Anda di halaman 1dari 8

BAB II

Tinjauan Teori

A. Anatomi Fisiologi
Medulla spinalis dan batang otak membentuk struktur kontinu yang keluar
dari hemisfer serebral dan bertugas sebagai penghubung otak dengan saraf
perifer. Panjangnya rata rata 45 cm dan menipis pada jari jari. Medulla
spinalis yang memanjang dari foramen magnum di dasar tengkorak sampai
bagian atas lumbal ke dua adalah akar saraf. Akar saraf yang memanjang
melebihi konus dan menyerupai ekor kuda disebut kauda equine. Medulla
spinalis tersusun atas 33 segmen servikal, 12 segmen torakal, 5 segmen
lumbal, 5 segmen sarkal, dan 5 segmen kogsigeus. Medulla spinalis
mempunyai 31 pasang spinal, masing masing segmen memiliki 1 percabangan
untuk setiap sisi. Medulla spinalis terdiri atas substansia grisea dan substansia
alba. Di dalam substansia grisea terletak di daerah eksternal dan substansia
alba terletak pada bagian internal. Pada medulla spinalis, substansia grisea
berada di bagian tengah, sedangkan substansia alba mengelilingi substansia
grisea Struktur medulla spinalis di kelilingi oleh meningen, dura meter,
arachnoid, dan piamater. Di antara dura meter dan kanalis vertebralis terdapat
ruang epidoral. Medulla spinalis berbentuk struktur H dengan badan sel saraf
(substansia grisea). Bagian bawah yang berbentuk H meluas dari bagian atas
dan bersamaan menuju bagian tanduk (Anterior born). Tanduk tanduk ini
merupakan sel sel yang mempunyai serabut serabut, yang membentuk ujung
akar anterior (motorik) dan berfungsi untuk aktifitas yang disadari, dan
aktifitas dari otot otot yang berhubungan dengan medulla spinalis. Bagian
posterior yang tipis mengandung sel sel berupa serabut serabut yang masuk ke
ujung akar posterior dan kemudian bertindak sebagai relay station dalam jaras
atau sensorik.
Bagian torakal medulla spinalis adalah proyeksi dari masing masing sisi di
bagian cross bar H substansia grisea yang disebut tanduk lateral (lateral born).
Tanduk lateral mengandung sel sel yang memberikan reaksi serabut otonom
bagian simpatis. Serabut serabut ini meninggalkan medulla spinalis yang
besar dan terbagi menjadi tiga kelompok serabut yang disebut traktus atau
jaras. Traktus posterior menyalurkan sensasi, presepsi terhadap sentuhan,
tekanan, getaran, posisi, dan getaran getaran pasif bagian tubuh. Sebelum
mencapai daerah korteks serebri, serabut serabut ini menyilang menuju ke
daerah yang berlawanan pada medulla oblongata.
Bagian traktus spinotalamus bertugas mengirim impuls nyeri dan suhu ke
thalamus dan korteks serebri. Traktus lateral (piramidal, kortikospinal)
menyalurkan impuls motorik ke sel sel tanduk anterior dan sisi yang
berlawanan di otak. Serabut desenden merupakan sel sel saraf yang di dapat
pada daerah sebelum pusat korteks. Bagian ini menyilang di bagian medulla
oblongata yang disebut piramida.
Jaras visual, serabut serabut yang berhubungan dengan saraf optic berakhir
pada pangkal tiap tiap hemisfer. Sel sel ini bertanggung jawab terhadap
penglihatan . pemeriksaan penglihatan klien di lakukan melalui uji ketajaman
penglihatan menggunakan kartu snellen dan dengan membaca Koran.
Penglihatan klien diperiksa dengan atau tanpa koreks lensa. Untuk melakukan
pemeriksaan terhadap lapang pandang, klien diminta menutup satu mata dan
melihat hidung pemeriksa. Pemeriksaan dimulai dari perifer setiap kuadran
penglihatan, pemeriksaan menggerakkan jari atau aplikator berujung kapas
didepan klien ke arah tengah penglihatan klien. Klien diminta segera memberi
tanda bila melihat jari atau aplikator. Uji untuk lapang pandang dapat di
lakukan pada gangguan fungsi di sepanjang jaras optik yang mencakup organ
indera dan neuron di retina, traktus dan serabut saraf mata, serta lobus
oksipital.
B. Definisi
Cedera medula spinalis adalah cidera yang terjadi pada jaringan medula
spinalis yang dapat menyebabkan fraktur atau pergeseran satu atau lebih
tulang vertebra atau kerusakan medula spinalis lainnya termasuk akar akar
saraf yang berada sepanjang medula spinalis sehingga menyebabkan defisit
neurologi. Medulla spinalis merupakan bagian susunan saraf pusat yang
terletak di dalam kanalis vertebralis dan menjulur dari foramen magnum ke
bagian atas region lumbalis. Trauma pada medulla spinalis dapat bervariasi
dari trauma ekstensi fiksasi ringan yang terjadi akibat benturan secara
mendadak sampai yang menyebabkan transeksi lengkap dari medulla spinalis
dengan quadriplegia.
C. Tanda Gejala
a. Pernapasan dangkal.
b. Penggunaan otot bantu pernapasan.
c. Pergerakan dinding dada.
d. Hipotensi.
e. Bradikardia.
f. Kulit teraba hangat dan kering.
g. Poikilotermi ( ketidakmampuan mengatur suhu tubuh, yang mana suhu
tubuh bergantung pada suhu lingkungan ).
h. Kehilangan sebagian atau keseluruhan kemampuan bergerak.
i. Kehilangan sensasi.
j. Terjadi paralisis, paraparesis, paraplegia atau quadriplegia.
k. Adanya spasme otot, kekakuan.
D. Etiologi
a. Kecelakaan di jalan raya.
b. Olahraga.
c. Menyelam pada air yang dangkal.
d. Luka tembak atau luka tikam
e. Gangguan lain yang dapat menyebakan cedera medulla spinalis seperti
spondiliosis servikal dengan mielopati, yang menghasilkan saluran
sempit dan mengakibatkan cedera progresif terhadap medulla spinalis
dan akar; mielitis akibat proses inflamasi infeksi maupun non infeksi;
osteoporosis yang disebabkan oleh fraktur kompresi pada vertebra;
siringmielia; tumor infiltrasi maupun kompresi; dan penyakit vaskuler.
E. Patofisiologi
Cedera medulla spinalis kebanyakan terjadi sebagai akibat cedera pada
vertebra. Medula spinalis yang mengalami cedera biasanya berhubungan
dengan akselerasi, deselerasi, atau kelainan yang diakibatkan oleh berbagai
tekanan yang mengenai tulang belakang.Tekanan cedera pada medula spinalis
mengalami kompresi, tertarik atau merobek jaringan. Lokasi cedera umumnya
mengenai C1 dan C2,C4,C6 dan T11 atau L2. Fleksi-rotasi,dislokasi, dislokasi
fraktur, umumnya mengenai servikal pada C5 dan C6. Jika mengenai spina
torakolumbar, terjadi pada T12-L1. Fraktur lumbal adalah fraktur yang terjadi
pada daerah tulang belakang bagian bawah. Bentuk cedera ini mengenai
ligamen, fraktur vertebra, kerusakan pembuluh darah, dan mengakibatkan
iskemia pada medula spinalis.
Hiperekstensi. Jenis cedera ini pada umumnya mengenai klien denga usia
dewasa yang memiliki perubahan degeneratuf vertebra, usia muda yang
mendapat kecelakaan lalu lintas saat mengendarai kendaraan, dan usia muda
yang mengenai cedera leher saat menyelam.jenis cedera ini mengakibatkan
medula spinalis bertentangan dengan ligamentum flava dan mengakibatkan
kontusio kolom dan dislokasi vertebra. Traseksi lengkap dari medula spinalis
dapat mengikuti cedera hiperekstensi. Lesi lengkap dari medula spinalis
mengakibatkan kehilangan pergerakan volunter menurun pada daerah lesi dan
kehilangan fungsi refleks pada isolasi bagian medula spinalis.
Kompresi. Cedera kompresi sering disebabkan karena jatuh atau melompat
dari ketinggian, dengan posisi kaki atau bokong (duduk). Tekanan
mengakibatkan fraktur vertebra dan menekan medula spinalis. Diskus dan
fragmen tulang dapat masuk ke medulla spinalis. Lumbal dan toraks vertebra
umumnya akan mengalami cedera serta menyebabkan edema dan perdarahan.
Edema pada medula spinalis mengakibatkan kehilangan fungsi sensasi.
F. Pathway
G. Komplikasi
H. Penatalaksanaan
a. Terapi dilakukan untuk mempertahankan fungsi neurologis yang
masih ada, memaksimalkan pemulhan neurologis, tindakan atas cedera
lain yang menyertai, mencegah, serta mengobati komplikasi dan
kerusakan neural lebih lanjut. Reabduksi atas sublukasi. Untuk
mendekompresi koral spinal dan tindakan imobilisasi tulang belakang
untuk melindungi koral spinal.
b. Operasi lebih awal sebagai indikasi dekompresi neural, fiksasi internal,
atau debridemen luka terbuka.
c. Fiksasi internal efektif dilakukan pada klien dengan ketidakstabilan
tulang belakang, cedera ligamen tanpa fraktur, deformitas tulang
belakang progresif, cedera yang tidak dapat di rebaduksi, dan fraktur
non union.
d. Terapi steroid, nomidipin, atau dopamin untuk perbaiki aliran darah
koral spiral. Bila diberikan dalam 8 jam sejak cedera akan
memperbaiki pemulihan neurologis. Gangliosida mungkin juga akan
memperbaiki pemulihan setelah cedera koral spiral.
e. Penilaian keadaan neurologis setiap jam, termasuk pengamatan fungsi
sensorik, motorik, dan penting untuk melacak defisit yang progresif
atau asenden.
f. Mempertahankan perfusi jaringan yang adekuat, fungsi ventilasi,dan
melacak keadaan dekompensasi.
g. Pengelolaan cedera stabil tanpa defisit neurologis seperti angulasi atau
baji dari badan ruas tulang belakang, fraktur proses tranversus,spinous,
dan lainnya.
h. Cedera tak stabil disertai defisit neurologis. Bila terjadi pergeseran,
fraktur memerlukan reabduksi dan posisi yang sudah baik harus
dipertahankan.
Metode rebduksi antara lain:
a) Traksi memakai sepit metal yang dipasang pada tengkorak.
b) Manipulasi dengan anestesi umum
c) Reabduksi terbuka melalui operasi

Metode imobilisasi antara lain:

a) Ranjang khusus, rangka atau selubung plester.


b) Traksi tengkorak perlu beban sedang untuk mempertahankan
cedera yang sudah di reabduksi
c) Plester paris dan splin eksternal lain
d) Operasi
i. Cedera stabil disertai defisit neurologis. Bila fraktur stabil, kerusakan
neurologis disebabkan oleh:
a) Pergeseran yang cukup besar yang terjadi saat cedera
menyebabkan trauma langsung terhadap koral spiral atau
kerusakan vaskular.
b) Tulang belakang yang sebetulnya sudah rusak akibat penyakit
sebelumnya seperti spondiliosis servikal.
c) Fragmen tulang atau diskus terdorong ke kanal spinal

Pengelolaan Cedera

a. Pengelolaan Hemodinamik
a) Bila terjadi hipotensi, cari sumber perdarahan dan atasi syok
neurogenik akibat hilangnya aliran adrenergik dari sistem saraf
simpatis pada jantung dan vaskular perifer setelah cedera diatas
tingkat T6. Terjadi hipotensi, bradikardia, dan hipotermi. Syok
neurogenik lebih mengganggu distribusi volume intravaskuler
daripada menyebabkan hipovalensi sejati sehingga perlu
pertimbangan pemberian terapi atropin, dopamin, atau
fenilefrin jika penggantian volume intravaskular tidak bereaksi.
b) Pada fase akut setelah cedera, dipasan beberapa jalur intravena
perifer dan pengamatan tekanan darah melalui jalur arteri
dipasang, dan resusitasi cairan dimulai.
c) Bila hipotensi tidak bereaksi atas cairan pemberian tranfusi,
lakukan kateterisasi pada arteri pulmonal untuk mengarahkan
ke perbedaan mekanisme hipovolemik,kardiogenik, atau
neurogenik.
b. Pengelolaan sistem pernafasan
a) Ganti posisi berulang
b) Perangsangan batuk
c) Pernapasan dalam
d) Spirometri intensif
e) Pernapasan bertekanan yang berkesinambungan dengan masker
adalah cara mempertahankan ekspansi paru atau kapasitas
residual fungsional.
f) Klien yang mengalami gangguan fungsi ventilasi dilakukan
trakeostomi
c. Pengelolaan nutrisional dan sistem pencernaan
a) Lakukan pemeriksaan CT scan berhubungan dengan omen atau
lavasi peritoneal bila diduga ada perdarahan atau cedera
berhubungan dengan ominal.
b) Bila ada ileus lakukan pengisapan nasogastrik,penggantian
elektrolit, dan pengamatan status cairan.
c) Terapi nutrisonal awal yang harus dimetabolisme.
d) Bila ada hiperalimentasi internal elemental, pasang duoclenol
yang fleksibel melalui atau dengan bantuan fluoroskopi.
e) Jika terjadi kehilangan fungsi sfingter anal beri Dulcolax
d. Pengelolaan gangguan koagulasi
a) Untuk mencegah terjadinya trombosis vena dan emboli paru
beri heparin dosis minimal.
b) Ranjang yang berosilasi.
c) Ekspansi volume.
d) Strokeing prenmatis anti emboli
e) Antiplatelet serta antikoagulasi untuk pencegahan.
e. Pengelolaan genitourinaria
a) Pasang kateter Dower
b) Amati urin output
f. Pengelolaan ulkus dekubitus
a) Untuk mencegah tekanan langsung pada kulit, kurang perfusi
jaringan, dan kurangnya mobilitas, gunakan busa atau kulit
penyangga tonjolan tulang.
b) Putar atau ganti posisi tubuh berulang.
c) Perawatan kulit yang baik.
d) Gunakan ranjang berosilasi.

Anda mungkin juga menyukai