Anda di halaman 1dari 146

CLINICAL IMMUNOLOGY IN ELDERLY

A. Guntur H.
* Sub. Bagian Penyakit Tropik Infeksi-Imunologi
Bagian Ilmu Penyakit Dalam
RSUD.Dr. Moewardi / FK. UNS. Surakarta

PENDAHULUAN
Pertumbuhan manusia berkembang menjadi tua ternyata
diikuti pula oleh organ didalam tubuh. Organ dalam tubuh
berkembang fungsi dan efesiensinya dibandingkan pada saat
muda, sebagai contoh glandula tinus yang mengsekresikan
hormon-hormon penting pada saat pertumbuhan. Pada usia lanjut
glandula tinus mengsekresikan timik hormon yang makin lama
makin menurun. Hormon yang disekresikan termasuk growth
hormon (hormon pertumbuhan) dan melatonin juga menurun.
Keadaan ini berhubungan dengan penurunan status imun
penderita yang disebut dengan immunocompromise. Keadaan
immunocompromise selalu berhubungan dengan respon imun.
Apakah menurunnya respon imun mempunyai kontribusi terhadap
morbiditas dan mortalitas pada orang lanjut usia telah dianggap
sebagai hal paling penting pada penelitian-penelitian untuk
mencari hubungan antara abnormalitas pada respon imun tertentu
dan status kesehatan secara umum. Subyek usia lanjut yang
menunjukkan penurunan hitung limfosit absolut mempunyai dua
atau lebih parameter imun yang tersupresi, menunjukkan
penurunan respon poliferasi limfosit atau energi memiliki angka
mortalitas yang lebih, maka perlu pembahasan respon imun pada
usia lanjut.
Dampak immunosenescence tentang kekebalan bawaan
berhubungan dengan depresi imunologi relatif yang dapat
mendukung penyebaran peradangan. Pasien lansia juga telah
meningkatkan jalur apoptosis berkontribusi terhadap kejadian
kematian akibat infeksi berat.

Respon Imun
Respon biologis tubuh baik sistem kekebalan tubuh inate
atau adaptif pada agen eksogen untuk menjaga homeostasis;
1. untuk menetralisir imunogen
2. untuk menghilangkan kerusakan jaringan
3. menghambat berlebihan proliferations

PIT IV PAPDI 2012 1


Sistem Imun
adalah sistem pertahanan tubuh sebagai perlindungan
terhadap infeksi dari makromolekul asing atau serangan
organisme, termasuk virus, bakteri, protozoa dan parasit. Sistem
kekebalan juga berperan dalam perlawanan terhadap protein
tubuh dan molekul lain seperti yang terjadi pada autoimunitas, dan
melawan sel yang teraberasi menjadi tumor.
Terdiri dari :
Inate :
Barrier fisik
Complement
NK Cells
Phagocytoc Cells
Neutrophils
Macropahags
Eosinphils
Mast Cells
Adaptive:
Humoral (B-Cells)
CMI (T-Cells)

Respon Imun Pada Infeksi


Pada usia lanjut terjadi penurunan kapabilitas oleh
produksi limfosit yang berfungsi sebagai Immune Surveilance.
Dengan menurunnya fungsi dan jumlah limfosit tersebut maka
terjadi penurunan pula reaksi terhadap antigen baik yang berada
dalam tubuh atau yang masuk ke dalam tubuh manusia termasuk
kuman-kuman yang masuk ke dalam tubuh yang lebih mudah
menyebabkan terjadinya penyakit infeksi. Terhadap infeksi
responnya juga berkurang, sebagai kenyataan pada usia lanjut
apabila mengalami infeksi bakteri 20% tidak disertai panas tetapi
pada syaraf central sangat sensitif terhadap rangsangan signal
dari bakteri. Dan dalam kenyataan bahwa kurang efektifnya sistem
imun memudahkan terjadinya infeksi dan menyebabkan kematian
pada usia lanjut, dan juga pada penderita usia lanjut sering
mengalami infeksi yang berat (kritis) bila mengalami infeksi
dibandingkan dengan usia dewasa atau usia muda. Sebagai
tambahan, pada usia lanjut terjadi penurunan respon terhadap
vaksinasi influenza streptococcal pneumonie hepatitis B,
tubbercolosis dan tetanus. Sebagian besar usia lanjut menderita
infeksi pada saluran nafas, saluran kencing, dan yang dirawat di
rumah sakit bekas operasi. Resiko sampai dirawat dirumah sakit

2 PIT IV PAPDI 2012


mempunyai penyakit dasar adalah diabetes melitus, COPD
(Chronic Obstructive Pulmonary Disease). (Boas,2004)

Kelainan status mental dan penurunan status mental


mungkin merupakan tanda dari problem lanjut usia dengan infeksi.
Pada penderita lansia yang mengalami peradangan tractus
respiratorius (pneomonia) diperkirakan 90% meninggal dunia.
Infeksi pada tractus urinarius yang menyebabkan bakteri emia,
infeksi saluran kemih lansia asimtomatik sering dijumpai keadaan
ini menyebabkan terapi antibiotika tidak jelas dan tidak terarah,
dapat menyebabkan terjadinya resistensi bakteri terhadap
antibiotika. Resistensi bakteri terhadap antibiotika (ARB) pada
lansia pada umumnya adalah Methicillin-resistant Stapylococcus
Aureus dan Vancomycin resistant; Enterococus. Keadaan ini
sangat penting untuk lansia sebab paparan infeksi merupakan
resiko tinggi di Rumah Sakit (Infeksi Nosokomial) dan institusi
perawatan lansia (Panti Jompo).

Immunosenescence
Immunosenescence mengacu pada kekurangan bertahap
dari sistem kekebalan tubuh yang sifatnya alami. Ini melibatkan
baik kemampuan tubuh untuk merespon infeksi dan
pengembangan memori jangka panjang kekebalan tubuh.
Kekurangan ini terkait usia sebagai fungsi usia mereka relatif
terhadap harapan hidup daripada waktu kronologis [2]. Hal ini
dianggap sebagai faktor penyumbang utama terhadap
peningkatan frekuensi morbiditas dan kematian di kalangan orang
tua.

PIT IV PAPDI 2012 3


Immunosenescence
function of macrophages

expression of TLRs

Innate function of mitogen-activated protein kinases


Immunity production of TNF-alpha and IL-6
production of IL-10
bactericidal activity
nave cells
memory cells CD45Ro+
T-Cells function of mitogen-activated protein kinases
type 1 cytokine response (IL-2, TNF-alpha)
type 2 cytokine response (IL-4, IL-10)
number of B-Cells and plasma cells
polyspecific immunoglobulins with low affinity produced by
B-cells
B1-cells
response to neoantigens

Prostaglandin
Suatu asam yang menyerupai hormon yang mempunyai
pengaruh yang sangat penting pada proses tubuh seperti suhu
dan metabolisme tubuh bisa meningkat pada usia lanjut dan
menghambat kerja sel-sel imun yang penting. Pada orang-orang
yang lebih tua bisa juga lebih sensitif terhadap kerja prostaglandin
dibanding pada orang yang lebih muda yang dapat menjadi
penyebab utama defisiensi imun pada orang tua.
(Prostaglandin diproduksi oleh hampir seluruh jaringan
tubuh.tetapi respon sistem imun lebih baik pada orang tua bila
sistem imun disupresi)

Limfosit T
Penelitian proses menua pada manusia dan binatang,
salah satu perubahan yang paling nyata yang terjadi mulai
adolesen adalah involusi thymus dengan menurunnya hormon

4 PIT IV PAPDI 2012


thymus, seperti thymosin. Berikutnya tampak perubahan pada
limfosit-T, dengan penurunan sel T reaktif atau perawan / virgin
dan meningkatnya sel-T memori atau primed T-cell. Penumpukan
sel memori terjadi pada sel T-helper CD4+ dan sel T-supressor
CD8+. Sedangkan jumlah sel-T naf menurun pada binatang yang
berumur tua, akan tetapi masih memproduksi interleukin (IL)-2
lebih besar daripada sel naif binatang yang masih muda. Meskipun
sel T memori umumnya memproduksi IL-2, beberapa penelitian
menunjukan penurunan produksi IL-2 oleh limfosit binatang tua
dan manusia. Paradoks ini mungkin berhubungan dengan
perubahan sinyal sitokin regulator, seperti IL-4. Pada tingkat yang
lebih mendasar, terdapat kehilangan potensi stem cell untuk
menggerakan sel-T, baik pada tikus maupun manusia.
Penurunan respon proliferasi limfosit merupakan salah
satu perubahan kualitatif yang terkait umur yang paling dini pada
fungsi imun. Respon berlebihan terhadap mitogen berhubungan
dengan berkurangnya sel peka-mitogen ( mitogen-responsive cell )
dan kekuatan responnya. Tikus a dibanding dengan tikus nuda ,
terdapat prosentase yang lebih kecil respon splenosit T terhadap
stimulasi mitogenik dengan memasuki fase aktif replikasi sel,
suatu defek yang tercatat pada sel T-helper CD4+ dan lebih ringan
pada sel-T supresor CD8+. Perbandingan sel yang memasuki
replikasi fase aktif diatur oleh keseimbangan antara gen yang
menstimulasi replikasi dan sintesis DNA dengan gen yang
menghambat sintsesis DNA, mengarah terjadinya apoptosis.
Contohnya, gen p53 suatu regualtor apoptosis yang penting,
ekspresinya kurang pada sel T aktif dari donor yang tua. Mice bred
mengalami defisiensi p53, menunjukan percepatan menua sistem
imun dengan penumpukan dini sel memori dan respon proliferai
menurun.
Sel T-helper tikus tua kurang mampu membangkitkan sel
efektor sitotoksik untuk berperan dalam reaksi hipersensitifitas tipe
lambat. Limfosit sitotoksik tikus tua kurang mampu mengikat
target, meskipun tampaknya cukup efektif menghancurkan target-
nya. Pada manusia, perubahan imunitas seluler mempunyai
implikasi klinik bila berhadapan dengan beberapa macam infeksi.
Respon sitotoksik terhadap vaksin influenza lebih rendah pada
orang dewasa tua daripada orang dewasa muda, dan orang
dewasa tua tamapaknya kurang memiliki subset sel T yang
mampu merespon antigen tersebut. Beberapa mekanisme yang
memperantarai respon ini meliputi, menurunnya produksi IL-2 dan
aktivasi sel-T in vivo dan in vitro. Tikus dewasa lebih peka
terhadap timbulnya pneumonia influenza setelah inakulasi

PIT IV PAPDI 2012 5


intranasal di dalam spuite prevaksinasi. Pada binatang tua terjadi
gangguan fungsi sel-T sitotoksik dan pembentukan antibodi yang
tidak efektif setelah vaksinasi. Virus herpes Zoster menyebabkan
suatu keadaan kulit yang biasanya dinamakan Shingles, yang
timbul secara predominan pada orang dewasa setelah berumur
lebih 75 tahun. Faktor-faktor yang mengendalikan latensi virus
Herpes zoster belum jelas benar, meskipun imunitas seluler yang
diukur hipereaktivitas kulit tipe lambat, dengan meningkatnya usia.
Sementara itu penyakit tersebut diketahui sebagai indikasi status
imunokompromise pada dewasa muda dan segera rekuren, ini
tidak berkaitan dengan keganasan pada masa tua.
Sel supresor binatang tua lebih sulit mengenali dan
menigkatkan efek supresif melawan antigen spesifik dari dirinya
sendiri maupun dari luar. Kegagalan memperkuat inhibisi oleh sel
T-supresor bertanggungjawab terhadap meningkatnya insiden
autoantibodi pada usia lanjut. Meningkatnya insiden autoantibodi
pada usia lanjut telah berkorelasi dengan menurunya proliferasi
sel-T terhadap mitogen.

Limfosit B
Dengan meningkatnya usia, saat ini perubahan pada sel B
tampak lebih nyata daripada perubahan pada sel-T. Jumlah sel B
beredar tampaknya tidak berubah sejalan dengan usia. Penelitian
pada tikus dewasa menunjukan perubahan struktur membran sel
B dan penurunan perkiraan jumlah prekursor sel B di Sumsum
Tulang. Hampir sama dengan apa yang dijelaskan pada sel T, sel
B pada individu tua berproliferasi kurang efektif terhadap
rangsangan mitogen.
Kemampuan sel B membentuk respon antibodi berubah
seiring dengan usia, meskipun kebanyakan berhubungan dengan
penurunan fungsi sel-T. Penuruanan respon antibodi tergantung
sel-T nyata sekali pada penelitian binatang, 80% lebih sedikit sel
pembentuk antibodi pada binatang yang lebih tua. Repertoir sel-B
berubah dengan usia, denagn penuruan kemampuan mengenali
antigen. Penelitian pada tikus menunjukan bahwa imunisasi
dengan sel darah merah biri-biri secara siknifikan berhubungan
dengan dengan peningkatan sel penghasil imunoglobulin M yang
bereaksi dengan antigen sendiri pada binatang tua.akumulasi
antibodi diarahkan untuk melawan antibodi lain, dengan
meningkatnya usia mungkin juga mempengaruhiproduksi antibodi
spesifik.
Kemapuan unutk merespon tantangan antigen spesisik
primer mauopun sekunder menurun karena menua. Sel B dewasa

6 PIT IV PAPDI 2012


tua memproduksi antibodi yang kurang spesifik, bila distimulasi
dengan antigen spesifik in vitro, seperti tetanus toksoid, tanpa
mempertimbangkan asal dan tipenya. Bahkan dewasa tua yang
baru saja diimunisasi, memperlihatkan kadar antibodi yang lebih
rendah in vivo, dan sedikit antibodi yang diproduksi oleh masing
sel B. Salah satu alasan menurunya respon tampaknya
olehkarena lemahnya sel-sel kursor. Subyek yang diimunisasi
ulang menunjukan peningkatan jumlah cell-B producing antibody
specific pada dewasa tuaa dan muda, tetapi dewasa tua masih
mempunyai sel-B yang memproduksi sntibodi spesifik yang
siknifikan. Imunisasi Booster tidak merubah rata-rata antibodi yang
diproduksi per sel-B untuk semua kelompok umur. Setelah
imunisasi dengan vaksin influenza, antibodi yang menghasilkan
isotipe yang penting dalam respon aglutinasi ( khususnya
IgG,IgG1) turun paa orang rua dibandingakan dengan orang
muda.
Meskipun banyak peneliti setuju bahwa perubahan
produksi antibodi yang dijelaskan diatas merupakan akibat
penurunan fungsi Limfosit T, tidak bukti penurunan fungsi dalam
sel-B intriksik. Beberapa penelitian terhadap Murine
memperlihatkan bahwa subset tertentu fungsi sel-B pada kadar
yang secara siknifikan lebih rendah daripada sel yang sama pada
mice muda, sementara subset yang lain memproduksi antibodi
dengan kadar yang sebanding. Mice tua memproduksi jumlah
antibodi sebanding dengan mice muda setelah vaksinasi dengan
phosphocholine, tetapi dengan molecer shift pada repertoir
antibodi. Pada mice tua, gen penyandi variable porsi berat ( heavy
portion ) molekul antibodi berbeda dengan yang ada pada mice
muda. Antibodi yang diproduksi oleh mice tua telah kehilangan
afinitas untuk targetnya dan kurang efektif mencegah infeksi.
Vaksinasi tampaknya juga merangsang produksi antibodi yang
bereaksi silang dengan antigen sendiri pada mice tua, namun tidak
pada mice muda.

DNA Limfosit
Semakin panjang kehidupan individu, semakin banyak
waktu tersedia bagi material genetik untuk melakukan mutasi
somatik, dari kombinasi faktor epigenetik dikombinasi dengan
paparan lingkungan terhadapa bahan-bahan toksik atau yang
berpotensi merusak ( misalnya oksigen radikal bebas ).
Perubahan aktivasi atau inaktifasi DNA sel, seperti metilasi, hasil
ekspresi berbeda berbagai gen yang mempunyai peran
menghambat aktifitas tumor. Kemampuan sel untuk memperbaiki

PIT IV PAPDI 2012 7


kerusakan DNA berinteraksi dengan faktor-faktor tersebut
memepengaruhi perkembangan kanker. Gen yang mengatur
proses apoptosis dapat menetralkan progresitas keganasan.
Kromosom sel T dari orang dewasa tua lebih rapuh
dibanding dengan yang berasal dari orang dewasa muda, dan
tempat tertentu pada kromosom X telah dibuktikan lebih sensitif
terhadap paparan bahan kimia. Beberapa korban selamat bom
atom yang berumur lebih 55 tahun pada saat terpapar radiasi
mempunyai jumlah limfosit yang respon seluler-nya lebih jelek
dibandingkan dengan korban yang berumur dibawah 15 tahun
pada saat terpapar radiasi. Hasil ini dapat mencerminkan
kerentanan sistem imun pada usia tua terhadap radiasi. Dengan
paparan radiasi in vitro, terjadi kerusakan doubled-stranded DNA
yang lebih sedikit pada limfosit orang dewasa tua, tetapi sel
tersebut gagal melakukan perbaikan secara efektif seperti sel
limfosit yang berasal dari donor yang masih muda. Oleh karena
cepatnya akumulasi bukti-bukti keterlibatan radikal bebas pada
proses menua dan neoplasia, terdapat banyak penelitian tentang
antioksidan sebagai stimulan imun atau antikanker atau sebagai
terapi anti-aging. Paparan in vitro sel-T tikus tua terhadap
antiokaidan gluthation memacu proliferasi sel-T pada semua umur,
setidaknya berkaitan dengan blokade produksi eicosanoid.
Pemberian suplemen vitamin E pada individu tua sehat
menyebabkan peningkatan respon tes hipersensitivitas tipe lambat
kulit dan juga meningkatkan produksi IL-2 limfosit. Hal ini
dipostulasikan bahwa vitaamin E menyebabkan efek tersebut
melalui inhibisi faktor supresif seperti prostaglandin E2. Penelitian
plasebo terkontrol atas suplementasi vitamin pada individu tua
yang sehat dihubungkan dengan peningkatan yang nyata dari
beberapa parameter imunitas dan penurunan laju infeksi. Setelah
1 tahun penelitian tidak menampakan adanya efek terhadap
kejadian kanker.

Kanker
Salah satu fungsi sitem imun dipostulasikan sebagai
proteksi organisme terhadap timbulnya malignansi. Teori
Immune Survaillance bertujuan bahwa sistem imun seluler
secara konstan melukan survei dan mengeleminasi malignansi
ketika malignasi tersebut muncul dan bahwa klinis kanker
menujukan kegagalan sistem tersebut ( sistem imun). Sehingga
orang usi lanjut atau individu lain denga depresi sistem imun
sepantasnya mempunyai insiden malignansi yang lebih tinggi dan
usia lanjut mempunyai resiko paling tinggi timbulnya kanker.

8 PIT IV PAPDI 2012


Pengamatan terhadap berbagai spesies murine
menunjukan hubungan antara perubahan imunitas karena umur
dan kejadian kanker.sebagai contohnya, mayoritas tikus normal
Short-lived New Zeland Balck ( NZB) timbul ekspansi clone sel B
malignan setelah berumur 12 bulan, ini mirip dengan transformasi
malignan sel B yang terlihat pada CML ( chronic Limfositic
Leukemia ). Tikus yang mengalami mutasi sel T pada gene
pengatur apoptosis juga terjadi malinansi pada sel B. Defisiensi
gen tersebut juga berkaitan dengan switching sel dari Th2 ke
Th1, sehingga sel yang mensekresi IL-4,IL6 dan IL-10 menjadi
sedikit.
Faktor waktu menjadi hal yang sangat penting dalam
menjelaskan mengapa kanker lebih sering terjadi pada orang
lanjut usia. Orang yang berumur panjang bisa timbul kanker karea
terdapat cukup waktu untuk melanjutkan proses mutasi yang
selanjutnya menyebabkan malignansi, misal dari kolon normal
menjadi hiperproliferasi, edenoma dini hipometilasi DNA ),
adenoma lambat (kehilangan DCC), karsinoma ( kehilangan p53 )
penyakit metastase. Terjadi peningkatan variabilitas pola metilasi
DNA dengan bertambahnya waktu, phenomena yang tampak
pada sel yang menua dan neoplasma. Perubahan berkaitan
dengan waktu yang normal pada jaringan yang suseptibel bisa
menyebakan timbulnya tumor tertentu seperti tumor payudara
yang tergantung hormon, tumor ovarium, endometrium, dan juga
limfoma non hogkins.
Berdasarkan keadaan tersebut diatas, bahwa pada usia lanjut
lebih mudah terjadi penyakit infeksi dan keganasan disebabkan
oleh karena menurunnya fungsi-fungsi sel-sel imun. Maka akan
dijelaskan peran dari sel imun.

Macrophage
Fungsi macrophage pada usia tua ( aging ) telah diteliti.
Penelitian awal beranggapan bahwa tampaknya memproduksi
level yang sama dengan sitokin, dan bahwa perbedaan dalam
fungsi mungkin dimodulasi melalui perubahan dalam respon sel B
dan sel T terhadap bahan tersebut. Penelitian yang lebih baru
pada monosit manusia telah menunjukan peneurunan skresi IL-1
dengan rangsangan mitogen. Penelitian terhadap penyembuhan
luka pada kulit tikus juga menganggap adanaya penurunan fungsi
macrophage seiring dengan usia, dengan pemanjangan
penyembuhan luka pada binatang yang tua. Penambahan
macrophage peritoneal dari binatang dari umur berbeda kepada
luka pada binatanmg tua mempercepat penyembuhan, tetapi

PIT IV PAPDI 2012 9


macrophage dari binatang yang muda mempercepat
penyembuhan dengan derajat lebih besar.
Penelitian baik terhadap fungsi makrophage manusia atau
tikus pada proses penuaan, menganggap adanya defek interaksi
sel-T makrofag. Makrofag tikus tua yang dilakukan sensitisasi
dengan antigen merangsang proliferasi sel-T lebih rendah
dibandingkan dengan yang berasal dari tikus muda. Szakal dkk,
telah mendapatkan compromise yang berkaitan dengan usia pada
kemampuan sel dentritik untuk merangsang pembetukan germinal
center folikel limfosit tempat dmana sel B berkembang. Sel T dari
dewasa tua mampu berfungsi pada tingkat yang sama dengan
yang berasal dari dewasa muda bila makrophage digantikan
dengan sumber aktivasi lain, yang dianggap sebagai defek
komunikasi sel T makrophage. Monosit yang berasal dari dewasa
tua lebih memperlihatkan sitotoksisitas yang lebih rendah melawan
sel tumor tertentu bila dibandingkan dengan monosit yang berasal
dari dewasa muda, menurunkan produksi reactive oxygen
intermediate ( H2O2 dan NO2 ) dan sekresi IL-1 yang lebih
rendah. Penurunan sekresi tersebut teramati bila distimulasi
dengan mitogen nonspesifik.

Natural Killer Cells


Natural killer (NK) cell adalah sel sitotoksik yang berbeda
dengan sel-T sitotoksik dalam hal kemampuannya melisiskan
target tanpa memerlukan sensitisasi antigen. Lymphokine
activated killer ( LAK) cell, atau menjadi sel NK yang teraktivasi
tinggi mampu melisiskan sel tertentu yang resisten terhadap sel
NK. Sel NK tikus murine memperlihatkan penurunan kemampuan
melisiskan sel limpa yang berhubungan dengan usia. Banyak
penelitian terdahulu beranggapan tidak terdapat perubahan
kemampuan sitotoksik sel NK, sedangkan penelitian-penelitian
saat ini menunjukan hasil yang berbeda. Jumlah sel NK
tampaknya meningkat, sedangkan aktivasinya menurun.
Penurunan aktivitas tersebut disebabkan oleh peningkatan
ekspresi reseptor Ly-49, yang menghambat aktivasi NK.

Interleukin
Respon terhadap IL-2 telah banyak diteliti sebagai salah
satu mekanisme potensial yang mendasari defek imunitas seluler
yang berkaitan dengan usia/menua. Beberapa laboratorium telah
menunjukan penurunan produksi IL-2 setelah stimulasi mitogen,
peneruanan densitas ekspresi resptor IL-2, penuruan ekspresi IL-2

10 PIT IV PAPDI 2012


mRNA dan penurunan proliferasi sel-T sebagai respon IL-2.
penelitian lain beranggapan bahwa ganbaran tersebut mungkin
lebih kompleks, dengan defek pada produksi atau sensitifitas IL-2
yang bervariasi terhadap berbagai sinyal pengaktifasi ( activating
signal) . beberapa peneliti lain menemukan hal yang tidak jauh
berbeda pada proliferasi sel-T atau produksi IL-2 bila memori sel-
T oran tua dan muda distimulasi dengan berbagai activating
signal. Sel-T CD4+ tikus tua mengakumulasi trankrip IL-2 dalam
kadar yang hampir sama, dianggap sekresi IL-2 lebih rendah
dibanding pada sel tikus muda.
IL-1 dan IL-2 memainkan peran penting dalam aktivasi,
perekrutan, dan proliferasi limfosit T. Sel T-teraktivasi terus
memproduksi berbagai pertumbuhan sel ( cell growth ) dan faktor-
faktor deferensiasi seperti IL-4, IL-6 dan IFN-. Beberapa bukti
telah terkumpul bahwa terdapat penurunan produksi limfosit dan
penurunan respon terhadap sitokin yang terkait dengan umur,
sepertiIL-1 dan TNF. Monosit manusi yang telah berumur
mensekresi IL-1 lebih sedikit ketika distimulasi dengan
lipopolisakarida , meskipun tampaknya memproduksi prekursor IL-
1 dalam jumlah sepadan. Pada keadaan kultur limfosit yang
bercampur ( mixed limphocytes cultur ), limfosit dari individu tua
menhgasilakn IL-1, IL-2, dan TNF dengan kadar yang lebih
tinggi dari individu muda sehat. Pada beberapa penelitian, limfosit
dari binatang tua tidakdistimulasi sama heabtnya oleh IL-4
sebagaimana limfosit binatang ( tikus ) muda, atau oleh kombinasi
cf IL-4 dan anti-IgM.
Sel T memori Murine dari binatang yang tua memproduksi
IL-4 lebih sedikit dibanding binatang muda. Sel T CD4+ tikus muda
lebih senstif terhadap efek stimulasi IL-4 eksogen ( menghasilkan
kadar IL-2 lebih tinggi dari pada CD4+ tikus tua ) pada sistem yang
hampir sama. Penghambatan efek yang ditimbulkan oleh IL-4
endogen menigkatkan kadar IgM anti influenza spesifik dan IgG1
pada tingkat yang sama dengan yang ada pada binatang muda
pada respon antibodi primer, suatu efek yang juga terlihat pada
penghambatab IFN- dan IL-10 endogen. Didapati pula bahwa
limfosit individu tua menghasilkan dalam jumlah sedikit IL-4
dengan stimulasi antigen spesifik dibanding limfosit dari individu
muda, juga limfosit individu tua kurang sensitif terhadap inhibisi
oleh produksi antibodi spesifik ketika IL-4 ditambahkan lebih dini
pada jalur stimulasi dengan antigen spesifik hampir sama dengan
yang didtemukan pada tikus.
Penelitian lain tidak mendapatkan perbedaan antara
limfosit individu tua dengan individu dewasa muda dlam hal

PIT IV PAPDI 2012 11


kemampuanya memproduksi IL-4 atau IL-6 ketika distimulasi
dengan phytohemaglutinin mitogen. Pada model ini, limfosit dari
individu tua IFN- secara signifikan lebih sedikit. Beberapa
penelitian kultur Sel-T manusia menggunakan sinyal aktivasi yang
berbeda menunjukan peningkatan produksi IL-4 dan IFN- oleh sel
tua.
Toksisitas sel-NK dipengaruhi oleh IFN- secara berbeda-
beda tergantung usia donor. Sel-NK yang diinkubasi dengan IL-2
mensekresi IFN- lebih sedikit dari pada yang berasal dari
individu dewasa muda tanpa perubahan aktifitas sitoksisitasnya..
Peneliti lain melaporkan meningkatnya IFN- pada limfosit
manusia dan kultur sel-T CD4+. Dibandingkan dengan sel donor
muda, sel dari donor tua lebih sensitif terhadap kombinasi IL-2 dan
IFN-. IFN- mRNA dan sintesis IFN- meningkat dalam sel T
dari donor yang tua.
Beberapa peneliti talah menjelaskan peningkatan kadar IL-
6 pada tikus tua, kera, dan manusia dewasa, sementara penelti
lain mengamati tidak ada [erbedaan pada kada r dalam sirkulasi.
Makrophage peritoneal tikus tua dan kultur in vitro sel B manusia
memproduksi kadar IL-6 lebih tinggi dari pada makrophage dari
tikus muda ketika dirangsang dengan mitogen. Kadar IL-6
meningkat pada kultur limfosit yang tidak distimulir paa manusia
tua atau tikus. Penelitian lain gagal menunjukan perbedaan
produksi IL-6 oleh limfosit dari manusia dewasa tua in vitro.
Perubahan produksi neutrophil kemoatraktan IL-8 telah
dijelaskan dalam perbandingan dari dewasa tua dan muda.
Limfosit dari dewasa tua memproduksi IL8 secara spontan lebih
sedikit, suatau perbedaan yang tampak secara primer
berhubungan terhadap sel yang tidak responsive dari laki-laki tua.
Terdapat penurunan (reduksi) pada pagositosis. Kemudian usia
lanjut berhubungan dengan penurunan fungsi dari pada netrofil.
(Butcher, 2003). Bila limfosit tersebut dirangsang dengan mitogen
lipopolisakarida, sel dari laki-laki dewasa tua meningkatkan
produksi IL-8 lebih dari 8 kali, sementara pada wanita tua tidak
menunjukan peningkatan. Limfosit dari subyek muda pada kedua
jenis kelamin tersebut ( laki-laki dan wanita ) meningkatkan
produksi IL-8 tetapi dalam tingkat yang sangat sedikit.
Meningkanya suceptibilitas terhadap infeksi Mycobacterium
Tubercoulosa yang ditunjukan oleh tikus tua dikaitkan denga
kadar IL-12 yang l;ebih rendah pada paru, dipsotulasikan
berhubungan dengan penurunan fungsi sel T CD4+. Sel-sel
tersebut terlambat mengekspresikan marker adhesi permukaan
yang menyebabkan perpindahan menembus sel endotel ke

12 PIT IV PAPDI 2012


tempat infeksi yang aktif. Perubahn pada sitokin yang lain dengan
penuaan mungkin juga berperan dalam meningkatnya penyebaran
penyakit pada binatang tua. Penelitian lebih lanjut, beranggapan
bahwa defeki utama terletak pada penurunan populasi sel-T. Sel
CD4+ dari tikus muda melindungi tikus tua dari infeksi , suatu
anggapan bahwa asanya fungsi yang adekuat dari makrophage
tua. Sampai disini, tidak jelas yang mana perubahan interleukin
yang berhubungan dengan usia yang paling penting. Tentunya
defek yang digambarkan pada IL-2 beberapa diantaranya
merupakan mekanisme yang fundamental yang mendasari
perubahan pada aktivasi dan fungsi limfosit awal dan hal itu telah
terhubung kepada meningkanya susceptibilitas terhadap penyakit.
Mungkin juga perubahan pada tahapan yang mengarah pada
komitmen limfosit untuk memproduksi profil spesifik sitokin akan
membuktikan sesuatu yang lebih penting daripada sekedar
perubahan pada sitokin tertentu, meskipun perbedaan laporan
penelitian tetap berlanjut, misalnya jalur mana sesungguhnya yang
dominan pada proses menua.

Aktivasi Sel dan Trasnduksi Sinyal Membran.


Respon proliferasi sel-T terhadap berbagai rangsangan
akibat dari interaksi yang kompleks antara makrophafge dan sel-T
atau Antigen Presenting Cel ( APC) yang lain. Mitogen atau
antigen diproses oleh APC dan kemudian terikat dan cross link
dengan resptor antigen Sel-T. Hal inni mengakibatkan aktivasi
phospolipase C, memecah membran phospatidilinositol phospate,
dan pelepasan inositol triphopate dan diacylglycerol. Inositol
triphospate dan mungkin juga inositol tetraphospate memainkan
peran penting dalam peningkatan kalsiu intraseluler. Diacylglycerol
terikat dan mengaktifkan protein kinase C yang lebih lanjut
diaktifasi oleh peningkatan kalsium bebas. Sejumlah protein
kinase yang lain telah juga diidentifikasi dan berperan dal;am
aktivasi sel.
Aktivasi protein kinase C mengarah kepada meningkatnya
transkripsi dan urutan traslasi kode gen untuk IL-2 dan
reseptornya. IL-2 kemudian sebagai growth factor autokrin sebaik
parakrin, diproduksi oleh sel yang sama. Paparan terhadap
reseptor IL-2 menghubungkan sel-T kepada IL-2 menyebakan
proliferasi. APC seperti monosit membantu sel-T memproduksi
dan mencerap IL-2 oleh antigen presenting yang menepati
reseptor sel-T. APC ini mensekresi IL-1 dan monokin yang lain
yang memberi sinyal tambahan yang penting untuk melengkapi
aktifasi sel-T.

PIT IV PAPDI 2012 13


Beberapa laboratorium telah melakukan hipotesa bahwa
penurunan respon proliferasi limfosit pada penuaan berhubungan
dengan kelainan transduksi sinyal pada membran dalam
merespon berbagai rangsangan. Penelitain pada beberapa strain
tikus ditemukan penuruan metabolisme kalsium yang
berhubungan dengan defek proliferasi. Rangsangan mitogen
menyebabkan peningkatan dalam jumlah yang lebih kecil pada
kadar kalsium intraseluler rata-rata daripada sel T tikus muda. Hal
ini berkorelasi dengan perubahan dari phenotip naive menjadi
phenotip memori, dengan sel memori menunjukan lebih resisten
terhadap mitogen, menurunkan phosporilasi tirosin dari
phospolipase C-gamma1 dan menurunkan kemampuan
memproduksi dan mencerap IL-2. Pada penelitian tersebut tidak
didapatkan perubahan produksi inositol triphospat. Akantetapi
pembentukan inositol triphospat berkurang neutrofil darah perifer
manusia.
Limfosit T binatang tua yang mempertahankan
kemampuan untuk berproliferai terhadapa mitogen mempunyai
kemampuan memobilisasi kalsium yang meningkat atau normal
dibandingkan dengan yang berasal dari binatang muda. Hasil yang
hampir sama juga ditemukan pada limfosit darah tepi manusia dan
sel T tesiloasi dimana, penurunan metabolisme kalsium
merupakan faktor defek proliferasi pada subpopulasi sel T,
sedangkan pada subpopulasi yang lain tidak.
Aspek lain sinyal transduksi berubah pada penuaan.
Kadar dan durasi aktivasi protein kinase oleh mitogen secara
siknifikan berkurang pada usia tua. Analisa protein menunjukan
kadar isoenzim protein kinase C alpha secara siknifikan berkurang
pada sel-T tua meskipun perangkat fungsionalnya sebanding
dengan yang berasal dari sel muda. Pada sel T tikus tua
diremukan penurunan phosporilasi 16 phospoprotein yang secara
giat diphosporilasi pada sel tikus muda. Sebagai tambahan
terhadap parotein phospokinase, terdapat gangguan phosporilasi
protein tirosin kinase baik pada sel T CD4+ atau sel T CD8+ dari
binatang tua. Ekspresi nyata protein kinase C tanpak tidak
berkurang pada sel-sel tersebut. Transkripsi faktor nuklear
menurun pada sel tua yang berhubungan dengan penurunan
produksi IL-2. Hal ini dipostulasikan berhubungan dengan
kegagalan transduksi sinyal, karena ekpsresi nuklear faktor tetap
bertahan dengan penuaan.

14 PIT IV PAPDI 2012


Kepustakaan
1. SK. Marthur, et al. 2008. Age Related Changes in
eosinophil function in human subjects. Chest, 2008
Feb;133(2):412-9
2. A.Anshu, A.Sudanshu. 2007.Altered Innate Immune
Functioning of Dendritic Cells in Elderly Humans : A role of
Phosphionositade 3-Kinase-Signaling Pathway. The
Journal Immunology, 2007, 178:6912-6922
3. A.Edith. Burns, MD. 2001. Improving The immune System
Response. Medical College of Wisconsin.
4. NCJ. Bellei, E.Carraro. 2006. Risk Factors for Poor
Immune Response to Influenza Vaccination in Elderly
People. The Brazilian Journal of Infectious Diseases
2006;10(4):269-273.
5. Molina MG. 2007. Immune Response and
Immunosuppressive Therapy in Elderly Kidney Transplant
Recipients. Trends in Transplantation 2007;1:121-8
6. J.Nowroozi; A.Mirgalili; K Pooshang Bagheri.2004. Study
on Nutrition Status and Urinary Tract Infection in Elderly
People at Nursing Home. Iranian J Publ Health, 2004, Vol.
33, No. 3, pp.36-39.
7. J.Kenneth M.D.Gorelick, 2005. Respiratory Syncytial Virus
Infection in Elderly Adults. The new england journal of
medicine 353;4
8. S.K. Butcher, V. Killampalli. 2003. Effect of age on
susceptibility to post-traumatic infection in the elderly.
Human Aging: From the Bench to the Clinic : 449
9. Boas P. and Ruiz T.2004. Occurrence of hospital infection
among interned elderly in a university hospital. Rev Saude
Publica 2004(38):3
10. Guntur A.H, 2008. Clinical Immunology in Aging.
Simposium Geriatri Semarang 2008.
11. Guntur A.H, 2011. Sepsis In Ederly. Simposium Geriatri
Semarang 2011.

PIT IV PAPDI 2012 15


MASA DEPAN GERIATRI DI INDONESIA

H.Hadi-Martono

Abstract :
Demographically the number of the elderly population in Indonesia
in the last decade and in the near future will increase
tremendously.Kinsella nd Tauber notes that between 1990-2025
the increase in Indonesian elderly population show the highest
presentation among other countries in the world,that is 414%.This
figure together with epidemiologic figure absolutely indicated that
Indonesia is urgently needs the geriatric service and so are the
geriatric medicine science as the backbone of the service.The
other reason to encourage the development of geriatric service are
the needs and the the acceptance by some of the stake-
holdersof geriatric service,those are,the patients and societies,
the (medical) proffessionals,and government authorities (some
levels).From the practice shown up to the moment,it is evident that
the needs and acceptance of the patients and societies of the
geriatric service is very significant.Since year 2000,the Indonesian
Medical Association have acknowledged PERGEMI/ISOMEG as
one of its member.The Central government(medical )authorities)
i.e. the Ministry of Health, due to the demographic and
epidemiologic facts,is mandatorily need the geriatric service,so do
the health authorities at the provinces and regency/city.However it
is noted that some hospital authorities still reluctant in allowing the
right geriatric approach to practicing in their hospitals,either due
to ignorancy or by an irrational aliby that their hospital is not yet a
subspecialistic hospitals.This facts should be addressed
appropriately by the PERGEMI.
Key-words:demographic,epidemiology,patients and societies,
government authorities,medical proffesionals,future of
geriatric medicine

16 PIT IV PAPDI 2012


Pendahuluan:
Dengan pertambahan jumlah usia lanjut di Indonesia (60
tahun),maka disiplin ilmu geriatri diharapkan akan berkembang
dengan baik.Walaupun demikian terdapat berbagai syarat agar
geriatri benar benar berkembang dengan baik.Tinjauan berikut ini
akan menggambarkan dengan singkat syarat syarat apa saja yang
diperlukan agar perkembangan geriatri tersebut dapat berjalan
sesuai dengan harapan masyarakat,Negara dan kalangan
ilmuwan yang saat ini berkecimpung dalam bidang tersebut.
Seperti diketahui alasan pendidikan Geriatri di Indonesia adalah
(Boedi-Darmoyo,1980):
- Alasan Demografik
- Pancasila (Sila I dan ke-2)
- Penderita Geriatrik biasanya adalah pelopor/perintis
berdirinya NKRI
- Alasan Ekonomi Kesehatan
- Alasan perkembangan ilmu
Berbagai alasan untuk adanya pendidikan geriatri tersebut
belum mencukupi untuk dapat menyebabkan perkembangan
pelayanan dan ilmu geriatri berjalan dengan baik.Secara umum
syarat syarat tersebut adalah apa yang seringkali disebut sebagai
needs and acceptance dari:
*Aspek demografi
* Aspek epidemiologi
* Aspek dari para professional
* Aspek masyarakat
*Aspek kebijakan berbagai otoritas ke-Pemerintah-an

I.Aspek Demografik:
Seperti juga alasan pendidikan geriatri,masa depan pelayanan dan
pengembangan geriatri di Indonesia,juga tergantung pada statistik
demografik. Dalam kedua hal tersebut,statistik menunjukkan
bahwa perkembangan penduduk/populasi usia lanjut di Indonesia
dalam decade terakhir dan dimasa mendatang adalah sangat luar
biasa.Antara 1990-2025 penduduk usia lanjut Indonesia dalam
prosentase akan meningkat sebanya 414%,yang merupakan
prosentase tertinggi diseluruh dunia.Pada tahun 2010 yang
lalu,jumlah populasi lansia kurang lebih sama dengan populasi
Balita.Pada tahun tersebut jumlah Balita adalah sekitar 19.720,800
(8,4%) sedangkan Lansia sekitar 17.303,900(7,4%)-(Susenas
1990 dan LDFEUI,1990).Dari Lembaga yang sama jumlah
populasi Lansia sekitar 10% populasi,sedangkan Balita turun
menjadi 7,6% populasi.Dari World Population and its composition

PIT IV PAPDI 2012 17


by countries, menunjukkan bahwa populasi Lansia akan
meningkat sekitar 70-80% setiap 20 tahun.Tahun 1960(4,565
juta),tahun 1980 (8.012 juta),tahun 2000(14,908 juta),tahun
202025,563 juta).(Karena kedua golongan populasi ini merupakan
populasi dengan angka morbiditas dan mortalitas tertinggi diantara
golongan populasi lain,maka pada tempatnyalah kalau pemerintah
mulai memberi perhatian lebih pada populasi lansia ini.Data
demografik yang lain bisa dilihat berikut ini.Melihat angka angka
tersebut,maka secara demografik jelas sangat diperlukan
pelayanan dan pengembangan ilmu geriatri.
Indonesia
Indonesia 414
Co lo mb ia 349
Kenya 347
Sing ap o re 340
Thailanda 337
Co st a Rica 327
321
Lib eria 303
295
M exico 290
279
Zimb ab we 271
257
B razil 255
254
M o ro cco 250
247
Ind ia 242
242
Sri Lanka 238
238
China 220
219
M alawi 194
146
Canad a 141
137
Cub a 130
129
Jamaica 126
121
Israel 120 Projected percentage increase
101
New Zealand 100 in the elderly population, 1990-2025
97
Luxemb urg 96
82
Greece 66
66
65
France
63 Developing country
Hung ary 63
59
B elg ium 54 Developed country
50
Denmark 47

No rway 40
35
45
Kinsella & Taeuber, 1993
Swed en 33 7
0 50 100 150 200 250 300 350 400 450

2.Data Epidemiologik:Karakteristik dari kesehatan pada populasi


usia lanjut adalah bahwa biasanya penyakit yang diderita bersifat
multi-patologik,kronis, degeneratif dan saling kait-
mengkait,walaupun disaat yang sama penyakit infeksi masih tetap
signifikan.Berbagai penelitian yang kami adakan beberapa tahun
yang lalu sudah menunjukkan bahwa saat itu Indonesia sudah
mulai memasuki episode kesehatan populasi lansia.Jumlah
penyakit/masalah kesehatan per penderita pada penelitian di
Bangsal Geriatri pada tahun 1994 bahkan mencapai 7,2
penyakit/penderita.Penyakit infeksi masih memegang prosentase
terbanyak,disertai mulai banyaknya penderita penyakit
degeneratif. (Hadi-Martono,1995).Berbagai laporan dari banyak
rumah sakit di Indonesia juga mencatat makin dominannya jumlah
penderita usia lanjut dibanding populasi lain.

18 PIT IV PAPDI 2012


Penyakit yang diderita oleh LANSIA
Di Masyarakat:1991(R.Boedhi-Darmojo-Hadi-Martono(Smg
dan Ungaran)
Metodologi Obyektif,60 thn :-Katarak
-Rematisme
-Hipertensi
-Peny.Jtng Hipertensif
Peny.Jntng lain
-Diabetes mellitus
-Stroke/CVD
Rata-rata terdapat 3,9 penyakit/penderita

Di Rumah sakit:Bag Geriatri RS Dr.Kariadi 1993-1994(Hadi-


Martono)
Metodologi-retrospektif,60thn:-Infeksi
-Peny.Jantung Iskemik
-PPOM
-Stroke
-Gangguan Mata
-Hipertensi
Rerata jumlah penyakit/penderita 7,2 penyakit

Aspek epidemiologik diatas juga menunjukkan peningkatan


kebutuhan akan layanan kesehatan pada populasi usia lanjut,atau
dengan perkataan lain,layanan geriatrik.

3.Aspek para profesional:


Profesi kesehatan dalam hal ini IDI dan berbagai
organisasi dibawahnya sejak Kongres IDI di Malang tahun 2000
telah menerima keberadaan PERGEMI sebagai organisasi profesi
medis yang mewadahi keberadaan para profesional yang berminat
dibidang geriatri,termasuk dalam hal ini adalah disiplin ilmu geri-
atri.Walaupun secara individu masih ada ke-engganan dalam
menerima ilmu geriatri sebagai pengampu aspek klinik,secara
keseluruhan organisasi profesi mendukung peningkatan geriatri di
masa depan.PERGEMI sendiri sebagai wadah seminat dari
gerontologi medik cukup banyak mendapat perhatian dari
masyarakat professional maupun awam.Sampai saat ini sudah
berdiri setidaknya 14 cabang PERGEMI,yang banyak diantaranya
aktif mengadakan kegiatan ilmiah untuk dokter maupun awam,dan
kegiatan ilmiah tersebut cukup banyak diminati.
4.Aspek masyarakat:
Masyarakat sedikit demi sedikit memahami peran geriatri
dan disiplin ilmu geriatri sebagai pengampu masalah kesehatan
yang khas pada usia lanjut.Terutama dikota-kota dimana
pelayanan geriatri ini sudah diselenggarakan oleh rumah sakit
setempat,jumlah penderita usia lanjut,baik yang datang di poliklinik

PIT IV PAPDI 2012 19


rawat jalan maupun dirawat di unit rawat inap geriatri meningkat
dengan sangat pesat.Hal ini tidak terlepas dari upaya penjelasan
dan ceramah ceramah tengtang geriatri yang di koordinasi oleh
PERGEMI setempat.
Secara singkat dapat dikatakan bahwa mashyarakat
sangat mendukung dan akan mendorong pelayanan dan
perkembangan ilmu geriatri di masa yang akan datang.
4.Kebijakan berbagai otoritas pemerintahan:
Secara umum dapat dikatakan bahwa otoritas
pemerintahan mulai dari Kementerian Kesehatan sampai jajaran di
tingkat propinsi maupun kabupaten dan kotamadya mendorong
dan mendukung keberadaan pelayanan geriatri mulai dari
berbagai tingkat rumahsakit,Puskesmas maupun
Posyandu.Menteri Kesehatan RI dalam sambutannya dalam
rangka Hari Kesehatan Nasional 7 April 2012,yang mengambil
topik:Aging and Health dan tema:Good Health adds life to
yearsmenyinggung tentang telah diterbitkannya Peraturan
Pemerintah no.43 tahun 2004 tentang Pelaksanaan Upaya
Peningkatan Kesejahteraan Usia lanjut,yang mencakup pelayanan
keagamaan,mental spiritual,pelayanan keshatan dan pelayanan
umum serta kemudahan dalam penggunaan fasilitas umum bagi
lansia,disamping Undang-undang ttg Kesejahteraan Lanjut Usia
tahun 1998.Fakultas-fakultas Kedokteran di Universitas Negeri
biasanya sudah memasukkan kurikulum geriatric dalam kurikulum
mereka.
Pemerintah Propinsi maupun pemerintah Kabupaten/Kota
tentu saja mendukung dan menjalankan kebijakan Kementerian
Kesehatan tersebut dengan menyelenggarakan pelatihan bagi
petugas Puskesmas dan RS daerah dalam pelayanan
Geriatri,dimana peran Divisi Geriatri di berbagai daerah selalu
dilibatkan.
Yang masih menjadi kendala dibeberapa tempat adalah
kebijakan otoritas rumah sakit di daerah,yang seringkali tidak
mendukung pendekatan geriatri yang benar bisa dijalankan
dengan baik di rumah sakit nya.Rumah Sakit Dr.Kariadi yang telah
mempunyai unit Geriatri,ternyata pelaksanaan pendekatan
geriatrik tidak berjalan dengan baik,dengan alasan di rumah sakit
tersebut masih mendasarkan pelayanan-nya pada tingkat spesialis
dan bukan sub spesialis. Rumah Sakit Daerah Purwokerto
menjalankan bagian Geriatri dengan tidak benar mungkin oleh
karena ketidak-tahuannya tentang bagaimana pelayanan geriatri
yang baik dan benar harusnya dijalankan.Dalam hal ini
pendekatan PB PERGEMI pada fihak fihak otoritas yang lebih

20 PIT IV PAPDI 2012


tinggi ( c.q.Kementerian Kesehatan) masih diperlukan agar
pelaksanaan pendekatan geriatri di rumah-rumah sakit
disesuaikan dengan pedoman yang telah disusun.Walaupun
demikian,secara umum dapat di katakan bahwa dukungan dari
otoritas pemrintah di masa depan akan bersifat positif bagi
pengembangan geriatri.
PENUTUP:
Secara demografik,epidemiologik,ekonomi kesehatan dan
berbagai hal lain sangat mendukung perkembangan ilmu dan
pelayanan geriatri di masa depan. Peningkatan populasi usdia
lanjut di Indonesia yang sangat signifikan,dengan karakteristik
yang khas memerlukan pendekatan yang khusus pula,yaitu
pendekatan geriatrik.Alasan alasan tersebut diatas ditunjang
dengan perhitungan ekonomi kesehatan dan perkembangan
ilmu,serta kebutuhan masyarakat akan menyebabkan masa depan
yang cerah bagi geriatri di Indonesia.Walaupun demikian masih
terdapat kengganan dari beberapa otoritas rumah sakit terhadap
pelaksanaan geriatri yang baik dan benar,yang tentu saja
memerlukan perhatian dari PB PERGEMI untuk dibahas bersama
ditingkat yang lebih tinggi.Semoga

Kepustakaan :
1.Boedhi-Darmoyo,R:Beberapa fakta tentang geriatriPidato
pengukuhan sebagai guru besar tetap FK UNDIPSemarang
2.Boedhi-Darmoyo,R:Demografi dan epidemiologi usia
lanjutBuku Ajar Geriatri edisi 1-3,BP FKUI,1996-2004
3.Hadi-Martono:Sejarah Geriatri di IndonesiaBuku Ajar Geriatri
ed.5(in press) BP FKUI,2012
4.Woo,J:Geriatrics in the rest of the worldFillit,RF,Rockwood and
Woodhouse,K (eds)in Brocklehurst Textbooks of Geraitric
Medicine and Gerontology 7th eds,Elsevier Publ,2010
5.Komunikasi pribadi dengan beberapa dokter/rumah sakit di
Indonesia

PIT IV PAPDI 2012 21


Diabetic Management in Elderly Focused
on Nutrition and Dislipedemia with Statin

Sumarmi Soewoto, A. Guntur H

Sub Bag. Geriatri SMF Ilmu Penyakit Dalam


FK UNS / RSUD Dr.Moewardi Surakarta

PENDAHULUAN
Diabetes pada usia lanjut terjadi karena perubahan
komposisi tubuh oleh proses menua umumnya bersifat fisiologi,
turunnya fungsi sistem endokrin dalam mempertahankan toleransi
glukosa. Menurunnya jaringan otot menyebabkan turunnya
kecepatan ambilan glukosa, berakibat kadar gula darah meninggi.
Pada usia lanjut cairan tubuh menurun ini berakibat meningkatnya
kadar gula darah. Pada usia lanjut dapat terjadi gangguan nutrisi
dimana dapat berlebih gizinya maupun kekurangan gizi.
Di negara-negara maju status gizi usia lanjut mempunyai
kecenderungan berat badan berlebih (obes), sedang di negara
berkembang cenderung berat badan turun bahkan usia lanjut ini
menderita devisiensi zat-zat gizi baik makro maupun mikronutrien,
kekurangan energi dan protein, dan kekurangan gizi mikro,
mineral, dan vitamin. Pada usia lanjut kesehatan dan gizi
tergantung dari sumber daya yang menyertainya.
Pada usia lanjut berdasarkan timbulnya diabetes dapat
dibedakan menjadi 2 kelompok yaitu : Yang pertama kelompok
penderita diabetes yang timbul sejak usia dewasa, karena
resistensi insulin yang akhirnya timbul defect produksi insulin.
Yang kedua kelompok diabetes yang terkait umur.
Diabetes Pada Usia Lanjut
Di dalam pengalaman, terdapat kendala-kendala untuk
menentukan seorang usia lanjut menderita diabetes yaitu :
1. Berkurangnya kemampuan penderita usia lanjut untuk
menyatakan keluhan yang dirasakan.
2. adanya gangguan multi organ serta multi patologi pada
usia lanjut dapat mengaburkan kecurigaan adanya
diabetes melitus.

22 PIT IV PAPDI 2012


Gejala-gejala diabetes melitus yang tidak dapat dideteksi pada
usia lanjut :
1. Penurunan berat badan diduga sebagai proses
degeneratif.
2. Rasa Lelah yang dianggap gejala pada umumnya usia
lanjut.
3. Poliuri yang dianggap gejala neurologi dari inkontinensia
urin.
4. Polidipsi pada usia lanjut tidak dirasakan karena nilai
ambang ginjal meningkat terhadap glukosa dan reflek haus
menurun pada usia lanjut.
5. Polifagi tertutup oleh gejala nausea yang sering terjadi
pada usia lanjut dalam keadaan tidak sehat.

Skrining untuk diabetes melitus usia lanjut dengan mengukur


glukosa plasma vena sewaktu, pengukuran glukosa plasma vena
puasa dan restoleransi glukosa oral, mempunyai sensitivitas,
spesifisitas, dan nilai negatif yang lebih tinggi untuk diabetes.
PENGELOLAAN DIABETES PADA USIA LANJUT
Pengelolaan penderita diabetes pada usia lanjut adalah
COMPREHENSIVE GERIATRIC ASSESMENT dengan
pelaksanaan semua program berdasarkan pertimbangan yang
meliputi berbagai aspek yaitu aspek fisik, mental, sosial, ekonomi,
lingkungan. Peran keluarga dan petugas yang merawat penderita
usia lanjut sangat besar artinya bagi tercapainya pengobatan.
Yang menghambat pengobatan tersebut adalah faktor ko-
morbiditas, gangguan kognitif, faktor psikososial, penurunan
respon counter regulatory hormons, kemunduran fungsi organ
tubuh terutama ginjal dan hati.
Pada pengelolaan penderita diabetes usia lanjut
penyuluhan sangat penting bagi tercapainya tujuan terapi, dengan
menjelaskan apa penyakit diabetes itu, dengan kemungkinan
komplikasi vaskuler. Tujuan pengobatan adalah menormalkan
glukosa darah dan mengurangi faktor-faktor resiko dari komplikasi
vaskuler. Bila faktor resiko antara lain : obesitas, kurang aktivitas,
dan makan terlalu banyak zat gizi yang tidak seimbang dapat
dikurangi maka toleransi glukosa akan kembali normal.
Pengelolaan diabetes pada usia lanjut khususnya ditujukan pada :

PIT IV PAPDI 2012 23


1. Pengendalian berat badan, pengaturan diet (pola makan)
dan kegiatan fisik atau aktivitas.
2. Pengendalian hipertensi
3. Pengendalian dislipedimia dengan pola makan yang baik
kalau memungkinkan dan atau dengan obat statin
4. Menghindari obat-obat diabetogenic

Penderita yang gemuk atau obes berat badan harus


diturunkan dengan jalan pengaturan diet dan latihan fisik yang
teratur, dan ini tidak perlu harus tercapai berat badan ideal. Pada
usia lanjut dengan diabetes perlu diperhatikan bagaimana gizi nya
adakah gangguan psikis maupun fisik. Pada setiap saat usia lanjut
ini dapat timbul adanya inanition, cognitif impairment sering timbul
hipoglikemi memperburuk keadaan penderita.
Penentuan kalori dan komposisi diet bervariasi, klinik
praktis menganjurkan 20% protein (mengandung asam amino
esensial), 30% lemak (mengandung asam lemak esensial) dan 45-
50% karbohidrat kompleks, sedang natrium dibatasi untuk
penderita hipertensi. Perencanaan diet dan penyajian makanan
harus sederhana dan menarik, mudah dikunyah dan dicerna.
Kebutuhan protein usia lanjut diperoleh dari protein yang tinggi
biologisnya dan rendah energi, misal : daging yang tak berlemak,
daging ayam, ikan, susu yang rendah lemak, protein dari kacang-
kacangan juga dianjurkan. Protein diperlukan untuk menjaga
status imunologi dan mencegah berkurangnya otot skelet.
Pemberian protein selalu melihat hasil laboratorium
albumin. Kebutuhan lemak yang dianjurkan mono atau poly
unsaturated. Ada anjuran untuk usia lanjut mengkonsumsi asam
lemak poly unsaturated dengan mengkonsumsi ikan, dapat
menurunkan faktor resiko dari berbagai penyakit degeneratif.
Olah raga atau aktivitas fisik adalah hal yang penting di
dalam penanganan diabetes usia lanjut. Untuk itu perlu,
sebelumnya penderita diperiksa kondisi kardiovaskuler, respirasi
dan musculoskeletal untuk menyesuaikan intensitas olah raga.
Olah raga atau latihan fisik teratur dapat mengurangi kelebihan
berat badan, memperbaiki profil lemak-lipid, menurunkan tekanan
darah, meningkatkan sensitivitas reseptor insulin, memperbaiki
toleransi glukosa dan mempertahankan kebugaran jasmani.

24 PIT IV PAPDI 2012


Pengendalian hipertensi, koreksi dislipedemia dan menghentikan
rokok mencegah penyakit cardiovaskuler.
Hipertensi merupakan salah satu faktor resiko dari penyakit
makrovaskuler. Derajat ringan masih dapat disembuhkan dengan
latihan fisik dan penghentian merokok. Terapi hipertensi pada usia
lanjut baik hipertensi diastolic maupun isolated systolic
hypertension terbukti menurunkan mortalitas dari stroke dan
penyakit cardiovaskuler. Perlu dipertimbangkan obat-obat anti
hipertensi yang dapat mengakibatkan gangguan pada usia lanjut :
a. Hipocalemia akibat diuretika.
b. Gangguan profil lipid akibat tiazid dan penyekat beta.
c. Hipotensi postural akibat alpha adrenergic blocker.

Dislipedemia merupakan faktor resiko terjadinya penyakit


makrovaskuler. Terapi diet untuk menurunkan kadar kolesterol dan
trigliserid yaitu dengan pembatasan masukan saturated fatty acid
dan menambah mono saturated atau poly saturated fatty acid dan
latihan fisik dapat menurunkan atau memperbaiki profil lemak, dan
kelebihan berat badan.
Dengan terapi non pharmacology tidak berhasil
dipertimbangkan pemberian obat-obat untuk mengendalikan profil
lemak dengan menurunkan kadar kolesterol LDL dan trigliserid,
menaikkan kolesterol HDL.
Vitamin dan Mineral
Vitamin merupakan mikronutrisi yang mempunyai peran
cukup besar di dalam pembentukan nutrisi. Polifarmasi sering
mengganggu masukan makanan. Dengan banyak obat pasien
usia lanjut cepat kenyang dan mual. Obat yang sering berinteraksi
dengan zat-zat gizi antara lain obat untuk hipertensi, urosemik,
kortikosteroid, salisilad dll. Obat kortikosteroid dapat menyebabkan
retensi sodium, potasium, calcium, ekskresi seng dan
hyperglycemia.
Setelah mengetahui status gizi, kebutuhan energi,
berdasarkan dietary reference index (DRI). Pemberian energi 30-
35 kkal setiap Kg/BB, tergantung aktivitas fisiknya. Penderita usia
lanjut yang tinggal ditempat tidur pemberian energi 30 kkal sudah
cukup untuk menutup basal metabolisme. Bagi yang obes,
pemberian energi dapat diperhitungkan supaya tidak tambah
gemuk. Penderita yang panas, kebutuhan energi ditambah 10%.
Kesimpulan

PIT IV PAPDI 2012 25


Diabetes melitus pada usia lanjut makin meningkat dengan
bertambahnya umur, karena perubahan komposisi tubuh, proses
menua, pola makan, sehingga usia lanjut terjadi malnutrisi baik
kekurangan gizi maupun kelebihan gizi. Dalam penanganan
diabetes usia lanjut dilakukan secara COMPREHENSIVE
GERIATRIC ASSESMENT dengan melaksanakan program
berdasarkan aspek fisik, mental, sosial, ekonomi, lingkungan.
Peran keluarga dan petugas yang merawat usia lanjut dalam
tercapainya pengobatan.

26 PIT IV PAPDI 2012


Daftar Pustaka
1. Atsuki Araki and Hideki Ito (2009), Diabetes Melitus and
Geriatric Syndromes. Japan Geriatric Society, 105-111.
2. Darmono (2010). Diabetes Mellitus in The Elderly (2010).
Simposium Penatalaksanaan Komprehensive Berbagai
Penyakit Degeneratif Pada Usia Lanjut (23-33).
3. Grayden Meneilly (2009). Diabetes in the Elderly.
Canadian Journal of Diabetes (13-15)
4. Indra Kurniawan (2010). Diabetes Mellitus type 2 pada
usia lanjut. Majalah kedokteran Indonesia, Volume 60.
(577-584).
5. I Subramaniam, J Lewis Danny Gold (2005). Diabetes
Mellitus in Elderly. Journal of the Indian Academy of
Geriatrics, (77-81).
6. Steven R, Gambert and Sally Pinkstaff (2006). Emerging
Epidemic : Diabetes in Older Adults : Demography,
Economic Impact, and Pathophysiology, Diabetes
Spectrum (221-228).
7. Thomas Hornich & David C Aren (2008). Preventing and
Managing Diabetic Complications in Elderly Patients.
Cleveland clinic Journal of Medicine (153-157).
8. U.M.Vischer, B. Boudeceau et al (2009). A call to
incorporate the prevention and treatment of geriatric
disorders in the management of diabetes in elderly.
Journal Diabetes & Metabolism (9168-177).

PIT IV PAPDI 2012 27


Prof. Dr. dr. Wasilah Rohmah, Sp.PD, KGer, FINASIM
Pathophysiology of DM in Aging process

28 PIT IV PAPDI 2012


DR. dr. HM. Bambang Purwanto, Sp.PD, KGH, FINASIM Crisis
Hypertension Management in elderly

PIT IV PAPDI 2012 29


Dr. Arya Govinda, Sp. PD, KGer, FINASIM Gastroesofageal
Reflux Disease in Elderly : Role of PPI

30 PIT IV PAPDI 2012


PATOGENESIS OSTEOARTRITIS

Zainal Arifin Adnan


Arief Nurudhin

Divisi/Sub Bag. Reumatologi


SMF Ilmu Penyakit Dalam RSUD Dr. Moewardi Surakarta

PENDAHULUAN
Osteoartritis (OA) merupakan radang sendi menahun.
Penyakit ini umumnya dialami oleh penderita usia lanjut.
Kenyataan bahwa, dari 5 juta penduduk di Inggris ternyata 80%
dari penderita OA adalah usia diatas 70 tahun (Knott, 2000).
Demikian juga dari 40 juta penduduk Amerika, diperkirakan 70-
90% penderita OA adalah usia 75 tahun (Hinton, Thomas; 2002).
Sedangkan di Indonesia prevalensi OA sampai saat ini belum ada
laporan yang jelas, namun dilaporkan di Malang prevalensi OA
usia di bawah 70 tahun cukup tinggi, yaitu sekitar 21,7%
menyerang pada usia 49-60 tahun, yang terdiri dari 6,2 % pria
dan 15,5% wanita (Handono, Kusworini; 2000).
Untuk menanggulangi penyakit ini telah dilakukan berbagai
usaha antara lain dengan mengadakan berbagai penelitian
tentang mekanisme terjadinya dan substansi penyebab OA
(Isbagio, 1998). Setelah dilakukan pengamatan, bahwa OA
diperkirakan antara lain dapat dipicu oleh suatu jejas biomekanik
(Kasjmir, 2001). Keberhasilan pengobatan OA sangat rendah,
karena metode pengobatan yang dilakukan sampai saat ini masih
bersifat simptomatis, yaitu mengurangi rasa sakit atau sebagai anti
inflamasi (Isbagio, 2001; Carlos J. et al., 2001).
Mengingat prevalensi OA cukup tinggi, dan dapat
menyerang pada usia yang lebih muda dan masih produktif, maka
perlu difikirkan metode pengobatan atau pencegahan yang
memadai, sehingga terjadi penurunan prevalensi OA atau dapat
dilakukan suatu penundaan. OA merupakan penyakit rawan sendi
dengan berbagai macam penyebab yang berbeda, namun
mengakibatkan kelainan secara morfologis, gambaran klinis dan
mungkin imunopatobiologis yang sama (Robert L. Sah. et al.,
2001).
Walaupun saat ini tidak lagi dianggap sebagai penyakit
degeneratif, namun salah satu fakta di mana 70% penderitanya
adalah usia 65 tahun keatas (Knott, 2000; Hinton, 2002). Faktor
pembebanan sendi yang berlebihan dapat pula memicu kerusakan

PIT IV PAPDI 2012 31


rawan sendi, akibat kematian kondrosit (apoptosis), yang diikuti
terjadinya reaksi inflamasi pada sendi, yang mempermudah
terjadinya OA (Joewono S., 2002).

Komponen dan Fungsi Rawan Sendi


Rawan sendi merupakan jaringan ikat khusus avaskuler
dan tidak memiliki jaringan saraf yang melapisi permukaan tulang
dari sendi. Komposisi rawan sendi hanya mengandung satu jenis
sel yang sangat spesifik yaitu kondrosit yang berperan mensintesis
dan memelihara ECM. Matriks rawan sendi mengandung kolagen,
proteoglikan dan air (Isbagio, 2001), juga beberapa enzim MMP
(Lin Xu et al., 2005).
Rawan sendi tersusun dari ECM yang telah
dibiosintesiskan oleh kelompok sel dalam jaringan yang disebut
kondrosit. Jika dibandingkan dengan jaringan lain, maka
perbandingan matriks dengan jumlah sel cukup tinggi, matriks
mempunyai kandungan air 60 % sampai hampir 80 % dari jumlah
berat basah. Sisa 20 %- 40 % dari berat basah berisi 2 bahan
makro molekuler, kolagen tipe II dan tipe lainya yang mempunyai
berat molekul lebih kecil (berisi 60 % berat kering) dan
proteoglikan agregan besar merupakan berat sisanya. Jaringan
kolagen mempunyai kandungan yang membuat rawan sendi
memadat. Disamping itu, terdapat glikoprotein dan enzim yang
menyebabkan susunan jaringan menjadi lebih padat walaupun
dalam jumlah sedikit (A. Robin Poole and David S. Howel, 2001).
Rawan sendi disusun dengan cara sedemikian rupa, yang
merefleksikan tenaga kompresi dan peregangan dengan
memotong tekanan yang ada pada jaringan, juga disebut daerah
tangensial, yang juga berfungsi sebagai penyangga beban berat
secara statis maupun dinamis yang berulang-ulang didalam jangka
waktu yang lama. Sehingga fungsi rawan sendi haruslah bersifat
viscoelastis yang artinya apabila tulang rawan menerima beban
tekanan yang tetap, maka perubahan bentuk rawan sendi menjadi
tebal dan meningkat dengan berjalannya waktu, yang akan terus
berubah sehingga mencapai keseimbangan.
Sebaliknya apabila terjadi perubahan bentuk dari jaringan
rawan sendi yang statis maka terjadi peningkatan tekanan sampai
puncaknya dan kemudian diikuti suatu mekanisme relaksasi
secara perlahan sampai akhirnya tercapai suatu keseimbangan
(Kuettner KE., et al., 1991). Terdapat dua mekanisme yang
menyebabkan viskoelastisitas rawan sendi mampu berfungsi
normal yaitu mekanisme bergantung aliran (flow-dependent) dan
mekanisme tidak tergantung aliran (flow-independent) (Mankin HJ,

32 PIT IV PAPDI 2012


et al., 2000). Permeabilitas membran sinovial inilah yang
memungkinkan terjadinya aliran nutrisi dan oksigenasi pada rawan
sendi (Mankin HJ, et al., 2000).
Viskoelastisitas yang flow-dependent, karena adanya
tekanan dari beban pada rawan sendi maka terjadi aliran cairan
interstitiil. Pada percobaan invitro keseimbangan dicapai secara
fisiologik pada sendi yang selalu bergerak walaupun dengan
beban dinamik ataupun tidak. Keseimbangan dicapai dalam waktu
2,5 6 jam.
Viskoelastisitas yang flow-independent dimana akibat
gaya gesekan pada sendi tidak ada aliran cairan interstitiil oleh
karena tidak terjadi perbedaan tekanan dari ECM (R. Lane Smith,
et al., 1995).
Oleh karena itu area viskoelastisitas ini merupakan tempat
dimana jaringan menerima tekanan terbesar, tenaga rentang
maupun gesekan pada sendi. Keseluruhan fungsi tersebut
dilakukan oleh susunan dan kemampuan serat kolagen pada
matriks yang lebih dangkal, lebih tipis, dan sering tersusun sejajar
satu dengan lainnya serta sejajar pula dengan permukaan sendi,
dalam lapisan ini proteoglikan yang kecil lebih banyak
terkonsentrasi, sedangkan agregan proteoglikan yang besar
muncul pada konsentrasi rendah (Wright V., et al.,1973; Muir H.,
1978; T.M Quinn et al., 2002).
Daerah tengah yang disebut daerah transisional atau
intermediate terdiri atas sel-sel bundar yang dikelilingi oleh ECM
yang luas. Di tempat yang dalam, yang disebut daerah radial,
dimana jumlah sel berada pada titik terendah sering disebut pula
dengan kondrosit hipertropik pada growth plate. Sedangkan
kepadatan sel berada di puncaknya pada permukaan rawan sendi.
Jumlah ini menurun seiring dengan bertambahnya usia (H.I
Roach, 2000).
Cairan sinovial merupakan komponen yang ikut berfungsi
didalam transmisi tekanan pada sendi. Cairan sendi berperan
didalam fungsi friksi, lubrikasi dan keausan akibat gesekan kedua
permukaan rawan sendi pada setiap pergerakan sendi, selain itu
cairan sendi berfungsi memberikan nutrisi dan oksigenasi pada
rawan sendi (Mow VC, et al., 2000).

PIT IV PAPDI 2012 33


Struktur lapisan rawan sendi yang mengalami OA dengan
tampilan kondrosit dan matriks ekstra sel. (Dikutip dari A. Robin
Poole and David S. Howel, 2001)

Matriks rawan sendi, terdiri atas daerah yang berbeda-


beda, yang dapat diidentifikasikan dengan menggunakan
perbedaan susunan struktur yang diperjelas dalam morphologi
pada level mikroskop elektron, reaksi histokimia dan imunokimia
pada proteoglikan pada rantai protein. Pada rawan sendi orang
dewasa, jumlah matriks berkurang dibandingkan kandungan
kondroitin sulfat, keratan sulfat, dan proteoglikan agregating
(agregan), pada daerah teritorial dan periseluler (A. Robin Poole,
2001).

Konsep Patogenesis OA
Walaupun OA bukan lagi dianggap penyakit degeneratif
menahun yang menyerang sendi, tetapi penyakit tersebut terjadi
pada penderita usia di atas 55 tahun (Kee, 2001). Dilaporkan
bahwa dari 5 juta penduduk di Inggris (UK), 80% dari penderita OA
adalah usia diatas 70 tahun (Knott, 2000). Di Amerika dari 40 juta
penduduk diperkirakan 70-90% penderita OA adalah usia 75 tahun
(Hinton dan Thomas, 2002).

34 PIT IV PAPDI 2012


Sedangkan di Indonesia prevalensi OA sampai saat ini
belum ada laporan yang jelas. Namun penderita OA di Kodya
Malang usia di bawah 70 tahun prevalensinya cukup tinggi, yaitu
21,7% pada usia antara 49-60 tahun. Dari angka kejadian
tersebut, terdiri dari 6,2 % pria dan 15,5% wanita (Kalim Handono,
2000).
Diagnosa OA bisa ditegakkan dengan pemeriksaan fisik,
Plain Radiography, Tomography, Contrast Arthrography,
Ultrasonography, Isotope Scaning, CT, MRI, dan lain-lain (Vijay
Chandnani, 2001; Robin Butler, 2004). Kerusakan atau hilangnya
rawan sendi merupakan titik sentral terjadinya OA (Isbagio, 1998).
Pada penelitian lain infeksi bakteri mampu memicu
terjadinya apoptosis kondrosit sehingga terjadi OA (Mel S. Lee, et
al., 2000).
Jejas biomekanik dan kimiawi diduga merupakan faktor
penting yang merangsang terbentuknya molekul abnormal dan
bahan perusak rawan sendi, di dalam cairan sinovial yang
selanjutnya mengakibatkan terjadi inflamasi sendi (Broto, 2000).
Jejas biomekanik (beban berlebihan) yang terjadi secara
intermiten dalam waktu yang lama pada sendi, nampaknya dapat
menimbulkan suatu kelainan medan elektromagnit, yang terjadi
pada sel saraf, maupun sel otot (Aubrey J, 2001).
Pada kerusakan rawan sendi dapat merangsang sel
sinovial untuk mensekresi sitokin proinflamasi (Poole, 2001), juga
ditemukan monosit aktif, di mana sel tersebut berasal dari saluran
darah (system vaskuler) yang menerobos barier sinovial (Romeo,
1998). Pada reaksi inflamasi jaringan sinovial akan terjadi
peningkatan ekspresi beberapa sitokin, antara lain : IL-1
(interleukin-1), IL-6 dan TNF (tumor necrotising factor). IL-6
sangat penting peranannya untuk memicu peningkatan produksi
sel neutrofil (MD Smith, et al., 1998; Heng Fong, 1999; C.I
Westacott et al., 2002).
Selain itu beberapa sitokin seperti IL-1 dan TNF
mempunyai potensi meningkatkan transkripsi dan translasi dari
enzim protease yang akan mengganggu ECM, serta menghambat
sintesis dari ECM rawan sendi terutama peran dari IL-1 (Poole AR,
1995). Kerusakan jaringan dapat menginduksi reaksi inflamasi
seperti jaringan nekrosis, bone fractur, infeksi dan alergi (Fong,
1999). Jaringan nekrosis atau sel rusak/debris yang ada dalam
tubuh akan dimakan atau dicerna oleh sel makrofag yang berasal
dari synoviocytes tipe A (Darnell, 1990).
Makrofag yang memakan debris akan menjadi aktif karena
di dalam tubuh sel tersebut terjadi peningkatan aktivitas (Wheater,

PIT IV PAPDI 2012 35


1987; Fong, 1999). Makrofag yang aktif dapat mengekspresikan
sitokin seperti : IL-1, IL-6, IL-8, TNF. IL-1 berperan sebagai
kostimulasi untuk memicu maturasi sel, IL-6 berperan pada proses
proliferasi yaitu mempengaruhi limfosit B menjadi sel plasma,
sedangkan IL-8 bersifat sebagai neutrofil kemotaktik faktor
(Nisonoff, 1985; Belanti, 1993; Kuby, 2000).
Hasil kerusakan jaringan rawan sendi dapat berlaku sebagai
imunogen imunogen dalam tubuh yang dapat menimbulkan
respons imun baik respons imun humoral (homoral immune
response) maupun seluler (cell mediated immune response)
(Nisonoff, 1985; Belanti, 1993).

Beberapa molekul dan sitokin yang disintesis dan matriks yang


dirusak oleh kondrosit (Poole AR, 1995).

36 PIT IV PAPDI 2012


Gambaran sendi dengan perbandingan normal dan kasus OA yang
telah berlangsung beberapa tahun (Dikutip dari Poole AR, 1995)

Anatomi yang abnormal merupakan bukti penting dalam


penemuan ini, yang memungkinkan gejala umum pada
kebanyakan keluhan sendi dan sekarang dikenal sebagai OA.
Bermacam teori tentang patogenesis OA diantaranya bahwa OA
adalah suatu proses degenerasi, teori lain menyebutkan bahwa
OA adalah suatu proses inflamasi dan adapula teori yang
menyebutkan kombinasi dari keduanya (Joewono S, 2002). Yang
jelas OA adalah suatu kenyataan yang melibatkan terganggunya
suatu sistem sendi yang termasuk didalamnya terdapat simpai
sendi, jaringan sinovia, kondrosit, ECM dan tulang di bawah rawan
sendi.
Proses terjadinya OA diakibatkan oleh bermacam-macam
gangguan pada sendi, antara lain : instabilitas, metabolisme
abnormal, kelainan genetik yang tidak diketahui (Metthew L.W,
2001), ensimatik, gangguan biomekanik (rudapaksa) atau
gangguan faktor lingkungan yang lain (A. Robin Poole, 2001).
Kondrosit tampaknya memegang peran utama yang bertanggung
jawab terhadap komponen dasar ECM dan yang merupakan
komponen penting yang mengandung sebagian besar serabut
kolagen dan proteoglikan didalamnya (Thonar EJMA, et al., 1999),
tetapi akibat adanya enzim yang diproduksi, sering terjadi
kerusakan komponen tersebut. Enzim tersebut adalah

PIT IV PAPDI 2012 37


metalloprotease, serineprotease, thiolprotease dan aggrecanase.
Termasuk produk metalloprotease adalah kolagenase, stromelisin
dan gelatinase. Setiap enzim mempunyai peran didalam proses
degradasi kolagen, sedangkan stromelisin merusak protein
proteoglikan dalam ikatan hialuronik acid, dan mengaktifasi
prokolagenase.
Sejauh ini faktor yang mempengaruhi progresifitas OA,
karena terjadi rudapaksa mikro yang berulang atau rudapaksa
yang besar sehingga menyebabkan gangguan gaya mekanik
meskipun tidak disadari (Pelletier JP., et al., 2001).
Pada abad 19 penelitian barikutnya menemukan bukti klinis
yang mengantar pada suatu gambaran tentang radang sendi
semacam encok atau rheumatoid (Alfred B. Garrod, 1858-1876)
dan ankylosing spondillitis.
Yang dalam perkembanganya sampai periode
perkembangan (tahun 1600-1760) percobaan ilmiah telah
membagi dengan seksama berbagai macam penyakit radang
sendi seperti kita kenal sampai sekarang (Brandt KD, et al., 1998).

38 PIT IV PAPDI 2012


Tabel Pembagian Osteoartritis
Idiopatik SEKUNDER
SETEMPAT (LOKALISATA) TRAUMA
Tangan : akut
nodus Heberden dan Bouchard kronik (okupasional port)
(nodal) KONGINITAL:
artritis erosiva interfalang gangguan setempat :
karpal-metakarpal I penyakit Legg-Calve-Perthes
Kaki : dislokasi koksa kongenital
haluks valgus slipped epiphysis
haluks regidus faktor mekanik
jari kontraktur (hammer/cock-up panjang tungkai tidak sama
toes) deformitas valgus/varus
talanovikulare sindroma hipermobilitas
Coxa METABOLIK
eksentrik (superior) okronosis (alkaptonuria)
konsentrik (aksial, medial) hemokromatosis
difus (koksa senilis) penyakit Wilson
Vertebra penyakit Gaucher
sendi apofiseal ENDOKRIN
sendi intervertebral akromegali
spondilosis (osteofit) hiperparatiroidisme
ligamentum (hiperostosis, diabetes melitus
penyakit Forestier, diffuse obesitas
idiophatic skeletal hyperostosis hipertiroidisme
= DISH) PENYAKIT DEPOSIT
Tempat lainnya : KALSIUM
glenohumeral deposit kalsium pirofosfat
akromioklavikular dihidrat
tibiotalar artropati hidroksiapatit
sakroilaika PENYAKIT TULANG & SENDI
temporomandibular LAINNYA
setempat :
fraktur
nekrosis avaskuler
infeksi
gout
MENYELURUH menyeluruh :
(GENERALISATA) artritis reumatoid (inflamasi)
Meliputi 3 atau lebih daerah penyakit Paget
yang tersebut diatas (Kellgren- osteopetrosis
Moore) osteokondrosis
NEUROPATIK (Sendi Charcot)
ENDEMIK
penyakit Kashin-Bek
penyakit Mseleni

PIT IV PAPDI 2012 39


Frostbite
Penyakit Caisson
Hemoglobinopati
(Brandt KD, et al. 1998)

Bermacam-macam tipe kolagen terdapat di dalam ECM


rawan sendi yaitu tipe II, V, VI, IX, X dan tipe XI. Kolagen tipe II
merupakan komponen kolagen yang paling banyak dan
mempunyai berat molekul terbesar, serta merupakan penyusun
yang dominan yang mampu memberikan kapasitas tahanan
terhadap gaya regang dan gesekan pada rawan sendi (Mark EN.,
et al., 2000).
Bentuk kolagen merupakan tripel helix yang tersusun oleh
tiga rantai polipeptida, dan disintesis dari gen COL2A1.
Pembentukan kolagen tipe II diawali sebagai prokollagen yang
mempunyai ujung N dan C polipeptida, akan dikeluarkan ke
ECM setelah matang.
Sifat matriks tersebut lunak karena terdapat beberapa
rongga dan dapat ditembus (permeabel), sehingga sifat
biomekanik rawan sendi terdiri dari jaringan padat dimana tidak
ada aliran cairan (solid area) dan jaringan basah (fluid area) yang
terjadi aliran cairan beserta ion dan elektrolit yang larut
didalamnya. Cairan ini mampu keluar masuk rawan sendi ke
rongga sinovial, terutama pada saat terjadi tekanan dan gesekan
pada ECM (Mankin HJ, et al., 2000).

40 PIT IV PAPDI 2012


Gambar 2.6.3 Perubahan yang diamati pada tulang rawan dan tulang
dalam OA dan hubunganya dengan faktor yang
melindungi dari akselerasi atau yang berhubungan
dengan proses terjadinya OA. (A. Robin Poole, 2001).

Dua prinsip terjadinya OA (Nuki G, 1999), :


Adanya defek sebelumnya pada rawan sendi
menyebabkan kegagalan fungi biomaterial sehingga terjadi defek
dari pembentukan kolagen tipe II atau pada rawan sendi
oochronotic yang menyebabkan timbunan pigmen pada rawan
sendi.
Rawan sendi yang normal tetapi gagal didalam
merespon tekanan biomekanik pada sendi, yang mengakibatkan
kerusakan pada rawan sendi itu sendiri. Konsep ini akibat
rusaknya komposisi ECM maupun akibat kondrosit yang
mengeluarkan enzim degradatif sehingga terjadi kegagalan
remodeling rawan sendi.
Bilamana instabilitas tersebut secara klinis tidak
menimbulkan keluhan walaupun ada kerusakan rawan sendi maka
disebut OA kompensasi dan jika secara klinis menimbulkan
keluhan disebut OA dekompensasi (Brandt KD, et al., 1998).
Didalam perjalanan patogenesis OA secara umum dibagi
atas tiga tingkat (Pelletier JP, et al., 2001), yaitu :
Tingkat 1, peran kondrosit yang memproduksi enzim proteolitik
dalam jumlah besar terutama metrix metalo proteinase (MMP),
sehingga mengganggu komposisi ECM didalam menjaga
homeostasis rawan sendi antara lain hilangnya proteoglikan,
serabut kolagen tipe II sehingga mengganggu keseimbangan
susunan kolagen didalam ECM. Hilangnya proteoglikan berakibat
berkurangnya jumlah kadar air, sehingga rawan sendi gagal
terhadap fungsi menahan stres mekanik (hilangnya fungsi sebagai
pegas).
Tingkat 2, adanya produk kerusakan rawan sendi akan
difagositosis oleh makrofag dari jaringan sinovia, hal ini
menimbulkan proses inflamasi. Akibatnya permukaan rawan sendi
menjadi tidak rata dan terjadi fibrilasi.
Tingkat 3, pada lapisan sinovia adanya sel efektor proinflamasi
mengeluarkan enzim protease dan sitokin yang meningkatkan
proses katabolisme, dan meningkatnya proses inflamasi sehingga
merusak rawan sendi.

PIT IV PAPDI 2012 41


Peran Stress Oksidatif pada kartilago
Peran stress oksidatif menjadi perhatian pada patofisiologi
OA selama 30 tahun terakhir. Perubahan dalam metabolisme
redoks mitokondria dan fungsi respirasi sel dapat menimbulkan
peningkatan produksi ROS pada kondrosit. Selain menyebabkan
kerusakan atau menghambat sintesis matriks kartilago, bukti
peningkatan stress oksidatif pada pasien osteoarthritis
dibandingkan dengan sehat adalah penentu utama dalam
perubahan kartilago artikuler ( Manesh, jayalekshmi H, et all, 2005
). Diantara mekanisme pelindung selular, yang diinduksi isoform
dari haem oksigenase memainkan peran yang sangat relevan (
Valvason C, et all 2008 ). Di sisi lain aktivitas enzim adenin
NADPH dapat memberikankontribusi pada generasi ROS(
Valvason C, et all 2008).Banyak penelitian yang
mendukungbahwa inflamasi memegang peranan penting pada
OA. Penelitian invitro pada kartilago menunjukkan respon
peningkatan metalloproteinase yang dapat diinduksi terutama oleh
mediator inflamasi seperti IL-1, TNF Alpha. Pada paparan beban
mekanik maupun induksi IL-6, terjadi ekspresi berbagai sitokin dan
reseptornya. Peningkatan sitokin pro inflamasi juga menginduksi
produksi collagenase 3 oleh kondrosit pada OA ( Drogee W,
2002).
NO yang hadir dalam jumlah besar pada kartilago
penderita OA juga bertanggungjawab untuk menimbulkan
peradangan dan degenerasi kartilago artikuler, dengan
meningkatkan produksi sitokin, MMP dan menekan sintesis
kolagen, proteoglikan dan lenyapnya GAG ( glucosaminoglican)..
GAG merupakan molekul besar yang paling berperan pada
elastisitas kartilago ( Dragon W 2002, Valvason C, 2008 ).
Ketidakstabilan telomer dan gangguan prodiksi
glycosaminoglican berperan pada kerusakan kartilago. Pada kultur
eksplan jaringan kartilago artikuler yang diberi agen oksidatif dapat
ditunjukkan adanya kerusakan oksidatif pada panjang telomer (
ujung kromosom ) kondrosit dan hilangnya GAG. Sebaliknya
pengobatan dengan agen anti oksidatif menyebabkan penjagaan
terhadap panjang telomer dan replikasi DNA. Temuan tersebut
jelas menunjukkan bahwa kehadiran stress oksidatif
menyebabkan ketidakstabilan genomik pada telomer, replikasi
penuaan dan disfungsi OA kondrosit dalam kartilago, yang
menyebabkan penuaan kartilago. Jadi stress oksidatif
bertanggungjawab terhadap patogenesis OA ( Yudoh K et all,
2005 ).

42 PIT IV PAPDI 2012


ROS dapat menyebabkan apoptosis kondrosit. Nitrit oksida
telah lama dianggap sebagai pendorong utama apoptosis
kondrosit yang dimediasi oleh caspase-3 dan aktivasi kinase
tirosin. Lebih jelas lagi, NO memulai apoptosis bersama anion
superoksida, yang mana menunjukkan peran peroksinitrit dalam
proses ini. Selain itu, ada hubungan yang signifikan antara tingkat
produksi NO dan jumlah sel apoptotik pada jaringan kartilago OA
pada kelinci. Pada eksperimen binatang pada kartilago OA, sering
ditemukan peningkatan regulasi IL-1, caspase -3 dan 7 yang
ditunjukkan dengan peningkatan mRNA mereka, yang
mengindikasikan bahwa IL-1 juga mengatur jalur apoptotik pada
kondrosit manusia
KESIMPULAN
Telah menjadi pengetahuan kita bahwa penyebab dan
patogenesis OA masih menjadi bahan penelitian yang sangat luas,
sehingga bagi kita para peneliti dan para klinisi merupakan
tantangan yang harus cermat didalam menganalisa dari keluhan,
kelainan fisik sampai pemberian terapi.
Beberapa masalah bisa terjadi apabila kita didalam pemberian
terapi tidak jarang menimbulkan efek samping dari yang kita
berikan, karena kurang memikirkan secara teliti patogenesis OA.
Dari banyak membaca dan merenungkan makalah (texbooks)
maupun hasil penelitian dalam jurnal tentu akan sangat membantu
dalam menegakkan diagnosis OA dan selanjutnya tepat didalam
pemberian terapi.

PIT IV PAPDI 2012 43


KEPUSTAKAAN
A. Robin Poole, David S. Howell. 2001. Etiopathogenesis of
Osteoarthritis. In Osteoarthritis 3rd ed. Moskowitz, Howell, Altman,
Buckwalter, Goldberg Ed. WB Sounders Co. Lippincott Williams &
Wilkins Philadelphia. pp: 29-47.

David S. Cassarino, James P. Bennett Jr. 1999. An evaluation of


the role of mitochondria in neurodegenerative disease:
mitochondrial mutations and oxidative pathology, protective
nuclear responses, and cell death in neurodegeneration. Brain
Research Reviews 29;pp:1-25.

Aubrey J. Hough Jr. 2001. Pathology of Osteoarthritis in Arthritis


and Allied Conditions ed 14th 2 Ed. William J. Koopman. WB.
Sounders Co, England. pp:2167-94.

Brandt KD, Lomander LS., Doherty M. 1998. Pathogenesis of


Osteoarthritis, Introduction : the concept of osteoarthritis as failure
of the diarthrodial joint, in osteoarthritis, eds. Brandt KD., Doherty
M. Lohmander LS. Oxford Medical Publications :pp:70-74.

Brandt KD, 2000. Diagnosis and nonsurgical management of


osteoarthritis. 2nd ed. Professional Communications. Indianapolis.
Indiana.

Broto HR, 2000. Tulang Rawan Sendi pada OA, Temu Ilmiah
Rheumatology, Sub bagian rematologi, Bagian Ilmu penyakit
dalam FK-UGM Jogyakarta, hal .22-25

Darnell J., Lodish H., Baltimore D,1990.Molecula cell Biology, 2nd


edition. W.H. Freeman and Company, New York. pp: 738-742,
918-921

Fong SH, 1999. Cytokines and The Immune response,


Department of Clinical Laboratory Science, Faculty of Medicine
and Health science. University putra Malaysia 43400. UPM
Serdang Selangor Malaysia, pp:42-44

Roach H.I., Clark N.M., 2000. Physiological cell death of


chondrocytes in vivo is not confined to apoptosis. New
Obsevations on the Mamalian Growth Plate. J one Joint Surg (Br),
82b.4.601-13.

44 PIT IV PAPDI 2012


Kalim H, 2000. Masalah Penyakit Reumatik di Indonesia serta
Upaya-upaya Penanggulangannya. Temu ilmiah Reumatologi, 1-3

Hinton, 2002. Osteoarthritis Diagnostik and Therapeutic


Consideration, American Family Physician, 65: 481-483

Isbagio, 2001 Peran Klinik Petanda Molekuler pada OA, Ilmu


penyakit dalam-Reumatologi FKUI/RSUPN. Dr.Cipto
Mangunkusumo, Jakarta. 55-56

Isbagio, 1998. Struktur tulang rawan sendi dan perubahannya


pada OA. , Ilmu penyakit dalam-Reumatologi FKUI/RSUPN.
Dr.Cipto Mangunkusumo, Jakarta. 22-24
Joewono Soeroso, 2002. Patogenesis Osteoartritis, Proses
Degeneratif atau Inflamatif? Dalam Temu Ilmiah Reumatologi.
Jkt,110-113.

Kasjmir YI, 2001. Biologi Molekuler OA : Peran sinovium dalam


proses kerusakan tulang rawan sendi. Sub bagian reumatologi,
penyakit dalam FKUI/RSCM, Jakarta, 110-14.

Kee Carolyn C, Epps Cynthia D, 2002. Pain Management


practices of Nurses Caring for Older Patients With
Osteoarthritis.Western Journal of Nursing research 23(2), 195-210

Knott L, 2000. Treating osteoarthritiss in practice the top study,


Curent Medical research and opinion . 16: 147-152

Kuettner KE, Aydelotte MB, Thonar E. 1991. Articular cartilage


matrix and structurre: a mini review.J Rheumatol 18(supll 27):46-
48.

Lin Xu, Haibing Peng, Dongying Wu, Kenpan Hu, Mary B.


Goldring, Byorn R. Olsen and Yefu Li, 2005. Activation of the
Discoiding Domain Receptor 2 Induces Expression of MMP 13
Associated with OA in Mice. J of Biol Chem, 250.1, 548-55.

Mankin HJ, Mow VC, Buckwalter JA, Iannotti JP, Ratcliffe A.,
2000. Articular Cartilage Structure, Composition, and Function, in
Orthopaedic Basic Science. Eds. Buckwalter JA, Einhorn TA,
Simon SR. Am. Ac. of Ortho. Sur. 2nd ed: 443-70.
Manesh, Jayalekshmi H, Suma T et all. 2005. Evidance for
oxidative stress in osteo arthritis. Indian J Clin Biochem 129.

PIT IV PAPDI 2012 45


Drog W. 2002. Free radicals in the Physiolohical Control of Cell
Function. Physiol Rev 82:147-195
Valvason C, Musacchio E, Pozzuoli A, ramonda R, Aldhegeri R,
and Punzi L.2008. Influence of glucosamine sulphate on oxidative
stress in human osteoarthritis chondrocyte : effect on HO-1,
p22pox and iNOS expression. Rheumatology 47:31-35
Yudoh K, van trieu N, Nakamura H et all. 2005. Potential
involvment of oxidative stress in cartilage senescence and
development of osteoarthritis: oxidative stress induces
chondrocytes telomer instability and downregulation of
chondrocytes function. Arthritis Res Ther (2):380-391

Mark E. Nuttall, Daniel P. Nadeau, Paul W. Fisher, Feilan Wang,


Paul M, Keller, Walter E. DeWolf, Jr., Mary B. Goldring, Alison M.
Badger, Dennis Lee, Mark A. Levy, Maxine Gowen, and Michael
W. Lark, 2000. Inhibition of Caspase-3-like Activity Prevent
Apoptosis While Retaining Functionality of Human Chondrocytes
in Vitro. J Orthop Res 356-363.

MD Smith, A Parker, PJ Roberts-Thomson, MJ Ahern, M Coleman.


1998. Sinovium in Osteoarthritis & Inflamatory Arthritis: is OA an
Inflamatory Arthritis? APLAR J. Rheumatol. 2, 2.

Mel S. Lee, Chen-Yu Yn, Steve W.N. Ueng, Chun-Hsiung Shih,


Chuck CK. Chao, 2001. Signal Transduction Pathways and
Apoptosis in Bacteria Infected Chondrocytes. J Orthop Res 19.
606-702.

Metthew L. Warman, Daniel Holderbaum, Roland W. Moskowitz.


2001. Genetic of Oasteoarthritis. In Osteoarthritis 3rd ed.
Moskowitz, Howell, Altman, Buckwalter, Goldberg Ed. WB
Sounders Co. pp:201-216.

Mow VC, Flatow EL, Ateshian GA, 2000. Biomechanics, in


Orthopaedic Basic Science, Biology and Bionchanics of the
Muskuloskeleal system. 2nd ed. AAOS. 133-180.
Nisonoff A, 1985. Introduction to Molecular Immunology, 2nd
eds,Tokyo : Sanuer Associate nc.Sauderland, Massachusetts
Topan Company Ltd, pp: 169-170

Nuki G. 1999. Role of ECMhanical Factors in the Aetiology,


Pathogenesis and Progression of Osteoarthritis, in Osteoarthritis

46 PIT IV PAPDI 2012


Clinical and Experimental Aspects. Eds. Reginster J-Y, Pelletier
JP, Pelletier JM, Henrotin Y; Springer:pp.101-114.

Pelletier JP. Pelletier JM., Howell DS., 2001. Etiopathogenesis of


osteoarthritis, in Arthritis and Allied Conditions. A texbook of
Rheumatology. 14th ed. (Eds). Koopman WJ. Lippincot William
Wilkins.pp.2195-2215.

Poole AR., 1995. Inbalances of anabolism and catabolism of


cartilage matrix components in osteoathritis, in Kuettner KE,
Goldberg Vm, eds. Osteoarthritis Disorders. Rosemont, IL,
American Academy of Orthopaedic Surgeons, pp 247-260.

Poole AR, Howell DS, 2001. Etiophatogenesis of OA, 3rd Ed. In


Osteoarthritis 3rd ed. Moskowitz, Howell, Altman, Buckwalter,
Goldberg Ed. WB Sounders Co.pp:29-48

R. Lane Smith, BS. Donlon, MK. Gupta, M. Mohtai, P. Das, DR.


Carter, J. Cooke, G. Gibbons, N. Hutchinson, and DJ. Schurman,
1995. Effects of Fluid-Induced Shear on Articular Chondrocyte
Morphology and Metabolism in Vitro. J Orthop Res Vol.13, No.6.

Robert L. Sah, Albert. C. Chen, Silvia S. Chen, Calvin W. Li,


Michael A. DiMicco, Melissa S. Kurtis, Lisa M. Lottman, and John
D. Sandy, 2001. Articular Cartilage Repair in Arthritis and Allied
Conditions ed 14th Vol.2 (Eds). William J. Koopman.pp: 2264-
2278.

Romeo F, Inele R, Grimaldi A, Gallippi G, 1998. The Role of


monocytes in Rheumatoid Synovitis, 32(2): 255-61

Thonar EJMA, Masuda K, Manicourt DH, Keuttner KE 1999.


Structure and Function of Normal Human Adult Cartilage, in
Osteoarthritis Clinical and Experimental Aspect. Editors: Reginster
JY, Pelletier JP, Pelletier JM, Henrotin Y, Springer.1-20.

Vijay Chandnani, Donald Resnick, 2001. Radiologic Diagnosis. In


Osteoarthritis 3rd ed. Moskowitz, Howell, Altman, Buckwalter,
Goldberg (Eds) WB Sounders Co. pp:239-272.

Wheater PR, Burkitt HG, Daniel VG, 1987. Functional Histology,


2nd edition Churchill livingstone Edinburgh London Melbourn and
New york, pp.163

PIT IV PAPDI 2012 47


Wright V, Dowson D, Kerr J., 1973. The Structure of Joints. Int Rev
Connect Tissue Res 6:105-125.

48 PIT IV PAPDI 2012


Dr. Redjeki Handayani, Sp.PD, KGer, FINASIM Pain, NSAID
and Role of Pantoprazol for Preventing Gastropathy NSAID

PIT IV PAPDI 2012 49


Prof. Dr. dr. HA Guntur Hermawan, Sp.PD, KPTI, FINASIM
Infection in Elderly

DECUBITUS :

50 PIT IV PAPDI 2012


RISK FACTORS, PATHOPHYSIOLOGY AND MANAGEMENT

Kris Pranarka
Sub-Bag. GeriatriBag. Ilmu Penyakit Dalam
F.K Undip Semarang

I. Pendahuluan

Istilah Pressure Ulcer lebih tepat dari ulkus dekubitus,


karena ulkus dapat terjadi pada posisi duduk, biarpun
biasanya terjadi pada penderita yang terpancang pada
tempat tidurnya.
Pressure Ulcer ini sudah menjadi masalah medik yang
cukup lama, terbukti sudah didapatkan pada otopsi mumi
Mesir kuno.
Prevalensinya meningkat pada populasi dengan resiko
tinggi seperti pada lanjut usia dan mereka dengan cidera
fisik yang berat.
Dua pertiga dari Pressure Ulcer pada penderita di Rumah
Sakit terjadi pada usia diatas 70 tahun. (Bradon, J.W.
et.al.2006)
Tiga macam ulserasi kronis pada Usia Lanjut yang sering
dijumpai adalah :
1. Ulkus karena tekanan area kulit setempat yang
berkepanjangan (Pressure Ulcer)
2. Ulkus karena bendungan (stasis) vena atau arteri
pada tungkai bawah
3. Ulkus yang terjadi pada Neuropati Diabetik.
Algoritma untuk membedakan tiga macam ulkus tadi
adalah sebagai berikut:

PIT IV PAPDI 2012 51


(Alan, M.A.ed.al.2001)
II. Faktor Faktor risiko Pressure Ulcer pada lanjut usia
Usia Lanjut mempunyai potensi lebih besar untuk
terjadinya dekubitus karena perubahan struktur jaringan
kulit, antara lain:
Berkurangnya jaringan lemak subkutan
Berkurangnya serabut serabut kolagen dan
elastik
Efisiensi peredaran darah kapiler kulit dan
kolateralnya terganggu.
Anemia dan status gizi yang kurang juga berperan
untuk terjadinya dekubitus.
Faktor faktor yang berasal dari tubuh sendiri ini, sering
disebut sebagai faktor resiko intrinsik.

52 PIT IV PAPDI 2012


Akronim dekubitus dapat membantu lebih mengenali faktor
faktor risiko terjadinya DECUBITUS:
D Delirium, Dementia, Dependent
Hanya penderita dengan kesadaran penuh yang
dapat merasakan perasaan sakit atau tidak nyaman pada
tempat penekanan sehingga akan beralih posisi.
E Elderly
Perubahan histologik kulit pada Lanjut Usia a.l.
epidermis dan dermis menipis dan berkurangnya serabut
serabut elastin mempermudah terjadinya regangan dan
ulserasi. Bila sudah terjadi ulser, penutupannya terhambat
karena daya kontraksi dan re-epitelisasi berkurang.
C Contractures
Kontraktur menghambat positioning dan menambah
titik titik tekan(hot spots)
U Urinary Incontinence
Kulit yang basah terkena urin, mudah terjadi
maserasi.Bila ada infeksi kencing juga dapat
mengakibatkan kontaminasi pada ulkus.
B Bowel Incontinence
Kontaminasi dengan feses juga berpotensi
kolonisasi bakteri bahkan infeksi. Bila ada diare juga akan
menyebabkan kulit menjadi basah.
I Immobility
Imobilitas menyebabkan penurunan masa otot lk
5% perminggu dan berpotensi untuk terjadi kontraktur.
Selanjutnya dapat terbentuk lingkaran setan:

Wasting Contractures

Worsening Ulceration Pressure Hot-spots

T Tension O2
Tekanan arteriil O2 yang rendah akibat iskemia
jaringan setempat, akan mengganggu pertukaran gas. Hal
ini diperberat bila ada anemia dan edema.
U Under nourishment
Asupan kalori dan protein yang tidak memadai
dapat berakibat mal-nutrisi yang akan menghambat
penyembuhan ulkus.
S Spasticity,Sensory Loss, Spinal Cord Injury

PIT IV PAPDI 2012 53


Gangguan neurologik merupakan faktor resiko atau
predisposisi terjadinya pressure ulcers.
Asesmen untuk risiko terjadi pressure ulcers ini a.l dengan
Skor dari Norton , yang dipakai sejak tahun 1962 :

SKOR DARI NORTON


KONDI
STATUS AKTIFI MOBILITA INKONTINE SKO
SI
MENTAL TAS S NS R
FISIK
baik compos bebas penuh tidak ada 4
mentis aktif
sedang apatis dibantu terhambat kadang 3
kurang bingung di-kursi terbatas biasa 2
jelek stupor baring tidak ada selalu 1

Sebagai batasan berisiko adalah 14 dan risiko tinggi bila


12.Sensitivitas Skor Norton mencapai 92% dan
spesifitasnya sampai 94%.
III. Patofisiologi Dekubitus
Tekanan darah pada kapiler berkisar antara 16 mmHg 33
mmHg. Kulit akan tetap utuh karena sirkulasi darah terjaga,
bila tekanan masih berkisar pada batas-batas tersebut.
Tetapi sebagai contoh bila seorang penderita im-
mobil/terpancang pada tempat tidurnya secara pasif dan
berbaring di atas kasur busa biasa maka tekanan daerah
sakrum akan mencapai 60 70 mmHg, dan daerah tumit
mencapai 30 45 mmHg.
Tekanan ini akan menimbulkan daerah iskemik
dan bila berlanjut terjadi nekrosis jaringan kulit. Percobaan
pada binatang didapatkan bahwa sumbatan total pada
kapiler masih bersifat reversibel bila kurang dari 2 jam.
Seseorang yang terpaksa berbaring berminggu-minggu
tidak akan mengalami dekubitus selama dapat berganti
posisi beberapa kali per-jamnya. (Cammen dkk. 1991)
Selain faktor tekanan, ada beberapa faktor
mekanik tambahan yang dapat memudahkan terjadinya
dekubitus.
- Faktor teregangnya kulit misalnya akibat gerakan
meluncur ke bawah pada penderita dengan posisi
setengah duduk atau setengah berbaring.

54 PIT IV PAPDI 2012


- Faktor terlipatnya kulit akibat gesekan badan yang
sangat kurus dengan alas tempat tidur, sehingga
seakan-akan kulit tertinggal dari area tubuh lainnya.
Berikut ini diperlihatkan beberapa gambar ilustrasi
untuk memudahkan mengerti mekanisme terjadinya
dekubitus, serta upaya untuk pencegahannya.
Gambar 1. Penderita berbaring terlentang diatas kasur busa biasa
Berat tubuh penderita akan didistribusikan pada beberapa tempat
tertentu. Risiko terjadi dekubitus besar sekali.

Gambar 2. Penderita berbaring terlentang di atas kasur biasa,


tetapi dibantu dengan beberapa bantal kecil penyangga tubuh
Berat tubuh berhasil dibagi lebih merata, sehingga risiko terjadinya
dekubitus diperkecil.

Gambar 3. Penderita berbaring diatas kasur khusus (kasur anti


dekubitus) dengan memakaisistimgelombangudara yang
naikturunbergantian
Berat tubuh lebih berhasil dibagi merata, risiko dekubitus lebih
diperkecil.

PIT IV PAPDI 2012 55


Gambar 4. Penderita berbaring diatas kasur air, dengan
temperatur air dapat diatur sesuai yang diinginkan.
Beban berat tubuh benar-benar merata pada seluruh bagian tubuh
yang kontak dengan alas, sehingga faktor tekanan sangat
diperkecil dan risiko terjadi dekubitus menjadi minimal.

Faktor teregangnya kulit akibat daya luncur antara tubuh dengan


alas tempatnya berbaring akan menyebabkan terjadinya iskemia
jaringan setempat. (Brocklehurst dkk. 1988)
Peristiwa ini diperlihatkan pada gambar di bawah ini.

Keadaan ini terjadi bila penderita yang im-mobil, tidak


dibaringkan terlentang mendatar, tetapi pada posisi setengah
duduk.Ada kecenderungan dari tubuh bergerak meluncur ke
bawah, apalagi bila basah.Seringkali hal ini dicegah dengan
memberikan penghalang, misalnya bantal-bantal kecil/balok kayu
pada kedua telapak kaki. Upaya ini hanya mencegah pergerakan
dari kulit, yang sekarang terfiksasi pada alas, tetapi rangka tulang
tetap cenderung maju ke depan. Akibatnya terjadi garis-garis
penekanan/peregangan pada jaringan subkutan yang seakan-

56 PIT IV PAPDI 2012


akan tergunting pada tempat-tempat tertentu, dan terjadi
penutupan arteriole dan arteri-arteri kecil akibat terlalu teregang
bahkan sampai robek.Tenaga menggunting ini disebut shearing
forces.
Sebagai tambahan akibat dari shearing forces ini,
pergerakan dari tubuh diatas alas tempatnya berbaring, dengan
fiksasi kulit pada permukaan alas akan menyebabkan terjadinya
lipatan-lipatan kulit (skin folding). Terutama terjadi pada penderita
yang kurus dengan kulit yang kendur. Lipatan-lipatan kulit yang
terjadi ini dapat menarik/mengacaukan (distorsi) dan menutup
pembuluh-pembuluh darah.
Pada gambar berikut, tampak skin folding dan tempat-
tempat yang rawan terjadinya pelipatan-pelipatan kulit sebagai
penyerta dari peristiwa shearing forces.

Sebagai tambahan dari efek iskemia langsung dari


faktor-faktor diatas, masih harus diperhatikan terjadinya
kerusakan endotil, penumpukan trombosit dan edema.Semua ini
dapat menyebabkan nekrosis jaringan akibat lebih terganggunya
aliran darah kapiler.Kerusakan endotil juga menyebabkan
pembuluh darah lebih mudah rusak bila terkena trauma.
IV. Pengelolaan
Pengelolaan Dekubitus di mulai dengan kewaspadaan
terhadap adanya faktor faktor risiko untuk terjadi
Dekubitus.Edukasi pada semua staf perawatan dan tenaga medis
yang terlibat harus di tingkatkan untuk mewaspadai terjadinya
Dekubitus.
Perlu diingat bahwa macam macam skor untuk
menghitung risiko Dekubitus, tetap harus dilengkapi dengan klinis
penderita.Ada atau tidak adanya Dekubitus dapat menjadi tolok
ukur kualitas perawatan.
Bila sudah terjadi Dekubitus, kerusakan jaringan yang
terjadi dapat di-klasifikasikan menurut European Pressure Ulcer

PIT IV PAPDI 2012 57


Advisory Panel dengan memakai modifikasidari kriteria Shea
sebagai berikut :
Stadium I
Tampak sebagai area kemerahan pada kulit, sebagai
respon inflamasi akut, terbatas pada epidermis.Sering disertai
indurasi dan edem.Kulit masih utuh, dengan penekanan warna
kemerahan tidak pudar, dapat terasa sakit.Bila warna kulit gelap,
tampak kebiruan.
Stadium II
Tampak seperti melepuh, abrasi sampai ulserasi yang
dangkal, menembus epidermis sampai dermis, tetapi tidak
sampai melewati jaringan sub-kutis.
Batas batas mulai kurang jelas, basah dan terasa sakit
Stadium III
Seluruh lapisan kulit terkena, menembus jaringan sub-
kutis, tapi tidak sampai melewati bungkus otot.Dapat terjadi luka
yang meluas dibawah kulit, dengan jaringan nekrotik yang
berbau. Rasa sakit sering tidak jelas
Stadium IV
Perluasan luka mengenai seluruh lapisan kulit, menembus
bungkus otot, mengenai otot, tendo dan tulang.Dapat terjadi
Osteomielitis atau arthritis septik
Untuk stadium I dan stadium II, biasanya cukup dengan
pengobatan medis biasa dan dikerjakan diruangan, diluar kamar
bedah.Pada stadium III dan stadium IV, penderita sudah
membutuhkan tindakan bedah.
Medical Approach dikerjakan dengan konsep menjaga
suasana luka tetap basah/moist. Saat ini banyak tersedia macam
macam pembalut luka yang menutupi luka tetapi mencegah
terjadinya penguapan.
Cairan luka mengandung macam macam Growth Factor
yang mempercepat penyembuahan, misalnya Interleukin-I,
Epidermal Growth Factor dan Platelet Derived Growth Factor
Beta.Suasana basah dan lembab ini dapat membantu migrasi
dari epithel dan mencegah pertumbuhan bakteri.Cairan luka ini
juga menstimulasi fibroblast.
Baik untuk luka yang akut maupun kronik, fungsi terpenting
dari balut adalah menjaga suasana basah yang menyembuhkan
ini.Untuk stadium I biasanya masih belum membutuhkan balut.
Growth Factors yang diberikan secara topikal terbukti
mempercepat penyembuahan. Diantaranya Transforming Growth
Factor Alpha and Beta, Epidermal Growth Factor, Platelet

58 PIT IV PAPDI 2012


Derived Growth Factor, Fibroblast Growth Factor, Interlukeukin I,
Interleukin 2 dan TNF-alfa.
Sebaliknya beberapa antiseptik, misalnya Povidone-iodine,
Hexachlorophene bersifat sitotoksik dan menghambat
penyembuahan luka.
Balut dan cara membalut yang baik ini tidak dapat
mengenyampingkan tindakan Debridement. Debris nekrotik sulit
untuk dihilangkan hanya dengan fagositosis.
Cara membuang debris ini masih kontroversial, al :
1. Dengan memakai balut yang bersifat menyerap. Tetapi
menunggu balut menjadi kering dulu baru di angkat, dapat
mengganggu epitelisasi.
2. Otolisis dengan bantuan zatzat yang bersifat enzimatik.
Upaya ini membutuhkan waktu lama sampai berminggu
minggu. Misalnya dengan Collagenase dan Papain.
3. Debridement secara tajam dengan tindakan bedah paling
cepat menghilangkan jaringan nekrotik dan merupakan pilihan
bila ada infeksi.Tetapi cara ini juga dapat merusak jaringan
jaringan sehat.
Upaya menutup luka dengan tindakan bedah juga
mempercepat penyembuhan luka. Tetapi sering dihadapkan pada
situasi dimana penderita Lanjut Usia yang rapuh ini tidak dapat
menjalani pembedahan.
Pada ulkus yang dalam sebaiknya ditutup setelah status
kesehatan memungkinkan. Amputasi merupakan cara akhir bila
luka tidak mau sembuh dan rekonstruksi tidak memungkinkan.
Pada keadaan spastisitas atau kontraktur mungkin
dibutuhkan ahli bedah syaraf dan ahli kedokteran fisik &
rehabilitasi.Dan untuk menjaga luka tidak terkontaminasi urine,
dibutuhkan bantuan urologis untuk sementara mengalihkan aliran
urine.Demikian juga bila jalan feses perlu dialihkan, diperlukan
bantuan dari ahli bedah digestif.
Antibiotik topikal dapat diberikan pada luka yang lambat
menyembuh. Biasanya dari kultur didapatkan a.l : Pseudomonas,
Clostridia atau spesies Providencia. Gentamicin merupakan salah
satu Antibiotik topikal yang dapat dipakai, dan metronidazole bila
di duga ada infeksi anaerob.Selain topikal, juga dapat diberikan
secara sistemik.
Status nutrisi, merupakan salah satu faktor yang reversibel,
harus dioptimalkan. Bila cara enteral belum mungkin, diberikan
lewat parenteral. Balans Nitrogen harus diusahakan tetap positif,
dan peningkatan kadar serum albumin mencapai 5 mg %. Hal ini
sudah terbukti mempercepat penyembuhan luka.

PIT IV PAPDI 2012 59


Komplikasi yang serius dari ulserasi kronik ini adalah
degenerasi maligna. Pertama dilaporkan oleh Marjolin th 1828.
Terjadi Squamous Cell Carsinoma yang biasanya terlambat
diketahui dan sudah terjadi metastasis.Sebaiknya pada ulkus
yang respon sembuhnya lama dan sulit, dilakukan biopsi dan
skrining Patologi Anataomi.
V.Penutup
Keberhasian mencegah terjadinya Ulkus Dekubitus
merupakan cerminan dari perawatan penderita yang baik.Tetapi
walaupun upaya upaya pencegahan sudah dilakukan, pressure
ulcer masih mungkin terjadi.
Pengelolaan Dekubitus a.l dengan meminimalkan faktor
tekanan, menjaga luka bersih dan terhindar dari infeksi, stimulasi
pertumbuhan jaringan pada luka dan rekontruksi secara
pembedahan bila dibutuhkan.
Pendekatan multidisiplin secara interdisiplin akan
memberikan hasil yang terbaik.

VI. Daftar Pustaka


1. Jordan, J.M. : Practical management of pressure sores.
Canadian Family Physician Vol. 38, Oct. 1992.
2. Thomas, D.R. : Prevention and treatment of pressure
ulcers : what works ? what doesnt ? Cleveland Clinic
Journal of Medicine, Vol. 68 No. 8 August 2001.
3. Dolynchuk, K ; Atkinson, A. et al : Best practices for the
prevention and treatment of pressure ulcers ostomy-wound
management 2000 ; 46 (11) 38-52.
4. Kris Pranarka, Geriatric Giants. Temu Ilmiah Nasional I
PERGEMI, Semarang, 2002.
5. Adunsky A ; Ohry A : Decubitus direct current treatment of
pressure ulcers. Archives of Gerontology and Geriatrics.
Vol. 41, 2005.
6. Reddy, M ; Gill, S.S. ; Rochon P.A : Preventing pressure
ulcers : a systemic review. JAMA, Vol. 296 No. 8, August
23/30, 2006.
7. European Pressure Ulcer Advisory Panel : Pressure ulcer
treatment guidelines, 1998.
8. Salcido, R ; Popescu, A : Pressure ulcers and wound care
medicine, Jan. 10, 2008.
9. Revis, R.D. JR : Pressure ulcers, non surgical treatment
and principles. Medicine, Feb. 12, 2008.

60 PIT IV PAPDI 2012


10. Kris pranarka, Current management of pressure ulcer.
Symposium in Gerontologi & Geriatric Medicine. Surakarta,
2010

PIT IV PAPDI 2012 61


Dr. Dewa Putu Pramantara, Sp.PD, KGer, FINASIM
Incontinensia Urine

62 PIT IV PAPDI 2012


Dr. Soemarmi Soewoto, Sp.PD,KGer, FINASIM Nutrition
Elderly

PIT IV PAPDI 2012 63


IMOBILISASI PADA LANJUT USIA

Fatichati, Sumarmi , Guntur

Imobilisasi merupakan masalah serius dibidang geriatri


karena kasusnya sering ditemui, menyertai berbagai kelainan fisik
geriatri yang sudah bersifat multipatologik. Secara definisi
imobilisasi dinyatakan sebagai keadaan tidak bergerak/ tirah
baring selama 3 hari atau lebih dengan gerak anatomik tubuh
menghilang akibat perubahan fungsi fisiologik. Didalam praktek
medik istilah tersebut digunakan untuk menggambarkan sebuah
sindrom degenerasi fisiologik yang merupakan akibat dari
penurunan aktifitas atau deconditioning1.
Harus disadari pentingnya mengenal faktor risiko
imobilisasi, meliputi penyakit fisik, kondisi kognitif, status mental
maupun faktor lingkungan. Gangguan muskuloskeletal,
kardiovaskular dan pulmonal, serta gangguan neurologis misalnya
stroke merupakan keadaan fisik yang dapat menyebabkan pasien
mengalami imobilisasi. Fungsi kognitif yang terganggu misalnya
demensia berat, harus diperhatikan karena akan menyebabkan
imobilisasi. Fraktur pada lansia, sering membuat pasien geriatri
gagal berjalan yang akhirnya berakhir dengan imobilisasi1.
Meskipun upaya dideteksi terhadap risiko imobilisasi sudah
dilakukan, imobilisasi seringkali tidak dapat terhindari. Sehingga
perlu sadari bahwa imobilisasi akan memberikan dampak terhadap
fungsi metabolisme dan fungsi organ yang akan menyebabkan
timbulnya komplikasi. Upaya pencegahan maupun tatalaksana
komplikasi harus dilaksanakan agar tidak memperberat kondisi
dan mencegah terjadinya mortalitas1.
Secara umum penyebab imobilisasi adalah faktor fisik,
psikis dan lingkungan. Gangguan muskuloskeletal, berupa,
osteoarthtritis, kekakuan otot dan ketidakseimbangan, rasa lemah
dan nyeri serta gangguan psikis adalah penyebab utama
imobilisasi. Rasa lemah sering ditimbulkan oleh malnutrisi, tidak
digunakannya otot, miopati, anemia dan gangguan
elektrolit.Kekakuan otot pada lanjut usia yang paling sering
diakibatkan oleh osteoarthritis, selain juga dapat disebabkan oleh
parkinson, athritis rematoid dan gout 1,4.
Rasa nyeri dapat menyebabkan pasien tidak berani
bergerak, sehingga perlu juga kita evaluasi apakah ditimbulkan
oleh tulang (osteoporosis, osteomalasia, paget disease, trauma,
metastase keganasan), sendi (osteoarthritis, arthritis rematoid,
gout), otot( polimyalgia, pseudoclaudication) atau kelainan kaki1.

64 PIT IV PAPDI 2012


Gangguan keseimbangan harus diperhatikan misalnya
gangguan pada sistem vestibular, neuropati karena DM atau
hipotensi ortostatik1
Gangguan kognitif berupa demensia berat dan gangguan
psikis pada depresi juga merupakan penyebab imobilisasi. Selain
itu perlakuan keluarga yang mencegah pasien banyak bergerak
mempunyai andil kejadian imobilisasi1,4 .
Faktor yang sering terlewatkan oleh tenaga medis adalah
konsumsi alkohol, obat-obatan hipnotik , antidepresan yang
berefek sedatif karena menyebabkan rasa kantuk dan ataksia 1,3

KOMPLIKASI IMOBILISASI:

Trombosis
Keadaan tidak bergerak dalam waktu lama dapat menyebabkan
akumulasi lekosit dan trombosit teraktivasi, hiposia lokal sehingga
berakibat trombosis vena dalam. Gejala dapat dikenali dari rasa
panas, nyeri dan bengkak pada ekstremitas. Penapisan adanya
trombosis dengan pemeriksaan D Dimer. Sedangkan diagnosis
pastinya ditegakkan dengan ultrasonografi, tomografi dan (
Magnetic resonance Imaging) MRI 1.

Emboli Paru
Trombus pada vena dalam di tungkai bawah yang terlepas, akan
menyebabkan penyumbatan pada aliran darah ke paru. Hal
tersebut banyak menyebabkan morbiditas dan mortalitas pada
usia lanjut. Gejala yang ditimbulkan ada adalah sesak nafas, nyeri
dada dan peningkatan denyut nadi1.

Kelemahan otot
Imobilisasi lama akan menyebabkan atrofi otot, karena penurunan
massa, ukuran dan kekuatan otot. Hal tersebut dibuktikan dengan
penurunan ukuran lingkar otot 2.1-21 % kekuatan hingga 1-2 %
per hari. Selain berkaitan dengan imobilisasi, kelemahan otot
berkaitan juga dengan penurunan kapasitas fungsional,
kelemahan dan jatuh. Proses menua, akumulasi penyakit dan
gangguan nutrisi merupakan penyebab hal tersebut Imobilisasi
lama akan menyebabkan degenerasi otot, pembentukan jaringan
lemak dan fibrosis. Sehingga massa otot akan berkurang separuh
dari ukuran semula setelah imobilisasi lebih dari 2 bulan 1.

PIT IV PAPDI 2012 65


Kontraktur otot dan sendi
Tirah baring atau tidak bergerak dalam waktu lama berisiko
menyebabkan kontraktur pada sendi , otot dan jaringan jaringan
penunjang sekitar sendi. Kontraktur dapat menimbulkan rasa
nyeri, yang semakin memperparah kekakuan sendi. Selain itu
spastisitas, neuroleptik, faktor mekanis dan posisi juga
berpengaruh. Infeksi, inflamasi sendi, trauma sendi akan
berakibat kontraktur atrogenik1 .
Deteksi dini, pencegahan dan penatalaksanaan kontraktur
diharapkan dapat menghambat timbulnya kontaktur dan
mencegah keparahan kontraktur. Yaitu dengan mobilisasi dini,
mengurangi rasa nyeri dan posisi yang tepat terhadap ekstremitas
yang terlibat1 .

Osteoporosis
Imobilisasi akan meningkatkan resorbsi tulang, menurunkan
kalsium total tubuh, menghambat sekresi PTH dan vitamin D3
aktif. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa imobilisasi berkorelasi
positif terhadap kalsium serum dan resorbsi tulang, serta
berkorelasi negatif dengan indeks barthel1 .

Ulkus dekubitus
Keadaan tidak bergerak baik aktif maupun pasif berakibat tekanan
terus menerus pada tempat yang sama dalam waktu lama. Jika
tekanan yang terjadi mencapai 25 cmhg, maka aliran darah
kapiler menjadi terhambat dan menyebabkan hipoksia dan
nekrosis kulit. Kemudian kompresi kapiler juga mengakibatkan
trombosis intra arteri yang akan mempertahankan iskemia. Relief
luka tekanan akan menyebabkan arteri tidak dapat terbuka dan
mengakibatkan luka1.
Komplikasi ini merupakan komplikasi yang paling sering muncul
dari imobilisasi. Sehingga perlu diperhatikan faktor risiko
diantaranya demam, penurunan kesadaran, malnutrisi,
hipoalbuminemia, anemia, fraktur, kakeksia, syok dan dehidrasi 1,2.

Hipotensi postural
Tirah baring paling tidak 3 minggu akan menyebabkan gangguan
kemampuan untuk menyesuaikan diri antara posisi berbaring dan
posisi berdiri pada orang sehat, terutama pada lanjut usia, akibat
perubahan kemampuan respon kardiovaskular. Sehingga terjadi
penurunan volume sekuncup dan curah jantung. Pada lanjut usia
yang berubah posisi dari berbaring menjadi duduk atau berdiri
akan terjadi penurunan tekanan darah sistolik 20 mmhg. Hal

66 PIT IV PAPDI 2012


tersebut dirasakan sebagai rasa pusing, sinkop yang akan berisiko
jatuh dan dikhawatirkan cedera jaringan lunak atau tulang (fraktur).

Pneumonia
Pada posisi berbaring, gerakan otot nafas terbatas sehingga
terjadi retensi sputum dan mudah terjadi aspirasi. Selain itu
karena menua maka daya pegas menurun dan perubahan tekanan
katup penutup saluran nafas menurun sehingga makin
memudahkan lansia mengalami atelektasis dan pneumonia1.

Infeksi Saluran kemih


Kondisi tirah baring maka bisa menyebabkan inkontinensia
ataupun retensi urin. Stasis urin menyebakan mudah terjadi infeksi
bahkan pembentukan batu, jika disertai hiperkalsiuria. Inkontinensi
urin, diakibatkan kehilangan kemampuan berkemih secara
sempurna, atau hilangnya kemampuan menuju ke toilet. Selain itu
kandung kemih cenderung lebih peka terhadap sensasi urin,
sehingga lebih mudah adanya rangsang ingin kencing1.

Gangguan nutrisi
Kadar kortisol pada lanjut usia dengan imobilisasi akan meningkat.
Akibatnya akan cenderung terjadi katabolisme protein. Dalam tirah
baring selama 7 hari akan terjadi peningkatan ekskresi protein.
Maka akan menyebabkan hipoalbuminemia, edema dan
penurunan kesadaran. Pada keadaan infeksi , trauma, fraktur dan
malnutrisi maka kekurangan protein semakin berat1.

Konstipasi
Imobilisasi berakibat waktu transit di kolon lebih panjang, sehingga
absorbsi cairan lebih banyak, konsistensi feces lebih keras dan
mudah terbentuk skibala1.

PENGKAJIAN TERHADAP PASIEN IMOBILISASI


Riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik merupakan bagian
penting dari pengkajian pasien imobilisasi. Riwayat seberapa lama
dan berat imobilisasi, penyakit yang mungkin menyebabkan
imobilisasi dan evaluasi pemberian obat. Rasa nyeri harus
dimonitor karena bisa menjadi kausa . Kemungkinan depresi,
ketakutan dideteksi karena bisa menjadi penyebab atau menjadi
faktor penyulit dalam tatalaksana. Evaluasi terhadap lingkungan
dan alat bantu yang digunakan pasien juga diperlukan 4.
Pemeriksaan kulit harus dilakukan secara rutin untuk
mendeteksi munculnya ulkus dekubitus secara dini. Pemeriksaan

PIT IV PAPDI 2012 67


fisik paru jantung, volume intravaskular dan perubahan tekanan
darah serta nadi penting untuk penatalaksanaan imobilisasi.
Fungsi muskuloskeletal harus dinilai, yaitu tonus otot dan
kekuatannya, serta menilai kekuatan sendi. Penilaian status
neurologik berguna untuk melihat apakah imobilisasi dikarenakan
stroke dan sebagainya. Tingkat mobilisasi juga dinilai apakah
pasien betul-betul hanya mampu berbaring, atau masih mampu
duduk, berpindah tempat dan gaya berjalan juga harus periksa4 .

TATA LAKSANA IMOBILISASI

Non farmakologis 1,5 :


- Latihan jasmani dengan mobilisasi dini dan peningkatan
bertahap
- Pencegahan dekubitus dengan alih baring, bantal
berongga dan kasur dekubitus
- Memperhatikan hemodinamik, dengan memperhatikan
obat-obatan yang mengganggu hemodinamik
- Perhatian terhadap nutrisi yang adekuat.
Farmakologik 1,5
- Pemberian antikoagulan bila perlu dengan memperhatikan
efek samping

Referensi :
1. Setiati, Arya Govinda R. Imobilisasi pada usia lanjut. Dalam
Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Simadibrata M, Setiati . Buku
ajar Ilmu Penyakit Dalam Pusat Penerbitan Departemen
Ilmu Penyakit Dalam Jakarta. 2006 1398 - 1402..
2. Elise M. Coletta. Pressure Ulcers: Practical Considerations
in Prevention and Treatment.In : Gallo, Joseph J.; Busby-
Whitehead, Jan; Rabins, Peter V.; Silliman, Rebecca A.;
Murphy, John B.; Reichel, William (Eds). Reichel's Care of
the Elderly: Clinical Aspects of Aging, 5th Edition.Lippincott
Williams & Wilkins. 1999 262-266.
3. Catherine De Beau . Urinary Incontinence. In : Landefeld,
C. Seth; Palmer, Robert M.; Johnson, Mary Anne G;
Johnston, C. Bree; Lyons, William L. (Eds). Current
Geriatric Diagnosis & Treatment, 1st Edition. McGraw-Hill
4. 2004 240 246.
5. Lynn McNicoll , Sharon K. Inouye. Delirium.In : Landefeld,
C. Seth; Palmer, Robert M.; Johnson, Mary Anne G.;
Johnston, C. Bree; Lyons, William L (Eds). Current

68 PIT IV PAPDI 2012


Geriatric Diagnosis & Treatment, 1st Edition McGraw-Hill
2004 50-57
6. Kane, Robert L.; Ouslander, Joseph G.; Abrass, Itamar
B.Immobility. In : Kane, Robert L.; Ouslander, Joseph G.;
Abrass, Itamar B. Essentials of Clinical Geriatrics, 5th
Edition. McGraw-Hill. 2004. 242 -256

PIT IV PAPDI 2012 69


LATIHAN PENGUATAN OTOT UNTUK MENCEGAH JATUH
PADA USIA LANJUT

dr. Trilastiti Widowati, SpKFR, MKes

Jatuh adalah suatu keadaan dimana tubuh tidak dapat


memelihara pergeseran dari gaya gravitasi terhadap dasar
support. Instabilitas gait dan jatuh merupakan kejadian yang sering
pada usia lanjut. Jatuh merupakan penyebab utama morbiditas
pada usia lanjut. Kejadian jatuh kemungkinan merupakan pertanda
kelemahan pada usia lanjut dan jatuh merupakan prediktor
sekaligus penyebab mortalitas. Hampir sepertiga dari populasi
berusia 65 tahun ke atas mengalami jatuh sedikitnya sekali dalam
setahun (Panduan Pelayanan Medis Departemen Rehabilitasi
Medik RSUP Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo, 2012).
Runge, et all (2000) menyatakan bahwa pada usia lanjut,
kemampuan mobilitas merupakan hal penting bagi kemandirian
fungsional yang mana fungsi otot adalah faktor penting bagi
mobilitas. Dari hasil analisis statistic Berlin Age Statistik, gangguan
pergerakan, berjalan, keseimbangan badan, merupakan
determinan paling menentukan pada terganggunya status
kemandirian fungsional, yang mana fungsi otot ekstremitas bawah
merupakan faktor paling penting dalam kemampuan lokomotor .
Faktor resiko jatuh :
1. Faktor ekstrinsik
Berhubungan dengan keadaan lingkungan (lantai licin,
cahaya kurang, rintangan / undakan, penggunaan alat bantu
gerak).
2. Faktor intrinsik
Gangguan visual : presbiopia, lapang pandang, pandangan
malam hari.
Gangguan saraf : vibrasi, propioseptif, refleks, fungsi
serebral reaction time memanjang.
Gangguan muskuloskeletal : kekakuan, kekuatan otot
menurun.
Gangguan kardiovaskular : hipotensi ortostatik.
Gangguan pola jalan : pada swing phase kaki tidak
diangkat cukup tinggi, wide-based pada pria tua dan
narrow-based pada wanita tua.
Gangguan auditori.
Riwayat jatuh sebelumnya.
Penggunaan medikametosa : psikotropik, polifarmasi.

70 PIT IV PAPDI 2012


Penyakit-penyakit lain : demensia, stroke, arthritis,
diabetes, gangguan vestibular.
Rasa takut jatuh.
Masalah kaki.
Tinetti balance & gait test.
Get-up dan go test : < 37 100 % resiko jatuh.
Timed up dan go test : 20 detik resiko tinggi untuk jatuh.
Menilai ayunan tubuh.
Menilai dimana dan kapan meletakkan kaki.
Multiple stepping.
Lateral stepping.
(Panduan Pelayanan Medis Departemen Rehabilitasi Medik RSUP
Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo, 2012).
Kita harus membahas kondisi-kondisi yang
mempredisposisi kejadian terjatuh, dan mempertimbangkan aspek
biomekanik dari kejadian terjatuh, yang mana akan menciptakan
gaya-gaya dan energi yang mampu mematahkan tulang. Tulang
dapat patah apabila energi yang dibebankan kepadanya melebihi
kekuatan tulang tersebut (Runge, et all, 2000).
Kita harus mempertimbangkan mekanisme patologis yang
dimulai dari kelainan pergerakan langkah kaki dan gangguan
keseimbangan sampai berakibat ke kejadian terjatuh sampai patah
tukang panggul (Runge, et all, 2000)

PIT IV PAPDI 2012 71


Faktor intrinsik
Akumulasi berbagai macam
kelainan patologi
- Kelemahan otot
- Kelainan sendi Faktor ekstrinsik
- Cacat kaki, tulang belakang, - Permukaan
penglihatan, proprioseptif lantai
Faktor kebiasaan - Gangguan vestibuler - Sepatu
Faktor situasi - Gangguan fungsi otak : - Pencahayaan
- Berjalan perhatian, koordinasi, reaksi - Suhu
- Nail tangga - Faktor gaya hidup, penyakit - Hambatan
- Berdiri akut - Lingkungan
- Berpakaian = gait / gangguan keseimbangan yang
- Mandi
berbahaya

Massa tulang Tinggi dan arah jatuh


Materi penyusun Reaksi perlindungan
Mikroarsitektur FALL Tonus otot dan sendi
dan geometri tulang Area yang terkena
Bone strength Jaringan preritrochanter
applied energy

Hubungan antar bone strength dengan applied energy

Hip fracture
(1 : 100 falls)

- Mobilitas berkurang
- Berkurangnya kemandirian fungsional
- Menurunnya fungsi spiral
- Berkurangnya kualitas hidup
- Kematian dini

Alur Patogenesis gait disorder, fall, hip fractur (Runge, et all, 2000)
Menurut Runge et all (2000), mencegah jatuh
membutuhkan reaksi neuromuskular yang cepat beradaptasi
secara tepat untuk mengatasi gangguan keseimbangan. Untuk
mencegah kejadian terjatuh menjadi menjadi patah tulang panggul
dibutuhkan reaksi proteksi yang cepat untuk mencegah kejadian
terjatuh pada region trochanteric.

72 PIT IV PAPDI 2012


Kekuatan otot akan menurun seiring dengan pertambahan
usia. Penurunan kekuatan otot anggota gerak bawah
berhubungan dengan gangguan pola jalan (gait), jatuh, fraktur
panggul, kelemahan otot, khususnya kekuatan otot Quadriceps
Femoris, merupakan faktor resiko jatuh pada usia di atas 50 tahun
(Wardhani, dkk, 2011).
Wardhani, dkk (2011) mengemukan bahwa latihan
penguatan dapat mencegah penurunan kekuatan otot dan
mempertahankan massa otot. Latihan penguatan juga mampu
mencegah penurunan massa tulang, meningkatkan metabolisme.
Mengingat banyaknya manfaat yang diperoleh disarankan untuk
melakukan latihan penguatan pada otot-otot besar tungkai bawah,
termasuk otot Quadriceps Femoris.
Latihan dianjurkan yang cukup menyenangkan, mudah
dilakukan, murah, tidak menggunakan peralatan mahal, dan
dimungkinkan individu untuk latihan secara mandiri, tanpa harus
mengeluarkan biaya untuk transportasi (Wardhani, dkk, 2011).
Hasil penelitian Wardhani, dkk (2000) menyimpulkan
bahwa latihan penguatan otot Quadriceps Femoris di rumah dapat
meningkatkan kekuatan otot dan mobilitas pasien usia lanjut.
Latihan penguatan otot dilakukan di rumah dengan
pertimbangan murah, tidak menggunakan alat-alat yang mahal
dan rumit. Latihan penguatan Quadriceps dilakukan menggunakan
beban pada tungkai bawah yang dikat pada proksimal makolus
dengan beban diatur dari 0,5 5 kg atau lebih dari hasil uji
kemampuan angkat beban pasien (Wardhani, dkk, 2011).
Beban diangkat sebanyak tiga set dengan masing-masing
10 repetisi status ambulasi pada usia lanjut dinilai sebagai skor
mobilitas fungsional dengan tes TUG (Tuned Up and Go).
Pemeriksaan TUG meliputi komponen keseimbangan status duduk
di kursi, keseimbangan dinamis bangkit dari kursi, jalan sepanjang
3 meter dan kembali lagi duduk di kursi (Wardhani, dkk, 2011).
Dari hasil beberapa penelitian pada latihan penguatan otot
yang dilakukan selama 8 minggu, terbukti adanya peningkatan
kekuatan otot. Peningkatan kekuatan otot disebabkan perubahan
anatomis, yaitu peningkatan jumlah miofibril, peningkatan ukuran
miofibril, peningkatan jumlah total protein kontraktil khususnya
kontraktil miosin (Wardhani, dkk, 2011).
Menurut Wardhani, dkk (2000) selain kekuatan otot, tes
TUG juga dipengaruhi oleh :
- Biomekanik antar sendi tubuh yang baik.
- Fleksibilitas tulang belakang dan panggul.
- Lingkup gerak sendi panggul dan anggota gerak bawah.

PIT IV PAPDI 2012 73


- Kontrol postural sistem keseimbangan.
Tetapi dengan latihan penguatan otot Quadriceps Femoris
pada beberapa penelitian telah menunjukkan perbaikan waktu
TUG pada usia lanjut.

DAFTAR PUSTAKA

________. 2012. Panduan Pelayanan Medis Departemen


Rehabilitasi Medik RSUP Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo.
Jakarta.
Runge, et all. 2000. Balance Training and Exercise in Geriatric
Patients. Jurnal Musculoskel Neuron Interact. 1 : 61-65.
Wardhani, dkk. 2011. Kekuatan Otot dan Mobilitas Usia Lanjut
setelah Latihan Penguatan Isotonik. Majalah Kedokteran
Indonesia. Volum 61 Nomor 1.

74 PIT IV PAPDI 2012


Prof. Dr. dr. Handono Kalim, Sp.PD, KR, FINASIM Biomolecular
of Rheumatic Autoimune Disease

PIT IV PAPDI 2012 75


Prof. DR. dr. H. Zainal Arifin Adnan, Sp.PD, KR, FINASIM SLE :
Rheumatology Overview

76 PIT IV PAPDI 2012


Prof. Dr. dr. HA Guntur Hermawan, Sp.PD, KPTI, FINASIM
Management Rheumatic Autoimmune Disease Focus on
Steroid

PIT IV PAPDI 2012 77


Prof. Dr. dr. Suradi, Sp. P(K), MARS Diagnostic and Management
Community Acquired Pneumonia (CAP)

78 PIT IV PAPDI 2012


Prof. Dr. dr. HA Guntur Hermawan, Sp.PD, KPTI, FINASIM The
New Oral Antibiotic Treatment in Acute Respiratory tract Infection

PIT IV PAPDI 2012 79


POLA KUMAN DAN RESISTENSINYA TERHADAP BERBAGAI
ANTIBIOTIKA DI RSUD Dr. MOEWARDI

Marwoto, Priyambodo, Leli Saptawati


Lab. Mikrobiologi Klinik RS Dr. moewardi

Telah diperiksa berbagai specimen klinis di Lab. Mikrobiologi RS


Dr. Moewardi pada semester Juli-Desember 2011 sejumlah 2614
isolat, setelah dikultur teridentifikasi 472 kuman Gram positif dan
2142 kuman Gram negatif.
5 jenis kuman terbanyak yang terdeteksi sebagai kuman
Gram positif adalah Staph. haemolyticus (139), Staph. aureus
(104), Staph. epidermidis (88), Staph. hominis (69) dan
Enterococcus faecalis (26). Setelah dilakukan uji sensitivitas
terhadap berbagai antibiotika ditemukan MRSA (Methysillin
Resistent Staphylococcus aureus) dari specimen darah (44.4%),
pus (53.1%) dan urine (29.2%).

Jenis Spesimen Gram


positif di RSDM
Juli - Desember 2011
Darah
21 Pus
105
176
Urin
94 Sputum
76 Lain-lain

Bakteri Gram Positif


di RSDM Juli -
Desember 2011
S.
72 139 haemolyticu
69 s
S. aureus
88

104 S.
epidermidis

80 PIT IV PAPDI 2012


Angka kejadian MRSA di
RSDM
Juli - Desember 2011

MRSA
positif
MRSA
negatif

Perbandingan angka kejadian


MRSA di RSDM periode Jan -
Juni dan Juli - Des 2011
100
MRSA
50 positif
MRSA
0 negatif
Jan-Jun Jul-Des

Kuman Gram negitif yang teridentifikasi adalah E. coli


(432), K. pneumonia (385), Ac. baumani (334), Ps. aeroginosa
(248), Sr. marcescens (160) dan En. cloacae (152). Setelah
dilakukan uji sensitivitas dan dianalisis kejadian ESBL (Extended
Spectrum Beta Lactamase) terhadap E. coli dan K. pneumonia
ditemukan isolat 391 ESBL positif dan 409 negatif.

PIT IV PAPDI 2012 81


Jenis spesimen Gram negatif
RSDM Juli-Des 2011
Urin
80 60
389
555
Sputum
427 478

Darah

Bakteri Gram negatif di


RSDM
E. coli
183
Juli-Des 2011
K.
160 133 432 pneumoniae
A. baumanii

248 P. aeruginosa

B. cepacia
334
385

Angka kejadian ESBL Perbandingan angka


di RSDM kejadian ESBL di RSDM
Juli - Desember 2011 periode Januari - Juni
ESBL 500 ESBL
positif positif
ESBL 0 ESBL
negatif Jan-Jun Jul-Des negatif

82 PIT IV PAPDI 2012


Dr. Rory Hartono Etika Kedokteran

PIT IV PAPDI 2012 83


Dr. P. Kusnanto, Sp.PD, KGEH Natural History of Hepatitis B

84 PIT IV PAPDI 2012


Dr. T Yuli Pramana, Sp.PD, KGEH, FINASIM Complication
of Hepatitis B

PIT IV PAPDI 2012 85


Dr. M. Tantoro Harmono, Sp.PD, KGEH, FINASIM Antiviral
Treatment in Hepatitis B focused Lamivudine

86 PIT IV PAPDI 2012


Prof. Dr. dr. M. Yogiantoro, Sp.PD,KGH, FINASIM Supression of
Sympathetic Drive in Hypertension Management (OC)

PIT IV PAPDI 2012 87


DR. dr. HM. Bambang Purwanto, Sp.PD, KGH, FINASIM Beta
Blockers in Management of Hypertension : An Asian Perspective

88 PIT IV PAPDI 2012


DR. dr. Sugiarto, Sp.PD, FINASIM Which Population will benefit
most in Hypertension Management with Beta Blockers

PIT IV PAPDI 2012 89


Dr.Supriyanto K, Sp.PD, FINASIM The Role of PPAR in Insulin
Resistance

90 PIT IV PAPDI 2012


DR. dr. Sugiarto, Sp.PD, FINASIM Managing T2DM beyond
Glicemic Control

PIT IV PAPDI 2012 91


DR. dr. HM. Bambang Purwanto, Sp.PD, KGH, FINASIM Long
Term Cardiovascular Outcomes of ARBs for Hypertensive Patient

92 PIT IV PAPDI 2012


DR. dr. HM. Bambang Purwanto, Sp.PD, KGH, FINASIM The
Role of Ketoacid for Quality of Life in Kidney Disease

PIT IV PAPDI 2012 93


Dr. dr Lestariningsih, Sp.PD, KGH, FINASIM Management
of Anemia Focused on eritropoetin in CKD

94 PIT IV PAPDI 2012


Anemia Management focused on iron suplement in CKD

Wachid Putranto

PENDAHULUAN
Anemia merupakan salah satu komplikasi Penyakit Ginjal
Kronis ( PGK ) yang terpenting. Menyebabkan berbagai macam
gejala yang mengakibatkan keterbatasan keterbatasan pada
pasien, Beberapa penelitian menunjukkan hubungan antara
anemia pada PGK dengan meningkatnya risiko mortalitas maupun
hospitalisasi. ( Fisbane, 2009)
Anemia biasa terjadi pada pasien PGK dan memberikan
pengaruh terhadap outcome. Penelitian observasional
menunjukkan bahwa kadar Hemoglobin yang rendah
meningkatkan risiko progresivitas penyakit ginjal dan morbiditas
maupun mortalitas kardiovaskuler(Mehdi ,2009)
Anemia pada pasien pasien Penyakit Ginjal Kronis (PGK )
mempunyai akibat yang tidak menguntungkan, meliputi
berkurangnya ambilan maupun penggunaan oksigen oleh jaringan,
peningkatan kerja jantung dan cardiac output, dilatasi ventrikel,
dan hipertropi ventrekel. Manifestasi klinis meliputi fatigue,
berkurangnya toleransi saat latihan, angina pectoris, gagal
jantung, gangguan mental maupun kognitif, berkurangnya
kemampuan daya tahan tubuh terhadap infeksi. Pada anak anak
dengan PGK, anemia ini akan menyebabkan gangguan
pertumbuhan. (Bargman ,2010, Fisbane, 2009 )
Anemia pada pasien _ pasien PGK terutama terjadi akibat
ketidakmampuan ginjal untuk menghasilkan jumlah eritropoetin
yang adekuat. Hal ini disertai dengan berkurangnya ketahanan
hidup sel darah merah dalam suasana uremia dan defisiensi zat
besi sebagai factor pemberat. (Obrador . 2009)

DEFINISI
Definisi PGK : 1. Kerusakan ginjal yang terjadi selama 3
bulan atau lebih yang ditunjukan dengan adanya abnormalitas
struktur maupun fungsi ginjal dengan atau tanpa penurunan Laju
Filtrasi Glomerulus ( LFG ) yang mempunyai manifestasi berupa
abnormalitas patologi maupun mar ker kerusakan ginjal meliputi
abnormalitas komposisi darah atau urine, atau imaging. Atau 2.
LFG 60 ml/ mnt/ 1.37 m2 selama 3 bulan atau lebih dengan atau
tanpa marker kerusakan ginjal. ( K/DOQI,2002 )
CKD stage 2 hanya mempunyai manifestasi berupa
penurunan LFG. Penurunan LFG ini akan berlangsung secara

PIT IV PAPDI 2012 95


progresif menuju stage 3 dan 4. Pada stage 3 dan 4 ini mulai
tampak kelainan laboratorium. Sindrom uremia yang ditandai
berbagai macam gejala maupun tanda mulai muncul pada pasien
CKD stadium lanjut yaitu LFG < !0 - !5 ml/ menit / 1,73 m2 ) dan
terjadi disfungsi organ menyeluruh ( stage 5 ) (Obrador , 2009 )

Stage Description GFR ( ml/ Management


Minute /1,73m2 )
At increased risk >90 ( CKD risk factor) Screening CKD risk
Reduction

1 Kidney damage with > 90 Diagnosis risk


Reduction
2 Mild GFR 60 89 Estimating
progression
3 Moderate GFR 30 59 Estimating and
treating Complication
4 Severe GFR 15 29 Preparation for
kidney replacement
terapy
5 Kidney failure <15 0r dialysis Replacement, if
uremia if present
Tabel 1. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronis dan rekomendasi
penatalaksanaan.( Obrador , 2009 )

Berdasarkan National Kidney Foundation ( NKF ) Anemia


pada pasien PGK adalah apabila didapatkan kadar hemoglobin <
13,5 g/dl pada pria dan < 12 g/dl pada wanita. (Mehdi, 2009 )
Anemia merupakan komplikasi yang sering terjadi pada
pasien pasien PGK. Prevalensinya semakin meningkat seiring
dengan penurunan fungsi ginjal. (Regidor, 2006 )
Pada pasien pasien PGK anemia biasanya mulai terjadi
pada saat LFG turun di bawah 60 ml / menit / 1,73m2 ( K/DOQI
stage 3 ), dimana pada keadaan tersebut terjadi kekurangan
produksi erythropoietin untuk mempertahankan kadar hemoglobin
> 12 g/dl. Akibat dari berkurangnya erythropoietin ini akan
mengakibatkan terjadinya anemia normokromik normositik pada
pasien PGK maupun ESRD. Namun sebetulnya masih ada
penyebab lain anemia pada pasien PGK selain kekurangan
erythropoietin. (Obrador , 2009)
Faktor factor tambahan penyebab anemia selain
kekurangan erythropoietin adalah hiporesponsif sel progenitor
terhadap erythropoietin, kekurangan zat besi akibat perdarahan
saluran cerna, inflamasi akut maupun kronik yang disertai
gangguan penggunaan zat besi,hyperparatiroidisme yang
berakibat fibrosis sumsum tulang, dan pemendekan umur eritrosit
dalam suasana uremi. Penyebab yang jarang adalah defisiensi

96 PIT IV PAPDI 2012


folat dan vitamin B1. Sebagai tambahan, kondisi comorbid seperti
hemoglobinopathy dapat memperburuk anemia. (Bargman ,2010,
Obrador , 2009)

PENYEBAB ANEMIA PADA PGK


Defisiensi erythropoietin
Berkurangnya umur eritrosit
Gangguan perdarahan
Defisiensi besi
Hiperparatiroidisme / fibrosis sumsum tulang
Inflamasi kronis
Defisiensi folat atau vitamin B1
Hemoglobinopathy
Comorbid : hipo/hipertiroidisme, kehamilan,
HIV, autoimmune disease, obat obat imunosupresif.
Tabel 2. Penyebab anemia pada Penyakit Ginjal Kronik (Bargman
,2010)

TARGET HEMOGLOBIN
Target Hemoglobin yang dianjurkan oleh K/DOQI dan
European Best Practice Guidelines adalah 11 12 g/dl. Di United
States peningkatan kadar hemoglobin diatas !2g/dl tidak
direkomendasikan. Deborah pada penelitianya mendapatkan hasil
bahwa kadar hemoglobin 11 11,5 g/dl ( kadar terendah yang
direkomendasikan K/DOQI ) mempunyai risiko kematian yang
lebih tinggi dibandingkan kadar hemoglobin 11,5 12 g/dl. Kadar
hemoglobin !2 13 g/dl mempunyai angka survival yang paling
tinggi. Kadar hemoglobin > 13,5 g/dl disertai dengan
meningkatnya angka kematian sama dengan kadar hemoglobin 11
11,5 g /dl. (Macdougall , 2007, Regidor, 2006 )

DISTRIBUSI ZAT BESI


Hemoglobin merupakan dua per tiga besi tubuh. Zat besin
ergabung dengan transferin plasma dalam perkembangan
eritroblas di sumsum tulan dan retikulosit.Transferin mendapatkan
besi terutama dari sel retikuloendotelial (RE) ( macrophage ).
Hanya sebagian kecil besi dalam plasma diperoleh dari absorbsi
melalui duodenum dan jejunum. Pada akhir masa hidupnya, sel
darah merah dihancurkan dalam macrophage di RE system dan
zat besinya dilepaskan ke dalam plasma. Sebagian zat besi juga
disimpan dalam sel RE sebagai hemosiderin dan feritin.
(Hoffbrand , !993)

PIT IV PAPDI 2012 97


Pria(g) Wanita(g) % total
Hemoglobin 2,4 1,7 65
Feritin dan hemosiderin 1,0 ( 0,3 1,5) 0,3 ( 0 1,0) 30
Mioglobin 0,15 0,12 3,5
Ensim haem (citochrom,
, peroksidase,catalase,
Flavoprotein) 0,02 0,015 0,5
Transferin-bound iron 0,004 0,003 0,1
Tabel 3. Distribusi besi dalam tubuh ( Hoffbrand,!993)

KEBUTUHAN ZAT BESI


Kebutuhan zat besi per hari sebagai kompensasi kehilangan
zat besi tubuh dan pertumbuhan bervariasi tergantung pada umur
dan jenis kelamin. Kebutuhan tertinggi pada kehamilan dan wanita
yang sedang mengalami menstruasi. Kelompok kelompok
tersebut nampaknya mudah mengalami defisiensi besi jika
didapatka adanya penambahan kehilangan besi atau
pemanjangan kekurangan asupan besi (Hoffbrand ,!993)

Urin
Keringat
Feses menses kehamilan Pertumbuhan Total
Pria dewasa 0,5 1 0,5 1
Post menopause 0,5 1 0,5-1
Menstruasi 0,5 1 0,5-1 12
Hamil 0,5 1 1- 2 1,5 3
Anak-anak 0,5 0,6 1,1
Wanita ( 12 15 th) 0,5 1 0,5 1 0,6 1,6 2,6
Tabel 4. Perkiraan kebutuhan besi harian. Satuan mg/hari.
(Hoffbrand , !993)

Pada pasien pasien PGK terjadinya defisiensi zat besi


akibat dari peningkatan kehilangan zat besi, dan penurunan
absorbsi zat besi. Sebagai contoh, pada pasien pasien
hemodialisis, kehilangan darah ( 1 ml Sel darah merah
mengandung 1 mg besi ) berhubungan dengan prosedur
hemodialisis, digabungkan dengan kehilangan zat besi yg
berhubungan dengan prosedur pembedahan, mungkin brjumlah 3
9 mg / hari, atau lebih dari 3 4 g/ tahun. (Eschbach ,2003)

PENATALAKSANAAN DEFISIENSI BESI


Seiring dengan penggunaan epoetin atau darbopoetin,
kebutuhan akan zat besi semakin meningkat dengan tujuan agar
produksi hemoglobion lebih banyak. Pada orang normal ,
defisiensi besi absolute didefinisikan sebagai feritin serum < 15 ng
/ml dan saturasi transferin kurang dari 16%. Defisiensi besi pada
pasien dialysis bila feritin serum < 100 ng/ml dan saturasi

98 PIT IV PAPDI 2012


transferin <20 % dan persentase sel darah merah hipokromik > 10
%. Defisiensi besi fungsional bila feritin serum >100 ng/ml dan
saturasi transferin <25 %. (Eschbach ,2003)

Defisiensi besi Saturasi Transferin (%) Feritin (ng/ml) SDM hipo


Serum besi x 100 kromik(%)
TIBC

Populasi normal <16 <15 >10


PGK <20 <100 >5
Defisiensi besi fungsional <25 >100 >2,5
Inflamasi <20 >100

Tabel 5. Definisi status besi (Eschbach ,2003)

PENGGUNAN BESI ORAL


Penggunaan besi oral memberikan beberapa keuntungan
yaitu cara pemberianya mudah, lebih mudah, lebih aman, tetapi
mempunyai kelemahan yaitu efikasinya terbatas.
Beberapa preparat besi yang bias digunakan yaitu: ferrous
gluconate, ferrous sulfat, ferrous fumarat, dan polysaccharide-iron
complex. Semua preparat tersebut menimbulkan gangguan
gastrointestinal meliputi dyspepsia, konstipasi kembung. Tidak ada
perbedaan dalam hal efikasi maupun tolerabilitasnya. Pemilihan
beberapa preparat tersebut hanya berdasarkan pertimbangan
harga. (Stivelman, 2004)
Beberapa penelitian mengenai penggunaan preparat besi
oral tersebut pada pasien yang menjalani hemodialisis
menunjukan hasil yang mengecewakan. Namun sebaliknya pada
pasien PGK yang belum menjalani hemodialisis maupun pada
pasien dengan CAPD ternyata menunjukkan hasil yang
menggembirakan. Alasan mengapa terjadi kegagalan penggunaan
besi oral pada pasien hemodialisis, pertama : kurangnya
kepatuhan minum obat sehubungan dengan efek sampingnya
pada GIT, kedua: berkurangnya absorbsi besi pada pasien
hemodialisis, dan terakhir efektifitas besi oral berkurang apabila
diminum bersama dengan makanan, phospat binder, dan obat lain
yang berinteraksi dalam absorbsinya. (Stivelman, 2004)

PENGGUNAAN BESI INTRAVENA


Karena keterbatasan efikasi besi oral pada pasien
hemodialisis, besi intravena seringkali digunakan. Tiga agen besi
intravena yang seringkali digunakan secara luas adalah : iron
dextran, iron sucrose, dan ferric gluconate. (, Eschbach ,2003,
Stivelman, 2004).

PIT IV PAPDI 2012 99


Kebutuhan besi intravena bervariasi tergantung pada status
besi pada saat awal terapi dimulai, kehilangan darah pada saat
prosedur hemodialisis, dan kebutuhan epoetin untuk
mempertahankan kadar hematokrit dan hemoglobin. (Eschbach
,2003)
Dua strategi yang biasa digunakan dalam penggunaan besi
intravena pada pasien hemodialisis, pertama, berdasarkan
pemeriksaan rutin tiap tiga bulan. Jika didapatkan adanya
defisiensi besi, diberikan besi intravena secara singkat. 1000 mg
Besi diberikan dalam dosis terbagi dalam jangka waktu 2 3
minggu.strategi yang kedua adalah untuk mengantisipasi
defisiensi besi dengan cara memberikan besi dosis kecil tiap
minggu untuk mempertahankan cadangan besi.Dosis besi
intravena tiap minggu sebesar 12,5 100 mg dapat ditingkatkan
sesuai dengan respon terhadap epoetin. Monitoring dilakukan
setiap 3 bulan dengan jalan memeriksa saturasi transferin dan
kadar feritin. Serum feritin merupakan pemeriksaan tidak langsung
yang menggambarkan simpanan besi dan menggambarkan
adanya defisiensi besi pada pasien hemodialisis bila kadarnya <
100 ng/ml. Saturasi transferin menggambarkan kadar besi dalam
sirkulasi. K/DOQI merekomendasikan < 20% sebagai indicator
defisiensi besi. (, Eschbach ,2003, Macdougall 2007, Stivelman,
2004).

KEAMANAN PENGGUNAAN BESI


Penting kita ketahui dalam penggunaan zat besi ini selain
efikasinya adalah dalam hal keamananya. Beberapa efek samping
yang bias terjadi pada pemberian zat besi ini adalah : kelebihan
zat besi, risiko infeksi, stress oksidatif, dan adanya anapilaksis.
(Eschbach ,2003, Stivelman, 2004).

100 PIT IV PAPDI 2012


DAFTAR PUSTAKA
Bargman M, Skorecki K.2010. Chronic Kidney Disease. In:
Jameson L,Loscalso D (eds) Harrisons Nephrology and Acid-Base
Disorders. 17th edition. Mc Graw Hill Companies: 113 129.

Eschbach W.2003. Anemia in Chronic Renal Failure. In :Johnson


J, Feehally J ( eds ) Clinical Nephrology. 2nd edition. Mosby : 905
920.

Fishbane, Steven. 2009. Anemia in Chronic Kidney disease :


status of new therapies. Current Opinion in Nephrology &
Hypertension. March, 18 (2) : 112 115.

Hoffbrand V, Pettit E. !993. Essential Haematology. 3rd Edition.


Blackwell Scientific Publications: 36 52.

K/DOQI, 2002. Clinical practice guidelines for chronic kidney


disease: evaluation, classification and stratification. Am J
Kidney Int 64: 616-622.

Macdougall I , Eckardt K,Locatelli F. 2007.Latest US KDOQI


Anemia Guidelines update-What are the implication for Europe.
Nephrol. Dial. Transplant, 22 (10): 2738 2742.

Mehdi U, Toto D. 2009. Anemia, Diabetes, and Chronic Kidney


Disease. Diabetes Care. July; 32(7): 1320 1326.

Obrador T. 2009. Chronic Renal Failure & the Uremic Syndrome.


In :Lerma V, Berns s,Nissenson R (eds) Current Diagnosis and
Treatment Nephrology & Hypertension. 1st edition. Mc Graw Hill
Companies: 149-154.

Regidor L, Kopple D,Kovesdy P, Kilpatrick D,McAllister J,


Aronovitz J,Greenland S. 2006. Association between Changes in
Hemoglobin and Administered Erythropoesis-Stimulating Agent
and Survival inHemodialysis Patient. JASN. April 17 (4): 1181-
1191.

Stivelman C, Fishbane S, Nissenson R. 2004. Erythropoetin


Therapy in Renal Disease and Renal Failure. In: Brenner M &
Rectors( eds ) The Kidney. 7th edition. Saunders : 2539 2561.

PIT IV PAPDI 2012 101


Dr. Mika L Tobing, Sp.PD, KHOM, FINASIM Preparation of
Chemotheraphy

102 PIT IV PAPDI 2012


Dr. Supriyanto Mukti, Sp.PD Management of Chemotherapy
complication

PIT IV PAPDI 2012 103


Dr. Suradi Maryono, Sp.PD, KHOM Management of Cancer Pain

104 PIT IV PAPDI 2012


OSTEOPOROSIS : RHEUMATOLOGICAL OVERVIEW

Zainal Arifin Adnan


Divisi Reumatologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran-Universitas Sebelas Maret

Definisi
World Health Organisation (WHO) dan konsensus ahli
rematologi mendefinisikan osteoporosis sebagai penyakit tulang
sistemik yang ditandai dengan penurunanan densitas massa
tulang dan perburukan mikroarsitektur jaringan tulang,
menyebabkan kerapuhan tulang sehingga meningkatkan risiko
terjadinya fraktur. Dimana keadaan tersebut tidak memberikan
keluhan klinis, kecuali apabila telah terjadi fraktur (thief in the
night) . Sedangkan definisi lain menurut National Institute of Health
(NIH) yaitu penyakit tulang sistemik yang ditandai oleh
compromised bone strength sehingga tulang mudah patah .1,2,3

Demografi:
Lebih dari sepuluh juta penduduk Amerika terkena
osteroporosis dan sebanyak 34 juta orang sangat beresiko. Wanita
post menopause mewakili kelompok pasien yang paling besar.
Pria berusia 60 tahun ke atas mungkin menunjukkan gejala
pengeroposan tulang, meskipun risiko keretakan tulang tidak
terlihat hingga setelah usia 70 tahun. Pasien pada semua
kelompok usia yang dirawat dengan glukokortikoid mengalami
peningkatanrisiko pengeroposan tulang. Risiko fraktur kompresi
tulang belakang dan fraktur pinggul pada wanita berkulit putih post

PIT IV PAPDI 2012 105


menopause hampir mencapai 20%. Orang-orang berkulit hitam
cenderung memiliki kepadatan tulang yang lebih, dengan demikian
memiliki risiko osteoporosis jauh lebih sedikit.4,5,6

Etiologi
Banyak penyebab yang dikenali termasuk defisiensi
estrogen, glukokortikoid yang berlebihan (Cushing atau
iatrogenik), kekurangan seks steroid pada pria dan wanita,
kekurangan gaya gravitasi (imobilisasi atau penerbangan luar
angkasa), atau kekurangan gizi (kalsium, vitamin D), yang dapat
diakibatkan dari buruknya intake atau malabsorbsi. Pada
osteoporosis post menopause disebabkan oleh defisiensi
esterogen yang menyebabkan ketidakseimbangan antara formasi
tulang dan resorbsi, dimana resorbsi lebih dominan daripada
pembentukan tulang. Defisiensi estrogen juga mempertinggi
kemungkinan pengeroposan tulang melalui produksi sitokin
termasuk IL-1, selain dipengaruhi juga oleh proses penuaan
(berkurangnya populasi osteoprogenitor, defisiensi nutrisional dan
malabsorbsi).5,7,8,9,10,11,12
Mekanisme dasar kerapuhan tulang terjadi karena
beberapakeadaan, yaitu 5:
1. Kegagalan memproduksi massa dan kekuatan tulang secara
optimal selama pertumbuhan atau non optimal peak bone
mass.
2. Resorpsi tulang yang berlebihan mengakibatkan berkurangnya
densitas tulang dan kerusakan mikroarsitektur dari sistem
skeleton.
3. Berkurangnya aktivitas osteoblastik dalam merespon
peningkatan resorpsi selama remodeling tulang.

106 PIT IV PAPDI 2012


Klasifikasi
Klasifikasi osteoporosis adalah sebagai berikut12 :
1. Osteoporosis primer
Adalah osteoporosis yang tidak diketahui sebabnya.
1) Tipe I (post menopausal):
Terjadi 15-20 tahun setelah menopause (53-75 tahun).
Ditandai oleh fraktur tulang belakang tipe crush, Colless
fracture dan berkurangnya jumlah gigi geligi. Hal ini
disebabkan luasnya jaringan trabekular pada tempat
tersebut, dimana jaringan trabekular lebih responsif
terhadap defisiensi estrogen .
2) Tipe II (senile):
Terjadi pada pria dan wanita usia 70 tahun. Ditandai
oleh fraktur panggul dan tulang belakang tipe wedge.
Hilangnya massa tulang kortikal terbesar terjadi pada
usia tersebut.
2. Osteoporosis sekunder:
Dapat terjadi pada tiap kelompok umur. Tabel 1 menunjukkan
etiologi osteoporosis sekunder.

PIT IV PAPDI 2012 107


Tabel. 1. Penyebab Osteoporosis Sekunder pada Dewasa 12

Penyakit endokrin metabolisme


atau Keadaan kollagen
Penyebab metabolik Malnutrisi Obat-obatan abnormal Lain-lain

Keracunan Vit Osteogenesis Arthritis


Hipogonadisme Malabsorbsi
D imperfecta Reumatoid
Hiperadrenokortisme Sindrome Phenytoin Homosistinuria Myeloma & Ca
malnutrisi due to
cystathionine
Deficiency
Tirotoksikosis Peny. Hati Glukokortikoid Sindrome Immobilisasi
kronik Ehlers-Danlos
Anorexia nervosa Operasi Phenobarbital sindrom Marfan asidosis tubulus
lambung ginjal
Hiperprolaktinemia Defisiensi Vit D Terapi tiroid Thalassemia
Porphyria Defisiensi Heparin Mastositosis
kalsium
Hipophosphatasia Alkoholisme Gonadotropin- Hiperkalsiuria
(dewasa) releasing COPD
hormone
DM tipe 1 antagonists transplantasi
Organ
Kehamilan Cholestatis liver
Hiperparatiroid
Akromegali

Patogenesis osteoporosis
Mekanisme Dasar kerapuhan sistem skeletal terjadi karena :16
a. Kegagalan memproduksi masa dan kekuatan optimal pada
sistem skeletal selama pertumbuhan.
b. Resorbsi tulang yang berlebihan yang menyebabkan
berkurangnya masa tulang dan kerusakan mikro arsitektur
dari sistem skeleton.
c. Berkurangnya aktivitas osteoblastik dalam merespon
peningkatan resorbsi selama remodeling tulang.
Sebagai tambahan, insidensi fraktur karena kerapuhan,
yang sering didapatkan pada pinggul dan pergelangan tangan,
sangat ditentukan oleh frekwensi dan arah trauma (jatuh).

108 PIT IV PAPDI 2012


Remodeling tulang atau Bone Multicellular Units (BMUs)
yang di jelaskan oleh Frost dkk dapat terjadi baik pada permukaan
tulang trabekular sebagai Lacuna Howship Ireguler maupun pada
tulang kortikal (sistema haversi).Seperti digambarkan dibawah ini,
proses bermula dengan aktivasi prekursor hematopoetik yang
menjadi osteoklas, dimana secara normal memerlukan interaksi
dengan sel-sel dari lini osteoblas. Karena resorbsi dan fase
reversal dari remodeling tulang sangat pendek dan periode yang
diperlukan oleh osteoblas untuk menggantikan bagian yang
diresorbsi sangat lama, segala macam peningkatan aktivitas
remodeling tulang akan menghasilkan hilangnya masa tulang.
Semakin banyak lakuna howship dan kanal haversi yang tidak
terisi, kondisi ini akan melemahkan tulang. Resorbsi yang
berlebihan dapat juga berakibat hilangnya struktur trabekular, jadi
tidak ada kerangka untuk pembentukan tulang. Bagaimanapun,
tingkat resorbsi yang tinggi tidak selalu diasosiasikan dengan
hilangnya masa tulang, sebagai contoh selama pertumbuhan
pubertas.17,18,19

Peran Esterogen
Berkurangnya esterogen pada wanita post menopause
mendasari patogenesis osteoporosis.20,21 Beberapa penelitian
membuktikan marker biokimia (yang mempengaruhi resorbsi dan
formasi tulang) sebagai indikator remodeling tulang dipengaruhi
kadar esterogen, dimana peningkatan resorbsi tulang sangat cepat
tidak seimbang dengan formasi tulang yang berjalan relatif
lambat. Defisiensi esterogen pada wanita bilamana diberikan
pengganti (silih hormon) terbukti mengurangi kecepatan absorbsi
tulang. Terbukti pula estrogen lebih besar pengaruhnya dalam

PIT IV PAPDI 2012 109


menghambat resorbsi tulang pada pria, walaupun androgen masih
mempunyai peran.22,23

Gambar 1.Remodelling Tulang


Aktivasi osteoklas biasanya dimulai dari interaksi prekusor
hematopoetik dengan sel-sel lini osteoblas. Namun dapat juga
dimulai dari sel-sel inflamasi, khususnya sel T. Sesaat osteoklas
terbentuk, akan terjadi fase resorbsi dengan durasi yang terbatas
dan fase reversal yang singkat. Fase pembentukan kemudian
dimulai, biasanya oleh factor-faktor yang diproduksi oleh osteoklas
atau sel-sel reversal atau dilepaskan dari matriks tulang.Fase
formasi, yang biasanya lebih lama daripada tiga fase pertama,
berkaitan dengan produksi matriks oleh osteoblas secara
progresif. Hal ini kemudian akan menjadi lapisan sel-sel yang tipis,
yang melekat di tulang sebagai osteosit, atau mengalami
apoptosis. Daerah aksi potensial dari esterogen termasuk efek
pada produksi sitogen sel T (i); efek pada stromal atau sel-sel
osteoblastik untuk merubah produksinya menjadi RANKL atau
OPG (ii); Inhibisi langsung dari osteoklas terdeferensiasi (iii); dan

110 PIT IV PAPDI 2012


efek pada formasi tulang yang dimediasi oleh osteoblas atau
osteosit untuk meningkatkan respon terhadap gaya mekanik yang
dimulai dari sel-sel ini (iv).
Aktivitas osteoklas pada remodeling tulang setelah kontak
antara sel osteoblas dan osteoklas. Pematangan osteoklas dan
aktivitasnya dirangsang oleh RANK/RANKL Bentuk ini dapat
menghambat OPG (Osteoprotegerin).23,24 Aktivitas COX2 juga
merangsang kekuatan resorbsi tulang yang sekaligus merespon
terbentuknya OPG dan RANKL. Dalam kondisi patologis, radang
dan keganasan dapat memacu terjadinya osteoklastogenesis
dengan memproduksi ikatan M-CSF dan RANKL juga PTH-
related protein, sitokin dan prostaglandin (lihat skema di bawah)

Gambar 2. Aktivasi osteoklas

Aktivasi Reseptor NF-kapaB, ligan dan osteoprotegerin


(OPG) Osteoblas memproduksi RANKL, ligan untuk aktivasi
reseptor NF-kapaB (RANK) dalam sel hemopoetik, yang
mengaktifkan pertumbuhan dan fungsi osteoklas. Osteoblas juga
memproduksi OPG , reseptor yang menghalangi RANKL/RANK.

PIT IV PAPDI 2012 111


Peningkatan resorbsi tulang terjadi bilamana osteoblas
memproduksi RANKL. Baru-baru ini ditemukan antibodi terhadap
RANKL sebagai penghambat resorbsi tulang pada wanita post
menopause, juga didapatkan antibodi yang mampu mempengaruhi
interaksi antara osteoblas dan osteoklas.23,24

Kalsium, Vitamin D dan Paratiroid Hormon


Konsep osteoporosis yang dipengaruhi defisiensi kalsium
terutama pada orangtua disebabkan intake yang kurang dan
gangguan absorpsi usus.Demikian juga defisiensi vitamin D
sebagai akibat sekunder daripada hiper paratiroid, yang
menyebabkan peningkatan kehilangan masa tulang, kerapuhan
tulang dan gangguan neuromuscular sehingga meningkatkan
resiko jatuh. Bentuk aktif vitamin D (calcitriol) penting pada
peningkatan absorbsi kalsium dan fosfat di usus tetapi juga
meningkatkan sintesis hormone paratiroid (PTH), jadi terdapat dua
mekanisme timbulnya hiperparatiroid sekunder.25,26

Pengaruh Gen Terhadap Diferensiasi dan Fungsi Osteoblas


Studi tentang gen yang mempengaruhi osteoblas
menemukan tidak adanya pengaruh runt-related transcription
factor 2 (Runx2) atau down stream factor, osterix. Ditemukan
adanya Runx2 yang meningkat akan menurunkan masa tulang.
Sangat menarik ditemukanya Wnt-Signaling Pathway yang
mengatur fungsi osteoblas dalam menentukan massa dan
kekuatan tulang. LDL receptor-related protein 5 (LRP 5) yang
berinteraksi dengan reseptor frizzled mengikat Wnt ligand.
Penghambatan pertumbuhan tulang oleh Glukokortikoid mungkin

112 PIT IV PAPDI 2012


di mediasi oleh efek Wnt Signaling.Pengaruh Wnt Signaling secara
pasti dan keseluruhan belum banyak diketahui.
Beberapa faktor yang berpengaruh pada fungsi osteoblas
dan osteoklas dalam proses osteoporosis antara lain : growth
factors, cytokines, prostaglandins, nitric oxide, leukotrienes,
collagen abnormalities, leptin, dan neural.27,28

Penegakkan diagnosa
Penilaian langsung densitas tulang untuk mengetahui
ada/tidaknya osteoporosis dilakukan dengan pemeriksaan
sebagai berikut:
1. Radiologik
2. Radioisotop
3. QCT (Quantitative Computerised Tomography)
4. MRI (Magnetic Resonance Imaging)
5. QUS (Quantitative Ultrasound)
6. DXA(Dual X-ray absorptiometry)
Diagnosis osteoporosis dapat dilakukan dengan cara
anamnesis, pemeriksaan fisikdan pemeriksaan penunjang. Pada
saat ini gold standart untuk diagnosis osteoporosis diperoleh
dengan menggunakan teknik Dual Energy X-ray Absorpsiometry
(DXA)yang mengukur kepadatan tulang sentral. Metode ini paling
banyak digunakan karena mempunyai efikasi klinis established,
akurasi bervariasi antara 90-99% untuk DXA di panggul, tulang
belakang dan lengan bawah, precision error antara 0,6%-1,5%,
dosis radiasi rendah (<5 mrem). DXAmerupakan gold standart
untuk diagnosis dan monitoring osteoporosis.
Osteoporosis dapat dikenali berdasarkan pemeriksaan
radiografi secara rutin, meskipun hal tersebut kurang sensitif untuk

PIT IV PAPDI 2012 113


memeriksa kepadatan tulang. Tetapi walaupun demikian, fraktur
dapat terlihat pada radiografi standar. Pengukuran melalui
densitometri tulang (misalnya DXA scan) dapat dilakukan untuk
diagnostik. Pengujian sebaiknya dilakukan pada dua area: pinggul
dan tulang punggung lumbal. Pengukuran serum kalsium dan
kadar fosfat serta kimia ginjal dan hati sangat penting untuk
mengetahui keberadaan kondisi yang mendasari. Peningkatan
serum kalsium atau pengukuran densitometer yang rendah
sebaiknya diikuti oleh pengukuran hormon parathyroid dan,
kemungkinan, dilakukan evaluasi endokrinologi (misalnya uji
fungsi thyroid). Laki-laki penderita osteoporosis sebaiknya
melakukan pemeriksaan kadar testosteron. Pemeriksaan marker
biokimia untuk turn over tulang tidak dilakukan secara rutin.4,5

Diagnosis Banding:
Fraktur sebaiknya dibedakan antara fraktur patologis dan
ketidaknormalan yang mendasari (misalnya metastase tulang).
Utamanya hiperparatiroidisme menyebabkan percepatan
pengeroposan tulang pada tulang kortikal, terutama daerah
pinggul. Osteomalasia dapat dihubungkan dengan rendahnya
kadar 25-hydroxyvitamin D dan fosfat. Biopsi tulang mungkin
diperlukan untuk diagnosis definitif pada osteomalasia. Penyakit
keturunan dari jaringan penghubung, termasuk sindroma Marfan
dan Ehlers-Danlos, sering dihubungkan dengan osteoporosis.4,5,15

Terapi:
Sasaran utama terapi sebaiknya mengacu pada
pencegahan fraktur.
-Terapi umum:

114 PIT IV PAPDI 2012


Perubahan gaya hidup sebaiknya disertai penghentian
penggunaan tembakau dan alkohol yang berlebihan. Latihan
weight bearing sangat disarankan. Pasien pada kondisi tubuh
yang lemah dan lanjut usia dengan resiko fraktur tinggi sebaiknya
membatasi kegiatan yang banyak menggunakan tangga, atau
sebaiknya menggunakan alat bantu berjalan apabila diperlukan.
-Obat-obatan:
Suplementasi kalsium (1.000-1.500 mg/hari) dan vitamin D
sangat disarankan untuk semua golongan. Pada wanita pasca
menopause, terapi sulih hormon jangka panjang dengan estrogen
terkonjugasi (dengan atau tanpa progesteron) sangat efektif tetapi
sering dihubungkan dengan resiko-resiko yang tidak dapat
diterima (cardiovascular, kanker payudara). Pilihan lainnya adalah
penggunaan raloxifene (selektif estrogen receptor modulator),
bisphosphonate oral mingguan (misalnya alendronate,
risedronate), atau calcitonin (tersedia dalam bentuk semprotan
nasal atau injeksi subkutan). Calcitonin memiliki keuntungan
tambahan yaitu analgesik, yang mungkin bermanfaat untuk
perawatan dari nyeri fraktur. Injeksi subkutan harian teriparatide
(hormon parathyroid sintetis) ditambahkan dalam rejimen untuk
melawan osteoporosis. Penggunaan sodium fluoride menimbulkan
kontroversi. Penggabungan terapi-terapi tersebut tidak
menyebabkan dampak kecanduan.3,4,5
Pedoman Yang Disarankan ACR Tahun 1997 Untuk
Osteoporosis yang di induksi steroid:
1. Penggunaan dosis steroid terendah secara efektif.
2. Penggunaan steroid topikal atau steroid inhalasi apabila
memungkinkan.
3. Konsumsi kalsium yang cukup (1.500 mg/hari).

PIT IV PAPDI 2012 115


4. Vitamin D (800 IU/hari atau 50.000 IU tiga kali seminggu)
atau kalsium (0,5g/hari).
5. Berhenti merokok.
6. Membatasi konsumsi alkohol.
7. Mulai program latihan harian weight bearing excercise.
8. Menggunakan kalsium, vitamin D, dan terapi sulih hormon
kecuali apabila terjadi kontra indikasi.
9. Ketika terapi sulih hormon menimbulkan kontra indikasi,
gunakan bisphosphonate atau calcitonin.
10. Pasien dengan fraktur osteoporosis pengguna steroid
dengan kepadatan mineral tulang yang normal sebaiknya
diperiksa untuk mengetahui penyebab lain fraktur.
11. Kepadatan mineral tulang sebaiknya menyertakan
pemeriksaan dari tulang punggung dan leher femur;
apabila hanya pada satu area, gunakan tulang punggung
untuk pria dan wanita berusia kurang dari 60 tahun dan
leher femur untuk yang berusia lebih dari 60 tahun.
12. Ulangi pemeriksaan kepadatan mineral tulang dalam enam
hingga 12 bulan.
13. Berikan penjelasan pada pasien.
Pembedahan jarang diperlukan kecuali untuk menstabilkan
fraktur.Deteksi awal dari kolaps tulang belakang mungkin dapat
dimanajemen dengan vertebroplasty (infus semen bertekanan
tinggi ke dalam tulang belakang yang kolaps) atau kyphoplasty
(pengembalian ketinggian tulang belakang dengan menggunakan
sebuah balon intravertebral yang diikuti oleh semen) untuk
menghilangkan rasa nyeri dan mengembalikan morfologi tulang
belakang.Biopsi tulang terkadang diperlukan untuk memperkuat

116 PIT IV PAPDI 2012


dugaan bahwa tidak terdapat kondisi lain (osteomalasia,
hiperparatiroidisme, penyakit Paget, penyakit metastatik).

Prognosis:
Fraktur (terutama fraktur pinggul) pada pasien berusia
lanjut dihubungkan dengan morbiditas dan mortalitas secara
signifikan.Peningkatan kewaspadaan dan jangkauan luas dari
terapi yang tersedia terhadap osteoporosis dapat mengubah
tingkat penyakit ini secara signifikan.

Kepustakaan
1. Adnan ZA. 2008. Osteoporosis Biopatogenesis Dan
Terapi. Dalam: Guntur AH dan Adnan ZA(Eds.).
Perkembangan biopatogenesis terkini dalam
meningkatkan pelayanan prima. Surakarta, Sebelas
Maret University press. (6) :h78-85.
2. American College of Rheumatology. 2003.
Osteoporosis, etiology and Pathogenesis.
3. WHO Scientific Group on the Prevention and
Management of Osteoporosis (2000 : Geneva,
Switzerland) (2003). "Prevention and management of
osteoporosis : report of a WHO scientific group" (pdf).
Retrieved on 2007-05-31
4. Simonelli, C et al (2006). "ICSI Health Care Guideline:
Diagnosis and Treatment of Osteoporosis, 5th edition"
(PDF). Institute for Clinical Systems Improvement.
Retrieved on 2008-04-08.
5. Raisz L (2005). "Pathogenesis of osteoporosis:
concepts, conflicts, and prospects.".J Clin Invest 115
(12): 331825.
6. Melton LJ (2003). "Epidemiology worldwide".
Endocrinol. Metab. Clin. North Am. 32 (1): 113, v.
7. Berg KM, Kunins HV, Jackson JL et al (2008).
"Association between alcohol consumption and both
osteoporotic fracture and bone density". Am J Med 121
(5): 40618.
8. Shapses SA, Riedt CS (2006). "Bone, body weight, and
weight reduction: what are the concerns?".J. Nutr. 136

PIT IV PAPDI 2012 117


(6): 14536. .
9. Nieves JW (2005). "Osteoporosis: the role of
micronutrients.".Am J Clin Nutr 81 (5): 1232S1239S.
10. Bone and Tooth Society of Great Britain, National
Osteoporosis Society, Royal College of Physicians
(2003). Glucocorticoid-induced Osteoporosis. London,
UK: Royal College of Physicians of London.
11. Wong PK, Christie JJ, Wark JD (2007). "The effects of
smoking on bone health". Clin. Sci. 113 (5): 23341.
12. Ebeling PR (2008). "Clinical practice. Osteoporosis in
men". N Engl J Med 358 (14): 147482
13. ICSI Report. 2001. Densitometry As A Diagnostic Tool
For The Identification And Treatment Of Osteoporosis
In Women.
14. Gourlay M, Franceschini N, Sheyn Y (2007).
"Prevention and treatment strategies for glucocorticoid-
induced osteoporotic fractures". Clin Rheumatol 26 (2):
14453.
15. Kim DH, Vaccaro AR (2006). "Osteoporotic
compression fractures of the spine; current options and
considerations for treatment". The spine journal : official
journal of the North American Spine Society 6 (5): 479
87.
16. Schapira, D., and Schapira, C. 1992. Osteoporosis : the
evolution of a scientific term. Osteoporos. Int. 2:164-
167.
17. Cooper, A., and Cooper, B.B. 1822. A treatise on
dislocations, and on fractures of the joints. Churchill.
London, United Kingdom. 425 pp.
18. Albright, F., Bloomberg, E., and Smith, P.H. 1940.
Postmenopausal osteoporosis. Trans. Assoc. Am.
Physicians. 55:298-305.
19. Baldock, P.A., and Eisman, J.A . 2004. Genetic
determinants of bone mass. Curr. Opin. Rheumatol.
16:450-456.
20. Lee, K., Jessop, H., Suswillo, R., Zaman, G., and
Lanyon, L. 2003. Endocrinology: bone adaptation
requires oestrogen receptor-alpha. Nature. 424:389.
21. Prestwood, K.M., et al. 1994. The short-term effects of
conjugated estrogen on bone turnover in order women.
J. Clin. Endrocinol. Metab. 79:366:371.
22. Prestwood., K.M., Kenny, A.M., Kleppinger, A., and
Kulldorff, M. 2003. Ultralow-dose micronized 17beta-

118 PIT IV PAPDI 2012


estradiol and bone density and bone metabolism in
order women: a randomized controlled trial. JAMA.
290:1042-1048.
23. Modder, U.I., et al. 2004. Dose-response of estrogen
on bone versus the uterus in ovariectomized mice.
Eur.J. Endocrinol. 151:503-510.
24. Soufi, M., et al. 2004. Osteoprotegerin gene
polymorphism in men with coronary artery disease. J.
Clin. Endrocinol. Metab. 89:3764-3768.
25. Bollerslev, J., et al. 2004. Calcium-sensing receptor
gene polymorphism A986S does not predict serum
calcium level, bone mineral density, calcaneal
ultrasound indices, or fracture rate in a large cohort of
elderly women. Calcif. Tissue Int. 74:12-17.
26. Pasco, J.A., et al. 2004. Seasonal periodicity of serum
vitamin D and parathyroid hormone, bone resorption,
and fractures: the Geelong Osteoporosis Study. J.
Bone Miner. Res. 19:752-758.
27. Little, R.D., et al. 2002. A mutation in the LDL receptor-
related protein 5 gene results in the autosomal
dominant high bone-mass trait. Am. J. Hum. Genet.
70:11-19.
28. Gong, Y., et al. 2001. LDL receptor-related protein 5
(LRP5) affects bone accrual and eye development.
Cell. 107:513-523.

PIT IV PAPDI 2012 119


Dr. Bantar Suntoko, Sp.PD, KR, FINASIM How do We Treat
spondylosis

120 PIT IV PAPDI 2012


Dr. Arief Nurhudin, Sp.PD Recent Management of Gout Artritis

PIT IV PAPDI 2012 121


Dr. M. Tantoro Harmono, Sp.PD, KGEH, FINASIM Dispepsia
Ulcer Like Type : How to Manage?

122 PIT IV PAPDI 2012


Dr. T Yuli Pramana, Sp.PD, KGEH, FINASIM Non Variceal
Upper GI Tract Bleeding Management

PIT IV PAPDI 2012 123


Dr. P. Kusnanto, Sp.PD, KGEH Recent Management in
Variceal Bleeding

124 PIT IV PAPDI 2012


Dr. Tatar Sumandjar, SP.PD, KPTI, FINASIM The Current
Management in Severe Infection

PIT IV PAPDI 2012 125


Dr. Dhani Redhono, Sp.PD, FINASIM The Mycobacterial
Pattern in High Care Unit Internal Medicine Department

126 PIT IV PAPDI 2012


Dr. Suradi Maryono, Sp.PD, KHOM Recognizing DIC and the
Management

PIT IV PAPDI 2012 127


Dr. Supriyanto K, Sp.PD How to treat Hyperglicemia Crisis in
Diabetic Patient

128 PIT IV PAPDI 2012


DIAGNOSIS AND MANAGEMENT OF ACUTE
MYOCARDIAL INFARCTION

Trisulo Wasyanto, MD, FIHA, FAPSC, FAsCC

Department of Cardiology and Vascular Medicine, Faculty of Medicine


University of Sebelas Maret / Dr.Moewardi Hospital, Surakarta

Abstract
Myocardial infarction (MI), commonly known as a heart
attack, is the irreversible necrosis of heart muscle secondary to
prolonged ischemia. MI is considered part of a spectrum referred
to as acute coronary syndrome (ACS). ACS refers to a spectrum of
clinical presentations ranging from those for ST-segment elevation
myocardial infarction (STEMI) to presentations found in nonST-
segment elevation myocardial infarction (NSTEMI) or in unstable
angina. MI is dened in pathology as myocardial cell death due to
prolonged ischemia. MI usually precipitated by acute thrombosis
induced by a ruptured or eroded atherosclerotic coronary plaque,
with or without concomitant vasoconstriction, causing a sudden
and critical reduction in blood ow. In the complex process of
plaque disruption, inammation was revealed as a key
pathophysiological element. The leading symptom of ACS is
typically chest pain. The working diagnoses of ACS are based on
symptom of chest pain, changes of the ECG and cardiac enzyme
(biomarkers) or sometimes imaging modalities. Patients with ST-
segment elevation MI require immediate coronary recanalization
with PCI or thrombolysis. Patients without persistent ST-segment
elevation should receive baseline treatment including: aspirin, low-
molecular-weight heparin, clopidogrel, beta blockers and nitrates.
Key words: acute myocardial infarction, ACS, STEMI, NTEMI,
unstable angina, heart attack.

PIT IV PAPDI 2012 129


I. INTRODUCTION
Cardiovascular diseases are currently the leading cause of
death in industrialized countries and are expected to become so in
emerging countries by 2020. Among these, coronary artery
disease (CAD) is the most prevalent manifestation and is
associated with high mortality and morbidity. Myocardial infarction
(MI) can be recognized by clinical features, including
electrocardiographic (ECG) ndings, elevated values of
biochemical markers (biomarkers) of myocardial necrosis, and by
imaging, or may be dened by pathology.
Myocardial infarction is considered part of a spectrum
referred to as acute coronary syndrome (ACS). ACS refers to a
spectrum of clinical presentations ranging from those for ST-
segment elevation myocardial infarction (STEMI) to presentations
found in nonST-segment elevation myocardial infarction
(NSTEMI) or in unstable angina. In terms of pathology, ACS is
almost always associated with rupture of an atherosclerotic plaque
and partial or complete thrombosis of the infarct-related artery (2,
4, 5, 7).
The first goal for healthcare professionals is to diagnose in
a very rapid manner whether the patient is having an STEMI or
NSTEMI because therapy differs between the 2 types of
myocardial infarction. Particular considerations and differences
involve the urgency of therapy and degree of evidence regarding
different pharmacological options. As a general rule, initial therapy
for acute myocardial infarction is directed toward restoration of
perfusion as soon as possible to salvage as much of the
jeopardized myocardium as possible. This may be accomplished
through medical or mechanical means, such as PCI or CABG
In the past, a general consensus existed for the clinical
syndrome designated as MI. In studies of disease prevalence, the
World Health Organization (WHO) dened MI from symptoms,
ECG abnormalities and cardiac enzymes. However, the
development of ever more sensitive and myocardial tissue-specic

130 PIT IV PAPDI 2012


cardiac biomarkers and more sensitive imaging techniques now
allows for detection of very small amounts of myocardial injury or
necrosis.
Additionally, the management of patients with MI has
signicantly improved, resulting in less myocardial injury and
necrosis, in spite of a similar clinical presentation. Moreover, it
appears necessary to distinguish the various conditions which may
cause MI, such as spontaneous and procedure-related MI.
Accordingly, physicians, other healthcare providers and patients
require an up-to-date denition of MI (4, 5, 7).

II. PATHOPHYSIOLOGY
Myocardial infarction, commonly known as a heart attack,
is the irreversible necrosis of heart muscle secondary to prolonged
ischemia. This usually results from an imbalance in oxygen supply
and demand, which is most often caused by plaque rupture with
thrombus formation in a coronary vessel, resulting in an acute
reduction of blood supply to a portion of the myocardium.
Myocardial infarction is considered part of a spectrum referred to
as acute coronary syndrome (ACS). The ACS continuum
representing ongoing myocardial ischemia or injury consists of
unstable angina, nonST-segment elevation myocardial infarction
(NSTEMI), and ST-segment elevation myocardial infarction
(STEMI). Patients with ischemic discomfort may or may not have
ST-segment or T-wave changes denoted on the electrocardiogram
(ECG). ST elevations seen on the ECG reflect active and ongoing
transmural myocardial injury. Without immediate reperfusion
therapy, most persons with STEMI develop Q waves, reflecting a
dead zone of myocardium that has undergone irreversible damage
and death. Those without ST elevations are diagnosed either with
unstable angina or NSTEMIdifferentiated by the presence of
cardiac enzymes. Both these conditions may or may not have
changes on the surface ECG, including-segment depression or T-
wave morphological changes (4, 5).

PIT IV PAPDI 2012 131


ACS represents a life-threatening manifestation of
atherosclerosis. It is usually precipitated by acute thrombosis
induced by a ruptured or eroded atherosclerotic coronary plaque,
with or without concomitant vasoconstriction, causing a sudden
and critical reduction in blood ow. In the complex process of
plaque disruption, inammation was revealed as a key
pathophysiological element. In rare cases, ACS may have a non-
atherosclerotic etiology such as arteritis, trauma, dissection,
thrombo-embolism, congenital anomalies, cocaine abuse, or
complications of cardiac catheterization.
MI is dened in pathology as myocardial cell death due to
prolonged ischemia. After the onset of myocardial ischemia,
histological cell death is not immediate, but takes a nite period of
time to developas little as 20 min, or less in some animal
models. It takes several hours before myocardial necrosis can be
identied by macroscopic or microscopic post-mortem
examination. Complete necrosis of myocardial cells at risk requires
at least 2-4 h, or longer, depending on the presence of collateral
circulation to the ischemic zone, persistent or intermittent coronary
arterial occlusion, the sensitivity of the myocytes to ischemia, pre-
conditioning, and individual demand for oxygen and nutrients . The
entire process leading to a healed infarction usually takes at least
5-6 weeks. Reperfusion may alter the macroscopic and
microscopic appearance.
The spectrum of myocardial injury depends not only on the
intensity of impaired myocardial perfusion but also on the duration
and the level of metabolic demand at the time of the event. The
damage in the myocardium is essentially the result of a tissue
response that includes apoptosis (cell death) and inflammatory
changes. Therefore, the hearts of patients who suddenly die from
an acute coronary event may show little or no evidence of damage
response to the myocardium at autopsy. The typical myocardial
infarction initially manifests as coagulation necrosis that is
ultimately followed by myocardial fibrosis. Contraction-band

132 PIT IV PAPDI 2012


necrosis is also seen in many patients with ischemia. This is
followed by reperfusion, or it is accompanied by massive
adrenergic stimulation, often with concomitant myocytolysis (4, 5,
8, 9).
The key pathophysiological concepts such as vulnerable
plaque, coronary thrombosis, vulnerable patient, endothelial
dysfunction, accelerated atherothrombosis, secondary
mechanisms of NSTE-ACS (Non ST ElevationAcute Coronary
Syndrome) , and myocardial injury have to be understood for the
correct use of the available therapeutic strategies. The lesions
predicting ACS are usually angiographically mild, characterized by
a thin-cap fibroatheroma, by a large plaque burden, or by a small
luminal area, or some combination of these characteristics (4).

III.DIAGNOSIS
The leading symptom of ACS is typically chest pain. The
term acute myocardial infarction (MI) should be used when there is
evidence of myocardial necrosis in a clinical setting consistent with
acute myocardial ischemia. The working diagnosis of NSTE-ACS
is a rule-out diagnosis based on the ECG, i.e. lack of persistent ST
elevation. Biomarkers (troponins) further distinguish NSTEMI and
unstable angina. Imaging modalities are used to rule out or rule in
differential diagnoses. Traditionally, several clinical presentations
have been distinguished (4, 5):
Prolonged ( >20 min) anginal pain at rest;
New onset (de novo) angina (Class II or III of the
Classication of the CCS
Recent destabilization of previously stable angina with
at least Canadian Cardiovascular Society Class III
angina characteristics (crescendo angina); or
Post-MI angina.

III.1. Physical examination

PIT IV PAPDI 2012 133


The physical examination is frequently normal. An
important goal of the physical examination is to exclude non-
cardiac causes of chest pain and non-ischemic cardiac disorders
(e.g. pulmonary embolism, aortic dissection, pericarditis, valvular
heart disease) or potentially extra cardiac causes such as acute
pulmonary diseases (e.g. pneumothorax, pneumonia, or pleural
effusion).

III.2. Electrocardiogram
The resting 12-lead ECG is the rst-line diagnostic tool in
the assessment of patients with suspected ACS. It should be
obtained within 10 min after rst medical contact. The
characteristic ECG abnormalities of NSTE-ACS are ST-segment
depression or transient elevation and/or T-wave changes. The
nding of persistent (>20 min) ST-elevation suggests STEMI,
which mandates different treatment. If the initial ECG is normal or
inconclusive, additional recordings
should be obtained if the patient develops symptoms and these
should be compared with recordings obtained in an asymptomatic
state. Comparison with a previous ECG, if available, is valuable,
particularly in patients with co-existing cardiac disorders such as
LV hypertrophy or previous MI. ECG recordings should be
repeated at least at 3-6 h and 24 h after rst presentation, and
immediately in the case of recurrence of chest pain or symptoms
(4, 5, 6).

III.3. Biomarker
Cardiac troponins play a central role in establishing a
diagnosis and stratifying risk, and make it possible to distinguish
between NSTEMI and unstable angina. Troponins are more
specic and sensitive than the traditional cardiac enzymes such as
creatine kinase (CK), its iso enzyme MB (CK-MB), and myoglobin.
Elevation of cardiac troponins reects myocardial cellular damage,
which in NSTE-ACS may result from distal embolization of platelet-

134 PIT IV PAPDI 2012


rich thrombi from the site of a ruptured or eroded plaque.
Accordingly, troponin may be seen as a surrogate marker of active
thrombus formation. In the setting of myocardial ischemia (chest
pain, ECG changes, or new wall motion abnormalities), troponin
elevation indicates MI. In patients with MI, an initial rise in
troponins occurs within 4 h after symptom onset. Troponins may
remain elevated for up to 2 weeks due to proteolysis of the
contractile apparatus. In NSTE-ACS, minor troponin elevations
usually resolve within 4872 h. There is no fundamental difference
between troponin T and troponin I (4, 5, 7).
In the clinical setting, a test with high ability to rule out
(negative predictive value) and correctly diagnose ACS (positive
predictive value) is of paramount interest. Recently, high-sensitivity
or ultrasensitive assays have been introduced that have a 10- to
100-fold lower limit of detection and full the requirements of
analytical precision. Therefore, MI can now be detected more
frequently and earlier in patients presenting with chest pain. Other
life-threatening conditions presenting with chest pain, such as
dissecting aortic aneurysm or pulmonary embolism, may also
result in elevated troponins and should always be considered as
differential diagnoses. Elevation of cardiac troponins also occurs in
the setting of non-coronary-related myocardial injury (Table 1) (4).

Table 1. Possible non-ACS causes of troponin elevation (bold:


important differential diagnoses)
Chronic or acute renal dysfunction
Severe congestive heart failure acute and chronic
Hypertensive crisis
Tachy- or bradyarrhythmias
Pulmonary embolism, severe pulmonary hypertension
Inammatory diseases, e.g. myocarditis
Acute neurological disease, including stroke, or
subarachnoid haemorrhage

PIT IV PAPDI 2012 135


Aortic dissection, aortic valve disease or hypertrophic
cardiomyopathy
Cardiac contusion, ablation, pacing, cardioversion, or
endomyocardial biopsy
Hypothyroidism
Apical ballooning syndrome (TakoTsubo cardiomyopathy)
Inltrative diseases, e.g. amyloidosis, haemochromatosis,
sarcoidosis, sclerodermia
Drug toxicity, e.g. adriamycin, 5-uorouracil, herceptin,
snake venoms
Burns, if affecting >30% of body surface area
Rhabdomyolysis
Critically ill patients, especially with respiratory failure, or
sepsis
Due to low sensitivity for MI, a single negative test on first
contact with the patient is not sufficient for ruling out ACS, as in
many patients an increase in troponins can be detected only in the
subsequent hours. Therefore, repeated measurements after 69 h
have been advocated. The recently introduced high-sensitive
troponin assays better identify patients at risk and provide reliable
and rapid prognosis prediction allowing a fast track rule-out
protocol (3 h).
Biomarkers more specifically reflecting vascular
inflammation processes or markers of oxidative stress have the
greatest potential by better reflecting the underlying mechanisms.
Among these, myeloperoxidase, growth differentiation factor 15,
and lipoprotein associated phospholipase A-2 present promising
options. Early diagnosis of ACS may be improved by
measurements of fatty acid-binding protein or ischemia-modified-
albumin as well as markers of systemic stress (copeptin) (4, 5).

III.4. Imaging
III.4.1. Non-invasive imaging techniques

136 PIT IV PAPDI 2012


Echocardiography is the most important modality in the
acute setting because it is rapidly and widely available. LV systolic
function is an important prognostic variable in patients with CAD
and can be easily and accurately assessed by echocardiography.
In experienced hands, transient segmental hypokinesia or akinesia
may be detected during ischemia. Furthermore, differential
diagnoses such as aortic dissection, pulmonary embolism, aortic
stenosis, hypertrophic cardiomyopathy, or pericardial effusion may
be identified.
Cardiac magnetic resonance (CMR) imaging can integrate
assessment of function and perfusion, and detection of scar tissue
in one session, but this imaging technique is not yet widely
available. CMR imaging is useful to assess myocardial viability and
to detect myocarditis.
Multidetector computed tomography (CT) is not currently
used for the detection of ischemia, but offers direct visualization of
the coronary arteries. Therefore, this technique has the potential to
exclude the presence of CAD (4, 5).

III.4.2. Invasive imaging (coronary angiography)


Coronary angiography provides unique information on the
presence and severity of CAD and therefore remains the gold
standard. Data from the Thrombolysis In Myocardial Infarction
(TIMI)-3B studies show that 3038% of patients with unstable
coronary syndromes have single-vessel disease and 4459% have
multivessel disease (>50% diameter stenosis) (3, 4, 5).

IV. MANAGEMENT
IV.1. EMERGENCY DEPARTMENT CARE
All patients being transported for chest pain should be
managed as the pain were ischemic in origin, unless clear
evidence to the contrary is established. Most deaths caused by
myocardial infarction occur early and are attributable to primary
ventricular fibrillation (VF). Therefore, initial objectives are

PIT IV PAPDI 2012 137


immediate electrocardiographic monitoring; electric cardioversion
of VF. Approximately 65% of deaths caused by myocardial
infarction occur in the first hour. Treatment of ACS is aimed at the
following:
Restoration of the balance between the oxygen supply and
demand to prevent further ischemia
Pain relief
Prevention and treatment of complications

Treatment in the Emergency Department (ED) begins with


focused cardiovascular historytaking and physical examination,
the establishment of intravenous (IV) access, the use of 12-lead
ECG and continuous rhythm monitoring. All patients with
suspected myocardial infarction should be given chewable aspirin,
160-325 mg, unless they have a documented allergy to aspirin.
Pulse oximetry should be performed, and appropriate
supplemental oxygen should be given (maintain oxygen saturation
>90%) to prevent hypoxemia. High concentrations may be
counterproductive because of vasoconstriction and the lack of
augmented myocardial oxygen delivery in normoxemic patients.
Initial stabilization of patients with suspected myocardial
infarction and ongoing acute chest pain should include
administration of sublingual nitroglycerin; if pain persists, 2
additional doses of nitroglycerin may be administered at 5-minute
intervals. Patients should be free of contraindications, such as
hypotension (systolic blood pressure < 90 mm Hg), bradycardia,
tachycardia, or findings suggestive of right ventricle [RV] infarction.
Refractory or severe pain should be treated
symptomatically with IV morphine. Doses of morphine, 4-8 mg IV,
may be repeated every 5-15 minutes with relative impunity until the
pain is relieved or toxicity is manifested by hypotension, vomiting,
or depressed respiration. Should toxicity occur, a morphine
antagonist, such as naloxone, may reverse it. The patient's blood
pressure and pulse must be monitored; the systolic blood pressure

138 PIT IV PAPDI 2012


must be maintained above 100 mm Hg and, optimally, below 140
mm Hg. Relative hypotension may be treated by elevating the
lower extremities or by giving fluids, except in patients with
concomitant pulmonary congestion, in whom treatment for
cardiogenic shock may be required. Atropine, in doses similar to
those given in the prehospital phase, may increase blood pressure
if hypotension reflects bradycardia or excess vagal tone (4, 5, 8,
9).
IV.1.1. Treatment of patients with STEMI
If STEMI is present, the decision as to whether the patient
will be treated with thrombolysis or primary PCI should be made
within 10 minutes. Treatment options include the immediate start
of IV thrombolysis in the ED or the immediate transfer of the
patient to the cardiac catheterization laboratory for primary
percutaneous transluminal coronary angioplasty (PTCA). The goal
for patients with STEMI should be to achieve a door-to drug time of
within 30 minutes and a door-to-balloon time of within 90 minutes.
In patients with STEMI who are to be treated with primary PCI,
delays in administering the procedure are associated with higher
mortality in these patients (4, 5, 8, 9).
Delays in the administration of thrombolysis often occur
because of the following factors:
Delay in obtaining an ECG
Interpretation
Lack of immediate availability of thrombolytic agents
Outdated protocols requiring cardiology consultation before
thrombolytic treatment

IV.1.2. Treatment of patients with NSTEMI


If STEMI is not present, then the workup should proceed
looking for unstable angina or NSTEMI and for alternative
diagnoses. Confirmation of the diagnosis of NSTEMI requires
waiting for the results of cardiac markers. The cardiac troponin I

PIT IV PAPDI 2012 139


(cTnI) assays are less sensitive for outcome prediction among
patients with myocardial injury. If a clinical suspicion of myocardial
infarction remains despite negative cTnI results, those results
should be complemented by results from more sensitive laboratory
assays. In the case of unstable angina, diagnosis may await
further diagnostic studies, such as coronary angiography or
imaging studies, to confirm the diagnosis and to distinguish it from
non coronary causes of chest pain. Although patients presenting
with no ST-segment elevation are not candidates for immediate
thrombolytics, they should receive anti-ischemic therapy and may
be candidates for PCI urgently or during admission (4, 5).

IV.2. IN-HOSPITAL TREATMENT


Critical care units (CCUs) have reduced early mortality
rates from acute myocardial infarction by approximately 50% by
providing immediate defibrillation and by facilitating the
implementation of beneficial interventions. These interventions
include the administration of IV medications and therapy designed
to do the following:
Limit the extent of myocardial infarction
To salvage jeopardized ischemic myocardium
Recanalize infarct-related arteries.

Prophylaxis for stress ulcers with oral sucralfate, 1 g given


twice a day, or an H2-antagonist (famotidine, ranitidine, or
cimetidine), given orally or intravenously at 6- to 12-hour intervals,
is appropriate for patients at high risk, including those with sepsis,
hypotension or shock, bleeding diathesis, or elevated intracranial
pressure or who have a requirement for prolonged mechanical
intervention.
Physical activity should be limited (bed-chair regimen)
throughout the patient's CCU stay, with gradual and carefully
monitored resumption of ambulatory activity in the late hospital
phase. Educational programs targeting smoking cessation, lipid

140 PIT IV PAPDI 2012


lowering, and treatment of hypertension, as indicated, in addition
to phased rehabilitation programs, should be started early during
the hospital course for patients with uncomplicated myocardial
infarction.
Use of sedative, anxiolytic, and hypnotic drugs at night may
be helpful. Also important are optimal communication with
compassionate physicians and nurses and the reassurance it
provides.
IV.2.1. Thrombolytic Therapy
Thrombolytic therapy has been shown to improve survival
rates in ST-segment elevation myocardial infarction but is not
indicated in the treatment for nonST-segment elevation
myocardial infarction. Door-to-drug time should be no more than
30 minutes. Thrombolytic therapy administered within the first 2
hours can occasionally abort myocardial infarction and
dramatically reduce the mortality rate. Thrombolysis is generally
preferred to PCI in cases where the time from symptom onset is
less than 3 hours and if there would be a delay to PCI, greater
than 1-2 additional hours to door-to-balloon time (4, 5).
The first generation of fibrinolytic drugs (eg, streptokinase,
urokinase, acetylated plasminogen streptokinase activator
complexes [APSACs], reteplase, and novel plasminogen activator
[n-PA]) indiscriminately induce activation of circulating
plasminogen and clot-associated plasminogen. First-generation
drugs invariably elicit a systemic lytic state characterized by
depletion of circulating fibrinogen, plasminogen, and hemostatic
proteins and by marked elevation of concentrations of fibrinogen
degradation products in plasma.
Second-generation drugs (eg, t-PA, single-chain urokinase
plasminogen activator), including agents such as tenecteplase,
preferentially activate plasminogen in the fibrin domain, rather than
in the circulation, as with free plasminogen. Therefore, these drugs
have clot selectivity. Tenecteplase should be initiated as soon as
possible after the onset of acute myocardial infarction (AMI)

PIT IV PAPDI 2012 141


symptoms. In AMI patients, tenecteplase administered as a single
bolus exhibits a biphasic disposition from the plasma.
In optimal regimens, these agents induce clot lysis without
inducing a systemic lytic state, they are less prone than
nonselective agents to predispose the patient to hemorrhage
necessitating transfusion, and they are effective in inducing
recanalization in 80-90% of infarct-related arteries within 90
minutes. Therefore, t-PA recanalizes 75-80% of infarct-related
arteries; by contrast, IV streptokinase recanalizes approximately
50% of infarct-related arteries.
IV.2.2. Antithrombotic Therapy
At present, IV unfractionated heparin (UFH) is routinely
administered, in addition to orally administered aspirin. Alternatives
include low-molecular-weight heparin (LMWH or enoxaparin),
other inhibitors of coagulation (eg, hirudin, fondaparinux,
bivalirudin), and antagonists of binding of fibrinogen to the platelet
surface glycoprotein IIb/IIIa (GPIIb/IIIa) receptor (eg, abciximab,
eptifibatide, tirofiban, orbofiban). Thienopyridines (eg, ticlopidine,
clopidogrel) similarly inhibit platelet aggregation by binding to
platelet adenosine diphosphate receptors, which block activation of
the IIb/IIIa pathway.
In the management of all patients with ACS or suspected
ACS, anticoagulation therapy is the standard of care. In patients
with or suspected unstable angina (UA)/NSTEMI, anticoagulation
therapy should be added to antiplatelet therapy as soon as
possible. In patients who have been selected to undergo an early
invasive strategy for UA/NSTEMI, proven effective anticoagulant
therapy includes UFH, enoxaparin, fondaparinux, and bivalirudin.
In UA/NSTEMI, the duration of anticoagulation in
uncomplicated conservative therapy is 48 hours for UFH and the
entire hospital stay is up to 8 days for LMWH or fondaparinux. In
patients for whom CABG is chosen for revascularization, continue
UFH up to the time of surgery, discontinue LMWH/fondaparinux 24
hours before surgery, and switch to UFH; alternatively, discontinue

142 PIT IV PAPDI 2012


bivalirudin 3 hours before surgery and switch to UFH. If PCI is
performed, anticoagulation therapy can be discontinued safely
post successful revascularization.
In STEMI, parenteral anticoagulant therapy with UFH or
bivalirudin is a Class I indication in patients undergoing primary
PCI. Data are scant with regard to heparin efficacy in patients not
receiving thrombolytic therapy in the setting of myocardial
infarction; however, considerable rationale exists for ancillary
heparin therapy to inhibit the coagulation cascade.
LMWH is commonly used because of convenient dosing,
reliable therapeutic levels, and decreased incidence of heparin-
induced-thrombocytopenia, especially if anticipated use is greater
than 2-3 days. Assuming that a patient does not have significant
renal dysfunction (serum creatinine level >2.5 mg/dL in men or >2
mg/dL in women), LMWH may be used with caution as an
alternative to UFH as an ancillary therapy to fibrinolytics,
regardless of age (note that different loading and maintenance
doses are used in patients aged >75 y).
Aspirin should be administered immediately if not already
taken by the patient at home or administered by EMS before
arrival. Use clopidogrel in case of aspirin allergy. Data from the
CLARITY trial (CLopidogrel as Adjunctive Reperfusion Therapy
Thrombolysis in Myocardial Infarction [TIMI] suggest that adding
clopidogrel to this regimen is safe and effective. The clopidogrel
dose used was 300 mg. Further studies suggest that a higher dose
of clopidogrel may have added benefit. The Antiplatelet Therapy
for Reduction of Myocardial Damage During Angioplasty-
Myocardial Infarction (ARMYDA-6 MI) multicenter study
demonstrated that in patients with STEMI, a loading dose of 600
mg clopidogrel prior to primary PCI was associated with a smaller
infarct size when compared with a 300-mg loading dose (1, 2, 4).
Clopidogrel use along with aspirin and anticoagulation
therapy has a class I indication for the entire spectrum of acute
coronary syndromes. In patients receiving dual antiplatelet therapy

PIT IV PAPDI 2012 143


(aspirin and clopidogrel), the prophylactic use of proton pump
inhibitors may reduce the rate of upper gastrointestinal bleeding
(1).
IV.2.3. Preventive Therapy in the acute hospital phase
Beta-adrenergic blockers are of benefit when given
intravenously within 4 hours of the onset of pain and continued on
a long-term basis. Mortality, sudden death, and infarct size are
reduced in patients with Q-wave myocardial infarction when beta-
blockers are given early. Patients with unstable angina also benefit
through a reduction in the incidence or severity of myocardial
infarction.
Chewing an aspirin shortly after onset of chest pain is a
ready means to inhibit thrombosis. In the hospital, small trials
indicate benefits (decreased size of infarcts and mortality) from
insulin infusion, along with glucose and potassium, presumably
through an anti-apoptotic effect. Patients with insulin-dependent
diabetes mellitus and peripheral vascular disease may be treated
with caution; the benefit of angioplasty is decreased in these
patients.
ACE inhibitors are useful for long-term therapy and also
appear to benefit patients who have no evidence of hypotension if
administration is begun within the first 24 hours after the onset of
myocardial infarction.
Treatment with both beta-adrenergic blockers and ACE
inhibitors may improve the balance between myocardial oxygen
supply and demand, and it may limit infarct size. Appropriate
treatment of fluid status to optimize left ventricular filling pressures,
maintain oxygen saturation, and control heart rate by avoiding
reflex sympathoadrenal stimulation is also beneficial.
Calcium channel blockers have not been beneficial in acute
myocardial infarction, and they may exert deleterious adverse
effects alone or when given with other medications. Therefore,
they should generally be avoided. Diltiazem may be useful for rate

144 PIT IV PAPDI 2012


control in patients with atrial fibrillation. Verapamil may be useful in
patients with obstructive hypertrophy (8, 9).

SUMMARY
Acute Myocardial Infarction are a major healthcare problem and
represent a large number of hospitalizations annually throughout in
the world. In spite of modern treatment the rates of mortality,
reinfarction and readmission with an acute coronary syndrome at
6-months follow-up remain still very high. After clinical
examination, it is necessary to record an electrocardiogram
followed by continuous multi-lead ST-T segment monitoring, if
possible blood samples should be obtained to determine troponin
T or I, and CK-MB.
(A) Patients with ST-segment elevation require immediate
coronary recanalization with PCI or
thrombolysis.
(B) Patients without persistent ST-segment elevation should
receive baseline treatment including:
aspirin, low-molecular-weight heparin, clopidogrel, beta
blockers (if not contra-indicated)
and nitrates.

REFERENCES
1. Bonaca MP, Steg PG, Feldman LJ et al. Antithrombotics in
Acute Coronary Syndromes. JACC 2009; 54(11): 969-984.
2. Coven DL and Yang EH. Acute Coronary Syndrome.
Available at: http:
//www.emedicine.medscape.com/article/1910735-overview.
Accessed September 10, 2012
3. Fox KAA, Clayton C, Damman P et al. Long-Term
Outcome of a Routine Versus Selective Invasive Strategy
in Patients with NonST-Segment Elevation Acute
Coronary Syndrome, a Meta-Analysis of Individual
Patient Data. JACC 2010; 55 (22): 2435-2445

PIT IV PAPDI 2012 145


4. Hamm CW, Bassand JP, Agewall S et al. ESC Guidelines
for the management of acute coronary syndromes in
patients presenting without persistent ST-segment
elevation Eur Heart J 2011: 32: 29993054
5. Jneid H, Anderson JL, Wright RS et al. 2012 ACCF/AHA
Focused Update of the Guideline for the Management of
Patients With Unstable Angina/NonST-Elevation
Myocardial Infarction (Updating the 2007 Guideline and
Replacing the 2011 Focused Update), A Report of the
American College of Cardiology Foundation/American
Heart Association Task Force on Practice Guidelines.
JACC 2012; 60 (7):645-681.
6. Patel M, Dunford JV, Aguilar S et al. Pre-Hospital
Electrocardiography by Emergency Medical Personnel
Effects on Scene and Transport Times for Chest Pain and
ST-Segment Elevation Myocardial Infarction Patients.
JACC 2012; 60 (9): 806-811.
7. Thygesen K, Alpert JS, Jaffle AS et al. Third Universal
Definition of Myocardial Infarction. JACC 2012; 60 (16): 1-
18
8. Zafari AM and Yang EH. Myocardial Infarction Treatment &
Management. Available at: http:
//www.emedicine.medscape.com/article/155919-treatment.
Accessed September 10, 2012
9. Zafari AM and Yang EH. Myocardial Infarction. Available at:
http: //www.emedicine.medscape.com/article/155919-
overview. Accessed September 10, 2012

146 PIT IV PAPDI 2012

Anda mungkin juga menyukai