Anda di halaman 1dari 22

GANGGUAN SISTEM IMUN

Pendahuluan
Tubuh memiliki mekanisme untuk mempertahankan keutuhannya yaitu
sistem imun. Pada satu sisi, dengan adanya sistem imun, tubuh dapat
mempertahankan dirinya terhadap bahaya dari luar seperti pertahanan terhadap
infeksi dan tumor. Sedangkan pada sisi lain, apabila terjadi gangguan pada sistem
imun, seperti reaksi hipersensitivitas dan respon imun terhadap jaringan sendiri
(autoimun) akan menyebabkan suatu keadaan yang fatal (Kumar, 2003).
Dalam tubuh terdapat kelompok gen yang disebut major histocompatibility
complex (MHC), yang merupakan penentu ekspresi molekul-molekul permukaan sel
tubuh terhadap antigen. Regulasi respon imun ini terjadi melalui aktifitas sel Th atau
Tc dalam presentasi antigen (Abbas, 2000).
Respon imun yang patologik menimbulkan respon yang berlebihan sehingga
akan menimbulkan kerusakan jaringan tubuh. Reaksi hipersensitivitas akan
merangsang imunoglobulin sehingga melepas mediator secara berlebihan sebagai
respon terhadap antigen. Hilangnya toleransi respon imun akan menyebabkan
timbulnya respon imun terhadap antigen jaringan sendiri dan menyebabkan penyakit
autoimun (Baratawidjaja, 2002).

Tinjauan Pustaka
1. Sel-sel Sistem Imun
1.1 Limfosit T
Limfosit merupakan kunci pengontrol sistem imun. Sel-sel tersebut dapat
mengenal benda asing dan membedakannya dari sel jaringan sendiri. Biasanya sel
limfosit hanya memberikan reaksi terhadap benda asing, tetapi tidak terhadap sel
sendiri. Kemampuan mengenal limfosit tersebut disebabkan oleh adanya reseptor
pada permukaan sel. Limfosit T yang terdapat dalam sirkulasi darah berkisar antara

1
60 – 70%. Setiap sel T secara genetik mempunyai kemampuan mengenali fragmen
peptida dengan adanya T-cell receptor (TCR). Setiap sel somatik memiliki gen TCR
yang akan berikatan dengan CD3 (cluster of designation) dalam mengenali antigen.
Sel T mempunyai dua fungsi yaitu sebagai efektor dan imunoregulator. Sel T efektor
bertanggung jawab terhadap respon imun seluler pada cytotoxic T cell (CTL) dan
delayed-type hypersensitivity (DTH) (Kumar, 2003) (Gambar 1).
Limfosit T tumbuh dalam sumsum tulang dan berdiferensiasi dalam timus.
Bentuk dewasanya mempunyai petanda khusus. Pada diferensiasi lebih lanjut sel-sel
ini tumbuh menjadi populasi sel T sitotoksik yang dapat menghancurkan sel sasaran
yang sesuai baik secara langsung atau melalui pengeluaran produk sel-sel spesifik,
misalnya limfokin.
Secara morfologik sangat sulit untuk membedakan berbagai sel limfoid dan
diferensiasi subkelas sel T. Untuk dapat melakukan fungsi, dalam proses
pematangannya sel-sel tersebut memiliki molekul-molekul unik pada permukaannya
yang disebut petanda permukaan yang dapat berupa enzim, glikoprotein dan reseptor
spesifik. Sel T mempunyai reseptor pada permukaan sel yang dapat mengikat sel
darah merah biri-biri. Petanda permukaan (surface marker) tersebut dapat digunakan
untuk membedakannya dari sel B dengan pemeriksaan cara rosette dan teknik
imunofluoresen (Mackay, 2003).
Dengan bantuan teknik imunofluoresen dan antibodi monoklonal, sel-sel
subset sel T dapat dibedakan satu dari yang lain. Kebanyakan sel T mempunyai 3
glikoprotein permukaan yang dapat diketahui dengan antibodi monoklonal T11, T1
dan T3.
Dewasa ini telah dikenal berbagai petanda permukaan yang menunjukkan sel
T dalam berbagai fase pertumbuhan. Molekul tersebut dikenal sebagai Cluster
Designation (CD). Sebagai contoh ialah molekul CD3 berhubungan erat sekali
dengan reseptor sel T dan berperan dalam meneruskan sinyal aktivasi yang datang
dari luar sel ke bagian dalam sel (bila ada interaksi antara antigen-molekul MHC dan
reseptor sel T).

2
Sampai saat ini telah diketahui sekitar 247 molekul CD, beberapa di
antaranya ditemukan pada sel bukan leukosit. Molekul yang sangat penting yang
digunakan untuk membedakan sel T (CD2 dan CD3), subset sel T (CD4, CD8), sel
T yang diaktifkan (CD25), sel B (CD19, CD2O) dan fagosit mononuklier (CD64,
CD68) (Bellanti, 1993).

Gambar 1. Presentasi antigen oleh sel T dan CD4 (Kumar, 2003)

1.2 Limfosit B
Limfosit B merupakan sel yang memproduksi antibodi, pada unggas
diproduksi di bursa Fabricius, sedangkan pada mamalia maturasi sel B terjadi di
sumsum tulang belakang. Setelah matang, sel B bergerak ke alat-alat seperti limpa,
kelenjar getah bening dan tonsil (Janeway, 1997)(Gambar 2).

3
Gambar 2. Pematangan sel B (Janeway, 1997)

Sel B termuda ditemukan dalam hati fetus dan sumsum tulang dan belum
mempunyai imunoglobulin permukaan/petanda. Mula-mula dibentuk IgM dalam
sitoplasma yang dapat digunakan sebagai ciri dari pre-B cell. Dalam stadium
selanjutnya, IgM tersebut didorong ke arah membran sel dan kemudian dijadikan
reseptor monomerik permukaan sIgM sehingga sel dapat mengenal antigen untuk
pertama kali. Kontak antara antigen dan sel B muda ini tidak menimbulkan ekspansi
dan diferensiasi lebih lanjut.
Perkembangan sel B dalam sumsum tulang adalah antigen independen tetapi
perkembangan selanjutnya memerlukan rangsangan dari antigen. Sel B dalam
keadaan istirahat berukuran kecil dengan sedikit sekali sitoplasma. Bila diaktifkan
berkembang menjadi limfoblas. Beberapa di antaranya menjadi matang / sel plasma
yang tidak memiliki lagi Ig pada permukaannya, tetapi mampu memproduksi
antibodi bebas. Beberapa limfoblas berkembang menjadi sel memori.
Sel B merupakan 5-15% dari seluruh jumlah limfosit dalam sirkulasi. Fungsi
utamanya ialah memproduksi antibodi. Sel B ditandai dengan adanya imunoglobulin
yang dibentuk di dalam sel dan kemudian dilepas, tetapi sebagian menempel pada

4
permukaan sel yang selanjutnya berfungsi sebagai reseptor antigen. Kebanyakan sel
B perifer mengandung IgM dan IgD dan hanya beberapa sel yang mengandung IgG,
IgA dan IgE pada permukaan tersebut yang dapat ditemukan dengan teknik
imunofluoresen.
Atas pengaruh antigen dan sel T, sel B berproliferasi dan berdiferensiasi
menjadi sel plasma yang mampu membentuk dan melepas Ig dengan spesifitas yang
sama seperti reseptor yang ada pada permukaan sel prekursornya. Pada waktu yang
sama, sebagian sel yang dibentuk akan kembali ke dalam fase istirahat, sel B yang
matang sebagai sel B memori yang dapat memberikan respons imun dengan lebih
cepat. Aktivasi sel B berasal dari ikatan antara B-cell receptor (BCR) dengan
antigen. Ikatan antara BCR dengan Igα dan Igß akan mengaktifkan sinyal untuk
aktivasi sel B. Sinyal kedua diaktifkan melalui ikatan komplemen dengan sel B
CD21 atau interaksi sel B CD40 dengan CD154 (Kumar, 2003)(Gambar 3).

Gambar 3. Kompleks reseptor sel B dan interaksi antigen (Kumar, 2003)


1.3 Makrofag
Makrofag berperan dalam induksi dan fase efektor dalam respon imun, yaitu:
* makrofag mengekspresikan MHC kelas II dan mempresentasikan antigen ke CD4
dan sel T helper. Karena sel T tidak dapat dipicu oleh antigen bebas, maka
diperlukan presentasi oleh makrofag.

5
* makrofag memproduksi sitokin yang berpengaruh terhadap sel T, yang berfungsi
dalam imunitas seluler.
* Makrofag berfungsi sebagai efektor dalam imun humoral dengan memfagositosis
dan membunuh mikroorganisme yang telah diliputi antibodi (opsonisasi) (Abbas,
2000).

1.4 Sel dendritik


Sel dendritik memiliki dua tipe, yaitu:
* Interdigitating dendritic cells, biasanya disebut sel dendritik, terdapat dalam
jaringan limfoid dan organ non-limfoid seperti hati dan paru-paru, juga di epidermis
yang disebut sel Langerhans. Berfungsi dalam mengekspresikan major
histocompatibility complex (MHC) kelas II.
* Follicular dendritic cells, terdapat dalam pusat germinal folikel limfoid di limpa
dan kelenjar getah bening. Sel ini berikatan dengan reseptor Fc untuk IgG dan
mengikat antigen (Kumar, 2003).

1.5 Sel Natural Killer (NK)


Sebagian sel limfosit tidak mengandung petanda seperti yang ditemukan
pada permukaan sel B dan sel T, oleh karena itu disebut sel Nol (0) atau sel populasi
ketiga atau nonTnonB. Sekitar 70-80% dari sel tersebut berupa Large Granular
Lymphocyte (LGL), mengandung banyak sitoplasma dengan granul azurofilik yang
dapat dikenal oleh karena memiliki petanda permukaan CD56 dan CD16 tetapi tidak
CD3. Pada orang normal merupakan 10-15% dari limfosit perifer dan 1-2% dari
limfosit limpa. Sel nonT-nonB tersebut disebut sel NK (Natural Killer)(Janeway,
1997).
Sel NK membunuh sel sasaran dengan perforasi membran sel melalui perforin
yang diproduksinya. Perforin dilepas selelah terjadi kontak dengan sel lain. Perforin
masuk ke dalam sel, menimbulkan influks ion abnormal dan kebocoran metabolit
esensial dari sitoplasma.

6
Sel NK berperan pada imunitas nonspesifik, tidak memerlukan pajanan dan
pengenalan mikroba dengan molekul MHC. Sel NK secara alamiah sudah
merupakan limfosit sitotoksik yang ditemukan sejak lahir. Jumlah dan aktivitasnya
dapat ditingkatkan oleh sistem imun spesifik antara lain oleh pajanan dengan IL-2
dan IFN (Gambar 4).

Gambar 4. Peranan sel NK pada imunitas non spesifik (Janeway, 1997)

2. Molekul Histokompatibilitas
Kompleks histokompatibilitas mayor (Major histocompatibility
complex=MHC) ditemukan pertengahan tahun 1950 ketika leucoagglutinating
antibodies pertama kali ditemukan pada serum pasien yang ditransfusi. Analisis
pola reaksi antiserum ini mengindikasikan bahwa tiap antiserum memberikan reaksi
postif tetapi tidak pada semua individu.
Pola antigen ini menjelaskan keberhasilan tranplantasi organ dan jaringan
dan merupakan awal studi mengenai human leucocyte antigens (HLA). Pada tahun
1973, beberapa antigen HLA ditemukan dan dihubungkan dengan penyakit-penyakit
spesifik. Pada dekade terakhir, diketahui bahwa kompleks HLA mengatur beberapa
aspek respon imun. Penemuan ini merupakan pendorong untuk meneliti lebih lanjut
mengenai kompleks HLA (Stites, 1987).
MHC merupakan kompleks gen yang berperan dalam pengenalan dan
pemberian sinyal di antara sel-sel sistem imun yang terletak dalam kromosom 6.

7
Kelompok ini dikenal sebagai molekul permukaan tubuh yang berperan dalam
proses reaksi transplantasi.
Pada manusia antigen permukaan tersebut ditemukan pada lekosit sehingga
timbul istilah HLA. Serum dari penderita tersebut sering digunakan untuk
menentukan tipe-tipe protein sehingga molekul HLA sering juga dianggap sebagai
antigen. HLA adalah MHC pada manusia (Gambar 5).

Gambar 5. Kompleks HLA pada kromosom 6 (Stites, 1987)

Molekul-molekul MHC pertama kali diketahui melalui analisa serologis yang


menggunakan antibodi. Berdasarkan rumus bangunnya, molekul MHC dibagi
menjadi tiga golongan (Baratawidjaja, 2002):

1. Molekul MHC kelas I


Kompleks HLA-A, HLA-B dan HLA-C yang disebut MHC kelas I (MHC-I)
menetapkan ekspresi atau antigen permukaan kelas I yaitu yang berupa protein pada
membran permukaan semua sel tubuh yang memiliki nukleus dan trombosit.
Peptida yang diikat molekul MHC-I berasal dari virus yang menginfeksi
pejamu. Protein virus dipecah menjadi peptida dalam sitosol, kemudian diikat
molekul MHC-I dan mengangkutnya ke permukaan sel sehingga kompleks MHC
kelas I dan peptida tersebut dapat dikenal oleh sel T CD8+ yang sitotoksik.
MHC-I diekspresikan pada nukleus semua sel kecuali sel darah merah se-
hingga sel Tc akan mudah mengenal sel yang terinfeksi virus. Oleh karena itu perlu

8
diketahui bahwa tidak adanya molekut MHC-I di permukaan sel darah merah,
memudahkan Plasmodium hidup di dalamnya tanpa intervensi sistem imun.

2. Molekul MHC kelas II


Kompleks HLA-D (DR, DQ dan DP) yang disebut MHC kelas II (MHC-II)
menetapkan ekspresi atau antigen permukaan sel-sel tertentu yang dikenal sebagai
molekul MHC-II yang imunokompeten seperti sel B, monosit, makrofag, Antigen
Presenting Cells (APC) untuk mengaktifkan sel T (Gambar 6).
Molekul MHC-II mengikat molekul peptida yang sudah diproses sel APC dan
dibawa ke permukaan selnya sehingga dapat dikenal oleh sel CD4 +. Presentasi
antigen serta rangsangan sel T CD4+ merupakan permulaan respons imun yang juga
sebagian ikut menentukan jenis respons yang terjadi.

Gambar 6. Jalur presentasi antigen (Janeway, 1997)

3. Molekul MHC kelas III


Pembentukan komponen beberapa sitokin dan molekul lain ditentukan oleh
MHC yang tergolong molekul MHC kelas III (MHC-III). Letak MHC yang
menentukan molekul kelas III ini terletak di dalam kompleks MHC yang
menentukan molekul MHC-I dan MHC-II. Sejumlah protein yang ekspresinya
ditentukan molekul MHC-III antara lain adalah komponen komplemen (C2, C4),
faktor B properdin, sitokin Tumor Necrosis Factor (TNF’) dan Lymphotoxin (LT),
beberapa jenis enzim, heat shock protein tertentu dan molekul pengangkut yang di-

9
perlukan dalam proses antigen. Selanjutnya sitokin dapat memodulasi ekspresi
MHC-I dan MHC-II (Baratawidjadja, 2002).

3. Mekanisme Penolakan pada Transplantasi


Transplantasi organ atau jaringan merupakan tindakan yang bertujuan
mengganti fungsi organ atau jaringan yang rusak dengan organ yang sehat.
Mekanisme penolakan jaringan transplan yang pasti belum diketahui tetapi diketahui
merupakan reaksi imunologik (Abbas, 1994).
Dari berbagai jenis antigen, yang paling penting pada transplantasi adalah
antigen HLA atau yang disebut molekul MHC kelas I maupun kelas II. Peptida yang
dikenal oleh reseptor sel T akan berikatan dengan sel T CD8 dan sel T CD4.
Interaksi sel T CD4 dengan peptida yang dipresentasikan MHC kelas II
menyebabkan proliferasi sel Th1 dan melepaskan IL-2 yang akan merangsang sel T
CD8. Selain itu aktivasi sel Th2 akan menghasilkan IL-4 dan IL-5 yang
mengaktifkan sel B untuk membentuk antibodi (Kumar, 2003) (Gambar 7).

Gambar 7. Reaksi penolakan jaringan transplan (Kumar, 2003)

10
4. Gangguan Sistem Imun
4.1 Reaksi Hipersensitivitas
Reaksi hipersensitivitas adalah suatu kondisi berubahnya respon imunologis,
dimana terjadi reaksi imun yang sangat hebat dan berbahaya terhadap masuknya
atau terpaparnya antigen. Reaksi yang terjadi dapat melalui imunitas humoral
(antibodi) maupun imunitas selular (limfosit T yang sensitif).
Berdasarkan mekanisme dan kecepatan reaksi imunologik yang terjadi Coombs dan
Gell membagi reaksi hipersensitivitas menjadi 4 tipe yaitu (Gambar 8) :
1. Hipersensitivitas tipe I atau tipe cepat atau anafilaktik
2. Hipersensitivitas tipe II atau tipe sitotoksik
3. Hipersensitivitas tipe III atau reaksi kompleks imun
4. Hipersensitivitas tipe IV atau reaksi tipe lambat

Gambar 8. Tipe Hipersensitivitas (Janeway, 1997)

1. Hipersensitivitas tipe I
Hipersensitivitas tipe I merupakan hasil reaksi antara imunoglobulin E (IgE)
yang terdapat pada membran sel bergranula pada sel mastosit dan menimbulkan
reaksi yang sangat cepat sebagai akibat sekresi mediator reaksi hipersensitivitas tipe
cepat yaitu histamin, serotonin, bradikinin dan ECFA (Eosinophilic Chematotactic

11
Factor A). Pada reaksi hipersensitivitas tipe cepat ini waktu timbulnya kerusakan
jaringan (tissue injury) dapat timbul sangat segera setelah paparan antigen yaitu
berkisar antara 5 – 15 menit. Contoh yang sering dipakai sebagai suatu model
peranan hipersensitivitas tipe I adalah reaksi anafilaktik, urtikaria terutama jenis
urtikaria akut dan penyakit yang dihubungkan dengan fenomena atropi.
Pada skema respon reaksi tipe I tampak adanya reaksi ECFA, yang
simtomnya akan dapat dikendali secara klinik periode waktu kurang lebih 6-8 jam
kemudian. Hal ini disebabkan oleh adanya ECFA tersebut, maka terjadilah suatu
peradangan akut yaitu eosinofil yang berkumpul saat paparan antigen terjadi.
Sebagai akibat pengumpulan eosinofil itu akan terjadi aktivasi eosinofil yang diikuti
pula dengan peningkatan sekret eosinofil didaerah radang yang bersangkutan.
Respon yang ditimbulkan oleh sekret eosinofil itu timbul 6-8 jam setelah paparan
antigen dan dikenal sebagai respon fase lambat atau Late Phase Response (LPR)
(Gambar 9).
Urutan kejadian reaksi tipe I adalah sebagai berikut: (Baratawidjaja, 2000)
1. Fase sensitasi yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai
diikatnya oleh reseptor spesifik (Fcε-R) pada permukaan sel mast dan
basofil.
2. Fase aktivasi yaitu waktu yang terjadi akibat pajanan ulang dengan antigen
yang spesifik, sel mast melepas isinya yang berisikan granul yang
menimbulkan reaksi.
3. Fase efektor yaitu waktu terjadi respons yang kompleks (anafilaksis) sebagai
efek mediator-mediator yang dilepas sel mast dengan aktivitas farmakologik.

12
Gambar 9. Reaksi hipersensitivitas tipe I (Kumar, 2003)

2. Hipersensitivitas tipe II
Hipersensitifitas ini merupakan respon terhadap antigen jaringan atau antigen
sel. Dikenal pula dengan nama reaksi sitotoksik. Ada dua macam mekanisme yang
dikenali di dalam reaksi hipersensitifitas tipe ini yaitu (Gambar 10):
1. Antibodi akan segera merusak sel yang mengandung antigen dengan
bantuan komplemen.
2. Perusakan sel dengan bantuan sel makrofag atau netrofil.

Gambar 10. Mekanisme Reaksi Hipersensitivitas Tipe II (Janeway, 1997)

13
Penghancuran antibody-mediated oleh sel darah merah pada anemia
hemolitik atau platelet (thrombocytopenia) adalah suatu akibat lain dari masuknya
obat tertentu seperti penisilin, zat pembunuh kuman, anti-cardiac arrhythmia, obat
quinidine, atau anti hipertensi agen methildopa. Ini adalah contoh jenis reaksi
hipersensitivas tipe II di mana obat mengikat pada permukaan sel dan bertindak
sebagai suatu target untuk anti-drug IgG zat darah dalam menyerang obat.
Contoh yang lain adalah destruksi sel darah merah akibat reaksi transfusi,
antigen Rhesus, sindrom Goodpasture, myasthenia gravis, dan pemphigus
(Baratawidjaja, 2000).

3. Hipersensitivitas tipe III


Pada reaksi jenis ini, antigen yang berasal dari manapun berkaitan dengan
antibodi yang sudah ada di dalam sirkulasi dan membentuk kompleks imun.
Kompleks imun ini dapat merangsang berbagai reaksi kerusakan jaringan melalui
peranan berbagai sel radang akut dan sel radang kronik serta sel fagosit. Berat dan
ringannya kerusakan jaringan yang ditimbulkan tergantung pada :
1. Jenis kompleks imun yang terbentuk apakah larut atau mengendap
2. Lokalisasi kompleks imun didalam berbagai organ tubuh.
3. Bagaimana kompleks imun merangsang reaksi lanjutan bersama dengan
berbagai sel imunokompeten yang lain.
4. Luasnya kerusakan jaringan yang ditimbulkan.
Sebagai contoh antigen yang berasal dari luar adalah debris dari
Mycobacterium leprae yang dapat menimbulkan fenomena Erytema Nodusum
leprosum (ENL). Sedang contoh adanya antigen diri (antigen “self”) terjadi pada
penyakit vesiko-bulosa kronik di bidang dermatologi (Abbas, 2000).
Konsep dari autoimun adalah reaksi tubuh oleh karena sesuatu hal tidak
dapat mengenali konfigurasi diri atau “self”. Keadaan ini dapat merupakan respon
hipersensitivitas tubuh terhadap autoantigen, dapat bersifat humoral artinya melalui
mekanisme autoantibodi. Reaksi autoantigen dengan autoantibodi membentuk
kompleks imun yang secara imunologik dimasukan di dalam kategori reaksi tipe III

14
atau reaksi tipe kompleks imun seperti tertera pada gambar di atas. Apabila keadaan
ini menimbulkan penyakit, maka penyakitnya disebut sebagai penyakit autoimun.
Walaupun banyak penyakit kulit yang mekanisme dasarnya adalah peristiwa
autoimunitas, namun sekarang ini juga diketahui bahwa fenomena autoimun tidak
selalu menjadikan sebab terjadinya suatu penyakit. Contoh reaksi hipersensitivitas
tipe III adalah antibody-dependent cell-mediated cytotoxicity (ADCC) di mana sel
target yang telah diliputi IgG dan berikatan melalui reseptor Fc akan dihancurkan
oleh sel NK (Gambar 11).

Gambar 11. Mekanisme ADCC dalam reaksi hipersensitivitas tipe III (Kumar, 2003)

Berbagai infeksi, atas dasar yang belum jelas dibentuk Ig yang memberikan
reaksi silang dengan beberapa bahan jaringan normal (Baratawidjaja, 2000).
1. Rheumatic Fever, infeksi streptococcus golongan A dapat menimbulkan
inflamasi dan kerusakan jantung, sendi ginjal. Berbagai antigen dalam membran
streptococus bereaksi silang dengan antigen dari otot jantung tulang rawan dan
membran glomerulus. Antibodi terhadap streptococcus diduga mengikat antigen
jaringan normal tersebut dan mengakibatkan reaksi inflamasi.
2. Artritis reumatoid (FR) adalah anti IgG yang berupa IgM yang dapat mengikat
fraksi Fc dari IgG (FCγ). Kompleks tersebut menimbulkan inflamasi di sendi
dengan kerusakan yang khas.

15
3. Infeksi lain, pada beberapa penyakit infeksi seperti malaria, virus,
lepra, antigen mengikat Ig dan membentuk kompleks imun yang diendapkan di
beberapa tempat.
4. Penyakit akibat kerja, farmer’s lung adalah contoh reaksi Tipe III. Pada orang
yang rentan, pemaparan dengan jerami yang mengandung actinomycete
termofilik yang melepas spora-spora, menimbulkan gangguan napas yaitu
pneumonitis yang terjadi dalam 6-8 jam sesudah pajanan. Orang tersebut
memproduksi banyak IgG yang spesifik terhadap actinomycete termofilik dan
membentuk kompleks antigen-antibodi yang mengendap di paru.
Reaksi tipe III pulmoner yang sejenis adalah: Pigeon breeder’s, Cheese
washer’s disease, Bagassosis, Maple bark stripper’s disease, Paprika worker’s
disease dan Thatched roof worker’s disease.
5. Lupus eritematosus sistemik (LES), merupakan penyakit autoimun yang
merupakan penyakit hipersensitivitas tipe III yang sistemik. Tubuh membentuk
antibodi autoimun terhadap berbagai komponen tubuh dan menimbulkan
manifestasi penyakit sistemik.

4. Hipersensitivitas tipe IV
Hipersensitivitas tipe ini tidak melalui mekanisme humoral atau keterlibatan
antibodi, tetapi melibatkan peranan sel limfosit T. Terjadinya respon
hipersensitivitas tipe ini memerlukan sel pembantu yang dapat menyajikan antigen
kepada limfosit. Di kulit yang dikenal sebagai penyaji antigen kepada limfosit itu
adalah sel Langerhans epidermal. Didalam proses penyajian antigen kepada limfosit
inilah terjadinya awal bentuk subpopulasi limfosit T helper (Gambar 12).
Dikatakan apabila antigen itu bersifat intra seluler akan lebih merangsang
tumbuhnya sel T helper – 1 (Th-1) dan apabila antigen itu bersifat ekstra seluler
maka yang menonjol adalah respon dari T helper – 2 (Th-2) (Janeway, 1997).

16
Gambar 12. Hipersensitif Tipe IV dalam respon alergi (Janeway, 1997)

4.2 Penyakit autoimun


Autoimun adalah respon imun terhadap antigen jaringan sendiri yang
disebabkan hilangnya toleransi. Antigen tersebut disebut autoantigen, sedang
antibodi yang dibentuk disebut autoantibodi. Sel autoreaktif adalah limfosit yang
mempunyai reseptor untuk autoantigen. Bila sel tersebut memberikan respons
autoimun, disebut Sel Limfosit Reaktif (SLR). Pada orang normal, meskipun SLR
terpajan dengan autoantigen, tidak selalu terjadi respons autoimun oleh karena ada
sistem yang mengontrol reaksi autoimun. Autoantibodi dapat ditemukan tanpa
menimbulkan akibat atau penyakit dan pada sebagian orang penyakit autoimun
dapat merupakan akibat dari terbentuknya autoantibodi. Bila autoantibodi
menimbulkan kerusakan jaringan disebut penyakit autoimun. Cirinya adalah kronis
dan biasanya tidak reversibel (Baratawidjaja, 2002).
Etiologi penyakit autoimun belum diketahui dengan pasti, tetapi diduga
berhubungan dengan:
a. faktor genetik
Beberapa penelitian membuktikan adanya predisposisi genetik dalam
penyakit autoimun. Hubungan tersebut diduga berkaitan dengan HLA, dimana
adanya haplotipe tertentu dapat digunakan untuk meramalkan risiko relatif
terjadinya penyakit autoimun.

17
b. teori gangguan mekanisme homeostatik
Saat sel T berkembang dalam timus dan mengekspresikan reseptor antigen
spesifik, sel-sel yang mempunyai afinitas tinggi terhadap self-antigen akan
dimusnahkan. Adanya clonal deletion akan mengakibatkan matangnya sel T yang
autoreaktif dengan afinitas rendah dan sel T yang mengekspresikan reseptor (TCR).
Hal yang sama terjadi pada sel B, sel-sel yang mengekspresikan reseptor sIg dengan
afinitas tinggi terhadap self-antigen yang terdapat dalam sumsum tulang akan
mengalami rekombinasi atau dimusnahkan (Stites, 1987).
Sebagai contoh adalah miastenia gravis. Penyakit autoimun ini adalah
penyakit kronis dengan adanya gangguan dalam transmisi neuromuskuler. Sekitar
60-80% penderita menunjukkan pembesaran timus dan 80-90% menunjukkan
antibodi terhadap reseptor asetilkolin (ACh). Antibodi tersebut mengikat reseptor
asetilkolin di myoneural junction dan menimbulkan endositosis reseptor. Reaksi
antara reseptor dan Ig akan mencegah penerimaan impuls saraf yang dalam keadaan
normal dialirkan oleh asetilkolin. Hal ini menimbulkan kelemahan otot yang
ditandai dengan gejala sulit mengunyah dan napas dan dapat menyebabkan kematian
akibat gagal napas (Baratawidjaja, 2002) (Gambar 13).

Gambar 13. Miastenia gravis (Baratawidjaja, 2002)

18
Pembahasan
Limfosit merupakan pengendali mekanisme pertahanan tubuh. Sel limfosit T
berperan dalam respon imun secara seluler sedangkan sel limfosit B berperan dalam
respon imun secara humoral. Setiap sel T secara genetik mempunyai kemampuan
mengenali fragmen peptida dengan adanya T-cell receptor (TCR). Setiap sel somatik
memiliki gen TCR yang akan berikatan dengan CD3 dalam mengenali antigen. Sel
T mempunyai dua fungsi yaitu sebagai efektor dan imunoregulator.
Sel B ditandai dengan adanya imunoglobulin yang dibentuk di dalam sel dan
kemudian dilepas, tetapi sebagian menempel pada permukaan sel yang selanjutnya
berfungsi sebagai reseptor antigen. Atas pengaruh antigen, sel B berproliferasi dan
berdiferensiasi menjadi sel plasma yang mampu membentuk dan melepas Ig dengan
spesifitas yang sama seperti reseptor yang ada pada permukaan sel prekursornya.
Pada waktu yang sama, sebagian sel yang dibentuk akan kembali ke dalam fase
istirahat, sel B yang matang sebagai sel B memori yang dapat memberikan respons
imun dengan lebih cepat. Aktivasi sel B berasal dari ikatan antara B-cell receptor
(BCR) dengan antigen. Ikatan antara BCR dengan Igα dan Igß akan mengaktifkan
sinyal untuk aktivasi sel B. Sinyal kedua diaktifkan melalui ikatan komplemen
dengan sel B CD21 atau interaksi sel B CD40 dengan CD154.
Pada MHC kelas I, peptida yang diikat berasal dari virus yang menginfeksi
pejamu. Protein virus dipecah menjadi peptida dalam sitosol, kemudian diikat
molekul MHC-I dan mengangkutnya ke permukaan sel sehingga kompleks MHC
kelas I dan peptida tersebut dapat dikenal oleh sel T CD8 + yang sitotoksik. Pada
MHC kelas II, molekul peptida yang sudah diproses sel APC akan dibawa ke
permukaan selnya sehingga dapat dikenal oleh sel CD4+. Presentasi antigen serta
rangsangan sel T CD4+ merupakan permulaan respons imun yang juga sebagian ikut
menentukan jenis respons yang terjadi. Molekul MHC kelas III akan menghasilkan
sejumlah protein antara lain adalah komponen komplemen (C2, C4), faktor B
properdin, sitokin Tumor Necrosis Factor (TNF) dan Lymphotoxin (LT) beberapa

19
jenis enzim, heat shock protein tertentu dan molekul pengangkut yang diperlukan
dalam proses antigen.
Proses transplantasi jaringan atau organ memiliki resiko penolakan dari
tubuh terutama bila organ berasal dari tubuh orang lain. Reaksi ini diperantarai
molekul MHC kelas I dan II. Setelah dipresentasikan oleh APC, peptida yang
dikenal oleh reseptor sel T akan berikatan dengan sel T CD8 dan sel T CD4.
Interaksi sel T CD4 dengan peptida yang dipresentasikan MHC kelas II
menyebabkan proliferasi sel Th1 dan melepaskan IL-2 yang akan merangsang sel T
CD8. Selain itu aktivasi sel Th2 akan menghasilkan IL-4 dan IL-5 yang
mengaktifkan sel B untuk membentuk antibodi.
Pada kondisi berubahnya respon imunologis, dimana terjadi reaksi imun
yang sangat hebat akibat terpapar antigen dapat menimbulkan reaksi yang cepat
berupa reaksi hipersensitivitas tipe I atau anafilaksis, yang merupakan hasil reaksi
IgE yang terdapat pada membran sel bergranula pada sel mastosit dan menimbulkan
reaksi yang sangat cepat antara 5-15 menit. Reaksi hipersensitivitas tipe II
merupakan reaksi antibodi yang akan menghancurkan antigen dengan bantuan
makrofag atau netrofil. Adanya debris dari Mycobacterium leprae dapat
menimbulkan erytema nodusum leprosum. Keadaan ini merupakan respon
hipersensitivitas tubuh terhadap antigen melalui mekanisme antibodi. Reaksi ini
membentuk kompleks imun yang termasuk reaksi hipersensitivitas tipe III. Sebagai
contoh adalah mekanisme ADCC dalam menghancurkan sel target yang telah
diliputi oleh IgG oleh sel NK. Adanya Ig yang bereaksi silang dengan jaringan
normal juga akan memberikan reaksi hipersensitivitas tipe III seperti pada penyakit
rheumatic fever, arthritis rheumatoid dan penyakit farmer’s lung yang diakibatkan
pemaparan jerami yang mengandung actinomycete termofilic. Reaksi antigen pada
kulit akan melibatkan sel Langerhans epidermal sehingga terjadi aktivasi sel limfosit
T. Proses penyajian antigen pada limfosit ini merupakan reaksi hipersensitivitas
tipe IV.
Adanya respon imun terhadap antigen jaringan sendiri yang disebabkan
hilangnya toleransi. akan menyebabkan penyakit autoimun, berupa adanya Sel

20
Limfosit Reaktif (SLR), yang akan menyebabkan kerusakan jaringan tubuh.
Etiologinya diduga berhubungan dengan faktor genetik dan berkaitan dengan HLA.
Selain itu adanya gangguan mekanisme homeostatik dan clonal deletion
menyebabkan hilangnya toleransi terhadap jaringan sendiri.

Kesimpulan
Sistem imun tubuh merupakan mekanisme pertahanan tubuh terhadap bahaya
dari luar tubuh. Kompleks gen yang disebut MHC berperan dalam pengenalan dan
pemberian sinyal di antara sel-sel sistem imun. Molekul MHC juga berperan dalam
respon tubuh pada transplantasi jaringan atau organ. Adanya gangguan sistem imun
seperti reaksi hipersensitifitas dan hilangnya toleransi terhadap jaringan sendiri,
yang mengakibatkan timbulnya penyakit autoimun, akan menyebabkan kerusakan
jaringan tubuh.

21
Daftar Pustaka
Abbas AK., Lichtman AH., Pober JS. 1994. Cellular and Molecular Immunology.
2nded. Philadelphia. WB. Sauders Co. p.47 – 89.

Baratawidjaja KG 2000. Imunologi Dasar. 5thed. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas


Kedokteran Universitas Indonesia. h. 233-240, 258-289.

Bellanti, Joseph A. 1993. Imunologi. 3rd ed. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press. p. 189-202.
Janeway CA., Travers P. 1997. Immunobiology: The Immune System in Health and
Disease. 3rded. Garland Publishing Inc. New York. p. 479-484.

Kumar, Vinay. 2003. Basic Pathology. 7th ed. Philadelphia. Saunders. p. 103-164.
Stites and Stobo. 1987. Basic & Clinical Immunology. 6th ed. USA. Prentice-Hall
International, Inc. p. 357-362.

22

Anda mungkin juga menyukai