Anda di halaman 1dari 6

MAKALAH RESPON IMUN TERHADAP INFEKSI JAMUR DAN

FARMAKOTERAPINYA

I. Definisi

Jamur merupakan mikroorganisme saprofit pada manusia yang terdapat luas pada
permukaan tubuh maupun pada mukosa. Penelitian terhadap patofisiologi infeksi jamur pada
manusia, relatif masih sedikit dibandingkan dengan infeksi patogen lain seperti bakteri dan
parasit. Hal ini dikarenakan pada individu yang imunokompeten, jamur tidak dapat menginvasi
barier proteksi mekanis yang merupakan barier pertama sistem imunitas alamiah. Infeksi jamur
dapat bersifat invasif dan menginduksi infeksi opportunistik pada pasien yang
imunokompromais.
Manusia dan jamur merupakan organisme eukariotik yang memiliki kesamaan dalam
mekanisme pembentukan protein. Berbeda dengan jamur, bakteri merupakan organisme
prokariotik yang memiliki mekanisme berbeda dalam sintesis protein dibandingkan dengan
manusia. Hal inilah yang merupakan pencetus utama kesulitan dalam terapi infeksi jamur pada
manusia. Oleh karena itu pengobatan pada infeksi jamur harus bersifat spesifik untuk mencegah
terjadinya kerusakan pada sel manusia sebagai host. Terdapat 3 reproduktif element jamur yang
dapat menginfeksi manusia yakni :

1. konidia adalah sel hasil reproduktif aseksual jamur


2. Spora adalah sel hasil reproduktif sexual jamur
3. Hifa adalah struktur fungi berbentuk seperti tabung yang terbentuk dari pertumbuhan spora
atau konidia.

II. Imunopatologi infeksi jamur : innate dan adaptive immunity

Seperti pada infeksi bakteri, virus dan bakteri reaksi system imun terhadap jamur juga
dibagi atas dua yakni innate immunity/ imunitas alami dan adaptive immunity/ imunitas adaptif.
Respon imun adaptif merupakan mekanisme lanjutan dari respon imun alami untuk dapat
mengeradikasi patogen di dalam tubuh. Produk akhirnya pada respon imun adaptif adalah
terbentuknya sel memori terhadap antigen spesifik.
Pada awalnya konida terhirup melalui saluran nafas host Sebagian besar konidia yang
masuk dalam saluran nafas bagian atas dapat dieliminasi oleh gerakan silia epitel
pseudokolumner kompleks. Respon untuk menghindari sistem eliminasi oleh host terjadi melalui
produksi protein tertentu. A. fumigatus mampu mensintesis protein gliotoksin, fumagillin, serta
asam helvoik yang mampu menghambat pergerakan silia, serta memfasilitasi proses internalisasi
konidia pada sel endotel dan sel epitel. Tahap yang paling pertama dari aktivasi sistem imun
terhadap konidia adalah tahap pengenalan molekul permukaan yang khas antara sel imun
(makrofag) dengan konidia. Konidia yang masuk ke dalam jaringan tubuh host dapat dikenali
melalui struktur Pathogen Associated Molecular Patterns (PAMPS) khas yang tidak dimiliki
oleh organisme lain. Makrofag akan mengenali struktur PAPMS konidia melalui Pattern
Recognition Receptor (PRRs) yang spesifik. Terdapat 2 bentuk PPRs yaitu bentuk yang melekat
pada permukaan sel serta bentuk yang disekresikan. PPRs yang melekat pada permukaan sel
imun antara lain Toll like receptors (TLRs), Mannan binding lectin (MBL) dan C-type lectin
receptor/ CLR (dectin-1). PPRs yang terdapat dalam bentuk sekresi antara lain Lung surfactant
proteins A dan D (SP-A and SP-D). TLR merupakan kelas mayor PRRs yang berperan penting
dalam respon imun terhadap jamur. Dua subtipe TLR yang berperan penting dalam proses ini
antara lain TLR2 dan TLR4. TLR2 berperan penting untuk mengenali struktur zimosan,
fosfolipomanan serta glukuronoksilomanan (GXM) pada dinding sel jamur. TLR4 berperan
penting untuk mengenali struktur glukoronoksilomanan dan O-linked mannan. Dectin-1 akan
mengenali struktur -glucan sedangkan ketiga bentuk PRRs yang tersekresi (SP-A, SP-D dan
MBL) akan mengenali gugus karbohidrat pada permukaan jamur.
Pengenalan antara PRRs dengan struktur PAMPS akan menginduksi berbagai proses
imun dalam rangka mengeliminasi patogen. Pengenalan PAMPS melalui dektin-1 , TLR2, dan
TLR4 akan meningkatkan pembentukan sitokin proinflamatori tumor necrotic factor-/ TNF-
Pengenalan PAMPS melalui SP-A dan SP-D berperan penting untuk meningkatkan kemotaksis,
fagositosis, oxidative killing, serta aglutinasi konidia. Pada tahap awal, konidia yang telah
diinternalisasi oleh makrofag akan berada di dalam fagosom. Pada tahap lanjut, eradikasi konidia
terjadi melalui proses asidifikasi dan pembentukan Reactive Oxygen Intermediet (ROI) di
fagolisosom. Fagolisosom sendiri terbentuk dari fusi antara fagosom dengan lisosom. Sebanyak
90% konidia yang diinternalisasi oleh makrofag akan mati dalam 24 jam. Sepuluh persen sisanya
akan berkembang menjadi bentuk hifa atau tetap bertahan dalam bentuk resting conidia.
Hifa yang tumbuh ke ruang ekstraseluler akan menginduksi aktivasi sistem imun
ekstraseluler. Aktivasi sistem imun ekstraseluler ditandai dengan terjadinya proses inflamasi,
sekresi ROI ke ekstraseluler, peningkatan kemotaksis netrofil dan peningkatan produksi peptide
antimikrobial. Terjadinya proses inflamasi ditandai dengan peningkatan sitokin TNF- ,
interleukin-15 (IL-15) dan IL-8. Sebanyak 50% hifa yang tumbuh ke ruang ekstraseluler akan
mati dalam 2 jam.
Resting conidia berupakan bentuk yang resisten terhadap proses eradikasi oleh sel imun. Bentuk
morfologi ini lebih resisten terhadap sekresi ROI dan kationik peptide oleh sel netrofil. Respon
netrofil akan meningkat jika bentuk morfologi resting konidia ini berubah menjadi bentuk
morfologi resting conidia swelling. Sel dendritik (DCs) merupakan sel yang menghubungkan
antara sistem imun alamiah dan adaptif. DCs mampu memfagositosis jamur dalam bentuk bentuk
konidia maupun hifa melalui PRRs yang berbeda.
Respon imun seluler (Cell Mediated Immunity/ CMI) akan terinduksi oleh pengenalan
konidia oleh DCs melalui TLR4. Sel imun yang berperan dalam pada mekanisme imun ini adalah
Sel Th1. Aktivasi sel Th1 akan menginduksi terjadinya proses inflamasi untuk menghilangkan
patogen intraseluler. Beberapa sitokin proinflamasi yang perperan dalam mekanisme ini antara
lain interferon- (IFN-), IL-6, IL-12, TNF- serta Granulocyte-Macrophage Colony
Stimulating Factor (GM-CSF).7
Respon imun humoral akan terinduksi oleh pengenalan hifa oleh DCs melalui TLR 2. Sel imun
yang berperan dalam mekanisme imun ini adalah Sel Th2. Aktivasi sel Th2 akan menginduksi
aktivasi sel plasma (sel efektor) untuk mensekresikan immunoglobulin pada permukaan selnya
untuk menjadi antibodi. Antibodi utama yang berperan pada infeksi jamur adalah IgE. IgE akan
menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe cepat (alergi) melalui mekanisme Antibody Derived
Cell Cytotoxicity (ADCC). Mekanisme ADCC dimulai dengan pengenalan antara kompleks IgE
pada permukaan hifa Aspergillus dengan sel efektor (eosinofil, basofil, sel mast) melalui Fc
reseptor. Proses ini akan menginduksi terjadinya degranulasi mediator histamin, leukotrien, dan
Major Basic Protein (MBP) dari sel efektor. Proses degranulasi akan menginduksi terjadinya
kerusakan jaringan. Bentuk morfologi hifa juga yang mampu melekat pada matriks ekstraseluler
serta mampu memproduksi kolagenase, elastase dan protease yang berperan penting dalam
destruksi matriks ekstraseluler secara lansung.

MEKANISME JAMUR DALAM MENGHINDARI SISTEM IMUN TUBUH


Sistem imun yang baik dapat mengeleminasi semua pathogen yang ada didalam tubuh
dengan mudah meskipun pada beberapa pathogen memiliki mekanisme penghindaran terhadap
system imun. Pada jamur terdapat 6 mekanisme penghindaran system imun. Mekanismu tersebut
adalah sebagai berikut :

1. Menghindari pengenalan struktur PAMPs yang menginduksi respon inflamasi

Misalnya pada A. fumigatus menghindari sistem imun proinflamasi (respon imun seluler)
melalui pembentukan hifa. Bentuk morfologi hifa akan dikenali oleh sel imun humoral melalui
struktur TLR4

2. Modulasi sinyal inflamasi


Misalnya C. Albicans dan A. fumigatus menghindari sistem imun seluler melalui induksi
pengenalan PAMPs melalui TLR2. Aktivasi sistem imun humoral akan menghambat aktivitas
antihifa dan proses respiratory burst oleh monosit.

3. Pembentukan molekul pengumpan pada permukaan sel jamur (Shedding of decoy


conents)

Pada dasarnya pembentukan molekul pengumpan yang mirip dengan struktur PAMPS
pada permukaan sel jamur akan menggantikan fungsi pengenalan antara PAMPS dengan PRRs
yang sesuai.
4. Menghindar dari respon fagositosis
Salah satu cara yang dilakukan oleh jamur untuk dapat menghindari immune surveillance
dan fagositosis, adalah dengan cara bersembunyi pada sel yang bersifat nonfagositik.
Misalnya Konidia A. fumigatus dapat diinternalisasi di dalam sel lini epithelial manusia dan
mampu hidup dalam jangka waktu yang lama. Konidia yang diinternalisasi oleh sel epitel saluran
nafas akan menghambat produksi sitokin pro-inflamasi IL-6 dan IL-8.

5. Kemampuan bertahan dengan cara membentuk morfologi yang baru (persistence


despite adversity)
Pada dasarnya melalui mekanisme ini, jamur yang telah diinternalisasi akan bertahan dari
mekanisme destruksi sel fagositik dengan cara membentuk morfologi yang baru.

6. Evasi komplemen.
A. fumigates akan menghambat deposisi komplemen C3 dan menghambat aktivasi
netrofil.

III. Farmakoterapi antifungal

JENIS OBAT ANTIJAMUR


Obat-obat antijamur berdasarkan target kerja dapat dibagi menjadi 3 kelompok besar,
yaitu antijamur yang bekerja pada membran sel jamur, asam nukleat jamur dan dinding sel jamur
serta ada satu antijamur yang tidak termasuk dalam ketiga kelompok besar di atas yaitu
griseofulvin yang bekerja pada mikrotubulus jamur.
1. Antijamur yang bekerja pada membran sel jamur
Kelompok obat-obat antijamur ini sering digunakan secara luas dalam praktek sehari-hari.
Target kerja antijamur ini adalah membran sterol jamur. Kelompok antijamur ini antara lain
polyenes, derivat azol, dan alilamin.
Polyenes. Obat antijamur golongan polyene antara lain amfoterisin B dan nistatin. Obat ini
berinteraksi dengan sterol pada membran sel (ergosterol) untuk membentuk saluran sepanjang
membran, sehingga menyebabkan kebocoran sel dan berujung pada kematian sel jamur.
Azol. Generasi pertama antijamur ini adalah imidazol (ketokonazol, mikonazol,
klotrimazol). Generasi berikutnya berupa triazol (flukonazol, itrakonazol), serta derivat triazol
yang paling baru (varikonazol, ravukonazol, posakonazol, dan albakonazol). Mekanisme kerja
derivat azol berdasarkan pada inhibisi jalur biosintesis ergosterol, yang merupakan komponen
utama membran sel jamur. Obat ini bekerja dengan menghambat 14--demethylase, sebuah
enzim sitokrom P450 mikrosomal pada membaran sel jamur. Enzim 14--demethylase
diperlukan untuk mengubah lanosterol menjadi ergosterol. Akibatnya, terjadi gangguan
permeabilitas membran dan aktivitas enzim yang terikat pada membran dan berujung pada
terhentinya pertumbuhan sel jamur.
Alilamin. Salah satu obat golongan alilamin yang paling sering digunakan adalah
terbinafin. Terbinafin bekerja dengan cara menghambat enzim skualen epoksidase pada membran
sel jamur sehingga menghambat biosintesis ergosterol. Skualen epoksidase merupakan enzim
yang mengkatalisis langkah enzimatik pertama dalam sintesis ergosterol sehingga skualen
berubah menjadi skualen epoksida. Akibatnya terbinafin menyebabkan akumulasi skualen
intraselular yang abnormal dan defisiensi ergosterol. Secara in vitro, akumulasi skualen berperan
pada aktivitas fungisidal obat, sedangkan defisiensi ergosterol dikaitkan dengan aktivitas
fungistatik.

2. Antijamur yang bekerja pada asam nukleat jamur


Flusitosin (5-fluorocytosine) merupakan pirimidin yang telah mengalami fluorinisasi.
Flusitosin masuk ke dalam sel jamur dengan bantuan enzim cytosine permease, yang selanjutnya
mengalami perubahan intrasitoplasmik menjadi 5-fluourasil. Tahap selanjutnya 5-fluourasil
diubah menjadi 2 bentuk aktif yaitu 5-fluorouridine triphosphate yang menghambat sintesis
RNA, dan 5-fluorodeoxyuridine monophosphate yang menghambat thymidylate synthetase dan
akhirnya menghambat pembentukan deoxythymidine triphosphate yang diperlukan untuk sintesis
DNA.
3. Antijamur yang bekerja pada dinding sel jamur
chitin serta alfa, dan beta-glucans yang berperan penting sebagai proteksi, menjaga
morfologi sel dan rigiditas sel, metabolisme, pertukaran ion dan filtrasi, ekspresi antigenik,
interaksi primer dengan pejamu dan pertahanan terhadap fungsi sistem imunitas selular pejamu.
Komposisi ini tidak selalu ditemukan pada organisme yang lain, namun memberikan beberapa
keuntungan selektif dan toksik dibandingkan mekanisme kerja obat-obat antijamur lain. Contoh
obat golongan ini adalah echinocandins yang bekerja dengan menghambat sintesis -glucan
dinding sel jamur.6 Produk echinocandins yang telah disetujui penggunaannya antara lain :
caspofungin, micafungin dan anidulafungin.
4. Griseofulvin
Griseofulvin secara in vitro bersifat fungistatik, dengan spektrum aktivitas antimikotik yang
sempit, dan hanya efektif untuk infeksi dermatofita namun tidak efektif untuk kandidiasis,
infeksi jamur profunda maupun pitiriasis versikolor. Griseofulvin bekerja dengan cara merusak
pembentukan spindel mitosis mikrotubulus jamur sehingga mitosis berhenti pada stadium
metafase.

IV.Kesimpulan

Jamur memiliki kemampuan untuk dapat menghindari sistem imun tubuh host.
Mekanisme utama yang melatar belakangi kemampuan ini adalah upaya penghindaran
pengenalan struktur PAMPs spesifik yang ada pada permukaan sel jamur dari sel
fagositik.
Dengan mengetahui karakteristik penghindaran jamur terhadap sistem imun host,
diharapkan dapat dikembangkan terapi spesifik berdasarkan respon imun tubuh yang
ditekan pada infeksi jamur.

Obat antijamur berdasarkan Berdasarkan tempat kerjanya terbagi menjadi empat


golongan utama yaitu polien, azol, alilamin, dan ekinokandin. Dari seluruh pilihan di atas
para dokter harus memiliki pengetahuan yang baik terhadap farmakokinetik dan potensi
interaksi antar obat terhadap obat antijamur sehingga kita dapat memilih obat antijamur
yang terbaik untuk pasien.

V. Daftar pustaka

In Wecker, L., In Crespo, L. M., Brody, T. M., In Dunaway, G., In Faingold, C., & In
Watts, S. 2015. Brody's human pharmacology: Molecular to clinical. Philadelphia,
PA: Mosby/Elsevier.

Katzung, B. G., Masters, S. B., & Trevor, A. J. 2015. Basic & clinical pharmacology.
New York: McGraw-Hill Medical.

Goodman, L. S., Gilman, A., Hardman, J. G., Gilman, A. G., & Limbird, L. E.
2011. Goodman & Gilman's the pharmacological basis of therapeutics. New York:
McGraw-Hill

Shoham, S., and Levitz, S.M., 2005. The immune response to fungal infections.
British Journal of Haematology.

Chai, L.Y.A., Netea , M.G.,. G. Vonk, A., Kullberg, B. 2009. Fungal strategies for
overcoming host innate immune response. Medical Mycology.

Anda mungkin juga menyukai