Anda di halaman 1dari 39

munosupresan adalah kelompok obat yang digunakan untuk menekan respon imun

seperti pencegah penolakan transpalansi, mengatasi penyakit autoimun dan mencegah


hemolisis rhesus dan neonatus. Sebagain dari kelompok ini bersifat sitotokis dan
digunakan sebagai antikanker. Immunosupresan merupakan zat-zat yang justru
menekan aktivitas sistem imun dengan jalan interaksi di berbagai titik dari sistem
tersebut. Titik kerjanya dalam proses-imun dapat berupa penghambatan transkripsi dari
cytokin, sehingga mata rantai penting dalam respon-imun diperlemah. Khususnya IL-2
adalah esensial bagi perbanyakan dan diferensial limfosit, yang dapat dihambat pula
oleh efek sitostatis langsung. Lagi pula T-cells bisa diinaktifkan atau dimusnahkan
dengan pembentukan antibodies terhadap limfosit.

Imunosupresan digunakan untuk tiga indikasi utama yaitu, transplanatasi organ,


penyakit autoimun, dan pencegahan hemolisis Rhesus pada neonatus.

1. Transplantasi organ

Penggunaannya.Immunosupresan banyak digunakan untuk mencegah reaksi penolakan


pada transplantasi organ, karena tubuh membentuk antibodies terhadap sel-sel asing
yang diterimanya. Guna mencegah penolakan transplantat selalu diberikan :

– Kortikisteroida

– Azatriopin, siklofosfanida, atau mycofenolat

– Siklosporin-A dan tacrolimus

– Limfositimunoglobulin (Limfoglobulin)

2. Penyakit autoimun

Guna menekan aktivitas penyakit auto imun sering digunakan zat-zat imunosupresif.
Misalnya, pada rematik dan penyakit radang usus (colitis ulcerosa, M. Crohn) diberikan
sulfasalazin dan sitostatika (MTX, azatioprin).

3. Pencegahan hemolisis rhesus pada neonates

Mekanisme kerja :

Respon imun

Pada mahkluk tingkat tinggi seperti hewan vertebrata dan manusia, terdapat dua sistem
pertahanan (imunitas), yaitu imunitas nonsepesifik (innate immunity) dan imunitas
spesifik ( adaptive imunity).

1. Imunitas nonspesifik

Merupakan mekanisme pertahanan terdepan yang meliputi komponen fisik berupa


keutuhan kulit dan mukosa; komponen biokimiawi seperti asam lambung, lisozim,
komploment ; dan komponen seluler nonspesifik seperti netrofil dan makrofag. Netrofil
dan makrofag melakukan fagositosis terhadap benda asing dan memproduksi berbagai
mediator untuk menarik sel-sel inflamasi lain di daerah infeksi. Selanjutnya benda asing
akan dihancurkan dengan mekanisme inflamasi.

2. Imunitas spesifik

Memiliki karakterisasi khusus antara lain kemampuannya untuk bereaksi secara spesifik
dengan antigen tertentu; kemampuan membedakan antigen asing dengan antigen
sendiri (nonself terhadap self) ; dan kemampuan untuk bereaksi lebih cepat dan lebih
efesien terhadap antigen yang sudah dikenal sebelumnya. Respon imun spesifik ini
terdiri dari dua sistem imun , yaitu imunitas seluler dan imunitas humoral. Imunitas
seluer melibatkan sel limposit T, sedangkan imunitas humoral melibatkan limposit B dan
sel plasma yang berfungsi memproduksi antibodi.

Aktivitas sistem imun spesifik memerlukan partisipasi kelompok sel yang disebut sebagai
antigen presenting sel. Prinsip umum penggunaan imunosupresan untuk mencapai hasil
terapi yang optimal adalah sebagai berikut:

1. Respon imun primer lebih mudah dikendalikan dan ditekan dibandingkan dengan
respon imun sekunder. Tahap awal respon primer mencakup: pengolahan antigen oleh
APC, sintesis limfokin, proliferasi dan diferensiasi sel-sel imun. Tahap ini merupakan
yang paling sensitif terhadap obat imunosupresan. Sebaliknya, begitu terbentuk sel
memori, maka efektifitas obat imunosupresan akan jauh berkurang.

2. Obat imunosupresan memberikan efek yang berbeda terhadap antigen yang berbeda.
Dosis yang dibutuhkan untuk menekan respon imun terhadap suatu antigen berbeda
dengan dosis untuk antigen lain.

3.Penghambatan respon imun lebih berhasil bila obat imunosupresan diberikan sebelum
paparan terhadap antigen. Sayangnya, hampir semua penyakit autoimun baru bisa
dikenal setelah autoimuitas berkembang, sehingga relatif sulit di atasi.

Jika sistem kekebalan melemah, kemampuannya untuk melindungi tubuh juga


berkurang, membuat patogen, termasuk virus yang menyebabkan penyakit. Penyakit
defisiensi imun muncul ketika sistem imun kurang aktif daripada biasanya,
menyebabkan munculnya infeksi. Defisiensi imun merupakan penyebab dari penyakit
genetik, seperti severe combined immunodeficiency, atau diproduksi oleh farmaseutikal
atau infeksi, seperti sindrom defisiensi imun dapatan (AIDS) yang disebabkan oleh
retrovirus HIV. Penyakit autoimun menyebabkan sistem imun yang hiperaktif
menyerang jaringan normal seperti jaringan tersebut merupakan benda asing. Penyakit
autoimun yang umum termasuk rheumatoid arthritis, diabetes melitus tipe 1 dan lupus
erythematosus. Peran penting imunologi tersebut pada kesehatan dan penyakit adalah
bagian dari penelitian.

Contoh Imunosupresan : Metotrekstat, Azatioprin, Siklofosfamid intravena,


Cyclophosphamide

Metotrekstat

– Nama : 4-amino-4-deoxy–10-methylpteoryl-L-glutamic acid.

– Struktur kimia : C20H22N8O5


– Sifat Fisikokimia : Serbuk kristal berwarna kuning atau oranye, higroskopis. Praktis
tidak larut dalam air, alkohol, diklorometan, terurai dalam larutan asam mineral, basa
hidroksida dan karbonat.

– Golongan/Kelas Terapi : Antineoplastik, Imunosupresan dan obat utnuk terapi.

– Nama dagang :Emthexate-Combiphar/Pharmachemie,Methotrexat-


Ebewe, Methotrexate-Kalbe.

– Indikasi :

Pengobatan untuk neoplasma trofoblatik, leukemia, psoriasis, reumatoid artritis,


termasuk terapi poliartikular juvenile reumatoid artritis (JDR); karsinoma payudara,
karsinoma leher dan karsinoma kepala,karsinoma paru, osteosarkoma, sarcoma jaringan
lunak, karsinoma saluran gastrointestinal, karsinoma esofagus, karsinoma testes,
karsinoma limfoma.

– Dosis, cara pemberian dan lama pemberian :

Dosis 100 – 500 mg/m² membutuhkan leucovorin rescue, > 500 mg/m² harus
menggunakan leucovorin rescue baik secara iv, im, maupun oral. Leucovorin 10 mg/m²
setiap 6 jam untuk 6-8 dosis dimulai 24 jam setelah pemberian metotreksat. Pemberian
leucovorin dilanjutkan sampai kadar metotreksat dalam darah sebesar < 0.1 micromolar.
Jika kadar metotreksat setelah 48 jam > 1 mikromolar atau setelah 72 jam > 0.2
micromolar,berikan leucovorin 100 mg/m² setiap 6 jam sampai kadar metotreksat
sebesar < 0.1 micromolar.

– Farmakologi :

Onset kerja : Antirematik: 3-6 minggu; tambahan perbaikan bisa dilanjutkan lebih lama
dari 12 minggu.

Absorpsi : Oral: cepat : diserap baik pada dosis rendah (<30 mg/m2); tidak lengkap
setelah dosis tinggi ; I.M.: Lengkap

Distribusi : Penetrasi lambat sampai cairan fase 3 (misal pleural efusi, ascites), eksis
lambat dari kompartemen ini (lebih lambat dari plasma), melewati plasenta, jumlah
sedikit masuk kelenjar susu, konsentrasi berangsur-angsur dikeluarkan di ginjal dan hati.

Ikatan protein: 50%

Metabolisme: <10%: Degradasi dengan flora intestinal pada DAMPA dengan


karboksipeptida, oksidasi aldehid konversi metotreksat menjadi 7-OH metotreksat di
hati; poliglutamat diproduksi secara mempunyai kekuatan samadengan metotreksat,
produksinya tergantung dosis, durasi dan lambat dieliminasi oleh sel.

T ½ eliminasi: Dosis rendah: 3-10 jam; I.M.: 30-60 menit.

Ekskresi : Urin (44%-100%); feses (jumlah kecil)

– Stabilitas penyimpanan :
Tablet dan vial disimpan pada suhu kamar (15-25°C), hindari cahaya matahari langsung.

– Kontra Indikasi :

Hipersensitifitas dari metotreksat dan komponan lain dari sediaan; kerusakan hebat
ginjal dan hati,pasien yang mengalami supresi sum-sum tulang dengan psoriasis atau
reumatoid artritits,penyakit alkoholik hati,AIDS,darah diskariasis,kehamilan,menyusui.

– Efek samping :

Efek samping beragam sesuai rute pemberian dan dosis.

1. Hematologi dan/atau toksisitas gastrointestinal : sering terjadi pada penggunaan


umum dari dosis umum metotreksat; reaksi ini lebih sedikit terjadi ketika digunakan
pada dosis topikal untuk reumatoid artritis.

2. SSP : (dengan pemberian intratekal atau terapi dosis tinggi): Arachnoides: Manifestasi
reaksi akut sebagai sakit kepala hebat, rigidity nuchal, muntah dan demam, dapat
alleviated dengan pengurangan dosis.

3. Subakut toksisitas: 10% pasien diobat dengan 12-15 mg/m2 dari intratekal
metotreksat bisa membuat ini dalam minggu kedua atau ketiga dari terapi; konsis dari
paralisis motor dari ekstremites,palsy nerve kranial, seizure, atau koma.Hal ini juga
terlihat pada pediatrik yang menerima dosis tinggi IV metotreksat.

4. Demyelinating enselopati: telihat dalam bulan atau tahun setelah menerima


metotreksat; biasanya diasosiasikan dengan iradiasi kranial atau kemoterapi sistemik
yang lain.

5.Dermatologi: Kulit menjadi kemerahan.Endokrin dan metabolik:


Hipoerurikemia,detektif oogenesis, atau spermatogenesis.

6. GI: Ulserativ stomatitis, glossitis, gingivitis, mual, muntah, diare, anoreksia, perforasi
intestinal, mukositis (tergantung dosis; terlihat pada 3-7 hari setelah terapi, terhenti
setelah 2 minggu)

7.Hematologi: Leukopenia, trombositopenia.Ginjal: Gagal ginjal,


azotemia,nefropati.Pernafasan: Faringitis. 1%-10%

8. Kardiovaskular: Vaskulitis.SSP, pusing, malaise, enselopati, seizure, demam, chills.

9. Myelosupresif : Terutama faktor batas-dosis (bersama dengan mukositis) dari


metotreksat, terjadi sekitar 5-7 hari setelah terapi, dan harus dihentikan selama 2
minggu.

10. WBC : Ringan, Platelet: Sedang, Onset: 7 hari, Nadir: 10 hari, Recovery: 21 hari

11. Hepatik : Sirosis dan fibrosis portal pernah diasosiasikan dengan terapi kronik
metotreksat, evaliasi akut dari enzym liver adalah biasa terjadi setelah dosis tinggi dan
biasanya resolved dalam 1 hari.Neuromuskular dan skeletal: Arthalgia.Okular: Pandanga
12. Renal : Disfungsi ginjal. Manifestasi karena abrupt rise pada serum kreatinin dan
BUN dan penurunan output urin, biasa terjadi pada dosis tinggi dan berhubungan
dengan presipitasi dari obat.

13. Respirator (Penumositis) : Berhubungan dengan demam, batuk, dan interstitial


pulmonari infitrates; pengobatan dengan metotreksat selama reaksi akut; interstitial
pneumisitis pernah dilaporkan terjadi dengan insiden dari 1% pasien dengan RA (dosis
7.5-15 mg/minggu) <1% (terbatas sampai penting untuk penyelamatan hidup):
Neurologi akut sindrom (pada dosis tinggi- simptom termasuk kebingungan,
hemiparesis, kebutaan transisi,dan koma); anafilaksis alveolitis; disfungsi kognitif
(pernah dilaporkan pada dosis rendah),penurunan resistensi infeksi,eritema multiforma,
kegagalan hepatik, leukoenselopati (terutama mengikuti irasiasi spinal atau pengulangan
terapi dosis tinggi),disorder limpoproliferatif, osteonekrosis dan nekrosis jaringan lunak
(dengan radioterapi), perikarditis, erosions plaque (Psoriasis), seizure (lebih sering pada
pasien dengan ALL),sindrom Stevens – Johnson, tromboembolisme.

-Interaksi :

1. Dengan Obat lain

Efek meningkatkan/toksisitas: Pengobatan bersama dengan NSAID telah menghasilkan


supresi sum-sum tulang berat, anemia aplastik dan toksisitas pada saluran
gastrointestinal. NSAID tidak boleh digunakan selama menggunakan metotreksat dosis
sedang atau tinggi karena dapat meningkatkan level metotreksat dalam darah (dapat
menaikkan toksisitas):

NSAID digunakan selama pengobatan dari reumatoid artritis tidak pernah amati, tapi
kelanjutan dari regimen terdahulu pernah diikuti pada beberapa keadaan, dengan
peringatan monitoring. Salisilat bisa meningkatkan level metotreksat, bagaimanapun
penggunaan salisilat untuk profilaksis dari kejadian kardiovaskular tidak mendapat
perhatian.

2. Dengan Makanan

Serum level metotreksat bisa menurun jika bersama dengan makanan. Makanan dengan
banyak susu dapat menurunkan absorpsi metotreksat. Folat dapat menurunkan respons
obat. Hindari echinacea (mempunyai sifat sebagai imunostimulan).

-Pengaruh :

1. Kehamilan

Faktor resiko X

2. Ibu menyusui

Metotreksat didistribusikan ke dalam air susu, dikontraindikasikan untuk ibu menyusui.

-Bentuk Sediaan : Tablet 2.5 ml, Vial 5 mg/2ml, Vial 50 mg/2 ml, Ampul 5 mg/ml, Vial
50mg/5ml
Zat-zat lain

1. Kortikosteroda

Hormon anak ginjal berkhasiat anti radang, imunosupresif, dan antialergis. Kedua efek
terakhir untuk sebagian besar berhubungan dengan kerja antiradangnya dan terutama
nampak pada reaksi imun di jaringan. Misalnya migrasi sel dan aktivitas fagocytose dari
makrofag/monocyt dikurangi. Juga jaringan lymfatis dirombak, dimana limfosit-T dan –B
berperan. Pembentukan antibodies hanya ditekan pada dosis amat tinggi.
Kortikosteroida banyak digunakan sebagai obat tambahan pada penyakit auto-imun
seperti rema, Sjogren, SLE, dan MS (multiple scerosis), juga pada terapi kanker. Efektif
sekali untuk menekan dengan pesat exacerbatio penyakit (mendadak menjadi parahnya
gejala penyakit).Untuk memelihara remisi pada penyakit-usus beradang kronis ternyata
kurang efektif.

2. Siklosporin (Sandimmun, Neoral)

Endecapeptida siklis ini (1983) diperoleh dari fungi Tolypocladium inflatum dan terdiri
dari 11 asam amino. Bersifat Immunosupresif istimewa dengan jalan menghambat
secara spesifik respons-imun seluler. Proliferasi T-helpercells dan cytotoxic cells
dihambat secara selektif dan reversible. Juga merintangi produksi/pelepasan IL-2 dan
banyak limfokin lain. Produksi Limfo-T supressorcells justru distimulasi . Tidak berkhasiat
myelosupressif.

Siklosporin terutama digunakan berkat sifat-sifat ini pada transplantasi organ atau
sumsum untuk profilakse dan penanganan reaksi penolakan. Juga pada psioriasis, colitis
dan penyakit Crohn. Siklosporin dapat dikombinasi dengan kortikoida atau
immunosupressiva yang lain dengan maksud mengurangi nefrotoksisitasnya.

Resorbsi dari usus sangat variable, BA-nya 10-15%, PP-nya 98%, plasma T1/2-nya ca 20
jam. Bersifat sangat lipofil, maka distribusinya baik kesemua jaringan tubuh. Dalam hati
dirombak menjadi 15 metabolityang terutama diekskresikan melalui empedu dengan
siklus enterohepatis. Hanya 6% dieksresikan lewat kemih.

Efek samping utamanya adalah yang tergantung dari dosis dengan turunya nilai kreatinin
(reversible). Juga hipertensi, hiperlipidemia, hipertrichosis, gangguan lambung-
usus,nyeri kepala, tangan rasa terbakar, konvulsi, gangguan darah dan lain-lain. Bersifat
karsinogen terutama bila digunakan lama dengan dosis tinggi (limfoma, kanker kulit).

Dosis : 4-12 jam sebelum transplantasi, oral 2,5-15 mg/kg selama 1-2 bulan, juga sebagai
infuse intravena. Dosis disesuaikan dengan kadar siklosporin dalam darah.

3. Tacrolimus (prograf)

Senyawa makrolida ini diekstraksi dari jamur streptomyces tsukubaensis (1993). Khasiat
dan mekanisme immunosupressivenya sama dengan sikolosporin, tetapi ca lebih kuat
50x dalam hal pencegahan sintesa IL-2 yang mutlak perlu untuk proliferasi sel –T. Juga
bersifat sangat lipofil dan sama efektifnya dengan siklosporin pada transplantasi hati,
jantung, paru-paru, dan ginjal. Terutama digunakan bersama kortikosteroida. Lebih
sering menimbulkan efek samping berupa toksisitas bagi ginjal dan saraf.
Dosis : infuse i.v. 0,05-0,1 mg /kg/hari, 6 jam setelah transplantasi selama 2-3 hari, lalu
dilanjutkan oral 0,15-0,3 mg/kg/hari dalam 2 dosis.

4. Mycofenolat-mofetil (CellCept)

Obat terbaru ini (1996) adalah prodrug dengan khasiat menekan perbenyakan dari
khusus limfosit melalui inhibisi enzim dehidrogenasi yang diperlukan untuk sintese purin
(DNA/RNA). Ternyata sangat efektif untuk melawan penolakan akut setelah
transplantasi ginjal. Dibandingkan dengan obat-obat lainya , yaitu azatioprin dan
siklosporin ( dan prednisone), persentase penolakan dikurangi sampai 50%. Lagi pula
efek sampingnya lebih sedikit. Mungkin berdaya pula untuk menghambat penolakan
menahun (jangka panjang) yang smpai kini merupakan maslah besar.

Resorpsinya dari usus baik, dengan BA 90%. Dalam hati segera diubah menjadi asam
mycofenolat aktif . Ekskresinya berlangsung melaluiurin sebagai glukuronidanya (inaktif),
sesudah mengalami resirkulasi enterohepatis. Plasma – t1/2 mycofenolat adalah ca 16
jam.

Dosis : dalam waktu 72 jam setelah transplantasi 2 dd 1ga.c dengan minyak air.

5. Talidomida (synovir)

Derivat-piperidin ini (1957) adalah obat tidur dengan efek teratogen sangat kuat
(peristiwa softenon, 1962, lihat edisi empat), yang berdasarkan khasiat anti-
angiogenesisnya. Juga berdaya imunosupresif (anti-TNF). Dan antiradang. Setelah
dilarang peredaranya selama lebih dari 25 tahun, sejak awal tahun 1990-an talidomida
mulai digunakan lagi antara lain untuk menekan reaksi lepra dan meringankan gejala
AIDS seperti (aphtae) dimulut , kerongkongan, dan kemaluan, serta diare dan kehilangan
bobot serius. Di AS penggunaanya pada lepra disahkan kembali sejak akhir tahun 1997
dengan syarat- syarat ketat. Dewasa ini efektivitasnya sedang diselidiki secara klinis
untuk berbagai penyakit auto-imun.

6. Sulfalazin (sulcolon)

Sulfalazin adalah persenyawaan sulfapiridin dengan 5- ASA yang bersifat antiradang


dengan jalan blokade siklo-oksigenase serta lipoksigenase dan dengan demikian
mencegah sintesis prostaglandin dan leukotrien . Sulfalazin mempengaruhi fungsi
limfosit, mungkin lewat cytokine, juga berdaya antioksidans ( ‘ Menangkap’ radikal
bebas O2). Zat ini digunakan khusus pada penyakit usus beradang kronis (crohn, colitis)
dan pada rema.
Imunosupresan adalah kelompok obat yang digunakan untuk menekan
respon imun seperti pencegah penolakan transpalansi, mengatasi penyakit
autoimun dan mencegah hemolisis rhesus dan neonatus. Sebagain dari kelompok
ini bersifat sitotokis dan digunakan sebagai antikanker. Immunosupresan
merupakan zat-zat yang justru menekan aktivitas sistem imun dengan jalan
interaksi di berbagai titik dari sistem tersebut. Titik kerjanya dalam proses-imun
dapat berupa penghambatan transkripsi dari cytokin, sehingga mata rantai penting
dalam respon-imun diperlemah. Khususnya IL-2 adalah esensial bagi perbanyakan
dan diferensial limfosit, yang dapat dihambat pula oleh efek sitostatis langsung.
Lagi pula T-cells bisa diinaktifkan atau dimusnahkan dengan pembentukan
antibodies terhadap limfosit.Imunosupresan digunakan untuk tiga indikasi utama
yaitu, transplanatasi organ, penyakit autoimun, dan pencegahan hemolisis Rhesus
pada neonatus.
2.2 Deskripsi
Imunosupresan adalah kelompok obat yang digunakan untuk menekan
respon imun seperti pencegah penolakan transpalansi, mengatasi penyakit
autoimun dan mencegah hemolisis rhesus dan neonatus. Sebagain dari kelompok
ini bersifat sitotokis dan digunakan sebagai antikanker.
 Respon imun
Pada mahkluk tingkat tinggi seperti hewan vertebrata dan manusia, terdapat dua
sistem pertahanan (imunitas), yaitu imunitas nonsepesifik (innate immunity) dan
imunitas spesifik ( adaptive imunity).

1. Imunitas nonspesifik.
Merupakan mekanisme pertahanan terdepan yang meliputi komponen fisik berupa
keutuhan kulit dan mukosa; komponen biokimiawi seperti asam lambung, lisozim,
komploment ; dan komponen seluler nonspesifik seperti netrofil dan makrofag.
Netrofil dan makrofag melakukan fagositosis terhadap benda asing dan
memproduksi berbagai mediator untuk menarik sel-sel inflamasi lain di daerah
infeksi. Selanjutnya benda asing akan dihancurkan dengan mekanisme inflamasi.
2. Imunitas spesifik
Memiliki karakterisasi khusus antara lain kemampuannya untuk bereaksi secara
spesifik dengan antigen tertentu; kemampuan membedakan antigen asing dengan
antigen sendiri (nonself terhadap self) ; dan kemampuan untuk bereaksi lebih
cepat dan lebih efesien terhadap antigen yang sudah dikenal sebelumnya. Respon
imun spesifik ini terdiri dari dua sistem imun , yaitu imunitas seluler dan imunitas
humoral. Imunitas seluer melibatkan sel limposit T, sedangkan imunitas humoral
melibatkan limposit B dan sel plasma yang berfungsi memproduksi antibodi.
 Aktivitas respon imun spesifik
Aktivitas sistem imun spesifik memerlukan partisipasi kelompok sel yang disebut
sebagai antigen presenting sel.
 Indikasi imunosupresan
Imunosupresan digunakan untuk tiga indikasi utama yaitu:
1. transplantasi organ
2. penyakit autoimun
3. pencegahan hemolisis Rhesus pada neonates
 Prinsip umum terapi imunosupresan
Prinsip umum penggunaan imunosupresan untuk mencapai hasil terapi yang
optimal adalah sebagai berikut:
1. Respon imun primer lebih mudah dikendalikan dan ditekan dibandingkan dengan
respon imun sekunder. Tahap awal respon primer mencakup: pengolahan antigen
oleh APC, sintesis limfokin, proliferasi dan diferensiasi sel-sel imun. Tahap ini
merupakan yang paling sensitif terhadap obat imunosupresan. Sebaliknya, begitu
terbentuk sel memori, maka efektifitas obat imunosupresan akan jauh berkurang.
2. Obat imunosupresan memberikan efek yang berbeda terhadap antigen yang berbeda.
Dosis yang dibutuhkan untuk menekan respon imun terhadap suatu antigen
berbeda dengan dosis untuk antigen lain.
3. Penghambatan respon imun lebih berhasil bila obat imunosupresan diberikan
sebelum paparan terhadap antigen. Sayangnya, hampir semua penyakit autoimun
baru bisa dikenal setelah autoimuitas berkembang, sehingga relatif sulit diatasi.
 Pilahan Obat Imunosupresan
Secara praktis, di klinik penggunaan obat imunosupresan berdasarkan waktu
pemberiannya. Untuk itu, respon imun dibagi dalam dua fase :
1. Fase pertama adalah fase induksi, yang meliputi :
 Fase pengolahan antigen oleh makrofag, dan pengenalan antigen oleh limfosit
imunokompeten.
 Fase proliferasi dan diferensiasi sel B dan sel T
2. Fase kedua adalah fase produksi, yaitu fase sintesis aktif antibodi dan limfokin.
Berdasarkan respon imun, imunosupresan dibagi menjadi tiga kelas :
Kelas I: harus diberikan sebelum fase induksi yaitu sebelum terjadi perangsangan oleh
antigen. Kerjanya merusak limfosit imunokompeten. Jika diberikan setelah terjadi
perangsangan oleh antigen, biasanya tidak diperoleh efek imunosupresif sehingga
respon imun dapat berlanjut terus.
Kelas II: harus diberikan dalam fase induksi, biasanya satu atau dua hari setelah
perangsangan oleh antigen berlangsung. Obat golongan ini bekerja mengambat
proses diferensiasi dan proliferasi sel imunokompeten, misalnya antimetabolit.
Kelas III: memiliki sifat dari kelas I dan II. Jadi golongan ini dapat menghasilkan
imunosupresi bila diberikan sebelum maupun sesudah adanya perangsangan oleh
Antigen.

2.3 Obat Imunosupresan


1. Azatioprin
Azatioprin sudah digunakan selama 20 tahun untuk menekan penolakan
cangkok organ ginjal dan sudah merupakan prosedur yang diterima. Juga
digunakan untuk pengobatan artritis reumatoid berat yang refrakter.
Toksisitas terhadap darah seperti leukopenia dan trombositopenia harus dimonitor
dengan baik sebagai petunjuk penentuan dosis azatioprin.
 Mekanisme kerja.
Azotioprin adalah antimetabolit golongan purin yang merupakan prekursor 6-
merkaptopurin. Azotioprin dalam tubuh diubah menjadi 6-merkaptopurin(6-MP)
yang merupakan metabolit aktif dan bekerjaMenghambat sintesis de novo purin.
 Interaksi
Penggunaan bersama allopurinol menyebabkan hambatan Xantin oksidase yang
juga merupakan enzim penting dalam metabolisme 6-merkaptopurin,sehingga
kombinasiIni meningkatkan toksisitas azotioprin dan merkaptopurin.
 Penggunaan klinis
Azotioprin digunakan antara lain untuk mencegahPenolakan transplantasi,lupus
nefritis.GNA, AR,Penyakit Crohn,dan sklerosis multipel.Obat ini kadang2
digunakan untuk ITP dan AIHA yangRefrakter terhadap steroid.Untuk profilaksis
digunakan dosis 3-10 mg/KgBB per hari1 atau 2 hari sebelum transplantasi.Dosis
pemeliharaan 1-3 mg/KgBB per hari.Obat ini tersedia dalam bentuk tablet 50 mg
dan iv100mg/vial
 Efek Samping
Menghambat proliferasi sel-sel yang cepat tumbuh sepertiMukosa usus,dan
sumsum tulang dengan akibatleukopeni dan trombositopeni.Ruam
kulit,mual.mutah dan diare.Dapat terjadi peningkatan enzim
transaminase,kolestasis. Efek samping lain dapat terjadi peningkatan risikoInfeksi
dan efek mutagenisitas dan karsinogenisitas.

2. Metotreksat (MTX)
Digunakan sebagai obat tunggal atau kombinasi dengan siklosporin dalam
mencegah penolakan cangkok sumsum tulang. MTX juga berguna untuk penyakit
autoimun dan peradangan tertentu. Saat ini disetujui untuk digunakan dalam
pengobatan artritis reumatoid yang aktif dan berat pada orang dewasa dan pada
psoriasis yang sudah refrakter terhadap obat lain.
o Nama : 4-amino-4-deoxy–10-methylpteoryl-L-glutamic acid.
o Struktur kimia : C20H22N8O5
o Sifat Fisikokimia : Serbuk kristal berwarna kuning atau oranye, higroskopis.
Praktis tidak larut dalam air, alkohol, diklorometan, terurai dalam larutan asam
mineral, basa hidroksida dan karbonat.
o Golongan/Kelas Terapi
Antineoplastik, Imunosupresan dan obat utnuk terapi.
o Nama dagang
Emthexate-Combiphar/Pharmachemie,Methotrexat-Ebewe,
Methotrexate Kalbe.
o Indikasi :
Pengobatan untuk neoplasma trofoblatik, leukemia, psoriasis, reumatoid artritis,
termasuk terapi poliartikular juvenile reumatoid artritis (JDR); karsinoma
payudara, karsinoma leher dan karsinoma kepala,karsinoma paru, osteosarkoma,
sarcoma jaringan lunak, karsinoma saluran gastrointestinal, karsinoma esofagus,
karsinoma testes, karsinoma limfoma.
o Dosis, cara pemberian dan lama pemberian :
Dosis 100 – 500 mg/m² membutuhkan leucovorin rescue, > 500 mg/m² harus
menggunakan leucovorin rescue baik secara iv, im, maupun oral. Leucovorin 10
mg/m² setiap 6 jam untuk 6-8 dosis dimulai 24 jam setelah pemberian
metotreksat. Pemberian leucovorin dilanjutkan sampai kadar metotreksat dalam
darah sebesar < 0.1 micromolar. Jika kadar metotreksat setelah 48 jam > 1
mikromolar atau setelah 72 jam > 0.2 micromolar,berikan leucovorin 100 mg/m²
setiap 6 jam sampai kadar metotreksat sebesar < 0.1 micromolar.

o Farmakologi :
Onset kerja : Antirematik: 3-6 minggu; tambahan perbaikan bisa dilanjutkan lebih
lama dari 12 minggu.
Absorpsi : Oral: cepat : diserap baik pada dosis rendah (<30 mg/m2); tidak
lengkap setelah dosis tinggi ; I.M.: Lengkap
Distribusi : Penetrasi lambat sampai cairan fase 3 (misal pleural efusi, ascites),
eksis lambat dari kompartemen ini (lebih lambat dari plasma), melewati plasenta,
jumlah sedikit masuk kelenjar susu, konsentrasi berangsur-angsur dikeluarkan di
ginjal dan hati.
Ikatan protein: 50%
Metabolisme: <10%: Degradasi dengan flora intestinal pada DAMPA dengan
karboksipeptida, oksidasi aldehid konversi metotreksat menjadi 7-OH metotreksat
di hati; poliglutamat diproduksi secara mempunyai kekuatan samadengan
metotreksat, produksinya tergantung dosis, durasi dan lambat dieliminasi oleh sel.
T ½ eliminasi: Dosis rendah: 3-10 jam; I.M.: 30-60 menit.
Ekskresi : Urin (44%-100%); feses (jumlah kecil)
Stabilitas penyimpanan :
Tablet dan vial disimpan pada suhu kamar (15-25°C), hindari cahaya matahari
langsung.
o Kontra Indikasi :
Hipersensitifitas dari metotreksat dan komponan lain dari sediaan; kerusakan
hebat ginjal dan hati,pasien yang mengalami supresi sum-sum tulang dengan
psoriasis atau reumatoid artritits,penyakit alkoholik hati,AIDS,darah
diskariasis,kehamilan,menyusui.
o Efek samping :
Efek samping beragam sesuai rute pemberian dan dosis.
1. Hematologi dan/atau toksisitas gastrointestinal : sering terjadi pada penggunaan
umum dari dosis umum metotreksat; reaksi ini lebih sedikit terjadi ketika
digunakan pada dosis topikal untuk reumatoid artritis.
2. SSP : (dengan pemberian intratekal atau terapi dosis tinggi): Arachnoides:
Manifestasi reaksi akut sebagai sakit kepala hebat, rigidity nuchal, muntah dan
demam, dapat alleviated dengan pengurangan dosis.
3. Subakut toksisitas: 10% pasien diobat dengan 12-15 mg/m2 dari intratekal
metotreksat bisa membuat ini dalam minggu kedua atau ketiga dari terapi; konsis
dari paralisis motor dari ekstremites,palsy nerve kranial, seizure, atau koma.Hal
ini juga terlihat pada pediatrik yang menerima dosis tinggi IV metotreksat.
4. Demyelinating enselopati: telihat dalam bulan atau tahun setelah menerima
metotreksat; biasanya diasosiasikan dengan iradiasi kranial atau kemoterapi
sistemik yang lain.
5. Dermatologi: Kulit menjadi kemerahan.Endokrin dan metabolik:
Hipoerurikemia,detektif oogenesis, atau spermatogenesis.
6. GI: Ulserativ stomatitis, glossitis, gingivitis, mual, muntah, diare, anoreksia,
perforasi intestinal, mukositis (tergantung dosis; terlihat pada 3-7 hari setelah
terapi, terhenti setelah 2 minggu).
7. Hematologi: Leukopenia, trombositopenia.Ginjal: Gagal ginjal,
azotemia,nefropati.Pernafasan: Faringitis. 1%-10%.
8. Kardiovaskular: Vaskulitis.SSP, pusing, malaise, enselopati, seizure, demam,
chills.
9. Myelosupresif : Terutama faktor batas-dosis (bersama dengan mukositis) dari
metotreksat, terjadi sekitar 5-7 hari setelah terapi, dan harus dihentikan selama 2
minggu 10.
10. WBC : Ringan, Platelet: Sedang, Onset: 7 hari, Nadir: 10 hari, Recovery: 21 hari.
11. Hepatik : Sirosis dan fibrosis portal pernah diasosiasikan dengan terapi kronik
metotreksat, evaliasi akut dari enzym liver adalah biasa terjadi setelah dosis tinggi
dan biasanya resolved dalam 1 hari.Neuromuskular dan skeletal: Arthalgia.
Okular: Pandangan.
12. Renal : Disfungsi ginjal. Manifestasi karena abrupt rise pada serum kreatinin dan
BUN dan penurunan output urin, biasa terjadi pada dosis tinggi dan berhubungan
dengan presipitasi dari obat.
13. Respirator (Penumositis) : Berhubungan dengan demam, batuk, dan interstitial
pulmonari infitrates; pengobatan dengan metotreksat selama reaksi akut;
interstitial pneumisitis pernah dilaporkan terjadi dengan insiden dari 1% pasien
dengan RA (dosis 7.5-15 mg/minggu) <1% (terbatas sampai penting untuk
penyelamatan hidup): Neurologi akut sindrom (pada dosis tinggi- simptom
termasuk kebingungan, hemiparesis, kebutaan transisi,dan koma); anafilaksis
alveolitis; disfungsi kognitif (pernah dilaporkan pada dosis rendah),penurunan
resistensi infeksi,eritema multiforma, kegagalan hepatik, leukoenselopati
(terutama mengikuti irasiasi spinal atau pengulangan terapi dosis tinggi),disorder
limpoproliferatif, osteonekrosis dan nekrosis jaringan lunak (dengan radioterapi),
perikarditis, erosions plaque (Psoriasis), seizure (lebih sering pada pasien dengan
ALL),sindrom Stevens – Johnson, tromboembolisme.
o Interaksi :
1. Dengan Obat lain
Efek meningkatkan/toksisitas: Pengobatan bersama dengan NSAID telah
menghasilkan supresi sum-sum tulang berat, anemia aplastik dan toksisitas pada
saluran gastrointestinal. NSAID tidak boleh digunakan selama menggunakan
metotreksat dosis sedang atau tinggi karena dapat meningkatkan level metotreksat
dalam darah (dapat menaikkan toksisitas):
NSAID digunakan selama pengobatan dari reumatoid artritis tidak pernah amati,
tapi kelanjutan dari regimen terdahulu pernah diikuti pada beberapa keadaan,
dengan peringatan monitoring. Salisilat bisa meningkatkan level metotreksat,
bagaimanapun penggunaan salisilat untuk profilaksis dari kejadian kardiovaskular
tidak mendapat perhatian.
2. Dengan Makanan
Level metotreksat bisa menurun jika bersama dengan makanan. Makanan
dengan banyak susu dapat menurunkan absorpsi metotreksat. Folat dapat
menurunkan respons obat. Hindari echinacea (mempunyai sifat sebagai
imunostimulan).

o Pengaruh :
 Kehamilan
Faktor resiko X
 Ibu menyusui
Metotreksat didistribusikan ke dalam air susu, dikontraindikasikan untuk ibu
menyusui.
o Bentuk Sediaan : Tablet 2.5 ml, Vial 5 mg/2ml, Vial 50 mg/2 ml, Ampul 5 mg/ml,
Vial 50mg/5ml.
1. Siklofosfamid
Secara umum siklofosfamid mengurangi respon imun humoral dan
meningkatkan respon imun selular. Selain pada bedah cangkok, obat ini juga
digunakan pada artritis reumatoid, sindrom nefrotik dan granulomatosis Wegener.
2. Kortikosteroid
Yang digunakan sebagai imunosupresan adalah golongan glukokortikoid yaitu
prednison dan prednisolon. Kortikosteroid (glukokortikoid) digunakan sebagai
obatTunggal atau dalam kombinasi dengan imunosupresanLain untuk mencegah
reaksi penolakan transplantasi danUntuk mengatasi penyakit aoutoimun.
a. Mekanisme Kerja
Glukokortikoid dapat menurunkan jumlah limfosit secaraCepat, terutama bila
diberikan dalam dosis besar.Studi terbaru menunjukkan bahwa kortikosteroid
menghambatProliferasi sel limfosit T,imunitas seluler.
b. Penggunaan Klinik
Kortikosteroid biasanya digunakan bersama imunosupresanLain dalam mencegah
penolakan transplantasi.Untuk ini diperlukan dosis besar untuk beberapa
hari.Kortikosteroid juga digunakan untuk mengurangi reaksi Alergi yang bisa
timbul pada pemberian antibodi monoklonal Atau antibodi antilimfosit.juga
digunakan untuk berbagai Penyakit autoimun
c. Toksisitas
Penggunaan steroid dalam jangka panjang seringMenimbulkan berbagai efek
samping,seperti meningkatnyaRisiko infeksi.
3. Siklosporin (Cyclosporin A)
Berasal dari jamur Tolypocladium inflatum gams. Siklosporin punya efek
imunosupresan karena mempunyai kemampuan yang selektif dalam menghambat
sel T. Siklosporin digunakan terutama dalam kombinasi denga prednison untuk
mempertahankan ginjal, hati dan cangkok jantung pada transplantasi.
Siklospurin (sandimun).Sediaan iv terdapat dalam bentuk larutan dalamEthanol-
polyxyethylated castor oil dengan kadar 50 mg/ml.Dan sediaan oral berupa kapsul
lunak 25-100 mg dan larutan100 mg/mlPemberian peroral kadar puncak tercapai
setelah 1,3-4 jam. Adanya makanan berlemak sangat mengurangi
absorbsiSiklospurin kapsul lunak.Waktu paruh kurang lebih 6 jam.Ekskresi
terutama melalui empedu dan feces,hanya 6%Yang melalui urin
4. Rho (D) imunoglobulin
Antibodi ini merupakan bentuk spesifik dalam pengobatan imunologi untuk
ibu dengan Rho (D) negatif yang terpapar darah Rho (D) positif pada perdarahan
karena abortus, amniosintesis, trauma abdomen atau kelahiran biasa dari janin.
5. Tacrolimus (prograf)
Senyawa makrolida ini diekstraksi dari jamur streptomyces tsukubaensis
(1993). Khasiat dan mekanisme immunosupressivenya sama dengan sikolosporin,
tetapi ca lebih kuat 50x dalam hal pencegahan sintesa IL-2 yang mutlak perlu
untuk proliferasi sel –T. Juga bersifat sangat lipofil dan sama efektifnya dengan
siklosporin pada transplantasi hati, jantung, paru-paru, dan ginjal. Terutama
digunakan bersama kortikosteroida. Lebih sering menimbulkan efek samping
berupa toksisitas bagi ginjal dan saraf.
Dosis : infuse i.v. 0,05-0,1 mg /kg/hari, 6 jam setelah transplantasi selama 2-3
hari, lalu dilanjutkan oral 0,15-0,3 mg/kg/hari dalam 2 dosis.
6. Mycofenolat-mofetil (CellCept)
Obat terbaru ini (1996) adalah prodrug dengan khasiat menekan perbenyakan
dari khusus limfosit melalui inhibisi enzim dehidrogenasi yang diperlukan untuk
sintese purin (DNA/RNA). Ternyata sangat efektif untuk melawan penolakan akut
setelah transplantasi ginjal. Dibandingkan dengan obat-obat lainya , yaitu
azatioprin dan siklosporin ( dan prednisone), persentase penolakan dikurangi
sampai 50%. Lagi pula efek sampingnya lebih sedikit. Mungkin berdaya pula
untuk menghambat penolakan menahun (jangka panjang) yang smpai kini
merupakan maslah besar.
Resorpsinya dari usus baik, dengan BA 90%. Dalam hati segera diubah menjadi
asam mycofenolat aktif . Ekskresinya berlangsung melaluiurin sebagai
glukuronidanya (inaktif), sesudah mengalami resirkulasi enterohepatis. Plasma –
t1/2 mycofenolat adalah ca 16 jam.
Dosis : dalam waktu 72 jam setelah transplantasi 2 dd 1ga.c dengan minyak air.
7. Talidomida (synovir)
Derivat-piperidin ini (1957) adalah obat tidur dengan efek teratogen sangat
kuat (peristiwa softenon, 1962, lihat edisi empat), yang berdasarkan khasiat anti-
angiogenesisnya. Juga berdaya imunosupresif (anti-TNF). Dan antiradang. Setelah
dilarang peredaranya selama lebih dari 25 tahun, sejak awal tahun 1990-an
talidomida mulai digunakan lagi antara lain untuk menekan reaksi lepra dan
meringankan gejala AIDS seperti (aphtae) dimulut , kerongkongan, dan kemaluan,
serta diare dan kehilangan bobot serius. Di AS penggunaanya pada lepra disahkan
kembali sejak akhir tahun 1997 dengan syarat- syarat ketat. Dewasa ini
efektivitasnya sedang diselidiki secara klinis untuk berbagai penyakit auto-imun.
8. Sulfalazin (sulcolon)
Sulfalazin adalah persenyawaan sulfapiridin dengan 5- ASA yang bersifat
antiradang dengan jalan blokade siklo-oksigenase serta lipoksigenase dan dengan
demikian mencegah sintesis prostaglandin dan leukotrien . Sulfalazin
mempengaruhi fungsi limfosit, mungkin lewat cytokine, juga berdaya
antioksidans ( ‘ Menangkap’ radikal bebas O2). Zat ini digunakan khusus pada
penyakit usus beradang kronis (crohn, colitis) dan pada rema.

2.4 Contoh Penyakit


Salah satu penyakit yang dapat diobati dengan imunosupresan adalah
Penyakit Lupus.
a. Pengertian
Penyakit lupus adalah penyakit sistem daya tahan, atau penyakit auto imun,
artinya tubuh pasien lupus membentuk antibodi yang salah arah, merusak organ
tubuh sendiri, seperti ginjal, hati, sendi, sel darah merah, leukosit, atau trombosit.
Antibodi seharusnya ditujukan untuk melawan bakteri ataupun virus yang masuk
ke dalam tubuh.
Lupus adalah penyakit yang disebabkan sistem imun menyerang sel-sel
jaringan organ tubuh yang sehat. sistem imun yang terbentuk berlebihan. Kelainan
ini dikenal dengan autoimunitas. pada kasus satu penyakit ini bisa membuat kulit
seperti ruam merah yang rasanya terbakar (lupus DLE). pada kasus lain ketika
sistem imun yang berlebihan itu menyerang persendian dapat menyebabkan
kelumpuhan (lupus SLE).
SLE (Sistemics lupus erythematosus) adalah penyakti radang multisistem
yang sebabnya belum diketahui, dengan perjalanan penyakit yang mungkin akut
dan fulminan atau kronik remisi dan eksaserbasi disertai oleh terdapatnya
berbagai macam autoimun dalam tubuh.Pada penderita lupus, sistem imunitasnya
tidak mampu membedakan antara substansi asing dan sel-sel dan jaringan tubuh.
Antibodi yang dihasilkan justru melawan sel-sel yang seharusnya dibutuhkan oleh
tubuh.
b. Etiologi
Sehingga kini faktor yang merangsangkan sistem pertahanan diri untuk
menjadi tidak normal belum diketahui. Ada kemungkinan faktor genetik, kuman
virus, sinaran ultraviolet, dan obat-obatan tertentu memainkan peranan.Penyakit
Sistemik Lupus Erythematosus (SLE) ini lebih kerap ditemui di kalangan kaum
wanita. Ini menunjukkan bahwa hormon yang terdapat pada wanita mempunyai
peranan besar, walau bagaimanapun perkaitan antara Sistemik Lupus
Erythematosus (SLE) dan hormon wanita saat ini masih dalam kajian.
Penyakit Sistemik Lupus Erythematosus (SLE) bukanlah suatu penyakit
keturunan. Walau bagaimanapun, mewarisi gabungan gen tertentu meningkatkan
lagi risiko seseorang itu mengidap penyakit Sistemik Lupus Erythematosus (SLE).
c. Klasifikasi
Ada 3 jenis penyakit Lupus yang dikenal yaitu:
1) Discoid Lupus, yang juga dikenal sebagai Cutaneus Lupus, yaitu penyakit Lupus
yang menyerang kulit.
2) Systemics Lupus, penyakit Lupus yang menyerang kebanyakan system di dalam
tubuh, seperti kulit, sendi, darah, paru-paru, ginjal, hati, otak, dan system saraf.
Selanjutnya kita singkat dengan SLE (Systemics Lupus Erythematosus).
3) Drug-Induced, penyakit Lupus yang timbul setelah penggunaan obat tertentu.
Gejala-gejalanya biasanya menghilang setelah pemakaian obat
dihentikan.Pengaruh kehamilan terhadap SLE, Eksaserbasi terjadi karena
hormone estrogen meningkat selama kehamilan.
d. Patofisiologi
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang
menyebabkan peningkatan autoimun yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi
ini ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor genetik, hormonal
(sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya terjadi selama usia
reproduktif) dan lingkungan (cahaya matahari, luka bakar termal). Obat-obat
tertentu seperti hidralazin, prokainamid, isoniazid, klorpromazin dan beberapa
preparat antikonvulsan di samping makanan seperti kecambah alfalfa turut terlibat
dalam penyakit SLE- akibat senyawa kimia atau obat-obatan.
Pada SLE, peningkatan produksi autoimun diperkirakan terjadi akibat fungsi
sel T-supresor yang abnormal sehingga timbul penumpukan kompleks imun dan
kerusakan jaringan. Inflamasi akan menstimulasi antigen yang selanjutnya
serangsang antibodi tambahan dan siklus tersebut berulang kembali.
e. Manifestasi Klinis
1. Sistem Muskuloskeletal
Artralgia, artritis (sinovitis), pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri
ketika bergerak, rasa kaku pada pagi hari.
2. Sistem integument
Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang melintang
pangkal hidung serta pipi.Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum
durum.
3. Sistem kardiak
Perikarditis merupakan manifestasi kardiak.
4. Sistem pernafasan
Pleuritis atau efusi pleura.
5. Sistem vaskuler
Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler, eritematous
dan purpura di ujung jari kaki, tangan, siku serta permukaan ekstensor lengan
bawah atau sisi lateral tangan dan berlanjut nekrosis.
6. Sistem perkemihan
Glomerulus renal yang biasanya terkena.
7. Sistem saraf
Spektrum gangguan sistem saraf pusat sangat luas dan mencakup seluruh bentuk
penyakit neurologik, sering terjadi depresi dan psikosis.
f. Pemeriksaan lupus :
Untuk menguji apakah seseorang menderita lupus, maka dilakukan sebuah
pengujian dengan menggunakan tes darah bernama Anti Nuclear Antibody
(ANA). Tes ini akan mengidentifikasi autoantibodi (antibodi perusak) yang
memakan sel-sel berguna di dalam tubuh. Hasil positip tes ini belum bisa
dikatakan seseorang menderita lupus. Dibutuhkan data-data lain seperti gejala-
gejala, catatan fisik pasien, dan tes lengkap laboratorium hingga dipastikan si
pasien apakah menderita lupus.
g. Gejala-gejala awal lupus :
 Rasa ngilu yang luar biasa di bagian persendian
 Penderita mengalami kelelahan yang ekstrim.
 Muncul semacam bekas luka di sekujur tubuh.
 Pipi dan hidung penderita tampak menyerupai kupu-kupu (butterfly effects).
 Mengalami anemia yang amat parah.
 Saat bernapas, penderita mengalami tekanan yang berati.
 Timbul permasalahan di sekitar hidung dan mulut.
 Sensitif terhadap cahaya, sinar matahari maupun kilatan foto.

h. Perawatan bagi penderita lupus :


Salah satu perawatan yang dilakukan untuk penderita lupus adalah pengobatan
medis. Ada beberapa jenis obat yang bisa mengurangi gejala lupus, akan tetapi,
penggunaannya akan menimbulkan efek samping. Gejala dan efek samping yang
dialami oleh masing-masing pasien sangan variatif dan tak bisa diprediksi. Jadi
dibutuhkan pendampingan oleh petugas kesehatan dalam kasus ini.

i. Obat-obatan yang diberikan bagi penderita lupus:


 Steroid
 Immunosuppressant
 Antimalarial (Plaquenil/Hydroxychloroquine)
 Non-Steroidal anti-inflammatories
j. Lupus bisa dicegah dengan:
 Mengurangi kontak dengan sinar matahari
 Menerapkan hidup sehat dan menghindarkan diri dari stres
 Tidak merokok
 Berolahraga secara teratur
 Melakukan diet nutrisi
k. Fakta-fakta tentang penyakit lupus
 Lupus adalah penyakit autoimunitas, penyakit rheumatic.
 Pada penderita lupus, sistem imunitas tubuh menyerang sel dan jaringan miliknya
sendiri.
 Ada lima jenis penyakit lupus dan masing-masing memiliki karakteristik yang
khas dan membutuhkan penanganan yang berbeda pula.
 Sembilan puluh persen penderita lupus adalah perempuan.
 Di Amerika Serikat terdapat 11 kampus yang mengkhususkan penanganan
terhadap penyakit lupus.
 Sampai dengan sekarang, sangatlah sulit untuk mendiagnosis penyakit lupus.
 Penanganan lupus sangat tergantung dari gejala yang timbul.
 Sebanyak 1,5 juta penduduk dunia menderita lupus.
 Ras tertentu memiliki risiko terkena lupus lebih besar dibandingkan ras lain;
Afro-Amerika, Hispanik, Asia, dan Penduduk asli Amerika.
 Mayoritas penderita lupus, setelah diobati, akan tumbuh secara normal.
 Penanganan lupus dilakukan oleh rheumatologist.

BAB III
PENUTUP
3.1. Simpulan
Imunosupresan adalah kelompok obat yang digunakan untuk menekan
respon imun seperti pencegah penolakan transpalansi, mengatasi penyakit
autoimun dan mencegah hemolisis rhesus dan neonatus. Imunosupresan
digunakan untuk tiga indikasi utama yaitu, transplanatasi organ, penyakit
autoimun, dan pencegahan hemolisis Rhesus pada neonatus.
Prinsip umum penggunaan imunosupresan untukmencapai hasil terapi yang
optimal adalah sebagai berikut:
1. Respon imun primer lebih mudah dikendalikan dan ditekan dibandingkan dengan
respon imun sekunder.
2. Obat imunosupresan memberikan efek yang berbeda terhadap antigen yang
berbeda.
3. Penghambatan respon imun lebih berhasil bila obat imunosupresan diberikan
sebelum paparan terhadap antigen.
Beberapa contoh obat imunosupresan antara lain Azatioprin , Metotreksat
(MTX) , Siklofosfamid, Kortikosteroid , Siklosporin (Cyclosporin A) , Rho (D)
imunoglobulin, Tacrolimus (prograf) , Mycofenolat-mofetil (CellCept) ,
Talidomida (synovir), Sulfalazin (sulcolon) .
A. Imunisupresan

1. Pengertian Imunosupresan

Imunosupresan adalah kelompok obat yang digunakan untuk menekan respon imun
seperti pencegah penolakan transpalansi, mengatasi penyakit autoimun dan mencegah
hemolisis rhesus dan neonatus. Sebagain dari kelompok ini bersifat sitotokis dan
digunakan sebagai antikanker. Immunosupresan merupakan zat-zat yang justru
menekan aktivitas sistem imun dengan jalan interaksi di berbagai titik dari sistem
tersebut. Titik kerjanya dalam proses-imun dapat berupa penghambatan transkripsi dari
cytokin, sehingga mata rantai penting dalam respon-imun diperlemah. Khususnya IL-2
adalah esensial bagi perbanyakan dan diferensial limfosit, yang dapat dihambat pula
oleh efek sitostatis langsung. Lagi pula T-cells bisa diinaktifkan atau dimusnahkan
dengan pembentukan antibodies terhadap limfosit.

Imunosupresan digunakan untuk tiga indikasi utama yaitu, transplanatasi organ,


penyakit autoimun, dan pencegahan hemolisis Rhesus pada neonatus.

2. Mekanisme Kerja dan Pilahan Obat Imunosupresan

Kerja obat imunosupresan berdasarkan penghambatan/supresi reaksi umum secara


dini. Pada gambar 48-3 menunjukkan tempat kerja obat imunosupresan dalam
mengatasi Selain dengan obat, imunosupresi dapat juga diperoleh dengan
memanipulasi jumlah Ag dan Ab dalam tubuh. Penggunaan imunosupresan bertujuan
untuk mendapatkan toleransi spesifik (terarah), yaitu toleransi terhadap suatu antigen
tertentu saja. Alasan dikehendakinya suatu toleransi spesifik, dan bukan umum, ialah
karena toleransi umum dapat membahayakan individunya; khusunya memudahkan
timbulnya penyakit infeksi berat. Tetapi sayangnya toleransi spesifik seringkali sulit
dicapai. Perlu dimengerti bahwa bila Ag masih terdapat dalam tubuh, reaksi
imunologik akan muncul kembali dengan penghentian pemberian imunosupresan.

Efek imunosupresi dapat dicapai dengan salah satu cara berikut: (1) Menghambat proses
fagositosis dan pengolahan Ag menjadi Ag imunogenik oleh makrofag; (2) Menghambat
pengenalan Ag oleh sel limfoid imunokompeten; (3) Merusak sel limfoid
imunokompeten; (4) Menekan diferensiasi dan proliferasi sel imunokompeten, sehingga
tidak terbentuk sel plasma penghasil Ab, atau sel T yang tersensitisasi untuk respons
imun selular; dan (5) Menghentikan produksi Ab oleh sel plasma, serta melenyapkan sel
T yang tersensitisasi yang telah terbentuk. Beberapa imunosupresan mempengaruhi
berbagai reaksi respons imun, umpamanya reaksi inflamasi.

Secara praktis, di klinik penggunaan obat imunosupresan berdasarkan waktu


pemberiannya. Untuk itu respons imun dibagi dalam dua fase. Fase pertama adalah
fase induksi, yang meliputi: (1) Fase pengolahan Ag oleh makrofag, dan pengenalan Ag
oleh limfosit imunokompeten; (2) Fase proliferasi dan diferensiasi sel B dan sel T,
masing-masing untuk respons imun humoral dan selular. Fase kedua: fase produksi,
yaitu fase sintesis aktif Ab dan limfokin.

Berdasarkan fase-fase tersebut di atas, imunosupresan dibagi dalam tiga


kelas. Imunosupresan kelas I harus diberikan sebelum fase induksi, yaitu sebelum
terjadi perangsangan oleh Ag. Jadi kerjanya adalah merusak limfosit imunokompeten
(limfolitik). Contohnya: alkilator radiomimetic dan kortikosteroid (sinar X juga bekerja
pada fase ini). Jika diberikan setelah terjadi perangsangan oleh Ag, biasanya tidak
diperoleh efek imunosupresif sehingga respons imun dapat berlanjut terus.

Imunosupresan kelas II adalah yang harus diberikan dalam fase induksi; biasanya satu
atau dua hari setelah perangsangan oleh Ag berlangsung. Obat golongan ini bekerja
menghambat proses diferensiasi dan proliferasi sel imunokompeten, misalnya
antimetabolit. Jika diberikan sebelum adanya perangsangan oleh Ag, umumnya tidak
memperlihatkan efek imunosupresif; malahan sebaliknya, beberapa obat tersebut justru
dapat meningkatkan respons imun, umpamanya azatioprin dan metotreksat. Bagaimana
mekanisme terjadinya hal yang disebut belakangan belum diketahui dengan pasti.

Imunosupresan kelas III memiliki sifat imunosupresan kelas I maupun kelas II. Jadi
golongan ini dapat menghasilkan imunosupresi bila diberikan sebelum maupun sesudah
adanya perangsangan oleh Ag.

Pilahan imunosupresan dapat dilihat dalam tabel di bawah ini.

Kelas I Kelas II Kelas III

Busulfan Klorambusil Siklofosfamid

L-Melfalan Metotreksat Prokarbazin

D-Melfalan Azatioprin

Glukokortikoid: 6-Merkaptopurin (6-MP)

D. Prednison Sitarabin (ARA-C)

E. Prednisolon 5-Bromo-deoksiuridin (5-


BUdR)
F. Glukokortikoid lainnya
5-Fluoro-deoksiuridin (5-
Mitomisin C FUdR)

Kolkisin 5-Fluorourasil (5-FU)

Fitohemaglutinin Vinblastin (VBL)

Sinar-X Vinkristin (VCR)

Siklosporin*

*paling efektif bila diberikan bersamaan dengan antigen

Dari obat yang tertera dalam tabel tersebut hanya beberapa saja yang telah lazim
digunakan sebagai imunosupresan, yaitu: (1) alkilator: siklofosfamid dan klorambusil; (2)
antimetabolit: aztioprin dan 6-merkaptopurin (analog purin), metotreksat (analog folat);
(3) kortikosteroid: prednisolon, prednison; dan (4) siklosporin.

Obat yang digunakan sebagai imunosupresan sebagian besar termasuk dalam golongan
obat kelas II, contohnya azatioprin, 6-merkaptopurin, klorambusil dan metotreksat. Efek
utama obat kelompok ini ialah menghancurkan sel yang sedang berproliferasi, maka
tahap proliferasi dan diferensiasi umumnya merupakan fase yang lebih sensitif daripada
tahap lainnya. Obat-obat ini paling efektif diberikan beberapa hari setelah
berlangsungnya stimulasi Ag yaitu pada periode dengan sensitivitas maksimal.

Imunosupresan kelas III yang telah banyak digunakan sampai kini hanyalah
sikolofosfamid. Efek imunosupresif dapat diperoleh bila diberikan sebelum maupun
sesudah berlangsungnya stimulasi Ag, tetapi efek ini terkuat pada pemberian beberapa
hari setelah stimulasi Ag berlangsung.

Golongan imunosupresan kelas I yang telah digunakan sampai kini hanyalah


glukokortikoid, khususnya prednisolon dan prednison.
Imunostimulan
Imunostimulasi yang disebut juga imunopotensiasi adalah cara
memperbaiki fungsi sistem imun dengan menggunakan bahan yang merangsang
sistem tersebut. Imunostimulan ditunjukan untuk perbaikan fungsi imun pada
kondisi-kondisi imunosupresi. Kelompok obat ini dapat memperngaruhi respon
imun seluler maupun humoral. Kelemahan obat ini adalah efeknya menyeluruh
dan tidak bersifat spesifik untuk jenis sel atau antibodi tertentu. Selain itu efek
umumnya lemah. Indikasi imunostimulan antara lain AIDS, infeksi kronik, dan
keganasan terutama yang melibatkan sistem lifatik.
Imunostimulan adalah senyawa tertentu yang dapat meningkatkan
mekanisme pertahanan tubuh baik secara spesifik maupun non spesifik, dan
terjadi induksi non spesifik baik mekanisme pertahanan seluler maupun humoral.
Pertahanan non spesifik terhadap antigen ini disebut paramunitas, dan zat
berhubungan dengan penginduksi disebut paraimunitas. Induktor semacam ini
biasanya tidak atau sedikit sekali kerja antigennya, akan tetapi sebagian besar
bekerja sebagai mitogen yaitu meningkatkan proliferasi sel yang berperan pada
imunitas. Sel tujuan adalah makrofag, granulosit, limfosit T dan B, karena
induktor paramunitas ini bekerja menstimulasi mekanisme pertahanan seluler.
Mitogen ini dapat bekerja langsung maupun tak langsung (misalnya melalui
sistem komplemen atau limfosit, melalui produksi interferon atau enzim
lisosomal) untuk meningkatkan fagositosis mikro dan makro. Mekanisme
pertahanan spesifik maupun non spesifik umumnya saling berpengaruh. Dalam
hal ini pengaruh pada beberapa sistem pertahanan mungkin terjadi, hingga
mempersulit penggunaan imunomodulator, dalam praktek.
1. Bahan Imunostimulator
Biological Response Modifier (BRM) adalah bahan-bahan yang dapat
merubah respons imun, meningkatkan. Bahan yang disebut imunostimulator itu
dapat dibagi sebagai berikut:
a. Biologik
1) Hormon timus
Sel epitel timus memproduksi beberapa jenis homon yang berfungsi dalam
pematangan sel T dan modulasi fungsi sel T yang sudah matang. Ada 4 jenis
hormon timus, yaitu timosin alfa, timolin, timopoietin dan faktor humoral timus.
Semuanya berfungsi untuk memperbaiki gangguan fungsi imun (imunostimulasi
non-spesifik) pada usia lanjut, kanker, autoimunitas dan pada defek sistem
imun(imunostimulasi non-spesifik) pada usia lanjut, kanker, autoimunitas dan
pada defek sistem imun (imunosupresi) akibat pengobatan. Pemberian bahan-
bahan tersebut jelas menunjukkan peningkatan jumlah, fungsi dan reseptor sel T
dan beberapa aspek imunitas seluler. Efek sampingnya berupa reaksi alergi lokal
atau sistemik.
2) Limfokin
Disebut juga interleukin atau sitokin yang diproduksi oleh limfosit yang
diaktifkan. Contohnya ialah Macrophage Activating Factor (MAF), Macrophage
Growth Factor (MGF), T-cell Growth Factor atau Interleukin-2 (IL-2), Colony
Stimulating Factor (CSF) dan interferon gama (IFN-.). Gangguan sintetis IL-2
ditemukan pada kanker, penderita AIDS, usia lanjut dan autoimunitas.
3) Interferon
Ada tiga jenis interferon yaitu alfa, beta dan gama. INF-a dibentuk oleh
leukosit, INF-ß dibentuk oleh sel fibroblas yang bukan limfosit dan IFN-.
dibentuk oleh sel T yang diaktifkan. Semua interferon dapat menghambat
replikasi virus DNA dan RNA, sel normal dan sel ganas serta memodulasi sistem
imun. Interferon dalam dosis tinggi menghambat penggandaan sel B dan sel T
sehingga menurunkan respons imun selular dan humoral, dan dalam dosis rendah
mengatur produksi antibodi serta merangsang sistem imun yaitu meningkatkan
aktivitas membunuh sel NK, makrofag dan sel T. Dalam klinik, IFN digunakan
pada berbagai kanker seperti melanoma, karsinoma sel ginjal, leukimia mielositik
kronik, hairy cell leukimia, dan kapossi’s sarkoma.Efek sampingnya adalah
demam, malaise, mialgia, mual, muntah, mencret, leukopenia, trombositopenia,
dan aritmia.
4) Antibodi monoclonal
Diperoleh dari fusi dua sel yaitu sel yang dapat membentuk antibodi dan
sel yang dapat hidup terus menerus dalam biakan sehingga antibodi tersebut dapat
dihasilkan dalam jumlah yang besar. Antibodi tersebut dapat mengikat
komplemen, membunuh sel tumor manusia dan tikus in vivo.

5) Transfer factor / ekstrak leukosit


Ekstrak leukosit seperti Dialysed Leucocyte Extract dan Transfer Factor
(TF) telah digunakan dalam imunoterapi. Imunostimulasi yang diperlihatkan oleh
TF yang spesifik asal leukosit terlihat pada penyakit seperti candidiasis
mukokutan kronik, koksidiomikosis, lepra lepromatosa, tuberkulosis, dan vaksinia
gangrenosa.
6) Nukleotida
Nukleotida terdapat pada air susu ibu. Akhir-akhir ini banyak susu formula
yang diberi suplementasi nukleotida. Pada penelitian uji banding kasus yang
dilakukan pada bayi, satu kelompok diberikan susu ibu atau susu formula yang
disuplementasi nukleotida, dibandingkan dengan kelompok yang diberikan susu
formula tanpa nukleotida, ternyata terdapat peningkatan aktifitas sel NK pada
bayi-bayi yang diberi susu ibu dan formula dengan nukleotida dibandingkan bayi-
bayi yang diberi susu formula tanpa nukleotida. Peneliti yang sama mendapatkan
peningkatan produksi IL-2 oleh sel monosit pada kelompok yang diberi susu
formula dengan nukleotida. Nukleotida juga mengaktifkan sel T dan sel B.
7) Lymphokin-Activated Killer (LAK) cells
Adalah sel T sitotoksik singeneik yang ditimbulkan in vitro dengan
menambahkan sitokin seperti IL-2 ke sel-sel seseorang yag kemudian diinfuskan
kembali. Prosedur ini merupakan imunoterapi terhadap keganasan.
8) Bahan asal bakteri
 BCG (Bacillus Calmette Guerin), memperbaiki produksi limfokin dan
mengaktifkan sel NK dan telah dicoba pada penanggulangan keganasan (imuno-
stimulan non-spesifik).
 Corynebacterium parvum (C. parvum), digunakan sebagai imunostimulasi non-
spesifik pada keganasan.
 Klebsiella dan Brucella, diduga memiliki efek yang sama dengan BCG.
 Bordetella pertusis, memproduksi Lymphocytosis Promoting Factor (LPF) yang
merupakan mitogen untuk sel T dan imunostimulan.
 Endotoksin, dapat merangsang proliferasi sel B dan sel T serta mengaktifkan
makrofag.
9) Bahan asal jamur
Berbagai bahan telah dihasilkan dari jamur seperti lentinan, krestin dan
schizophyllan. Bahan-bahan tersebut merupakan polisakarida dalam bentuk beta-
glukan yang dapat meningkatkan fungsi makrofag dan telah banyak digunakan
dalam pengobatan kanker sebagai imunostimulan non-spesifik.5 Penelitian terbaru
menemukan jamur Maitake (Grifola frondosa) yang mengandung beta-glukan
yang lebih poten sebagai imunostimulan pada pasien dengan HIV-AIDS,
keganasan, hipertensi dan kerusakan hati (liver ailments).
b. Sintetik
1) Levamisol
Merupakan derivat tetramizol, Dalam klinik lazim dipakai sebagai obat
cacing, dan sebagai imunostimulan levamisol berkhasiat untuk meningkatkan
penggandaan sel T, menghambat sitotoksisitas sel T, mengembalikan anergi pada
beberapa kanker (bersifat stimulasi nonspesifik), meningkatkan efek antigen,
mitogen, limfokin dan faktor kemotaktik terhadap limfosit, granulosit dan
makrofag. Selain untuk penyakit hodgkin, penggunaan klinisnya untuk mengobati
artritis reumatoid, penyakit virus, lupus eritematosus sistemik, sindrom nefrotik.
Diberikan dengan dosis 2,5 mg/kgBB per oral selama 2 minggu, kemudian dosis
pemeliharaan beberapa hari per minggu. Efek samping yang harus diperhatikan
adalah mual, muntah, urtikaria, dan agranulositosis. Obat i9ni diabsorpsi dnegan
cepat dengan kadar puncak 1-2 jam. Obat ini didistribusikan luas ke berbagai
jaringan dan dimetabolisme di hati. Tersedia dalam bentuk tablet 25,40,50 mg.
2) Isoprinosin
Disebut juga isosiplex (ISO), adalah bahan sintetis yang mempunyai sifat
antivirus dan meningkatkan proliferasi dan toksisitas sel T. Sebagai
imunostimulator isoprinosin berkhasiat meningkatkan penggandaan sel T,
meningkatkan toksisitas sel T, membantu produksi IL-2(LIMFOKIN) yang
berperan dalam diferensiasi limfosit dan makrofag, serta meningkatkan fungsi sel
NK. Diberikan dengan dosis 50 mg/kgBB. Perlu pemantauan kadar asam urat
darah karena pemberian isoprinosin dapat meningkatkan kadar asam urat.
Berbagai derivat sintetiknya sedang dalam penyelidikan untuk AIDS dan berbagai
neoplasma. Obat ini dilaporkan mengurangi risiko infeksi terhadap HIV pada
tahap lanjut.
3) Muramil Dipeptida (MDP)
Merupakan komponen aktif terkecil dari dinding sel mycobacterium.
Sebagai imunostimulan berkhasiat meningkatkan sekresi enzim dan monokin,
serta bersama minyak dan antigen dapat meningkatkan respons selular maupun
humoral. Dalam klinik telah banyak digunakan untuk pencegahan tumor dan
infeksi sebagai ajuvan vaksin.
4) Vaksin BCG
BCG dan komponen aktifnya merupakan produk bakteri yang emmeiliki
efek imunostimulan. Penggunaan BCG dalam imunopotensiasi bermula dari
pengamatan bahwa penderita tuberkulosis kelihatan lebih kebal terhadap infeksi
oleh jasad renik lain. Dalam imunomodulasi BCG digunakan untuk mengaktifkan
sel T, memperbaiki produksi limfokin, dan mengaktifkan sel NK. Walaupun
sudah dicoba untuk berbagai neoplasma, efek yang cukup nyata terlihat pada
kanker kandung kemih dengan pemberian intravesika. Efek samping meliputi
reaksi hipersensitivitas, syok, menggigil, lesu, dan penyakit kompleks imun.
5) Bahan-bahan lain
Berbagai bahan yang telah digunakan secara eksperimental di klinik adalah:
 Azimexon dan ciamexon: diberikan secara oral dan dapat meningkatkan respons
imun seluler.
 Bestatin: diberikan secara oral dan dapat meningkatkan respons imun seluler dan
humoral.
 Tuftsin: diberikan secara parenteral dan dapat meningkatkan fungsi makrofag, sel
NK dan granulosit.
 Maleic anhydride, divynil ether copolymer: diberikan secara parenteral dan dapat
meningkatkan fungsi makrofag dan sel NK.
 phenil-pyrimidol: diberikan secara oral dan dapat meningkatkan fungsi makrofag
dan sel NK
Dalam praktik seharí-hari, pemilihan imunostimulan untuk mencapai hasil yang
diinginkan hendaknya memenuhi syarat sebagai berikut:
 Dapat memodifikasi mekanisme imun pejamu yang berbeda dengan antibiotika
atau kemoterapi lain yang hanya berefek pada mikroorganisme penyebab
penyakit.
 Mempunyai efek farmakologi dan klinik yang diharapkan dengan efek samping
yang minimal.
 Bebas dari efek yang berbahaya seperti timbulnya autoimun serta limfoma seperti
yang pernah dilaporkan akibat beberapa zat kemoterapi serta C parvum.
 Bebas dari efek sensitisasi disebabkan zat yang digunakan bersifat alergenik
seperti BCG, C parvum atau levamisol yang mungkin dapat memberikan reaksi
yang tidak diinginkan atau menginduksi terjadinya penyakit kompleks imun.
 Bebas dari efek inhibisi sistem imun pada pemberian jangka lama atau berulang.
 Harus ada data yang lengkap mengenai imunofarmakologi zat tersebut, sehingga
dapat digunakan dengan indikasi tepat sesuai dengan keadaan klinis dan kondisi
pasien.
Untuk meneliti efektivitas imunostimulan ini, sebaiknya zat yang digunakan
tidak mengandung endotoksin karena endotoksin sendiri bersifat sebagai
imunostimulan.
2. Mekanisme Imunostimulan
Imunostimulator secara tidak langsung berkhasiat mereaktivasi system
imun yang rendah dengan meningkatkan respon imun tak spesifik antara lain
perbanyakan limfo T4, NK-cell dan magrofag distimulasi olehnya, juga pelepasan
interferon dan interleukin. Sebagai efek akhir dari reaksi kompleks itu, zat asing
dapat dikenali dan dimusnahkan. Pada sel –sel tumor ekspresi antigen
transplantasi diperkuat olehnya sehingga lebih dikenali oleh TNF dan sel – sel
sytotoksis. Zat imunostimulator yang kini digunakan adalah vaksin BCG,
limfokin (interveron , interleukin) dan levamisol.

C. Imunosupresan
Imunosupresan adalah kelompok obat yang digunakan untuk menekan
respon imun seperti pencegah penolakan transpalansi, mengatasi penyakit
autoimun dan mencegah hemolisis rhesus dan neonatus. Sebagain dari kelompok
ini bersifat sitotokis dan digunakan sebagai antikanker. Immunosupresan
merupakan zat-zat yang justru menekan aktivitas sistem imun dengan jalan
interaksi di berbagai titik dari sistem tersebut. Titik kerjanya dalam proses-imun
dapat berupa penghambatan transkripsi dari cytokin, sehingga mata rantai penting
dalam respon-imun diperlemah. Khususnya IL-2 adalah esensial bagi perbanyakan
dan diferensial limfosit, yang dapat dihambat pula oleh efek sitostatis langsung.
Lagi pula T-cells bisa diinaktifkan atau dimusnahkan dengan pembentukan
antibodies terhadap limfosit. Imunosupresan digunakan untuk tiga indikasi utama
yaitu, transplanatasi organ, penyakit autoimun, dan pencegahan hemolisis Rhesus
pada neonatus.
Imunosupresan adalah kelompok obat yang digunakan untuk menekan
respon imun seperti pencegah penolakan transpalansi, mengatasi penyakit
autoimun dan mencegah hemolisis rhesus dan neonatus. Sebagain dari kelompok
ini bersifat sitotokis dan digunakan sebagai antikanker.
1. Respon imun
Pada mahkluk tingkat tinggi seperti hewan vertebrata dan manusia, terdapat
dua sistem pertahanan (imunitas), yaitu imunitas nonsepesifik (innate immunity)
dan imunitas spesifik ( adaptive imunity).
1) Imunitas nonspesifik.
Merupakan mekanisme pertahanan terdepan yang meliputi komponen fisik berupa
keutuhan kulit dan mukosa; komponen biokimiawi seperti asam lambung, lisozim,
komploment ; dan komponen seluler nonspesifik seperti netrofil dan makrofag.
Netrofil dan makrofag melakukan fagositosis terhadap benda asing dan
memproduksi berbagai mediator untuk menarik sel-sel inflamasi lain di daerah
infeksi. Selanjutnya benda asing akan dihancurkan dengan mekanisme inflamasi.

2) Imunitas spesifik
Memiliki karakterisasi khusus antara lain kemampuannya untuk bereaksi secara
spesifik dengan antigen tertentu; kemampuan membedakan antigen asing dengan
antigen sendiri (nonself terhadap self); dan kemampuan untuk bereaksi lebih cepat
dan lebih efesien terhadap antigen yang sudah dikenal sebelumnya. Respon imun
spesifik ini terdiri dari dua sistem imun, yaitu imunitas seluler dan imunitas
humoral. Imunitas seluer melibatkan sel limposit T, sedangkan imunitas humoral
melibatkan limposit B dan sel plasma yang berfungsi memproduksi antibodi.
2. Aktivitas respon imun spesifik
Aktivitas sistem imun spesifik memerlukan partisipasi kelompok sel yang disebut
sebagai antigen presenting sel.
3. Indikasi imunosupresan
Imunosupresan digunakan untuk tiga indikasi utama yaitu:
1. transplantasi organ
2. penyakit autoimun
3. pencegahan hemolisis Rhesus pada neonates
4. Prinsip umum terapi imunosupresan
Prinsip umum penggunaan imunosupresan untuk mencapai hasil terapi yang
optimal adalah sebagai berikut:
 Respon imun primer lebih mudah dikendalikan dan ditekan dibandingkan dengan
respon imun sekunder. Tahap awal respon primer mencakup: pengolahan antigen
oleh APC, sintesis limfokin, proliferasi dan diferensiasi sel-sel imun. Tahap ini
merupakan yang paling sensitif terhadap obat imunosupresan. Sebaliknya, begitu
terbentuk sel memori, maka efektifitas obat imunosupresan akan jauh berkurang.
 Obat imunosupresan memberikan efek yang berbeda terhadap antigen yang
berbeda. Dosis yang dibutuhkan untuk menekan respon imun terhadap suatu
antigen berbeda dengan dosis untuk antigen lain.
 Penghambatan respon imun lebih berhasil bila obat imunosupresan diberikan
sebelum paparan terhadap antigen. Sayangnya, hampir semua penyakit autoimun
baru bisa dikenal setelah autoimuitas berkembang, sehingga relatif sulit diatasi.
5. Obat Imunosupresan
a. Azatioprin
Azatioprin sudah digunakan selama 20 tahun untuk menekan penolakan
cangkok organ ginjal dan sudah merupakan prosedur yang diterima. Juga
digunakan untuk pengobatan artritis reumatoid berat yang refrakter.
Toksisitas terhadap darah seperti leukopenia dan trombositopenia harus dimonitor
dengan baik sebagai petunjuk penentuan dosis azatioprin.
 Mekanisme kerja.
Azotioprin adalah antimetabolit golongan purin yang merupakan prekursor 6-
merkaptopurin. Azotioprin dalam tubuh diubah menjadi 6-merkaptopurin(6-MP)
yang merupakan metabolit aktif dan bekerja menghambat sintesis de novo purin.
 Interaksi
Penggunaan bersama allopurinol menyebabkan hambatan Xantin oksidase yang
juga merupakan enzim penting dalam metabolisme 6-merkaptopurin,sehingga
kombinasiIni meningkatkan toksisitas azotioprin dan merkaptopurin.
 Penggunaan klinis
Azotioprin digunakan antara lain untuk mencegahPenolakan transplantasi, lupus
nefritis. GNA, AR, Penyakit Crohn, dan sklerosis multipel. Obat ini kadang2
digunakan untuk ITP dan AIHA yangRefrakter terhadap steroid. Untuk profilaksis
digunakan dosis 3-10 mg/KgBB per hari1 atau 2 hari sebelum transplantasi.Dosis
pemeliharaan 1-3 mg/KgBB per hari.Obat ini tersedia dalam bentuk tablet 50 mg
dan iv100mg/vial
 Efek Samping
Menghambat proliferasi sel-sel yang cepat tumbuh seperti mukosa usus,
dan sumsum tulang dengan akibatleukopeni dan trombositopeni.Ruam kulit, mual.
mutah dan diare. Dapat terjadi peningkatan enzim transaminase, kolestasis. Efek
samping lain dapat terjadi peningkatan risikoInfeksi dan efek mutagenisitas dan
karsinogenisitas.

BAB III
KESIMPULAN

Imunofarmakologi dalm kajiannya membahas tentang


imunomodulator. Imunomodulator adalah obat yang dapat mengembalikan dan
memperbaiki sistem imun yang fungsinya terganggu atau untuk menekan yang
fungsinya berlebihan. Obat golongan imunomodulator bekerja menurut 3 cara,
yaitu melalui: Imunorestorasi, Imunostimulasi, Imunosupresi. Imunorestorasi dan
imunostimulasi disebut imunopotensiasi atau up regulation, sedangkan
imunosupresi disebut down regulation. Obat yang merangsang atau mengaktifkan
sistem kekebalan tubuh diistilahkan dengan imunostimulan, sedangkan
imunosupresan yang menekan sistem kekebalan tubuh. Setiap kelas obat yang
berguna dalam situasi khusus tertentu dan gangguan kekebalan tubu
Pengertian

Imunorestorasi ialah suatu cara untuk mengembalikan fungsi sistem imun yang
terganggu dengan memberikan berbagai komponen sistem imun, seperti:
immunoglobulin dalam bentuk Immune Serum Globulin (ISG), Hyperimmune Serum
Globulin (HSG), plasma, plasmapheresis, leukopheresis, transplantasi sumsum tulang,
hati dan timus.

Imunorestorasi merupakan suatu upaya memperbaiki sistem imun yang terganggu


dengan cara memberikan komponen sistem imun, misalnya memberikan
immunoglobulin, plasma darah, pencangkokan sumsum tulang dan lain-lain.

Imunorestorasi ialah suatu cara untuk mengembalikan fungsi sistem imun yang
terganggu dengan memberikan berbagai komponen sistem imun.

1. Immune Serum Globulin (ISG) dan Hyperimmune Serum Globulin (HSG)

Diberikan untuk memperbaiki fungsi sistem imun pada penderita dengan defisiensi imun
humoral, baik primer maupun sekunder. ISG dapat diberikan secara intravena dengan
aman. Defisiensi imunoglobulin sekunder dapat terjadi bila tubuh kehilangan Ig dalam
jumlah besar, misalnya pada sindrom nefrotik, limfangiektasi intestinal, dermatitis
eksfoliatif dan luka bakar.

Keuntungan :

 pemberian vaksin ISG merupakan pencegahan hepatitis A

 Dapat memperbaiki fungsi sistem imun.

 ISG dapat diberikan secara intravena dengan aman.

Kerugian :

 Menggigil,Muntah,Mual.Pusing,Sakit otot yang ringan

2. Plasma

Infus plasma segar telah diberikan sejak tahun 1960 dalam usaha memperbaiki sistem
imun. Darah cair atau plasma darah adalah cairan darah berbentuk butiran-butiran
darah. Di dalamnya terkandung benang-benang fibrin / fibrinogen yang berguna untuk
menutup luka yang terbuka.

Keuntungan:
 pemberian plasma adalah semua jenis imunoglobulin dapat diberikan dalam jumlah
besar tanpa menimbulkan rasa sakit.

Kerugian :

 Bahwa transfusi ini tidak dapat mengatasi anemia.

 Berefek samping dapat terjadi penularan virus dan reaksi anafilaksis

3. Plasmapheresis

Plasmapheresis (pemisahan sel darah dari plasma) digunakan untuk memisahkan plasma
yang mengandung banyak antibodi yang merusak jaringan atau sel, seperti pada
penyakit: miastenia gravis, sindroma goodpasture dan anemia hemolitik autoimun.

Keuntungan :

 Plasmapheresis digunakan untuk mengobati penderita sindrom Goodpasture.

 Plasmapheresis dianjurkan untuk pasien dengan kelemahan sedang hingga berat


(didefinisikan sebagai kemampuan berjalan dengan bantuan atau tidak mampu berjalan
sama sekali).

 Memperbaiki status fungsional baik jangka pendek maupun 1 tahun.

Kerugian :

 Biaya plasmapheresis cukup mahal

 Relaps terjadi pada 10% pasien dalam kurun waktu 3 minggu pasca-terapi.

4. Leukopheresis

Pemisahan leukosit secara selektif dari penderita telah dilakukan dalam usaha terapi
artritis reumatoid yang tidak baik dengan cara-cara yang sudah ada.

Keuntungan :

 Leukosit bertambah banyak sehingga membantu bila ada penyembuhan luka.

Kerugian :
 Bila pemisahan leukosit berlebih maka leukosit didalam darah akan meningkat

apabila leukosit terlalu banyak akan menyebabkan leukimia.

5. Transplantasi sumsum tulang, jaringan hati, timus

Sumsum tulang adalah jaringan lunak yang ditemukan pada rongga interior tulang yang
merupakan tempat produksi sebagian besar sel darah baru

Transplantasi sumsum tulang merupakan prosedur dimana sumsum tulang yang rusak
digantikan dengan sumsum tulang yang sehat

a. Timus adalah kelenjar yang berada di sekitar dada yang membantu


mengembangkan sistem kekebalan tubuh.

b. Timus penting peranannya dalam sistem imun spesifik seluler, karena di dalam timus
terjadi diferensiasi dan proliferasi dari sel T atau limfosit T. Dengan demikian involusi
dari kelenjar timus akan menyebabkan penurunan dari sel T, diantaranya adalah sel T
CD4+

Keuntungan :

 Berguna untuk mengganti sel-sel darah yang rusak karena kanker.

 Ditransplantasikan dapat mengembalikan kemampuan memproduksi sel-sel darah


yang pasien perlukan.

 Transplantasi sumsum tulang mungkin merupakan pengobatan yang efektif pada


beberapa keadaan.

 Pengangkatan kelenjar timus TIDAK meningkatkan kemungkinan berkembangnya


penyakit autoimun.

Kerugian :

 Kemungkinan infeksi

 Perdarahan

 Masih memungkinkan untuk kambuh lagi.

 Berefek samping dapat terjadi penularan virus dan reaksi anafilaksis


1. Definisi Imunorestorasi
Imunorestorasi adalah suatu cara untuk mengembalikan fungsi
sistem imun yang terganggu dengan memberikan berbagai
komponen sistem imun, seperti immunoglobulin dalam bentuk
ISG, HSG, plasma, plasmaferesis, leukoferesis,
transplantasisumsum tulang, hati dan timus. Imunoglobulin dapat
digunakan sebagai imunorestorasi dan imunosupresi.

1. ISG dan HSG


Imunoglobulin dapat diberikan sebagai imunorestorasi pada
penderita dengan defisiensi imun humoral, baik primer maupun
sekunder. Defisiensi imunoglobulin sekunder dapat terjadi bila
tubuh kehilangan Ig dalam jumlah besar, misalnya pada sindrom
nefrotik, limfangiektasi intestinal, dermatitis eksfoliatif dan luka
bakar. Pada luka bakar yang luas, imunitas dapat terganggu dan
penderita meninggal akibat sepsis yang tidak dapat ditolong
dengan pemberian antibiotik.

ISG maupun HSG dapat digunakan untuk imunorestorasi. ISG


dapat diberikan secara IV dengan aman. Efek sampingnya berupa
mengigil, mual, muntah, pusing dan sakit otot yang ringan yang
dapat dihilangkan dengan menghentikan atau memperlambat
pemberiannya. Reaksi anafilaksis timbul bila terjadi kompleks
imun dari anti IgA yang dibentuk resipien yang defisien IgA
terhadap IgA yang berasal dari preparat ISG. Kompleks IgA-anti
IgA dapat mengaktifkan komplemen melalui jalur klasik atau
alternatif. Kompleks tersebut sering ditemukan segera setelah
pemberian infus, tetapi segera menghilang tanpa disertai gejala.
Antibodi dapat dibentuk terhadap β-lipoprotein yang berada dalam
ISG. Pemberian intravena hanya dilakukan pada penyakit yang
berat karena metabolisme ISG terjadi lebih cepat dari pada
biasanya.

Keuntungan :

 Pemberian vaksin ISG merupakan pencegahan hepatitis A


 Dapat memperbaiki fungsi sistem imun
 ISG dapat diberikan secara intravena dengan aman
Kerugian :

 Menggigil, mual, muntah, pusing, sakit otot yang ringan


1. Plasma
Infus plasma segar telah diberikan sejak tahun 1960 dalam usaha
memperbaiki sistem imun. Keuntungannta ialah karena semua
jenis immunoglobulin dapat diberikan dalam jumlah besar tanpa
menimbulkan rasa sakit. Efek samping yang dapat terjadi ialah
penularan virus dan reaksi anafilaksis. Antigen memacu produksi
berbagai antibody, masing-masing dengan spesifisitas sendiri.
Valensi antigen adalah sama dengan jumlah total epitop yang
dimiliki antigen.

Keuntungan :

 Pemberian plasma adalah semua jenis imunoglobulin dapat


diberikan dalam jumlah besar tanpa menimbulkan rasa sakit
Kerugian :

 Bahwa transfusi ini tidak dapat mengatasi anemia


 Berefek samping dapat terjadi penularan virus dan reaksi
anafilaksis

1. Plasmaferesis
Plasmaferesis dilakukan dengan mengambil darah, plasma
dipisahkan dan fraksi yang mengandung banyak sel darah merah
dikembalikan. Sebaliknya pada exchange plasma dilakukan
dengan mengambil darah, plasma dipisahkan dan
mengembalikan fraksi yang kaya dengan sel darah merah dalam
plasma donor. Perbaikan pada plasmaferesis diduga karena
plasma yang dipisahkan mengandung banyak antibodi yang dapat
merusak jaringan atau sel misalnya pada:
 Miastenia gravis: antibody terhadap reseptor asetilkolin
 Sindrom Goodpasture: auto-antibodi terhadap membran basal
glomerulus ginjal
 Anemia hemolitik autoimun
Pada keadaan tersebut pembentukan antibodi berjalan terus; oleh
karena itu plasmaferesis hanya memberikan perbaikan
sementara. Plasmaferesis dapat dilakukan pada pengobatan
hiperviskositas dalam keadaan darurat. Efek plasmaferesis
terhadap berbagai penyakit.

Keuntungan :
 Plasmapheresis digunakan untuk mengobati penderita sindrom
goodpasture
 Plasmapheresis dianjurkan untuk pasien dengan kelemahan
sedang hingga berat (di definisikan sebagai kemampuan berjalan
dengan bantuan atau tidak mampu berjalan sama sekali)
 Memperbaiki status fungsional baik jangka pendek maupun 1
tahun
Kerugian :

 Biaya plasmapheresis cukup mahal


 Relaps terjadi pada 10% pasien dalam kurun waktu 3 minggu
pasca terapi

1. Leukoferesis
Pemisahan leukosit secara selektif dari penderita telah pula
dilakukan dalam usaha terapi pada atritis rheumatoid yang tidak
memberikan respons dengan cara-cara yang sudah ada.

Keuntungan :

 Leukosit bertambah banyak sehingga membantu bila ada


penyembuhan luka
Kerugian :

 Bila pemisahan leukosit berlebih maka leukosit di dalam darah


akan meningkat, apabila leukosit terlalu banyak akan
menyebabkan leukimia.
1. Transplantasi sumsum tulang, jaringan hati, timus
Sumsum tulang adalah jaringan lunak yang ditemukan pada
rongga interior tulang yang merupakan tempat produksi sebagian
besar sel darah baru.

Ada dua jenis sumsum tulang :

 sumsum merah (dikenal juga sebagai jaringan myeloid)


sel darah merah, keeping darah, dan sebagian besar sel darah
putih dihasilkan dari sumsum merah

 sumsum kuning
sumsum kuning menghasilkan sel darah putih dan warnanya
ditimbulkan oleh sel-sel lemak yang banyak dikandungnya.
Kedua tipe sumsum tulang tersebut mengandung banyak
pembuluh dan kapiler darah

Transplantasi sumsum tulang merupakan prosedur dimana


sumsum tulang yang rusak digantikan dengan sumsum tulang
yang sehat. Sumsum tulang yang rusak dapat disebabkan oleh
dosis tinggi kemoterapi atau terapi radiasi. Selain itu transplantasi
sumsum tulang juga berguna untuk mengganti sel-sel darah yang
rusak karena kanker. Transplantasi sumsum tulang dapat
menggunakan sumsum tulang pasien sendiri yang masih sehat.
Hal ini disebut transplantasi sumsum tulang autologus.
Transplantasi sumsum tulang juga dapat diperoleh dari orang lain.
Bila didapat dari kembar identik, dinamakan transplantasi
syngeneic. Sedangkan bila didapat dari bukan kembar identik,
misalnya dari saudara kandung dinamakan transplantasi
allogenik.

Timus adalah kelenjar yang berada di sekitar dada yang


membantu mengembangkan sistem kekebalan tubuh. Timus
penting peranannya dalam sistem imun spesifik seluler, karena di
dalam timus terjadi diferensiasi dan proliferasi dari sel T atau
limfosit T. dengan demikian involusi dari kelenjar timus akan
menyebabkan penurunan dari sel T, diantaranya adalah sel T
CD4+ (sel T helper 1 [Th1] dan sel T helper 2 [Th2])

Keuntungan :

 Berguna untuk mengganti sel-sel darah yang rusak karena kanker


 Di transplantasikan dapat mengembalikan kemampuan
memproduksi sel-sel darah yang pasien perlukan
 Transplantasi sumsum tulang mungkin merupakan pengobatan
yang efektif pada beberapa keadaan
 Pengangkatan kelenjar timus tidak meningkatkan kemungkinan
berkembangnya penyakit autoimun
Kerugian :

 Kemungkinan infeksi
 Perdarahan karena pengobatan kanker dosis tinggi
 Masih memungkinkan untuk kambuh lagi
 Berefek samping dapat terjadi penularan virus dan reaksi
anafilaksis
DAFTAR PUSTAKA

Baratawidjaja, Karnen Garna dan Rengganis, Iris. 2009. Imunologi


Dasar. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai