Anda di halaman 1dari 10

2.

3 Angiogenesis Inhibitor
2.3.1 Bevacizumab

Bevacizumab adalah obat kanker dengan mekanisme menghambat proses angiogenesis.


Angiogenesis adalah proses pembentukan pembuluh darah baru dari pembuluh darah
yang sudah ada. Bevacizumab adalah Rekombinan antibodi IgG1 manusia yang
menginhibisi vascular endothelial growth factor (VEGF). Obat ini merupakan molekul igG
pertama yang di-approve FDA yang spesifik menarget angiogenesis. Mekanisme kerja
obat ini adalah dengan mengikat VEGF sehingga VEGF tidak dapat berikatan dengan
reseptornya, yaitu VEGFR-1, VEGFR-2, dan VEGFR-3. Efek yang ditimbulkan jika VEGF
berikatan dengan reseptornya adalah angiogenesis, sehingga jika Bevacizumab mengikat
VEGF sehingga VEGF tidak dapat berikatan dengan reseptornya, maka proses
angiogenesis tidak akan terjadi. Berikut merupakan skema dan gambar mekanisme kerja
Bevacizumab:
Gambar 1. Mekanisme Kerja Bevacizumab
Sumber: US National1.
Gambar Library of Medicine
Mekanisme National
Kerja Institutes of Health
Bevacizumab

Berikut beberapa penggunaan klinis Bevacizumab:


• Metastatic Renal-Cell Carcinoma
Meningkatkan survival pasien hingga 3 bulan
• Glioblastoma, yaitu kanker otak.
• Lung Cancer
Biasa dikombinasikan dengan Carboplatin & Paclitaxel. Kombinasi ini diketahui

meningkatkan survival pasien hingga 2 bulan


• Metastatic Colon Cancer
Meningkatkan survival pasien hingga 5 bulan
• Metastatic Breast Cancer

Rute administrasi Bevacizumab ialah secara infus parenteral dengan lama waktu infus 30-
90 menit untuk dosis awal. Jika menunjukkan hasil positif atau dapat ditoleransi pasien,
lanjutkan dengan 60 menit, jika berhasil juga lanjutkan selama 30 menit. Adapun besar
dosis yang digunakan berbeda untuk setiap indikasi:
 Kanker kolon, sebesar 5 mg/kg setiap 2 minggu, infus intravena
 Metastatic non–small cell lung cancer 15 mg/kg setiap 3 minggu
 Metastatic breast cancer, 10 mg/kg setiap 2 minggu dengaan kombinasi dengan
paclitaxel atau docetaxel.
Secara farmakokinetik, Bevacizumab memiliki waktu paruh selama 4 minggu dan
dieliminasi dengan opsonisasi via sistem reticuloendotelial dengan berikatan dengan sel
endotel.
Beberapa efek samping obat ini diantaranya adalah Luka pembuluh darah, Pendarahan,
Luka sukar sembuh, Hipertensi (Karena berkurangnya produksi endotelial NO),
Proteinuria, Stroke, Infark miokard dan GI perforation (lubang pada saluran cerna). Obat
ini memiliki kontraindikasi berupa hemoptysis, brain metastasis, pendarahan yang parah,
dan kehamilan (kategori C).

2.3.2 Sunitinib

Sunitinib adalah obat kanker yang menghambat reseptor tirosin kinase. Protein kinase
adalah enzim yang berfungsi untuk transfer fosfat dari ATP ke protein dalam sel. Sementara
Tyrosin Kinase adalah protein yang mentransfer fosfat khusus ke asam amino tyrosin.
Fungsi dari transfer fosfat ini adalah untuk meneruskan komunikasi sel, regulasi aktivitas
selular, dan lain-lain.

Mekanisme kerja Sunitinib ialah Inhibitor kompetitif pengikatan ATP ke domain berbagai jenis
tyrosin kinase, sehingga cellular cascade-nya tidak bisa diteruskan.
Gambar 2.

Mekanisme Kerja Sunitinib secara Garis Besar


Sumber: American Association for Cancer Research

Obat ini bekerja pada reseptor tyrosin kinase yang berperan dalam pertumbuhan sel,
angiogenesis, dan cell survival:
 Inhibitor vascular endothelial
growth factor receptors (VEGFR1,
VEGFR2 dan VEGFR3). Ketiga
reseptor ini memiliki sedikit
perbedaan karakteristik, namun
fungsi secara umumnya sama.
Berikut merupakan gambar
mekanismenya:

Gambar 3. Mekanisme Kerja Sunitinib


Sumber: US National Library of Medicine National
Institutes of Health
 Inhibitor stem cell factor receptor (KIT)

 Inibitor Fms-like tyrosine kinase-3 (FLT3)

 Inhibitor colony stimulating factor receptor Type 1 (CSF-1R).


 Inhibitor the glial cell-line derived neurotrophic factor receptor (RET)

 Inhibitor platelet-derived growth factor receptors (PDGFR-α, PDGFR-β)

Sunitinib digunakan secara klinis untuk:


 Metastatic renal cell cancer
Menunjukkan respon lebih tinggi sebanyak 31%
 Advance renal cell carcinoma dan gastrointestinal stromal tumors (GIST) yang
resisten Imatinib (akibat mutasi c-KIT)
 Pancreatic neuroendocrine tumors
Dosis yang digunakan adalah sebesar 50 mg per hari melalui rute peroral. Pengobatan
dilakukan selama satu siklus 4 minggu pengobatan dan 2 minggu penghentian obat. Perlu
diketahui bahwa peningkatan atau penurunan dosis obat sejumlah 12,5 mg dapat
dilakukan sesuai dengan keamanan dan kemampuan toleransi seseorang.

Profil farmakokinetika absorbs dan distribusi obat ini menunjukkan Cmax tercapai dalam
waktu 6-12 jam setelah oral, waktu steady state 2 minggu setelah pengulangan
administrasi parent drug, Volume distribusi 2230 L, berikatan dengan protein plasma 90-
95%, dan waktu paruh 80-110 jam. Obat ini dimetabolisme secara hepatik oleh CYP3A4,
menghasilkan metabolit aktif SU12662 yang kemudian dimetabolisme kembali oleh
CYP3A4 dan diekskresi melalui feses sebanyak 61% serta melalui urin sebanyak 16%.

Efek samping yang mungkin ditimbulkan oleh obat ini diantaranya Kelelahan (50-70%),
Hipotiroid (40-60%), Pendarahan, Hipertensi, Congestive heart failure, Skin rash dan
hand-foot syndrome (30-50%), Proteinuria, Arterial thromboembolic, intestinal
perforation, Neutropenia (neutrophils <1000/mL) (10%) dan Diare.

2.4 Proteasome Inhibitor


2.4.1 Bortezomib

Bortezomib adalah obat kanker yang merupakan terapi pertama untuk proteasome
inhibitor. Proteasome adalah kompleks protein yang merusak protein berbahaya/tak dibutuhkan
kembali melalui proteolysis. Proteolisis adalah suatu proses pemecahan ikatan peptide.
Atom boron pada Bortezomib akan berikatan spesifik dengan 26S proteasome dengan
afinitas tinggi, menyebabkan apoptosis atau kematian sel. 26S Proteasome
adalah proteasome yang secara eksklusif ada di mamalia. Bortezomib berikatan secara
spesifik dengan β5 subunit dari 20S core milik 26S proteasome dan secara reversible inhibisi
chymotrypsin-like activity dari enzim tersebut.
Gambar 4. Struktur Protein 26 Proteasome dan Tempat Pengikatan Bortezomib
Sumber: US National Library of Medicine National Institutes of Health
Mekanisme kerja obat ini berawal dari sel tumor yang diketahui banyak menghasilkan NF-
Kb (nuclear factor kappa-light-chain-enhancer of activated B cells), sebuah kompleks
protein yang mengontrol proses transkripsi DNA, produksi sitokin dan cell survival, yang
kemudian NF-Kb ini akan berikatan dengan IkB, lalu setelah berikatan, NF-Kb ini akan
terikat di sitosol sehingga tidak bisa berpindah ke nucleus, mengakibatkan gagalnya
transkripsi DNA. Namun, dengan adanya zat-zat kimia yang bersifat karsinogen, hypoxia,
dan beberapa jenis kemoterapi, IkB dapat terubiquinitasi (penambahan ubiquitin)
sehingga oleh proteasome akan didegradasi dan proses degradasi ini menghasilkan NF-
Kb, namun karena IkB sudah terdegradasi akibat zat-zat tersebut, maka tidak ada yang
dapat mengikat NF-kb di sitosol, sehingga NF-kb akan berpindah ke nucleus sehingga sel
akan bertahan (tidak apoptosis). Skema mekanismenya adalah sebagai berikut:

‘Gambar 5. Skema Mekanisme Kerja Bortezomib


Sumber: https://www.drugbank.ca

Beberapa penggunaan klinis dari Bortezomib diantaranya:


 Terapi awal untuk multiple myeloma
 Terapi multiple myeloma yang kambuh kembali
 Terapi multiple myeloma jika gagal dengan dua terapi sebelumnya
 Limfoma sel mantle yang sudah pernah diterapi satu kali.
 Meningkatkan efek obat lain jika dikombinasikan dengan thalidomide,
lenalidomide, liposomal doxorubicin, or dexamethasone.
Dosisnya disesuaikan dengan indikasi:
 Kekambuhan multiple myeloma dan limfoma sel mantle
Dosis awal melalui Intravena sebesar 1.3 mg/m2 pada hari ke 1,4,8,11 setiap
siklus 21 hari, dan diikuti pemberhentian selama 10 hari.

 Dosis modifikasi dan inisiasi ulang terapi


Pasien yang mengalami neuropati dapat melanjutkan terapi setelah gejala toksis
hilang dengan pengurangan dosis sebanyak 25% (1,3 mg/m2/dosis menjadi 1,0
mg/m2/dosis; 1,0 mg/m2/dosis menjadi 0,7 mg/m2/dosis).
Profil farmakokinetikanya yaitu peak mencapai 60% setelah pemberian 1 jam, waktu
paruh 5,5 jam, berikatan dengan protein sebanyak 83%, metabolism dengan
dioksidasi oleh cytochrome P450 enzymes 3A4, 2C19, dan 1A2 proses deboronation
sebanyak 90% dari senyawa asli, lalu hidroksilasi oleh CYP3A4 dan CYP2D6.
Beberapa efek samping yang mungkin terjadi diantaranya Trombositopenia (28%),
Kelelahan (12%), Neuropati perifer (12%), Neutropenia, Sakit tungkai/lengan, Diare,
Dehidrasi, Anemia, Mual muntah. Sementara dosis tinggi dapat menyebabkan
Hipotensi, Cardiac toxicity, Congestive heart failure dan Prolonged QT-interval

Referensi
• Pusat Informasi Obat Nasional. Available from http://pionas.pom.go.id
• Drug Bank. Available from https://www.drugbank.ca
• Goodman, L. S., Brunton, L. L., Chabner, B., & Knollmann, B. C. (2011). Goodman &
Gilman's pharmacological basis of therapeutics. New York: McGraw-Hill
• Katzung, B. G., Masters, S. B., & Trevor, A. J. (2012). Basic & clinical pharmacology. New
York: McGraw-Hill Medical.
• Rahimi, Nader. (2006). Vascular endothelial growth factor receptors: Molecular
mechanisms of activation and therapeutic potentials
fromhttps://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1576298/
• Mikov et al. (2014). C-KIT signaling in cancer treatment. Available from
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/23944364
• Ferranti, et al. (2012). Glial cell line-derived neurotrophic factor promotes invasive
behaviour in testicular seminoma cells. Available from
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22519471
• Kim, Mihwa., Dae Joon, Kim. (2018). GFRA1: A Novel Molecular Target for the Prevention
of Osteosarcoma Chemoresistance. International Journal of Molecular Sciences.
DOI: 10.3390/ijms19041078

Anda mungkin juga menyukai