Anda di halaman 1dari 72

Medula spinalis adalah bagian dari susunan saraf pusat yang seluruhnya terletak dalam kanalis vertebralis,

dikelilingi oleh tiga lapis selaput pembungkus yang disebut meningen.


Lapisan-lapisan dan struktur yang mengelilingi medula spinalis dari luar ke dalam antara lain :
1. 1.dinding kanalis vertebralis (terdiri atas Vertebrae dan ligamen)
2. 2.lapisan jaringan lemak (ekstradura) yang mengandung anyaman pembuluh-pembuluh darahvena
3. 3.duramater
4. 4.arachnoid
5. 5.ruangan subaraknoid (cavitas subarachnoidealis) yang berisi liquor cerebrospinalis
6. piamater , yang kaya dengan pembuluh-pembuluh darah dan yang langsung membungkus permukaan
sebelah luar medula spinalis

Lapisan meningen terdiri atas


pachymeninx(duramater ) danleptomeninx(arachnoid dan piamater ). Pada masa kehidupan intrauterin
usia 3 bulan, panjang medula spinalis sama denganpanjang kanalis vertebralis, sedang dalam masa-masa
berikutnya kanalis vertebralis tumbuhlebih cepat dibandingkan medula spinalis sehingga ujung kaudal medula
spinalis berangsur-angsur terletak pada tingkat yang lebih tinggi. Pada saat lahir, ujung kaudal medula
spinalisterletak setinggi tepi kaudal
corpus vertebrae lumbalis II
. Pada usia dewasa, ujung kaudalmedula spinalis umumnya terletak setinggi tepi kranial
corpus vertebrae lumbalis II
atau setinggi
discus intervertebralis
antara
corpus vertebrae lumbalis
I dan II. Terdapat banyak jalur saraf (
tractus
) di dalam medula spinalis. Jalur saraf tersebut dapat dilihat pada gambar di berikut

1. PENGERTIAN
Medula spinalis ( spinal cord) merupakan bagian susunan sarafpusat yang terletak di dalam kanalis vertebralis dan
menjulur dari foramen magnum ke bagian atas region lumbalis .Trauma pada medulla spinalis dapat bervariasi dari
trauma ekstensi fiksasi ringan yang terjadi akibat benturan secara mendadak sampai yang menyebabkan transeksi
lengkap dari medulla spinalis dengan quadriplegia.

1. ETIOLOGI
1) Kecelakaan di jalan raya ( penyebab paling sering)

2) Kecelakaan Olahraga

3) Menyelam pada air yang dangkal

4) Luka tembak atau luka tikam

5) Gangguan lain yang dapat menyebabkan cedera medulla spinalis seperti spondiliosis servikal dengan
mielopati, yang menghasilkan saluran sempit dan mengakibatkan cedera progresif terhadap medulla spinalis dan
akar ; mielitis akibat proses inflamasi infeksi maupun non infeksi ; osteoporosis yang di sebabkan oleh fraktur
kompresi pada vertebra ; siringmielia ; tumor infiltrasi maupun kompresi ; dan penyakit vascular.
1. PATOFISIOLOGI
Cedera medulla spinalis kebanyakan terjadi sebagai akibat cedera pada vertebra. Medula spinalis yang mengalami
cedera biasanya berhubungan dengan akselerasi , deselerasi atau kelainan yang di akibatkan oleh berbagai tekanan
yang mengenai tulang belakang. Tekanan cedera pada medulla spinalis mengalami kompresi, tertarik, atau merobek
jaringan. Lokasi cedera umumnya mengenai C1 dan C2,C4,C6 dan T11, atau L2.

Fleksi rotasi ,dislokasi,dislokasi fraktur, umumnya mengenai servikal pada C5 dan C6.Jika mengenai spina
torakolumbar, terjadi pada T12-L1.Fraktur lumbal adalah fraktur yang terjadi pada daerah tulang belakang bagian
bawah.Bentuk cedera ini mengenai ligament,fraktur vertebra,kerusakan pembuluh darah,dan mengakibatkan iskemia
pada medulla spinalis.

Hiperekstensi .Jenis cedera ini umumnya mengenai klien dengan usia dewasa yang memiliki perubahan degenerative
vertebra,usia muda yang mendapat kecelakaan lalu lintas saat mengendarai kendaraan, dan usia muda yang
mengalami cedera leher saat menyelam.Jenis cedera ini menyebabkan medulla spinalis bertentangan dengan
ligamentum flava dan mengakibatkan kontusio kolom dan dislokasi vertebra.Transeksi lengkap dan medulla spinalis
dapat mengikuti cedera hiperekstensi.Lesi lengkap dari medulla spinalis mengakibatkan kehilangan pergerakan
volunter menurun pada daerah lesi dan kehilangan fungsi reflex pada isolasi bagian medulla spinalis.
Kompresi.Cedera kompresi sering disebabkan karena jatuh atau melompat dari ketinggian dengan posisi kaki atau
bokong (duduk). Tekanan mengakibatkan fraktur vertebra dan menekan medulla spinalis .Diskus dan fragmen tulang
dapat masuk ke medulla spinalis .Lumbal dan toraks vertebra umumnya akan mengalami cedera serta menyebabkan
edema dan perdarahan. Edema pada medulla spinalis mengakibatkan kehilangan fungsi sensasi.

1. KLASIFIKASI
1) Cedera tulang

1. Stabil.Bila kemampuan fragmen tulang tidak memengaruhi kemampuan untuk bergeser lebih jauh selain
yang terjadi saat cedera.Komponen arkus neural intak serta ligament yang menghubungkan ruas tulang
belakang,terutama ligament longitudinal posterior tidak robek.Cedera stabil disebabkan oleh tenaga
fleksi,ekstensi,dan kompresi yang sederhana terhadap kolumna tulang belakang dan paling sering tampak
pada daerah toraks bawah serta lumbal (fraktur baji badan ruas tulang belakang sering disebabkan oleh fleksi
akut pada tulang belakang).
2. Tidak stabil.Fraktur mempengaruhi kemampuan untuk bergeser lebih jauh.Hal ini disebabkan oleh adanya
elemen rotasi terhadap cedera fleksi atau ekstensi yang cukup untuk merobek ligament longitudinal posterior
serta merusak keutuhan arkus neural, baik akibat fraktur pada fedekel dan lamina, maupun oleh dislokasi
sendi apofiseal.
2) Cedera neurologis

1. Tanpa deficit neurologis


2. Disertai deficit neurologis, dapat terjadi di daerah punggung karena kanal spiral terkecilterdapat di daerah
ini.

1. GEJALA KLINIS
Cedera tulang belakang harus selalu diduga pada kasus dimana setelah cedera klien mengeluh nyeri serta
terbatasnya pergerakan klien dan punggung.

1. PENATALAKSANAAN MEDIS
1) Terapi dilakukan untuk mempertahankan fungsi neurologis yang masih ada, memaksimalkan pemulihan
neurologis,tindakan atas cedera lain yang menyertai,mencegah,serta mengobati komplikasi dan kerusakan neural
lebih lanjut.Reabduksi atas subluksasi (dislokasi sebagian pada sendi di salah satu tulang ed) untuk
mendekompresi koral spiral dan tindakan imobilisasi tulang belakang untuk melindungi koral spiral.

2) Operasi lebih awal sebagai indikasi dekompresi neural, fiksasi internal atau debridement luka terbuka

3) Fiksasi internal elektif dilakukan pada klien dengan ketidakstabilan tulang belakang, cedera ligament tanpa
fraktur, deformitas tulang belakang progresif , cedera yang tak dapat direabduksi,dan fraktur non-union.

4) Terapi steroid,nomidipin, atau dopamine untuk perbaiki aliran darah koral spiral.Dosis tertinggi metil
prednisolon/bolus adalah 30 mg/kgBB diikuti 5,4 mg/kgBB/jam untuk 23 jam berikutnya.Bila diberikan dalam 8 jam
sejak cedera akan memperbaiki pemulihan neurologis. Gangliosida mungkin juga akan memperbaiki pemulihan
setelah cedera koral spiral.
5) Penilaian keadaaan neurologis setiap jam,termasuk pengamatan fungsi sensorik,motorik, dan penting untuk
melacak deficit yang progresif atau asenden.

6) Mempertahankan perfusi jaringan yang adekuat,fungsi ventilasi, dan melacak keadaan dekompensasi.

7) Pengelolaan cedera stabil tanpa defisit neurologis seperti angulasi atau baji dari badan ruas tulang
belakang,fraktur proses transverses ,spinosus,dan lainnya.Tindakannya simptomatis (istirahat baring hingga nyeri
berkurang),imobilisasi dengan fisioterapi untuk pemulihan kekuatan otot secara bertahap

8) Cedera tak stabil disertai defisit neurologis.Bila terjadi pergeseran ,fraktur memerlukan reabduksi dan posisi
yang sudah baik harus dipertahankan.

1. Metode reabduksi antara lain :


Traksi memakai sepit (tang) yang dipasang pada tengkorak.Beban 20 kg tergantung dari tingkat ruas tulang
belakang, mulai sekitar 2,5 kg pada fraktur C1
Manipulasi dengan anestesi umum
Reabduksi terbuka melalui operasi
1. Metode imobilisasi antara lain :
Ranjang khusus, rangka,atau selubung plester
Traksi tengkorak perlu beban sedang untuk mempertahankan cedera yang sudah direabduksi
Plester paris dan splin eksternal lain
Operasi
9) Cedera stabil disertai defisit neurologis .Bila fraktur stabil, kerusakan neurologis disebabkan oleh :

a) Pergeseran yang cukup besar yang terjadi saat cedera menyebabkan trauma langsung terhadap koral spiral
atau kerusakan vascular

b) Tulang belakang yang sebetulnya sudah rusak akibat penyakit sebelumnya seperti spondiliosis servikal

c) Fragmen tulang atau diskus terdorong ke kanal spiral

Pengelolaan kelompok ini tergantung derajat kerusakan neurologis yang tampak pada saat pertama kali di periksa :

Transeksi neurologis lengkap terbaik dirawat konservatif


Cedera didaerah servikal ,leher dimobilisasi dengan kolar atau sepit (caliper) dan diberi metil prednisolon
Pemeriksaan penunjang MRI
Cedera nurologis tak lengkap konservatif
Bila terdapat atau didasari kerusakan adanya spondiliosis servikal, traksi tengkorak, dan metil prednisolon
Bedah bila spondiliosis sudah ada sebelumnya
Bila tak ada perbaikan atau ada perbaikan tetapi keadaan memburuk maka lakukan mielografi
Cedera tulang tak stabil
Bila lesinya total, dilakukan reabduksi yang diikuti imobilisasi. Melindungi dengan imobilisasi seperti
penambahn perawatan paraplegia
Bila defisit neurologis tak lengkap, dilakukan reabduksi ,diikuti imobilisasi untuk sesuai jenis cederanya
Bila diperlukan operasi dekompresi kanal spiral dilakukan pada saat yang sama
Cedera yang menyertai dan komplikasi :
Cedera mayor berupa cedera kepala atau otak,toraks,berhubungan dengan ominal, dan vascular

Cedera berat yang dapat menyebabkan kematian,aspirasi,dan syok

1. PENGELOLAAN CEDERA
1.Pengelolaan hemodinamik

1. Bila tejadi hipotensi,cari sumber perdarahan dan atasi syok neurogenik akibat hilangnya aliran adrenergic
dari system saraf simpatis pada jantung dan vascular perifer setelah
2. cedera diatas tingkat T .Terjadi hipotensi, bradikardia,dan hipotermi.Syok neurogenik lebih mengganggu
distribusi volume intravascular daripada menyebabkan hipovalensi sejati sehingga perlu pertimbangan
pemberian terapi atropine,dopamine,atau fenilefrin jika penggantian volume intravascular tidak bereaksi
3. Pada fase akut setelah cedera,dipasang beberapa jalur intravena perifer dan pengamatan tekanan darah
melalui jalur arteri dipasang,dan resusitasi cairan dimulai
4. Bila hipotensi tak bereaksi atas cairan dan pemberian tranfusi, lakukan kateterisasi pada arteri pulmonal
untuk mengarahkan ke perbedaan mekanisme hipovolemik, kardiogenik atau neurogenik.
2.pengelolaan system pernapasan

1. Ganti posisi tubuh berulang .


2. Perangsangan batuk.
3. Pernapasan dalam.
4. Spirometri intensif.
5. Pernapasan bertekanan (+) yang berkesinambungan dengan masker adalah cara mempertahankan
ekspansi paru atau kapasitas residual fungsional.
6. Pasien yang mengalami gangguan fungsi ventilasi dilakukan trakeostomi.
3. pengelola nutrisional dan system pencernaan

1. Lakukan pemeriksaan CT-Scan berhubungan dengan omen/lavasi peritoneal bila diduga ada perdarahan
atau cedera berhubungan dengan ominal.
2. Bila ada ileus lakukan pengisapan (suction) nasogastrik, penggantian elektrolit ,dan pengamatan status
cairan .
3. Terapi nutrisional awal yang harus dimetabolisme (50-100% diatas normal).
4. Bila ada hiperalimentasi internal elemental . pasang duoclenol yang fleksibel melalui atau dengan dengan
bantuan fluoroskopi(ileus).
5. Pencegahan ulkus dengan antagonis Hz (simetidin , ranitidin ) atau antacid.
6. Bila mendapat gastric feeding, pasang duodenal feeding (NGT).
7. Beri difonoksilat hidroklorida dengan atropin sulfat bila mendapat NGT untuk mencegah diare.
8. Jika terjadi kehilangan fungsi sfingter anal beri dulcolax.
4. pengelolaan gangguan koagulasi

1. Untuk mencegah terjadinya thrombosis vena dan emboli paru beri heparin dosis minimal (500 untuk
subkutan , 2-3 x sehari).
2. Ranjang yang berosilasi.
3. Ekspansi volume.
4. Stoking elastic setinggi paha.
5. Strokering prenmatis anti emboli.
6. Antiplatelet serta anti koagulasi untuk pencegahan.
5. pengelolaan genitourinaria

1. Pasang kateter dower (dower catheter DC).


2. Amati urine output (OU).
6. pengelolaan ulkus dekubitus

1. Untuk mencegah tekanan langsung pada kulit , kurang berfungsi jaringan, dan kurangnya mobilitas ,
gunakan busa atau kulit kambing penyanggan tonjolan tulang.
2. Putar atau ganti posisi tubuh berulang.
3. Perawatan kulit yang baik.
4. Gunakan ranjang yang berosilasi.
7. pengelolaan pasien paraplegia

1. Respirasi dengan pemasangan endotrakea , kemudian trakeostomi serta perbaikan keadaan neurologi
dengan menutup trakeostomi.
2. Perawatan kulit dengan mengubah posisi tidur pasien setiap 2 jam.
3. Kandung kemih:
- Lakukan kompresi manual untuk mengosongkan kandung kemih secara teratur agar mencegah terjadinya
inkontenensia overflow dan drobbling.

- Kateterisasi intermittten.

- Kateterisasi indwelling.

- Tindakan bedah jika cara-cara tersebut gagal.

1. Buang air besar (BAB)


Untuk mendapat mengosongan rectum mendadak dilakukan dengan cara :

- Tambahkan diet serat .

- Gunakan laksatif.

- Pemberian supositoria.

- Enema untuk BAB atau pengosongan rectum teratur tanpa inkontinensia mendadak.

1. Anggota gerak
- Cegah kontraktur akibat pembedahan spastisitas kelompok otot berlawanan dengan latihan memperbaiki
medikasi dan mencegah pemisahan tendo tertentu.
- Nutrisi umum tinggi kalori.

Rehabilitasi pasien yang mengalami paraplegia

1) Rehabilitasi fisik

1. Fisioterapi dan latihan peregangan otot yang masih aktif pada lengan atas dan tubuh bagian bawah.
2. Pebiasaan terhadap alat dan perangkat rumah tangga.
3. Perlengkapan splint dan kapiler.
4. Transplantasi tendon.
2) Perbaikan mobilisasi

1. Latihan dengan kapiler dan kruk untuk pasien cedera tulang belakang bawah.
2. Latihan kursi roda untuk pasien dengan otot tulang belakang dan tungkai yang tak berfungsi.
3. Kendaraan khusus untuk dijalan raya.
4. Rehabilitasi psikologis.
5. Penerimaan di rumah

BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN

Pengkajian :

1. Aktivitas dan istirahat


Tanda :

- Kelumpuhan otot (terjadi kelemahan selama syok spinal) pada bawah lesi.

- Kelemahan umum atau kelemahan otot (trauma dan adanya kompresi saraf).

1. Sirkulasi
Gejala : berdebar-debar , pusing saat melakukan perubahan posisi.

Tanda :

- Hipotensi , hipotensi postural , ektremitas dingin dan pucat.

- Hilangnya keringat pada daerah yang terkena.

1. Eliminasi
Tanda :
- Inkontinensia defekasi dan berkemih .

- Retensi urine.

- Distensi berhubungan dengan omen , peristaltic usus hilang.

- Melena , emesis berwarna seperti kopi, tanah (hematemesis).

1. Inegritas ego
Gejala : menyangkal , tidak percaya , sedih , marah.

Tanda : takut , cemas , gelisah , menarik diri.

1. Makanan dan cairan


Tanda :

- Mengalami distensi yang berhubungan dengan omentum.

- Peristaltic usus hilang ( ileus paralitik )

1. Hygiene
Tanda : sangat ketergantungan dalam melakukan aktivitas sehari-hari (bervariasi).

1. Neurosensorik
Gejala :

- Kebas , kesemutan, rasa terbakar pada lengan atau kaki.

- Paralisis flaksid atau spastisitas dapat terjadi saat syok spinal teratasi , bergantung pada area spinal yang sakit.

Tanda :

- Kelumpuhan , kesemutan (kejang dapat berkembang saat terjadi perubahan pada syok spinal ).

- Kehilangan tonus otot atau vasomotor.

- Kehilangan atau asimetris termasuk tendon dalam.

- Perubahan reaksi pupil , ptosis , hilangnya keringat dari berbagai tubuh yang terkena karena pengaruh spinal.

1. Nyeri /kenyamanan
Gejala :

- Nyeri atau nyeri tekan otot.

- Hiperestesia tepat di daerah trauma.

Tanda :

- Mengalami deformitas.

- Postur dan nyeri tekan vertebral.

1. Pernapasan
Gejala : napas pendek , kekurangan oksigen , sulit bernapas.

Tanda : pernapasan dangkal atau labored , periode apnea , penurunan bunyi napas, ronkhi , pucat, sianosis.

1. Keamanan
Gejala : suhu yang berluktuasi ( suhu tubuh di ambil dalam suhu kamar ).

1. Seksualitas
Gejala : keinginan untuk kembali berfungsi normal

Tanda : ereksi tidak terkendali (pripisme) , menstruasi tidak teratur.

1. Penyuluan / pembelajaran
Rencana pemulangan :

- Pasien akan memerlukan bantuan dalam transportasi , berbelanja , menyiapkan makanan , perawatan diri,
keuangan , pengobatan atau terapi , atau tugas sehari-hari di rumah.

- Pasien akan membutuhkan perubahan susunan rumah , penempatan alat di tempat rehabilitasi.

DIAGNOSIS KEPERAWATAN

1. Ketidakefektifan pola nafas b.d kerusakan tulang punggung ,disfungsi neurovascular, kerusakan system
muskuloskletal , ditandai dengan :
DS : pasien mengatakan sulit bernapas , sesak napas.

DO : penurunan tekanan alat inspirasi dan respirasi , penurunan menit ventilasi, pemakaian otot pernapasan,
pernapasan cuping hidung, dispnea, orthopnea, pernapasan lewat mulut, frekuensi dan kedalaman pernapasan
abnormal, penurunan kapasitas vital paru.
1. Resiko penurunan curah jantung b.d kerusakan jaringan otak , ditandai dengan :
DS : Pasien / keluarga mengatakan pasien mengalami kebingungan .

DO : Penurunan tingkat kesadaran (bingung ,letargi, stupor, koma), perubahan tanda vital, mungkin terdapat
perdarahan pada otak , papiledema, nyeri kepala yang hebat.

1. Gangguan atau kerusakan mobilitas fisik b.d gangguan neurovascular , ditandai dengan :
DS : Pasien / keluarga mengatakan adanya kesulitan bergerak.

DO : Kelemahan , Parestesia, Paralisis, Tidak mampu , Kerusakan koordinasi , Keterbatasan rentang otak ,
Penurunan kekuatan otot.

1. Kurang perawatan diri (mandi,gigi, berpakaian) yang berhubungan dengan:


DS : Klien bedres
DO : Perubahan tanda vital, Penurunn tingkat kesadaran,gangguan anggota gerak.

1. Gangguan komunikasi verbal yang berhubungan dengan gangguan sirkulasi serebral,


Di tandai dengan:

DS : Pasien / keluarga mengatakan adanya kesulitan berkomunikasi .

DO : Disartria, Afasia ,Kata-kata, tidak di mengerti, tidak mampu memahami bahasa lisan

1. Ketidaseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan ketidakmampuan
menelan sekunder terhadap paralisis, di tandai dengan:
DS : Pasien / keluarga mengatakan adanya kesulitan menelan makanan .

DO : Klien menunjukkan ketidakadekuatan nutrisi, terjadi penurunan BB 20 % atau lebih dari berat badan ideal,
Konjungtiva anemis, Hb abnormal, sulit membuka mulut, sulit menelan, lidah sulit di gerakkan.

1. Resiko aspirasi yang berhubungan dengan kehilangan kemampuan untuk menelan, di tandai dengan:
DS : Klien mengatakan sulit menelan.

DO : Batuk saat menelan , Dispnea, Bingung, Penurunan PaCO2.

1. Risiko cedera atau trauma yang berhubungan dengan paralisis, di tandai dengan:
DS : Klien atau keluarga mengatakan kelumpuhan anggota gerak.

DO : Hemiplegia , Klien dengan bantuan atau alat bantu, Berjalan lamban.


INTERVENSI

Diagno
se
kepera
N watan Tujuan Intervensi rasional

Setelah
dilakukan
tindakan 1. Kaji skala nyeri (P,Q,R,S,T)
keperawat
an selama
124 jam
diharapka
1. Istirahatkan leher pada posisi fisiologis.
n nyeri
berkurang
2 skala
dari skala
sebelumn 1. Ajarkan teknik relaksasi napas dalam pada saat nyeri muncul.
ya ,
dengan
criteria 1. Batasi jumlah pengunjung dan ciptakan lingkungan tenang.
hasil:

-
Secara
subjektif
pasien
mengatak
an nyeri
berkurang
.
Nyeri 1. Kolaborasi dengan tim medis untuk pemberian analgesic.
b.d 2. Sebagai indicator untuk menentukan tindakan selanjutnya .
-
kompre 3. Posisi fisiologi akan menurunkan kompresi saraf leher untuk menjaga
Pasien
si akar kestabilan.
tidak
saraf 4. Meningkatkan asuan O2 sehingga menurunkan nyeri sekunder.
gelisah.
servikal 5. Pembatasan jumlah pengunjung akan membantu meningkatkan kondisi O2 dan
is lingkungan yang tenang akan menurunkan stimulud nyeri
1 6. Untuk proses penyembuhan pasien dan menurunkan tingkat nyeri.

2 Ketidak Setelah 1. Observasi tanda vital tiap jam atau sesuai respons klien. 1. Untuk
efektifa dilakukan mengeta
n pola intervensi i keadaan
nafas selama umum
b.d 124 jam,
kerusak dengan 2. Istirahatkan klien dalam posisi semiflowler. pasien.
an kriteria:
tulang
punggu
2. Posisi
ng
1.Klien semifowl
,disfung
akan memban
si
merasa dalam
neurov 3. Pertahankan oksigenasi NRM 8-
nyaman. ekspansi
ascular, 10/mnt. otot-otot
kerusak
2.Klien pernapas
an
mengatak n dengan
system
an sesak pengaruh
muskul
berkurang gravitasi.
oskletal
dan dapat
memband
ingkan
dengan 3.
keadaan Oksigena
sesak sangat
pada saat penting
serangan untuk
yang reaksi
berbeda yang
waktu. memelih
a suplai
3.TD ATP.
dalam Kekurang
batas n oksigen
normal: pada
jaringan
Bayi:90/6 akan
0 mmHg memben
k asam
3- laktat
6th:110/70 (asidosis
mmHg metabolik
7- serta
10th:120/8 asidosis
0 mmHg 4.Kolaborasi pemeriksaan AGD.
respirato
11- ) yang
17th:130/8 dapat ak
0 mmHg menghen
18- kan
44th:140/9 metabolis
0 me.Rege
mmHg erasi ATP
akan
45- berhenti
64th:150/9 sehingga
5 mmHg tidak ada
>65th:160/ lagi
95mmHg sumber
energy
yang teri
(Campbell dan terja
,1978) kematian

(Roper N
1996)
Nadi
dalam
batas
normal: 4. Untuk
proses
Janin:120 penyemb
-160x/mnt han
pasien.
Bayi:80-
180x/mnt

Anak:70-
140x/mnt

Remaja:5
0-
110x/mnt

Dewasa:7
0-82x/mnt

(Campbell
,1978)

4.AGD
dalam
batas
normal:

pH:7,35-
7,45

C02:20-
26 mEq
(bayi),26-
28 mEq
(dewasa)

PO2(PaO
2):80-110
mmHg

PCO2(Pa
CO2):35-
45mmHg

SaO2:95-
97%

3 Resiko Setelah 1. Ubah posisi klien secara berangsur. 1. Klien


penuru dilakukan dengan
nan intervensi parapleg
curah keperawat risiko
jantung an, klien terjadi luk
b.d tidak tekan
kerusak menunjuk (dekubitu
an kan .Perubah
jaringa adanya n posisi
n otak. peningkat setiap 2
an TIK, jam atau
dengan sesuai
kriteria: respons
klien
mencega
terjadinya
1.Klien luka teka
akan akibat
mengatak tekanan
an tidak yang lam
sakit
2. Atur posisi klien bedrest. karena
kepala jaringan
dan tersebut
merasa akan
nyaman.
3. Jaga suasana tenang. kekurang
n nutrisi
2.Menceg
dan
ah
oksigen
cedera yang
dibawa
3. GCS oleh dara
dalam
batas
normal
4. Kurangi cahaya ruangan. 2. Bedres
(E4,
V5,M6). bertujuan
mengura
4. gi kerjaan
Peningkat fisik,beba
an kerja
pengetah jantung.
uan pupil 5. Tinggikan kepala.
membaik.
3.
Suasana
5.Tanda tenang
vital akan
dalam memberi
batas n rasa
6. Hindari rangsangan oral.
normal. nyaman
pada klie
dan
mencega
ketegang
7. Angkat kepala dengan hati-hati. n.

4. Cahay
merupak
8. Awasi kecepatan tetesan cairan infus. salah sat
rangsang
n yang
berisiko
9. Berikan makanan menggunakan sonde sesuai jadwal. terhadap
peningka
n TIK.

5.
Memban
drainase
10. Pasang pagar tempat tidur. vena unt
mengura
gi konges
serebrov
kular

6.
11. Pantau tanda dan gejala peningkatan TIK dengan cara: Rangsan
an oral
risiko
terjadi
*Kaji respons membuka mata
peningka
n TIK.
4=spontan

3=dengan perintah

7.
2=dengan nyeri
Tindakan
1=tidak berespon yang kas
berisiko
terhadap
peningka
*Kaji respons verbal n TIK.

5=bicara normal (orientasi orang,waktu,tempat, dan situasi)

4=kalimat tidak mengandung arti 8.


Mencega
3=hanya kata-kata saja resiko
ketidak
2=hanya bersuara saja
seimban
n volume
1=tidak ada suara
cairan.

*Kaji respons motorik


9.
6=dapat melakukan semua perintah rangsang nyeri Mencega
ketidak
5=melokalisasi nyeri seimban
n nutrisi
4=menghindari nyeri kurang d
kebutuha
3=fleksi tubuh da
memperc
2=ekstensi
pat prose
penyemb
1=tidak berespons
han.
12. Periksa pupil dengan senter. 1.
e
e
h
ri
k
c
e
13. Kaji perubahan tanda vital.
ja
h
d
te
p
14. Catat muntah, sakit kepala (konstan,letargi), gelisah pernapasan yang kuat,gerakan ti
yang tidak bertujuan, dan perubahan fungsi. r
a
b
ti
15. Konsul dengan dokter untuk pemberian pelunak fese bila diperlukan.
k
s
a

1.
u
s
k
ti
l
d
a
d
a
d
g
m
n
v
u
i
p
m
u
a
m
a
d
re
p
s
m
o
.
T
a
a
re
p
s
m
n
ju
k
k
u
k
m
s
fa
n
(Hickey,
1992 citC
rpenito,
1995)
1.
e
b
a
p
il
m
n
ju
k
te
a
n
p
a
s
a
o
lo
o
ri
a
u
o
k
.
2.
e
b
a
ta
d
v
l
m
n
d
a
p
in
k
a
T
.
3.
u
a
a
b
d
te
a
n
p
a
m
d
a

1.
n
k
m
n
ra
g
m
n
ja
y
g
m
n
b
k
p
in
k
a
te
a
n
in
a
c
n
.

4 Gangg Setelah 1. Kaji fungsi motorik dan sensorik dengan,mengobservasi setiap ekstremitasn secara 1. Lobus
uan dilakukan terpisah terhadap kekuatan dan gerakan normal,respons terhadap rangsang. frontal da
atau intervensi parietal
kerusak keperawat berisi
an an,klien saraf-sar
mobilita akan yang
s fisik memiliki mengatu
2. Ubah posisi klien setiap 2 jam.
yang mobilitas posisi
berhub fisik yang motorik
ungan maksimal, dan
dengan dengan sensorik
ganggu criteria: dan dapa
an dipengar
neurov 1.Tidak i oleh
ascular ada iskemia
kontraktur atau
otot. peningka
n tekana

2. Tidak 3. Lakukan latihan secara teratur dan letakkan telapak kaki klien dilante saat duduk
ada dikursi atau papan penyangga saat tidur ditempat tidur. 2.
ankilosis Mencega
pada terjadinya
sendi. luka teka
4. Topang kaki saat mengubah posisi dengan meletakkan bantal disatu sisi saat
akibat tid
membalik klien.
terlalu
lama pad
3.Tidak
satu sisi
terjadi
sehingga
penyusuta
jaringan
n otot 5. Pada saat klien ditempat tidur letakkan bantal diketiak diantara lengan atas dan yang
dinding dada untuk mencegah abduksi bahu dan letakkan lengan posisi b.d abduksi tertekan
4. Efektif sekitar 600. akan
pemakaia kekurang
n alat n nutrisi
6. jaga lengan dalam posisi sedikit fleksi. Letakkan telapak tangan di atas bantal yang
lainnya seperti posisi patung liberty dengan siku di atas bahu dan pergelangan tangan di dibawa
atas siku. darah
melalui
7. letakkan tangan dalam posisi berfungsi dengan jari-jari sedikit fleksi dan ibu jari dalam oksigen.
posisi berhubungan dengan abduksi. Gunakan pegangan berbentuk roll. Lakukan latihan
pasif. Jika jari dan pergelangan spastik, gunakan splint.

8. lakukan latihan di tempat tidur. Lakukan latihan kaki sebanyak 5 kali kemudian di 3.
tingkatkan secara perlahan sebanyak 20 kali setiap kali latihan. Mencega
deformita
9. lakukan latihan berpindah(ROM) dan
4 x sehari setelah 24 jam serangan stroke jika sudah tidak mendapat terapi. komplika
sepertifo
drop.

10. bantu klien duduk atau turun dari tempat tidur.

4. Dapat
terjadi
dislokasi
panggul
jika
11. gunakan kursi roda bagi klien hemiplegia. meletakk
n kaki
terkulai
dan jatuh

Dan
mencega
fleksi.

5. Posisi
ini
membida
gi bahu
dalam
berputar
dan
mencega
edema d
akibat
fibrosis.

6.
Mencega
kontraktu
fleksi.

7.
Memban
klien
hemipleg
latihan d
tempat
tidur
berarti
memberi
n dan
mempers
pkan
aktivitas
kemudian
hari akan
perasaan
optimis
sembuh.

8. Klien
hemipleg
dapat
belajar
menggun
kan
kakinya
yang
mengala
kelumpun
n.

9. Lenga
dapat
menyeba
kan nyer
dan
keterbata
an
pergerak
n
berhubun
an denga
fibrosis
sendi ata
subluksa

10. Klien
hemipleg
mempun
i ketidak
seimban
n sehing
perlu di
bantu
untuk
keselama
an dan
keamana

11. Klien
hemipleg
perlu
latihan
untuk
belajar
berpinda
tempat
dengan
cara ama
dari kurs
toilet, dan
kursi rod

5 Kurang Setelah 1. Lakukan oral higine 1.


perawa dilakukan Members
tan diri tindakan kan mulu
(mandi, keperawat dan gigi
gigi, an selama klien,
berpak 124 perawat
aian) jam , dapat
yang diharapka menemu
b.d n n berbag
pemenuh kelainan
an seperti
kebersiha adanya
n diri gigi palsu
mandi karies gig
,gigi,dan krusta,
mulut gusi
,berpakai berdarah
an , bau aset
menyisir sebagai
2. Bantu klien mandi
,rambut ciri khas
terpenuhi penderita
. dengan DM, sert
keriteria adanya
hasil: tumor.
Temuan
- Napas harus di
tidak laporkan
berbau perawat.

- Pasien
tampak
bersih 2.
dan rapi Memand
an klien
merupak
salah sat
cara
memperk
cil infeks
nosokom
l. Dengan
3. Bantu klien berpakain. memand
an klien,
perawat
akan
menemu
n berbag
kelainan
pada kuli
seperti
tanda lah
luka
memar,
callus, ku
pucat
karena
dingin,
kutil,
bentuk
kuku,
dekubitus
ruam kul
ulkus, ata
borok.

4. bantu klien menyisir rambut.

3. Berapa
rumah
sakit
menyedia
an pakai
khusus
untuk
klien.
Namun
5. bantu klien mengganti alas tempat tidur. ada yang
tidak,.
Klien yan
harus
mengena
an pakai
RS karen
di rawat
dalam
keadaan
emergen
tidak ada
keluarga
yang
menguru
cucian
6. ganti alas tempat tidur.
pakaian,
menderit
penyakit
menular,
menderit
inkontine
sia urin,
atau aka
melaksan
kan
tindakan
pembeda
an.

4. Menyis
rambut
merupak
bentukfis
terapi.
Menyisir
rambut
klien. Di
lakukan
perawata
terutama
pada klie
yag tidak
berbahay

5.
Merupak
salah sat
kebutuha
fisiologis
manusia
Klien yan
tak
berdaya
dapat
mengala
inkontine
sia BAB
dan BAK
sehingga
menimbu
an bau d
sekitarny
dan infek
kulit,
sehingga
perawat
perlu
memberi
n bantua

6.
Pengalas
tempat
tidur yan
kotor
merupak
tempat
berkemb
g biaknya
kuman.

6 Setelah 1. lakukan terapi bicara 1.


Gangg dilakukan o
uan tindakan u
komuni keperawat k
kasi an ,pasien i
verbal akan m
yang dapat m
b.d berkomun a
ganggu ikasi u
an secara 2. Kaloborasi dengan ahli terapi bicara. m
sirkulas efektif , n
i dengan g
serebra criteria tk
l hasil: n
p
- Pasien s
memaha p
mi dan y
membutu m
hkan a
komunika n
si d
p
- Pasien e
menunjuk 3. gunakan petunjuk terapi bicara bicara (jika klien tidak memahami bahasa lisan, ulangi m
an petunjuk sederhana sampai mereka mengerti seperti minum jus;jangan tutup). Klien a
memaha akan mendengar, bicara pelan, dan jelas. Gunakan komunikasi nonvebral. b
mi a
komunika jika klien tidak dapat mengenal objek dengan menyebut namanya, berikan
.
si dengan latihan menerima imaginasi kata. Contoh: tunjukan objek dan sebutkan namanya
orang lain (misalnya tangan, gelas).
Jika klien sulit mengerti ekspresi verbal, berikan latihan dengan mengulangi 1.
kata kamu mulai dengan kata sederhana dan pemahaman (ya;tidak;di sini e
makan pagi). ra
Jika berjalan dengan klien afasia, latihan kalimat (lambat), dan jarak (berikan a
waktu klien untuk merespons). k
n
a
Bantu klien afasia berkomunikasi berikan model seperti berkomunikasi
s
Dengarkan dan amati secara saksama saat berkomunikasi dengan klien afasia. Coba p
memahami untuk mencegah (antisipasi) kebutuhan klien afasia, untuk memahami u
perasaan tak mampu perasaan tak mampu berkomunikasi. te
a
Jika berkomunikasi dengan klien afasia yang sangat sulit di pahami, berdiri
b
dengan jarak 6 kaki dan langsung berhadapan dengan klien. Langsung ke topik
a
pembicaraan dan katakan ketika kamu akan mengganti topik.
s
Jika kata-kata klien kurang jelas, berikan petunjuk sederhana dan ulangi
in
sampai klien mengerti.
g
Jika klien menderita afasia, sering lakukan latihan dengan menggunakan objek
p
untuk memudahkan ingatan.
u
Jika klien menderita motorik afasia, bantu latihan dalam mencoba mengulangi
la
kata-kata dan suara sesudah perawat.
u
n
s
in
m
n
in
o
u
k
i
a
n
e
k
K
n
y
g
m
m
h
m
b
a
a
n
m
re
p
s
b
a
a
u
p
a
d
k
m
n
a

7 Ketidas Setelah 1. Kaji kebiasaan makan klien. 1.


eimban dilakukan e
gan tindakan a
nutrisi keperawat n
kurang an selama m
dari 124 jam k
kebutu kebutuha k
1. Catat jumlah yang dimakan.
han n nutrisi n
tubuh terpenuhi a
yang sesuai n
b.d kebutuha m
ketidak n tubuh , m
mampu dengan n
an criteria ru
menela hasil: k
1. Kalaborasi dengan tim gizi dan dokter untuk penentuan kalori. Diet sesuai
n d
dengan penyebab stroke seperti hipertensi, DM,dan penyakit lainnya.
sekund - Pasien n
er mengatak n
terhada an ri
p keinginan n
paralisi untuk .
s makan

- 1.
Makanan a
yang n
disediaka y
n sesuai g
kebutuha te
n nutrisi h
habis s
ia
- Berat a
badan d
dalam s
batas u
maksimal k
d
g
k
u
h
k
n

1.
e
b
a
m
k
p
a
k
n
s
u
k
d
g
k
u
h
n
ri
d
d
g
s
p
y
it
P
m
e
n
m
k
a
d
s
u
k
u
a
je
s
k
a
n
B
d
T
a
v
s
s
u
tu
u
m
b
k
Kebutuha
karbohid
di
sesuaika
dengan
kesanggu
an tubuh
untuk
menggun
kannya.

8 Resiko Setelah 1. Kaji tanda aspirasi seperti demam, bunyi crackles, bunyi ronkhi,bingung, 1.
aspirasi dilakukan penurunan Pa02 pada AGD, meberikan makanan dengan oral atau NGT dengan ie
yang tindakan senter pada bagian pipi dengan spatel, lemaskan otot lidah, gunakan tisu lembut d
b.d keperawat di bawah mandibula dan angkat ujung lidah dari belakang. g
kehilan an selama 2. Kaji perubahan warna kulit seperti sianosis, pucat. h
gan 124 jam m
kemam pasien la
puan tidak a
untuk menunjuk m
menela an tanda- n
n tanda la
aspirasi. i
Dengan k
criteria e
hasil: a
n
- Tidak m
tersedak n
ketika a
makan s
,tidak in
demam g
,tidak re
batuk k
ketika a
makan , ir
tidak ada i.
ronkhi

- Tidak
ada
perubaha
n warna
kulit

1.
k
te
a
a
ir
i
k
n
a
n
m
n
la
i
k
u
a
b
n
a
s
in
g
g
g
a
p
tu
a
n
g
y
g
ta
d
d
g
s
a
n
a
s
n
is
p
a

9 Risiko Setelah 1. Pasang pagar tempat tidur. 1.


cedera dilakukan a
atau tindakan r
trauma keperawat te
yang an selama p
b.d 3x24jam ti
paralisi pasien r
s tidak akan m
mengala in
1. Gunakan cahaya yang cukup.
mi trauma u
. dengan i
criteria k
hasil : n
1. Anjurkan klien berjalan pelan-pelan. d
- Tidak g
jatuh h
1. Anjurkan istirahat cukup saat berjalan. m
- Tidak le
terdapat a
luka lecet 1. Kaji adanya tanda trauma pada kulit. te
dan tidak a
terdapat h
luka bakar d
te
p
ti
r.

1.
ie
d
g
g
g
a
s
s
i
ri
k
tr
u
a

1.
a
g
n
v
u
m
n
g
tk
n
ri
k
k
n
h
m
le
a
tr
u
a

BAB IV

DAFTAR PUSTAKA

Batticaca ,B. Fransisca.2008.Asuhan Keperawatan dengan Gangguan Sistem Persaraan. Jakarta: Salemba Medika

ASUHAN KEPERAWATAN CEDERA MEDULA SPINALIS


Definisi
Trauma pada medula spinalis adalah cedera yang mengenai servikalis, vertebra,
dan lumbal akibat trauma, seperti jatuh dari ketinggian, kecelakaan lalu lintas,
kecelakaan olahraga, dan sebagainya. (Arif Muttaqin, 2005, hal. 98)
Trauma medula spinalis adalah trauma yang bersifat kompresi akibat trauma
indirek dari atas dan dari bawah.
Etiologi
Menurut Arif muttaqin (2005, hal. 98) penyebab dari cedera medula spinalis dalah
:
a. Kecelakaan lalu lintas
b. Kecelakaan olahraga
c. Kecelakaan industi
d. Kecelakaan lain, seperti jatuh dari pohon atau bangunan
e. Luka tusuk, luka tembak
f. Trauma karena tali pengaman (Fraktur Chance)
g. Kejatuhan benda keras

Mekanisme Terjadinya Cedera Medula Spinalis


Menurut Arif Muttaqin (2005, hal. 98-99) terdapat enam mekanisme terjadinya
Cedera Medula Spinalis yaitu : fleksi, fleksi dan rotasi, kompresi vertikal, hiperekstensi,
fleksi lateral, dan fraktur dislokasi. Lebih jelasnya akan dijelaskan dibawah ini:
a. Fleksi.
Trauma terjadi akibat fleksi dan disertai dengan sedikit kompresi pada vertebra.
b. Fleksi dan rotasi.
Trauma jenis ini merupakan trauma fleksi yang bersama-sama dengan rotasi.

c. Kompresi vertikal (aksial).


Trauma vertikal yang secara langsung mengenai vertebra akan menyebabkan
kompresi aksial. Nukleus pulposus akan memecahkan permukaan serta badan
vertebra secara vertikal.
d. Hiperekstensi atau retrofleksi.
Biasanya terjadi hiperekstensi sehingga terjadi kombinasi distraksi dan ekstensi
e. Fleksi lateral.
Kompresi atau trauma distraksi yang menimbulkan fleksi lateral akan menyebabkan
fraktur pada komponen lateral, yaitu pedikel, foramen vertebra, dan sendi faset.
f. Fraktur dislokasi.
Trauma yang menyebabkan terjadinya fraktur tulang belakang dan dislokasi pada
tulang belakang.

Jenis-jenis Trauma Pada Sumsum Dan Saraf Tulang Belakang


Menurut Arif Mutaqim, (2005, hal. 99) jenis-jenis trauma pada sumsum tulang
belakang dan saraf tulang belakang adalah:
1) Transeksi tidak total.
Transeksi tidak total disebabkan oleh trauma fleksi atau ekstensi karena terjadi
pergeseran lamina di atap dan pinggir vertebra yang mengatami fraktur di sebelah
bawah. Selain itu, dapat terjadi perdarahan pada sumsum tulang yang disebut
hematomielia.
2) Transeksi total.
Transeksi total terjadi akibat suatu trauma yang menyebabkan fraktur dislokasi.
Fraktur tersebut disebabkan oleh fleksi atau rotasi yang dapat menyebabkan hilangnya
fungsi segmen di bawah trauma.
TANDA DAN GEJALA
Tanda spinal shock (pemotongan komplit ransangan), meliputi: Flaccid paralisis dibawah batas
luka, hilangnya sensasi dibawah batas luka, hilangnya reflek-reflek spinal dibawah batas luka, hilangnya
tonus vaso motor (Hipotensi),Tidak ada keringat dibawah batas luka, inkontinensia urine dan retensi
feses berlangsung lama hiperreflek/paralisis spastic
Pemotongan sebagian rangsangan: tidak simetrisnya flaccid paralisis, tidak simetrisnya hilangnya
reflek dibawah batas luka, beberapa sensasi tetap utuh dibawah batas luka, vasomotor menurun,
menurunnya blader atau bowel, berkurangnya keluarnya keringat satu sisi tubuh
Sindroma cidera medula spinalis sebagian :
1. Anterior
- Paralisis dibawah batas luka (trauma)
- Hilangnya sensasi nyeri dan temperatur dibawah batas luka
- sensasi sentuhan, pergerakan, posisi dan vibrasi tetap
2. Central
- Kelemahan motorik ekstermitas atas lebih besar dari ekstermitas bawah
3. Sindroma brown sequard
Terjadi akibat trauma pada bagian anteror dan posterior pada satu sisi
- Ipsilateral paralisis dibawah trauma
- Ipsilateral hilangnya sentuhan, vibrasi, proprioseption dibawah
4. trauma
- Kontralateral hilangnya sensasi nyeri dan temperatur dibawah lesi

Komplikasi
Kerusakan medula spinalis dari komorsio sementara ( dimana pasien sembuh sempurna )
sampai kontusio, laserasi, dan komperensi substansi medula ( baik salah satu atau dalam kombinasi ),
sampai transaksi lengkap medula ( yang membuat pasien paralisis dibawah tingkat cidera ).
Bila hemoragi terjadi pada daerah spinalis,darah dapat merembes keekstra dural,subdural,atau
daerah subarakhloid pada kanal spinal.Setelah terjadi kontisio atau robekan akibat cidera,serabut-serabut
saraf mulai membengkak dan hancur.Sirkulsi darah kesubtansia grisea medula spinalis menjadi
terganggu.
Daerah lumbal adalah daerah yang paling sering mengalami herniasi nukleus pulposus.
Kandungan air diskus berkurang bersamaa dengan bertambahnya usia. Selain itu,serabut-serabut itu
menjadi kasar dan mengalami hialinisasi yang ikut membantu terjadinya perubahan kearah hernia
nukleus pulposus melalui anulus,dan menekan radiks saraf spinal.

PENDARAHAN MIKROSKOPIK
Pada semua cidera madula spinalis atau vertebra,terjadi perdarahan-perdarahan kecil.Yang
disertaireaksi peradangan,sehingga menyebabkan pembengkakan dan edema dan mengakibatkan
terjadinya peningkatan tekanan didalam dan disekitar korda.Peningkatan tekanan menekan saraf dan
menghambat aliran darah sehingga terjadi hipoksia dan secara drastis meningkatkan luas cidera
korda.Dapat timbul jaringan ikat sehingga saraf didarah tersebut terhambat atau terjerat.

HILANGNYA SESASI, KONTROL MOTORIK, DAN REFLEKS.


Pada cidera spinal yang parah, sensasi,kontrol motorik, dan refleks setingg dan dibawah cidera
korda lenyap. Hilangnya semua refleks disebut syok spinal. Pembengkakan dan edema yang mengelilingi
korda dapat meluas kedua segen diatas kedua cidera. Dengan demkian lenyapnya fungsi sensorik dan
motorik serta syok spinal dapat terjadi mulai dari dua segmen diatas cidera. Syok spnal biasanya
menghilang sendiri, tetap hilangnya kontor sensorik dan motorik akan tetap permanen apabila korda
terputus akan terjadi pembengkakan dan hipoksia yang parah.

SYOK SPINAL.
Syok spinal adalah hilangnya secara akut semua refleks-refleks dari dua segme diatas dan
dibawah tempat cidera. Repleks-refleks yang hilang adalah refleks yang mengontrol postur, fungsi
kandung kemih dan rektum, tekanan darah, dan pemeliharaan suhu tubuh. Syok spinal terjadi akibat
hilangnya secara akut semua muatan tonik yang secara normal dibawah neuron asendens dari otak,
yang bekerja untuk mempertahankan fungsi refleks.Syok spinl biasanya berlangsung antara 7 dan 12
hari, tetapi dapat lebih lama. Suatu syok spinal berkurang dapat tmbul hiperreflekssia, yang ditadai oleh
spastisitas otot serta refleks, pengosongan kandung kemih dan rektum.

HIPERREFLEKSIA OTONOM.
Kelainan ini dapat ditandai oleh pengaktipan saraf-saraf simpatis secar refleks, yang
meneyebabkan peningkatan tekanan darah. Hiper refleksia otonom dapat timbul setiap saat setelah
hilangnya syok spinal. Suatu rangsangan sensorik nyeri disalurkan kekorda spnalis dan mencetukan
suatu refleks yang melibatkan pengaktifan sistem saraf simpatis.Dengan diaktifkannya sistem
simpatis,maka terjadi konstriksi pembuluh-pembuluh darah dan penngkatan tekanan darah sistem
Pada orang yang korda spinalisnya utuh,tekanan darahnya akan segera diketahui oleh
baroreseptor.Sebagai respon terhadap pengaktifan baroreseptor,pusat kardiovaskuler diotak akan
meningkatkan stimulasi parasimpatis kejantung sehingga kecepatan denyut jantunhg melambat,demikian
respon saraf simpatis akan terhenti dan terjadi dilatasi pembuluh darah.Respon parasimpatis dan
simpatis bekerja untuk secara cepat memulihkan tekanan darah kenormal.Pada individu yang mengalami
lesi korda,pengaktifan parasimpatis akan memperlambat kecepatan denyut jantung dan vasodilatasi
diatas tempat cedera,namun saraf desendens tidak dapat melewati lesi korda sehngga vasokontriksi
akibat refleks simpatis dibawah tingkat tersebut terus berlangsung.
Pada hiperrefleksia otonom,tekanan darah dapat meningkat melebihi 200 mmHg
sistolik,sehingga terjadi stroke atau infark miokardium.Rangsangan biasanya menyebabkan
hiperrefleksia otonom adalah distensi kandung kemih atau rektum,atau stimulasi reseptor-reseptor
permukaan untuk nyeri.

PARALISIS
Paralisis adalah hilangnya fungsi sensorik dan motorik volunter.Pada transeksi korda
spinal,paralisis bersifat permanen.Paralisis ekstremitas atas dan bawah terjadi pada transeksi korda
setinggi C6 atau lebih tinggi dan disebut kuadriplegia.Paralisis separuh bawah tubuh terjadi pada
transeksi korda dibawah C6 dan disebut paraplegia.Apabila hanya separuh korda yang mengalami
transeksi maka dapat terjadi hemiparalisis.
a. Autonomic Dysreflexia
terjadi adanya lesi diatas T6 dan Cervical
Bradikardia, hipertensi paroksimal, berkeringat banyak, sakit kepala berat, goose flesh, nasal stuffness
b. Fungsi Seksual
Impotensi, menurunnya sensasi dan kesulitan ejakulasi, pada wanita kenikmatan seksual berubah

Penatalaksanaan medis
Menurut Muttaqim, (2008 hlm.111) penatalaksanaan pada trauma tulang belakang yaitu :
A. Pemeriksaan klinik secara teliti:
a) Pemeriksaan neurologis secara teliti tentang fungsi motorik, sensorik, dan refleks.
b) Pemeriksaan nyeri lokal dan nyeri tekan serta kifosis yang menandakan adanya fraktur dislokasi.
c) Keadaan umum penderita.
B. Penatalaksanaan fraktur tulang belakang:
a) Resusitasi klien.
b) Pertahankan pemberian cairan dan nutrisi.
c) Perawatan kandung kemih dan usus.
d) Mencegah dekubitus.
e) Mencegah kontraktur pada anggota gerak serta rangkaian rehabiIitasi lainnya.

Konsep Asuhan Keperawatan Cedera Medula Spinalis


Menurut Arif Muttaqim, (2005, hlm. 103-107) hal-hal yang perlu dikaji pada pasien fraktur lumbal
adalah sebagai berikut:
I. Pengkajian.
a. Identitas klien, meliputi nama, usia (kebanyakan terjadi pada. usia muda), jenis kelamin (kebanyakan laki-
laki karena sering mengebut saat mengendarai motor tanpa pengaman helm), pendidikan, alamat,pekerjaan,
agama, suku bangsa, tanggal dan jam masuk rumah sakit (MRS), nomor register, dan diagnosis medis.
b. Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien meminta pertolongan kesehatan adalah nyeri, kelemahan dan
kelumpuhan ekstremitas, inkontinensia urine dan inkontinensia alvi, nyeri tekan otot,hiperestesia tepat di
atas daerah trauma, dan deformitas pada daerah trauma.
c. Riwayat penyakit sekarang. Kaji adanya riwayat trauma tulang belakang akibat kecelakaan lalu lintas,
kecelakaan olahraga, kecelakaan industri, jatuh dari pohon atau bangunan, luka tusuk, luka tembak, trauma
karena tali pengaman (fraktur chance), dan kejatuhan benda keras. Pengkajian yang didapat meliputi
hilangnya sensibilitas, paralisis (dimulai dari paralisis layu disertai hilangnya sensibilitassecara total dan
melemah/menghilangnya refleks alat dalam) ileus paralitik, retensi urine, dan hilangnya refleks-refleks.
d. Riwayat kesehatan dahulu. Merupakan data yang diperlukan untuk mengetahui kondisi kesehatan klien
sebelum menderita penyakit sekarang , berupa riwayat trauma medula spinalis. Biasanya ada trauma/
kecelakaan.
e. Riwayat kesehatan keluarga. Untuk mengetahui ada penyebab herediter atau tidak
f. Masalah penggunaan obat-obatan adiktif dan alkohol.
g. Riwayat penyakit dahulu. Pengkajian yang perlu ditanyakan meliputi adanya riwayat penyakit degeneratif pada
tulang belakang, seperti osteoporosis dan osteoartritis.
h. Pengkajian psikososiospiritual.
i. Pemeriksaan fisik.
Pemeriksaan fisik sangat berguna untuk mendukung data pengkajian anamnesis. Pemeriksaan
fisik sebaiknya dilakukan per sistem (B1-B6) dengan fokus pemeriksaan B3 (Brain) dan
B6 (Bone) yang terarah dan dihubungkan dengan keluhan klien.
1. Pernapasan.
Perubahan sistem pernapasan bergantung pada gradasi blok saraf parasimpatis (klien
mengalami kelumpuhan otototot pernapasan) dan perubahan karena adanya kerusakan jalur simpatik
desenden akibat trauma pada tulang belakang sehingga jaringan saraf di medula spinalis
terputus. Dalam beberapa keadaan trauma sumsum tulang belakang pada daerah servikal dan toraks
diperoleh hasil pemeriksaan fisik sebagai berikut.
Inspeksi. Didapatkan klien batuk, peningkatan produksi sputum, sesak napas, penggunaan
otot bantu napas, peningkatan frekuensi pemapasan, retraksi interkostal, dan pengembangan paru
tidak simetris. Respirasi paradoks (retraksi abdomen saat inspirasi). Pola napas ini dapat terjadi jika otot-otot
interkostal tidak mampu mcnggerakkan dinding dada akibat adanya blok saraf parasimpatis.
Palpasi. Fremitus yang menurun dibandingkan dengan sisi yang lain akan didapatkan apabila
trauma terjadi pada rongga toraks.
Perkusi. Didapatkan adanya suara redup sampai pekak apabila trauma terjadi pada
toraks/hematoraks.
Auskultasi. Suara napas tambahan, seperti napas berbunyi, stridor, ronchi pada klien dengan
peningkatan produksi sekret, dan kemampuan batuk menurun sering didapatkan pada klien cedera tulang
belakang yang mengalami penurunan tingkat kesadaran (koma).
2. Kardiovaskular
Pengkajian sistem kardiovaskular pada klien cedera tulang belakang didapatkan renjatan (syok
hipovolemik) dengan intensitas sedang dan berat. Hasil pemeriksaan kardiovaskular kliencedera tulang
belakang pada beberapa keadaan adalah tekanan darah menurun, bradikardia, berdebar-debar,
pusing saat melakukan perubahan posisi, dan ekstremitas dingin atau pucat.
3. Persyarafan
tingkat kesadaran. Tingkat keterjagaan dan respons terhadap Iingkungan adalah indikator paling
sensitif untuk disfungsi sistem persarafan. Pemeriksaan fungsi serebral. Pemeriksaan dilakukan
dengan mengobservasi penampilan, tingkah laku, gaya bicara, ekspresi wajah, dan aktivitas motorik
klien. Klien yang telah lama mengalami cedera tulang belakang biasanya mengalami perubahan status
mental.
Pemeriksaan Saraf kranial:
a. Saraf I. Biasanya tidak ada kelainan pada klien cedera tulang belakang dan tidak ada kelainan fungsi
penciuman.
b. Saraf II. Setelah dilakukan tes, ketajaman penglihatan dalam kondisi normal.
c. Saraf III, IV, dan VI. Biasanya tidak ada gangguan mengangkat kelopak mata dan pupil isokor.
d. Saraf V. Klien cedera tulang belakang umumnya tidak mengalami paralisis pada otot wajah dan refleks kornea
biasanya tidak ada kelainan
e. Saraf VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal dan wajah simetris.
f. Saraf VIII. Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi.
g. Saraf XI. Tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius. Ada usaha klien untuk melakukan
fleksi leher dan kaku kuduk
h. Saraf XII. Lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak ada fasikulasi, Indra pengecapan
normal.

4. Pemeriksaan refleks:
a. Pemeriksaan refleks dalam. Refleks Achilles menghilang dan refleks patela biasanya melemah karena
kelemahan pada otot hamstring.
b. Pemeriksaan refleks patologis. Pada fase akut refleks fisiologis akan menghilang. Setelah beberapa hari
refleks fisiologis akan muncul kembali yang didahului dengan refleks patologis.
c. Refleks Bullbo Cavemosus positif
d. Pemeriksaan sensorik. Apabila klien mengalami trauma pada kaudaekuina, mengalami hilangnya
sensibilitas secara me-netap pada kedua bokong, perineum, dan anus. Pemeriksaan sensorik superfisial
dapat memberikan petunjuk mengenai lokasi cedera akibat trauma di daerah tulang belakang
5. Perkemihan
Kaji keadaan urine yang meliputi warna, jumlah, dan karakteristik urine, termasuk berat jenis urine.
Penurunan jumlah urine dan peningkatan retensi cairan dapat terjadi akibat menurunnya perfusi pada
ginjal.
6. Pencernaan.
Pada keadaan syok spinal dan neuropraksia, sering dida-patkan adanya ileus paralitik. Data klinis
menunjukkan hilangnya bising usus serta kembung dan defekasi tidak ada. Hal ini merupakan gejala
awal dari syok spinal yang akan berlangsung beberapa hari sampai beberapa minggu. Pemenuhan
nutrisi berkurang karena adanya mual dan kurangnya asupan nutrisi.
7. Muskuloskletal.
Paralisis motor dan paralisis alat-alat dalam bergantung pada ketinggian terjadinya trauma. Gejala
gangguan motorik sesuai dengan distribusi segmental dari saraf yang terkena

II. Diagnosa Keperawatan


Menurut Arif Muttaqim, (2005, hlm. 14-15) diagnosa keperawatan yang muncul pada Cedera
Medula Spinalis adalah sebagai berikut:
a. Ketidakefektifan pola napas yang berhubungan dengan kelemahan otot-otot pernapasan atau
kelumpuhan otot diafragma.
b. Ketidakefektifan pembersihan jalan napas yang berhubungan dengan penumpukan sputum, peningkatan
sekresi sekret, dan penurunan kemampuan batuk (ketidakmampuan batuk/batuk efektif).
c. Penurunan perfusi jaringan perifer yang berhubungan dengan penurunan curah jantung akibat
hambatan mobilitas fisik.
d. Nyeri berhubungan dengan kompresi saraf, cedera neuromuskular, dan refleks spasme otot sekunder.
e. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan kemampuan mencerna
makanan dan peningkatan kebutuhan metabolism
f. Risiko tinggi trauma yang berhubungan dengan penurunan kesadaran dan hambatan mobilitas fisik.
g. Hambatan mobilitas fisik yang berhubungan dengan kerusakan neuromuskular.
h. Perubahan pola eliminasi urine yang berhubungan dengan kelumpuhan saraf perkemihan.
i. Gangguan eliminasi alvi/konstipasi yang berhubungan dengan gangguan persarafan pada usus dan rektum.
j. Defisit perawatan diri yang berhubungan dengan kelemahan fisik ekstremitas bawah.
k. Risiko infeksi yang berhubungan dengan penurunan sistem imun primer (cedera pada jaringan paru,
penurunan aktivitas silia bronkus), malnutrisi, dan tindakan invasif.
l. Risiko kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan imobilisasi dan tidak adekuatnya sirkulasi
perifer.
m. Perubahan persepsi sensori yang berhubungan dengan disfungsi persepsi spasial dan kehilangan
sensori.
n. Ketidakefektifan koping yang berhubungan dengan prognosis kondisi sakit, program pengoba tan, dan
lamanya tirah baring.
o. Ansietas yang berhubungan dengan krisis situasional, ancaman terhadap konsep diit, dan perubahan status
kesehatan/status ekonomi/ fungsi peran.
p. Ansietas keluarga yang berhubungan dengan keadaan yang kritis pada klien.
q. Risiko ketidakpatuhan terhadap penatalaksanaan yang berhubungan dengan ketegangan akibat krisis
situasional.

Intervensi Keperawatan
a. Nyeri akut berhubungan dengan kerusakan integritas jaringan Kaji nyeri yang dialami klien
kaji faktor yang menurunkan toleransi nyeri
kurangi atau hilangkan faktor yang meningkatkan nyeri
Pantau tanda- tanda vital
Ajarkan tekhnik distraksi dan relaksasi
Kolaborasi dalam pemberian obat Analgetik

b. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan fraktur lumbalis


Tingkatkan mobilitas dan pergerakan yang optimal
Tingkatkan mobilitas ekstremitas atau Latih rentang pergerakan sendi pasif
Posisikan tubuh sejajar untuk mencegah komplikasi
Anjurkan keluarga untuk memandikan klien dengan air hangat.
Ubah posisi minimal setiap 2 jam sekali
inspeksi kulit terutama yang bersentuhan dengan tempat tidur
c. Inkontinensia defekasi bd kerusakan saraf motorik bawah
Kaji adanya gangguan pola eliminasi (BAB)
observasi adanya peses di pampers klien
Anjurkan kepada klien untuk memberi tahu perawat atau keluarga kalau terasa BAB
Anjurkan kepada keluarga untuk sering mengawasi klien
Jelaskan kepada klien tentang adanya gangguan pola eliminasi
d. Defisit perawatan diri: mandi
Kaji keadaan umm klien
Kaji pola kebersihan klien
Lakukan personal hygiene (mandi) pada klien
Libatkan keluarga pada saat memandikan
e. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang terpaparnya informasi
Kaji tingkat pengetahuan klien
Kaji latar belakang pendidikan klien
Berikan penkes kepada klien dan keluarga tentang penyakit dan diit makanan yang dapat mempercepat
penyembuhan
Berikan kesempatan klien untuk bertanya
Evaluasi dari apa yang telah disampaikan

RAUMA KEPALA

A. Konsep Dasar Trauma Kepala


1. Pengertian
a. Pengertian trauma kepala
Menurut Satya Negara (1998: 148) mengemukakan bahwa cedera kepala merupakan
jumlah deformitas jaringan di kepala yang diakibatkan oleh suatu kekuatan mekanis.
b. Pengertian Trauma Kepala Sedang
Menurut Arief Mansjoer, (2000:5) dan Hudak and Gallo,alih bahasa Monica E.D Adiyanti
(1996:226) Cedera kepala sedang (Moderat HI) ialah suatu keadaan cedera kepala dengan
nilai tingkat kesadaran (GCS) yaitu 9-12 dan tingkat kesadaran lethargi, obtunded atau
stupor.
c. Pengertian craniotomy
Barbara Engram, alih bahasa Suharyati Samba, dkk (1998: 642) mengemukakan bahwa
kraniotomi adalah operasi pembukaan tulang tengkorak, sedangkan Ahmad Ramali (1996:
62) mendefinisikan craniotomy adalah setiap pembedahan pada tulang tengkorak.
Dari kedua pendapat di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa kraniotomi adalah
pembedahan yang dilakukan untuk membuka tulang tengkorak.
d. Pengertian Dekompresi
Menurut Ahmad Ramali, (1996:84) Dekompresi ialah pengurangan atau mengevakuasi
bekuan darah dari tulang tengkorak.
e. Pengertian Subdural Hematoma
Menurut Depkes RI (1995: 63) Subdural Hematoma adalah perdarahan yang terjadi antara
durameter dan arakhnoid yang biasanya meliputi perdarahan vena. Sedangkan menurut
Carolyn M. Hudak, alih bahasa Monica E.D Adiyanti (1996: 228) hematoma subdural adalah
akumulasi darah di bawah lapisan meningeal durameter dan diatas lapisan arakhnoid yang
menutupi otak. Definisi lain dikemukakan oleh Arif Mansjoer, dkk (2000: 8) bahwa
hematoma subdural ialah pengumulan darah dalam rongga antara durameter dan membran
subarakhnoid yang bersumber dari robeknya vena.
Dari ketiga pengertian di atas, penulis menyimpulkan bahwa hematoma subdural adalah
akumulasi darah yang terjadi di dalam rongga antara durameter dan arakhnoid yang
biasanya disebabkan karena perdarahan vena.
Dari penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa, Post craniotomy dekompresi atas indikasi
moderat HI disertai subdural hematoma fronto temporo parietal dextra ialah operasi
pembedahan yang dilakukan untuk membuka tengkorak guna mengevakuasi bekuan darah
atas indikasi cedera kepala dengan nilai tingkat kesadaran (GCS) 9-12 disertai akumulasi
darah yang terjadi di dalam rongga antara durameter dan arakhnoid yang biasanya
disebabkan karena perdarahan vena di daerah fronto temporo parietal dextra.
2. Anatomi dan Fisiologi Otak
Otak merupakan jaringan yang konsistensinya kenyal menyerupai agar-agar dan terletak di
dalam ruangan yang tertutup oleh tulang yaitu kranium (tengkorak), yang secara absolut
tidak dapat bertambah volumenya, terutama pada orang dewasa.
Jaringan otak dilindungi oleh beberapa pelindung, mulai dari permukaan luar adalah: kulit
kepala yang mngandung rambut, lemak dan jaringan lainnya, tulang tengkorak, meningens
(selaput otak dan liquor serebrospinalis). (Satyanegara, 1998: 12)
Otak dibagi dalam beberapa bagian:
a. Serebrum (otak besar)
Merupakan bagian yang terluas dan terbesar dari otak, berbentuk telur, mengisi depan atas
rongga tengkorak, masing-masing disebut fase kranialis anterior atas dan fase kranialis
media.
Pada otak besar ditemukan beberapa lobus, yaitu:
1) Lobus frontalis, adalah bagian dari serebrum yang terletak di depan siklus sentralis.
Lobus ini terlihat dalam 2 fungsi serebral utama, yaitu: (1) kontrol motorik gerakan volunter
termasuk fungsi bicara, dan (2) kontrol berbagai ekspresi emosi, moral dan tingkah laku
etika. Fungsi aktifitas motoriknya diekspresikan melalui: korteks somato-motorik primer
(area Brodmann 4), korteks premotor dan suplemen (area Brodmann 6), frontal eye field
(area Brodmann 8) dan pusat bicara Broca (area Brodmann 44), sedangkan kontrol
ekspresif dari emosi dan moral dilaksanakan oleh korteks pre frontal (Satyanegara, 1998:
15)
2) Lobus parietalis, terdapat di depan sulkus sentralis dan dibelakangi oleh karaco
oksipitalis. Lobus parietal dikaitkan untuk evaluasi sensorik umum dan rasa kecap, dimana
selanjutnya akan dintegrasi dan diproses untuk menimbulkan kesiagaan tubuh terhadap
lingkungan eksternal. (Satyanegara, 1998: 17)
3) Lobus temporalis, terdapat di bawah lateral dari fisura serebralis dan di depan lobus
oksipitalis. Lobus temporalis mempunyai peran fungsionil yang berkaitan dengan
pendengaran, keseimbangan dan juga sebagian dari emosi-memori
4) Lobus oksipitalis, yang mengisi bagian belakang daris erebrum lobus oksipitalis sangat
penting fungsinya sebagai kortex visual. Secara umum, fungsi serebrum terdiri dari:
a) mengingat pengalaman-pengalaman masa lalu
b) pusat persyarafan yang menangani; aktifitas mental, akal, inteligensi, keinginan dan
memori
c) pusat menangis, buang air besar dan buang air kecil
Untuk memperjelas letak dari setiap Lobus Otak dapat dilihat pada gambar 2.1 dibawah ini:
Gbr.2.1. Penampang lateral lobus-lobus otak

Sumber: Satyanegara, L. Djoko Listiano, Ilmu Bedah Saraf Edisi III, Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 1998
b. Batang otak (trunkus serebri)
Batang otak adalah pangkal otak yang merilei pesan-pesan antara medula spinalis dan
otak. Batang otak terdiri dari:
1) Diensefalon, bagian batang otak paling atas terdapat diantara serebrum dengan
mesensefalon. Kumpulan dari sel syaraf yang terdapat di bagian depan lobus temporalis
terdapat kapsula interna dengan sudut menghadap ke samping.
Fungsi dari diensefalon:
a) vaso kontruktor, mengecilkan pembuluh darah
b) respiratori, membantu proses persyarafan
c) mengontrol kegiatan reflek
d) membantu pekerjaan jantung
Diensefalon tersusun atas struktur Hipothalamus yang berfungsi sebagai pusat integrasi
susunan saraf otonom, regulasi temperatur, keseimbangan cairan dan elektrolit, integrasi
sirkuit siklus bangun-tidur, intake makanan, respon tingkah laku terhadap emosi,
pengontrolan endokrin, dan respon seksual. Thalamus berfungsi sebagai pusat persediaan
dan integrasi bagi semua jenis impuls sensorik, kecuali penciuman.thalamus memainkan
peranan penting dalam transmisi impuls nyeri.(satyanegara, 1998:20)
2) Mesensefalon, atap dari mesensefalon terdiri dari 4 bagian yang menonjol ke atas, 2 di
sebelah atas disebut korpus quadrigeminus superior dan 2 di sebelah bawah disebut
korpus quadrigeminus inferior, serat saraf okulomotorius berjalan ke veritral di bagian
medial. Serat-serat saraf nervus troklearis berjalan ke arah dorsal menyilang garis tengah
ke sisi lain.
Fungsinya terdiri dari:
a) membantu pergerakan mata dan mengangkat kelopak mata
b) memutar mata dan pusat pergerakan mata
3) Pons varoli, brakium pontis yang menghubungkan mesensefalon dengan pons varoli
dengan serebelum, terletak didepan serebelum di antara otak tengah dan medula
oblongota, disini terdapat premotoksid yang mengatur gerakan pernafasan dan reflek.
Fungsi dari pons varoli terdiri dari:
a) penghubung antara kedua bagian serebelum dan juga antara medula oblongata dengan
serebelum
b) pusat syaraf nervus trigeminus
4) Medula oblongata, merupakan bagian dari batang otak yang paling bawah yang
menghubungkan pons varoli dengan medula spinalis. Bagian bawah medula oblongata
merupakan persambungan medula spinalis ke atas dan bagian atas medula oblongata
disebut kanalis sentralis di daerah tengah bagian ventral medula oblongata
Fungsi medula oblongata merupakan organ yang menghantarkan impuls dari medula
spinalis dan otak yang terdiri dari:
a) mengontrol pekerjaan jantung
b) mengecilkan pembuluh darah (vasokonstruktor)
c) pusat pernafasan (respiratory centre)
d) mengontrol kegiatan reflek
Otak dilindungi oleh selaput otak (meningen) yang terdiri dari 3 lapisan:
a. Duramater (lapisan sebelah luar)
Selaput keras pembungkus otak yang berasal dari jaringan ikat tebal dan kuat, di bagian
tengkorak terdiri dari selaput tulang tengkorak dan duramater propia di bagian dalam. Di
dalam kanal vertebralis kedua lapisan ini terpisah. Duramater pada tempat tertentu
mengandung rongga yang mengalirkan arah vena dari otak, rongga ini dinamakan sinus
longitudinal superior, terletak di antara kedua hemisfer otak.
b. Arakhnoid (lapisan tengah)
Merupakan selaput halus yang memisahkan duramater dengan piameter membentuk
sebuah kantong atau balon berisi cairan otak yang meliputi seluruh susunan syaraf sentral.
Medula spinalis terhenti setinggi di bawah lumbal I-II terdapat sebuah kantong berisi cairan,
berisi saraf perifer yang keluar dari medula spinalis dapat dimanfaatkan untuk mengambil
cairan otak yang disebut pungsi lumbal.
c. Piamater (lapisan sebelah dalam)
Merupakan selaput tipis yang terdapat pada permukaan jaringan otak, piamater
berhubungan dengan arakhnoid melalui struktur-struktur jaringan ikat yang disebut trabekel.
Tepi falks serebri membentuk sinus longitudinal inferior dan sinus sagitalis inferior yang
mengeluarkan darah dari falks serebri. Tentorium memisahkan serebri dengan sereblum.
(Syaifuddin, 1997: 124)
3. Etiologi (Satyanegara,1998:148)
Kebanyakan cedera kepala merupakan akibat salah satu dari kedua mekanisme dasar
yaitu:
a. Kontak bentur, terjadi bila kepala membentur atau menabrak sesuatu obyek atau
sebaliknya
b. Guncangan lanjut, merupakan akibat peristiwa guncangan kepala yang hebat, baik yang
disebabkan oleh pukulan maupun yang bukan karena pukulan
4. Klasifikasi cedera kepala
a. Klasifikasi cedera kepala berdasarkan tingkat keparahan menurut: (Mansjoer, Arief
2000:5), (Hudak and Gallo, alih bahasa Monica E.D Adiyanti, 1996:226) adalah sebagai
berikut:
1) Cedera kepala ringan (mild HI)
Suatu keadaan dimana kepala mendapat trauma ringan dengan hasil penilaian tingkat
kesadaran (GCS) yaitu 13-15, klien sadar penuh, atentif dan orientatif. Klien tidak
mengalami kehilangan kesadaran, bila hilang kesadaran misalnya konkusio, tidak ada
intoksikasi alkohol atau obat terlarang. Klien biasanya mengeluh nyeri kepala dan pusing.
Pasien dapat menderita abrasi, laserasi atau hematoma kulit kepala
2) Cedera kepala sedang (moderat HI)
Suatu keadaan cedera kepala dengan nilai tingkat kesadaran (GCS) yaitu 9-12, tingkat
kesadaran lethargi, obturded atau stupon. Gejala lain berupa muntah, amnesia pasca
trauma, konkusio, rabun, hemotimpanum, otorea atau rinorea cairan cerebrospinal dan
biasanya terdapat kejang.

3) Cedera kepala berat (severe HI)


Cedera kepala dengan nilai tingkat kesadaran (GCS) yaitu 3-8, tingkat kesadaran koma.
Terjadi penurunan derajat kesadaran secara progresif. Tanda neurologis fokal, cedera
kepala penetrasi atau teraba fraktur depresi kranium. Mengalami amnesia > 24 jam, juga
meliputi kontusio cerebral, laserasi atau hematoma intra kranial.
b. Klasifikasi perdarahan intrakranial berdasarkan lokasi akibat cedera kepala
menurut:Suzanne C Smeltzer, et. al, alih bahasa Agung Waluyo (2001:2212), Tuti
Pahria,dkk (1996:49) adalah sebagai berikut:
1) Hematoma epidural
Adalah pengumpulan darah di dalam ruang epidural (ekstradural) di antara tengkorak dan
duramater. Keadaan ini sering diakibatkan dari fraktur atau rusak (laserasi), dimana arteri
ini berada di antara duramater putus atau rusak (laserasi), dimana arteri ini berada diantara
duramater dan tengkorak daerah inferior menuju bagian tipis tulang temporal hemoragi
karena arteri ini menyebabkan penekanan pada otak. Gejala ditimbulkan oleh hematoma
luas, disebabkan oleh perluasan hematoma. Biasanya terlihat adanya kehilangan
kesadaran sebentar pada saat cedera, diikuti dengan pemulihan yang nyata secara
perlahan-lahan. Gejala klasik atau temporal berupa kesadaran yang makin menurun
disertai anisokor pada mata ke sisi dan mungkin terjadi hemiparese kontra lateral.
Sedangkan hematoma epidural di daerah frontal dan parietal atas tidak memberikan gejala
khas selain penurunan kesadaran (biasanya somnolen) yang tidak membaik setelah
beberapa hari. Banyaknya perdarahan terjadi karena proses desak ruang akut, bila cukup
besar akan menimbulkan herniasi misalnya pada perdarahan epidural, temporal yang dapat
menyebabkan herniasi unkus.
2) Hematoma subdural
Adalah pengumpulan darah diantara durameter dan arakhnoid yang biasanya meliputi
perdarahan vena. Paling sering disebabkan oleh trauma, tetapi dapat juga terjadi
kecenderungan perdarahan yang serius dari aneurisma, hemoragi subdural lebih sering
terjadi pada vena dan merupakan akibat putusnya pembuluh darah kecil yang
menjembatani ruang subdural. Hematoma subdural dapat terjadi akut, subakut atau kronik,
tergantung pada ukuran pembuluh yang terkena dan jumlah perdarahan yang ada.
a) Hematoma subdural akut, sering dihubungkan dengan cedera kepala mayor yang
meliputi kontusio atau laserasi. Biasanya pasien dalam keadaan koma dan/ atau tanda
gejala klinis: sakit kepala, perasaan kantuk dan kebingungan, respon yang lambat dan
gelisah. Tekanan darah meningkat dengan frekuensi nadi lambat dan pernafasan cepat
sesuai dengan peningkatan hematoma yang cepat. Keadaan kritis terlihat dengan adanya
perlambatan reaksi ipsilateral pupil.
b) Hematoma subdural sub akut, biasanya berkembang 7-10 hari setelah cedera dan
dihubungkan dengan kontusio serebri yang agak berat dan dicurigai pada pasien yang
gagal untuk meningkatkan kesadaran setelah trauma kepala. Tanda dan gejala sama
seperti pada hematoma subdural akut. Tekanan serebral yang terus menerus menyebabkan
penurunan tingkat kesadaran yang dalam. Angka kematian pasien hematoma subdural akut
dan subakut tinggi, karena sering dihubungkan dengan kerusakan otak.
c) Hematoma subdural kronik, terjadi karena cedera kepala minor. Mulanya perdarahan
kecil memasuki di sekitar membran vaskuler dan pelan-pelan meluas. Gejala klinis mungkin
tidak terjadi/ terasa dalam beberapa minggu atau bulan. Keadaan ini pada proses yang
lama akan terjadi penurunan reaksi pupil dan motorik, lansia cenderung yang paling sering
mengalami cedera kepala tipe ini sekunder akibat atropi otak, yang diperkirakan akibat
proses penuaan. Cedera kepala minor dapat mengakibatkan dampak yang cukup untuk
menggeser isi otak secara abnormal dengan sekuela negatif.

3) Hematoma intraserebral
Adalah perdarahan ke dalam substansi otak. Hemoragi ini biasanya terjadi pada cedera
kepala dimana mendesak ke kepala sampai daerah kecil (cedera peluru atau luka tembak,
cedera tumpul). Hemoragi ini di dalam otak mungkin juga diakibatkan oleh hipertensi
sistemik yang menyebabkan degenerasi dan ruptur pembuluh darah, ruptur kantung
aneurisma, anomali vaskuler, tumor intrakranial. Akibat adanya substansi darah dalam
jaringan otak akan menimbulkan edema otak, gejala neurologik tergantung dari ukuran dan
lokasi perdarahan.
5. Patofisiologi
Patofisiologi trauma kepala menurut: Sylvia Anderson, et,al., alih bahasa Peter Anugerah
(1995: 1011); Satyanegara, (1998: 150); Carolyn M. Hudak, et, al., alih bahasa Monica E.D
Adiyanti (1996: 226) adalah sebagai berikut:
Pada trauma kepala dimana kepala mengalami benturan yang kuat dan cepat akan
menimbulkan pergerakan dan penekanan pada otak dan jaringan sekitarnya secara
mendadak serta pengembangan gaya kompresi yang destruktif. Peristiwa ini dikenal
dengan sebutan cedera akselerasi-deselerasi. Dipandang dari aspek mekanis, akselerasi
dan deselerasi merupakan kejadian yang serupa, hanya berbeda arahnya saja. Efek
akselerasi kepala pada bidang sagital dari posterior ke anterior adalah serupa dengan
deselerasi kepala anterior-posterior.
Cedera yang terjadi pada waktu benturan dapat menimbulkan lesi, robekan atau memar
pada permukaan otak, dengan adanya lesi, robekan, memar tersebut akan mengakibatkan
gejala defisit neurologis yang tanda-tandanya adalah penurunan kesadaran yang progresif,
reflek Babinski yang positif, kelumpuhan dan bila kesadaran pulih kembali biasanya
menunjukkan adanya sindrom otak organik.
Pada trauma kepala dapat juga menimbulkan edema otak, dimana hal ini terjadi karena
pada dinding kapiler mengalami kerusakan, ataupun peregangan pada sel-sel endotelnya.
Sehingga cairan akan keluar dari pembuluh darah dan masuk ke jaringan otak karena
adanya perbedaan tekanan antara tekanan intravaskuler dengan tekanan interstisial.
Akibat cedera kepala, otak akan relatif bergeser terhadap tulang tengkorak dan duramater,
kemudian terjadi cedera pada permukaannya, terutama pada vena-vena gantung
(bridging veins). Robeknya vena yang menyilang dari kortex ke sinus-sinus venosus dapat
menyebabkan subdural hematoma, karena terjadi pengisian cairan pada ruang subdural
akibat dari vena yang pecah. Selanjutnya pergeseran otak juga menimbulkan daerah-
daerah yang bertekanan rendah (cedera regangan) dan bila hebat sekali dapat
menimbulkan kontusi kontra-kup.
Akibat dari adanya edema, maka pembuluh darah otak akan mengalami penekanan yang
berakibat aliran darah ke otak berkurang, sehingga akan hipoksia dan menimbulkan
iskemia yang akhirnya gangguan pernapasan asidosis respiratorik (Penurunan PH dan
peningkatan PCO2 ). Akibat lain dari adanya perdarahan otak dan edema serebri yang
paling berbahaya adalah terjadinya peningkatan tekanan intrakranial yang timbul karena
adanya proses desak ruang sebagai akibat dari banyaknya cairan yang bertumpuk di dalam
otak. Peningkatan intra kranial yang terus berlanjut hingga terjadi kematian sel dan edema
yang bertambah secara progresif, akan menyebabkan koma dengan TTIK yang terjadi
karena kedua hemisfer otak atau batang otak sudah tidak berfungsi.
6. Manajemen medis secara umum pada trauma kepala (Tuti Pahria,dkk ,1996:57; Arif
Mansjoer, dkk, 2000: 4)
a. Anti kejang: kejang konvulsif dapat terjadi setelah cedera kepala dan harus diobati. Mula-
mula berikan diazepam 10 mg intravena perlahan-lahan dan dapat diulangi sampai 3 kali
bila masih kejang. Bila tidak berhasil dapat diberikan fenitoin 15 mg/ kgBB diberikan
intravena perlahan-lahan dengan kecepatan tidak melebihi 50 mg/ menit.pada cedera
kepala berat, Antikejang fenitoin diberikan 15-20 mg/kgBB bolus intavena, kemudian 300
mg/hari intravena mengurangi frekuensi kejang pascatrauma dini (minggu pertama) dari
14% menjadi 4% pada pasien dengan perdarahan intrakranial traumatik. Pemberian fenitoin
tidak mencegah timbulnya epilepsi pascatrauma di kemudian hari. Jika pasien tidak
menderita kejang, fenitoin harus dihentikan setelah 7-10 hari. Kadar fenitoin harus dipantau
ketat karena kadar subterapi sering disebabkan hipermetabolisme fenitoin.
b. Nutrisi: cedera kepala berat menimbulkan respons hipermetabolik dan katabolik, dengan
keperluan 50-100% lebih tinggi dari normal. Pemberian makanan enteral melalui pipa
nasogastrik atau nasoduodenal harus diberikan sesegera mungkin (biasanya hari ke-2
perawatan)
c. Temperatur badan: demam (temperatur > 101oF) mengeksaserbasi cedera otak dan
harus diobati secara agresif dengan asetaminofen atau kompres dingin. Pengobatan
penyebab (antibiotik) diberikan bila perlu.
d. Steroid: steroid tidak terbukti mengubah hasil pengobatan pasien dengan cedera kepala
dan dapat meningkatkan resiko infeksi, hiperglikemia dan komplikasi lain. Untuk itu, steroid
hanya dipakai sebagai pengobatan terakhir pada herniasi serebri akut (deksametason 10
mg intravena setiap 4-6 jam selama 48-72 jam)
e. Profilaksis ulkus peptik: pasien dengan ventilasi mekanis atau koagulopati memiliki resiko
ulserasi stres gastrik yang meningkat dan harus mendapat ranitidin 50 mg intravena setiap
8 jam atau sukralfat 1 g per oral setiap 6 jam atau H2 antagonis lain atau inhibitor proton.
f. Antibiotik: penggunaan antibiotik rutin untuk profilaksis pada pasien dengan cedera
kepala terbuka masih kontroversial. Golongan penisilin dapat mengurangi resiko meningitis
penumokok pada pasien dengan otorea, rinorea cairan serebrospinal atau udara
intrakranial tetapi dapat meningkatkan resiko infeksi dengan organisme yang lebih virulen.
g. Therapi hiperventilasi (trauma kepala berat) untuk mengurangi vasodilatasi
h. Pengobatan antiedema dengan larutan hipertonis yaitu manitol 20% atau glukosa 40%
atau gliserol 10%
i. Makanan atau cairan, pada trauma ringan bila muntah-muntah tidak dapat diberikan apa-
apa, hanya cairan infus 5%, aminofusin, aminofel (18 jam pertama dari terjadinya
kecelakaan), 2-3 hari kemudian diberikan makanan lunak.
j. Pembedahan, meliputi kraniotomi atau kraniektomi
k. Pada trauma berat, karena hari-hari pertama didapatkan penderita mengalami penurunan
kesadaran dan cenderung terjadi retensi natrium dan elektrolit, maka hari-hari pertama (2-3
hari) tidak terlalu banyak cairan, dextrosa 5% 8 jam pertama, ringer dextrosa 8 jam kedua,
dan dextrosa 5% 8 jam ketiga. Pada hari selanjutnya bila kesadaran rendah, makanan
diberikan melalui nasogastrik tube (2500-3000 TKTP). Pemberian protein tergantung nilai
urea N
7. Dampak trauma kepala terhadap sistem tubuh lainnya
Adanya gangguan sistem persyarafan akibat trauma kepala akan mengganggu sistem
tubuh lainnya. Adapun gangguannya menurut : Carolyn M. Hudak, et, al., alih bahasa
Monica E.D Adiyanti (1996: 230) Tuti Pahria,dkk (1996:50) adalah sebagai berikut:

a. Sistem kardiovaskuler
Trauma kepala yang disertai dengan Subdural hematoma, akan terjadi perdarahan dan
edema serebri sehingga terjadi peningkatan tekanan intrakranial. Kondisi ini akan
menyebabkan peningkatan tekanan darah, tachikardi kemudian bradikardi dan iramanya
tidak teratur sebagai kompresi kerja jantung.
Trauma kepala menyebabkan perubahan fungsi jantung mencakup aktifitas atipikal
miokardiar, perubahan tekanan vaskuler dan edema paru. Akibat adanya perdarahan otak
akan mempengaruhi tekanan vaskuler, dimana penurunan tekanan vaskuler menyebabkan
pembuluh darah arteriol akan berkontraksi. Pengaruh persyarafan simfatik dan parasimfatik
pada pembuluh darah arteri dan arteriol otak tidak begitu besar.
Aktifitas miokard berubah termasuk peningkatan frekuensi jantung dan menurunnya stroke
work dimana pembacaan CVP abnormal, tidak adanya stimulus endogen saraf simpatis
mempengaruhi penurunan kontraktilitas ventrikel. Hal ini menyebabkan penurunan curah
jantung dan meningkatkan tekanan atrium kiri. Akibatnya tubuh berkompensasi dengan
meningkatkan tekanan sistolik. Pengaruh dari adanya peningkatan tekanan atrium kiri
adalah terjadinya edema paru.

b. Sistem pernafasan
Adanya edema paru pada trauma kepala dan vasokontriksi paru atau hipertensi paru,
menyebabkan hipernoe dan bronkhokonstriksi. Pernafasan cheyne stokes dihubungkan
dengan sensitifitas yang meningkat pada mekanisme terhadap karbondioksida dan episode
pasca hiperventilasi apnea. Konsentrasi oksigen dan karbondioksida dalam darah arteri
mempengaruhi aliran darah. Bila PO2 rendah, aliran darah bertambah karena terjadi
vasodilatasi. Penurunan PCO2 akan terjadi alkalosis yang menyebabkan vasokonstriksi
(arteri kecil) dan penurunan CBF (Serebral Blood Fluid). Bila PCO2 bertambah akibat
gangguan sistem pernafasan akan menyebabkan acidosis dan vasodilatasi. Hal ini
menyebabkan pertambahan CBF, yang kemudian menyebabkan terjadinya penambahan
tingginya tekanan intra kranial (TTIK) edema otak karena trauma adalah bentuk vasogenik.
Pada kontusio otak, terjadi robekan pada pembuluh kapiler atau cairan traumatik yang
mengandung protein eksudat yang berisi albumin. Albumin pada cairan interstisial otak
normal tidak didapatkan edema otak terjadi karena penekanan terhadap pembuluh darah
dan jaringan sekitarnya. Edema otak dapat menyebabkan herniasi dan penekanan batang
otak atau medula oblongata. Akibat penekanan daerah medula oblongata dapat
menyebabkan pernafasan ataksia dimana ditandai dengan irama nafas tidak teratur atau
pola nafas tidak efektif.
Trauma kepala dapat mengakibatkan penurunan kesadaran yang dapat menyebabkan
terakumulasinya sekret pada trakheobronkhiolus, sehingga akan terjadi obstruksi pada
saluran pernapasan.
c. Sistem pencernaan
Trauma kepala juga mempengaruhi sistem pencernaan. pada klien post craniotomy pada
hari pertama akan didapatkan bising usus yang menurun karena efek narkose. Setelah
trauma kepala (3 hari) terdapat respon tubuh dengan merangsang aktifitas hipotalamus dan
stimulus gagal. Hal ini merangsang anterior hipofisis menjadi hiperasiditas. Hipotalamus
merangsang anterior hipofisis untuk mengeluarkan steroid adrenal. Hal ini adalah
kompensasi tubuh untuk menangani edema serebral. Namun, pengaruhnya terhadap
lambung adalah peningkatan ekskresi asam lambung yang menyebabkan hiperasiditas.
Selain itu hiperasiditas terjadi karena adanya peningkatan pengeluaran katekolamin dalam
menangani stres yang mempengaruhi produksi lambung. Hiperasiditas yang tidak ditangani
akan menyebabkan perdarahan lambung. sedangkan peningkatan asam lambung akan
mengakibatkan klien mual dan muntah. klien dengan peningkatan tekanan intra kranial
akibat trauma kepala ditandai dengan muntah yang seringkali proyektil.

d. Sistem endokrin dan perkemihan


Pada trauma kepala terjadi perubahan metabolisme yaitu kecenderungannya retensi
natrium dan air serta hilangnya sejumlah nitrogen. Retensi natrium disebutkan karena
adanya stimulus terhadap hipotalamus yang menyebabkan pelepasan ACTH dan sekresi
aldosteron. Pada pasien dengan trauma kepala khususnya fraktur tengkorak. Kerusakan
pada kelenjar hipofisis atau hipotalamus atau TTIK. Gambaran klinis dapat dikomplikasi
oleh diabetes insipidus. Pada keadaan ini terdapat disfungsi ADH. Dengan penurunan
jumlah ADH yang ada pada darah, ginjal mengekskresikan terlalu banyak air, menimbulkan
dehidrasi. Pada klien dengan penurunan kesadaran dapat menyebabkan inkontinensia
urine karena lemahnya kontrol otot spinkter uretra eksterna.
e. Sistem muskuloskeletal
Pada disfungsi hemisfer bilateral atau disfungsi pada tingkat batang otak, terdapat
kehilangan penghambatan serebral dari gerakan involunter. Terdapat gangguan tonus otot
dan penampilan postur abnormal, yang dapat membuat komplikasi seperti peningkatan
spastisitas dan kontraktur. klien dengan penurunan kesadaran akan gelisah serta gerakan
kaki dan tangannya yang tidak terkontrol.
f. Sistem integumen
Pada klien yang dilakukan craniotomy tampak luka operasi pada kepala bila penyembuhan
luka tidak baik akan didapatkan tanda-tanda rubor, tumor, dolor, kalor dan fungsiolesa dan
bila infeksi akan didapatkan gangguan integritas kulit selain itu juga dapat terjadi
peningkatan suhu tubuh sehingga pada anggota badan akan tampak banyak keringat.
8. Komplikasi dari trauma kepala (Mansjoer, Arif, 2000: 7)
a. Kebocoran cairan serebrospinal dapat disebabkan oleh rusaknya leptomeningen dan
terjadi pada 2-6% pasien dengan cedera kepala tertutup. Hal ini beresiko terjadinya
meningitis (biasanya pneumokok).
b. Fistel karotis-kavernosus ditandai oleh trias gejala: eksolftalmos, kemosis dan bruit
orbita, dapat timbul segera atau beberapa hari setelah cedera. Angiografi diperlukan untuk
konfirmasi diagnosis dan terapi dengan oklusi balon endovaskular merupakan cara yang
paling efektif dan dapat mencegah hilangnya penglihatan yang permanen.
c. Diabetes insipidus dapat disebabkan oleh kerusakan traumatik pada tangkai hipofisis,
menyebabkan penghentian sekresi hormon antidiuretik. Pasien mengekskresikan sejumlah
besar volume urin encer, menimbulkan hipernatremia dan deplesi volum.
d. Kejang pascatrauma dapat terjadi segera (dalam 24 jam pertama), dini (minggu pertama)
atau lanjut (setelah satu minggu). Kejang segera tidak merupakan predisposisi untuk kejang
lanjut; kejang dini menunjukkan resiko yang meningkat untuk kejang lanjut, dan pasien ini
harus dipertahankan dengan antikonvulsan. Insidens keseluruhan epilepsi pascatrauma
lanjut (berulang, tanpa provokasi) setelah cedera kepala tertutup adalah 5%; resiko
mendekati 20% pada pasien dengan perdarahan intrakranial atau fraktur depresi.
B. Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Gangguan Sistem Persyarafan Akibat Trauma
Kepala
1. Pengkajian
Pengkajian merupakan pendekatan sistematis untuk mengumpulkan data baik subyektif
atau obyektif dan kemudian menganalisanya. Data-data dalam pengkajian ini meliputi:
(Pahria, Tuti ,dkk, 1996: 55)
a. Identitas klien
1) Identitas klien
Identitas klien meliputi nama klien, umur klien biasanya pada usia produktif atau pada
lansia, jenis kelamin mayoritas pria, agama, pendidikan, pekerjaan klien biasanya
berhubungan dengan sarana transportasi, status marital, suku bangsa, tanggal masuk
rumah sakit, tanggal pengkajian, golongan darah, no.medrek, diagnosa medis dan alamat.
2) Identitas penanggung jawab
Identitas penanggung jawab meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan,
hubungan dengan klien dan alamat.

b. Riwayat kesehatan
1) Alasan masuk Rumah Sakit
Biasanya penyebab trauma kepala karena kecelakaan lalu lintas, namun tidak menutup
kemungkinan faktor lain. Oleh karena itu pada Alasan klien masuk Rumah Sakit perlu dikaji
mengenai kapan, dimana, penyebab, bagaimana proses terjadinya, apakah klien pingsan,
muntah atau perdarahan dari hidung atau telinga.
2) Keluhan utama saat dikaji
Pada umumnya pasien dengan trauma kepala sedang datang ke rumah sakit dengan
penurunan tingkat kesadaran (GCS = 9-12), sedangkan apabila klien sudah sadar penuh
biasanya akan merasa bingung, mengeluh muntah, dispnea, tachipnea, sakit kepala, wajah
tidak simetris, lemah, paralise, hemiparese, luka di kepala, akumulasi sputum pada saluran
nafas, adanya liquor dari hidung dan telinga dan adanya kejang yang disebabkan karena
proses benturan akselerasi-deselerasi pada setiap daerah lobus otak yang dapat
menyebabkan konkusio atau kontusio serebri yang mengakibatkan penurunan kesadaran
kurang atau bisa lebih dari 24 jam.
3) Riwayat kesehatan dahulu
Perlu dikaji apakah klien pernah mengalami trauma kepala atau penyakit sistem syaraf
serta penyakit sistemik. Perlu dikaji juga apakah klien memiliki kebiasaan kebut-kebutan di
jalan raya, memakai Helm dalam mengendarai kendaraan, meminum minuman beralkohol
atau obat-obatan terlarang.
4) Riwayat kesehatan keluarga
Kaji mengenai adanya penyakit keturunan, penyakit menular, kebiasaan buruk dalam
keluarga seperti merokok atau keadaan kesehatan anggota keluarga.
c. Pemeriksaan fisik
1) Sistem pernafasan
Didapatkan adanya perubahan pola nafas baik irama, kedalaman maupun frekuensi yaitu
cepat dan dangkal, irama tidak teratur (cheyne stokes, ataxia breathing), bunyi nafas ronchi
atau stridor, adanya sekret pada trakheo bronkhiolus, adanya retraksi dinding dada.
2) Sistem kardiovaskuler
Dalam pemeriksaan didapatkan perubahan tekanan darah menurun kecuali apabila terjadi
peningkatan tekanan intra kranial maka tekanan darah meningkat, denyut nadi tachikardi,
kemudian bradikardi atau iramanya tidak teratur sebagai kompresi kerja jantung untuk
membantu mengurangi tekanan intra kranial.
3) Sistem pencernaan
Pada klien post craniotomy biasanya didapatkan bising usus yang normal atau bisa juga
menurun apabila masih ada pengaruh anestesi, perut kembung, bibir dan mukosa mulut
tampak kering, klien dapat mual dan muntah. kadang-kadang konstipasi karena klien tidak
boleh mengedan atau inkontinensia karena klien tidak sadar. Pada perkusi abdomen
terdengar timpani, nyeri tekan pada daerah epigastrium, penurunan berat badan.
4) Sistem perkemihan
Pada pengkajian akan didapatkan retensi urine pada klien sadar, sedangkan pada klien
tidak sadar akan didapatkan inkontinensia urine dan fekal, jumlah urine output biasanya
berkurang. Terdapat ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, dimana terdapat hiponatremia
atau hipokalemia.
5) Sistem muskuloskeletal
Pada klien post craniotomy biasanya ditemukan gerakan-gerakan involunter, kejang,
gelisah, ataksia, paralisis dan kontraktur, kekuatan otot mungkin menurun atau normal.
6) Sistem integumen
Pada klien post craniotomy tampak luka pada daerah kepala, suhu tubuh mungkin di atas
normal, banyak keringat. Pada hari ketiga dari operasi biasanya luka belum sembuh karena
masih agak basah/ belum kering. biasanya masih terdapat hematoma pada klien dengan
perdarahan di meningen. Data fisik yang lain adalah mungkin didapatkan luka lecet dan
perdarahan pada bagian tubuh lainnya. Bentuk muka mungkin asimetris.

7) Sistem persyarafan
a) Test fungsi serebral
1) Klien mengalami penurunan kesadaran maka dalam orientasi, daya ingat, perhatian dan
perhitungan serta fungsi bicara klien sehingga hasil pemeriksaan status mentalnya kurang
dari normal atau kurang dari 20 ditandai dengan amnesia, gangguan kognitif, dll.
2) Tingkat kesadaran
Biasanya tingkat kesadaran berkisar antara obtunded sampai lethargi. Kuantitas: nilai GCS:
9-12
3) Pengkajian bicara
(a) Proses reseptif
Biasanya didapatkan kesulitan mengucapkan kata-kata yang leih dari satu kata misalnya
sakit kepala atau rumah sakit
(b) Proses ekspresif
Biasanya didapatkan bicara kurang lancar, tidak spontan dan tidak jelas
b) Test nervus kranial (Lumbantobing, 2003: 24), (Tuti Pahria, dkk, 1996: 55)

1) Nervus I (olfaktorius)
Memperlihatkan gejala penurunan daya penciuman dan anosmia bilateral yang disebabkan
karena terputusnya serabut olfaktorius selain karena trauma kepala juga bisa disebabkan
oleh infeksi.
2) Nervus II (optikus)
Pada trauma oksipitalis, memperlihatkan gejala berupa penurunan daya penglihatan,
penurunan lapang pandang
3) Nervus III, IV, VI (okulomotorius, troklearis, abdusen)
Pada trauma kepala yang disertai dengan perdarahan intrakranial akan menyebabkan
gangguan reaksi pupil yang lambat/ midriasis karena tekanan pada bagian pinggir nervus III
yang mengandung serabut parasimpatis. Gangguan kelumpuhan N IV, namun jarang
terjadi. Kelumpuhan N IV menyebabkan terjadinya diplopia, gejala lainnya berupa refek
cahaya menurun, anisokor.
4) Nervus V (trigeminus)
Gangguan ditandai adanya anestesi daerah dahi.
5) Nervus VII (fasialis)
Pada trauma kepala yang mengenai neuron motorik atas unilateral dapat menurunkan
fungsinya, tidak adanya lipatan nasolabial, melemahnya penutupan kelopak mata dan
hilangnya rasa pada 2/3 bagian lidah anterior
6) Nervus VIII (akustikus)
Pada pasien sadar gejalanya berupa menurunnya daya pendengaran dan keseimbangan
tubuh.
7) Nervus IX, X, XI (glosofaringetus, vagus, assesoris)
Gejala jarang ditemukan karena klien akan meninggal apabila trauma mengenai syaraf
tersebut. Adanya hiccuping (cegukan) karena kompresi pada nervus vagus yang
menyebabkan spasmodik dan diafragma. Hal ini terjadi karena kompresi batang otak.
Cegukan yang terjadi biasanya beresiko peningkatan tekanan intrakranial.
8) Nervus XII (hipoglosus)
Gejala yang biasa timbul adalah jatuhnya lidah ke salah satu sisi, disfagia, dan disartria. Hal
ini menyebabkan adanya kesulitan menelan.
d. Data psikologis (Tuti Pahria, dkk, 1996: 57)
Pasien yang mengalami penurunan kesadaran, maka data psikologis tidak dapat dikaji.
Sedangkan pada pasien yang tingkat kesadarannya agak normal (GCS: 13-15) akan
terlihat adanya gangguan emosi, perubahan tingkah laku, emosi yang labil, iritabel, apatis,
delirium.
e. Data sosial
Data yang diperlukan adalah bagaimana pasien berhubungan dengan orang-orang terdekat
dan yang lainnya. Kemampuan berkomunikasi dan peranannya dalam keluarga. Pada klien
yang mengalami penurunan kesadaran data sosial tidak dapat dikaji. Sedangkan pada klien
yang tingkat kesadarannya normal, pada klien trauma kepala akan didapatkan kesulitan
berkomunikasi bila area trauma pada lobus temporal.
f. Data spiritual
Data spiritual pada klien dengan penurunan kesadaran tidak dapat dikaji, sehingga data
ketaatan klien terhadap agamanya, semangat dan falsafah hidup serta keTuhanan yang
diyakini klien tidak dapat terkaji.
g. Data penunjang (Doenges, et al, 2000:272)
1) Pemeriksaan analisa gas darah
Biasanya memperlihatkan acidosis respiratorik yaitu:
1) PH darah: < 7,35 2) PaO2 menurun antara 60-80 mmHg 3) PaCO2 : > 45 mmHg
4) HCO3: >22-26 mEq/l
5) Base excess: -2,5 s.d + 2,5
6) Saturasi: 95%

2) Pemeriksaan elektrolit biasanya didapatkan gambaran:


1) Natrium: > 14 mEq/l
2) Kalium: < 3,5 mEq/l 3) Kalsium: > 11 mg%
4) Fosfat: 3 mg%
5) Chlorida: > 107 mEq/l
3) Pemeriksaan HB dan leukosit biasanya didapatkan:
1) Penurunan HB (kurang dari normal: 13-18 gr/dl)
2) Leukosit meningkat (lebih dari normal: 3,8 10,6 ribu mm3)
4) CT Scan (tanpa/ dengan kontras): mengidentifikasi hemoragik, menentukan ukuran
ventrikuler, pergeseran jaringan otak.
Catatan: Pemeriksaan berulang mungkin diperlukan karena pada iskemia/ infark mungkin
tidak terdeteksi dalam 24-72 jam pasca trauma.
5) MRI: Sama dengan CT Scan dengan/ tanpa menggunakan kontras
6) Angiografi serebral: Menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti pergeseran jaringan
otak akibat oedema, perdarahan, trauma
7) EEG: Untuk memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya gelombang patologis
8) Sinar X: Mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (fraktur), pergeseran struktur
garis tengah (karena perdarahan, oedema), adanya fragmen tulang
9) BAER (Brain Auditory Evoked Respons): Menentukan fungsi kortexs dan batang otak
10) PET (Position Emission Tomography): Menunjukkan perubahan aktifitas metabolisme
pada otak
11) Fungsi Lumbal, CSS: Dapat mendeteksi kemungkinan adanya perdarahan
subarakhnoid dan memastikan bocornya CSS sehingga terjadi iritasi meningen
mengakibatkan meningitis
12) Pemeriksaan toksikologi: Mendeteksi obat yang mungkin bertanggung jawab terhadap
penurunan kesadaran
13) Kadar antikonvulsan darah: Dapat dilakukan untuk mengetahui tingkat therapi yang
cukup efektif untuk mengatasi kejang.
2. Diagnosa Keperawatan Dan Perencanaan
Setelah data terkumpul kemudian dilakukan analisa terhadap data untuk menentukan
diagnosa keperawatan yang muncul baik aktual maupun resiko.
Pada klien post craniotomy dekompresi atas indikasi moderat HI disertai subdural
hematoma fronto temporo parietal dextra, kemungkinan diagnosa keperawatan yang
mungkin muncul menurut:
Tuti Pahria, dkk, (1996: 58), Suzanne C Smeltzer, et. al, alih bahasa Agung Waluyo
(2002:2126), Linda Juall Carpenito, alih bahasa Monica Ester (2001:497), Linda Juall
Carpenito, alih bahasa Monica Ester (1999:523), Marilyn E. Doenges, alih bahasa I Made
Kariasa, dkk (2000:277) adalah sebagai berikut:
a. Resiko atau aktual tidak efektifnya pola pernafasan, disebabkan oleh:
1) Gangguan/ kerusakan pusat pernafasan di medula oblongata
2) Adanya obstruksi trakeobronkial
Tujuan:
Pola nafas efektif dalam batas normal
Kriteria evaluasi:
1) Pola nafas dalam batas normal dengan frekuensi 14-20 kali/ menit (untuk dewasa) dan
iramanya teratur
2) Bunyi nafas normal tidak ada stridor, ronchi, dullness dan wheezing
3) Tidak ada pernafasan cuping hidung
4) Pergerakan dada simetris/ tidak ada retraksi
5) Nilai analisa gas darah arteri normal yaitu:
pH darah: 7,35-7,45
PaO2: 80-100 mmHg
PaCO2: 35-45 mmHg
HCO3: 22-26 mEq/ L
BE: -2,5 - +2,5
Saturasi O2: 95-98%

Intervensi Rasional
(1) (2)
1. Monitor kecepatan, kedalaman, frekuensi, irama dan bunyi nafas
2. Atur posisi pasien dengan posisi semi fowler (150 450)

3. Lakukan penghisapan lendir dengan hati-hati selama 10-15 detik. Catat sifat, warna dan
bau sekret. Lakukan bila tidak ada retak pada tulang basal dan robekan dural

4. Berikan posisi semi prone lateral/ miring. Bila tidak ada kejang dan setelah 4 jam
Perubahan yang terjadi dan hasil pengkajian berguna dalam menunjukkan adanya
komplikasi pulmonal dan luas-nya bagian otak yang terkena
Dengan menempatkan pasien posisi semi fowler maka akan mengurangi penekanan isi
rongga perut terhadap diapraghma, sehingga ekspansi paru tidak terganggu. Kepala
ditinggikan dengan tempat tidur (tanpa bantal) untuk cegah hiperekstensi/ fleksi
Dengan dilakukannya penghisapan lendir maka jalan nafas akan bersih dan akumulasi dari
sekret bisa dicegah sehingga pernafasan akan tetap lancar dan efektif. Penghisapan
dilakukan hati-hati untuk mencegah terjadinya iritasi saluran nafas dan refleks vagal
Posisi semi prone dapat membantu keluarnya sekret dan mencegah aspirasi
(1) (2)
pertama, ubah posisi miring atau prone (telentang) tiap 2 jam

5. Apabila pasien sudah sadar, anjurkan dan ajak latihan nafas dalam
6. Lakukan kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian terapi oksigen, monitor
ketepatan terapi oksigen dan komplikasi yang mungkin timbul

7. Lakukan kolaborasi dengan tim medis dalam melaksanakan analisa gas darah sehingga
dapat membuka jalan nafas. Mengubah posisi dapat berguna untuk merangsang mobilisasi
sekret di saluran pernafasan
Latihan nafas dalam berguna untuk melatih complain paru

Pemberian oksigen terapi tambahan dapat meningkatkan oksigenisasi otak untuk


mencegah hipoksia. Monitor pemberian oksigen untuk mencegah terjadinya pemberian
oksigen yang berlebihan, iritasi saluran nafas
Analisa gas darah dapat menentukan keefektifan respiratori, keseimbangan asam basa dan
kebutuhan terapi

b. Resiko terjadinya peningkatan tekanan intrakranial disebabkan oleh:


1) Adanya proses desak ruang akibat penumpukan cairan darah di dalam otak
2) Kelainan sirkulasi serobrospinal
3) Vasodilatasi pembuluh darah otak akibat asidosis metabolik
Tujuan:
Peningkatan tekanan intra kranial tidak terjadi
Kriteria evaluasi:
Tidak ada tanda-tanda peningkatan tekanan intra kranial seperti tekanan darah meningkat,
denyut nadi lambat, pernafasan dalam dan lambat, hipertermia, pupil melebar, anisokor,
refleks terhadap cahaya negatif, kesadaran bertambah buruk, nilai GCS < 1
Intervensi Rasional
(1) (2)
1. Monitor status neurologis yang berhubungan dengan tanda-tanda TTIK terutama GCS.

2. Monitor tanda-tanda vital: tekanan darah, denyut nadi, respirasi, suhu minimal setiap jam
sampai keadaan pasien stabil
3. Naikkan kepala dengan sudut 150-450, tanpa bantal (tidak hiperekstensi dan fleksi) dan
posisi netral (dari kepala hingga daerah lumbal dalam garis lurus) Hasil dari pengkajian
dapat diketahui secara dini adanya tanda-tanda dan peningkatan tekanan intra kranial
sehingga dapat menentukan arah tindakan selanjutnya. Kecenderungan terjadinya
penurunan nilai GCS menandakan adanya TTIK
Dapat mendeteksi secara dini tanda-tanda TTIK

Dengan posisi kepala 150-450 dari badan dan kaki maka akan meningkatkan dan
melancarkan aliran balik darah vena kepala sehingga mengurangi kongesti serebrum,
edema dan mencegah

(1) (2)

4. Monitor asupan dan haluaran setiap 8 jam sekali


5. Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian obat-obatan anti edema seperti manitol,
gliserol dan lasix

6. Monitor suhu dan atur suhu lingkungan sesuai indikasi. Batasi pemakaian selimut,
kompreslah bila suhunya tinggi (demam)

7. Berikan oksigen sesuai program terapi dengan saluran pernafasan yang lancar

terjadinya TTIK. Posisi netral tanpa hiperekstensi dan fleksi dapat mencegah penekanan
pada saraf medula spinalis yang menambah TTIK.
Tindakan ini untuk mencegah kelebihan cairan yang dapat menambah edema serebri
sehingga terjadi TTIK
Manitol atau gliserol merupakan cairan hipertonis yang berguna untuk menarik cairan dari
intraseluler (sel) ke ekstraseluler (vaskuler). Lasix untuk meningkatkan ekskresi natrium dan
air yang diinginkan, untuk mengurangi edema otak.
Demam menandakan gangguan hipotalamus. Peningkatan kebutuhan metabolik karena
demam dan suhu lingkungan yang panas akan meningkatkan TTIK
Mengurangi hiposemnia yang dapat meningkatkan vasodilatasi serebri, volume darah dan
tekanan intra kranial.

(1) (2)
8. Bantu pasien untuk menghindari/ membatasi batuk, muntah atau
mengedan seperti pada saat BAB Aktifitas seperti itu dapat meningkatkan tekanan
intratorak dan intraabdomen yang dapat meningkatkan TTIK.

c. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit sehubungan dengan: penurunan produksi


anti diuretik hormon (ADH) akibat terfiksasinya hipotalamus
Tujuan:
Cairan elektrolit tubuh seimbang
Kriteria evaluasi:
1) Asupan-haluaran seimbang yaitu asupan cairan selama 24 jam 1-2 liter dan haluaran
urin 1-2 cc/ KgBB/ jam
2) Turgor kulit baik
3) Nilai elektrolit tubuh normal:
Natrium: 13-14 mEq/L
Kalsium: 9-11 mg%
Kalium: 3,5-4,5 mEq/L
Fosfat: 3-4 mg%
Klorida: 46-107 mEq/l

Intervensi Rasional
(1) (2)
1. Monitor asupan-haluaran setiap 8 jam sekali dan timbang berat badan setiap hari dapat
dilakukan

2. Berikan cairan setiap hari tidak boleh lebih dari 2000 cc

3. Pasang dower kateter dan monitor warna urin, bau urin dan aliran urin

4. Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian Lasix


5. Kolaborasi dengan tim analis untuk pemeriksaan kadar elektrolit tubuh Monitor asupan-
haluaran untuk mendeteksi timbulnya tanda-tanda kelebihan atau kekurangan cairan yang
dapat dibuktikan pula dengan penimbangan berat badan (BB)
Berguna untuk menghindari peningkatan cairan di ruang ekstra seluler yang dapat
menambah edema otak
Dapat membantu kelancaran pengeluaran urin sehingga terjadi urin statis. Monitor kualitas
dan kuantitas urin untuk mencegah komplikasi.
Lasix dapat membantu meningkatkan ekskresi urin
Pada trauma kepala dengan pemakaian manitol dan obat-obatan diuretik dapat mengalami
ketidakseimbangan elektrolit hiponatremia dan hipokalemia. Untuk itu perlu pemeriksaan
elektrolit setiap hari.

d. Aktual atau resiko terjadi gangguan pemenuhan nutrisi, kurang dari kebutuhan yang
disebabkan oleh:
1) Berkurangnya kemampuan menerima nutrisi akibat menurunnya kesadaran
2) Melemahnya otot-otot yang digunakan untuk mengunyah atau menelan
3) Hipermetabolik
4) Perubahan kemampuan untuk mencerna makanan
Tujuan:
Kekurangan nutrisi tidak terjadi
Kriteria evaluasi:
1) Berat badan pasien normal (BB normal = TB-100-(10%TB-100))
2) Tanda-tanda malnutrisi tidak ada
3) Nilai-nilai hasil laboratorium normal:
Protein total: 6-8 gr%
Albumin: 3,5-5,3 gr%
Globulin: 1,8-3,6 gr%
Hb tidak kurang dari 10 gr%
Intervensi Rasional
(1) (2)
1. Monitor kemampuan mengunyah, menelan, refleks batuk dan cara mengeluarkan sekret
Dapat menentukan pilihan cara pemberian jenis makanan, karena pasien harus dilindungi
dari bahaya aspirasi

(1) (2)
2. Auskultasi bising usus dan catat bila terjadi penurunan bising usus

3. Timbang berat badan

4. Berikan makanan dalam porsi sedikit tapi sering, baik melalui Nasogastrik tube (NGT)
maupun oral
5. Tinggikan kepala pasien dari badan ketika makan dan buat posisi miring dan netral/ lurus
setelah makan
6. Lakukan kolaborasi dengan tim kesehatan (analis) untuk pemeriksaan, protein global,
globulin, albumin dan Hb

7. Berikan makanan melalui oral, NGT atau IVFD Fungsi gastro-intestinal harus tetap
dipertahankan pada penderita trauma kepala. Perdarahan lambung akan menurunkan
peristaltik (bising usus lemah). Bising usus perlu diketahui untuk menentukan pemberian
makanan dan mencegah komplikasi
Penimbangan berat badan dapat mendeteksi perkembangan berat badan
Memudahkan proses pencernaan dan toleransi pasien terhadap nutrisi

Mencegah regurgitasi dan aspirasi


Untuk mengidentifikasi defisiensi nutrisi fungsi organ dan respon nutrisi, serta menen-tukan
pemberian hiperalimentasi karena protein yang banyak keluar dari cairan serebrospinal
Pemberian makanan dapat disesuaikan dengan kondisi pasien

e. Gangguan mobilisasi fisik, sehubungan dengan:


1) Imobilisasi, aturan terapi untuk tirah baring
2) Menurunnya kekuatan/ kemampuan motorik
Tujuan:
1) Mampu melakukan aktifitas fisik dan ADL (Activity Daily Living)
2) Tidak terjadi komplikasi dekubitus, bronkopnemonia, tromboplebitis dan kontraktur sendi
Kriteria evaluasi:
1) Pasien mampu dan pulih kembali setelah pascaakut dalam mempertahankan fungsi
gerak
2) Tidak terjadi dekubitus, bronkopnemonia, tromboplebitis dan kontraktur seni
3) Mampu mempertahankan keseimbangan tubuh
4) Mampu melakukan aktifitas ringan pascaakut dan aktifitas sehari-hari (ADL) pada tahap
rehabilitasi sesuai kemampuan
Intervensi Rasional
(1) (2)
1. Koreksi tingkat kemampuan mobilisasi dengan skala 0-4
0=pasien tidak tergantung pada orang lain
1 = pasien butuh sedikit bantuan
2 = pasien butuh bantuan/ pengawasan/ bimbingan Untuk menentukan tingkat aktifitas dan
bantuan yang diberikan

(1) (2)
sederhana
3=pasien butuh bantuan/
peralatan yang banyak
4=pasien sangat tergantung pada pemberian pelayanan
2. Atur posisi pasien dan ubahlah secara teratur tiap 2 jam sekali bila tidak ada kejang atau
setelah 4 jam pertama. Ubah posisi dengan mempertahankan posisi netral sewaktu
membalikkan tubuh pasien terutama bila ada trauma spinal
3. Bantu pasien melakukan gerakan-gerakan sendi secara psif bila kesadaran menurun dan
secara aktif bila pasien kooperatif
4. Observasi/ kaji terus kemampuan gerakan motorik, keseimbangan, koordinasi gerakan
dan tonus otot

Mengubah posisi pasien secara teratur dapat meningkatkan sirkulasi seluruh tubuh dan
mencegah adanya penekanan pada organ tubuh yang menonjol. Pasien dengan kejang
tidak boleh banyak dirangsang dengan gerakan-gerakan motorik karena akan merangsang
terjadinya kejang. Posisi netral akan mencegah trauma lebih berat pada daerah saraf spinal
dan mencegah bertambahnya TTIK
Mempertahankan fungsi sendi dan mencegah penurunan tonus dan kekuatan otot dan
mencegah kontraktor

Untuk melihat penurunan atau peningkatan fungsi sensoris-motoris (fungsi neurologis)

(1) (2)
5. Buat posisi seluruh persendian dalam letak anatomis dengan memberi penyanggah pada
lekukan-lekukan sendi, telapak tangan dan kaki
6. Lakukan massage, perawatan kulit dan mempertahankan alat-alat tenuin bersih dan
kering
7. Lakukan perawatan mata dengan memberi cairan aira mata buatan dan tutup mata
dengan kasa steril lembab sesuai indikasi.

8. Bantu pasien seluruhnya dalam memenuhi kebutuhan ADL bila kesadaran belum pulih
kembali
9. Observasi BAB dan bantu BAB secara teratur, periksa feses yang mengeras dan terjepit
di anus. Kolaborasi dengan dokter pemberian supositoria dan pengeluaran feses secara
manual bila ada kesukaran BAB
10. Berikan motivasi dan latihan pada pasien dalam memenuhi kebutuhan ADL-nya sesuai
Untuk mencegah kontraktur sendi

Meningkatkan sirkulasi, elastisitas kulit dan integritas kulit


Untuk mencegah iritasi mukosa mata karena kekeringan dan mencegah trauma pada mata
yang tidak dapat tertutup karena penurunan kemampuan gerakan kelopak mata
Bantuan yang diberikan akan mampu memenuhi kebutuhan ADL

Tidak lancarnya BAB akan menyebabkan distensi abdomen dan terjepitnya feses pada
anus akan merangsang refleks vagal yang dapat menambah TTIK. Tidak lancarnya BAB
dapat disebabkan karena kurangnya mobilisasi
Motivasi ini diberikan untuk meningkatkan semangat hidup pasien agar lebih mandiri dalam
(1) (2)
kebutuhan pada tahap rehabilitasi

11. Anjurkan keluarga pasien untuk turut membantu melatih dan memberi motivasi

12. Lakukan kolaborasi dengan tim kesehatan lain (fisioterapi) dan pekerja sosial dalam
terapi fisik dan pekerjaan memenuhi ADL. Hal ini untuk menghindari ketergantungan pasien
pada orang lain.
Keterlibatan keluarga sangat berarti dalam memberikan dukungan moril pasien sehingga
pasien akan optimis dalam keterbatasannya
Dengan memberikan terapi fisik dan pekerjaan akan melatih pasien untuk belajar mandiri
setelah pulang ke rumah

f. Gangguan persepsi sensoris yang disebabkan oleh:


1) Menurunnya tingkat kesadaran (defisit neurologis)
2) Penurunan daya penangkapan sensoris
Tujuan:
Mengembalikan fungsi persepsi sensoris agar mengarah ke pemulihan/ normal dan
komplikasi dapat dicegah atau seminimal mungkin tidak terjadi
Kriteria evaluasi:
1) Tingkat kesadaran normal: GCS = E4 M6 V5
2) Fungsi alat-alat indra baik
3) Pasien kooperatif kembali dan dapat berorientasi pada orang, tempat dan waktu

Intervensi Rasional
(1) (2)
1. Monitor respon sensoris terhadap raba/ sentuhan, panas/ dingin, tajam/ tumpul dan catat
perubahan-perubahan yang terjadi
2. Monitor persepsi pasien, beri umpan balik dan koreksi kemampuan pasien berorientasi
terhadap orang, tempat dan waktu
3. Berikan stimulus yang berarti saat penurunan kesadaran sampai kembali-nya fungsi
persepsi yang maksimal seperti: mengajak bicara (walau tanpa jawaban), taktil dengan
memberikan sentuhan dan pendengaran dengan musik atau bunyi-bunyian.
4. Berbicaralah pada pasien dengan tenang, lembut menggunakan kalimat yang
sederhana. Tunggu respon pasien/ jawaban dengan sabar baik melalui verbal, Informasi
yang didapat melalui pengkajian sangat penting untuk mengetahui tingkat kegawatan dan
kerusakan otak

Hasil pengkajian dapat menginformasikan penurunan fungsi otak yang terkena dan
membantu intervensi selanjutnya
Stimulus dapat merangsang kembalinya kemampuan persepsi sensoris, tingkat kesadaran
dan memori pasien

Membantu pasien berkomunikasi untuk merangsang kondisi pasien, perhatian dan


pemahaman kembali ke arah normal (semaksimal mungkin)

(1) (2)
isyarat atau tulisan
5. Berikan keamanan pasien dengan pengaman sisi tempat tidur, bantu latihan jalan dan
lindungi dari cedera
Gangguan persepsi sensoris dan buruknya keseimbangan dapat meningkatkan resiko
terjadinya injuri

g. Resiko terjadinya infeksi sehubungan dengan:


1) Masuknya kuman melalui jaringan atau kontinuitas yang rusak
2) Kekurangan nutrisi
Tujuan:
Tidak terjadi infeksi baru
Kriteria evaluasi:
1) Tidak terdapatnya tanda-tanda infeksi seperti rabor, dolor, kalor, tumor dan fungsiolesa
2) Tidak ada pus pada daerah kulit yang rusak
3) Tidak ada infeksi dari kateter dan infus set
4) Tidak terjadi abses otak/ meningitis
Intervensi Rasional
(1) (2)
1. Lakukan cuci tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan perawatan secara
aseptik dan antiseptik Untuk mencegah infeksi nosokomial
(1) (2)
2. Monitor suhu tubuh dan penurunan kesadaran
3. Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian obat-obat antibiotik

4. Kolaborasi dengan tim analis untuk pemeriksaan: kadar leukosit, liquor dari hidung,
telinga, dan urin serta kultur resistensi

5. Bila ada perdarahan melalui hidung dan telinga atau liquor yang keluar dari hidung dan
telinga maka tutup dengan kasa steril. Jangan memasukkan alat-alat tidak steril
6. Periksakan cairan/ liquor yang keluar dari hidung dan telinga. Kolaborasi dengan medis
dan analis Untuk mendeteksi tanda-tanda sepsis
Antibiotik berguna untuk membunuh atau memberantas bibit penyakit yang masuk ke
dalam tubuh sehingga infeksi dapat dicegah
Kadar leukosit darah dan urin adalah indikator dalam menentukan adanya infeksi. Liquor
dari mulut dan hidung diperiksa untuk menentukan jenis kuman dan terapi yang akan
digunakan
Bila ada kuman yang masuk melalui hidung dan telinga akan menyebar sampai cairan
serebrospinal sehingga dapat menyebabkan abses otak dan meningitis

Untuk mengkaji apakah berasal dari cairan serebrospinal

h. Gangguan rasa nyaman (pada pasien yang tingkat kesadarannya sudah pulih, GCS =
15): nyeri kepala, pusing dan vertigo disebabkan karena:
Kerusakan jaringan otak dan perdarahan otak/ peningkatan tekanan intrakranial
Tujuan:
Kebutuhan rasa nyaman terpenuhi
Kriteria evaluasi:
1) Pasien tenang, tidak gelisah
2) Nyeri kepala, pusing dan vertigo hilang
3) Pasien dapat istirahat dengan tenang
Intervensi Rasional
(1) (2)
1. Monitor mengenai lokasi, intensitas, penyebaran, tingkat kegawatan dan keluhan-
keluhan pasien
2. Ajarkan latihan teknik relaksasi seperti latihan nafas dalam dan relaksasi otot-otot
Untuk memudahkan membuat intervensi

Latihan nafas dalam dan relaksasi otot-otot dapat mengurangi ketegangan syaraf sehingga
pasien merasa lebih rileks dan dapat mengurangi rasa nyeri kepala, pusing dan vertigo.
Latihan nafas dalam dapat membantu pemasukan oksigen lebih banyak, terutama untuk
oksigenisasi otak

(1) (2)
3. Buat posisi kepala lebih tinggi (150-450)
4. Kurangi stimulus yang tidak menyenangkan dari luar dan berikan tindakan yang
menyenangkan seperti massage daerah punggung, kaki, dll
5. Kolaborasi dengan tim media dalam pemberian obat-obatan analgetik Posisi kepala lebih
atas dari badan dan kaki akan meningkatkan dan melancarkan aliran balik pembuluh darah
vena dari kepala sehingga dapat mengurangi edema dan TTIK
Respon yang tidak menyenangkan menambah ketegangan saraf dan massage daerah
punggung, kaki, dll akan mengalihkan rangsangan terhadap nyeri, pusing dan vertigo

Obat analgetik untuk meningkat-kan ambang rangsang nyeri, pusing yang dapat
mengurangi/ menghilangkan rasa nyeri

i. Gangguan kemampuan proses berfikir dengan baik dan logis yang disebabkan oleh:
1) Konflik psikologis
2) Gangguan fungsi sensoris
Tujuan:
Kemampuan berpikir pasien dapat kembali normal
Kriteria evaluasi:
1) Pasien dapat menerima/ berorientasi terhadap kenyataan
2) Pasien dapat mengenali adanya perubahan-perubahan dalam proses
3) Keluarga dapat menerima perubahan berfikir pasien
4) Pasien mau berperan serta dalam proses latihan atau perawatan
Intervensi Rasional
(1) (2)
1. Monitor kemampuan berfikir dengan menanyakan nama dan orientasi terhadap
lingkungan di sekitarnya; tempat, orang dan waktu.
2. Monitor perhatian dan cara pasien mengalihkan perhatiannya kemudian catat tingkat
kecemasan

3. Berikan penjelasan kepada pasien dan keluarga tentang perubahan berfikir pasien dan
rencana perawatan

4. Ajarkan teknik relaksasi, jangan berikan tantangan berfikir keras dan beri aktifitas sesuai
kemampuan Dengan mengetahui kemampuan berfikir pasien maka dapat ditentukan
rencana latihan-latihan yang berhubungan dengan stimulus proses berpikir dan memori
Pada trauma kepala terutama kontusio serebri akan mengalami penurunan kemampuan
berkonsentrasi dan dalam memusatkan perhatian. Hal ini menimbulkan kecemasan.
Dengan memberi penjelasan kepada pasien dan keluarga, dapat mengurangi kecemasan
pasien dan keluarga, sehingga dapat diajak bekerja sama dalam mengantisipasi keadaan
dan meningkatkan peran sosial
Tindakan ini melatih pasien dalam memusatkan perhatian sehingga lambat laun
kemampuan berpikir pasien akan pulih kembali (sesuai dengan kerusakan otak yang
terjadi).

(1) (2)
5. Beritahu pasien dan keluarga bahwa fungsi intelektual, fungsi perilaku dan emosi lambat
laun akan normal bila kerusakan otak dapat pulih kembali. Tetapi efek-efek tertentu dapat
bertahan sebagai gejala sisa.
Dengan penjelasan yang tepat dan keterbukaan tim pelayanan kesehatan terhadap pasien
dan keluarga akan memberikan kesiapan dan kesabaran dalam latihan-latihan saat proses
rehabilitasi

j. Resiko terhadap cedera berhubungan dengan gerakan tonik/ klonik tak terkontrol selama
episode kejang dan/ atau somnolen
Tujuan:
Cedera tidak terjadi
Kriteria evaluasi:
1) Klien tidak mengalami cedera
2) Tidak terjadi luka baru
3) Kesadaran meningkat
Intervensi Rasional
(1) (2)
1. Libatkan keluarga untuk terus menemani klien
2. Modifikasi lingkungan dengan cara:
Keluarga dapat mengawasi keadaan klien dan menghindari perilaku yang membahayakan
klien
Lingkungan yang aman dapat mengurangi resiko cedera

(1) (2)
- menjauhkan benda-benda tajam, memasang bed plang, bantahan di pinggir tempat tidur
3. Pasang restrain dan fiksasi klien bila perlu
4. Berikan penjelasan pada keluarga tentang pencegahan trauma

Mencegah gerakan yang tidak terkontrol yang dapat menimbulkan cedera


Keluarga dapat mengetahui dan memahami cara mencegah trauma

k. Perubahan eliminasi urinarius (inkontinen atau retensi) berhubungan dengan penurunan


kesadaran
Tujuan:
Retensi atau inkontinensi tidak terjadi
Kriteria evaluasi:
1) Klien dapat BAK dengan lancar
2) Pola BAK terkontrol
3) Warna urine kuning muda
Intervensi Rasional
(1) (2)
1. Monitor intake dan output urine
2. Palpasi distensi kandung kemih dan observasi pengeluaran urine
Mengetahui keseimbangan cairan klien
Mengidentifikasi adanya kontraksi kandung kemih

(1) (2)
3. Bersihkan daerah perineum dan jaga agar tetap kering
4. Lakukan pemasangan dan perawatan kateter, jika perlu
5. Latih klien teknik bladder training bila klien sehat Mencegah infeksi pada meatus uretra
externa
Dapat menurunkan resiko terjadinya iritasi kulit atau infeksi
Melatih otot spinkter uretra eksterna sehingga kontrol klien untuk BAK meningkat.

3. Implementasi (Effendy, Nasrul, 1995: 40)


Pada tahap ini dilakukan pelaksanaan dari perencanaan keperawatan yang telah
ditentukan, dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan pasien secara optimal. Pelaksanaan
tindakan pada klien dengan gangguan sistem persyarafan akibat trauma kepala difokuskan
pada tindakan-tindakan yang ditujukan pada upaya untuk mengembalikan tekanan intra
kranial pada kondisi normal (50-200 mmH2O atau 4 15 mmHg), kebutuhan O2 ke otak
terpenuhi, pemenuhan kebutuhan nutrisi yang adekuat, pemenuhan kebutuhan aktifitas
sehari-hari klien, mengembalikan fungsi persepsi sensori dan fungsi kognitif kembali normal
serta pencegahan terjadinya cedera berulang.
4. Evaluasi (Nasrul Effendy, 1995: 46)
Tahap penilaian atau evaluasi adalah perbandingan yang sistematik dan terencana tentang
kesehatan pasien dengan tujuan yang telah ditetapkan, dilakukan dengan cara
berkesinambungan dengan melibatkan pasien dan tenaga kesehatan lainnya.
Evaluasi dalam keperawatan merupakan kegiatan dalam melaksanakan rencana tindakan
yang telah ditentukan untuk mengetahui pemenuhan kebutuhan pasien secara optimal dan
mengukur hasil dari proses keperawatan.
Evaluasi keperawatan adalah mengukir keberhasilan dari rencana dan pelaksanaan
tindakan keperawatan yang dilakukan dalam memenuhi kebutuhan pasien.
Kriteria keberhasilan pada klien dengan gangguan sistem persyarafan akibat trauma kepala
adalah klien berada pada kondisi kesadaran penuh dengan nilai GCS: 15, tanpa adanya
kecacatan fisik dan gejala sisa.

Anda mungkin juga menyukai