Disusun Oleh:
Riza Deviana G99122114
Pembimbing
Prof. DR.dr. HM. Bambang Purwanto SpPD. KGH. FINASIM
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
ISI
Glukokortikoid
Small molecule drugs
Immunophilin binding drugs
Calcineurin inhibitors
Cyclophilin-binding drugs: cyclosporine
FKBP 12-binding drugs: tacrolimus
Target of Rapamycin inhibitors: sirolimus, everolimus
Inhibitor sintesis nukleotida
IMPDH inhibitors
Mycophenolate mofetil (MMF)
Enteric coated mycophenolic acid
Antimetabolit
Azathriopine
Protein drugs
Depleting antibody (terhadap sel T, sel B, atau keduanya)
Polyclonal antibody: horse or rabbit antythymocyte globulin
Mouse monoclonal anti-CD3 antibody (muromonab CD3)
Nondepleting antibodies
Humanized or chimeric monoclonal anti-CD25 antibody (daclizumab, basiliximab)
Imunoglobulin intravena
2.2.1 Glukokortikoid
1) Rumus molekul
Pada cincin A terdapat ikatan rangkap C4,5 dan gugus keton pada
atom C3 diperlukan untuk aktivitas adrenokortikosteroid yang spesifik.
Adanya ikatan rangkap pada C1-2 (misal, pada prednison dan
prednisolon) memperbesar rasio potensi regulasi karbohidrat terhadap
retensi Na+ karena secara selektif memperbesar potensi yang pertama.
Prednisolon dimetabolisme lebih lambat dari kortison.8
Pada cincin B metilasi 6- pada kortisol memperbesar efek
antiinflamasi, pengeluaran nitrogen dan retensi Na. Sebaliknya 6
metilprednisolon, mempunyai potensi antiinflamasi sedikit lebih besar
dan potensi regulasi elektrolit leboh kecil dibanding prednisolon.8
2) Mekanisme kerja
Obat ini menekan faktor transkripsi activator protein 1 dan
nuclear factor kB. Nuclear factor kB adalah faktor transkripsi utama
yang menginisiasi respon inflamasi.5 Efek lain steroid adalah
menstabilkan membran lisosom sehingga mencegah penglepasan
enzim lisosom yang dapat merusak jaringan. Steroid juga mencegah
penolakan dan presentasi antigen oleh APC ke sel T dan migrasi
neutrofil.6
3) Dosis dan fase pemberian
Sebagai terapi pemeliharaan umumnya 200-300 mg prednison
diberikan segera saat atau setelah transplantasi, dan dosis diturunkan
menjadi 30 mg dalam seminggu. Dosis harus cepat diturunkan setelah
operasi karena adanya efek samping yang mempengaruhi waktu
penyembuhan luka dan predisoposisi infeksi.1 Anjuran lain dengan
cara memberikan metilprednisolon 500 mg intravena selama 3 hari
berturut-turut dimulai saat intraoperasi sebelum klem dilepas,
kemudian dalam waktu 24 jam dan 48 jam dengan dosis yang sama.
Dosis diturunkan mulai hari keempat menjadi 20 mg/hari setara
prednison (metilprednisolon 16 mg/hari).9
Untuk terapi rejeksi akut, diberikan metilprednisolon 0.5-1.0 g
IV per hari, diteruskan selama 3 hari. Jika obat efektif, hasil dapat
dilihat dalam 96 jam. Cara pemberian tadi tidak efektif untuk reaksi
rejeksi kronis. Steroid dianjurkan sebagai lini pertama dalam reaksi
rejeksi akut.10
Kebanyakan pasien yang fungsi ginjalnya stabil setelah 6 bulan
atau satu tahun tidak membutuhkan dosis prednison yang besar,
rumatan hanya 10-15 mg/hari.1
4) Farmakokinetik dan farmakodinamik
Prednison merupakan prodrug yang dengan cepat diubah
menjadi prednisolon sebagai bentuk aktifnya. Pada keadaan normal
90% terikat pada 2 jenis protein yaitu globulin pengikat kortikosteroid
dan albumin. Biotransformasi steroid terjadi di dalam dan di luar hati.
Metabolitnya merupakan senyawa inaktif atau berpotensi rendah.
Masa paruh eliminasi kortisol sekitar 1,5 jam. Adanya ikatan rangkap
pada atom C1-2 atau subsitusi atom flour memperlambat proses
merabolisme sehingga memperpanjang masa paruh eliminasi.8
Kortikosteroid bekerja dengan mempengaruhi kecepatan sintesis
protein. Molekul hormon memasuki sel melewati membran plasma
secara difusi pasif. Hanya di jaringan target hormon ini bereaksi
dengan reseptor protein yang spesifik dalam sitoplasma sel dan
membentuk kompleks reseptor-steroid. Kompleks ini mengalami
perubahan konformasi, lalu bergerak menuju nukleus dan berikatan
dengan kromatin. Ikatan ini menstimulasi transkripsi RNA dan sintesis
protein spesifik. Induksi sintesis protein ini yang akan menghasilkan
efek fisiologik steroid.11
Pada beberapa jaringan, misalnya hepar, hormon steroid
merangsang transkripsi dan sintesis protein spesifik; pada jaringan
lain, misalnya sel limfoid dan fibroblas hormon steroid merangsang
sintesis protein yang sifatnya menghambat atau toksik terhadap sel-sel
limfoid, hal ini menimbulkan efek katabolik.8
Kortikosteroid meningkatkan kadar glukosa darah, merangsang
glukoneogenesis di perifer dan hepar. Efek mineralokortikoidnya
dapat meningkatkan reabsorpsi Na+ serta ekskresi K+ dan H+ di tubuli
distal. Kortikosteroid juga mampu menghambat aktivitas osteoblas
tulang dan mengurangi proliferasi kartilago di epifisis. Sebagai
antiinflamasi kortikosteroid menghambat fenomena inflamasi dini
yaitu edema, deposit fibrin, dilatasi kapiler, migrasi leukosit ke tempat
radang, dan aktivitas fagositosis. Kortikosteroid mampu menghambat
reaksi hipersensitivitas tipe lambat, misal reaksi rejeksi, karena
glukokortikoid mengurangi ekspresi antigen pada jaringan yang
dicangkokkan, menunda revaskularisasi, menggangggu sensitasi
limfosit T sitotoksik dan pembentuk sel pembuat antibodi primer.8,11
5) Efek samping
Efek samping dapat timbul karena penghentian pemberian
secara tiba-tiba atau pemberian terus menerus terutama dengan dosis
besar. Pemberian kortikosteroid jangka lama yang tiba-tiba dihentikan
dapat menimbulkan insufisiensi adrenal akut dengan gejala demam,
mialgia, artralgia, dan malaise. Komplikasi yang timbul akibat
pengobatan lama ialah gangguan cairan elektrolit, hiperglikemia dan
glukosuria, mudah terkena infeksi, tukak peptik, osteoporosis,
psikosis, cushing syndrome8,11, dislipidemia, intoleransi glukosa dan
hipertensi.1
2.2.2 Cyclosporine
1) Rumus molekuler
2.2.3 Tacrolimus
1) Rumus molekul
KESIMPULAN
1. Fauci, A.S., Braunwald, E., Kasper, D.L., Hauser, S.L., Longo, D.L., Jameson,
J.L., Loscalzo, J. (2008). Harrison's Principles of Internal Medicine. 17th
Edition. Mc Graw-Hills
2. Goddard, J., Turner, A.N., Cumming, A.D., Stewart, L.H. (2007). Kidney and
Urinary Tract Disease. In: Boon, N.A., Colledge, N.R., Walker, B.R., Hunter, J.
Davidsons Principles & Practice of Medicine. 20th Edition. Chunhill
Livingstone
3. Mitch, W.E. (2007). Chronic Kidney Disease. In: Arend WP, Armitage JO,
Clemmons DR, Drazen JM, Griggs RC, LaRusso N. Cecil Medicine. 23rd
Edition. Philadelpia: Elsevier.
4. Rubin, N.T. (2007). Treatment of Irreversible Renal Failure . In: Arend WP,
Armitage JO, Clemmons DR, Drazen JM, Griggs RC, LaRusso N. Cecil
Medicine. 23rd Edition. Philadelpia: Elsevier.
8. Syarif, A., Estuningtyas, A., Setiawati, A.,Muchtar, A., Arif, A., et.al. (2008).
Farmakologi dan Terapi. Edisi ke-5. Jakarta: Departemen Farmkologi dan
Teurapetik Fakultas Kedokteran Indonesia
10. Kasiske, B.L., Zeier, M.G., Chapman, J.R., Craig, J. C., Ekberg, H., et.al.
(2009). KDIGO Clinical Practice Guideline for The Care of Kidney Transplant
Recipients: a Summary. Kidney International advance online publication.
doi:10.1038/ki.2009.377
11. Brunton, L., Lazo, Z.S., Parker, K.L., (2006). Goodman & Gillmans The
Pharmalogical Basis of Therapeutics. 11th Edition. New York: Mc Graw Hill.
12. Sommerer, C., Konstandin, M., Dengler, T., Schimdt, J., Meuer, S., et.al.
(2006). Pharmacodynamic Monitoring of Cyclosporine A in Renal Allograft
Recipients Show a Quantitative Relationship Between Immunosupression and
the Occurance of Recurrent Infections and Malignancies. Transplantation. 82,
pp: 1280-85