Anda di halaman 1dari 8

39.3.

CEDERA TULANG BELAKANG DAN SUMSUM TULANG BELAKANG

39-3-1. PENDAHULUAN

Cedera sumsum tulang belakang merupakan kelainan yang pada masa kini lebih
banyak memberikan tantangan karena perubahan dan pola trauma serta kemajuan di
bidang penatalaksanaannya. Kalau di masa lalu cedera tersebut lebih banyak disebabkan
oleh jatuh dari ketinggian seperti pohon kelapa, pada masa kini penyebabnya lebih
beraneka ragam seperti kecelakaan lalulintas, jatuh dari ketinggian di tempat kerja, dan
kecelakaan olahraga.
Pada masa lalu kematian penderita dengan cedera sumsum tulang belakang
terutama disebabkan oleh terjadinya penyulit, berupa infeksi saluran kemih, gagal ginjal,
pneumoni, atau dekubitas. Kemajuan dalam tatalaksanya dapat mengurangi, bahkan
mencegah terjadinya penyulit tersebut di atas ( lihat patah tulang belakang hlm.870).

39-3-2. KAUSA DAN BENTUK

Cedera sumsum tulang belakang secara umum dapat diklasifikasikan berdasarkan


tipe fraktur/dislokasi (mekanisme, stabil atau nonstabil), level keterlibatan saraf sensorik
dan motorik serta tulangnya, dan berdasarkan tingkat keparahan (disabilitas serabut saraf
komplit atau inkomplit). Cedera yang terjadi adalah akibat patah tulang belakang dan
terbanyak mengenai daerah servikal dan lumbal. Cedera terjadi akibat hiperfleksi,
hiperekstensi, kompresi, atau rotasi tulang belakang. Di daerah torakal tidak banyak
terjadi karena terlindung oleh struktur toraks.
Kelainan dapat berupa patah tulang sederhana, kompresi, kominutif, dan
dislokasi, sedangkan kerusakan pada sumsum tulang belakang dapat berupa memar,
kontusio, kerusakan melintang, laserasi dengan atau tanpa gangguan peredaran darah,
atau perdarahan.
Kelainan sekunder pada sumsum belakang dapat disebabkan oleh hipoksemia dan
iskemia. Iskemia disebabkan oleh hipotensi, udem atau kompresi.
Perlu disadarai bahwa kerusakan pada sumsum tulang belakang merupakan
kerusakan yang permanen karena tidak akan terjadi regenerasi dari jaringan saraf. Pada
fase awal setelah trauma tidak dapat dipastikan apakah gangguan fungsi disebabkan oleh
kerusakan sebenarnya dari jaringan saraf atau disebabkan oleh tekanan, memar atau
udem.

39-3-3. GAMBARAN KLINIK

Gambaran klinik bergantung pada letak dan besarnya kerusakan yang terjadi,
Kerusakan melintang memberikan gambaran berupa hilangnya fungsi motorik maupun
sensorik kaudal dari tempat kerusakan disertai syok spinal. Syok spinal terjadi pada
kerusakan mendadak sumsum tulang belakang karena hilangnya rangsang yang berasal
dari pusat. Peristiwa ini umumnya berlangsung selama satu hingga enam minggu, kadang
lebih lama. Tandanya adalah kelumpuhan flasid, anestesia, arefleksi, hilangnya
perspirasi, gangguan fungsi rektum dan kandung kemih, priapismus*, bradikardia dan
hipotensi. Setelah syok spinal pulih kembali, akan terdapat hiperrefleksi. Terlihat pula
tanda gangguan fungsi autonom, berupa kulit kering karena tidak berkeringat dan
hipotensi ortostatik serta gangguan fungsi kandung kemih dan gangguan defekasi.

Gambar 39-15
Patah tulang belakang
A. Patah tulang kompresi baji karena cedera fleksi, umumnya merupakan patah tulang
stabil tanpa cedera neurologik.
B. Patah tulang kompresi vertebra di bagian sisi agak jarang ditemukan,
C. Patah tulang pecah karena cedera aksial umumnya tidak stabil; cedera neurologik
disebabkan bergesernya fragmen tulang ke dorsal sehingga menekan mielum,
D. Patah tulang fleksi-rotasi yang tidak stabil; perlu dilakukan reposisi dan stabilisasi;
mungkin sekali disertai jejas lintang mielum,
E. Patah tulang geser yang mungkin stabil jika terjadi kranial dari Th X, tetapi merupakan
patah tulang tidak stabil jika diterjadi kaudal dari Th X; mungkin sekali disertai jejas
lintang mielum,
F. Patah tulang yang merupakan robekan dan retakan yang mulai dari dorsal karena daya
fleksi-distraksi, yang mungkin tidak stabil; mungkin terdapat jejas lintang sumsum
belakang.

Sindrom sumsum tulang belakang bagian depan menunjukkan kelumpuhan otot


lurik di bawah tempat kerusakan disertai hilangnya sensasi nyeri dan suhu pada kedua
sisinya, sedangkan sensasi raba dan posisi tidak terganggu.
Cedera sumsum belakang sentral jarang ditemukan. Keadaan ini pada umumnya
terjadi akibat cedera di daerah servikal dan disebabkan oleh hiperkstensi mendadak
sehingga sumsum belakang terdesak dari dorsal oleh ligamentum flavum yang terlipat.
Cedera tersebut dapat terjadi pada orang yang memikul beban berat di atas kepala yang
mendadak mengalami gangguan keseimbangan sehingga beban jatuh dan tulang belakang
sekonyong-konyong hiperekstensi. Gambaran klinik berupa tetraparese parsial.
Gangguan pada ekstremitas bawah lebih ringan daripada ekstremitas atas, sedangkan
daerah perianal tidak terganggu.
Sindrom Brown-Sequard disebabkan oleh kerusakan paruh lateral sumsum tulang
belakang. Sindrom ini jarang ditemukan. Gejala klinik berupa gangguan motorik dan
hilangnya rasa vibrasi pada posisi ipsilateral; di kontralateral terdapat gangguan rasa
nyeri dan suhu.
Kerusakan tulang belakang setinggi verrtebra L1-L2 mengakibatkan anestesia
perianal, gangguan fungsi defekasi, miksi, impotensi, serta hilangnya refleks anal dan
refleks bulbokavernosa. Sindrom ini disebut sindrom konus medularis.
Sindrom kauda equina* disebabkan oleh kompresi pada radiks lumbosakral
setinggi ujung konus medularis dan menyebabkan kelumpuhan dan anestesia di daerah
lumbosakral yang mirip dengan sindrom konus medularis. (lihat gambar 39-16).
Gambar 39-16
Topografi kolumna vertebralis dan akar saraf terhadap sumsum tulang belakang.
Pertumbuhan sumsum tulang belakang selama masa perkembangan embrionik lebih di
belakang dari perkembangan kolumna, di bagian yang lebih ke bawah terletak akar saraf
berseberangan dengan area subarachnoid. Serabut saraf cervical keluar dari kanal saraf di
atas vertebra tersebut sementara semua serabut saraf dari T1 keluar di bagian bawah
vertebra terkait.
Klasifikasi Neurologis Standar Trauma Sumsum Tulang Belakang, diambil dari
International Standards for Neurological Classification of Spinal Cord Injury, revisi tahun
2000, American Spinal Injury Association/International Medical Society of Paraplegia

Tingkat keparahan trauma tulang belakang dan sumsum tulang belakang dapat
diklasifikasikan menurut grading Frankel berikut ini

Grading Frankel :
A. “Complete” – Hilangnya motorik dan sensorik total
B. “Sensory only” – Hanya terdapat sensorik
C. “Motor useless” – Terdapat gerakan motorik tapi tidak dapat berfungsi baik
D. “Motor useful” – Terdapat gerakan motorik dan berfungsi baik
E. “Recovery” – Tidak ada defisit neurologist

(Dari Frankel HL, Hancock DO, Hyslop G, et al. The value of postural reduction in the initial management
of closed injuries of the spine with paraplegia and tetraplegia. Paraplegia 1969;7:179-92

39.3-4. TATALAKSANA

Perhatian utama pada penderita cedera tulang belakang ditujukan pada usaha
mencegah terjadinya kerusakan yang lebih parah atau cedera sekunder. Untuk maksud
tersebut dilakukan imobilisasi di tempat kejadian dengan memanfaatkan alas yang keras.
Penderita tidak boleh diangkut tanpa tandu atau sarana apapun yang beralas keras.
Hal ini berlaku pada semua penderita yang patut dicurigai berdasarkan jenis kecelakaan,
penderita yang merasa nyeri di daerah tulang belakang, lebih-lebih bila terdapat
kelemahan pada ekstremitas yang disertai mati rasa. Selalu harus diperhatikan jalan napas
dan sirkulasi.
Bila dicurigai cedera di daerah servikal, harus diusahakan agar kepala tidak
menunduk dan tetap di tengah dengan menggunakan bantal kecil atau gulungan kain
untuk menyangga leher pada saat pengangkutan (lihat tulang belakang, gambar 40-
46/47).
Setelah semua langkah tersebut dipenuhi, barulah dilakukan pemeriksaan fisik
dan neurologik yang lebih cermat. Pemeriksaan penunjang seperti radiologis dapat
dilakukan.
Pada umumnya terjadi paralisis usus selama dua sampai enam hari akibat
hematom retroperitoneal sehingga diperlukan pemasangan pipa lambung.
Pemasangan kateter-tetap pada fase awal bertujuan mencegah terjadi
pengembangan kandung kemih yang berlebihan yang lumpuh akibat syok spinal.
Pemasangan kateter juga berguna untuk memantau produksi urin, serta mencegah
terajdinya dekubitus karena menjamin kulit tetap kering.
Perhatian perlu diberikan untuk mencegah terjadinya pneumonia dan untuk nutrisi
yang optimal.

Bagan 39-6
Penanggulangan cedera tulang belakang dan sumsum tulang belakang
(lihat hlm. 100 dan 822/823).

Prinsip umum :
- Pikirkan selalu kemungkinan adanya cedera mielum
- Mencegah terjadinya cedera kedua
- Waspada akan tanda yang menunjukkan jejas lintang
- Lakukan evaluasi dan rehabilitasi
Tindakan
- Adakan imobilisasi di tempat kejadian ( dasar papan )
- Optimalisasi faal ABC: jalan napas, pernapasan dan peredaran darah
- Penanganan kelainan yang lebih urgen ( pneumotoraks?)
- Pemeriksaan neurologik untuk menentukan tempat lesi
- Periksaan radiologik ( kadang diperlukan )
- Tindak bedah ( dekompresi, reposisi, atau stabilisasi)
- Pencegahan penyulit
o Ileus paralaitik  sonde lambung
o Penyulit kelumpuhan kandung kemih  kateter
o Pneumoni
o Dekubitus
Bagan 39-7

Tindak bedah pada cedera tulang belakang dan sumsum tulang belakang

Tindakan darurat
- Luka tembus
o Peluru
o Tikam/bacok
- Sindrom sumsum anterior akut
- Gangguan neurologik progresif ( penekanan)

Tindakan elektif
- Patah tulang tidak stabil

Tujuan
- Mencegah jejas lintang
- Mempercepat penyembuhan dan revalidasi
- Memungkinkan rehabilitasi aktif
- Mempermudah
o Perawatan
o Fisioterapi aktif

39-3-5. TINDAK BEDAH

Jika terdapat tanda kompresi pada sumsum belakang karena deformitas fleksi,
fragmen tulang, atau hematom, diperlukan tindakan dekompresi.
Dislokasi pada umumnya disertai instabilitas tulang belakang memerlukan
tindakan reposisi dan stabilisasi.
Pembedahan darurat dilakukan bila terdapat gangguan neurologik progresif akibat
penekanan, pada luka tembus, dan pada sindrom sumsum tulang belakang bagian depan
yang akut.
Pembedahan selalu harus dipertimbangkan untuk mempermudah perawatan dan
fisioterapi agar mobilisasi dan rehabilitasi dapat berlangsung lebih cepat. Pembedahan
akan mengurangi kemungkinan terjadinya penyulit tetapi tidak harus dilakukan sebagai
tindakan darurat untuk mengatasi gangguan stabilitas tulang belakang.

39-3-6. KOMPLIKASI

Komplikasi yang dapat terjadi pada trauma tulang belakang dan sumsum tulang
belakang berupa komplikasi akut dan kronis. Komplikasi akut terjadi pada sistem
respirasi di mana pada kasus tetraplegia dapat terjadi paralisis intercostal, kelemahan
saraf frenikus parsial serta gangguan ventilasi dan perfusi. Pada kasus paraplegia dapat
terjadi paralisis saraf interkostal setinggi level trauma. Sedangkan pada sistem
kardiovaskuler dapat terjadi perdarahan dari trauma ikutan, gangguan saraf simpatis
torakolumbal (T1-L2), gangguan tonus vagus yang dapat menyebabkan hipotensi dan
bradikardia. Komplikasi pada traktus urinarius yang terjadi adalah retensi urin akut
karena akontraktil kandung kemih. Sedangkan pada traktus gastrointestinal yang terjadi
adalah ileus paralitik dalam 48 jam pertama, bila paralisis tetap berlangsung akan
menyebabkan distensi abdomen dan menekan diafragma.
Trauma tulang belakang pada awalnya bersifat mekanis, namun kemudian dapat timbul
iskemik yang dapat menyebabkan nekrosis serabut spinal terutama pada segmen toraks
yang memiliki kanal yang lebih sempit dan suplai darah yang lebih kurang dibanding
segmen servikal dan lumbal.
Komplikasi lanjut pada trauma tulang belakang dan sumsum tulang belakang adalah
deformitas, siringomyelia (kistik myelopati), nyeri, dan gangguan fungsi seksual.

39.3.7. PROGNOSIS

Penentuan derajat trauma tulang belakang dan sumsum tulang belakang


merupakan hal yang penting untuk penanganan lanjut pasien tersebut, baik pemulihan
fungsional maupun anatominya. Pemulihan sempurna setelah suatu trauma tulang
belakang komplit sangat sulit didapatkan dibandingkan dengan trauma inkomplit, namun
tidak bijaksana untuk menentukan secara dini karena kemungkinan trauma berat dapat
menimbulkan paralisis total akibat udema dan kontusio serabut saraf yang kemudian
dapat membaik. Namun kadang pula rasa optimis yang berlebihan dapat menjadi
kekecewaan yang besar akibat kegagalan pemulihan dan rehabilitasi.

Anda mungkin juga menyukai