Anda di halaman 1dari 12

CEDERA NERVUS TRIGEMINUS

I. Pendahuluan
Cedera saraf sensoris pada daerah maksilofasial biasanya terjadi akibat fraktur
fasialis, selama terapi neoplasma atau ketika tindakan rekonstruksi. Untungnya
sebagian besar dari cedera tersebut pulih dengan sendirinya. Namun demiklian
sebagian ada yang memerlukan terapi akibat gangguan yang persisten pada saraf
sensorisnya (Peterson, 1998).
Tiga cabang saraf trigeminus yang paling sering terkena cedera dan mengalami
perubahan sensasi yang cukup bermakna secara klinis adalah nervus mentalis, nervus
lingualis dan nervus infraorbital. Khusus pada nervus mentalis, bila mengalami cedera
disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut (Peterson, 1998) :
1. Fraktur mandibula
2. Tindakan bedah preporstetik
3. Bedah osteotomi sagittal split
4. Reseksi mandibula
5. Pengangkatan gigi impaksi
Kerusakan nervus lingualis biasanya disebabkan oleh pengangkatan massa tumor
atau pangangkatan gigi impaksi. Sedangkan cedera pada nervus infra orbital paling
sering terjadi akibat fraktur kompleks zigomatikomaksila (Peterson, 1998).

II. Anatomi sel saraf tepi


Neuron atau sel saraf adalah suatu unit fungsional dari sistem saraf. Neuron terdiri
dari badan sel atau soma dan prosesus sel yang terdiri dari denrit dan akson. Sel-sel
saraf dibungkus oleh sel-sel glia yang terdiri dari astrosit, oligodendrosit, sel ependimal,
mikroglia dan sel schwan. Sel-sel ini berperan sebagai myelin yang mengisolasi akson
saraf (gambar 1) (Smith, 1996).
Gambar 1: Potongan mamanjang saraf tepi (Anderson, 1988)

Serabut saraf tepi, paling luar, diselubungi oleh jaringan ikat yang disebut
epineurium. Kemudian beberapa akson dan pembuluh darah tersusun dalam fasikulus
(fascicle), diamana tiap-tiap fasikulus dikelilingi oleh prineurium yang merupakan
pelindung terluar dari nervus dan pembuluh darah. Sedangkan jaringan ikat yang
langsung meyelubungi akson adalah lapisan endoneurium (gambar 2). Akson sendiri
ada yang bermyelin dan tidak bermyelin (Smith, 1996)

Gambar 2 : Potongan melintang saraf tepi (Anderson, 1988)

III. Klasifikasi Cedera


Pengalaman klinis dan riset menunjukkan bahwa intervensi bedah untuk
memperbaiki kerusakan nervus akan lebih berhasil bila dilakukan segera setelah cedera
terjadi. Untuk hal itu perlu mengetahui berbagai tipe kerusakan dan prognosanya.
Beberapa klasifikasi telah dikembangkan untuk bisa menilai secara klinis tipe kerusakan
dan prognosanya (Smith, 1996)
A. Klasifikasi Seddon
Cedera pada saraf tepi dapat diklasifikasikan menurut tipe cedara pada serabut
saraf (Peterson, 1998) :
1. Neuropraxia
Merupakan cedera paling ringan, dimana terjadi kontusio pada nervus
sedangkan kontinuitas dari lapisan epineural dan axon tetap terjaga. Secara
fisiologi akan terjadi kehilangan konduksi saraf. Neuropraxia bisa disebabkan
oleh trauma tumpul atau peregangan saraf, inflamasi disekitar nervus atau
iskemi local. Pemulihan fungsi saraf bisa terjadi beberapa hari sampai minggu.
2. Axonotmesis
Axonotmesis merupakan cedera yang lebih berat, di mana kontinuitas akson
hilang sedangkan lapisan epineural masih utuh. Karena lapisan epinueral masih
utuh, pemulihan tergantung akson. Pemulihan berlangsung 2 – 6 bulan.
Axonotmesis ini disebabkan trauma tumpul yang berat atau peregangan yang
kuat.
3. Neurotmesis
Merupakan cedera yang paling berat, dimana hilangnya kontinuitas dari
nervus. Prognosis untuk penyembuhan spontan adalah buruk.
B. Klasifikasi Sunderland
Sunderland membuat klasifikasi berdasarkan struktur anatomi saraf, makin
tingginya grades makin menunjukkan kerusakan yang lebih berat (Smith, 1996)
1. Grade 1
Kerusakan pada lapisan myelin yang di tandai dengan terhambatnya
konduksi.
2. Grade 2
Ditandai dengan hilangnya kontinuitas akson tapi semua jaringan ikat yang
menyelubungi utuh. endoneural, perineural dan epineural tetap utuh.
3. Grade 3
Hilangnya kontinuitas axon disertai dengan hilangnya integritas endoneural.
Dalam keadaan ini scarr pada internal endoneural mencegah reinervasi dari
akson. Kerusakan lapisan endoneural akan mengganggu reinevasi, karena
regenerasi akson besal dari lapisan endoneural yang sesuai.
4. Grade 4
Hilangnya kontinuitas periineural kemudian merusak bundle saraf. Keadaan
ini dihubungkan dengan terbentuknya scarr yang menyebabkan kurang
efektifnya regenerasi saraf
5. Grade 5
Hilangnya kontinuitas epineural dan terpotongnya nervus

Tabel 1: Korelasi antara klasifikasi Saddon dan Sunderland (Terris, 2002)

Degree of Degree of Myelin Axon Endoneurium Perineurium Epineurium


injury injury

Sunderland, Seddon, 1943


1978

1st degree Neuropraxia +/-

11 Axonotmesis + +

111 Axonotmesis + + +

1V Axonotmesis + + + +

V Neurotmesis + + + + +

IV. Penyembuhan Saraf perifer


Proses penyembuhan saraf ada 2 fase yaitu degenerasi dan regenerasi. Dua tipe
regenerasi bisa terjadi. Pertama adalah demyelinisasi (demyelination) segmental,
dimana terjadi pemutusan lapisan myelin dalam segmen yang terisolasi (Gambar 3).
Demyelinisasi parsial ini menyebabkan menurunnya kecepatan kinduksi dan mencegah
transmisi beberapa impuls. Simptom yang dikeluhkan pasien adalah parestesia,
disestesia, hiperestesia hipestesia. Demyelinisasi segmental ini bisa terjadi setelah
cedera neuropraxia dengan kerusakan pada jaringan ikat atau pembuluh darah
(Petrson, 1998).
Yang kedua adalah degenerasi Wallerian. Pada proses ini, akson dan lapisan
myelin dari bagian distal nervus (yang jauh dari susunan saraf pusat) sampai tempat
serabut saraf terputus akan mengalami disintegrasi secara keseluruhan (gambar 3).
Sedangkan akson bagian proksimal samapai ke tempat cedera, juga mengalami
beberapa degenerasi, biasanya pada nodus Ranvier. Degenerasi jenis ini menghentikan
semua konduksi saraf distal menuju ke proksimal bagian yang rusak (Petrson, 1998).

Gambar 3: Degenerasi saraf tepi (perifer) (Peterson, 1998)


Regenerasi bisa dimulai setelah cedara nervus. Ujung proksimal nervus
memanjang membentuk serabut baru dan tumbuh menuju sisa-sisa tubulus sel schwan
(gambar 4). Kecepatan pertumbuhan \nya 1 – 1,5 mm per hari dan berlangsung terus
sampai mencapai tempat inervasi atau ditahan oleh jaringan ikat dan tulang. Ketika
kontak fungsional terjadi pasien akan merasakan perubahan sensasi dari anesthesia
menjadi parestesia atau disestesia (Smith, 1996)
Gambar 4: Regenerasi normal saraf tepi (perifer) (Petrson, 1998)
Masalah yang sering terjadi adalah jika kontinuitas sel schwan terganggu, jaringan
ikat bisa memasuki tubulus, sehingga ujung saraf mencapai jaringan ikat. Ujung saraf
mungkin mencari jalan lain atau memebentuk suatu serabut ditempat tersebut yang
disebut neuroma (gambar 5) yang peka terhadap sentuhan (Smith, 1996).

Gambar 5: Penyembuhan abnormal saraf tepi (perifer) (Peterson, 1998)

V. Evaluasi Nervus Trigeminus


Pemeriksaan cepat dilakukan pada pasien dengan trauma. Sentuhan lembut (light
touch) dan pinprick nociception merupakan uji minimal menentukan klasifikasi dan
derajat keparahan (LaBanc, 1997).
Pemerikaaan sentuhan lembut dilakukan dengan menggunakan cotton tipped,
dengan cara mengoles pada permukaan kulit. Pasien ditanya (1) adakah merasakan
gerakan, (2) bisakah mengidetifikasi arah gerakan dan (3) persepsi terhadap stimulus
tersebut. Kemudian dilakukan penekanan dengan alat yang sama, pasien ditanya (1)
apakah sensasi terdeteksi, (2) dimana letak sensasi tersebut dan (3) bagaimana
persepsi terhadap stimulus tersebut (LaBanc, 1997).
Pemeriksaan nociception dilakukan dengan menggunakan ujung pinset dental,
jarum atau peniti. Pasien ditanya (1) adakah merasakan stimulus, (2) menentukan titik
lokasi stimulus, (3) bagaiman persepsinya terhadap stimulus tersebut dan (4)
bagaimana perkiraannya tentang intensitas sensasi yang dirasa (LaBanc, 1997).
VI. Perawatan Bedah
Saraf perifer yang mengalami neuropraxia dan axonomatosis biasanya akan pulih
spontan. Ada tiga cedara saraf yang bisa ditangani oleh ahli bedah mulut yang telah
mendalami bedah mikro yaitu (Petrson, 1998):
1. Kompresi saraf internal dan eksternal
2. terpotongnya serabut saraf secara insiden atau atau disengaja
3. Adanya neuroma traumatic atau sindroma nyeri pasca cedera
Kompresi saraf eksternal disebabkan karena adanya tekanan oleh tulang, akar
gigi, implant dental, patahan instrument atau terbentuknya jaringan ikat yang konstriktif.
Kompresi eksternal ini bisa terlihat dengan gambaran radiografi. Disamping itu
diperlukan bedah eksplorasi untuk menegakkan diagnosa (Petrson, 1998).
Kompresi internal disebabkan oleh pertumbuhan jaringan scar menuju sarung
saraf katika sedang terjadi regenerasi. Bedah dekompresi (pengangkatan jaringan yang
mengobstruksi dan materi asing) merupakan terapi pilihan bagi kompresi internal dan
eksternal(Petrson, 1998).
Terputusnya nervus baik complete maupun incomplete, bisa diketrahui saat
kejadian atau setelah timbulnya simtom dan dilakukan bedah eksplorasi. Nevus yang
telah jelas terpotong atau rusak hanya dalam jarak yang pendek dapat dilakukan
reanastomese secara bedah mikro oleh spesialis bedah mulut dan maksilofasial.
Dengan pembesaran yang tinggi (12-20x) fasikulus dan/atau epineurium(gambar 6)
dijahit dengan nilon no 9-0 dan 10-0 (Petrson, 1998).
Gambar 6: Reanstomose dengan penjahitan epinueral (Petrson, 1998)
Neuman merekomendasikan penjahitan perineural, dimana setiap bundle
dipisahkan dan dilakukan penjahitan perineural (Gambar 7). Tiap-tiap bundle dijahit
dengan 2-3 jahitan (Bailey, 1993).

Gambar 7: Reanstomose dengan penjahitan Perineural (Terris, 2002)

Untuk menstabilkan reanastomose dilakukan splinting dengan menggunakan tube


yang direkatkan menggunakan perekat jaringan (tissue glue) (gambar 8) (Bailey, 1993)
Bila serabut saraf yang hilang cukup panjang, diindikasikan untuk graft saraf.
Donor sering diambil dari nervus sural pada lengan bawah dan atau nervus aurikularis
mayor. Nervus donor dijahitkan pada area nervus yang terpotong (Bailey, 1993).
Beberapa factor yang mempengaruhi keberhasilan bedah mikro pada saraf ini
seperti, prognosis jelek pada pasien usia lanjut, terdapatnya cedera pada bagian
proksimal, keterlambatan dalam melakukan tindakan (repair) serta adanya masalah
infeksi atau jaringan scar yang eksesif (Petrson, 1998).
Pada keadaan nervus yang mengalami trauma disertai adanya neuroma traumatic,
diperlukan farmakoterapi untuk mengurangi keluhan nyeri serta eksplorasi nervus. Jika
pada visualisasi nervus tidak ditemukan neuroma, dilakukan reanastomose atau graft
(Petrson, 1998).

Gambar 8: Stabilisasi dengan menggunakan tube dan tissue glue (Bailey, 1993)

Kesimpulan
Cedera narvus trigeminus dapat terjadi akibat fraktur, bedah preprostetik,
osteotomi, reseksi mandibula dan pengangkatan gigi impaksi. Cedara tersebut ada yang
sembuh dengan sendirinya dan ada juga yang meninggalkan kelainan yang persisten
tergantung beratnya kerusakan nervus.
Pada kelainan yang persisten diperlukan tindakan bedah mikro yaitu dengan teknik
penjahitan epineural atau perineural.
Daftar Pustaka
1. Bailey BJ. 1993. Salivary gland TraumaI In: Cumming CW. Editor.
Otolaryngology-Head and Neck Surgery, 2 nd
ed. St Louis. Mosby Years Book.
p.1018-1028
2. Anderson DM, et al. 1988. Dorland’s Illustrated Medical Dictionary, 28th Ed.
Philadelpia. WB Saunders.
3. Smith DS, et al. 1996. Basic Neuroscience. In: O’Leary JP. Editor. The
Physiologic Basis of Surgery. Baltimore. Williams & Wilkins. p. 522-560.
4. Peterson LJ, et all. 1998. Contemporary Oral and Maxillofacial Surgery, 3rd ed. St
Louis. Mosby. p. 696-709
5. Terris DJ, et all. 2002. Nerve Wound Healing. Lecturer. University of Stanford,
Scholl of Medicine
6. LaBanc JP. 1997. Maxillofacial Nerve Injury: Evaluation, Classification, and
Management. In: Fonseca RJ, et al. Oral and Maxillofacial Trauma, 2 nd ed.
Philadelpia. WB Saunders Company. p. 913-923
CEDERA NERVUS TRIGEMINUS

Agus Salim
MSQ 98009

Pembimbing :
Alwin Kasim, drg, SpBm

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER GIGI SPESIALIS BEDAH MULUT


FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2004

Anda mungkin juga menyukai