Anda di halaman 1dari 2

BAB 1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Euthanasia, yang dalam bahasa yunani disebut “euthanatos”, berasal dari kata ‘eu’ yang berarti baik dan
‘thamztos’ yang berarti mati. Arti harfiahnya sama dengan good death atau easy death. Sering pula
disebut mercy killing karena pada hakikatnya euthanasia mempakan tindakan pembunuhan atas dasar
perasaan kasihan. Sedangkan menurut kamus besar Bahasa Indonesia, eutanasia merupakan tindakan
mengakhiri dengan sengaja kehidupan makhluk, (baik orang atau hewan piaraan) yang sakit berat atau
luka parah dengan kamatian yang tenang dan mudah atas dasar kemanusiaan.

Euthanasia hingga saat ini masih menjadi pro dan kontra di dunia. Perdebatan terkait legalisasi euthanasia
di Amerika Serikat dan Inggris sudah berlangsung sejak abad ke-19. Pada tahun 2002, Belanda dan Belgia
mengesahkan diperbolehkannya euthanasia. Kemudian pada tahun 2009, di Luxemburg juga disahkan
euthanasia, dan yang terbariu adalah pada tahun 2015 euthanasia disahkan di Colombia dan di Canada
pada tahun 2016.

Di Indonesia, euthanasia juga masih menjadi pro dan kontra. Terdapat beberapa kasus di Indonesia
yang akhirnya mencuatkan kebijakan terkait euthanasia di masyarakat. Beberapa kasus
diantaranya adalah seorang suami yang meminta istrinya disuntik mati setelah mengalami
kecacatan otak akibat persalinan pada tahun 2015. Kasus lainnya yaitu kasus Agian Isna Nauli
pasien koma akibat sakit stroke oleh suaminya Panca Satriya Hasan mengajukan permohonan
euthanasia terhadap istrinya di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Dalam kaitannya dengan beberapa kasus di atas, euthanasia masih menjadi salah satu hal yang
membutuhkan perhatian dari banyak pihak yang terlibat. Di Indonesia, meski tidak secara tegas
diatur, euthanasia dianggap telah melanggar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yakni dalam Pasal 344
KUHP yang bunyinya:
“Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan
dengan kesungguhan hati, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.”
Secara umum sebenarnya hukum tidak memberikan rumusan yang tegas mengenai kematian seseorang.

Selain dari sudut pandang hukum, eutahansia juga perlu ditinjau dari sudut medis. Salah satu dasar
implisit dari segi medis adalah Kode Etik Kedokteran Indonesia Dalam KODEKI Pasal 2 dijelaskan
bahwa; “seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai dnegan
standar profesi tertinggi”. Jelasnya bahwa seorang dokter dalam melakukan kegiatan
kedokterannya sebagai seorang profesi dokter harus sesuai dengan ilmu kedokteran mutakir,
hukum dan agama.

KODEKI Pasal 7d juga menjelaskan bahwa “setiap dokter harus senantiasa mengingat akan
kewajiban melindungi hidup insani”. Artinya dalam setiap tindakan dokter harus bertujuan untuk
memelihara kesehatan dan kebahagiaan manusia. Jadi dalam menjalankan profesinya seorang
dokter tidak boleh melakukan; mengugurkan kandungan (Abortus Provocatus), mengakhiri
kehidupan seorang pasien yang menurut ilmu dan pengetahuan tidak mungkin akan sembuh lagi
(euthanasia).

Selain itu juga terdapat pada sumpah Hipocrates bahwa seorang Dokter harus menghargai hak
hidup
Dari pemaparan diatas, dapat disimpulkan bahwa hingga saat ini, euthanasia masih
menimbulkan pro dan kontra jika dipandang dari sudut pandang medis maupun hukum. Seiring
dengan kasus permintaan euthanasia yang ada, tentu perlu perhatian yang lebih terkait euthanasia
dipandang dari berbagai perspektif terutama dari segi medis dan hukum.

Rumusan Masalah
Dari uraian sebagaimana tertuang dalam bagian latar belakang, maka masalah utama yang akan dikaji
dalam Makalah ini adalah:
Bagaimana perspektif medis dalam euthanasia?
Bagaimana perspektif HAM dan hukum terhadap praktek euthanasia ?

Anda mungkin juga menyukai