Anda di halaman 1dari 9

Pendahuluan

HIDATIDOSIS
Sinonim Hidatidosis

Dosen Pembimbing

Dwi Ardiansyah
Riana Puspita Nugrahaeni
Atikah Dirgahayu
Shafiena Hema
Astrid Caroline
Clariska Putra Edityandari
Firzya Irzyady Prataman
Alriyando Hidayat
Dwitya Citraesti
Nurjannah Mutia Kalsum
Reza Mahlefi
Ho Kin Wei

B04130004
B04130008
B04130012
B04130018
B04130020
B04130024
B04130028
B04130032
B04130036
B04130047
B04130044
B04138005

Divisi Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat


Fakultas Kedokteran Hewan
Institut Pertanian Bogor
2016

Hidatidosis sering disebut juga echinococcosis.


Hidatidosis atau echinococcosis merupakan suatu istilah yang
digunakan untuk menyatakan penyakit yang disebabkan oleh
infeksi stadium larva (metacestoda) dari genus Echinococcus
(Abad dan Torgerson 2013).

Penyebab Hidatidosis
Hidatidosis atau echinococcosis merupakan zoonosis.
Penyakit ini disebabkan stadium larva (metacestoda) spesies
cestoda dari genus Echinococcus dan famili Taeniidae.
Terdapat enam spesies Echinococcus spp, empat di antaranya
menginfeksi manusia, yaitu Echinococcus multilocularis
menyebabkan penyakit alveolar echinococcosis, Echinococcus
granulosus
menyebabkan
cystic
echinococcosis,
Echinococcus
vogeli
dan
Echinococcus
oligarthrus
menyebabkan polycystic echinococcosis. Penyakit ini
merupakan masalah kesehatan utama karena dapat
menyebabkan emerging dan re-emerging diseases. Habitat
cacing dewasa di usus halus inang defenitif yaitu hewan
karnivora seperti anjing dan kucing. Larva hidatid hidup pada
inang antara yaitu hewan ungulata seperti domba, babi, kuda,
sapi, dan kerbau. Cacing dewasa memproduksi telur dalam
usus dan dikeluarkan bersama fases sehingga mencemari
tanah. Inang perantara dapat terinfeksi karena termakan telur
Echinoccocus spp yang mencemari rumput atau tanah.
Manusia tertular secara insidental melalui makanan yang
tercemar telur Echinococcus spp infektif atau melalui tangan
yang tidak bersih pada saat makan (Sandy 2014).

Keberadaan dan Penyebaran di Indonesia


Dari 5 spesies, Echinococcus granulosus dapat
ditemukan diseluruh dunia, Echinococcus granulosus tersebar
hampir diseluruh dunia, dengan daerah endemik Amerika

bagian selatan (Argentina, Brazil, Chili, Peru, Uruguay), pantai


Mediterania (Bulgaria, Siprus, Prancis, Yunani, Italia, Portugal,
Spanyol, Yugoslavia, Rusia selatan) Asia barat daya (Irak,
Turki, Iran), Afrika Utara (Aljazair, Maroko, Tunisia), Australia,
New Zealand, Kenya dan Uganda. E. Multilocularis
penyebarannya terletak di belahan bumi bagian utara,
Distribusi geografis E. multilocularis ditemukan hanya di
belahan bumi Utara yaitu Eropa Timur, Turki, Irak, India Utara,
Cina Tengah dan Jepang, Kanada, Alaska, Amerika Utara
(Montana sampai Ohio Tengah), Eropa bagian kutub utara,
Asia, daratan Amerika. Sementara 2 spesies E. oligarthus and
E. Vogeli henya ditemukan pada Amerika Serikat dan Amerika
Selatan. Yang ke enam E. Shiquicus ditemukan tahun 2006 di
Cina. E. granulosus and E. Multilocularis merupakan spesies
yang terpenting terhadap resiko penyakit zoonosis. Pada
daerah amerika latin jarang menginfeksi manusia dan status
zoonosis dari E. Shiquicus tidak diketahui (OIE 2000).
Infeksi pada manusia paling umum dan pada domba
seperti di Australia dan selandia Baru, Inggris dan seluruh
Eropa, Timur Tengah, Rusia, Cina Utara dan Jepang. Di
amerika penyakit ini biasanya terjadi di negera-negara Cone
Selatan seperti Argentina, Uruguay dan Chili dan juga terjadi di
Alaskan dan Kanada. Di banyak negara, penyakit hidatidosa
lebih umum di daerah pedesaan di mana terjadinya kontak
antara manusia dan anjing dan berbagai hewan domestik yang
bertindak sebagai vektor perantara. Penyakit hidatidosa sering
berulang kejadiannya dan endemik di Tunisia (Paksoy 1998).
Penyebaran infeksi Echinnococcus tergantung pada kehadiran
anjing, rubah sebagai inang defenitif, dan mentransmisi inang
perantara yang rentan seperti domba, kambing, dan babi.
Lingkungan yang memungkinkan keberlangsungan hidup dan
padatnya penduduk serta tinggal berdekatan dengan hewan
peliharaan.
Kejadian ekinokokosis di Indonesia belum banyak
diketahui. Kemungkinan tidak ada kasus atau sedikit
kejadiannya, sehingga kurang menarik bagi peneliti untuk
melakukan penelitian penyakit tersebut. Penyakit ini bukanlah
penyakit zoonosis yang diprioritaskan untuk diteliti di

Indonesia, baik pada hewan maupun pada manusia. Meskipun


di daerah endemik di beberapa negara lain telah banyak
dilakukan penelitian penyakit ini, karena ekinokokosis
merupakan salah satu zoonosis penting yang berdampak
terhadap kesehatan masyarakat. Eckret (1982) memang
pernah melaporkan adanya E. granulosus di Indonesia.
Echinococcosis pernah dilaporkan oleh Palmieri (1984) pada
masyarakat usia lebih 10 tahun yang bermukim di Danau
Lindu Sulawesi Tengah (17 di antara 903 serum darah yang
diperiksa positif antibodi Echinococcus spp). Namun,
pemeriksaan feses anjing yang telah diberi purgative arecolin
HBr tidak menemukan telur serta cacing dewasa
Echinococcus spp.

Kejadian pada manusia


Sumber infeksi
Hidatidosis pada manusia berasal dari infeksi cacing
Echinococcus spp yang berada pada stadium larva.
Keberadaan cacing ini di lingkungan berasal dari induk
semang definitifnya yang mengeluarkan telur jenis cacing ini
bersama feses. Telur yang keluar bersama feses akan berubah
menjadi larva infektif dan akan membentuk kista pada organ
tubuh manusia apabila masuk kedalam tubuh manusia. Induk
semang definitif dari cacing ini yaitu karnivora. Karnivora
terinfeksi karena memakan organ tubuh dari hewan yang
terinfeksi kista dari Echinococcus spp yang kemudian kista
tersebut akan berkembang biak pada tubuh karnivora dan
memproduksi telur di usus lalu telurnya akan diekresikan
bersama feses (Da Silva AM 2010).
Anjing merupakan hewan yang sering menularkan
pada manusia karena keberadaan anjing sangat dekat dengan
manusia dalam kehidupan sehari-hari. Kondisi lingkungan
yang kurang bersih akan menjadi faktor yang sangat
berpengaruh terhadap infeksi penyakit ini. Kejadian pada
manusia biasanya tertular secara insidental melalui makanan

yang tercemar telur Echinococcus spp infektif atau melalui


tangan yang tidak bersih pada saat makan. Higiene personal
yang kurang baik juga akan mempengaruhi perkembangan
penyakit ini (Sandy 2014).

Transmisi
Larva Echinococcus yang menyebabkan permasalahan
pada kesehatan manusia terdiri atas dua jenis, yaitu
Echinococcus granulosus dan Echinococcus multilocularis. E.
granulosus menyebabkan Cystic Echinococcosis (CE),
sedangkan
E.
multilocularis
menyebabkan
Alveolar
Echinococcosis (AE). Echinococcus sp. memproduksi telur
yang dikeluarkan bersama feses anjing sehingga dapat
mencemari lingkungan. Kasus pada manusia yang paling
sering terjadi disebabkan oleh Echinococcus granulosus (CE).
Kasus hidatidosis pada manusia terjadi secara asidental bila
menelan telur cacing infektif melalui jari tangan atau makanan
yang terkontaminansi feses anjing (Bidaki et al. 2009). Telur
tersebut akan berkembang membentuk kista yang menyerupai
tumor pada organ tubuh manusia, terutama hati dan paruparu. Ukuran kista pada tubuh manusia bervariasi dengan
diameter 1-15 cm atau lebih (Eckert dan Deplazes 2004).
Kejadian hidatidosis pada manusia sering terjadi di daerah
endemik, terutama bagi individu yang sering melakukan kontak
dengan anjing dan tidak menjaga higiene personal serta
sanitasi lingkungan.

Gejala Klinis
Hidatidosis memiliki beberapa sinonim, diantaranya
adalah echinococcosis, echinococciasis, hydatid disease, dan
hydatid cyst disease. Hidatidosis disebabkan oleh larva dari
cacing Echinococcus granulosus, Echinococcus multilocularis,
Echinococcus oligarthrus, dan Echinococcus vogeli. Infeksi
Echinococcus granulosus atau cystic echinococcosis biasanya
ditemukan di hati dan paru-paru. Selain itu, infeksi tersebut
juga dapat ditemukan di organ ginjal, jantung, tulang, limpa,

dan sistem saraf pusat. Kista di organ hati menyebabkan


terjadinya pembesaran organ, nyeri epigastrik kanan, mual,
dan muntah. Kista Echinococcus granulosus yang pecah dapat
mengeluarkan cairan kista yang selanjutnya dapat memicu
terjadinya reaksi alergi dengan anafilaksis ringan sampai
berat. Membran kista yang pecah di paru-paru dapat
menyebabkan cairan kista memasuki bronkus dan kelenjar
getah bening yang merupakan media yang baik bagi
pertumbuhan jamur dan bakteri. Pertumbuhan larva di jaringan
tulang jarang terjadi, sedangkan invasi larva pada rongga
tulang dan lapisan spongiosa dapat menyebabkan terjadinya
pengikisan tulang. Larva Echinococcus multilocularis dapat
menyebabkan terjadinya alveolar echinococcosis (AE) pada
manusia. Hati merupakan organ utama tempat larva
Echinococcus multilocularis bermetastasis, serta menimbulkan
lesi yang meluas ke paru-paru dan juga ke otak. Infeksi
alveolar
echinococcosis
(AE)
yang
bersifat
kronis
menunjukkan adanya lesi nekrotik yang menetap dan berisi
material putih amorf yang terbungkus lapisan tipis jaringan
fibrosa. Gejala klinis dari alveolar echinococcosis (AE)
biasanya tidak nampak jelas, yaitu dapat berupa nyeri
epigastrik, hepatomegali, malnutrisi, ataupun ikterus. Larva
Echinococcus oligarthrus biasanya ditemukan di organ
intestinal (usus) dan jaringan subkutan. Kasus adanya infeksi
larva Echinococcus oligarthrus di manusia jarang terjadi. Akan
tetapi, pernah ditemukan adanya dua kasus kista yang berada
di belakang bola mata dan di jantung orang yang meninggal
akibat tetanus. Kista yang berada di belakang bola mata
menyebabkan terjadinya iritasi, eksoftalmia, dan kebutaan.
Infeksi larva Echinococcus oligarthrus ditandai dengan
pembesaran jantung, miokarditis, dan adanya cairan
pericardial. Infeksi Echinococcus vogeli dapat menyebabkan
terjadinya polycystic hydatidosis. Larva Echinococcus vogeli
biasanya ditemukan di hati dan selanjutnya dapat menginvasi
jaringan atau organ lain. Gejala umum dari infeksi tersebut,
diantaranya adalah hepatomegali, penurunan berat badan,
pembesaran abdomen, ikterus, dan anemia. Infeksi
Echinococcus vogeli yang menyerang paru-paru dapat

menyebabkan terjadinya batuk, nyeri dada, dan hemoptisis.


Infeksi Echinococcus vogeli di jantung dapat menyebabkan
terjadinya gagal jantung kongestif (Sandi 2014).

Kejadian pada hewan


Sumber Infeksi
Hewan terinfeksi setelah tidak sengaja menelan telur
yang
dikeluarkan
bersama
feses
karnivora.
Kista
Echinococcosis pada manusia dan hewan ditandai dengan
perkembangan tahap larva metacestoda di hati dan organ
lainnya. Faktor yang sering menyebabkan munculnya
hidatidosis dalam populasi hewan yaitu adanya sejumlah
besar anjing terinfeksi cacing E.granulosus, akses dari anjing
terhadap jeroan yang terinfeksi dekat ,fasilitas yang tidak
memadai untuk penyembelihan dan pemusnahan jeroan
terinfeksi, pemotongan ternak di rumah-rumah dan tidak ada
pengawasan dokter hewan. Pemberian makanan anjing
berupa jeroan yang terinfeksi adalah salah satu faktor yang
paling penting bagi keberadaan penyakit ini.
Usia anjing merupakan faktor yang relevan, karena anjing
muda mengekresikan jumlah telur echinococcal yang lebih
banyak dibanding anjing dewasa. Selain itu, membatasi
pemilikan anjing juga mempengaruhi epidemiologi, karena
anjing jalanan memiliki risiko yang tinggi terhadap infeksi dari
Echinococcus granulosus melalui konsumsi bangkai dari organ
hewan yang terinfeksi cacing tersebut. Telur E.granulosus
dalam kotoran anjing perumahan dalam jumlah yang banyak
menunjukkan bahwa anjing memakan jeroan ternak yang
disembelih di rumah sendiri oleh penduduk. Anjing yang belum
diberi obat cacing dalam dua bulan sangat rentan terhadap
risiko tertular echinococcosis. Faktor-faktor lain termasuk

kurangnya pengetahuan yang berkaitan dengan infeksi dan


penyakit (Acosta-Jamett G et al 2014)

TRANSMISI
Siklus hidup E. granulosus pada hewan umum tejadi
antara anjing dan domba. Anjing sebagai inang definitif akan
terinfeksi E. granulosus jika memakan jeroan segar atau
karkas domba yang mengandung kista. Anjing yang terinfeksi
kemudian akan mengontaminasi rumput melalui feses yang
mengandung telur cacing dan domba akan mengalami reinfeksi akibat memakan rumput yang tercemar telur cacing
tersebut. Selain anjing dan domba, siklus hidup E. granulosus
dapat terjadi antara anjing dan kuda, serta anjing dan unta
(CFSPH dan IICAB 2011). Kejadian echinococcosis pada
hewan tua lebih tinggi (78,57%) dibandingkan dengan hewan
muda (3,77%). Selain itu, kejadian penyakit ini lebih tinggi
pada hewan betina (26,72%) dibandingkan dengan hewan
jantan (15,94%) (Al-Shaibani et al. 2015)
Siklus hidup E. granulosus dapat dijabarkan sebagai
berikut. Cacing dewasa yang hidup di dalam usus halus inang
definitif akan memproduksi telur dan dikeluarkan ke lingkungan
melalui feses. Telur cacing dapat bertahan di lingkungan
selama kurang lebih satu tahun pada kondisi yang sesuai.
Telur cacing yang segar cukup lengket dan dapat menempel
pada rambut inang definitif maupun inang antara sehingga
memudahkan proses transmisi penyakit ini. Inang antara
mengonsumsi telur cacing secara tidak sengaja ketika
merumput ataupun minum. Telur kemudian menetas di dalam
usus halus dan mengeluarkan larva. Larva tersebut kemudian
menembus dinding usus dan menyebar ke organ melalui
sistem sirkulasi. E. granulosus memiliki target organ di hati
atau paru-paru, sedangkan E. multilocularis memiliki predileksi
di organ hati. Di dalam organ, terbentuk kista hidatidosa atau
metacestoda. Kista tersebut mengandung larva, yang
didalamnya terdapat cairan dan protoscolex. Kista secara
perlahan membesar akibat pertumbuhan protoscolex secara
aseksual di dalam kista dan menyebabkan lesio pada organ
berupa kantung kantung vesikula yang mengandung massa

berupa cairan. Pertumbuhan kista E. granulosus pada


manusia dapat tumbuh 10-20 cm, sedangkan pada domba
kista dapat tumbuh 2-6 cm. Protoscolex dalam kista yang
termakan oleh inang definitif akan berkembang menjadi cacing
pita dewasa di dalam usus halus. Cacing dewasa akan
berkembang secara seksual dan menghasilkan telur dalam
waktu 25-80 hari tergantung dari spesies Echinococcus (OIE
2011).

paru, serta kerusakan ditempat yang terdapat kista


(Pudjiatmoko 2014)
Pada ternak yang terinfeksi E.granulosus, terjadi
penurunan pertumbuhan, penurunan produksi susu, daging,
dan wol, penurunan angka kelahiran. Beberapa kista dari
E.granulosus dapat menyerang otak, ginjal, tulang, atau testes
yang menyebabkan penyakit yang lebih parah (OIE 2016).

Diagnosa
Gejala Klinis
Investasi larva dari cacing E.granulosus dapat
membentuk kista hidatida pada berbagai jaringan. Inang
normal pada parasit dewasa adalah anjing. Infestasi cacing ini
menyebabkan eosinofilia (meningkatnya konsentrasi eosinofil
di dalam darah). Pecahnya kista hidatidosa sebagai akibat dari
trauma atau pembedahan sangat berbahaya, hal ini dapat
menyebabkan shock anafilaksis, reaksi alergi, dan risiko
penyebaran pasir hidatosa yang dapat menimbulkan kista baru
diseluruh tubuh (Pudjiatmoko 2014)
Penyakit hidatidosa disebabkan oleh tahap larva dari
parasit mulai dari yang paling ringan tanpa menunjukan gejala
klinis hingga berakibat fatal. Keparahan tergantung pada lokasi
dan ukuran kista. Gejala klinis terjadi ketika kista hidatidosa
tumbuh dan menyebabkan nekrosis pada jaringan sekitarnya
(Pudjiatmoko 2014). Dalam hospes perantara, kista yang
terbentuk menginduksi terjadinya fibrosis pada jaringan normal
sehingga terjadi manifestasi penyakit (OIE 2016). Presentase
kasus yang menyerang di hati sekitar 75 % dengan gejala
perut nyeri, adanya massa di hati dan obstruksi saluran
empedu. Kejadian di paru 22 % dengan gejala nyeri di dada,
batuk dan hemoptisis. Sedangkan kejadian di rongga
perut/panggul, limpa, ginjal dan jantung sekitar 6%.
Gejala klinis penyakit pada hewan kurang spesifik,
hanya diare, sesak nafas, dan lemah. Kelainan post mortem
tidak banyak menunjukkan kerusakan jaringan, umumnya
terdapat ascites bila hati terinfeksi, enteritis, kerusakan pada

Manusia
Diagnosa untuk kejadian infeksi pada manusia dapat
dilakukan dengan melihat gejala klinis yang terjadi pada
manusia. Namun hal ini tentu sangat sulit dilakukan dan akan
memperoleh hasil yang membingungkan karena gejala klinis
yang ditimbulkan oleeh agen penyakit ini tidak bersifat
patognomonis (El-Shazly 2010). Oleh karena itu, dibutuhkan
beberapa metode diagnosa penunjang lain yang dapat
memperkuat diagnosa.
Secara visual, metode diagnosa untuk penyakit hydatidosis ini
dapat dilakukan dengan,
a. Rontgen
:Pemeriksaan radiografi
b. USG
:Gambar multidimensi kista di organ
dan jaringan lunak, mengidentifikasi pasir hidatidosa
dan kalsifikasi.
c. CT-Scan
:Mengidentifikasi kista hydatid untuk
menilai efektivitas terapi-kalsifikasi flek menunjukkan
degenerasi.
Selain itu, kini terdapat metode serologi pengenalan antibodi
Echinococcus spp dalam serum menggunakan coproantigen
enzyme linked immunosorbent assay (CA-ELISA), indirect
immunofl
uorescence,
indirect
hemagglutination,
immunoblotting, dan latex agglutination (Brunetti 2010).
Metode complement f ixation sudah jarang digunakan. Pada
beberapa penderita, perkembangan kista tidak terdeteksi oleh
antibodi. Hasil positif palsu dapat dijumpai jika terjadi reaksi

silang dengan Taenia spp. Penggunaan antigen dan PCR


berguna untuk mendeteksi kista yang mengalami kalsifikasi
(Bidaki 2009).
Hewan
Diagnosis echinococcosis secara pra mortem adalah
dengan cara purgurasi arecoline atau garam sintetik (arecoline
hidrobromida) yang bertujuan untuk verifikasi adanya parasit.
Purgurasi menggunakan ekstrak tanaman arecoline telah
menjadi
standar
emas
pra-mortem
untuk
deteksi
echinococcosis anjing selama lebih dari 100 tahun.
Sedangkan standar pemeriksaan echinococcosis pada anjing
secara post-mortem adalah dengan cara nekropsi terhadap
keberadaan cacing pita dewasa di seluruh usus kecil pada
anjing.
beberapa metode nekropsi untuk mendeteksi
echinococcosis pada inang definitif antara lain dengan
sedimentation and counting technique (SCT), intestinal
scraping technique, dan 'inkubasi usus dalam garam'. Cacing
pita Echinococcus spp.menempel pada anterior, namun E.
granulosus umumnya terletak di duodenum anterior,
sedangkan E. multilocularis menemepel lebih distal pada
pertengahan / posterior usus duabelas jari. Pemeriksaan lain
untuk mendiagnosa echinococcosis pada anjing adalah
dengan coproantigen ELISA. Uji ini adalah Sebuah uji
laboratorium spesifik dan sensitif untuk deteksi antigen dalam
sampel feses anjing (coproantigen) . uji ini dianggap memiliki
potensi untuk menggantikan purgurasi arecoline dan memiliki
keuntungan lebih serologi untuk deteksi infeksi saat ini (Craig
2014).

Pencegahan dan Pengendalian

Bedah dipilih sebagai terapi pengendalian kejadian


hydatidosis / cystic echinococcosis baik pada hewan maupun
manusia. Selain itu pemberian kemoterapi jangka panjang
menggunakan
mebendazole
(40-50
mg/kg/hari)
dan
albendazole (1015 mg/kg/hari) dapat menyusutkan dan
menghancuran kista. Pilihan terapi kista hydatid di hati meliputi
sonografi untuk memecah kista percutaneus, aspirasi untuk
mengeluarkan cairan kista, injeksi bahan protocidal (alkohol
95% atau larutan salin hipertonik) selama 15 menit (Sandy
2014).
Pencegahan penyakit akibat larva (metacestoda) dilakukan
dengan cara memutus siklus hidup Echinococcus spp.
Pajanan telur Echinococcus spp. dari hewan liar ke bahan
makanan sulit dipantau dan dicegah, diperlukan perilaku
higienis, dan sistem penjaminan bahan pangan yang baik.
Proses pencucian bahan pangan dinilai krusial pada pola
pencegahan infeksi Echinococcus spp. Sayur dan buah yang
akan diolah dan/atau dikonsumsi harus dicuci dengan bersih
menggunakan air mengalir, untuk menghilangkan telur
Echinococcus yang mungkin menempel pada sayur atau buah.
Perhatian akan sumber air untuk keperluan rumah tangga pun
harus diperhatikan, karena ada kemungkinan air tercemar telur
Echinococcus spp. Penerapan higiene personal sangat
memegang kendali ada pecegahan kejadian hydatidosis pada
manusia. Pencegahan hydatidosis pada hewan dilakukan
melalui kontrol hewan peliharaan, seperti mencegah anjing
memakan organ viscera ungulata. Sumber air minum yang
diberikan harus dipastikan bebas telur Echincoccus spp.
sehingga dapa mengurangi resiko terinfeksi hydatidosis
(Sandy 2014).

Gastroenterology Research and Practice. 2010(2010):1-9.


doi:10.1155/2010/583297
Bidaki MZ, Mobedi I, Nadaff SR. 2009. Prevalence of
Echinococcus spp. infection using coproantigen ELISA among
canids of moghan plain, Iran. Iranian J Publ Health. 38(1):112118.
DAFTAR PUSTAKA
Sandy, Samuel. 2014. Kajian Aspek Epidemiologi Echinococcosis.
Cermin Dunia Kedokteran-215. Vol. 41 (4) : 264-267
Abad BO, Torgerson PR. 2013. A Systematic Review of the
Epidemiology of Echinococcosis in Domestic and Wild Animals.
Plos Neglected Topical Disease [Internet]. [diunduh 2016 Nov
14];
7(6).
Tersedia
pada:
http://journals.plos.org/plosntds/article?
id=10.1371/journal.pntd.0002249
Paksoy M, Karahasanoglu T, Carkman S, Giray S, Senturk H, Ozcelik
F, et al. Rupture of the hydatid disease of the liver into the
biliary tracts. Dig Surg 1998;15:259.
Pan American Health Organization. Pan American Sanitary Bureau,
Regional Offi ce of the WHO. Zoonoses and Communicable
Diseases Common to Man and Animals.3th ed. ISBN 92 75
11993
7-Vol.
2003.
http://www2.paho.org/hq/dmdocuments/2010/ZoonosesVol3.pdf. Diunduh 22 Nopember 2013
Office International Des Epizooties. 2000. Echinococcus/Hydatidosis
Manual of Standard for Diagnostic Test and Vaccines. Pp: 258254.
Eckert
J,
MA
Gemmell,
EJL
Soulsby.
1982.
Echinococcosis/hydatidosis.
Surveillance, Prevention and Control. FAO of The United
Nation. Rome.
Da silva AM. 2010. Human Echinococcosis: A Neglected Disease.

Eckert J, Deplazes P. 2004. Biological, epidemiological, and clinical


aspects of echinococcosis, a zoonosis of increasing concern.
Clinical Microbiology Reviews. 107-135.
Sandi S. 2014. Kajian aspek epidemiologi Echinococcosis. CDK-215.
41 (4) : 264 267.
Acosta-Jamett G, Weitzel T, Boufana B, Adones C, Bahamonde A,
Abarca K, S. Craig P, Reiter-Owona I. 2014. Prevalence and
Risk Factors for Echinococcal Infection in a Rural Area of
Northern Chile: A Household-Based Cross-Sectional Study.
PLOS
Neglected
Tropical
Diseases.
8(8):
e3090.
doi:10.1371/journal.pntd.0003090
Al-Shaibani IRM, Saad FA, Al-Mahdi H. 2015. Cystic echincoccosis in
humans and animals at Dhamar and Taiz governorates,
Yemen. Int J Curr Microbiol App Sci. 4(2):596-609
[CFSPH; IICAB] Center of Food Security and Public Health; Institute
for International Cooperation in Animal Biologics. 2011.
Echinococcosis. Iowa (US): Iowa State University
[OIE] World Organisation for Animal Health. 2011. Echinococcosis or
Hydatidosis. (US)
Pudjiatmoko. 2014. Manual Penyakit Hewan Mamalia. Jakarta (ID):
Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan
Kementerian Pertanian
[OIE] World Organization for Animal Health. 2016. Echinococcosis or
Hydatidosis [internet.[diunduh 2016 November 15]. Tersedia
pada http://www.oie.int/.

Bidaki MZ, Mobedi I, Nadaff SR, et al. 2009. Prevalence of


Echinococcus spp. infection using Coproantigen ELISA among
Canids of Moghan Plain, Iran. Iranian J Publ Health. 38(1):112-8
Brunetti E, Kern P, Vuitton DA. 2010. Expert consensus for the
diagnosis and treatment of cystic and alveolar echinococcosis in
humans. Acta Trop. 114(1): 1-16.
El-Shazly AM, Saad RM, Belal US, Sakr T, Zakae HA. 2010.
Evaluation
of ELISA and IHAT in serological diagnosis of proven cases of
human hydatidosis. J Egypt Soc Parasitol. 40(2): 531-538.
Craig P, Mastin A, Kesteren FV, Boufana B. 2014. Echinococcus
granulosus: Epidemiology and state-of-the-art of Diagnostics in
Animals. Veterinary Parasitplogy 213(3-4) : 132-148.
Sandy S. 2014. Kajan aspek epidemolog Ecinococcosis. Balai
Penelitian dan Pengembangan Biomedis Papua. Jayapura
(ID)

Anda mungkin juga menyukai