HIDATIDOSIS
Sinonim Hidatidosis
Dosen Pembimbing
Dwi Ardiansyah
Riana Puspita Nugrahaeni
Atikah Dirgahayu
Shafiena Hema
Astrid Caroline
Clariska Putra Edityandari
Firzya Irzyady Prataman
Alriyando Hidayat
Dwitya Citraesti
Nurjannah Mutia Kalsum
Reza Mahlefi
Ho Kin Wei
B04130004
B04130008
B04130012
B04130018
B04130020
B04130024
B04130028
B04130032
B04130036
B04130047
B04130044
B04138005
Penyebab Hidatidosis
Hidatidosis atau echinococcosis merupakan zoonosis.
Penyakit ini disebabkan stadium larva (metacestoda) spesies
cestoda dari genus Echinococcus dan famili Taeniidae.
Terdapat enam spesies Echinococcus spp, empat di antaranya
menginfeksi manusia, yaitu Echinococcus multilocularis
menyebabkan penyakit alveolar echinococcosis, Echinococcus
granulosus
menyebabkan
cystic
echinococcosis,
Echinococcus
vogeli
dan
Echinococcus
oligarthrus
menyebabkan polycystic echinococcosis. Penyakit ini
merupakan masalah kesehatan utama karena dapat
menyebabkan emerging dan re-emerging diseases. Habitat
cacing dewasa di usus halus inang defenitif yaitu hewan
karnivora seperti anjing dan kucing. Larva hidatid hidup pada
inang antara yaitu hewan ungulata seperti domba, babi, kuda,
sapi, dan kerbau. Cacing dewasa memproduksi telur dalam
usus dan dikeluarkan bersama fases sehingga mencemari
tanah. Inang perantara dapat terinfeksi karena termakan telur
Echinoccocus spp yang mencemari rumput atau tanah.
Manusia tertular secara insidental melalui makanan yang
tercemar telur Echinococcus spp infektif atau melalui tangan
yang tidak bersih pada saat makan (Sandy 2014).
Transmisi
Larva Echinococcus yang menyebabkan permasalahan
pada kesehatan manusia terdiri atas dua jenis, yaitu
Echinococcus granulosus dan Echinococcus multilocularis. E.
granulosus menyebabkan Cystic Echinococcosis (CE),
sedangkan
E.
multilocularis
menyebabkan
Alveolar
Echinococcosis (AE). Echinococcus sp. memproduksi telur
yang dikeluarkan bersama feses anjing sehingga dapat
mencemari lingkungan. Kasus pada manusia yang paling
sering terjadi disebabkan oleh Echinococcus granulosus (CE).
Kasus hidatidosis pada manusia terjadi secara asidental bila
menelan telur cacing infektif melalui jari tangan atau makanan
yang terkontaminansi feses anjing (Bidaki et al. 2009). Telur
tersebut akan berkembang membentuk kista yang menyerupai
tumor pada organ tubuh manusia, terutama hati dan paruparu. Ukuran kista pada tubuh manusia bervariasi dengan
diameter 1-15 cm atau lebih (Eckert dan Deplazes 2004).
Kejadian hidatidosis pada manusia sering terjadi di daerah
endemik, terutama bagi individu yang sering melakukan kontak
dengan anjing dan tidak menjaga higiene personal serta
sanitasi lingkungan.
Gejala Klinis
Hidatidosis memiliki beberapa sinonim, diantaranya
adalah echinococcosis, echinococciasis, hydatid disease, dan
hydatid cyst disease. Hidatidosis disebabkan oleh larva dari
cacing Echinococcus granulosus, Echinococcus multilocularis,
Echinococcus oligarthrus, dan Echinococcus vogeli. Infeksi
Echinococcus granulosus atau cystic echinococcosis biasanya
ditemukan di hati dan paru-paru. Selain itu, infeksi tersebut
juga dapat ditemukan di organ ginjal, jantung, tulang, limpa,
TRANSMISI
Siklus hidup E. granulosus pada hewan umum tejadi
antara anjing dan domba. Anjing sebagai inang definitif akan
terinfeksi E. granulosus jika memakan jeroan segar atau
karkas domba yang mengandung kista. Anjing yang terinfeksi
kemudian akan mengontaminasi rumput melalui feses yang
mengandung telur cacing dan domba akan mengalami reinfeksi akibat memakan rumput yang tercemar telur cacing
tersebut. Selain anjing dan domba, siklus hidup E. granulosus
dapat terjadi antara anjing dan kuda, serta anjing dan unta
(CFSPH dan IICAB 2011). Kejadian echinococcosis pada
hewan tua lebih tinggi (78,57%) dibandingkan dengan hewan
muda (3,77%). Selain itu, kejadian penyakit ini lebih tinggi
pada hewan betina (26,72%) dibandingkan dengan hewan
jantan (15,94%) (Al-Shaibani et al. 2015)
Siklus hidup E. granulosus dapat dijabarkan sebagai
berikut. Cacing dewasa yang hidup di dalam usus halus inang
definitif akan memproduksi telur dan dikeluarkan ke lingkungan
melalui feses. Telur cacing dapat bertahan di lingkungan
selama kurang lebih satu tahun pada kondisi yang sesuai.
Telur cacing yang segar cukup lengket dan dapat menempel
pada rambut inang definitif maupun inang antara sehingga
memudahkan proses transmisi penyakit ini. Inang antara
mengonsumsi telur cacing secara tidak sengaja ketika
merumput ataupun minum. Telur kemudian menetas di dalam
usus halus dan mengeluarkan larva. Larva tersebut kemudian
menembus dinding usus dan menyebar ke organ melalui
sistem sirkulasi. E. granulosus memiliki target organ di hati
atau paru-paru, sedangkan E. multilocularis memiliki predileksi
di organ hati. Di dalam organ, terbentuk kista hidatidosa atau
metacestoda. Kista tersebut mengandung larva, yang
didalamnya terdapat cairan dan protoscolex. Kista secara
perlahan membesar akibat pertumbuhan protoscolex secara
aseksual di dalam kista dan menyebabkan lesio pada organ
berupa kantung kantung vesikula yang mengandung massa
Diagnosa
Gejala Klinis
Investasi larva dari cacing E.granulosus dapat
membentuk kista hidatida pada berbagai jaringan. Inang
normal pada parasit dewasa adalah anjing. Infestasi cacing ini
menyebabkan eosinofilia (meningkatnya konsentrasi eosinofil
di dalam darah). Pecahnya kista hidatidosa sebagai akibat dari
trauma atau pembedahan sangat berbahaya, hal ini dapat
menyebabkan shock anafilaksis, reaksi alergi, dan risiko
penyebaran pasir hidatosa yang dapat menimbulkan kista baru
diseluruh tubuh (Pudjiatmoko 2014)
Penyakit hidatidosa disebabkan oleh tahap larva dari
parasit mulai dari yang paling ringan tanpa menunjukan gejala
klinis hingga berakibat fatal. Keparahan tergantung pada lokasi
dan ukuran kista. Gejala klinis terjadi ketika kista hidatidosa
tumbuh dan menyebabkan nekrosis pada jaringan sekitarnya
(Pudjiatmoko 2014). Dalam hospes perantara, kista yang
terbentuk menginduksi terjadinya fibrosis pada jaringan normal
sehingga terjadi manifestasi penyakit (OIE 2016). Presentase
kasus yang menyerang di hati sekitar 75 % dengan gejala
perut nyeri, adanya massa di hati dan obstruksi saluran
empedu. Kejadian di paru 22 % dengan gejala nyeri di dada,
batuk dan hemoptisis. Sedangkan kejadian di rongga
perut/panggul, limpa, ginjal dan jantung sekitar 6%.
Gejala klinis penyakit pada hewan kurang spesifik,
hanya diare, sesak nafas, dan lemah. Kelainan post mortem
tidak banyak menunjukkan kerusakan jaringan, umumnya
terdapat ascites bila hati terinfeksi, enteritis, kerusakan pada
Manusia
Diagnosa untuk kejadian infeksi pada manusia dapat
dilakukan dengan melihat gejala klinis yang terjadi pada
manusia. Namun hal ini tentu sangat sulit dilakukan dan akan
memperoleh hasil yang membingungkan karena gejala klinis
yang ditimbulkan oleeh agen penyakit ini tidak bersifat
patognomonis (El-Shazly 2010). Oleh karena itu, dibutuhkan
beberapa metode diagnosa penunjang lain yang dapat
memperkuat diagnosa.
Secara visual, metode diagnosa untuk penyakit hydatidosis ini
dapat dilakukan dengan,
a. Rontgen
:Pemeriksaan radiografi
b. USG
:Gambar multidimensi kista di organ
dan jaringan lunak, mengidentifikasi pasir hidatidosa
dan kalsifikasi.
c. CT-Scan
:Mengidentifikasi kista hydatid untuk
menilai efektivitas terapi-kalsifikasi flek menunjukkan
degenerasi.
Selain itu, kini terdapat metode serologi pengenalan antibodi
Echinococcus spp dalam serum menggunakan coproantigen
enzyme linked immunosorbent assay (CA-ELISA), indirect
immunofl
uorescence,
indirect
hemagglutination,
immunoblotting, dan latex agglutination (Brunetti 2010).
Metode complement f ixation sudah jarang digunakan. Pada
beberapa penderita, perkembangan kista tidak terdeteksi oleh
antibodi. Hasil positif palsu dapat dijumpai jika terjadi reaksi