Anda di halaman 1dari 15

REFRAT

TERAPI IMUNOSUPRESSAN PADA TRANSPLANTASI GINJAL

Disusun Oleh:
Riza Deviana G99122114

Pembimbing
Prof. DR.dr. HM. Bambang Purwanto SpPD. KGH. FINASIM

KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR MOEWARDI
S U R AK AR TA
2013

BAB I

PENDAHULUAN

Transplantasi ginjal adalah pilihan terapi untuk penyakit ginjal kronis


yang sudah lanjut.1 Penyakit ginjal kronis adalah suatu proses patofisiologis
dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang
progresif, dan pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Selanjutnya, gagal
ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal
irreversible, pada suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang
tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal.2,3

Transplantasi ginjal menawarkan pasien untuk mendapat kualitas hidup


yang lebih baik. Mereka terbebas dari retriksi cairan dan kalium, bebas dalam
bekerja dan berpergian, dan mendapatkan koreksi metabolik serta koreksi anemia
seiring dengan kembalinya fungsi ginjal normal. Banyak faktor yang memberikan
kontribusi terhadap perkembangan transplantasi selama 25 tahun terakhir, salah
satunya adalah pemakaian agen imunosupresif yang lebih baik.4

Imunosupresan merupakan kunci kesuksesan fungsi alograft. 5 Agen ini


bekerja dengan cara menekan reaksi rejeksi alograft. 4 Imunosupresan digunakan
untuk induksi (imunosupresan intens pada hari-hari awal setelah transplantasi),
pemeliharaan, dan penanganan reaksi rejeksi.5

Dalam tulisan ini akan dibahas mengenai beberapa agen imunosupresif


yang diberikan dalam transplantasi ginjal.

BAB II

ISI

2.1 Imunologi Reaksi rejeksi

Mekanisme efektor seluler dan humoral (dimediasi antibodi)


berperan dalam reaksi rejeksi pada transplantasi ginjal. 1 Pada jaringan tandur
dan sekitarnya, sel dendritik donor dan resipien yang teraktivasi bergerak ke
area sel T pada organ limfoid sekunder. 5

Sel T akan berespon terhadap antigen HLA yang diekspresikan.1,5,6


Limfosit CD4+ berespon terhadap MHC kelas II (HLA-DR) dengan
berproliferasi dan mengeluarkan sitokin proinflamasi yang dapat menambah
respon proliferasi sel CD4+ dan CD8+.1,6 Antigen pada permukaan sel
dendritik memicu sel T melalui 3 sinyal. Sinyal 1, melalui kompleks CD3,
dan sinyal 2, saat CD80 dan CD86 pada permukaan sel dendritik berikatan
dengan CD28 pada sel T, mengaktivasi tiga jalur sinyal transduksi: jalur
calcium-calcineurin, jalur RAS-mitogen activated protein (MAP) kinase, dan
jalur nuclear factor-kB. Jalur tadi mengaktivasi faktor transkripsi yang
memicu banyak molekul baru seperti IL-2, CD 154, dan CD25. IL-2 dan
sitokin lain (mis, IL-15) mengaktivasi jalur molecular-target-of-rapamycin
(m-TOR) yang memulai sinyal 3 menginisiasi siklus sel memacu proliferasi.
Limfosit membutuhkan nukleotida purin dan pirimidin untuk replikasi,
regulasinya oleh inosine monophospate dehydrogenase (IMPDH) dan
dihydroorotate dehidrogenase (DHODH).5

Limfosit CD4+ yang telah matang berdiferensiasi menjadi sel


efektor yang memproduksi sitokin untuk menghancurkan tandur melalui
reaksi hipersensitivitas tipe lambat atau membantu sel B menghasilkan
aloantibodi.7 Limfosit sitotoksik CD8+ berespon terhadap antigen MHC kelas
I (HLA-A, -B) dan matang menjadi sel efektor sitotoksik.1

Sel T dapat distimulasi melalui presentasi langsung molekul HLA


non-self yang diekspresikan oleh sel parenkimal donor dan residu leukosit
yang menempati interstitil ginjal. Molekul HLA donor juga dapat diproses
oleh APC resipien untuk kemudian dipresentasikan kepada sel T, disebut
presentasi tidak langsung.1,7

Sel T efektor yang berasal dari organ limfoid menginfiltrasi tandur


dan memulai respon inflamasi. Dalam reaksi rejeksi yang diperantarai sel T,
tandur diinfiltrasi oleh sel T, makrofag teraktivasi, sel B dan sel plasma. Lesi
diagnostik dari penolakan dimediasi sel T dapat dilihat dari adanya sel-sel
mononuklear yang menginvasi tubulus ginjal (tubulitis) dan intima arteri
kecil (arteritis). Cedera yang terjadi tidak hanya lisis pada sel target tetapi
meliputi perubahan sel parenkim menjadi sel mesenkim dan penuaan sel.5

Aloantibodi terhadap antigen donor yang diproduksi secara sistemik


maupun lokal menyerang kapiler endotel. Dapat terlihat adanya faktor
komplemen C4d pada kapiler.5

2.2 Obat-obatan Imunosupresan pada Transplantasi Ginjal

Obat imunosupresif dapat dibagi menjadi glukokortikoid, small


molecule drugs, depleting and nondepleting protein drugs, dan imunoglobulin
intravena. Pembagiannya dapat dilihat pada tabel 1. 5 Pada tulisan ini hanya
dibahas 3 obat imunosupresif saja yakni kortikosteroid, cyclosporine dan
takrolimus.

Tabel 1. Klasifikasi Terapi Imunosupresan untuk Transplantasi Organ

Glukokortikoid
Small molecule drugs
Immunophilin binding drugs
Calcineurin inhibitors
Cyclophilin-binding drugs: cyclosporine
FKBP 12-binding drugs: tacrolimus
Target of Rapamycin inhibitors: sirolimus, everolimus
Inhibitor sintesis nukleotida
IMPDH inhibitors
Mycophenolate mofetil (MMF)
Enteric coated mycophenolic acid
Antimetabolit
Azathriopine
Protein drugs
Depleting antibody (terhadap sel T, sel B, atau keduanya)
Polyclonal antibody: horse or rabbit antythymocyte globulin
Mouse monoclonal anti-CD3 antibody (muromonab CD3)
Nondepleting antibodies
Humanized or chimeric monoclonal anti-CD25 antibody (daclizumab, basiliximab)
Imunoglobulin intravena

2.2.1 Glukokortikoid

1) Rumus molekul

Pada cincin A terdapat ikatan rangkap C4,5 dan gugus keton pada
atom C3 diperlukan untuk aktivitas adrenokortikosteroid yang spesifik.
Adanya ikatan rangkap pada C1-2 (misal, pada prednison dan
prednisolon) memperbesar rasio potensi regulasi karbohidrat terhadap
retensi Na+ karena secara selektif memperbesar potensi yang pertama.
Prednisolon dimetabolisme lebih lambat dari kortison.8
Pada cincin B metilasi 6- pada kortisol memperbesar efek
antiinflamasi, pengeluaran nitrogen dan retensi Na. Sebaliknya 6
metilprednisolon, mempunyai potensi antiinflamasi sedikit lebih besar
dan potensi regulasi elektrolit leboh kecil dibanding prednisolon.8
2) Mekanisme kerja
Obat ini menekan faktor transkripsi activator protein 1 dan
nuclear factor kB. Nuclear factor kB adalah faktor transkripsi utama
yang menginisiasi respon inflamasi.5 Efek lain steroid adalah
menstabilkan membran lisosom sehingga mencegah penglepasan
enzim lisosom yang dapat merusak jaringan. Steroid juga mencegah
penolakan dan presentasi antigen oleh APC ke sel T dan migrasi
neutrofil.6
3) Dosis dan fase pemberian
Sebagai terapi pemeliharaan umumnya 200-300 mg prednison
diberikan segera saat atau setelah transplantasi, dan dosis diturunkan
menjadi 30 mg dalam seminggu. Dosis harus cepat diturunkan setelah
operasi karena adanya efek samping yang mempengaruhi waktu
penyembuhan luka dan predisoposisi infeksi.1 Anjuran lain dengan
cara memberikan metilprednisolon 500 mg intravena selama 3 hari
berturut-turut dimulai saat intraoperasi sebelum klem dilepas,
kemudian dalam waktu 24 jam dan 48 jam dengan dosis yang sama.
Dosis diturunkan mulai hari keempat menjadi 20 mg/hari setara
prednison (metilprednisolon 16 mg/hari).9
Untuk terapi rejeksi akut, diberikan metilprednisolon 0.5-1.0 g
IV per hari, diteruskan selama 3 hari. Jika obat efektif, hasil dapat
dilihat dalam 96 jam. Cara pemberian tadi tidak efektif untuk reaksi
rejeksi kronis. Steroid dianjurkan sebagai lini pertama dalam reaksi
rejeksi akut.10
Kebanyakan pasien yang fungsi ginjalnya stabil setelah 6 bulan
atau satu tahun tidak membutuhkan dosis prednison yang besar,
rumatan hanya 10-15 mg/hari.1
4) Farmakokinetik dan farmakodinamik
Prednison merupakan prodrug yang dengan cepat diubah
menjadi prednisolon sebagai bentuk aktifnya. Pada keadaan normal
90% terikat pada 2 jenis protein yaitu globulin pengikat kortikosteroid
dan albumin. Biotransformasi steroid terjadi di dalam dan di luar hati.
Metabolitnya merupakan senyawa inaktif atau berpotensi rendah.
Masa paruh eliminasi kortisol sekitar 1,5 jam. Adanya ikatan rangkap
pada atom C1-2 atau subsitusi atom flour memperlambat proses
merabolisme sehingga memperpanjang masa paruh eliminasi.8
Kortikosteroid bekerja dengan mempengaruhi kecepatan sintesis
protein. Molekul hormon memasuki sel melewati membran plasma
secara difusi pasif. Hanya di jaringan target hormon ini bereaksi
dengan reseptor protein yang spesifik dalam sitoplasma sel dan
membentuk kompleks reseptor-steroid. Kompleks ini mengalami
perubahan konformasi, lalu bergerak menuju nukleus dan berikatan
dengan kromatin. Ikatan ini menstimulasi transkripsi RNA dan sintesis
protein spesifik. Induksi sintesis protein ini yang akan menghasilkan
efek fisiologik steroid.11
Pada beberapa jaringan, misalnya hepar, hormon steroid
merangsang transkripsi dan sintesis protein spesifik; pada jaringan
lain, misalnya sel limfoid dan fibroblas hormon steroid merangsang
sintesis protein yang sifatnya menghambat atau toksik terhadap sel-sel
limfoid, hal ini menimbulkan efek katabolik.8
Kortikosteroid meningkatkan kadar glukosa darah, merangsang
glukoneogenesis di perifer dan hepar. Efek mineralokortikoidnya
dapat meningkatkan reabsorpsi Na+ serta ekskresi K+ dan H+ di tubuli
distal. Kortikosteroid juga mampu menghambat aktivitas osteoblas
tulang dan mengurangi proliferasi kartilago di epifisis. Sebagai
antiinflamasi kortikosteroid menghambat fenomena inflamasi dini
yaitu edema, deposit fibrin, dilatasi kapiler, migrasi leukosit ke tempat
radang, dan aktivitas fagositosis. Kortikosteroid mampu menghambat
reaksi hipersensitivitas tipe lambat, misal reaksi rejeksi, karena
glukokortikoid mengurangi ekspresi antigen pada jaringan yang
dicangkokkan, menunda revaskularisasi, menggangggu sensitasi
limfosit T sitotoksik dan pembentuk sel pembuat antibodi primer.8,11
5) Efek samping
Efek samping dapat timbul karena penghentian pemberian
secara tiba-tiba atau pemberian terus menerus terutama dengan dosis
besar. Pemberian kortikosteroid jangka lama yang tiba-tiba dihentikan
dapat menimbulkan insufisiensi adrenal akut dengan gejala demam,
mialgia, artralgia, dan malaise. Komplikasi yang timbul akibat
pengobatan lama ialah gangguan cairan elektrolit, hiperglikemia dan
glukosuria, mudah terkena infeksi, tukak peptik, osteoporosis,
psikosis, cushing syndrome8,11, dislipidemia, intoleransi glukosa dan
hipertensi.1

2.2.2 Cyclosporine

1) Rumus molekuler

Cyclosporine merupakan polipeptida siklik yang terdiri dar 11


asam amino, diproduksi oleh jamur spesies Beauveria nives.
Cyclosporine bersifat lipofilik dan sangat hidrofobik, maka dalam
setiap sediaannya dicampur dengan minyak kastrol atau yang lainnya
untuk menjamin kelarutan.11
2) Mekanisme kerja
Cyclosporine merupakan golongan penghambat calcineurin.
Cyclosporine merupakan imunosupresan yang menjadi perhatian pada
dua dekade terakhir, memiliki efek berikatan dengan cyclophilin,
sebuah protein intraseluler yang termasuk ke dalam kelompok
immunophilin, membentuk kompleks yang akan berikatan dengan
calcineurin.5 Cyclosporine memblok jalur transkripsi mRNA untuk
pembentukan IL-2 dan sitokin proinflamasi lainnya, dengan demikian
menghambat proliferasi sel T.1,11 Obat ini memperbaiki masa hidup
tandur, mungkin melalui supresi sel Th atau dengan meningkatkan
aktivitas sel Ts.6 Obat ini lebih efektif jika diberikan bersama
glukokortikoid dan MMF.1
3) Dosis dan fase pemberian
Cyclosporine merupakan salah satu penghambat calcineurin.
Obat golongan penghambat calcineurin (calcineurin inhibitor/CNI)
digunakan sebagai lini pertama terpai pemeliharaan. Terapi dimulai
sebelum atau saat transplantasi. Cyclosporine diberikan dengan dosis
4-10 mg/kgbb/hari, dosis disesuaikan dengan kadar obat dalam darah.9
Berikut ini adalah keadaan yang dianjurkan untuk memeriksa
kada CNI dalam darah: 9
Selang sehari selama periode segera segera pasca operasi sampai
kadar target tercapai.
Setiap ada perubahan terapi atau kondisi pasie yang dapat
mempengaruhi kadar obat dalam darah.
Setiap ada penurunan fungsi ginjal yang menunjukan adanya
nerfrotoksisitas ataupun rejeksi.
4) Farmakokinetik dan farmakodinamik
Pada pemberian oral, kadar puncak tercapai setelah 1,3, sampai
4 jam. Adanya makanan berlemak sangat mengurangi absorpsi
cyclosporine kapsul lunak, tapi tidak cyclosporine mikroemulsi.
Cyclosporine mengalami distribusi luas dengan volume distribusi 3-5
liter/kg.8 Dalam darah 50-60% cyclosporine terakumulasi dalam
eritrosit, 10-20% dalam leukosit, dan sisanya berada dalam plasma.
Waktu paruh cyclosporine kurang lebih 6 jam.11
Cyclosporine mengalami metabolisme dalam hati oleh
sitokrom-P450 3A (CYP3A) menjadi lebih dari 30 metabolit.
Sebagian dari metabolit masih bersifat imunosupresif dan diduga
berperan dalam toksisitas. Ekskresi terutama melalui empedu dan
feses, hanya sekitar 6% yang melalui urin.8,11
Cyclosporine memiliki efek berikatan dengan cyclophilin,
sebuah protein intraseluler yang termasuk ke dalam kelompok
immunophilin, membentuk kompleks yang akan berikatan dengan
calcineurin.5 Calcineurin adalah enzim fosfatase dependen kalsium
dan memegang peranan kunci dalam defosforilasi (aktivasi) protein
regulator di sitosol, yaitu NFATc (nuclear factor of activated T cell).
Setelah terdefosforilasi, NFTAc mengalami tranlokasi ke dalam
nukleus untuk mengaktifkan gen yang bertanggung jawab dalam
sintesis sitokin, terutama IL-2.8
Terdapat hubungan antara kejadian infeksi dan keganasan
dengan derajat supresi NFTAc pada pasien tranplantasi yang diberikan
cyclosporine.12
5) Efek samping
Obat ini memiliki efek toksik berkorelasi dengan konsentrasi
obat seperti nefrotoksik, hepatotoksik, hirsutisme, tremor, hiperplasi
ginggival, diabetes, hiperlipidemi, dan hipertensi.1,5,11

2.2.3 Tacrolimus

1) Rumus molekul

Tacrolimus merupakan makrolid yang diproduksi jamur


Streptomyces tsukubaensis.11
2) Mekanisme kerja
Tacrolimus bekerja dengan cara yang mirip dengan
cyclosporine sebagai CNI. Bekerja dengan berikatan pada FKBP-12,
salah satu kelompok immunophilin, selanjutnya memblok fungsi
calcineurin, jalur transkripsi mRNA untuk pembentukan IL-2 dan
sitokin proinflamasi lainnya terblokade.5,8,11
3) Dosis dan fase pemberian
KDIGO (2009) menganjurkan tacrolimus sebagai inhibitor
calcineurin (CNI) lini pertama.10 Tacrolimus diberikan mulai dengan
dosis 0.15-0.3 mg/kgbb/hari, selanjutnya dosis pemeliharaan
disesuaikan dengan kadar tacrolimus darah dan fungsi ginjal
transplant.9
4) Farmakokinetik dan farmakodinamik
Tacrolimus memiliki masa paruh yang panjang, yaitu 11,7 jam
pada pasien transplantasi hati dan 21,2 jam pada orang sehat. Pada
pemberian oral, bioavabilitas bervariasi antara 6% sampai 56%.
Tacrolimus sebagian besar mengalami metabolisme di hati oleh
sitokrom P-450, dan hanya 1% yang diekskresikan dalam urin.8
Tacrolimus bekerja dengan menghambat calcineurin, dengan
cara berikatan dengan FKBP-12.5,8
5) Efek Samping
Tacrolimus sama seperti cyclosporine yang bersifat
nefrotoksik, tetapi tacrolimus lebih jarang menyebabkan
hiperlipidemi, hipertensi, dan gangguan kosmetik, namun lebih sering
menyebabkan diabetes post transplantasi terutama jika diberikan
bersama MMF, tetapi fungsi renal lebih baik dibanding pemberian
cyclosporine.5 Tacrolimus dapat lebih dipertimbangkan pada pasien
dengan resiko hiperlipidemi, hipertensi, dan reaksi rejeksi.
Cyclosporine dapat dipertimbangkan pada pasien resiko diabetes (usia
tua atau obesitas).1,5
BAB III

KESIMPULAN

Obat-obatan immunosupresan merupakan kunci dalam keberhasilan


transplantasi ginjal. Terdapat beberapa fase dalam pemberian obat-obatan
immunosupresan pada transplantasi ginjal diantaranya adalah fase induksi dan
fase pemeliharaan. Obat-obatan immunosupresan juga diberikan untuk mengatasi
reaksi rejeksi akut.

Obat-obat yang sering dipakai dalam kasus transplantasi ginjal adalah


kortikosteroid, cyclosporine, dan tacrolimus. Obat-obat tadi memiliki cara kerja
yang berbeda, efek yang berbeda, dan efek samping yang berbeda. Ringkasannya
dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 2 Ringkasan kortikosteoroid, cyclosporine, dan tacrolimus

Nama obat Mekanisme kerja Efek samping Fase pemberian


Kortikosteroid Menekan faktor Hipertensi, Fase pemeliharaan
transkripsi intolerasi glukosa, dan rejeksi akut
activator protein 1 dislipidemia,
dan nuclear factor osteoporosis
kB, menstabilkan
membran lisosom,
mencegah migrasi
neutrofil.
Cyclosporine Berikatan dengan Nefrotoksik, Fase pemeliharaan
cyclophilin hepatotoksik,
sehingga hirsutisme, tremor,
menghambat hiperplasi
calcineurin. ginggival,
diabetes,
hiperlipidemi, dan
hipertensi.
Tacrolimus Berikatan pada Mirip dengan Fase pemeliharaan
FKBP-12 cyclosporine
sehingga tetapi lebih jarng
menghambat menyebabkan
calcineurin hiperlipidemi,
hipertensi, dan
gangguan
kosmetik. Namun
lebih sering
sebabkan diabetes
post transplantasi.
DAFTAR PUSTAKA

1. Fauci, A.S., Braunwald, E., Kasper, D.L., Hauser, S.L., Longo, D.L., Jameson,
J.L., Loscalzo, J. (2008). Harrison's Principles of Internal Medicine. 17th
Edition. Mc Graw-Hills

2. Goddard, J., Turner, A.N., Cumming, A.D., Stewart, L.H. (2007). Kidney and
Urinary Tract Disease. In: Boon, N.A., Colledge, N.R., Walker, B.R., Hunter, J.
Davidsons Principles & Practice of Medicine. 20th Edition. Chunhill
Livingstone

3. Mitch, W.E. (2007). Chronic Kidney Disease. In: Arend WP, Armitage JO,
Clemmons DR, Drazen JM, Griggs RC, LaRusso N. Cecil Medicine. 23rd
Edition. Philadelpia: Elsevier.

4. Rubin, N.T. (2007). Treatment of Irreversible Renal Failure . In: Arend WP,
Armitage JO, Clemmons DR, Drazen JM, Griggs RC, LaRusso N. Cecil
Medicine. 23rd Edition. Philadelpia: Elsevier.

5. Halloran, P. (2004). Immunosupressive Drug for Kidney Transplantation. The


England Journal of Medicine. 351, pp:2715-29

6. Baratawidjaja, K.G. (2006). Imunologi Dasar. Edisi ke-7. Jakarta: Balai


Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

7. Wenny. (2007). Immune Respon to Allogenic Transplantation.


http://wenliang.myweb.uga.edu/mystudy/immunology/ScienceOfImmunology/
Immuneresponsetoallogenenictransplantati.html - diakses 20/11/2013

8. Syarif, A., Estuningtyas, A., Setiawati, A.,Muchtar, A., Arif, A., et.al. (2008).
Farmakologi dan Terapi. Edisi ke-5. Jakarta: Departemen Farmkologi dan
Teurapetik Fakultas Kedokteran Indonesia

9. Marbun, M.B.H., Hustrini, N.M., Situmorang, T.D., Lestariningsih., Bustami,


Z. (2013). Konsensus Transplantasi Ginjal. Jakarta: Perhimpunan Nefrologi
Indonesia.

10. Kasiske, B.L., Zeier, M.G., Chapman, J.R., Craig, J. C., Ekberg, H., et.al.
(2009). KDIGO Clinical Practice Guideline for The Care of Kidney Transplant
Recipients: a Summary. Kidney International advance online publication.
doi:10.1038/ki.2009.377

11. Brunton, L., Lazo, Z.S., Parker, K.L., (2006). Goodman & Gillmans The
Pharmalogical Basis of Therapeutics. 11th Edition. New York: Mc Graw Hill.

12. Sommerer, C., Konstandin, M., Dengler, T., Schimdt, J., Meuer, S., et.al.
(2006). Pharmacodynamic Monitoring of Cyclosporine A in Renal Allograft
Recipients Show a Quantitative Relationship Between Immunosupression and
the Occurance of Recurrent Infections and Malignancies. Transplantation. 82,
pp: 1280-85

Anda mungkin juga menyukai