1. Transplantasi organ
– Kortikisteroida
– Limfositimunoglobulin (Limfoglobulin)
2. Penyakit autoimun
Guna menekan aktivitas penyakit auto imun sering digunakan zat-zat imunosupresif.
Misalnya, pada rematik dan penyakit radang usus (colitis ulcerosa, M. Crohn) diberikan
sulfasalazin dan sitostatika (MTX, azatioprin).
Mekanisme kerja :
Respon imun
Pada mahkluk tingkat tinggi seperti hewan vertebrata dan manusia, terdapat dua sistem
pertahanan (imunitas), yaitu imunitas nonsepesifik (innate immunity) dan imunitas
spesifik ( adaptive imunity).
1. Imunitas nonspesifik
2. Imunitas spesifik
Memiliki karakterisasi khusus antara lain kemampuannya untuk bereaksi secara spesifik
dengan antigen tertentu; kemampuan membedakan antigen asing dengan antigen
sendiri (nonself terhadap self) ; dan kemampuan untuk bereaksi lebih cepat dan lebih
efesien terhadap antigen yang sudah dikenal sebelumnya. Respon imun spesifik ini
terdiri dari dua sistem imun , yaitu imunitas seluler dan imunitas humoral. Imunitas
seluer melibatkan sel limposit T, sedangkan imunitas humoral melibatkan limposit B dan
sel plasma yang berfungsi memproduksi antibodi.
Aktivitas sistem imun spesifik memerlukan partisipasi kelompok sel yang disebut sebagai
antigen presenting sel. Prinsip umum penggunaan imunosupresan untuk mencapai hasil
terapi yang optimal adalah sebagai berikut:
1. Respon imun primer lebih mudah dikendalikan dan ditekan dibandingkan dengan
respon imun sekunder. Tahap awal respon primer mencakup: pengolahan antigen oleh
APC, sintesis limfokin, proliferasi dan diferensiasi sel-sel imun. Tahap ini merupakan
yang paling sensitif terhadap obat imunosupresan. Sebaliknya, begitu terbentuk sel
memori, maka efektifitas obat imunosupresan akan jauh berkurang.
2. Obat imunosupresan memberikan efek yang berbeda terhadap antigen yang berbeda.
Dosis yang dibutuhkan untuk menekan respon imun terhadap suatu antigen berbeda
dengan dosis untuk antigen lain.
3.Penghambatan respon imun lebih berhasil bila obat imunosupresan diberikan sebelum
paparan terhadap antigen. Sayangnya, hampir semua penyakit autoimun baru bisa
dikenal setelah autoimuitas berkembang, sehingga relatif sulit di atasi.
Metotrekstat
– Indikasi :
Dosis 100 – 500 mg/m² membutuhkan leucovorin rescue, > 500 mg/m² harus
menggunakan leucovorin rescue baik secara iv, im, maupun oral. Leucovorin 10 mg/m²
setiap 6 jam untuk 6-8 dosis dimulai 24 jam setelah pemberian metotreksat. Pemberian
leucovorin dilanjutkan sampai kadar metotreksat dalam darah sebesar < 0.1 micromolar.
Jika kadar metotreksat setelah 48 jam > 1 mikromolar atau setelah 72 jam > 0.2
micromolar,berikan leucovorin 100 mg/m² setiap 6 jam sampai kadar metotreksat
sebesar < 0.1 micromolar.
– Farmakologi :
Onset kerja : Antirematik: 3-6 minggu; tambahan perbaikan bisa dilanjutkan lebih lama
dari 12 minggu.
Absorpsi : Oral: cepat : diserap baik pada dosis rendah (<30 mg/m2); tidak lengkap
setelah dosis tinggi ; I.M.: Lengkap
Distribusi : Penetrasi lambat sampai cairan fase 3 (misal pleural efusi, ascites), eksis
lambat dari kompartemen ini (lebih lambat dari plasma), melewati plasenta, jumlah
sedikit masuk kelenjar susu, konsentrasi berangsur-angsur dikeluarkan di ginjal dan hati.
– Stabilitas penyimpanan :
Tablet dan vial disimpan pada suhu kamar (15-25°C), hindari cahaya matahari langsung.
– Kontra Indikasi :
Hipersensitifitas dari metotreksat dan komponan lain dari sediaan; kerusakan hebat
ginjal dan hati,pasien yang mengalami supresi sum-sum tulang dengan psoriasis atau
reumatoid artritits,penyakit alkoholik hati,AIDS,darah diskariasis,kehamilan,menyusui.
– Efek samping :
2. SSP : (dengan pemberian intratekal atau terapi dosis tinggi): Arachnoides: Manifestasi
reaksi akut sebagai sakit kepala hebat, rigidity nuchal, muntah dan demam, dapat
alleviated dengan pengurangan dosis.
3. Subakut toksisitas: 10% pasien diobat dengan 12-15 mg/m2 dari intratekal
metotreksat bisa membuat ini dalam minggu kedua atau ketiga dari terapi; konsis dari
paralisis motor dari ekstremites,palsy nerve kranial, seizure, atau koma.Hal ini juga
terlihat pada pediatrik yang menerima dosis tinggi IV metotreksat.
6. GI: Ulserativ stomatitis, glossitis, gingivitis, mual, muntah, diare, anoreksia, perforasi
intestinal, mukositis (tergantung dosis; terlihat pada 3-7 hari setelah terapi, terhenti
setelah 2 minggu)
10. WBC : Ringan, Platelet: Sedang, Onset: 7 hari, Nadir: 10 hari, Recovery: 21 hari
11. Hepatik : Sirosis dan fibrosis portal pernah diasosiasikan dengan terapi kronik
metotreksat, evaliasi akut dari enzym liver adalah biasa terjadi setelah dosis tinggi dan
biasanya resolved dalam 1 hari.Neuromuskular dan skeletal: Arthalgia.Okular: Pandanga
12. Renal : Disfungsi ginjal. Manifestasi karena abrupt rise pada serum kreatinin dan
BUN dan penurunan output urin, biasa terjadi pada dosis tinggi dan berhubungan
dengan presipitasi dari obat.
-Interaksi :
NSAID digunakan selama pengobatan dari reumatoid artritis tidak pernah amati, tapi
kelanjutan dari regimen terdahulu pernah diikuti pada beberapa keadaan, dengan
peringatan monitoring. Salisilat bisa meningkatkan level metotreksat, bagaimanapun
penggunaan salisilat untuk profilaksis dari kejadian kardiovaskular tidak mendapat
perhatian.
2. Dengan Makanan
Serum level metotreksat bisa menurun jika bersama dengan makanan. Makanan dengan
banyak susu dapat menurunkan absorpsi metotreksat. Folat dapat menurunkan respons
obat. Hindari echinacea (mempunyai sifat sebagai imunostimulan).
-Pengaruh :
1. Kehamilan
Faktor resiko X
2. Ibu menyusui
-Bentuk Sediaan : Tablet 2.5 ml, Vial 5 mg/2ml, Vial 50 mg/2 ml, Ampul 5 mg/ml, Vial
50mg/5ml
Zat-zat lain
1. Kortikosteroda
Hormon anak ginjal berkhasiat anti radang, imunosupresif, dan antialergis. Kedua efek
terakhir untuk sebagian besar berhubungan dengan kerja antiradangnya dan terutama
nampak pada reaksi imun di jaringan. Misalnya migrasi sel dan aktivitas fagocytose dari
makrofag/monocyt dikurangi. Juga jaringan lymfatis dirombak, dimana limfosit-T dan –B
berperan. Pembentukan antibodies hanya ditekan pada dosis amat tinggi.
Kortikosteroida banyak digunakan sebagai obat tambahan pada penyakit auto-imun
seperti rema, Sjogren, SLE, dan MS (multiple scerosis), juga pada terapi kanker. Efektif
sekali untuk menekan dengan pesat exacerbatio penyakit (mendadak menjadi parahnya
gejala penyakit).Untuk memelihara remisi pada penyakit-usus beradang kronis ternyata
kurang efektif.
Endecapeptida siklis ini (1983) diperoleh dari fungi Tolypocladium inflatum dan terdiri
dari 11 asam amino. Bersifat Immunosupresif istimewa dengan jalan menghambat
secara spesifik respons-imun seluler. Proliferasi T-helpercells dan cytotoxic cells
dihambat secara selektif dan reversible. Juga merintangi produksi/pelepasan IL-2 dan
banyak limfokin lain. Produksi Limfo-T supressorcells justru distimulasi . Tidak berkhasiat
myelosupressif.
Siklosporin terutama digunakan berkat sifat-sifat ini pada transplantasi organ atau
sumsum untuk profilakse dan penanganan reaksi penolakan. Juga pada psioriasis, colitis
dan penyakit Crohn. Siklosporin dapat dikombinasi dengan kortikoida atau
immunosupressiva yang lain dengan maksud mengurangi nefrotoksisitasnya.
Resorbsi dari usus sangat variable, BA-nya 10-15%, PP-nya 98%, plasma T1/2-nya ca 20
jam. Bersifat sangat lipofil, maka distribusinya baik kesemua jaringan tubuh. Dalam hati
dirombak menjadi 15 metabolityang terutama diekskresikan melalui empedu dengan
siklus enterohepatis. Hanya 6% dieksresikan lewat kemih.
Efek samping utamanya adalah yang tergantung dari dosis dengan turunya nilai kreatinin
(reversible). Juga hipertensi, hiperlipidemia, hipertrichosis, gangguan lambung-
usus,nyeri kepala, tangan rasa terbakar, konvulsi, gangguan darah dan lain-lain. Bersifat
karsinogen terutama bila digunakan lama dengan dosis tinggi (limfoma, kanker kulit).
Dosis : 4-12 jam sebelum transplantasi, oral 2,5-15 mg/kg selama 1-2 bulan, juga sebagai
infuse intravena. Dosis disesuaikan dengan kadar siklosporin dalam darah.
3. Tacrolimus (prograf)
Senyawa makrolida ini diekstraksi dari jamur streptomyces tsukubaensis (1993). Khasiat
dan mekanisme immunosupressivenya sama dengan sikolosporin, tetapi ca lebih kuat
50x dalam hal pencegahan sintesa IL-2 yang mutlak perlu untuk proliferasi sel –T. Juga
bersifat sangat lipofil dan sama efektifnya dengan siklosporin pada transplantasi hati,
jantung, paru-paru, dan ginjal. Terutama digunakan bersama kortikosteroida. Lebih
sering menimbulkan efek samping berupa toksisitas bagi ginjal dan saraf.
Dosis : infuse i.v. 0,05-0,1 mg /kg/hari, 6 jam setelah transplantasi selama 2-3 hari, lalu
dilanjutkan oral 0,15-0,3 mg/kg/hari dalam 2 dosis.
4. Mycofenolat-mofetil (CellCept)
Obat terbaru ini (1996) adalah prodrug dengan khasiat menekan perbenyakan dari
khusus limfosit melalui inhibisi enzim dehidrogenasi yang diperlukan untuk sintese purin
(DNA/RNA). Ternyata sangat efektif untuk melawan penolakan akut setelah
transplantasi ginjal. Dibandingkan dengan obat-obat lainya , yaitu azatioprin dan
siklosporin ( dan prednisone), persentase penolakan dikurangi sampai 50%. Lagi pula
efek sampingnya lebih sedikit. Mungkin berdaya pula untuk menghambat penolakan
menahun (jangka panjang) yang smpai kini merupakan maslah besar.
Resorpsinya dari usus baik, dengan BA 90%. Dalam hati segera diubah menjadi asam
mycofenolat aktif . Ekskresinya berlangsung melaluiurin sebagai glukuronidanya (inaktif),
sesudah mengalami resirkulasi enterohepatis. Plasma – t1/2 mycofenolat adalah ca 16
jam.
Dosis : dalam waktu 72 jam setelah transplantasi 2 dd 1ga.c dengan minyak air.
5. Talidomida (synovir)
Derivat-piperidin ini (1957) adalah obat tidur dengan efek teratogen sangat kuat
(peristiwa softenon, 1962, lihat edisi empat), yang berdasarkan khasiat anti-
angiogenesisnya. Juga berdaya imunosupresif (anti-TNF). Dan antiradang. Setelah
dilarang peredaranya selama lebih dari 25 tahun, sejak awal tahun 1990-an talidomida
mulai digunakan lagi antara lain untuk menekan reaksi lepra dan meringankan gejala
AIDS seperti (aphtae) dimulut , kerongkongan, dan kemaluan, serta diare dan kehilangan
bobot serius. Di AS penggunaanya pada lepra disahkan kembali sejak akhir tahun 1997
dengan syarat- syarat ketat. Dewasa ini efektivitasnya sedang diselidiki secara klinis
untuk berbagai penyakit auto-imun.
6. Sulfalazin (sulcolon)
1. Imunitas nonspesifik.
Merupakan mekanisme pertahanan terdepan yang meliputi komponen fisik berupa
keutuhan kulit dan mukosa; komponen biokimiawi seperti asam lambung, lisozim,
komploment ; dan komponen seluler nonspesifik seperti netrofil dan makrofag.
Netrofil dan makrofag melakukan fagositosis terhadap benda asing dan
memproduksi berbagai mediator untuk menarik sel-sel inflamasi lain di daerah
infeksi. Selanjutnya benda asing akan dihancurkan dengan mekanisme inflamasi.
2. Imunitas spesifik
Memiliki karakterisasi khusus antara lain kemampuannya untuk bereaksi secara
spesifik dengan antigen tertentu; kemampuan membedakan antigen asing dengan
antigen sendiri (nonself terhadap self) ; dan kemampuan untuk bereaksi lebih
cepat dan lebih efesien terhadap antigen yang sudah dikenal sebelumnya. Respon
imun spesifik ini terdiri dari dua sistem imun , yaitu imunitas seluler dan imunitas
humoral. Imunitas seluer melibatkan sel limposit T, sedangkan imunitas humoral
melibatkan limposit B dan sel plasma yang berfungsi memproduksi antibodi.
Aktivitas respon imun spesifik
Aktivitas sistem imun spesifik memerlukan partisipasi kelompok sel yang disebut
sebagai antigen presenting sel.
Indikasi imunosupresan
Imunosupresan digunakan untuk tiga indikasi utama yaitu:
1. transplantasi organ
2. penyakit autoimun
3. pencegahan hemolisis Rhesus pada neonates
Prinsip umum terapi imunosupresan
Prinsip umum penggunaan imunosupresan untuk mencapai hasil terapi yang
optimal adalah sebagai berikut:
1. Respon imun primer lebih mudah dikendalikan dan ditekan dibandingkan dengan
respon imun sekunder. Tahap awal respon primer mencakup: pengolahan antigen
oleh APC, sintesis limfokin, proliferasi dan diferensiasi sel-sel imun. Tahap ini
merupakan yang paling sensitif terhadap obat imunosupresan. Sebaliknya, begitu
terbentuk sel memori, maka efektifitas obat imunosupresan akan jauh berkurang.
2. Obat imunosupresan memberikan efek yang berbeda terhadap antigen yang berbeda.
Dosis yang dibutuhkan untuk menekan respon imun terhadap suatu antigen
berbeda dengan dosis untuk antigen lain.
3. Penghambatan respon imun lebih berhasil bila obat imunosupresan diberikan
sebelum paparan terhadap antigen. Sayangnya, hampir semua penyakit autoimun
baru bisa dikenal setelah autoimuitas berkembang, sehingga relatif sulit diatasi.
Pilahan Obat Imunosupresan
Secara praktis, di klinik penggunaan obat imunosupresan berdasarkan waktu
pemberiannya. Untuk itu, respon imun dibagi dalam dua fase :
1. Fase pertama adalah fase induksi, yang meliputi :
Fase pengolahan antigen oleh makrofag, dan pengenalan antigen oleh limfosit
imunokompeten.
Fase proliferasi dan diferensiasi sel B dan sel T
2. Fase kedua adalah fase produksi, yaitu fase sintesis aktif antibodi dan limfokin.
Berdasarkan respon imun, imunosupresan dibagi menjadi tiga kelas :
Kelas I: harus diberikan sebelum fase induksi yaitu sebelum terjadi perangsangan oleh
antigen. Kerjanya merusak limfosit imunokompeten. Jika diberikan setelah terjadi
perangsangan oleh antigen, biasanya tidak diperoleh efek imunosupresif sehingga
respon imun dapat berlanjut terus.
Kelas II: harus diberikan dalam fase induksi, biasanya satu atau dua hari setelah
perangsangan oleh antigen berlangsung. Obat golongan ini bekerja mengambat
proses diferensiasi dan proliferasi sel imunokompeten, misalnya antimetabolit.
Kelas III: memiliki sifat dari kelas I dan II. Jadi golongan ini dapat menghasilkan
imunosupresi bila diberikan sebelum maupun sesudah adanya perangsangan oleh
Antigen.
2. Metotreksat (MTX)
Digunakan sebagai obat tunggal atau kombinasi dengan siklosporin dalam
mencegah penolakan cangkok sumsum tulang. MTX juga berguna untuk penyakit
autoimun dan peradangan tertentu. Saat ini disetujui untuk digunakan dalam
pengobatan artritis reumatoid yang aktif dan berat pada orang dewasa dan pada
psoriasis yang sudah refrakter terhadap obat lain.
o Nama : 4-amino-4-deoxy–10-methylpteoryl-L-glutamic acid.
o Struktur kimia : C20H22N8O5
o Sifat Fisikokimia : Serbuk kristal berwarna kuning atau oranye, higroskopis.
Praktis tidak larut dalam air, alkohol, diklorometan, terurai dalam larutan asam
mineral, basa hidroksida dan karbonat.
o Golongan/Kelas Terapi
Antineoplastik, Imunosupresan dan obat utnuk terapi.
o Nama dagang
Emthexate-Combiphar/Pharmachemie,Methotrexat-Ebewe,
Methotrexate Kalbe.
o Indikasi :
Pengobatan untuk neoplasma trofoblatik, leukemia, psoriasis, reumatoid artritis,
termasuk terapi poliartikular juvenile reumatoid artritis (JDR); karsinoma
payudara, karsinoma leher dan karsinoma kepala,karsinoma paru, osteosarkoma,
sarcoma jaringan lunak, karsinoma saluran gastrointestinal, karsinoma esofagus,
karsinoma testes, karsinoma limfoma.
o Dosis, cara pemberian dan lama pemberian :
Dosis 100 – 500 mg/m² membutuhkan leucovorin rescue, > 500 mg/m² harus
menggunakan leucovorin rescue baik secara iv, im, maupun oral. Leucovorin 10
mg/m² setiap 6 jam untuk 6-8 dosis dimulai 24 jam setelah pemberian
metotreksat. Pemberian leucovorin dilanjutkan sampai kadar metotreksat dalam
darah sebesar < 0.1 micromolar. Jika kadar metotreksat setelah 48 jam > 1
mikromolar atau setelah 72 jam > 0.2 micromolar,berikan leucovorin 100 mg/m²
setiap 6 jam sampai kadar metotreksat sebesar < 0.1 micromolar.
o Farmakologi :
Onset kerja : Antirematik: 3-6 minggu; tambahan perbaikan bisa dilanjutkan lebih
lama dari 12 minggu.
Absorpsi : Oral: cepat : diserap baik pada dosis rendah (<30 mg/m2); tidak
lengkap setelah dosis tinggi ; I.M.: Lengkap
Distribusi : Penetrasi lambat sampai cairan fase 3 (misal pleural efusi, ascites),
eksis lambat dari kompartemen ini (lebih lambat dari plasma), melewati plasenta,
jumlah sedikit masuk kelenjar susu, konsentrasi berangsur-angsur dikeluarkan di
ginjal dan hati.
Ikatan protein: 50%
Metabolisme: <10%: Degradasi dengan flora intestinal pada DAMPA dengan
karboksipeptida, oksidasi aldehid konversi metotreksat menjadi 7-OH metotreksat
di hati; poliglutamat diproduksi secara mempunyai kekuatan samadengan
metotreksat, produksinya tergantung dosis, durasi dan lambat dieliminasi oleh sel.
T ½ eliminasi: Dosis rendah: 3-10 jam; I.M.: 30-60 menit.
Ekskresi : Urin (44%-100%); feses (jumlah kecil)
Stabilitas penyimpanan :
Tablet dan vial disimpan pada suhu kamar (15-25°C), hindari cahaya matahari
langsung.
o Kontra Indikasi :
Hipersensitifitas dari metotreksat dan komponan lain dari sediaan; kerusakan
hebat ginjal dan hati,pasien yang mengalami supresi sum-sum tulang dengan
psoriasis atau reumatoid artritits,penyakit alkoholik hati,AIDS,darah
diskariasis,kehamilan,menyusui.
o Efek samping :
Efek samping beragam sesuai rute pemberian dan dosis.
1. Hematologi dan/atau toksisitas gastrointestinal : sering terjadi pada penggunaan
umum dari dosis umum metotreksat; reaksi ini lebih sedikit terjadi ketika
digunakan pada dosis topikal untuk reumatoid artritis.
2. SSP : (dengan pemberian intratekal atau terapi dosis tinggi): Arachnoides:
Manifestasi reaksi akut sebagai sakit kepala hebat, rigidity nuchal, muntah dan
demam, dapat alleviated dengan pengurangan dosis.
3. Subakut toksisitas: 10% pasien diobat dengan 12-15 mg/m2 dari intratekal
metotreksat bisa membuat ini dalam minggu kedua atau ketiga dari terapi; konsis
dari paralisis motor dari ekstremites,palsy nerve kranial, seizure, atau koma.Hal
ini juga terlihat pada pediatrik yang menerima dosis tinggi IV metotreksat.
4. Demyelinating enselopati: telihat dalam bulan atau tahun setelah menerima
metotreksat; biasanya diasosiasikan dengan iradiasi kranial atau kemoterapi
sistemik yang lain.
5. Dermatologi: Kulit menjadi kemerahan.Endokrin dan metabolik:
Hipoerurikemia,detektif oogenesis, atau spermatogenesis.
6. GI: Ulserativ stomatitis, glossitis, gingivitis, mual, muntah, diare, anoreksia,
perforasi intestinal, mukositis (tergantung dosis; terlihat pada 3-7 hari setelah
terapi, terhenti setelah 2 minggu).
7. Hematologi: Leukopenia, trombositopenia.Ginjal: Gagal ginjal,
azotemia,nefropati.Pernafasan: Faringitis. 1%-10%.
8. Kardiovaskular: Vaskulitis.SSP, pusing, malaise, enselopati, seizure, demam,
chills.
9. Myelosupresif : Terutama faktor batas-dosis (bersama dengan mukositis) dari
metotreksat, terjadi sekitar 5-7 hari setelah terapi, dan harus dihentikan selama 2
minggu 10.
10. WBC : Ringan, Platelet: Sedang, Onset: 7 hari, Nadir: 10 hari, Recovery: 21 hari.
11. Hepatik : Sirosis dan fibrosis portal pernah diasosiasikan dengan terapi kronik
metotreksat, evaliasi akut dari enzym liver adalah biasa terjadi setelah dosis tinggi
dan biasanya resolved dalam 1 hari.Neuromuskular dan skeletal: Arthalgia.
Okular: Pandangan.
12. Renal : Disfungsi ginjal. Manifestasi karena abrupt rise pada serum kreatinin dan
BUN dan penurunan output urin, biasa terjadi pada dosis tinggi dan berhubungan
dengan presipitasi dari obat.
13. Respirator (Penumositis) : Berhubungan dengan demam, batuk, dan interstitial
pulmonari infitrates; pengobatan dengan metotreksat selama reaksi akut;
interstitial pneumisitis pernah dilaporkan terjadi dengan insiden dari 1% pasien
dengan RA (dosis 7.5-15 mg/minggu) <1% (terbatas sampai penting untuk
penyelamatan hidup): Neurologi akut sindrom (pada dosis tinggi- simptom
termasuk kebingungan, hemiparesis, kebutaan transisi,dan koma); anafilaksis
alveolitis; disfungsi kognitif (pernah dilaporkan pada dosis rendah),penurunan
resistensi infeksi,eritema multiforma, kegagalan hepatik, leukoenselopati
(terutama mengikuti irasiasi spinal atau pengulangan terapi dosis tinggi),disorder
limpoproliferatif, osteonekrosis dan nekrosis jaringan lunak (dengan radioterapi),
perikarditis, erosions plaque (Psoriasis), seizure (lebih sering pada pasien dengan
ALL),sindrom Stevens – Johnson, tromboembolisme.
o Interaksi :
1. Dengan Obat lain
Efek meningkatkan/toksisitas: Pengobatan bersama dengan NSAID telah
menghasilkan supresi sum-sum tulang berat, anemia aplastik dan toksisitas pada
saluran gastrointestinal. NSAID tidak boleh digunakan selama menggunakan
metotreksat dosis sedang atau tinggi karena dapat meningkatkan level metotreksat
dalam darah (dapat menaikkan toksisitas):
NSAID digunakan selama pengobatan dari reumatoid artritis tidak pernah amati,
tapi kelanjutan dari regimen terdahulu pernah diikuti pada beberapa keadaan,
dengan peringatan monitoring. Salisilat bisa meningkatkan level metotreksat,
bagaimanapun penggunaan salisilat untuk profilaksis dari kejadian kardiovaskular
tidak mendapat perhatian.
2. Dengan Makanan
Level metotreksat bisa menurun jika bersama dengan makanan. Makanan
dengan banyak susu dapat menurunkan absorpsi metotreksat. Folat dapat
menurunkan respons obat. Hindari echinacea (mempunyai sifat sebagai
imunostimulan).
o Pengaruh :
Kehamilan
Faktor resiko X
Ibu menyusui
Metotreksat didistribusikan ke dalam air susu, dikontraindikasikan untuk ibu
menyusui.
o Bentuk Sediaan : Tablet 2.5 ml, Vial 5 mg/2ml, Vial 50 mg/2 ml, Ampul 5 mg/ml,
Vial 50mg/5ml.
1. Siklofosfamid
Secara umum siklofosfamid mengurangi respon imun humoral dan
meningkatkan respon imun selular. Selain pada bedah cangkok, obat ini juga
digunakan pada artritis reumatoid, sindrom nefrotik dan granulomatosis Wegener.
2. Kortikosteroid
Yang digunakan sebagai imunosupresan adalah golongan glukokortikoid yaitu
prednison dan prednisolon. Kortikosteroid (glukokortikoid) digunakan sebagai
obatTunggal atau dalam kombinasi dengan imunosupresanLain untuk mencegah
reaksi penolakan transplantasi danUntuk mengatasi penyakit aoutoimun.
a. Mekanisme Kerja
Glukokortikoid dapat menurunkan jumlah limfosit secaraCepat, terutama bila
diberikan dalam dosis besar.Studi terbaru menunjukkan bahwa kortikosteroid
menghambatProliferasi sel limfosit T,imunitas seluler.
b. Penggunaan Klinik
Kortikosteroid biasanya digunakan bersama imunosupresanLain dalam mencegah
penolakan transplantasi.Untuk ini diperlukan dosis besar untuk beberapa
hari.Kortikosteroid juga digunakan untuk mengurangi reaksi Alergi yang bisa
timbul pada pemberian antibodi monoklonal Atau antibodi antilimfosit.juga
digunakan untuk berbagai Penyakit autoimun
c. Toksisitas
Penggunaan steroid dalam jangka panjang seringMenimbulkan berbagai efek
samping,seperti meningkatnyaRisiko infeksi.
3. Siklosporin (Cyclosporin A)
Berasal dari jamur Tolypocladium inflatum gams. Siklosporin punya efek
imunosupresan karena mempunyai kemampuan yang selektif dalam menghambat
sel T. Siklosporin digunakan terutama dalam kombinasi denga prednison untuk
mempertahankan ginjal, hati dan cangkok jantung pada transplantasi.
Siklospurin (sandimun).Sediaan iv terdapat dalam bentuk larutan dalamEthanol-
polyxyethylated castor oil dengan kadar 50 mg/ml.Dan sediaan oral berupa kapsul
lunak 25-100 mg dan larutan100 mg/mlPemberian peroral kadar puncak tercapai
setelah 1,3-4 jam. Adanya makanan berlemak sangat mengurangi
absorbsiSiklospurin kapsul lunak.Waktu paruh kurang lebih 6 jam.Ekskresi
terutama melalui empedu dan feces,hanya 6%Yang melalui urin
4. Rho (D) imunoglobulin
Antibodi ini merupakan bentuk spesifik dalam pengobatan imunologi untuk
ibu dengan Rho (D) negatif yang terpapar darah Rho (D) positif pada perdarahan
karena abortus, amniosintesis, trauma abdomen atau kelahiran biasa dari janin.
5. Tacrolimus (prograf)
Senyawa makrolida ini diekstraksi dari jamur streptomyces tsukubaensis
(1993). Khasiat dan mekanisme immunosupressivenya sama dengan sikolosporin,
tetapi ca lebih kuat 50x dalam hal pencegahan sintesa IL-2 yang mutlak perlu
untuk proliferasi sel –T. Juga bersifat sangat lipofil dan sama efektifnya dengan
siklosporin pada transplantasi hati, jantung, paru-paru, dan ginjal. Terutama
digunakan bersama kortikosteroida. Lebih sering menimbulkan efek samping
berupa toksisitas bagi ginjal dan saraf.
Dosis : infuse i.v. 0,05-0,1 mg /kg/hari, 6 jam setelah transplantasi selama 2-3
hari, lalu dilanjutkan oral 0,15-0,3 mg/kg/hari dalam 2 dosis.
6. Mycofenolat-mofetil (CellCept)
Obat terbaru ini (1996) adalah prodrug dengan khasiat menekan perbenyakan
dari khusus limfosit melalui inhibisi enzim dehidrogenasi yang diperlukan untuk
sintese purin (DNA/RNA). Ternyata sangat efektif untuk melawan penolakan akut
setelah transplantasi ginjal. Dibandingkan dengan obat-obat lainya , yaitu
azatioprin dan siklosporin ( dan prednisone), persentase penolakan dikurangi
sampai 50%. Lagi pula efek sampingnya lebih sedikit. Mungkin berdaya pula
untuk menghambat penolakan menahun (jangka panjang) yang smpai kini
merupakan maslah besar.
Resorpsinya dari usus baik, dengan BA 90%. Dalam hati segera diubah menjadi
asam mycofenolat aktif . Ekskresinya berlangsung melaluiurin sebagai
glukuronidanya (inaktif), sesudah mengalami resirkulasi enterohepatis. Plasma –
t1/2 mycofenolat adalah ca 16 jam.
Dosis : dalam waktu 72 jam setelah transplantasi 2 dd 1ga.c dengan minyak air.
7. Talidomida (synovir)
Derivat-piperidin ini (1957) adalah obat tidur dengan efek teratogen sangat
kuat (peristiwa softenon, 1962, lihat edisi empat), yang berdasarkan khasiat anti-
angiogenesisnya. Juga berdaya imunosupresif (anti-TNF). Dan antiradang. Setelah
dilarang peredaranya selama lebih dari 25 tahun, sejak awal tahun 1990-an
talidomida mulai digunakan lagi antara lain untuk menekan reaksi lepra dan
meringankan gejala AIDS seperti (aphtae) dimulut , kerongkongan, dan kemaluan,
serta diare dan kehilangan bobot serius. Di AS penggunaanya pada lepra disahkan
kembali sejak akhir tahun 1997 dengan syarat- syarat ketat. Dewasa ini
efektivitasnya sedang diselidiki secara klinis untuk berbagai penyakit auto-imun.
8. Sulfalazin (sulcolon)
Sulfalazin adalah persenyawaan sulfapiridin dengan 5- ASA yang bersifat
antiradang dengan jalan blokade siklo-oksigenase serta lipoksigenase dan dengan
demikian mencegah sintesis prostaglandin dan leukotrien . Sulfalazin
mempengaruhi fungsi limfosit, mungkin lewat cytokine, juga berdaya
antioksidans ( ‘ Menangkap’ radikal bebas O2). Zat ini digunakan khusus pada
penyakit usus beradang kronis (crohn, colitis) dan pada rema.
BAB III
PENUTUP
3.1. Simpulan
Imunosupresan adalah kelompok obat yang digunakan untuk menekan
respon imun seperti pencegah penolakan transpalansi, mengatasi penyakit
autoimun dan mencegah hemolisis rhesus dan neonatus. Imunosupresan
digunakan untuk tiga indikasi utama yaitu, transplanatasi organ, penyakit
autoimun, dan pencegahan hemolisis Rhesus pada neonatus.
Prinsip umum penggunaan imunosupresan untukmencapai hasil terapi yang
optimal adalah sebagai berikut:
1. Respon imun primer lebih mudah dikendalikan dan ditekan dibandingkan dengan
respon imun sekunder.
2. Obat imunosupresan memberikan efek yang berbeda terhadap antigen yang
berbeda.
3. Penghambatan respon imun lebih berhasil bila obat imunosupresan diberikan
sebelum paparan terhadap antigen.
Beberapa contoh obat imunosupresan antara lain Azatioprin , Metotreksat
(MTX) , Siklofosfamid, Kortikosteroid , Siklosporin (Cyclosporin A) , Rho (D)
imunoglobulin, Tacrolimus (prograf) , Mycofenolat-mofetil (CellCept) ,
Talidomida (synovir), Sulfalazin (sulcolon) .
A. Imunisupresan
1. Pengertian Imunosupresan
Imunosupresan adalah kelompok obat yang digunakan untuk menekan respon imun
seperti pencegah penolakan transpalansi, mengatasi penyakit autoimun dan mencegah
hemolisis rhesus dan neonatus. Sebagain dari kelompok ini bersifat sitotokis dan
digunakan sebagai antikanker. Immunosupresan merupakan zat-zat yang justru
menekan aktivitas sistem imun dengan jalan interaksi di berbagai titik dari sistem
tersebut. Titik kerjanya dalam proses-imun dapat berupa penghambatan transkripsi dari
cytokin, sehingga mata rantai penting dalam respon-imun diperlemah. Khususnya IL-2
adalah esensial bagi perbanyakan dan diferensial limfosit, yang dapat dihambat pula
oleh efek sitostatis langsung. Lagi pula T-cells bisa diinaktifkan atau dimusnahkan
dengan pembentukan antibodies terhadap limfosit.
Efek imunosupresi dapat dicapai dengan salah satu cara berikut: (1) Menghambat proses
fagositosis dan pengolahan Ag menjadi Ag imunogenik oleh makrofag; (2) Menghambat
pengenalan Ag oleh sel limfoid imunokompeten; (3) Merusak sel limfoid
imunokompeten; (4) Menekan diferensiasi dan proliferasi sel imunokompeten, sehingga
tidak terbentuk sel plasma penghasil Ab, atau sel T yang tersensitisasi untuk respons
imun selular; dan (5) Menghentikan produksi Ab oleh sel plasma, serta melenyapkan sel
T yang tersensitisasi yang telah terbentuk. Beberapa imunosupresan mempengaruhi
berbagai reaksi respons imun, umpamanya reaksi inflamasi.
Imunosupresan kelas II adalah yang harus diberikan dalam fase induksi; biasanya satu
atau dua hari setelah perangsangan oleh Ag berlangsung. Obat golongan ini bekerja
menghambat proses diferensiasi dan proliferasi sel imunokompeten, misalnya
antimetabolit. Jika diberikan sebelum adanya perangsangan oleh Ag, umumnya tidak
memperlihatkan efek imunosupresif; malahan sebaliknya, beberapa obat tersebut justru
dapat meningkatkan respons imun, umpamanya azatioprin dan metotreksat. Bagaimana
mekanisme terjadinya hal yang disebut belakangan belum diketahui dengan pasti.
Imunosupresan kelas III memiliki sifat imunosupresan kelas I maupun kelas II. Jadi
golongan ini dapat menghasilkan imunosupresi bila diberikan sebelum maupun sesudah
adanya perangsangan oleh Ag.
D-Melfalan Azatioprin
Siklosporin*
Dari obat yang tertera dalam tabel tersebut hanya beberapa saja yang telah lazim
digunakan sebagai imunosupresan, yaitu: (1) alkilator: siklofosfamid dan klorambusil; (2)
antimetabolit: aztioprin dan 6-merkaptopurin (analog purin), metotreksat (analog folat);
(3) kortikosteroid: prednisolon, prednison; dan (4) siklosporin.
Obat yang digunakan sebagai imunosupresan sebagian besar termasuk dalam golongan
obat kelas II, contohnya azatioprin, 6-merkaptopurin, klorambusil dan metotreksat. Efek
utama obat kelompok ini ialah menghancurkan sel yang sedang berproliferasi, maka
tahap proliferasi dan diferensiasi umumnya merupakan fase yang lebih sensitif daripada
tahap lainnya. Obat-obat ini paling efektif diberikan beberapa hari setelah
berlangsungnya stimulasi Ag yaitu pada periode dengan sensitivitas maksimal.
Imunosupresan kelas III yang telah banyak digunakan sampai kini hanyalah
sikolofosfamid. Efek imunosupresif dapat diperoleh bila diberikan sebelum maupun
sesudah berlangsungnya stimulasi Ag, tetapi efek ini terkuat pada pemberian beberapa
hari setelah stimulasi Ag berlangsung.
C. Imunosupresan
Imunosupresan adalah kelompok obat yang digunakan untuk menekan
respon imun seperti pencegah penolakan transpalansi, mengatasi penyakit
autoimun dan mencegah hemolisis rhesus dan neonatus. Sebagain dari kelompok
ini bersifat sitotokis dan digunakan sebagai antikanker. Immunosupresan
merupakan zat-zat yang justru menekan aktivitas sistem imun dengan jalan
interaksi di berbagai titik dari sistem tersebut. Titik kerjanya dalam proses-imun
dapat berupa penghambatan transkripsi dari cytokin, sehingga mata rantai penting
dalam respon-imun diperlemah. Khususnya IL-2 adalah esensial bagi perbanyakan
dan diferensial limfosit, yang dapat dihambat pula oleh efek sitostatis langsung.
Lagi pula T-cells bisa diinaktifkan atau dimusnahkan dengan pembentukan
antibodies terhadap limfosit. Imunosupresan digunakan untuk tiga indikasi utama
yaitu, transplanatasi organ, penyakit autoimun, dan pencegahan hemolisis Rhesus
pada neonatus.
Imunosupresan adalah kelompok obat yang digunakan untuk menekan
respon imun seperti pencegah penolakan transpalansi, mengatasi penyakit
autoimun dan mencegah hemolisis rhesus dan neonatus. Sebagain dari kelompok
ini bersifat sitotokis dan digunakan sebagai antikanker.
1. Respon imun
Pada mahkluk tingkat tinggi seperti hewan vertebrata dan manusia, terdapat
dua sistem pertahanan (imunitas), yaitu imunitas nonsepesifik (innate immunity)
dan imunitas spesifik ( adaptive imunity).
1) Imunitas nonspesifik.
Merupakan mekanisme pertahanan terdepan yang meliputi komponen fisik berupa
keutuhan kulit dan mukosa; komponen biokimiawi seperti asam lambung, lisozim,
komploment ; dan komponen seluler nonspesifik seperti netrofil dan makrofag.
Netrofil dan makrofag melakukan fagositosis terhadap benda asing dan
memproduksi berbagai mediator untuk menarik sel-sel inflamasi lain di daerah
infeksi. Selanjutnya benda asing akan dihancurkan dengan mekanisme inflamasi.
2) Imunitas spesifik
Memiliki karakterisasi khusus antara lain kemampuannya untuk bereaksi secara
spesifik dengan antigen tertentu; kemampuan membedakan antigen asing dengan
antigen sendiri (nonself terhadap self); dan kemampuan untuk bereaksi lebih cepat
dan lebih efesien terhadap antigen yang sudah dikenal sebelumnya. Respon imun
spesifik ini terdiri dari dua sistem imun, yaitu imunitas seluler dan imunitas
humoral. Imunitas seluer melibatkan sel limposit T, sedangkan imunitas humoral
melibatkan limposit B dan sel plasma yang berfungsi memproduksi antibodi.
2. Aktivitas respon imun spesifik
Aktivitas sistem imun spesifik memerlukan partisipasi kelompok sel yang disebut
sebagai antigen presenting sel.
3. Indikasi imunosupresan
Imunosupresan digunakan untuk tiga indikasi utama yaitu:
1. transplantasi organ
2. penyakit autoimun
3. pencegahan hemolisis Rhesus pada neonates
4. Prinsip umum terapi imunosupresan
Prinsip umum penggunaan imunosupresan untuk mencapai hasil terapi yang
optimal adalah sebagai berikut:
Respon imun primer lebih mudah dikendalikan dan ditekan dibandingkan dengan
respon imun sekunder. Tahap awal respon primer mencakup: pengolahan antigen
oleh APC, sintesis limfokin, proliferasi dan diferensiasi sel-sel imun. Tahap ini
merupakan yang paling sensitif terhadap obat imunosupresan. Sebaliknya, begitu
terbentuk sel memori, maka efektifitas obat imunosupresan akan jauh berkurang.
Obat imunosupresan memberikan efek yang berbeda terhadap antigen yang
berbeda. Dosis yang dibutuhkan untuk menekan respon imun terhadap suatu
antigen berbeda dengan dosis untuk antigen lain.
Penghambatan respon imun lebih berhasil bila obat imunosupresan diberikan
sebelum paparan terhadap antigen. Sayangnya, hampir semua penyakit autoimun
baru bisa dikenal setelah autoimuitas berkembang, sehingga relatif sulit diatasi.
5. Obat Imunosupresan
a. Azatioprin
Azatioprin sudah digunakan selama 20 tahun untuk menekan penolakan
cangkok organ ginjal dan sudah merupakan prosedur yang diterima. Juga
digunakan untuk pengobatan artritis reumatoid berat yang refrakter.
Toksisitas terhadap darah seperti leukopenia dan trombositopenia harus dimonitor
dengan baik sebagai petunjuk penentuan dosis azatioprin.
Mekanisme kerja.
Azotioprin adalah antimetabolit golongan purin yang merupakan prekursor 6-
merkaptopurin. Azotioprin dalam tubuh diubah menjadi 6-merkaptopurin(6-MP)
yang merupakan metabolit aktif dan bekerja menghambat sintesis de novo purin.
Interaksi
Penggunaan bersama allopurinol menyebabkan hambatan Xantin oksidase yang
juga merupakan enzim penting dalam metabolisme 6-merkaptopurin,sehingga
kombinasiIni meningkatkan toksisitas azotioprin dan merkaptopurin.
Penggunaan klinis
Azotioprin digunakan antara lain untuk mencegahPenolakan transplantasi, lupus
nefritis. GNA, AR, Penyakit Crohn, dan sklerosis multipel. Obat ini kadang2
digunakan untuk ITP dan AIHA yangRefrakter terhadap steroid. Untuk profilaksis
digunakan dosis 3-10 mg/KgBB per hari1 atau 2 hari sebelum transplantasi.Dosis
pemeliharaan 1-3 mg/KgBB per hari.Obat ini tersedia dalam bentuk tablet 50 mg
dan iv100mg/vial
Efek Samping
Menghambat proliferasi sel-sel yang cepat tumbuh seperti mukosa usus,
dan sumsum tulang dengan akibatleukopeni dan trombositopeni.Ruam kulit, mual.
mutah dan diare. Dapat terjadi peningkatan enzim transaminase, kolestasis. Efek
samping lain dapat terjadi peningkatan risikoInfeksi dan efek mutagenisitas dan
karsinogenisitas.
BAB III
KESIMPULAN
Imunorestorasi ialah suatu cara untuk mengembalikan fungsi sistem imun yang
terganggu dengan memberikan berbagai komponen sistem imun, seperti:
immunoglobulin dalam bentuk Immune Serum Globulin (ISG), Hyperimmune Serum
Globulin (HSG), plasma, plasmapheresis, leukopheresis, transplantasi sumsum tulang,
hati dan timus.
Imunorestorasi ialah suatu cara untuk mengembalikan fungsi sistem imun yang
terganggu dengan memberikan berbagai komponen sistem imun.
Diberikan untuk memperbaiki fungsi sistem imun pada penderita dengan defisiensi imun
humoral, baik primer maupun sekunder. ISG dapat diberikan secara intravena dengan
aman. Defisiensi imunoglobulin sekunder dapat terjadi bila tubuh kehilangan Ig dalam
jumlah besar, misalnya pada sindrom nefrotik, limfangiektasi intestinal, dermatitis
eksfoliatif dan luka bakar.
Keuntungan :
Kerugian :
2. Plasma
Infus plasma segar telah diberikan sejak tahun 1960 dalam usaha memperbaiki sistem
imun. Darah cair atau plasma darah adalah cairan darah berbentuk butiran-butiran
darah. Di dalamnya terkandung benang-benang fibrin / fibrinogen yang berguna untuk
menutup luka yang terbuka.
Keuntungan:
pemberian plasma adalah semua jenis imunoglobulin dapat diberikan dalam jumlah
besar tanpa menimbulkan rasa sakit.
Kerugian :
3. Plasmapheresis
Plasmapheresis (pemisahan sel darah dari plasma) digunakan untuk memisahkan plasma
yang mengandung banyak antibodi yang merusak jaringan atau sel, seperti pada
penyakit: miastenia gravis, sindroma goodpasture dan anemia hemolitik autoimun.
Keuntungan :
Kerugian :
Relaps terjadi pada 10% pasien dalam kurun waktu 3 minggu pasca-terapi.
4. Leukopheresis
Pemisahan leukosit secara selektif dari penderita telah dilakukan dalam usaha terapi
artritis reumatoid yang tidak baik dengan cara-cara yang sudah ada.
Keuntungan :
Kerugian :
Bila pemisahan leukosit berlebih maka leukosit didalam darah akan meningkat
Sumsum tulang adalah jaringan lunak yang ditemukan pada rongga interior tulang yang
merupakan tempat produksi sebagian besar sel darah baru
Transplantasi sumsum tulang merupakan prosedur dimana sumsum tulang yang rusak
digantikan dengan sumsum tulang yang sehat
b. Timus penting peranannya dalam sistem imun spesifik seluler, karena di dalam timus
terjadi diferensiasi dan proliferasi dari sel T atau limfosit T. Dengan demikian involusi
dari kelenjar timus akan menyebabkan penurunan dari sel T, diantaranya adalah sel T
CD4+
Keuntungan :
Kerugian :
Kemungkinan infeksi
Perdarahan
Keuntungan :
Keuntungan :
1. Plasmaferesis
Plasmaferesis dilakukan dengan mengambil darah, plasma
dipisahkan dan fraksi yang mengandung banyak sel darah merah
dikembalikan. Sebaliknya pada exchange plasma dilakukan
dengan mengambil darah, plasma dipisahkan dan
mengembalikan fraksi yang kaya dengan sel darah merah dalam
plasma donor. Perbaikan pada plasmaferesis diduga karena
plasma yang dipisahkan mengandung banyak antibodi yang dapat
merusak jaringan atau sel misalnya pada:
Miastenia gravis: antibody terhadap reseptor asetilkolin
Sindrom Goodpasture: auto-antibodi terhadap membran basal
glomerulus ginjal
Anemia hemolitik autoimun
Pada keadaan tersebut pembentukan antibodi berjalan terus; oleh
karena itu plasmaferesis hanya memberikan perbaikan
sementara. Plasmaferesis dapat dilakukan pada pengobatan
hiperviskositas dalam keadaan darurat. Efek plasmaferesis
terhadap berbagai penyakit.
Keuntungan :
Plasmapheresis digunakan untuk mengobati penderita sindrom
goodpasture
Plasmapheresis dianjurkan untuk pasien dengan kelemahan
sedang hingga berat (di definisikan sebagai kemampuan berjalan
dengan bantuan atau tidak mampu berjalan sama sekali)
Memperbaiki status fungsional baik jangka pendek maupun 1
tahun
Kerugian :
1. Leukoferesis
Pemisahan leukosit secara selektif dari penderita telah pula
dilakukan dalam usaha terapi pada atritis rheumatoid yang tidak
memberikan respons dengan cara-cara yang sudah ada.
Keuntungan :
sumsum kuning
sumsum kuning menghasilkan sel darah putih dan warnanya
ditimbulkan oleh sel-sel lemak yang banyak dikandungnya.
Kedua tipe sumsum tulang tersebut mengandung banyak
pembuluh dan kapiler darah
Keuntungan :
Kemungkinan infeksi
Perdarahan karena pengobatan kanker dosis tinggi
Masih memungkinkan untuk kambuh lagi
Berefek samping dapat terjadi penularan virus dan reaksi
anafilaksis
DAFTAR PUSTAKA