A. Guntur H.
* Sub. Bagian Penyakit Tropik Infeksi-Imunologi
Bagian Ilmu Penyakit Dalam
RSUD.Dr. Moewardi / FK. UNS. Surakarta
PENDAHULUAN
Pertumbuhan manusia berkembang menjadi tua ternyata
diikuti pula oleh organ didalam tubuh. Organ dalam tubuh
berkembang fungsi dan efesiensinya dibandingkan pada saat
muda, sebagai contoh glandula tinus yang mengsekresikan
hormon-hormon penting pada saat pertumbuhan. Pada usia lanjut
glandula tinus mengsekresikan timik hormon yang makin lama
makin menurun. Hormon yang disekresikan termasuk growth
hormon (hormon pertumbuhan) dan melatonin juga menurun.
Keadaan ini berhubungan dengan penurunan status imun
penderita yang disebut dengan immunocompromise. Keadaan
immunocompromise selalu berhubungan dengan respon imun.
Apakah menurunnya respon imun mempunyai kontribusi terhadap
morbiditas dan mortalitas pada orang lanjut usia telah dianggap
sebagai hal paling penting pada penelitian-penelitian untuk
mencari hubungan antara abnormalitas pada respon imun tertentu
dan status kesehatan secara umum. Subyek usia lanjut yang
menunjukkan penurunan hitung limfosit absolut mempunyai dua
atau lebih parameter imun yang tersupresi, menunjukkan
penurunan respon poliferasi limfosit atau energi memiliki angka
mortalitas yang lebih, maka perlu pembahasan respon imun pada
usia lanjut.
Dampak immunosenescence tentang kekebalan bawaan
berhubungan dengan depresi imunologi relatif yang dapat
mendukung penyebaran peradangan. Pasien lansia juga telah
meningkatkan jalur apoptosis berkontribusi terhadap kejadian
kematian akibat infeksi berat.
Respon Imun
Respon biologis tubuh baik sistem kekebalan tubuh inate
atau adaptif pada agen eksogen untuk menjaga homeostasis;
1. untuk menetralisir imunogen
2. untuk menghilangkan kerusakan jaringan
3. menghambat berlebihan proliferations
Immunosenescence
Immunosenescence mengacu pada kekurangan bertahap
dari sistem kekebalan tubuh yang sifatnya alami. Ini melibatkan
baik kemampuan tubuh untuk merespon infeksi dan
pengembangan memori jangka panjang kekebalan tubuh.
Kekurangan ini terkait usia sebagai fungsi usia mereka relatif
terhadap harapan hidup daripada waktu kronologis [2]. Hal ini
dianggap sebagai faktor penyumbang utama terhadap
peningkatan frekuensi morbiditas dan kematian di kalangan orang
tua.
expression of TLRs
Prostaglandin
Suatu asam yang menyerupai hormon yang mempunyai
pengaruh yang sangat penting pada proses tubuh seperti suhu
dan metabolisme tubuh bisa meningkat pada usia lanjut dan
menghambat kerja sel-sel imun yang penting. Pada orang-orang
yang lebih tua bisa juga lebih sensitif terhadap kerja prostaglandin
dibanding pada orang yang lebih muda yang dapat menjadi
penyebab utama defisiensi imun pada orang tua.
(Prostaglandin diproduksi oleh hampir seluruh jaringan
tubuh.tetapi respon sistem imun lebih baik pada orang tua bila
sistem imun disupresi)
Limfosit T
Penelitian proses menua pada manusia dan binatang,
salah satu perubahan yang paling nyata yang terjadi mulai
adolesen adalah involusi thymus dengan menurunnya hormon
Limfosit B
Dengan meningkatnya usia, saat ini perubahan pada sel B
tampak lebih nyata daripada perubahan pada sel-T. Jumlah sel B
beredar tampaknya tidak berubah sejalan dengan usia. Penelitian
pada tikus dewasa menunjukan perubahan struktur membran sel
B dan penurunan perkiraan jumlah prekursor sel B di Sumsum
Tulang. Hampir sama dengan apa yang dijelaskan pada sel T, sel
B pada individu tua berproliferasi kurang efektif terhadap
rangsangan mitogen.
Kemampuan sel B membentuk respon antibodi berubah
seiring dengan usia, meskipun kebanyakan berhubungan dengan
penurunan fungsi sel-T. Penuruanan respon antibodi tergantung
sel-T nyata sekali pada penelitian binatang, 80% lebih sedikit sel
pembentuk antibodi pada binatang yang lebih tua. Repertoir sel-B
berubah dengan usia, denagn penuruan kemampuan mengenali
antigen. Penelitian pada tikus menunjukan bahwa imunisasi
dengan sel darah merah biri-biri secara siknifikan berhubungan
dengan dengan peningkatan sel penghasil imunoglobulin M yang
bereaksi dengan antigen sendiri pada binatang tua.akumulasi
antibodi diarahkan untuk melawan antibodi lain, dengan
meningkatnya usia mungkin juga mempengaruhiproduksi antibodi
spesifik.
Kemapuan unutk merespon tantangan antigen spesisik
primer mauopun sekunder menurun karena menua. Sel B dewasa
DNA Limfosit
Semakin panjang kehidupan individu, semakin banyak
waktu tersedia bagi material genetik untuk melakukan mutasi
somatik, dari kombinasi faktor epigenetik dikombinasi dengan
paparan lingkungan terhadapa bahan-bahan toksik atau yang
berpotensi merusak ( misalnya oksigen radikal bebas ).
Perubahan aktivasi atau inaktifasi DNA sel, seperti metilasi, hasil
ekspresi berbeda berbagai gen yang mempunyai peran
menghambat aktifitas tumor. Kemampuan sel untuk memperbaiki
Kanker
Salah satu fungsi sitem imun dipostulasikan sebagai
proteksi organisme terhadap timbulnya malignansi. Teori
Immune Survaillance bertujuan bahwa sistem imun seluler
secara konstan melukan survei dan mengeleminasi malignansi
ketika malignasi tersebut muncul dan bahwa klinis kanker
menujukan kegagalan sistem tersebut ( sistem imun). Sehingga
orang usi lanjut atau individu lain denga depresi sistem imun
sepantasnya mempunyai insiden malignansi yang lebih tinggi dan
usia lanjut mempunyai resiko paling tinggi timbulnya kanker.
Macrophage
Fungsi macrophage pada usia tua ( aging ) telah diteliti.
Penelitian awal beranggapan bahwa tampaknya memproduksi
level yang sama dengan sitokin, dan bahwa perbedaan dalam
fungsi mungkin dimodulasi melalui perubahan dalam respon sel B
dan sel T terhadap bahan tersebut. Penelitian yang lebih baru
pada monosit manusia telah menunjukan peneurunan skresi IL-1
dengan rangsangan mitogen. Penelitian terhadap penyembuhan
luka pada kulit tikus juga menganggap adanaya penurunan fungsi
macrophage seiring dengan usia, dengan pemanjangan
penyembuhan luka pada binatang yang tua. Penambahan
macrophage peritoneal dari binatang dari umur berbeda kepada
luka pada binatanmg tua mempercepat penyembuhan, tetapi
Interleukin
Respon terhadap IL-2 telah banyak diteliti sebagai salah
satu mekanisme potensial yang mendasari defek imunitas seluler
yang berkaitan dengan usia/menua. Beberapa laboratorium telah
menunjukan penurunan produksi IL-2 setelah stimulasi mitogen,
peneruanan densitas ekspresi resptor IL-2, penuruan ekspresi IL-2
H.Hadi-Martono
Abstract :
Demographically the number of the elderly population in Indonesia
in the last decade and in the near future will increase
tremendously.Kinsella nd Tauber notes that between 1990-2025
the increase in Indonesian elderly population show the highest
presentation among other countries in the world,that is 414%.This
figure together with epidemiologic figure absolutely indicated that
Indonesia is urgently needs the geriatric service and so are the
geriatric medicine science as the backbone of the service.The
other reason to encourage the development of geriatric service are
the needs and the the acceptance by some of the stake-
holdersof geriatric service,those are,the patients and societies,
the (medical) proffessionals,and government authorities (some
levels).From the practice shown up to the moment,it is evident that
the needs and acceptance of the patients and societies of the
geriatric service is very significant.Since year 2000,the Indonesian
Medical Association have acknowledged PERGEMI/ISOMEG as
one of its member.The Central government(medical )authorities)
i.e. the Ministry of Health, due to the demographic and
epidemiologic facts,is mandatorily need the geriatric service,so do
the health authorities at the provinces and regency/city.However it
is noted that some hospital authorities still reluctant in allowing the
right geriatric approach to practicing in their hospitals,either due
to ignorancy or by an irrational aliby that their hospital is not yet a
subspecialistic hospitals.This facts should be addressed
appropriately by the PERGEMI.
Key-words:demographic,epidemiology,patients and societies,
government authorities,medical proffesionals,future of
geriatric medicine
I.Aspek Demografik:
Seperti juga alasan pendidikan geriatri,masa depan pelayanan dan
pengembangan geriatri di Indonesia,juga tergantung pada statistik
demografik. Dalam kedua hal tersebut,statistik menunjukkan
bahwa perkembangan penduduk/populasi usia lanjut di Indonesia
dalam decade terakhir dan dimasa mendatang adalah sangat luar
biasa.Antara 1990-2025 penduduk usia lanjut Indonesia dalam
prosentase akan meningkat sebanya 414%,yang merupakan
prosentase tertinggi diseluruh dunia.Pada tahun 2010 yang
lalu,jumlah populasi lansia kurang lebih sama dengan populasi
Balita.Pada tahun tersebut jumlah Balita adalah sekitar 19.720,800
(8,4%) sedangkan Lansia sekitar 17.303,900(7,4%)-(Susenas
1990 dan LDFEUI,1990).Dari Lembaga yang sama jumlah
populasi Lansia sekitar 10% populasi,sedangkan Balita turun
menjadi 7,6% populasi.Dari World Population and its composition
No rway 40
35
45
Kinsella & Taeuber, 1993
Swed en 33 7
0 50 100 150 200 250 300 350 400 450
Kepustakaan :
1.Boedhi-Darmoyo,R:Beberapa fakta tentang geriatriPidato
pengukuhan sebagai guru besar tetap FK UNDIPSemarang
2.Boedhi-Darmoyo,R:Demografi dan epidemiologi usia
lanjutBuku Ajar Geriatri edisi 1-3,BP FKUI,1996-2004
3.Hadi-Martono:Sejarah Geriatri di IndonesiaBuku Ajar Geriatri
ed.5(in press) BP FKUI,2012
4.Woo,J:Geriatrics in the rest of the worldFillit,RF,Rockwood and
Woodhouse,K (eds)in Brocklehurst Textbooks of Geraitric
Medicine and Gerontology 7th eds,Elsevier Publ,2010
5.Komunikasi pribadi dengan beberapa dokter/rumah sakit di
Indonesia
PENDAHULUAN
Diabetes pada usia lanjut terjadi karena perubahan
komposisi tubuh oleh proses menua umumnya bersifat fisiologi,
turunnya fungsi sistem endokrin dalam mempertahankan toleransi
glukosa. Menurunnya jaringan otot menyebabkan turunnya
kecepatan ambilan glukosa, berakibat kadar gula darah meninggi.
Pada usia lanjut cairan tubuh menurun ini berakibat meningkatnya
kadar gula darah. Pada usia lanjut dapat terjadi gangguan nutrisi
dimana dapat berlebih gizinya maupun kekurangan gizi.
Di negara-negara maju status gizi usia lanjut mempunyai
kecenderungan berat badan berlebih (obes), sedang di negara
berkembang cenderung berat badan turun bahkan usia lanjut ini
menderita devisiensi zat-zat gizi baik makro maupun mikronutrien,
kekurangan energi dan protein, dan kekurangan gizi mikro,
mineral, dan vitamin. Pada usia lanjut kesehatan dan gizi
tergantung dari sumber daya yang menyertainya.
Pada usia lanjut berdasarkan timbulnya diabetes dapat
dibedakan menjadi 2 kelompok yaitu : Yang pertama kelompok
penderita diabetes yang timbul sejak usia dewasa, karena
resistensi insulin yang akhirnya timbul defect produksi insulin.
Yang kedua kelompok diabetes yang terkait umur.
Diabetes Pada Usia Lanjut
Di dalam pengalaman, terdapat kendala-kendala untuk
menentukan seorang usia lanjut menderita diabetes yaitu :
1. Berkurangnya kemampuan penderita usia lanjut untuk
menyatakan keluhan yang dirasakan.
2. adanya gangguan multi organ serta multi patologi pada
usia lanjut dapat mengaburkan kecurigaan adanya
diabetes melitus.
PENDAHULUAN
Osteoartritis (OA) merupakan radang sendi menahun.
Penyakit ini umumnya dialami oleh penderita usia lanjut.
Kenyataan bahwa, dari 5 juta penduduk di Inggris ternyata 80%
dari penderita OA adalah usia diatas 70 tahun (Knott, 2000).
Demikian juga dari 40 juta penduduk Amerika, diperkirakan 70-
90% penderita OA adalah usia 75 tahun (Hinton, Thomas; 2002).
Sedangkan di Indonesia prevalensi OA sampai saat ini belum ada
laporan yang jelas, namun dilaporkan di Malang prevalensi OA
usia di bawah 70 tahun cukup tinggi, yaitu sekitar 21,7%
menyerang pada usia 49-60 tahun, yang terdiri dari 6,2 % pria
dan 15,5% wanita (Handono, Kusworini; 2000).
Untuk menanggulangi penyakit ini telah dilakukan berbagai
usaha antara lain dengan mengadakan berbagai penelitian
tentang mekanisme terjadinya dan substansi penyebab OA
(Isbagio, 1998). Setelah dilakukan pengamatan, bahwa OA
diperkirakan antara lain dapat dipicu oleh suatu jejas biomekanik
(Kasjmir, 2001). Keberhasilan pengobatan OA sangat rendah,
karena metode pengobatan yang dilakukan sampai saat ini masih
bersifat simptomatis, yaitu mengurangi rasa sakit atau sebagai anti
inflamasi (Isbagio, 2001; Carlos J. et al., 2001).
Mengingat prevalensi OA cukup tinggi, dan dapat
menyerang pada usia yang lebih muda dan masih produktif, maka
perlu difikirkan metode pengobatan atau pencegahan yang
memadai, sehingga terjadi penurunan prevalensi OA atau dapat
dilakukan suatu penundaan. OA merupakan penyakit rawan sendi
dengan berbagai macam penyebab yang berbeda, namun
mengakibatkan kelainan secara morfologis, gambaran klinis dan
mungkin imunopatobiologis yang sama (Robert L. Sah. et al.,
2001).
Walaupun saat ini tidak lagi dianggap sebagai penyakit
degeneratif, namun salah satu fakta di mana 70% penderitanya
adalah usia 65 tahun keatas (Knott, 2000; Hinton, 2002). Faktor
pembebanan sendi yang berlebihan dapat pula memicu kerusakan
Konsep Patogenesis OA
Walaupun OA bukan lagi dianggap penyakit degeneratif
menahun yang menyerang sendi, tetapi penyakit tersebut terjadi
pada penderita usia di atas 55 tahun (Kee, 2001). Dilaporkan
bahwa dari 5 juta penduduk di Inggris (UK), 80% dari penderita OA
adalah usia diatas 70 tahun (Knott, 2000). Di Amerika dari 40 juta
penduduk diperkirakan 70-90% penderita OA adalah usia 75 tahun
(Hinton dan Thomas, 2002).
Broto HR, 2000. Tulang Rawan Sendi pada OA, Temu Ilmiah
Rheumatology, Sub bagian rematologi, Bagian Ilmu penyakit
dalam FK-UGM Jogyakarta, hal .22-25
Mankin HJ, Mow VC, Buckwalter JA, Iannotti JP, Ratcliffe A.,
2000. Articular Cartilage Structure, Composition, and Function, in
Orthopaedic Basic Science. Eds. Buckwalter JA, Einhorn TA,
Simon SR. Am. Ac. of Ortho. Sur. 2nd ed: 443-70.
Manesh, Jayalekshmi H, Suma T et all. 2005. Evidance for
oxidative stress in osteo arthritis. Indian J Clin Biochem 129.
DECUBITUS :
Kris Pranarka
Sub-Bag. GeriatriBag. Ilmu Penyakit Dalam
F.K Undip Semarang
I. Pendahuluan
Wasting Contractures
T Tension O2
Tekanan arteriil O2 yang rendah akibat iskemia
jaringan setempat, akan mengganggu pertukaran gas. Hal
ini diperberat bila ada anemia dan edema.
U Under nourishment
Asupan kalori dan protein yang tidak memadai
dapat berakibat mal-nutrisi yang akan menghambat
penyembuhan ulkus.
S Spasticity,Sensory Loss, Spinal Cord Injury
KOMPLIKASI IMOBILISASI:
Trombosis
Keadaan tidak bergerak dalam waktu lama dapat menyebabkan
akumulasi lekosit dan trombosit teraktivasi, hiposia lokal sehingga
berakibat trombosis vena dalam. Gejala dapat dikenali dari rasa
panas, nyeri dan bengkak pada ekstremitas. Penapisan adanya
trombosis dengan pemeriksaan D Dimer. Sedangkan diagnosis
pastinya ditegakkan dengan ultrasonografi, tomografi dan (
Magnetic resonance Imaging) MRI 1.
Emboli Paru
Trombus pada vena dalam di tungkai bawah yang terlepas, akan
menyebabkan penyumbatan pada aliran darah ke paru. Hal
tersebut banyak menyebabkan morbiditas dan mortalitas pada
usia lanjut. Gejala yang ditimbulkan ada adalah sesak nafas, nyeri
dada dan peningkatan denyut nadi1.
Kelemahan otot
Imobilisasi lama akan menyebabkan atrofi otot, karena penurunan
massa, ukuran dan kekuatan otot. Hal tersebut dibuktikan dengan
penurunan ukuran lingkar otot 2.1-21 % kekuatan hingga 1-2 %
per hari. Selain berkaitan dengan imobilisasi, kelemahan otot
berkaitan juga dengan penurunan kapasitas fungsional,
kelemahan dan jatuh. Proses menua, akumulasi penyakit dan
gangguan nutrisi merupakan penyebab hal tersebut Imobilisasi
lama akan menyebabkan degenerasi otot, pembentukan jaringan
lemak dan fibrosis. Sehingga massa otot akan berkurang separuh
dari ukuran semula setelah imobilisasi lebih dari 2 bulan 1.
Osteoporosis
Imobilisasi akan meningkatkan resorbsi tulang, menurunkan
kalsium total tubuh, menghambat sekresi PTH dan vitamin D3
aktif. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa imobilisasi berkorelasi
positif terhadap kalsium serum dan resorbsi tulang, serta
berkorelasi negatif dengan indeks barthel1 .
Ulkus dekubitus
Keadaan tidak bergerak baik aktif maupun pasif berakibat tekanan
terus menerus pada tempat yang sama dalam waktu lama. Jika
tekanan yang terjadi mencapai 25 cmhg, maka aliran darah
kapiler menjadi terhambat dan menyebabkan hipoksia dan
nekrosis kulit. Kemudian kompresi kapiler juga mengakibatkan
trombosis intra arteri yang akan mempertahankan iskemia. Relief
luka tekanan akan menyebabkan arteri tidak dapat terbuka dan
mengakibatkan luka1.
Komplikasi ini merupakan komplikasi yang paling sering muncul
dari imobilisasi. Sehingga perlu diperhatikan faktor risiko
diantaranya demam, penurunan kesadaran, malnutrisi,
hipoalbuminemia, anemia, fraktur, kakeksia, syok dan dehidrasi 1,2.
Hipotensi postural
Tirah baring paling tidak 3 minggu akan menyebabkan gangguan
kemampuan untuk menyesuaikan diri antara posisi berbaring dan
posisi berdiri pada orang sehat, terutama pada lanjut usia, akibat
perubahan kemampuan respon kardiovaskular. Sehingga terjadi
penurunan volume sekuncup dan curah jantung. Pada lanjut usia
yang berubah posisi dari berbaring menjadi duduk atau berdiri
akan terjadi penurunan tekanan darah sistolik 20 mmhg. Hal
Pneumonia
Pada posisi berbaring, gerakan otot nafas terbatas sehingga
terjadi retensi sputum dan mudah terjadi aspirasi. Selain itu
karena menua maka daya pegas menurun dan perubahan tekanan
katup penutup saluran nafas menurun sehingga makin
memudahkan lansia mengalami atelektasis dan pneumonia1.
Gangguan nutrisi
Kadar kortisol pada lanjut usia dengan imobilisasi akan meningkat.
Akibatnya akan cenderung terjadi katabolisme protein. Dalam tirah
baring selama 7 hari akan terjadi peningkatan ekskresi protein.
Maka akan menyebabkan hipoalbuminemia, edema dan
penurunan kesadaran. Pada keadaan infeksi , trauma, fraktur dan
malnutrisi maka kekurangan protein semakin berat1.
Konstipasi
Imobilisasi berakibat waktu transit di kolon lebih panjang, sehingga
absorbsi cairan lebih banyak, konsistensi feces lebih keras dan
mudah terbentuk skibala1.
Referensi :
1. Setiati, Arya Govinda R. Imobilisasi pada usia lanjut. Dalam
Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Simadibrata M, Setiati . Buku
ajar Ilmu Penyakit Dalam Pusat Penerbitan Departemen
Ilmu Penyakit Dalam Jakarta. 2006 1398 - 1402..
2. Elise M. Coletta. Pressure Ulcers: Practical Considerations
in Prevention and Treatment.In : Gallo, Joseph J.; Busby-
Whitehead, Jan; Rabins, Peter V.; Silliman, Rebecca A.;
Murphy, John B.; Reichel, William (Eds). Reichel's Care of
the Elderly: Clinical Aspects of Aging, 5th Edition.Lippincott
Williams & Wilkins. 1999 262-266.
3. Catherine De Beau . Urinary Incontinence. In : Landefeld,
C. Seth; Palmer, Robert M.; Johnson, Mary Anne G;
Johnston, C. Bree; Lyons, William L. (Eds). Current
Geriatric Diagnosis & Treatment, 1st Edition. McGraw-Hill
4. 2004 240 246.
5. Lynn McNicoll , Sharon K. Inouye. Delirium.In : Landefeld,
C. Seth; Palmer, Robert M.; Johnson, Mary Anne G.;
Johnston, C. Bree; Lyons, William L (Eds). Current
Hip fracture
(1 : 100 falls)
- Mobilitas berkurang
- Berkurangnya kemandirian fungsional
- Menurunnya fungsi spiral
- Berkurangnya kualitas hidup
- Kematian dini
Alur Patogenesis gait disorder, fall, hip fractur (Runge, et all, 2000)
Menurut Runge et all (2000), mencegah jatuh
membutuhkan reaksi neuromuskular yang cepat beradaptasi
secara tepat untuk mengatasi gangguan keseimbangan. Untuk
mencegah kejadian terjatuh menjadi menjadi patah tulang panggul
dibutuhkan reaksi proteksi yang cepat untuk mencegah kejadian
terjatuh pada region trochanteric.
DAFTAR PUSTAKA
104 S.
epidermidis
MRSA
positif
MRSA
negatif
Darah
248 P. aeruginosa
B. cepacia
334
385
Wachid Putranto
PENDAHULUAN
Anemia merupakan salah satu komplikasi Penyakit Ginjal
Kronis ( PGK ) yang terpenting. Menyebabkan berbagai macam
gejala yang mengakibatkan keterbatasan keterbatasan pada
pasien, Beberapa penelitian menunjukkan hubungan antara
anemia pada PGK dengan meningkatnya risiko mortalitas maupun
hospitalisasi. ( Fisbane, 2009)
Anemia biasa terjadi pada pasien PGK dan memberikan
pengaruh terhadap outcome. Penelitian observasional
menunjukkan bahwa kadar Hemoglobin yang rendah
meningkatkan risiko progresivitas penyakit ginjal dan morbiditas
maupun mortalitas kardiovaskuler(Mehdi ,2009)
Anemia pada pasien pasien Penyakit Ginjal Kronis (PGK )
mempunyai akibat yang tidak menguntungkan, meliputi
berkurangnya ambilan maupun penggunaan oksigen oleh jaringan,
peningkatan kerja jantung dan cardiac output, dilatasi ventrikel,
dan hipertropi ventrekel. Manifestasi klinis meliputi fatigue,
berkurangnya toleransi saat latihan, angina pectoris, gagal
jantung, gangguan mental maupun kognitif, berkurangnya
kemampuan daya tahan tubuh terhadap infeksi. Pada anak anak
dengan PGK, anemia ini akan menyebabkan gangguan
pertumbuhan. (Bargman ,2010, Fisbane, 2009 )
Anemia pada pasien _ pasien PGK terutama terjadi akibat
ketidakmampuan ginjal untuk menghasilkan jumlah eritropoetin
yang adekuat. Hal ini disertai dengan berkurangnya ketahanan
hidup sel darah merah dalam suasana uremia dan defisiensi zat
besi sebagai factor pemberat. (Obrador . 2009)
DEFINISI
Definisi PGK : 1. Kerusakan ginjal yang terjadi selama 3
bulan atau lebih yang ditunjukan dengan adanya abnormalitas
struktur maupun fungsi ginjal dengan atau tanpa penurunan Laju
Filtrasi Glomerulus ( LFG ) yang mempunyai manifestasi berupa
abnormalitas patologi maupun mar ker kerusakan ginjal meliputi
abnormalitas komposisi darah atau urine, atau imaging. Atau 2.
LFG 60 ml/ mnt/ 1.37 m2 selama 3 bulan atau lebih dengan atau
tanpa marker kerusakan ginjal. ( K/DOQI,2002 )
CKD stage 2 hanya mempunyai manifestasi berupa
penurunan LFG. Penurunan LFG ini akan berlangsung secara
TARGET HEMOGLOBIN
Target Hemoglobin yang dianjurkan oleh K/DOQI dan
European Best Practice Guidelines adalah 11 12 g/dl. Di United
States peningkatan kadar hemoglobin diatas !2g/dl tidak
direkomendasikan. Deborah pada penelitianya mendapatkan hasil
bahwa kadar hemoglobin 11 11,5 g/dl ( kadar terendah yang
direkomendasikan K/DOQI ) mempunyai risiko kematian yang
lebih tinggi dibandingkan kadar hemoglobin 11,5 12 g/dl. Kadar
hemoglobin !2 13 g/dl mempunyai angka survival yang paling
tinggi. Kadar hemoglobin > 13,5 g/dl disertai dengan
meningkatnya angka kematian sama dengan kadar hemoglobin 11
11,5 g /dl. (Macdougall , 2007, Regidor, 2006 )
Urin
Keringat
Feses menses kehamilan Pertumbuhan Total
Pria dewasa 0,5 1 0,5 1
Post menopause 0,5 1 0,5-1
Menstruasi 0,5 1 0,5-1 12
Hamil 0,5 1 1- 2 1,5 3
Anak-anak 0,5 0,6 1,1
Wanita ( 12 15 th) 0,5 1 0,5 1 0,6 1,6 2,6
Tabel 4. Perkiraan kebutuhan besi harian. Satuan mg/hari.
(Hoffbrand , !993)
Definisi
World Health Organisation (WHO) dan konsensus ahli
rematologi mendefinisikan osteoporosis sebagai penyakit tulang
sistemik yang ditandai dengan penurunanan densitas massa
tulang dan perburukan mikroarsitektur jaringan tulang,
menyebabkan kerapuhan tulang sehingga meningkatkan risiko
terjadinya fraktur. Dimana keadaan tersebut tidak memberikan
keluhan klinis, kecuali apabila telah terjadi fraktur (thief in the
night) . Sedangkan definisi lain menurut National Institute of Health
(NIH) yaitu penyakit tulang sistemik yang ditandai oleh
compromised bone strength sehingga tulang mudah patah .1,2,3
Demografi:
Lebih dari sepuluh juta penduduk Amerika terkena
osteroporosis dan sebanyak 34 juta orang sangat beresiko. Wanita
post menopause mewakili kelompok pasien yang paling besar.
Pria berusia 60 tahun ke atas mungkin menunjukkan gejala
pengeroposan tulang, meskipun risiko keretakan tulang tidak
terlihat hingga setelah usia 70 tahun. Pasien pada semua
kelompok usia yang dirawat dengan glukokortikoid mengalami
peningkatanrisiko pengeroposan tulang. Risiko fraktur kompresi
tulang belakang dan fraktur pinggul pada wanita berkulit putih post
Etiologi
Banyak penyebab yang dikenali termasuk defisiensi
estrogen, glukokortikoid yang berlebihan (Cushing atau
iatrogenik), kekurangan seks steroid pada pria dan wanita,
kekurangan gaya gravitasi (imobilisasi atau penerbangan luar
angkasa), atau kekurangan gizi (kalsium, vitamin D), yang dapat
diakibatkan dari buruknya intake atau malabsorbsi. Pada
osteoporosis post menopause disebabkan oleh defisiensi
esterogen yang menyebabkan ketidakseimbangan antara formasi
tulang dan resorbsi, dimana resorbsi lebih dominan daripada
pembentukan tulang. Defisiensi estrogen juga mempertinggi
kemungkinan pengeroposan tulang melalui produksi sitokin
termasuk IL-1, selain dipengaruhi juga oleh proses penuaan
(berkurangnya populasi osteoprogenitor, defisiensi nutrisional dan
malabsorbsi).5,7,8,9,10,11,12
Mekanisme dasar kerapuhan tulang terjadi karena
beberapakeadaan, yaitu 5:
1. Kegagalan memproduksi massa dan kekuatan tulang secara
optimal selama pertumbuhan atau non optimal peak bone
mass.
2. Resorpsi tulang yang berlebihan mengakibatkan berkurangnya
densitas tulang dan kerusakan mikroarsitektur dari sistem
skeleton.
3. Berkurangnya aktivitas osteoblastik dalam merespon
peningkatan resorpsi selama remodeling tulang.
Patogenesis osteoporosis
Mekanisme Dasar kerapuhan sistem skeletal terjadi karena :16
a. Kegagalan memproduksi masa dan kekuatan optimal pada
sistem skeletal selama pertumbuhan.
b. Resorbsi tulang yang berlebihan yang menyebabkan
berkurangnya masa tulang dan kerusakan mikro arsitektur
dari sistem skeleton.
c. Berkurangnya aktivitas osteoblastik dalam merespon
peningkatan resorbsi selama remodeling tulang.
Sebagai tambahan, insidensi fraktur karena kerapuhan,
yang sering didapatkan pada pinggul dan pergelangan tangan,
sangat ditentukan oleh frekwensi dan arah trauma (jatuh).
Peran Esterogen
Berkurangnya esterogen pada wanita post menopause
mendasari patogenesis osteoporosis.20,21 Beberapa penelitian
membuktikan marker biokimia (yang mempengaruhi resorbsi dan
formasi tulang) sebagai indikator remodeling tulang dipengaruhi
kadar esterogen, dimana peningkatan resorbsi tulang sangat cepat
tidak seimbang dengan formasi tulang yang berjalan relatif
lambat. Defisiensi esterogen pada wanita bilamana diberikan
pengganti (silih hormon) terbukti mengurangi kecepatan absorbsi
tulang. Terbukti pula estrogen lebih besar pengaruhnya dalam
Penegakkan diagnosa
Penilaian langsung densitas tulang untuk mengetahui
ada/tidaknya osteoporosis dilakukan dengan pemeriksaan
sebagai berikut:
1. Radiologik
2. Radioisotop
3. QCT (Quantitative Computerised Tomography)
4. MRI (Magnetic Resonance Imaging)
5. QUS (Quantitative Ultrasound)
6. DXA(Dual X-ray absorptiometry)
Diagnosis osteoporosis dapat dilakukan dengan cara
anamnesis, pemeriksaan fisikdan pemeriksaan penunjang. Pada
saat ini gold standart untuk diagnosis osteoporosis diperoleh
dengan menggunakan teknik Dual Energy X-ray Absorpsiometry
(DXA)yang mengukur kepadatan tulang sentral. Metode ini paling
banyak digunakan karena mempunyai efikasi klinis established,
akurasi bervariasi antara 90-99% untuk DXA di panggul, tulang
belakang dan lengan bawah, precision error antara 0,6%-1,5%,
dosis radiasi rendah (<5 mrem). DXAmerupakan gold standart
untuk diagnosis dan monitoring osteoporosis.
Osteoporosis dapat dikenali berdasarkan pemeriksaan
radiografi secara rutin, meskipun hal tersebut kurang sensitif untuk
Diagnosis Banding:
Fraktur sebaiknya dibedakan antara fraktur patologis dan
ketidaknormalan yang mendasari (misalnya metastase tulang).
Utamanya hiperparatiroidisme menyebabkan percepatan
pengeroposan tulang pada tulang kortikal, terutama daerah
pinggul. Osteomalasia dapat dihubungkan dengan rendahnya
kadar 25-hydroxyvitamin D dan fosfat. Biopsi tulang mungkin
diperlukan untuk diagnosis definitif pada osteomalasia. Penyakit
keturunan dari jaringan penghubung, termasuk sindroma Marfan
dan Ehlers-Danlos, sering dihubungkan dengan osteoporosis.4,5,15
Terapi:
Sasaran utama terapi sebaiknya mengacu pada
pencegahan fraktur.
-Terapi umum:
Prognosis:
Fraktur (terutama fraktur pinggul) pada pasien berusia
lanjut dihubungkan dengan morbiditas dan mortalitas secara
signifikan.Peningkatan kewaspadaan dan jangkauan luas dari
terapi yang tersedia terhadap osteoporosis dapat mengubah
tingkat penyakit ini secara signifikan.
Kepustakaan
1. Adnan ZA. 2008. Osteoporosis Biopatogenesis Dan
Terapi. Dalam: Guntur AH dan Adnan ZA(Eds.).
Perkembangan biopatogenesis terkini dalam
meningkatkan pelayanan prima. Surakarta, Sebelas
Maret University press. (6) :h78-85.
2. American College of Rheumatology. 2003.
Osteoporosis, etiology and Pathogenesis.
3. WHO Scientific Group on the Prevention and
Management of Osteoporosis (2000 : Geneva,
Switzerland) (2003). "Prevention and management of
osteoporosis : report of a WHO scientific group" (pdf).
Retrieved on 2007-05-31
4. Simonelli, C et al (2006). "ICSI Health Care Guideline:
Diagnosis and Treatment of Osteoporosis, 5th edition"
(PDF). Institute for Clinical Systems Improvement.
Retrieved on 2008-04-08.
5. Raisz L (2005). "Pathogenesis of osteoporosis:
concepts, conflicts, and prospects.".J Clin Invest 115
(12): 331825.
6. Melton LJ (2003). "Epidemiology worldwide".
Endocrinol. Metab. Clin. North Am. 32 (1): 113, v.
7. Berg KM, Kunins HV, Jackson JL et al (2008).
"Association between alcohol consumption and both
osteoporotic fracture and bone density". Am J Med 121
(5): 40618.
8. Shapses SA, Riedt CS (2006). "Bone, body weight, and
weight reduction: what are the concerns?".J. Nutr. 136
Abstract
Myocardial infarction (MI), commonly known as a heart
attack, is the irreversible necrosis of heart muscle secondary to
prolonged ischemia. MI is considered part of a spectrum referred
to as acute coronary syndrome (ACS). ACS refers to a spectrum of
clinical presentations ranging from those for ST-segment elevation
myocardial infarction (STEMI) to presentations found in nonST-
segment elevation myocardial infarction (NSTEMI) or in unstable
angina. MI is dened in pathology as myocardial cell death due to
prolonged ischemia. MI usually precipitated by acute thrombosis
induced by a ruptured or eroded atherosclerotic coronary plaque,
with or without concomitant vasoconstriction, causing a sudden
and critical reduction in blood ow. In the complex process of
plaque disruption, inammation was revealed as a key
pathophysiological element. The leading symptom of ACS is
typically chest pain. The working diagnoses of ACS are based on
symptom of chest pain, changes of the ECG and cardiac enzyme
(biomarkers) or sometimes imaging modalities. Patients with ST-
segment elevation MI require immediate coronary recanalization
with PCI or thrombolysis. Patients without persistent ST-segment
elevation should receive baseline treatment including: aspirin, low-
molecular-weight heparin, clopidogrel, beta blockers and nitrates.
Key words: acute myocardial infarction, ACS, STEMI, NTEMI,
unstable angina, heart attack.
II. PATHOPHYSIOLOGY
Myocardial infarction, commonly known as a heart attack,
is the irreversible necrosis of heart muscle secondary to prolonged
ischemia. This usually results from an imbalance in oxygen supply
and demand, which is most often caused by plaque rupture with
thrombus formation in a coronary vessel, resulting in an acute
reduction of blood supply to a portion of the myocardium.
Myocardial infarction is considered part of a spectrum referred to
as acute coronary syndrome (ACS). The ACS continuum
representing ongoing myocardial ischemia or injury consists of
unstable angina, nonST-segment elevation myocardial infarction
(NSTEMI), and ST-segment elevation myocardial infarction
(STEMI). Patients with ischemic discomfort may or may not have
ST-segment or T-wave changes denoted on the electrocardiogram
(ECG). ST elevations seen on the ECG reflect active and ongoing
transmural myocardial injury. Without immediate reperfusion
therapy, most persons with STEMI develop Q waves, reflecting a
dead zone of myocardium that has undergone irreversible damage
and death. Those without ST elevations are diagnosed either with
unstable angina or NSTEMIdifferentiated by the presence of
cardiac enzymes. Both these conditions may or may not have
changes on the surface ECG, including-segment depression or T-
wave morphological changes (4, 5).
III.DIAGNOSIS
The leading symptom of ACS is typically chest pain. The
term acute myocardial infarction (MI) should be used when there is
evidence of myocardial necrosis in a clinical setting consistent with
acute myocardial ischemia. The working diagnosis of NSTE-ACS
is a rule-out diagnosis based on the ECG, i.e. lack of persistent ST
elevation. Biomarkers (troponins) further distinguish NSTEMI and
unstable angina. Imaging modalities are used to rule out or rule in
differential diagnoses. Traditionally, several clinical presentations
have been distinguished (4, 5):
Prolonged ( >20 min) anginal pain at rest;
New onset (de novo) angina (Class II or III of the
Classication of the CCS
Recent destabilization of previously stable angina with
at least Canadian Cardiovascular Society Class III
angina characteristics (crescendo angina); or
Post-MI angina.
III.2. Electrocardiogram
The resting 12-lead ECG is the rst-line diagnostic tool in
the assessment of patients with suspected ACS. It should be
obtained within 10 min after rst medical contact. The
characteristic ECG abnormalities of NSTE-ACS are ST-segment
depression or transient elevation and/or T-wave changes. The
nding of persistent (>20 min) ST-elevation suggests STEMI,
which mandates different treatment. If the initial ECG is normal or
inconclusive, additional recordings
should be obtained if the patient develops symptoms and these
should be compared with recordings obtained in an asymptomatic
state. Comparison with a previous ECG, if available, is valuable,
particularly in patients with co-existing cardiac disorders such as
LV hypertrophy or previous MI. ECG recordings should be
repeated at least at 3-6 h and 24 h after rst presentation, and
immediately in the case of recurrence of chest pain or symptoms
(4, 5, 6).
III.3. Biomarker
Cardiac troponins play a central role in establishing a
diagnosis and stratifying risk, and make it possible to distinguish
between NSTEMI and unstable angina. Troponins are more
specic and sensitive than the traditional cardiac enzymes such as
creatine kinase (CK), its iso enzyme MB (CK-MB), and myoglobin.
Elevation of cardiac troponins reects myocardial cellular damage,
which in NSTE-ACS may result from distal embolization of platelet-
III.4. Imaging
III.4.1. Non-invasive imaging techniques
IV. MANAGEMENT
IV.1. EMERGENCY DEPARTMENT CARE
All patients being transported for chest pain should be
managed as the pain were ischemic in origin, unless clear
evidence to the contrary is established. Most deaths caused by
myocardial infarction occur early and are attributable to primary
ventricular fibrillation (VF). Therefore, initial objectives are
SUMMARY
Acute Myocardial Infarction are a major healthcare problem and
represent a large number of hospitalizations annually throughout in
the world. In spite of modern treatment the rates of mortality,
reinfarction and readmission with an acute coronary syndrome at
6-months follow-up remain still very high. After clinical
examination, it is necessary to record an electrocardiogram
followed by continuous multi-lead ST-T segment monitoring, if
possible blood samples should be obtained to determine troponin
T or I, and CK-MB.
(A) Patients with ST-segment elevation require immediate
coronary recanalization with PCI or
thrombolysis.
(B) Patients without persistent ST-segment elevation should
receive baseline treatment including:
aspirin, low-molecular-weight heparin, clopidogrel, beta
blockers (if not contra-indicated)
and nitrates.
REFERENCES
1. Bonaca MP, Steg PG, Feldman LJ et al. Antithrombotics in
Acute Coronary Syndromes. JACC 2009; 54(11): 969-984.
2. Coven DL and Yang EH. Acute Coronary Syndrome.
Available at: http:
//www.emedicine.medscape.com/article/1910735-overview.
Accessed September 10, 2012
3. Fox KAA, Clayton C, Damman P et al. Long-Term
Outcome of a Routine Versus Selective Invasive Strategy
in Patients with NonST-Segment Elevation Acute
Coronary Syndrome, a Meta-Analysis of Individual
Patient Data. JACC 2010; 55 (22): 2435-2445