., et al. Chemotherapy-Induced Nausea and
Vomitting. US Oncologi. 2014
7. Dewan, P., Swati S., dan Deepika H. Management of Chmeotherapu-
Induced Nausea and Vomiting. 2010. 47. 149-155.
8. Ortega F., et al. Chemotherapu-Induced Nausea and Vomiting In Clinical
Practice: Impact on Patients Quality of Life. 2012. 20. 3143148.
9. Gonzalez BR., et al. Pathogenesis and Treatment Option for
Chemotherapy Induced Alopecia: A Systematic Review. Internasional
Journal of Drmatology. 2018.
10. Ralph M.T. Chemotherapy Induced Alopecia. 2010. Current Opinion in
Supportive and Palliative Care.4. 281-284
11. Cidon E.U. Chemotherapy Induced Oral Mucositis: Prevention is Possible.
2018. 7(1). 1-7.
12. Acute Oncology Group. Acute Mucositis and Gastrointestinal Toxicity
Caused By Radiotherapy or Systemic Anti-Cancer Treatment. 2017. 1(3).

Anda mungkin juga menyukai