1. PENGERTIAN
Medula spinalis ( spinal cord) merupakan bagian susunan sarafpusat yang terletak di dalam kanalis vertebralis dan
menjulur dari foramen magnum ke bagian atas region lumbalis .Trauma pada medulla spinalis dapat bervariasi dari
trauma ekstensi fiksasi ringan yang terjadi akibat benturan secara mendadak sampai yang menyebabkan transeksi
lengkap dari medulla spinalis dengan quadriplegia.
1. ETIOLOGI
1) Kecelakaan di jalan raya ( penyebab paling sering)
2) Kecelakaan Olahraga
5) Gangguan lain yang dapat menyebabkan cedera medulla spinalis seperti spondiliosis servikal dengan
mielopati, yang menghasilkan saluran sempit dan mengakibatkan cedera progresif terhadap medulla spinalis dan
akar ; mielitis akibat proses inflamasi infeksi maupun non infeksi ; osteoporosis yang di sebabkan oleh fraktur
kompresi pada vertebra ; siringmielia ; tumor infiltrasi maupun kompresi ; dan penyakit vascular.
1. PATOFISIOLOGI
Cedera medulla spinalis kebanyakan terjadi sebagai akibat cedera pada vertebra. Medula spinalis yang mengalami
cedera biasanya berhubungan dengan akselerasi , deselerasi atau kelainan yang di akibatkan oleh berbagai tekanan
yang mengenai tulang belakang. Tekanan cedera pada medulla spinalis mengalami kompresi, tertarik, atau merobek
jaringan. Lokasi cedera umumnya mengenai C1 dan C2,C4,C6 dan T11, atau L2.
Fleksi rotasi ,dislokasi,dislokasi fraktur, umumnya mengenai servikal pada C5 dan C6.Jika mengenai spina
torakolumbar, terjadi pada T12-L1.Fraktur lumbal adalah fraktur yang terjadi pada daerah tulang belakang bagian
bawah.Bentuk cedera ini mengenai ligament,fraktur vertebra,kerusakan pembuluh darah,dan mengakibatkan iskemia
pada medulla spinalis.
Hiperekstensi .Jenis cedera ini umumnya mengenai klien dengan usia dewasa yang memiliki perubahan degenerative
vertebra,usia muda yang mendapat kecelakaan lalu lintas saat mengendarai kendaraan, dan usia muda yang
mengalami cedera leher saat menyelam.Jenis cedera ini menyebabkan medulla spinalis bertentangan dengan
ligamentum flava dan mengakibatkan kontusio kolom dan dislokasi vertebra.Transeksi lengkap dan medulla spinalis
dapat mengikuti cedera hiperekstensi.Lesi lengkap dari medulla spinalis mengakibatkan kehilangan pergerakan
volunter menurun pada daerah lesi dan kehilangan fungsi reflex pada isolasi bagian medulla spinalis.
Kompresi.Cedera kompresi sering disebabkan karena jatuh atau melompat dari ketinggian dengan posisi kaki atau
bokong (duduk). Tekanan mengakibatkan fraktur vertebra dan menekan medulla spinalis .Diskus dan fragmen tulang
dapat masuk ke medulla spinalis .Lumbal dan toraks vertebra umumnya akan mengalami cedera serta menyebabkan
edema dan perdarahan. Edema pada medulla spinalis mengakibatkan kehilangan fungsi sensasi.
1. KLASIFIKASI
1) Cedera tulang
1. Stabil.Bila kemampuan fragmen tulang tidak memengaruhi kemampuan untuk bergeser lebih jauh selain
yang terjadi saat cedera.Komponen arkus neural intak serta ligament yang menghubungkan ruas tulang
belakang,terutama ligament longitudinal posterior tidak robek.Cedera stabil disebabkan oleh tenaga
fleksi,ekstensi,dan kompresi yang sederhana terhadap kolumna tulang belakang dan paling sering tampak
pada daerah toraks bawah serta lumbal (fraktur baji badan ruas tulang belakang sering disebabkan oleh fleksi
akut pada tulang belakang).
2. Tidak stabil.Fraktur mempengaruhi kemampuan untuk bergeser lebih jauh.Hal ini disebabkan oleh adanya
elemen rotasi terhadap cedera fleksi atau ekstensi yang cukup untuk merobek ligament longitudinal posterior
serta merusak keutuhan arkus neural, baik akibat fraktur pada fedekel dan lamina, maupun oleh dislokasi
sendi apofiseal.
2) Cedera neurologis
1. GEJALA KLINIS
Cedera tulang belakang harus selalu diduga pada kasus dimana setelah cedera klien mengeluh nyeri serta
terbatasnya pergerakan klien dan punggung.
1. PENATALAKSANAAN MEDIS
1) Terapi dilakukan untuk mempertahankan fungsi neurologis yang masih ada, memaksimalkan pemulihan
neurologis,tindakan atas cedera lain yang menyertai,mencegah,serta mengobati komplikasi dan kerusakan neural
lebih lanjut.Reabduksi atas subluksasi (dislokasi sebagian pada sendi di salah satu tulang ed) untuk
mendekompresi koral spiral dan tindakan imobilisasi tulang belakang untuk melindungi koral spiral.
2) Operasi lebih awal sebagai indikasi dekompresi neural, fiksasi internal atau debridement luka terbuka
3) Fiksasi internal elektif dilakukan pada klien dengan ketidakstabilan tulang belakang, cedera ligament tanpa
fraktur, deformitas tulang belakang progresif , cedera yang tak dapat direabduksi,dan fraktur non-union.
4) Terapi steroid,nomidipin, atau dopamine untuk perbaiki aliran darah koral spiral.Dosis tertinggi metil
prednisolon/bolus adalah 30 mg/kgBB diikuti 5,4 mg/kgBB/jam untuk 23 jam berikutnya.Bila diberikan dalam 8 jam
sejak cedera akan memperbaiki pemulihan neurologis. Gangliosida mungkin juga akan memperbaiki pemulihan
setelah cedera koral spiral.
5) Penilaian keadaaan neurologis setiap jam,termasuk pengamatan fungsi sensorik,motorik, dan penting untuk
melacak deficit yang progresif atau asenden.
6) Mempertahankan perfusi jaringan yang adekuat,fungsi ventilasi, dan melacak keadaan dekompensasi.
7) Pengelolaan cedera stabil tanpa defisit neurologis seperti angulasi atau baji dari badan ruas tulang
belakang,fraktur proses transverses ,spinosus,dan lainnya.Tindakannya simptomatis (istirahat baring hingga nyeri
berkurang),imobilisasi dengan fisioterapi untuk pemulihan kekuatan otot secara bertahap
8) Cedera tak stabil disertai defisit neurologis.Bila terjadi pergeseran ,fraktur memerlukan reabduksi dan posisi
yang sudah baik harus dipertahankan.
a) Pergeseran yang cukup besar yang terjadi saat cedera menyebabkan trauma langsung terhadap koral spiral
atau kerusakan vascular
b) Tulang belakang yang sebetulnya sudah rusak akibat penyakit sebelumnya seperti spondiliosis servikal
Pengelolaan kelompok ini tergantung derajat kerusakan neurologis yang tampak pada saat pertama kali di periksa :
1. PENGELOLAAN CEDERA
1.Pengelolaan hemodinamik
1. Bila tejadi hipotensi,cari sumber perdarahan dan atasi syok neurogenik akibat hilangnya aliran adrenergic
dari system saraf simpatis pada jantung dan vascular perifer setelah
2. cedera diatas tingkat T .Terjadi hipotensi, bradikardia,dan hipotermi.Syok neurogenik lebih mengganggu
distribusi volume intravascular daripada menyebabkan hipovalensi sejati sehingga perlu pertimbangan
pemberian terapi atropine,dopamine,atau fenilefrin jika penggantian volume intravascular tidak bereaksi
3. Pada fase akut setelah cedera,dipasang beberapa jalur intravena perifer dan pengamatan tekanan darah
melalui jalur arteri dipasang,dan resusitasi cairan dimulai
4. Bila hipotensi tak bereaksi atas cairan dan pemberian tranfusi, lakukan kateterisasi pada arteri pulmonal
untuk mengarahkan ke perbedaan mekanisme hipovolemik, kardiogenik atau neurogenik.
2.pengelolaan system pernapasan
1. Lakukan pemeriksaan CT-Scan berhubungan dengan omen/lavasi peritoneal bila diduga ada perdarahan
atau cedera berhubungan dengan ominal.
2. Bila ada ileus lakukan pengisapan (suction) nasogastrik, penggantian elektrolit ,dan pengamatan status
cairan .
3. Terapi nutrisional awal yang harus dimetabolisme (50-100% diatas normal).
4. Bila ada hiperalimentasi internal elemental . pasang duoclenol yang fleksibel melalui atau dengan dengan
bantuan fluoroskopi(ileus).
5. Pencegahan ulkus dengan antagonis Hz (simetidin , ranitidin ) atau antacid.
6. Bila mendapat gastric feeding, pasang duodenal feeding (NGT).
7. Beri difonoksilat hidroklorida dengan atropin sulfat bila mendapat NGT untuk mencegah diare.
8. Jika terjadi kehilangan fungsi sfingter anal beri dulcolax.
4. pengelolaan gangguan koagulasi
1. Untuk mencegah terjadinya thrombosis vena dan emboli paru beri heparin dosis minimal (500 untuk
subkutan , 2-3 x sehari).
2. Ranjang yang berosilasi.
3. Ekspansi volume.
4. Stoking elastic setinggi paha.
5. Strokering prenmatis anti emboli.
6. Antiplatelet serta anti koagulasi untuk pencegahan.
5. pengelolaan genitourinaria
1. Untuk mencegah tekanan langsung pada kulit , kurang berfungsi jaringan, dan kurangnya mobilitas ,
gunakan busa atau kulit kambing penyanggan tonjolan tulang.
2. Putar atau ganti posisi tubuh berulang.
3. Perawatan kulit yang baik.
4. Gunakan ranjang yang berosilasi.
7. pengelolaan pasien paraplegia
1. Respirasi dengan pemasangan endotrakea , kemudian trakeostomi serta perbaikan keadaan neurologi
dengan menutup trakeostomi.
2. Perawatan kulit dengan mengubah posisi tidur pasien setiap 2 jam.
3. Kandung kemih:
- Lakukan kompresi manual untuk mengosongkan kandung kemih secara teratur agar mencegah terjadinya
inkontenensia overflow dan drobbling.
- Kateterisasi intermittten.
- Kateterisasi indwelling.
- Gunakan laksatif.
- Pemberian supositoria.
- Enema untuk BAB atau pengosongan rectum teratur tanpa inkontinensia mendadak.
1. Anggota gerak
- Cegah kontraktur akibat pembedahan spastisitas kelompok otot berlawanan dengan latihan memperbaiki
medikasi dan mencegah pemisahan tendo tertentu.
- Nutrisi umum tinggi kalori.
1) Rehabilitasi fisik
1. Fisioterapi dan latihan peregangan otot yang masih aktif pada lengan atas dan tubuh bagian bawah.
2. Pebiasaan terhadap alat dan perangkat rumah tangga.
3. Perlengkapan splint dan kapiler.
4. Transplantasi tendon.
2) Perbaikan mobilisasi
1. Latihan dengan kapiler dan kruk untuk pasien cedera tulang belakang bawah.
2. Latihan kursi roda untuk pasien dengan otot tulang belakang dan tungkai yang tak berfungsi.
3. Kendaraan khusus untuk dijalan raya.
4. Rehabilitasi psikologis.
5. Penerimaan di rumah
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
Pengkajian :
- Kelumpuhan otot (terjadi kelemahan selama syok spinal) pada bawah lesi.
- Kelemahan umum atau kelemahan otot (trauma dan adanya kompresi saraf).
1. Sirkulasi
Gejala : berdebar-debar , pusing saat melakukan perubahan posisi.
Tanda :
1. Eliminasi
Tanda :
- Inkontinensia defekasi dan berkemih .
- Retensi urine.
1. Inegritas ego
Gejala : menyangkal , tidak percaya , sedih , marah.
1. Hygiene
Tanda : sangat ketergantungan dalam melakukan aktivitas sehari-hari (bervariasi).
1. Neurosensorik
Gejala :
- Paralisis flaksid atau spastisitas dapat terjadi saat syok spinal teratasi , bergantung pada area spinal yang sakit.
Tanda :
- Kelumpuhan , kesemutan (kejang dapat berkembang saat terjadi perubahan pada syok spinal ).
- Perubahan reaksi pupil , ptosis , hilangnya keringat dari berbagai tubuh yang terkena karena pengaruh spinal.
1. Nyeri /kenyamanan
Gejala :
Tanda :
- Mengalami deformitas.
1. Pernapasan
Gejala : napas pendek , kekurangan oksigen , sulit bernapas.
Tanda : pernapasan dangkal atau labored , periode apnea , penurunan bunyi napas, ronkhi , pucat, sianosis.
1. Keamanan
Gejala : suhu yang berluktuasi ( suhu tubuh di ambil dalam suhu kamar ).
1. Seksualitas
Gejala : keinginan untuk kembali berfungsi normal
1. Penyuluan / pembelajaran
Rencana pemulangan :
- Pasien akan memerlukan bantuan dalam transportasi , berbelanja , menyiapkan makanan , perawatan diri,
keuangan , pengobatan atau terapi , atau tugas sehari-hari di rumah.
- Pasien akan membutuhkan perubahan susunan rumah , penempatan alat di tempat rehabilitasi.
DIAGNOSIS KEPERAWATAN
1. Ketidakefektifan pola nafas b.d kerusakan tulang punggung ,disfungsi neurovascular, kerusakan system
muskuloskletal , ditandai dengan :
DS : pasien mengatakan sulit bernapas , sesak napas.
DO : penurunan tekanan alat inspirasi dan respirasi , penurunan menit ventilasi, pemakaian otot pernapasan,
pernapasan cuping hidung, dispnea, orthopnea, pernapasan lewat mulut, frekuensi dan kedalaman pernapasan
abnormal, penurunan kapasitas vital paru.
1. Resiko penurunan curah jantung b.d kerusakan jaringan otak , ditandai dengan :
DS : Pasien / keluarga mengatakan pasien mengalami kebingungan .
DO : Penurunan tingkat kesadaran (bingung ,letargi, stupor, koma), perubahan tanda vital, mungkin terdapat
perdarahan pada otak , papiledema, nyeri kepala yang hebat.
1. Gangguan atau kerusakan mobilitas fisik b.d gangguan neurovascular , ditandai dengan :
DS : Pasien / keluarga mengatakan adanya kesulitan bergerak.
DO : Kelemahan , Parestesia, Paralisis, Tidak mampu , Kerusakan koordinasi , Keterbatasan rentang otak ,
Penurunan kekuatan otot.
DO : Disartria, Afasia ,Kata-kata, tidak di mengerti, tidak mampu memahami bahasa lisan
1. Ketidaseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan ketidakmampuan
menelan sekunder terhadap paralisis, di tandai dengan:
DS : Pasien / keluarga mengatakan adanya kesulitan menelan makanan .
DO : Klien menunjukkan ketidakadekuatan nutrisi, terjadi penurunan BB 20 % atau lebih dari berat badan ideal,
Konjungtiva anemis, Hb abnormal, sulit membuka mulut, sulit menelan, lidah sulit di gerakkan.
1. Resiko aspirasi yang berhubungan dengan kehilangan kemampuan untuk menelan, di tandai dengan:
DS : Klien mengatakan sulit menelan.
1. Risiko cedera atau trauma yang berhubungan dengan paralisis, di tandai dengan:
DS : Klien atau keluarga mengatakan kelumpuhan anggota gerak.
Diagno
se
kepera
N watan Tujuan Intervensi rasional
Setelah
dilakukan
tindakan 1. Kaji skala nyeri (P,Q,R,S,T)
keperawat
an selama
124 jam
diharapka
1. Istirahatkan leher pada posisi fisiologis.
n nyeri
berkurang
2 skala
dari skala
sebelumn 1. Ajarkan teknik relaksasi napas dalam pada saat nyeri muncul.
ya ,
dengan
criteria 1. Batasi jumlah pengunjung dan ciptakan lingkungan tenang.
hasil:
-
Secara
subjektif
pasien
mengatak
an nyeri
berkurang
.
Nyeri 1. Kolaborasi dengan tim medis untuk pemberian analgesic.
b.d 2. Sebagai indicator untuk menentukan tindakan selanjutnya .
-
kompre 3. Posisi fisiologi akan menurunkan kompresi saraf leher untuk menjaga
Pasien
si akar kestabilan.
tidak
saraf 4. Meningkatkan asuan O2 sehingga menurunkan nyeri sekunder.
gelisah.
servikal 5. Pembatasan jumlah pengunjung akan membantu meningkatkan kondisi O2 dan
is lingkungan yang tenang akan menurunkan stimulud nyeri
1 6. Untuk proses penyembuhan pasien dan menurunkan tingkat nyeri.
2 Ketidak Setelah 1. Observasi tanda vital tiap jam atau sesuai respons klien. 1. Untuk
efektifa dilakukan mengeta
n pola intervensi i keadaan
nafas selama umum
b.d 124 jam,
kerusak dengan 2. Istirahatkan klien dalam posisi semiflowler. pasien.
an kriteria:
tulang
punggu
2. Posisi
ng
1.Klien semifowl
,disfung
akan memban
si
merasa dalam
neurov 3. Pertahankan oksigenasi NRM 8-
nyaman. ekspansi
ascular, 10/mnt. otot-otot
kerusak
2.Klien pernapas
an
mengatak n dengan
system
an sesak pengaruh
muskul
berkurang gravitasi.
oskletal
dan dapat
memband
ingkan
dengan 3.
keadaan Oksigena
sesak sangat
pada saat penting
serangan untuk
yang reaksi
berbeda yang
waktu. memelih
a suplai
3.TD ATP.
dalam Kekurang
batas n oksigen
normal: pada
jaringan
Bayi:90/6 akan
0 mmHg memben
k asam
3- laktat
6th:110/70 (asidosis
mmHg metabolik
7- serta
10th:120/8 asidosis
0 mmHg 4.Kolaborasi pemeriksaan AGD.
respirato
11- ) yang
17th:130/8 dapat ak
0 mmHg menghen
18- kan
44th:140/9 metabolis
0 me.Rege
mmHg erasi ATP
akan
45- berhenti
64th:150/9 sehingga
5 mmHg tidak ada
>65th:160/ lagi
95mmHg sumber
energy
yang teri
(Campbell dan terja
,1978) kematian
(Roper N
1996)
Nadi
dalam
batas
normal: 4. Untuk
proses
Janin:120 penyemb
-160x/mnt han
pasien.
Bayi:80-
180x/mnt
Anak:70-
140x/mnt
Remaja:5
0-
110x/mnt
Dewasa:7
0-82x/mnt
(Campbell
,1978)
4.AGD
dalam
batas
normal:
pH:7,35-
7,45
C02:20-
26 mEq
(bayi),26-
28 mEq
(dewasa)
PO2(PaO
2):80-110
mmHg
PCO2(Pa
CO2):35-
45mmHg
SaO2:95-
97%
4. Cahay
merupak
8. Awasi kecepatan tetesan cairan infus. salah sat
rangsang
n yang
berisiko
9. Berikan makanan menggunakan sonde sesuai jadwal. terhadap
peningka
n TIK.
5.
Memban
drainase
10. Pasang pagar tempat tidur. vena unt
mengura
gi konges
serebrov
kular
6.
11. Pantau tanda dan gejala peningkatan TIK dengan cara: Rangsan
an oral
risiko
terjadi
*Kaji respons membuka mata
peningka
n TIK.
4=spontan
3=dengan perintah
7.
2=dengan nyeri
Tindakan
1=tidak berespon yang kas
berisiko
terhadap
peningka
*Kaji respons verbal n TIK.
1.
u
s
k
ti
l
d
a
d
a
d
g
m
n
v
u
i
p
m
u
a
m
a
d
re
p
s
m
o
.
T
a
a
re
p
s
m
n
ju
k
k
u
k
m
s
fa
n
(Hickey,
1992 citC
rpenito,
1995)
1.
e
b
a
p
il
m
n
ju
k
te
a
n
p
a
s
a
o
lo
o
ri
a
u
o
k
.
2.
e
b
a
ta
d
v
l
m
n
d
a
p
in
k
a
T
.
3.
u
a
a
b
d
te
a
n
p
a
m
d
a
1.
n
k
m
n
ra
g
m
n
ja
y
g
m
n
b
k
p
in
k
a
te
a
n
in
a
c
n
.
4 Gangg Setelah 1. Kaji fungsi motorik dan sensorik dengan,mengobservasi setiap ekstremitasn secara 1. Lobus
uan dilakukan terpisah terhadap kekuatan dan gerakan normal,respons terhadap rangsang. frontal da
atau intervensi parietal
kerusak keperawat berisi
an an,klien saraf-sar
mobilita akan yang
s fisik memiliki mengatu
2. Ubah posisi klien setiap 2 jam.
yang mobilitas posisi
berhub fisik yang motorik
ungan maksimal, dan
dengan dengan sensorik
ganggu criteria: dan dapa
an dipengar
neurov 1.Tidak i oleh
ascular ada iskemia
kontraktur atau
otot. peningka
n tekana
2. Tidak 3. Lakukan latihan secara teratur dan letakkan telapak kaki klien dilante saat duduk
ada dikursi atau papan penyangga saat tidur ditempat tidur. 2.
ankilosis Mencega
pada terjadinya
sendi. luka teka
4. Topang kaki saat mengubah posisi dengan meletakkan bantal disatu sisi saat
akibat tid
membalik klien.
terlalu
lama pad
3.Tidak
satu sisi
terjadi
sehingga
penyusuta
jaringan
n otot 5. Pada saat klien ditempat tidur letakkan bantal diketiak diantara lengan atas dan yang
dinding dada untuk mencegah abduksi bahu dan letakkan lengan posisi b.d abduksi tertekan
4. Efektif sekitar 600. akan
pemakaia kekurang
n alat n nutrisi
6. jaga lengan dalam posisi sedikit fleksi. Letakkan telapak tangan di atas bantal yang
lainnya seperti posisi patung liberty dengan siku di atas bahu dan pergelangan tangan di dibawa
atas siku. darah
melalui
7. letakkan tangan dalam posisi berfungsi dengan jari-jari sedikit fleksi dan ibu jari dalam oksigen.
posisi berhubungan dengan abduksi. Gunakan pegangan berbentuk roll. Lakukan latihan
pasif. Jika jari dan pergelangan spastik, gunakan splint.
8. lakukan latihan di tempat tidur. Lakukan latihan kaki sebanyak 5 kali kemudian di 3.
tingkatkan secara perlahan sebanyak 20 kali setiap kali latihan. Mencega
deformita
9. lakukan latihan berpindah(ROM) dan
4 x sehari setelah 24 jam serangan stroke jika sudah tidak mendapat terapi. komplika
sepertifo
drop.
4. Dapat
terjadi
dislokasi
panggul
jika
11. gunakan kursi roda bagi klien hemiplegia. meletakk
n kaki
terkulai
dan jatuh
Dan
mencega
fleksi.
5. Posisi
ini
membida
gi bahu
dalam
berputar
dan
mencega
edema d
akibat
fibrosis.
6.
Mencega
kontraktu
fleksi.
7.
Memban
klien
hemipleg
latihan d
tempat
tidur
berarti
memberi
n dan
mempers
pkan
aktivitas
kemudian
hari akan
perasaan
optimis
sembuh.
8. Klien
hemipleg
dapat
belajar
menggun
kan
kakinya
yang
mengala
kelumpun
n.
9. Lenga
dapat
menyeba
kan nyer
dan
keterbata
an
pergerak
n
berhubun
an denga
fibrosis
sendi ata
subluksa
10. Klien
hemipleg
mempun
i ketidak
seimban
n sehing
perlu di
bantu
untuk
keselama
an dan
keamana
11. Klien
hemipleg
perlu
latihan
untuk
belajar
berpinda
tempat
dengan
cara ama
dari kurs
toilet, dan
kursi rod
- Pasien
tampak
bersih 2.
dan rapi Memand
an klien
merupak
salah sat
cara
memperk
cil infeks
nosokom
l. Dengan
3. Bantu klien berpakain. memand
an klien,
perawat
akan
menemu
n berbag
kelainan
pada kuli
seperti
tanda lah
luka
memar,
callus, ku
pucat
karena
dingin,
kutil,
bentuk
kuku,
dekubitus
ruam kul
ulkus, ata
borok.
3. Berapa
rumah
sakit
menyedia
an pakai
khusus
untuk
klien.
Namun
5. bantu klien mengganti alas tempat tidur. ada yang
tidak,.
Klien yan
harus
mengena
an pakai
RS karen
di rawat
dalam
keadaan
emergen
tidak ada
keluarga
yang
menguru
cucian
6. ganti alas tempat tidur.
pakaian,
menderit
penyakit
menular,
menderit
inkontine
sia urin,
atau aka
melaksan
kan
tindakan
pembeda
an.
4. Menyis
rambut
merupak
bentukfis
terapi.
Menyisir
rambut
klien. Di
lakukan
perawata
terutama
pada klie
yag tidak
berbahay
5.
Merupak
salah sat
kebutuha
fisiologis
manusia
Klien yan
tak
berdaya
dapat
mengala
inkontine
sia BAB
dan BAK
sehingga
menimbu
an bau d
sekitarny
dan infek
kulit,
sehingga
perawat
perlu
memberi
n bantua
6.
Pengalas
tempat
tidur yan
kotor
merupak
tempat
berkemb
g biaknya
kuman.
- 1.
Makanan a
yang n
disediaka y
n sesuai g
kebutuha te
n nutrisi h
habis s
ia
- Berat a
badan d
dalam s
batas u
maksimal k
d
g
k
u
h
k
n
1.
e
b
a
m
k
p
a
k
n
s
u
k
d
g
k
u
h
n
ri
d
d
g
s
p
y
it
P
m
e
n
m
k
a
d
s
u
k
u
a
je
s
k
a
n
B
d
T
a
v
s
s
u
tu
u
m
b
k
Kebutuha
karbohid
di
sesuaika
dengan
kesanggu
an tubuh
untuk
menggun
kannya.
8 Resiko Setelah 1. Kaji tanda aspirasi seperti demam, bunyi crackles, bunyi ronkhi,bingung, 1.
aspirasi dilakukan penurunan Pa02 pada AGD, meberikan makanan dengan oral atau NGT dengan ie
yang tindakan senter pada bagian pipi dengan spatel, lemaskan otot lidah, gunakan tisu lembut d
b.d keperawat di bawah mandibula dan angkat ujung lidah dari belakang. g
kehilan an selama 2. Kaji perubahan warna kulit seperti sianosis, pucat. h
gan 124 jam m
kemam pasien la
puan tidak a
untuk menunjuk m
menela an tanda- n
n tanda la
aspirasi. i
Dengan k
criteria e
hasil: a
n
- Tidak m
tersedak n
ketika a
makan s
,tidak in
demam g
,tidak re
batuk k
ketika a
makan , ir
tidak ada i.
ronkhi
- Tidak
ada
perubaha
n warna
kulit
1.
k
te
a
a
ir
i
k
n
a
n
m
n
la
i
k
u
a
b
n
a
s
in
g
g
g
a
p
tu
a
n
g
y
g
ta
d
d
g
s
a
n
a
s
n
is
p
a
1.
ie
d
g
g
g
a
s
s
i
ri
k
tr
u
a
1.
a
g
n
v
u
m
n
g
tk
n
ri
k
k
n
h
m
le
a
tr
u
a
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
Batticaca ,B. Fransisca.2008.Asuhan Keperawatan dengan Gangguan Sistem Persaraan. Jakarta: Salemba Medika
Komplikasi
Kerusakan medula spinalis dari komorsio sementara ( dimana pasien sembuh sempurna )
sampai kontusio, laserasi, dan komperensi substansi medula ( baik salah satu atau dalam kombinasi ),
sampai transaksi lengkap medula ( yang membuat pasien paralisis dibawah tingkat cidera ).
Bila hemoragi terjadi pada daerah spinalis,darah dapat merembes keekstra dural,subdural,atau
daerah subarakhloid pada kanal spinal.Setelah terjadi kontisio atau robekan akibat cidera,serabut-serabut
saraf mulai membengkak dan hancur.Sirkulsi darah kesubtansia grisea medula spinalis menjadi
terganggu.
Daerah lumbal adalah daerah yang paling sering mengalami herniasi nukleus pulposus.
Kandungan air diskus berkurang bersamaa dengan bertambahnya usia. Selain itu,serabut-serabut itu
menjadi kasar dan mengalami hialinisasi yang ikut membantu terjadinya perubahan kearah hernia
nukleus pulposus melalui anulus,dan menekan radiks saraf spinal.
PENDARAHAN MIKROSKOPIK
Pada semua cidera madula spinalis atau vertebra,terjadi perdarahan-perdarahan kecil.Yang
disertaireaksi peradangan,sehingga menyebabkan pembengkakan dan edema dan mengakibatkan
terjadinya peningkatan tekanan didalam dan disekitar korda.Peningkatan tekanan menekan saraf dan
menghambat aliran darah sehingga terjadi hipoksia dan secara drastis meningkatkan luas cidera
korda.Dapat timbul jaringan ikat sehingga saraf didarah tersebut terhambat atau terjerat.
SYOK SPINAL.
Syok spinal adalah hilangnya secara akut semua refleks-refleks dari dua segme diatas dan
dibawah tempat cidera. Repleks-refleks yang hilang adalah refleks yang mengontrol postur, fungsi
kandung kemih dan rektum, tekanan darah, dan pemeliharaan suhu tubuh. Syok spinal terjadi akibat
hilangnya secara akut semua muatan tonik yang secara normal dibawah neuron asendens dari otak,
yang bekerja untuk mempertahankan fungsi refleks.Syok spinl biasanya berlangsung antara 7 dan 12
hari, tetapi dapat lebih lama. Suatu syok spinal berkurang dapat tmbul hiperreflekssia, yang ditadai oleh
spastisitas otot serta refleks, pengosongan kandung kemih dan rektum.
HIPERREFLEKSIA OTONOM.
Kelainan ini dapat ditandai oleh pengaktipan saraf-saraf simpatis secar refleks, yang
meneyebabkan peningkatan tekanan darah. Hiper refleksia otonom dapat timbul setiap saat setelah
hilangnya syok spinal. Suatu rangsangan sensorik nyeri disalurkan kekorda spnalis dan mencetukan
suatu refleks yang melibatkan pengaktifan sistem saraf simpatis.Dengan diaktifkannya sistem
simpatis,maka terjadi konstriksi pembuluh-pembuluh darah dan penngkatan tekanan darah sistem
Pada orang yang korda spinalisnya utuh,tekanan darahnya akan segera diketahui oleh
baroreseptor.Sebagai respon terhadap pengaktifan baroreseptor,pusat kardiovaskuler diotak akan
meningkatkan stimulasi parasimpatis kejantung sehingga kecepatan denyut jantunhg melambat,demikian
respon saraf simpatis akan terhenti dan terjadi dilatasi pembuluh darah.Respon parasimpatis dan
simpatis bekerja untuk secara cepat memulihkan tekanan darah kenormal.Pada individu yang mengalami
lesi korda,pengaktifan parasimpatis akan memperlambat kecepatan denyut jantung dan vasodilatasi
diatas tempat cedera,namun saraf desendens tidak dapat melewati lesi korda sehngga vasokontriksi
akibat refleks simpatis dibawah tingkat tersebut terus berlangsung.
Pada hiperrefleksia otonom,tekanan darah dapat meningkat melebihi 200 mmHg
sistolik,sehingga terjadi stroke atau infark miokardium.Rangsangan biasanya menyebabkan
hiperrefleksia otonom adalah distensi kandung kemih atau rektum,atau stimulasi reseptor-reseptor
permukaan untuk nyeri.
PARALISIS
Paralisis adalah hilangnya fungsi sensorik dan motorik volunter.Pada transeksi korda
spinal,paralisis bersifat permanen.Paralisis ekstremitas atas dan bawah terjadi pada transeksi korda
setinggi C6 atau lebih tinggi dan disebut kuadriplegia.Paralisis separuh bawah tubuh terjadi pada
transeksi korda dibawah C6 dan disebut paraplegia.Apabila hanya separuh korda yang mengalami
transeksi maka dapat terjadi hemiparalisis.
a. Autonomic Dysreflexia
terjadi adanya lesi diatas T6 dan Cervical
Bradikardia, hipertensi paroksimal, berkeringat banyak, sakit kepala berat, goose flesh, nasal stuffness
b. Fungsi Seksual
Impotensi, menurunnya sensasi dan kesulitan ejakulasi, pada wanita kenikmatan seksual berubah
Penatalaksanaan medis
Menurut Muttaqim, (2008 hlm.111) penatalaksanaan pada trauma tulang belakang yaitu :
A. Pemeriksaan klinik secara teliti:
a) Pemeriksaan neurologis secara teliti tentang fungsi motorik, sensorik, dan refleks.
b) Pemeriksaan nyeri lokal dan nyeri tekan serta kifosis yang menandakan adanya fraktur dislokasi.
c) Keadaan umum penderita.
B. Penatalaksanaan fraktur tulang belakang:
a) Resusitasi klien.
b) Pertahankan pemberian cairan dan nutrisi.
c) Perawatan kandung kemih dan usus.
d) Mencegah dekubitus.
e) Mencegah kontraktur pada anggota gerak serta rangkaian rehabiIitasi lainnya.
4. Pemeriksaan refleks:
a. Pemeriksaan refleks dalam. Refleks Achilles menghilang dan refleks patela biasanya melemah karena
kelemahan pada otot hamstring.
b. Pemeriksaan refleks patologis. Pada fase akut refleks fisiologis akan menghilang. Setelah beberapa hari
refleks fisiologis akan muncul kembali yang didahului dengan refleks patologis.
c. Refleks Bullbo Cavemosus positif
d. Pemeriksaan sensorik. Apabila klien mengalami trauma pada kaudaekuina, mengalami hilangnya
sensibilitas secara me-netap pada kedua bokong, perineum, dan anus. Pemeriksaan sensorik superfisial
dapat memberikan petunjuk mengenai lokasi cedera akibat trauma di daerah tulang belakang
5. Perkemihan
Kaji keadaan urine yang meliputi warna, jumlah, dan karakteristik urine, termasuk berat jenis urine.
Penurunan jumlah urine dan peningkatan retensi cairan dapat terjadi akibat menurunnya perfusi pada
ginjal.
6. Pencernaan.
Pada keadaan syok spinal dan neuropraksia, sering dida-patkan adanya ileus paralitik. Data klinis
menunjukkan hilangnya bising usus serta kembung dan defekasi tidak ada. Hal ini merupakan gejala
awal dari syok spinal yang akan berlangsung beberapa hari sampai beberapa minggu. Pemenuhan
nutrisi berkurang karena adanya mual dan kurangnya asupan nutrisi.
7. Muskuloskletal.
Paralisis motor dan paralisis alat-alat dalam bergantung pada ketinggian terjadinya trauma. Gejala
gangguan motorik sesuai dengan distribusi segmental dari saraf yang terkena
Intervensi Keperawatan
a. Nyeri akut berhubungan dengan kerusakan integritas jaringan Kaji nyeri yang dialami klien
kaji faktor yang menurunkan toleransi nyeri
kurangi atau hilangkan faktor yang meningkatkan nyeri
Pantau tanda- tanda vital
Ajarkan tekhnik distraksi dan relaksasi
Kolaborasi dalam pemberian obat Analgetik
RAUMA KEPALA
Sumber: Satyanegara, L. Djoko Listiano, Ilmu Bedah Saraf Edisi III, Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 1998
b. Batang otak (trunkus serebri)
Batang otak adalah pangkal otak yang merilei pesan-pesan antara medula spinalis dan
otak. Batang otak terdiri dari:
1) Diensefalon, bagian batang otak paling atas terdapat diantara serebrum dengan
mesensefalon. Kumpulan dari sel syaraf yang terdapat di bagian depan lobus temporalis
terdapat kapsula interna dengan sudut menghadap ke samping.
Fungsi dari diensefalon:
a) vaso kontruktor, mengecilkan pembuluh darah
b) respiratori, membantu proses persyarafan
c) mengontrol kegiatan reflek
d) membantu pekerjaan jantung
Diensefalon tersusun atas struktur Hipothalamus yang berfungsi sebagai pusat integrasi
susunan saraf otonom, regulasi temperatur, keseimbangan cairan dan elektrolit, integrasi
sirkuit siklus bangun-tidur, intake makanan, respon tingkah laku terhadap emosi,
pengontrolan endokrin, dan respon seksual. Thalamus berfungsi sebagai pusat persediaan
dan integrasi bagi semua jenis impuls sensorik, kecuali penciuman.thalamus memainkan
peranan penting dalam transmisi impuls nyeri.(satyanegara, 1998:20)
2) Mesensefalon, atap dari mesensefalon terdiri dari 4 bagian yang menonjol ke atas, 2 di
sebelah atas disebut korpus quadrigeminus superior dan 2 di sebelah bawah disebut
korpus quadrigeminus inferior, serat saraf okulomotorius berjalan ke veritral di bagian
medial. Serat-serat saraf nervus troklearis berjalan ke arah dorsal menyilang garis tengah
ke sisi lain.
Fungsinya terdiri dari:
a) membantu pergerakan mata dan mengangkat kelopak mata
b) memutar mata dan pusat pergerakan mata
3) Pons varoli, brakium pontis yang menghubungkan mesensefalon dengan pons varoli
dengan serebelum, terletak didepan serebelum di antara otak tengah dan medula
oblongota, disini terdapat premotoksid yang mengatur gerakan pernafasan dan reflek.
Fungsi dari pons varoli terdiri dari:
a) penghubung antara kedua bagian serebelum dan juga antara medula oblongata dengan
serebelum
b) pusat syaraf nervus trigeminus
4) Medula oblongata, merupakan bagian dari batang otak yang paling bawah yang
menghubungkan pons varoli dengan medula spinalis. Bagian bawah medula oblongata
merupakan persambungan medula spinalis ke atas dan bagian atas medula oblongata
disebut kanalis sentralis di daerah tengah bagian ventral medula oblongata
Fungsi medula oblongata merupakan organ yang menghantarkan impuls dari medula
spinalis dan otak yang terdiri dari:
a) mengontrol pekerjaan jantung
b) mengecilkan pembuluh darah (vasokonstruktor)
c) pusat pernafasan (respiratory centre)
d) mengontrol kegiatan reflek
Otak dilindungi oleh selaput otak (meningen) yang terdiri dari 3 lapisan:
a. Duramater (lapisan sebelah luar)
Selaput keras pembungkus otak yang berasal dari jaringan ikat tebal dan kuat, di bagian
tengkorak terdiri dari selaput tulang tengkorak dan duramater propia di bagian dalam. Di
dalam kanal vertebralis kedua lapisan ini terpisah. Duramater pada tempat tertentu
mengandung rongga yang mengalirkan arah vena dari otak, rongga ini dinamakan sinus
longitudinal superior, terletak di antara kedua hemisfer otak.
b. Arakhnoid (lapisan tengah)
Merupakan selaput halus yang memisahkan duramater dengan piameter membentuk
sebuah kantong atau balon berisi cairan otak yang meliputi seluruh susunan syaraf sentral.
Medula spinalis terhenti setinggi di bawah lumbal I-II terdapat sebuah kantong berisi cairan,
berisi saraf perifer yang keluar dari medula spinalis dapat dimanfaatkan untuk mengambil
cairan otak yang disebut pungsi lumbal.
c. Piamater (lapisan sebelah dalam)
Merupakan selaput tipis yang terdapat pada permukaan jaringan otak, piamater
berhubungan dengan arakhnoid melalui struktur-struktur jaringan ikat yang disebut trabekel.
Tepi falks serebri membentuk sinus longitudinal inferior dan sinus sagitalis inferior yang
mengeluarkan darah dari falks serebri. Tentorium memisahkan serebri dengan sereblum.
(Syaifuddin, 1997: 124)
3. Etiologi (Satyanegara,1998:148)
Kebanyakan cedera kepala merupakan akibat salah satu dari kedua mekanisme dasar
yaitu:
a. Kontak bentur, terjadi bila kepala membentur atau menabrak sesuatu obyek atau
sebaliknya
b. Guncangan lanjut, merupakan akibat peristiwa guncangan kepala yang hebat, baik yang
disebabkan oleh pukulan maupun yang bukan karena pukulan
4. Klasifikasi cedera kepala
a. Klasifikasi cedera kepala berdasarkan tingkat keparahan menurut: (Mansjoer, Arief
2000:5), (Hudak and Gallo, alih bahasa Monica E.D Adiyanti, 1996:226) adalah sebagai
berikut:
1) Cedera kepala ringan (mild HI)
Suatu keadaan dimana kepala mendapat trauma ringan dengan hasil penilaian tingkat
kesadaran (GCS) yaitu 13-15, klien sadar penuh, atentif dan orientatif. Klien tidak
mengalami kehilangan kesadaran, bila hilang kesadaran misalnya konkusio, tidak ada
intoksikasi alkohol atau obat terlarang. Klien biasanya mengeluh nyeri kepala dan pusing.
Pasien dapat menderita abrasi, laserasi atau hematoma kulit kepala
2) Cedera kepala sedang (moderat HI)
Suatu keadaan cedera kepala dengan nilai tingkat kesadaran (GCS) yaitu 9-12, tingkat
kesadaran lethargi, obturded atau stupon. Gejala lain berupa muntah, amnesia pasca
trauma, konkusio, rabun, hemotimpanum, otorea atau rinorea cairan cerebrospinal dan
biasanya terdapat kejang.
3) Hematoma intraserebral
Adalah perdarahan ke dalam substansi otak. Hemoragi ini biasanya terjadi pada cedera
kepala dimana mendesak ke kepala sampai daerah kecil (cedera peluru atau luka tembak,
cedera tumpul). Hemoragi ini di dalam otak mungkin juga diakibatkan oleh hipertensi
sistemik yang menyebabkan degenerasi dan ruptur pembuluh darah, ruptur kantung
aneurisma, anomali vaskuler, tumor intrakranial. Akibat adanya substansi darah dalam
jaringan otak akan menimbulkan edema otak, gejala neurologik tergantung dari ukuran dan
lokasi perdarahan.
5. Patofisiologi
Patofisiologi trauma kepala menurut: Sylvia Anderson, et,al., alih bahasa Peter Anugerah
(1995: 1011); Satyanegara, (1998: 150); Carolyn M. Hudak, et, al., alih bahasa Monica E.D
Adiyanti (1996: 226) adalah sebagai berikut:
Pada trauma kepala dimana kepala mengalami benturan yang kuat dan cepat akan
menimbulkan pergerakan dan penekanan pada otak dan jaringan sekitarnya secara
mendadak serta pengembangan gaya kompresi yang destruktif. Peristiwa ini dikenal
dengan sebutan cedera akselerasi-deselerasi. Dipandang dari aspek mekanis, akselerasi
dan deselerasi merupakan kejadian yang serupa, hanya berbeda arahnya saja. Efek
akselerasi kepala pada bidang sagital dari posterior ke anterior adalah serupa dengan
deselerasi kepala anterior-posterior.
Cedera yang terjadi pada waktu benturan dapat menimbulkan lesi, robekan atau memar
pada permukaan otak, dengan adanya lesi, robekan, memar tersebut akan mengakibatkan
gejala defisit neurologis yang tanda-tandanya adalah penurunan kesadaran yang progresif,
reflek Babinski yang positif, kelumpuhan dan bila kesadaran pulih kembali biasanya
menunjukkan adanya sindrom otak organik.
Pada trauma kepala dapat juga menimbulkan edema otak, dimana hal ini terjadi karena
pada dinding kapiler mengalami kerusakan, ataupun peregangan pada sel-sel endotelnya.
Sehingga cairan akan keluar dari pembuluh darah dan masuk ke jaringan otak karena
adanya perbedaan tekanan antara tekanan intravaskuler dengan tekanan interstisial.
Akibat cedera kepala, otak akan relatif bergeser terhadap tulang tengkorak dan duramater,
kemudian terjadi cedera pada permukaannya, terutama pada vena-vena gantung
(bridging veins). Robeknya vena yang menyilang dari kortex ke sinus-sinus venosus dapat
menyebabkan subdural hematoma, karena terjadi pengisian cairan pada ruang subdural
akibat dari vena yang pecah. Selanjutnya pergeseran otak juga menimbulkan daerah-
daerah yang bertekanan rendah (cedera regangan) dan bila hebat sekali dapat
menimbulkan kontusi kontra-kup.
Akibat dari adanya edema, maka pembuluh darah otak akan mengalami penekanan yang
berakibat aliran darah ke otak berkurang, sehingga akan hipoksia dan menimbulkan
iskemia yang akhirnya gangguan pernapasan asidosis respiratorik (Penurunan PH dan
peningkatan PCO2 ). Akibat lain dari adanya perdarahan otak dan edema serebri yang
paling berbahaya adalah terjadinya peningkatan tekanan intrakranial yang timbul karena
adanya proses desak ruang sebagai akibat dari banyaknya cairan yang bertumpuk di dalam
otak. Peningkatan intra kranial yang terus berlanjut hingga terjadi kematian sel dan edema
yang bertambah secara progresif, akan menyebabkan koma dengan TTIK yang terjadi
karena kedua hemisfer otak atau batang otak sudah tidak berfungsi.
6. Manajemen medis secara umum pada trauma kepala (Tuti Pahria,dkk ,1996:57; Arif
Mansjoer, dkk, 2000: 4)
a. Anti kejang: kejang konvulsif dapat terjadi setelah cedera kepala dan harus diobati. Mula-
mula berikan diazepam 10 mg intravena perlahan-lahan dan dapat diulangi sampai 3 kali
bila masih kejang. Bila tidak berhasil dapat diberikan fenitoin 15 mg/ kgBB diberikan
intravena perlahan-lahan dengan kecepatan tidak melebihi 50 mg/ menit.pada cedera
kepala berat, Antikejang fenitoin diberikan 15-20 mg/kgBB bolus intavena, kemudian 300
mg/hari intravena mengurangi frekuensi kejang pascatrauma dini (minggu pertama) dari
14% menjadi 4% pada pasien dengan perdarahan intrakranial traumatik. Pemberian fenitoin
tidak mencegah timbulnya epilepsi pascatrauma di kemudian hari. Jika pasien tidak
menderita kejang, fenitoin harus dihentikan setelah 7-10 hari. Kadar fenitoin harus dipantau
ketat karena kadar subterapi sering disebabkan hipermetabolisme fenitoin.
b. Nutrisi: cedera kepala berat menimbulkan respons hipermetabolik dan katabolik, dengan
keperluan 50-100% lebih tinggi dari normal. Pemberian makanan enteral melalui pipa
nasogastrik atau nasoduodenal harus diberikan sesegera mungkin (biasanya hari ke-2
perawatan)
c. Temperatur badan: demam (temperatur > 101oF) mengeksaserbasi cedera otak dan
harus diobati secara agresif dengan asetaminofen atau kompres dingin. Pengobatan
penyebab (antibiotik) diberikan bila perlu.
d. Steroid: steroid tidak terbukti mengubah hasil pengobatan pasien dengan cedera kepala
dan dapat meningkatkan resiko infeksi, hiperglikemia dan komplikasi lain. Untuk itu, steroid
hanya dipakai sebagai pengobatan terakhir pada herniasi serebri akut (deksametason 10
mg intravena setiap 4-6 jam selama 48-72 jam)
e. Profilaksis ulkus peptik: pasien dengan ventilasi mekanis atau koagulopati memiliki resiko
ulserasi stres gastrik yang meningkat dan harus mendapat ranitidin 50 mg intravena setiap
8 jam atau sukralfat 1 g per oral setiap 6 jam atau H2 antagonis lain atau inhibitor proton.
f. Antibiotik: penggunaan antibiotik rutin untuk profilaksis pada pasien dengan cedera
kepala terbuka masih kontroversial. Golongan penisilin dapat mengurangi resiko meningitis
penumokok pada pasien dengan otorea, rinorea cairan serebrospinal atau udara
intrakranial tetapi dapat meningkatkan resiko infeksi dengan organisme yang lebih virulen.
g. Therapi hiperventilasi (trauma kepala berat) untuk mengurangi vasodilatasi
h. Pengobatan antiedema dengan larutan hipertonis yaitu manitol 20% atau glukosa 40%
atau gliserol 10%
i. Makanan atau cairan, pada trauma ringan bila muntah-muntah tidak dapat diberikan apa-
apa, hanya cairan infus 5%, aminofusin, aminofel (18 jam pertama dari terjadinya
kecelakaan), 2-3 hari kemudian diberikan makanan lunak.
j. Pembedahan, meliputi kraniotomi atau kraniektomi
k. Pada trauma berat, karena hari-hari pertama didapatkan penderita mengalami penurunan
kesadaran dan cenderung terjadi retensi natrium dan elektrolit, maka hari-hari pertama (2-3
hari) tidak terlalu banyak cairan, dextrosa 5% 8 jam pertama, ringer dextrosa 8 jam kedua,
dan dextrosa 5% 8 jam ketiga. Pada hari selanjutnya bila kesadaran rendah, makanan
diberikan melalui nasogastrik tube (2500-3000 TKTP). Pemberian protein tergantung nilai
urea N
7. Dampak trauma kepala terhadap sistem tubuh lainnya
Adanya gangguan sistem persyarafan akibat trauma kepala akan mengganggu sistem
tubuh lainnya. Adapun gangguannya menurut : Carolyn M. Hudak, et, al., alih bahasa
Monica E.D Adiyanti (1996: 230) Tuti Pahria,dkk (1996:50) adalah sebagai berikut:
a. Sistem kardiovaskuler
Trauma kepala yang disertai dengan Subdural hematoma, akan terjadi perdarahan dan
edema serebri sehingga terjadi peningkatan tekanan intrakranial. Kondisi ini akan
menyebabkan peningkatan tekanan darah, tachikardi kemudian bradikardi dan iramanya
tidak teratur sebagai kompresi kerja jantung.
Trauma kepala menyebabkan perubahan fungsi jantung mencakup aktifitas atipikal
miokardiar, perubahan tekanan vaskuler dan edema paru. Akibat adanya perdarahan otak
akan mempengaruhi tekanan vaskuler, dimana penurunan tekanan vaskuler menyebabkan
pembuluh darah arteriol akan berkontraksi. Pengaruh persyarafan simfatik dan parasimfatik
pada pembuluh darah arteri dan arteriol otak tidak begitu besar.
Aktifitas miokard berubah termasuk peningkatan frekuensi jantung dan menurunnya stroke
work dimana pembacaan CVP abnormal, tidak adanya stimulus endogen saraf simpatis
mempengaruhi penurunan kontraktilitas ventrikel. Hal ini menyebabkan penurunan curah
jantung dan meningkatkan tekanan atrium kiri. Akibatnya tubuh berkompensasi dengan
meningkatkan tekanan sistolik. Pengaruh dari adanya peningkatan tekanan atrium kiri
adalah terjadinya edema paru.
b. Sistem pernafasan
Adanya edema paru pada trauma kepala dan vasokontriksi paru atau hipertensi paru,
menyebabkan hipernoe dan bronkhokonstriksi. Pernafasan cheyne stokes dihubungkan
dengan sensitifitas yang meningkat pada mekanisme terhadap karbondioksida dan episode
pasca hiperventilasi apnea. Konsentrasi oksigen dan karbondioksida dalam darah arteri
mempengaruhi aliran darah. Bila PO2 rendah, aliran darah bertambah karena terjadi
vasodilatasi. Penurunan PCO2 akan terjadi alkalosis yang menyebabkan vasokonstriksi
(arteri kecil) dan penurunan CBF (Serebral Blood Fluid). Bila PCO2 bertambah akibat
gangguan sistem pernafasan akan menyebabkan acidosis dan vasodilatasi. Hal ini
menyebabkan pertambahan CBF, yang kemudian menyebabkan terjadinya penambahan
tingginya tekanan intra kranial (TTIK) edema otak karena trauma adalah bentuk vasogenik.
Pada kontusio otak, terjadi robekan pada pembuluh kapiler atau cairan traumatik yang
mengandung protein eksudat yang berisi albumin. Albumin pada cairan interstisial otak
normal tidak didapatkan edema otak terjadi karena penekanan terhadap pembuluh darah
dan jaringan sekitarnya. Edema otak dapat menyebabkan herniasi dan penekanan batang
otak atau medula oblongata. Akibat penekanan daerah medula oblongata dapat
menyebabkan pernafasan ataksia dimana ditandai dengan irama nafas tidak teratur atau
pola nafas tidak efektif.
Trauma kepala dapat mengakibatkan penurunan kesadaran yang dapat menyebabkan
terakumulasinya sekret pada trakheobronkhiolus, sehingga akan terjadi obstruksi pada
saluran pernapasan.
c. Sistem pencernaan
Trauma kepala juga mempengaruhi sistem pencernaan. pada klien post craniotomy pada
hari pertama akan didapatkan bising usus yang menurun karena efek narkose. Setelah
trauma kepala (3 hari) terdapat respon tubuh dengan merangsang aktifitas hipotalamus dan
stimulus gagal. Hal ini merangsang anterior hipofisis menjadi hiperasiditas. Hipotalamus
merangsang anterior hipofisis untuk mengeluarkan steroid adrenal. Hal ini adalah
kompensasi tubuh untuk menangani edema serebral. Namun, pengaruhnya terhadap
lambung adalah peningkatan ekskresi asam lambung yang menyebabkan hiperasiditas.
Selain itu hiperasiditas terjadi karena adanya peningkatan pengeluaran katekolamin dalam
menangani stres yang mempengaruhi produksi lambung. Hiperasiditas yang tidak ditangani
akan menyebabkan perdarahan lambung. sedangkan peningkatan asam lambung akan
mengakibatkan klien mual dan muntah. klien dengan peningkatan tekanan intra kranial
akibat trauma kepala ditandai dengan muntah yang seringkali proyektil.
b. Riwayat kesehatan
1) Alasan masuk Rumah Sakit
Biasanya penyebab trauma kepala karena kecelakaan lalu lintas, namun tidak menutup
kemungkinan faktor lain. Oleh karena itu pada Alasan klien masuk Rumah Sakit perlu dikaji
mengenai kapan, dimana, penyebab, bagaimana proses terjadinya, apakah klien pingsan,
muntah atau perdarahan dari hidung atau telinga.
2) Keluhan utama saat dikaji
Pada umumnya pasien dengan trauma kepala sedang datang ke rumah sakit dengan
penurunan tingkat kesadaran (GCS = 9-12), sedangkan apabila klien sudah sadar penuh
biasanya akan merasa bingung, mengeluh muntah, dispnea, tachipnea, sakit kepala, wajah
tidak simetris, lemah, paralise, hemiparese, luka di kepala, akumulasi sputum pada saluran
nafas, adanya liquor dari hidung dan telinga dan adanya kejang yang disebabkan karena
proses benturan akselerasi-deselerasi pada setiap daerah lobus otak yang dapat
menyebabkan konkusio atau kontusio serebri yang mengakibatkan penurunan kesadaran
kurang atau bisa lebih dari 24 jam.
3) Riwayat kesehatan dahulu
Perlu dikaji apakah klien pernah mengalami trauma kepala atau penyakit sistem syaraf
serta penyakit sistemik. Perlu dikaji juga apakah klien memiliki kebiasaan kebut-kebutan di
jalan raya, memakai Helm dalam mengendarai kendaraan, meminum minuman beralkohol
atau obat-obatan terlarang.
4) Riwayat kesehatan keluarga
Kaji mengenai adanya penyakit keturunan, penyakit menular, kebiasaan buruk dalam
keluarga seperti merokok atau keadaan kesehatan anggota keluarga.
c. Pemeriksaan fisik
1) Sistem pernafasan
Didapatkan adanya perubahan pola nafas baik irama, kedalaman maupun frekuensi yaitu
cepat dan dangkal, irama tidak teratur (cheyne stokes, ataxia breathing), bunyi nafas ronchi
atau stridor, adanya sekret pada trakheo bronkhiolus, adanya retraksi dinding dada.
2) Sistem kardiovaskuler
Dalam pemeriksaan didapatkan perubahan tekanan darah menurun kecuali apabila terjadi
peningkatan tekanan intra kranial maka tekanan darah meningkat, denyut nadi tachikardi,
kemudian bradikardi atau iramanya tidak teratur sebagai kompresi kerja jantung untuk
membantu mengurangi tekanan intra kranial.
3) Sistem pencernaan
Pada klien post craniotomy biasanya didapatkan bising usus yang normal atau bisa juga
menurun apabila masih ada pengaruh anestesi, perut kembung, bibir dan mukosa mulut
tampak kering, klien dapat mual dan muntah. kadang-kadang konstipasi karena klien tidak
boleh mengedan atau inkontinensia karena klien tidak sadar. Pada perkusi abdomen
terdengar timpani, nyeri tekan pada daerah epigastrium, penurunan berat badan.
4) Sistem perkemihan
Pada pengkajian akan didapatkan retensi urine pada klien sadar, sedangkan pada klien
tidak sadar akan didapatkan inkontinensia urine dan fekal, jumlah urine output biasanya
berkurang. Terdapat ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, dimana terdapat hiponatremia
atau hipokalemia.
5) Sistem muskuloskeletal
Pada klien post craniotomy biasanya ditemukan gerakan-gerakan involunter, kejang,
gelisah, ataksia, paralisis dan kontraktur, kekuatan otot mungkin menurun atau normal.
6) Sistem integumen
Pada klien post craniotomy tampak luka pada daerah kepala, suhu tubuh mungkin di atas
normal, banyak keringat. Pada hari ketiga dari operasi biasanya luka belum sembuh karena
masih agak basah/ belum kering. biasanya masih terdapat hematoma pada klien dengan
perdarahan di meningen. Data fisik yang lain adalah mungkin didapatkan luka lecet dan
perdarahan pada bagian tubuh lainnya. Bentuk muka mungkin asimetris.
7) Sistem persyarafan
a) Test fungsi serebral
1) Klien mengalami penurunan kesadaran maka dalam orientasi, daya ingat, perhatian dan
perhitungan serta fungsi bicara klien sehingga hasil pemeriksaan status mentalnya kurang
dari normal atau kurang dari 20 ditandai dengan amnesia, gangguan kognitif, dll.
2) Tingkat kesadaran
Biasanya tingkat kesadaran berkisar antara obtunded sampai lethargi. Kuantitas: nilai GCS:
9-12
3) Pengkajian bicara
(a) Proses reseptif
Biasanya didapatkan kesulitan mengucapkan kata-kata yang leih dari satu kata misalnya
sakit kepala atau rumah sakit
(b) Proses ekspresif
Biasanya didapatkan bicara kurang lancar, tidak spontan dan tidak jelas
b) Test nervus kranial (Lumbantobing, 2003: 24), (Tuti Pahria, dkk, 1996: 55)
1) Nervus I (olfaktorius)
Memperlihatkan gejala penurunan daya penciuman dan anosmia bilateral yang disebabkan
karena terputusnya serabut olfaktorius selain karena trauma kepala juga bisa disebabkan
oleh infeksi.
2) Nervus II (optikus)
Pada trauma oksipitalis, memperlihatkan gejala berupa penurunan daya penglihatan,
penurunan lapang pandang
3) Nervus III, IV, VI (okulomotorius, troklearis, abdusen)
Pada trauma kepala yang disertai dengan perdarahan intrakranial akan menyebabkan
gangguan reaksi pupil yang lambat/ midriasis karena tekanan pada bagian pinggir nervus III
yang mengandung serabut parasimpatis. Gangguan kelumpuhan N IV, namun jarang
terjadi. Kelumpuhan N IV menyebabkan terjadinya diplopia, gejala lainnya berupa refek
cahaya menurun, anisokor.
4) Nervus V (trigeminus)
Gangguan ditandai adanya anestesi daerah dahi.
5) Nervus VII (fasialis)
Pada trauma kepala yang mengenai neuron motorik atas unilateral dapat menurunkan
fungsinya, tidak adanya lipatan nasolabial, melemahnya penutupan kelopak mata dan
hilangnya rasa pada 2/3 bagian lidah anterior
6) Nervus VIII (akustikus)
Pada pasien sadar gejalanya berupa menurunnya daya pendengaran dan keseimbangan
tubuh.
7) Nervus IX, X, XI (glosofaringetus, vagus, assesoris)
Gejala jarang ditemukan karena klien akan meninggal apabila trauma mengenai syaraf
tersebut. Adanya hiccuping (cegukan) karena kompresi pada nervus vagus yang
menyebabkan spasmodik dan diafragma. Hal ini terjadi karena kompresi batang otak.
Cegukan yang terjadi biasanya beresiko peningkatan tekanan intrakranial.
8) Nervus XII (hipoglosus)
Gejala yang biasa timbul adalah jatuhnya lidah ke salah satu sisi, disfagia, dan disartria. Hal
ini menyebabkan adanya kesulitan menelan.
d. Data psikologis (Tuti Pahria, dkk, 1996: 57)
Pasien yang mengalami penurunan kesadaran, maka data psikologis tidak dapat dikaji.
Sedangkan pada pasien yang tingkat kesadarannya agak normal (GCS: 13-15) akan
terlihat adanya gangguan emosi, perubahan tingkah laku, emosi yang labil, iritabel, apatis,
delirium.
e. Data sosial
Data yang diperlukan adalah bagaimana pasien berhubungan dengan orang-orang terdekat
dan yang lainnya. Kemampuan berkomunikasi dan peranannya dalam keluarga. Pada klien
yang mengalami penurunan kesadaran data sosial tidak dapat dikaji. Sedangkan pada klien
yang tingkat kesadarannya normal, pada klien trauma kepala akan didapatkan kesulitan
berkomunikasi bila area trauma pada lobus temporal.
f. Data spiritual
Data spiritual pada klien dengan penurunan kesadaran tidak dapat dikaji, sehingga data
ketaatan klien terhadap agamanya, semangat dan falsafah hidup serta keTuhanan yang
diyakini klien tidak dapat terkaji.
g. Data penunjang (Doenges, et al, 2000:272)
1) Pemeriksaan analisa gas darah
Biasanya memperlihatkan acidosis respiratorik yaitu:
1) PH darah: < 7,35 2) PaO2 menurun antara 60-80 mmHg 3) PaCO2 : > 45 mmHg
4) HCO3: >22-26 mEq/l
5) Base excess: -2,5 s.d + 2,5
6) Saturasi: 95%
Intervensi Rasional
(1) (2)
1. Monitor kecepatan, kedalaman, frekuensi, irama dan bunyi nafas
2. Atur posisi pasien dengan posisi semi fowler (150 450)
3. Lakukan penghisapan lendir dengan hati-hati selama 10-15 detik. Catat sifat, warna dan
bau sekret. Lakukan bila tidak ada retak pada tulang basal dan robekan dural
4. Berikan posisi semi prone lateral/ miring. Bila tidak ada kejang dan setelah 4 jam
Perubahan yang terjadi dan hasil pengkajian berguna dalam menunjukkan adanya
komplikasi pulmonal dan luas-nya bagian otak yang terkena
Dengan menempatkan pasien posisi semi fowler maka akan mengurangi penekanan isi
rongga perut terhadap diapraghma, sehingga ekspansi paru tidak terganggu. Kepala
ditinggikan dengan tempat tidur (tanpa bantal) untuk cegah hiperekstensi/ fleksi
Dengan dilakukannya penghisapan lendir maka jalan nafas akan bersih dan akumulasi dari
sekret bisa dicegah sehingga pernafasan akan tetap lancar dan efektif. Penghisapan
dilakukan hati-hati untuk mencegah terjadinya iritasi saluran nafas dan refleks vagal
Posisi semi prone dapat membantu keluarnya sekret dan mencegah aspirasi
(1) (2)
pertama, ubah posisi miring atau prone (telentang) tiap 2 jam
5. Apabila pasien sudah sadar, anjurkan dan ajak latihan nafas dalam
6. Lakukan kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian terapi oksigen, monitor
ketepatan terapi oksigen dan komplikasi yang mungkin timbul
7. Lakukan kolaborasi dengan tim medis dalam melaksanakan analisa gas darah sehingga
dapat membuka jalan nafas. Mengubah posisi dapat berguna untuk merangsang mobilisasi
sekret di saluran pernafasan
Latihan nafas dalam berguna untuk melatih complain paru
2. Monitor tanda-tanda vital: tekanan darah, denyut nadi, respirasi, suhu minimal setiap jam
sampai keadaan pasien stabil
3. Naikkan kepala dengan sudut 150-450, tanpa bantal (tidak hiperekstensi dan fleksi) dan
posisi netral (dari kepala hingga daerah lumbal dalam garis lurus) Hasil dari pengkajian
dapat diketahui secara dini adanya tanda-tanda dan peningkatan tekanan intra kranial
sehingga dapat menentukan arah tindakan selanjutnya. Kecenderungan terjadinya
penurunan nilai GCS menandakan adanya TTIK
Dapat mendeteksi secara dini tanda-tanda TTIK
Dengan posisi kepala 150-450 dari badan dan kaki maka akan meningkatkan dan
melancarkan aliran balik darah vena kepala sehingga mengurangi kongesti serebrum,
edema dan mencegah
(1) (2)
6. Monitor suhu dan atur suhu lingkungan sesuai indikasi. Batasi pemakaian selimut,
kompreslah bila suhunya tinggi (demam)
7. Berikan oksigen sesuai program terapi dengan saluran pernafasan yang lancar
terjadinya TTIK. Posisi netral tanpa hiperekstensi dan fleksi dapat mencegah penekanan
pada saraf medula spinalis yang menambah TTIK.
Tindakan ini untuk mencegah kelebihan cairan yang dapat menambah edema serebri
sehingga terjadi TTIK
Manitol atau gliserol merupakan cairan hipertonis yang berguna untuk menarik cairan dari
intraseluler (sel) ke ekstraseluler (vaskuler). Lasix untuk meningkatkan ekskresi natrium dan
air yang diinginkan, untuk mengurangi edema otak.
Demam menandakan gangguan hipotalamus. Peningkatan kebutuhan metabolik karena
demam dan suhu lingkungan yang panas akan meningkatkan TTIK
Mengurangi hiposemnia yang dapat meningkatkan vasodilatasi serebri, volume darah dan
tekanan intra kranial.
(1) (2)
8. Bantu pasien untuk menghindari/ membatasi batuk, muntah atau
mengedan seperti pada saat BAB Aktifitas seperti itu dapat meningkatkan tekanan
intratorak dan intraabdomen yang dapat meningkatkan TTIK.
Intervensi Rasional
(1) (2)
1. Monitor asupan-haluaran setiap 8 jam sekali dan timbang berat badan setiap hari dapat
dilakukan
3. Pasang dower kateter dan monitor warna urin, bau urin dan aliran urin
d. Aktual atau resiko terjadi gangguan pemenuhan nutrisi, kurang dari kebutuhan yang
disebabkan oleh:
1) Berkurangnya kemampuan menerima nutrisi akibat menurunnya kesadaran
2) Melemahnya otot-otot yang digunakan untuk mengunyah atau menelan
3) Hipermetabolik
4) Perubahan kemampuan untuk mencerna makanan
Tujuan:
Kekurangan nutrisi tidak terjadi
Kriteria evaluasi:
1) Berat badan pasien normal (BB normal = TB-100-(10%TB-100))
2) Tanda-tanda malnutrisi tidak ada
3) Nilai-nilai hasil laboratorium normal:
Protein total: 6-8 gr%
Albumin: 3,5-5,3 gr%
Globulin: 1,8-3,6 gr%
Hb tidak kurang dari 10 gr%
Intervensi Rasional
(1) (2)
1. Monitor kemampuan mengunyah, menelan, refleks batuk dan cara mengeluarkan sekret
Dapat menentukan pilihan cara pemberian jenis makanan, karena pasien harus dilindungi
dari bahaya aspirasi
(1) (2)
2. Auskultasi bising usus dan catat bila terjadi penurunan bising usus
4. Berikan makanan dalam porsi sedikit tapi sering, baik melalui Nasogastrik tube (NGT)
maupun oral
5. Tinggikan kepala pasien dari badan ketika makan dan buat posisi miring dan netral/ lurus
setelah makan
6. Lakukan kolaborasi dengan tim kesehatan (analis) untuk pemeriksaan, protein global,
globulin, albumin dan Hb
7. Berikan makanan melalui oral, NGT atau IVFD Fungsi gastro-intestinal harus tetap
dipertahankan pada penderita trauma kepala. Perdarahan lambung akan menurunkan
peristaltik (bising usus lemah). Bising usus perlu diketahui untuk menentukan pemberian
makanan dan mencegah komplikasi
Penimbangan berat badan dapat mendeteksi perkembangan berat badan
Memudahkan proses pencernaan dan toleransi pasien terhadap nutrisi
(1) (2)
sederhana
3=pasien butuh bantuan/
peralatan yang banyak
4=pasien sangat tergantung pada pemberian pelayanan
2. Atur posisi pasien dan ubahlah secara teratur tiap 2 jam sekali bila tidak ada kejang atau
setelah 4 jam pertama. Ubah posisi dengan mempertahankan posisi netral sewaktu
membalikkan tubuh pasien terutama bila ada trauma spinal
3. Bantu pasien melakukan gerakan-gerakan sendi secara psif bila kesadaran menurun dan
secara aktif bila pasien kooperatif
4. Observasi/ kaji terus kemampuan gerakan motorik, keseimbangan, koordinasi gerakan
dan tonus otot
Mengubah posisi pasien secara teratur dapat meningkatkan sirkulasi seluruh tubuh dan
mencegah adanya penekanan pada organ tubuh yang menonjol. Pasien dengan kejang
tidak boleh banyak dirangsang dengan gerakan-gerakan motorik karena akan merangsang
terjadinya kejang. Posisi netral akan mencegah trauma lebih berat pada daerah saraf spinal
dan mencegah bertambahnya TTIK
Mempertahankan fungsi sendi dan mencegah penurunan tonus dan kekuatan otot dan
mencegah kontraktor
(1) (2)
5. Buat posisi seluruh persendian dalam letak anatomis dengan memberi penyanggah pada
lekukan-lekukan sendi, telapak tangan dan kaki
6. Lakukan massage, perawatan kulit dan mempertahankan alat-alat tenuin bersih dan
kering
7. Lakukan perawatan mata dengan memberi cairan aira mata buatan dan tutup mata
dengan kasa steril lembab sesuai indikasi.
8. Bantu pasien seluruhnya dalam memenuhi kebutuhan ADL bila kesadaran belum pulih
kembali
9. Observasi BAB dan bantu BAB secara teratur, periksa feses yang mengeras dan terjepit
di anus. Kolaborasi dengan dokter pemberian supositoria dan pengeluaran feses secara
manual bila ada kesukaran BAB
10. Berikan motivasi dan latihan pada pasien dalam memenuhi kebutuhan ADL-nya sesuai
Untuk mencegah kontraktur sendi
Tidak lancarnya BAB akan menyebabkan distensi abdomen dan terjepitnya feses pada
anus akan merangsang refleks vagal yang dapat menambah TTIK. Tidak lancarnya BAB
dapat disebabkan karena kurangnya mobilisasi
Motivasi ini diberikan untuk meningkatkan semangat hidup pasien agar lebih mandiri dalam
(1) (2)
kebutuhan pada tahap rehabilitasi
11. Anjurkan keluarga pasien untuk turut membantu melatih dan memberi motivasi
12. Lakukan kolaborasi dengan tim kesehatan lain (fisioterapi) dan pekerja sosial dalam
terapi fisik dan pekerjaan memenuhi ADL. Hal ini untuk menghindari ketergantungan pasien
pada orang lain.
Keterlibatan keluarga sangat berarti dalam memberikan dukungan moril pasien sehingga
pasien akan optimis dalam keterbatasannya
Dengan memberikan terapi fisik dan pekerjaan akan melatih pasien untuk belajar mandiri
setelah pulang ke rumah
Intervensi Rasional
(1) (2)
1. Monitor respon sensoris terhadap raba/ sentuhan, panas/ dingin, tajam/ tumpul dan catat
perubahan-perubahan yang terjadi
2. Monitor persepsi pasien, beri umpan balik dan koreksi kemampuan pasien berorientasi
terhadap orang, tempat dan waktu
3. Berikan stimulus yang berarti saat penurunan kesadaran sampai kembali-nya fungsi
persepsi yang maksimal seperti: mengajak bicara (walau tanpa jawaban), taktil dengan
memberikan sentuhan dan pendengaran dengan musik atau bunyi-bunyian.
4. Berbicaralah pada pasien dengan tenang, lembut menggunakan kalimat yang
sederhana. Tunggu respon pasien/ jawaban dengan sabar baik melalui verbal, Informasi
yang didapat melalui pengkajian sangat penting untuk mengetahui tingkat kegawatan dan
kerusakan otak
Hasil pengkajian dapat menginformasikan penurunan fungsi otak yang terkena dan
membantu intervensi selanjutnya
Stimulus dapat merangsang kembalinya kemampuan persepsi sensoris, tingkat kesadaran
dan memori pasien
(1) (2)
isyarat atau tulisan
5. Berikan keamanan pasien dengan pengaman sisi tempat tidur, bantu latihan jalan dan
lindungi dari cedera
Gangguan persepsi sensoris dan buruknya keseimbangan dapat meningkatkan resiko
terjadinya injuri
4. Kolaborasi dengan tim analis untuk pemeriksaan: kadar leukosit, liquor dari hidung,
telinga, dan urin serta kultur resistensi
5. Bila ada perdarahan melalui hidung dan telinga atau liquor yang keluar dari hidung dan
telinga maka tutup dengan kasa steril. Jangan memasukkan alat-alat tidak steril
6. Periksakan cairan/ liquor yang keluar dari hidung dan telinga. Kolaborasi dengan medis
dan analis Untuk mendeteksi tanda-tanda sepsis
Antibiotik berguna untuk membunuh atau memberantas bibit penyakit yang masuk ke
dalam tubuh sehingga infeksi dapat dicegah
Kadar leukosit darah dan urin adalah indikator dalam menentukan adanya infeksi. Liquor
dari mulut dan hidung diperiksa untuk menentukan jenis kuman dan terapi yang akan
digunakan
Bila ada kuman yang masuk melalui hidung dan telinga akan menyebar sampai cairan
serebrospinal sehingga dapat menyebabkan abses otak dan meningitis
h. Gangguan rasa nyaman (pada pasien yang tingkat kesadarannya sudah pulih, GCS =
15): nyeri kepala, pusing dan vertigo disebabkan karena:
Kerusakan jaringan otak dan perdarahan otak/ peningkatan tekanan intrakranial
Tujuan:
Kebutuhan rasa nyaman terpenuhi
Kriteria evaluasi:
1) Pasien tenang, tidak gelisah
2) Nyeri kepala, pusing dan vertigo hilang
3) Pasien dapat istirahat dengan tenang
Intervensi Rasional
(1) (2)
1. Monitor mengenai lokasi, intensitas, penyebaran, tingkat kegawatan dan keluhan-
keluhan pasien
2. Ajarkan latihan teknik relaksasi seperti latihan nafas dalam dan relaksasi otot-otot
Untuk memudahkan membuat intervensi
Latihan nafas dalam dan relaksasi otot-otot dapat mengurangi ketegangan syaraf sehingga
pasien merasa lebih rileks dan dapat mengurangi rasa nyeri kepala, pusing dan vertigo.
Latihan nafas dalam dapat membantu pemasukan oksigen lebih banyak, terutama untuk
oksigenisasi otak
(1) (2)
3. Buat posisi kepala lebih tinggi (150-450)
4. Kurangi stimulus yang tidak menyenangkan dari luar dan berikan tindakan yang
menyenangkan seperti massage daerah punggung, kaki, dll
5. Kolaborasi dengan tim media dalam pemberian obat-obatan analgetik Posisi kepala lebih
atas dari badan dan kaki akan meningkatkan dan melancarkan aliran balik pembuluh darah
vena dari kepala sehingga dapat mengurangi edema dan TTIK
Respon yang tidak menyenangkan menambah ketegangan saraf dan massage daerah
punggung, kaki, dll akan mengalihkan rangsangan terhadap nyeri, pusing dan vertigo
Obat analgetik untuk meningkat-kan ambang rangsang nyeri, pusing yang dapat
mengurangi/ menghilangkan rasa nyeri
i. Gangguan kemampuan proses berfikir dengan baik dan logis yang disebabkan oleh:
1) Konflik psikologis
2) Gangguan fungsi sensoris
Tujuan:
Kemampuan berpikir pasien dapat kembali normal
Kriteria evaluasi:
1) Pasien dapat menerima/ berorientasi terhadap kenyataan
2) Pasien dapat mengenali adanya perubahan-perubahan dalam proses
3) Keluarga dapat menerima perubahan berfikir pasien
4) Pasien mau berperan serta dalam proses latihan atau perawatan
Intervensi Rasional
(1) (2)
1. Monitor kemampuan berfikir dengan menanyakan nama dan orientasi terhadap
lingkungan di sekitarnya; tempat, orang dan waktu.
2. Monitor perhatian dan cara pasien mengalihkan perhatiannya kemudian catat tingkat
kecemasan
3. Berikan penjelasan kepada pasien dan keluarga tentang perubahan berfikir pasien dan
rencana perawatan
4. Ajarkan teknik relaksasi, jangan berikan tantangan berfikir keras dan beri aktifitas sesuai
kemampuan Dengan mengetahui kemampuan berfikir pasien maka dapat ditentukan
rencana latihan-latihan yang berhubungan dengan stimulus proses berpikir dan memori
Pada trauma kepala terutama kontusio serebri akan mengalami penurunan kemampuan
berkonsentrasi dan dalam memusatkan perhatian. Hal ini menimbulkan kecemasan.
Dengan memberi penjelasan kepada pasien dan keluarga, dapat mengurangi kecemasan
pasien dan keluarga, sehingga dapat diajak bekerja sama dalam mengantisipasi keadaan
dan meningkatkan peran sosial
Tindakan ini melatih pasien dalam memusatkan perhatian sehingga lambat laun
kemampuan berpikir pasien akan pulih kembali (sesuai dengan kerusakan otak yang
terjadi).
(1) (2)
5. Beritahu pasien dan keluarga bahwa fungsi intelektual, fungsi perilaku dan emosi lambat
laun akan normal bila kerusakan otak dapat pulih kembali. Tetapi efek-efek tertentu dapat
bertahan sebagai gejala sisa.
Dengan penjelasan yang tepat dan keterbukaan tim pelayanan kesehatan terhadap pasien
dan keluarga akan memberikan kesiapan dan kesabaran dalam latihan-latihan saat proses
rehabilitasi
j. Resiko terhadap cedera berhubungan dengan gerakan tonik/ klonik tak terkontrol selama
episode kejang dan/ atau somnolen
Tujuan:
Cedera tidak terjadi
Kriteria evaluasi:
1) Klien tidak mengalami cedera
2) Tidak terjadi luka baru
3) Kesadaran meningkat
Intervensi Rasional
(1) (2)
1. Libatkan keluarga untuk terus menemani klien
2. Modifikasi lingkungan dengan cara:
Keluarga dapat mengawasi keadaan klien dan menghindari perilaku yang membahayakan
klien
Lingkungan yang aman dapat mengurangi resiko cedera
(1) (2)
- menjauhkan benda-benda tajam, memasang bed plang, bantahan di pinggir tempat tidur
3. Pasang restrain dan fiksasi klien bila perlu
4. Berikan penjelasan pada keluarga tentang pencegahan trauma
(1) (2)
3. Bersihkan daerah perineum dan jaga agar tetap kering
4. Lakukan pemasangan dan perawatan kateter, jika perlu
5. Latih klien teknik bladder training bila klien sehat Mencegah infeksi pada meatus uretra
externa
Dapat menurunkan resiko terjadinya iritasi kulit atau infeksi
Melatih otot spinkter uretra eksterna sehingga kontrol klien untuk BAK meningkat.