Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Trauma medulla spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang disebabkan
seringkali oleh kecelakaan lalu lintas. Apabila Trauma itu mengenai daerah L1-L2 dan
atau di bawahnya maka dapat mengakibatkan hilangnya fungsi motorik dan sensorik serta
kehilangan fungsi defekasi dan berkemih.Cedera medula spinalis adalah cedera yang
mengenai servikalis vertebralis dan lumbalis akibat dari suatu trauma yang mengenai
tulang belakang. Cedera medula spinalis adalah masalah kesehatan mayor yang
mempengaruhi 150.000 sampai 500.000 orang hampir di setiap negara, dengan perkiraan
10.000 cedera baru yang terjadi setiap tahunnya. Kejadian ini lebih dominan pada pria
usia muda sekitar 75% dari seluruh cedera. Setengah dari kasus ini akibat dari kecelakaan
kendaraan bermotor, selain itu banyak akibat jatuh, olahraga dan kejadian industri dan
luka tembak.Vertebra yang paling sering mengalami cedera adalah medula spinalispada
daerah servikal ke-5, 6, dan 7, torakal ke-12 dan lumbal pertama.Vertebra ini adalah
paling rentan karena ada rentang mobilitas yang lebih besar dalam kolumna vertebral
pada area ini. Pada usia 45-an fraktur banyak terjadi pada pria di bandingkan pada wanita
karena olahraga, pekerjaan, dan kecelakaan bermotor. Tetapi belakangan ini wanita lebih
banyak dibandingkanpria karena faktor osteoporosis yang di asosiasikan dengan
perubahan hormonal (menopause).

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Trauma/Cedera Medula Spinalis


Trauma Medulla Spinalis adalah Trauma yang terjadi pada jaringanmedulla spinalis
yang dapat menyebabkan fraktur atau pergeseran satu ataulebih tulang vertebrata atau
kerusakan jaringan medulla spinalis lainnyatermasuk akar-akar saraf yang berada
sepanjang medulla spinalis sehinggamengakibatkan defisit neurologi.
Cedera medula spinalis (CMS) merupakan salah satu penyebabgangguan fungsi saraf
yang sering menimbulkan kecacatan permanen padausia muda. Kelainan yang lebih
banyak dijumpai pada usia produktif iniseringkali mengakibatkan penderita harus terus
berbaring di tempat tidur ataududuk di kursi roda karena tetraplegia atau paraplegia.
Beberapa yang berhubungan dengan trauma medula spinalis seperti :
a. Quadriplegia adalah keadaan paralisis/kelumpuhan padaekstermitas dan terjadi
akibat trauma pada segmen thorakal 1 (T1) keatas. Kerusakan pada level akan
merusak sistem syaraf otonom khsusnya syaraf simpatis misalnya adanya
gangguan pernapasan.
b. Komplit Quadriplegia adalah gambaran dari hilangnya fungsi medula karena
kerusakan diatas segmen serfikal 6 (C6).
c. Inkomplit Quadriplegia adalah hilangnya fungsi neurologi karenakerusakan
dibawah segmen serfikan 6 (C6).
d. Refpiratorik Quadriplegia (pentaplagia) adalah kerusakan yangterjadi pada serfikal
pada bagian atas (C1-C4) sehingga terjadigangguan pernapasan.
e. Paraplegia adalah paralisis ekstermitas bagian bawah, terjadiakibat kerusakan pada
segmen parakal 2 (T2) kebawah.

2
B. Anatomi Fisiologi Sistem Persarafan (Medulla Spinalis)

Medulla spinalis (spinal cord) merupakan bagian susunan sarafpusat yang


terletak di dalam kanalis vertebralis dan menjulur dari foramenmagnum ke bagian atas
region lumbalis. Trauma pada medulla spinalis dapat bervariasi dari trauma ekstensi
fiksasi ringan yang terjadi akibat benturan secara mendadak sampai yang menyebabkan
transeksi lengkap dari medulaspinalis dengan quadriplegia.
Medulla Spinalis terdiri dari 31 segmen jaringan saraf dan masing-masing
memiliki sepasang saraf spinal yang keluar dari kanalis vertebralismelalui voramina
intervertebralis (lubang pada tulang vertebra). Saraf-sarafspinal diberi nama sesuai
dengan foramina intervertebralis tempat keluarnyasaraf- saraf tersebut, kecuali saraf
servikal pertama yang keluar diantaratulang oksipital dan vertebra servikal pertama.
Dengan demikian, terdapat 8 pasang saraf servikal, 12 pasang torakalis, 5 pasang saraf
lumbalis, 5 pasangsaraf skralis, dan 1 pasang saraf koksigeal.
Saraf spinal melekat pada permukaan lateral medulla spinalisdengan perantaran
dua radiks, radik posteriol atau dorsal (sensorik) dan radik anterior atau ventral (motorik).
Radiks dorsal memperlihatkan pembesaran, yaitu ganglion radiks dorsal yang terdiri dari
badan-badan sel neuron aferen atau neuron sensorik. Badan sel seluruh neuron aferen

3
medulla spinalis terdapat dapat ganglia tersebut. Serabut-serabut radiks dorsal merupakan
tonjolan-tonjolan neuron sensorik yang membawa impuls dari bagian perifer ke medulla
spinalis. Badan sel neuron motorik terdapat di dalam medullaspinalis dalam kolumna
anterior dan lateral substansia grisea. Aksonnya membentuk serabut-serabut radiks
ventral yang berjalan menuju ke otot dan kelenjar. Kedua radiks keluar dari foramen
intervertebralis dan bersatumembentuk saraf spinal. Semua saraf spinal merupakan
saraf campuran, yaitu mengandung serabut sensorik maupun serabut motorik.

Sistem saraf spinal (tulang belakang) berasal dari arah dorsal,sehingga sifatnya


sensorik. Berdasarkan asalnya, sarafsumsum tulang belakang yang berjumlah 31
dibedakan menjadi:

a) 8 pasang saraf leher (saraf cervical) ( C1 sampai C8 ) Meliputi
b) 12 pasang saraf punggung (saraf thorax) (T1 - T2 )
c) 5 pasang saraf pinggang (saraf lumbar) ( L1 - L5 )
d) 5 pasang saraf pinggul (saraf sacral) ( S1 - S5 )
e) 1 pasang saraf ekor (saraf coccyigeal).
Struktur umum medula spinalis :
a) Medula spinalis berbentuk silinder berongga dan agak pipih.Walaupun
diameter medula spinalis bervariasi, diameter struktur ini biasanya sekitar
ukuran jari kelingking.
b) Panjang rata-rata 42 cm.

4
c) Pembesaran lumbal dan serviks, menandai sisi keluar saraf spinal besar yang
mensuplai lengan dan tungkai, satu pasang saraf spinal keluar dari area urutan
korda melalui foramina intervertebral.  
d) Korda berakhir dibagian bawah vertebra lumbal pertama atau kedua.
e) Saraf spinal bagian bawah yang keluar sebelum ujung korda mengarah ke
bawah, disebut korda ekuina.

Struktur Internal Medula Spinalis terdiri dari sebuah inti substansi abu-abu yang
diselubungi substansi putih:

a)  Kanal sentral berukuran kecil dikelilingi substansi abu-abu bentuknya seperti


huruf.
b)  Batang atas dan bawah huruf disebut tanduk, atau kolumna dan mengandung
badan sel, dendrit asosiasi, dan neuron eferen serta akson tidak
termielinisasia. 
c) Tanduk abu-abu posterior (dorsal) adalah batang ventrikel atas substansi abu-
abu.
d) Bagian ini mengandung badan sel yang menerima sinyal melalui saraf spinal
dari neuron sensorik.

Setiap saraf spinal memiliki satu radiks dorsal atau satu radiks ventral.Radiks
dorsal terdiri dari kelompok-kelompok serabut sensorik yang memasuki korda. Radiks
ventral adalah penghubung ventral dan membawa serabut motorik ke korda:

a) Setiap radiks yang memasuki atau meninggalkan korda membentuk tujuh


sampai sepuluh cabang radiks. 
b) Radiks dorsal dan ventral pada setiap sisi segmen medula spinalismenyatu
untuk membentuk saraf spinal.
c) Radiks dorsal ganglia adalah pembesaran radiks dorsal yangmengandung sel
neuron sensori.

5
Traktus spinal. Substansi putih korda yang terdiri dari akson termielinisasi dibagi
menjadi funikulus anterior, posterior, lateral. Dalam funikulus terdapat fasikulus atau
traktus. Traktus diberi nama sesuai dengan lokasi, asal dan tujuannya.

1. Traktus sensorik atau asenden membawa informasi dari tubuh keotak. Bagian
penting traktus asenden meliputi:

A. Fasikulus grasilis dan fasikulus kuneatusa.

Origo dan tujuan. Impuls dari sentuhan reseptor perabamasuk ke medula spinalis
melalui radiks dorsal (neuron . Akson memasuki korda, berasenden untuk
bersinaps dengan nuklei grasilis dan kuneatus di medula bagian bawah (neuronII).
Akson menyilang ke sisi yang berlawanan dan bersinapsdalam talamus lateral
(neuron III). Terminasinya berada padaarea somestetik korteks serebralb. Fungsi.
Traktus ini menyampaikan informasi mengenaisentuhan, tekanan, vibrasi, dan
tendon otot

B. Traktus spinoserebelar ventral (anterior) (berpasangan)

a. Origo dan tujuan. Impuls dari reseptor kinestetik (kesadaranakan posisi tubuh)
pada otot dan tendon memauki medulaspinalis melalui radiks dorsal (neuron I)
dan bersinaps dalamtanduk posterior (neuron II). Akson berasenden disisi
yangsama atau berlawanan dan berterminasi pada korteksserebralb. Fungsi,
Traktus spinoserebelar ventral membawa informasimengenai gerakan dan posisi
keseluruhan anggota gerak

C. Traktus spinoserebelar dorsal (posterior)

a. Origo dan tujuan. Impuls dari traktus spinoserebelar dorsalmemiliki awal


dan akhir yang sama dengan impuls daritraktus spinoserebelar ventral, walaupun
demikian, akson pada neuron II dalam tanduk posterior bersenden disisi yangsama
menuju korteks serebralb. Fungsi. Traktus spinoserebelar dorsal membawa
informasimengenai propriosepsi bawah sadar (kesadaran akan posisitubuh,
keseimbangan, dan arah gerakan)

6
D. Traktus spinotalamik ventral (anterior)

a. Origo dan tujuan. Impuls dari reseptor taktil pada kulit masukke medulla
spinalis melalui radiks dorsal (neuron I) dan bersinaps dalam tanduk posterior
disisi yang sama (neuronII). Akson menyilang kesisi yang berlawanan dan
berasendenuntuk bersinapsis dalam talamus (neuron III). Akson berujung dalam
area somestetik korteks serebral

b. Fungsi. Traktus spinotalamik ventral membawa informasi mengenai


sentuhan, suhu dan nyeri

C. Penyebab atau Etiologi dan Faktor Resiko trauma Medula Spinalis

Cedera Medula Spinalis disebapkan oleh trauma langsung yangmengenai tulang belakang
dimana trauma tersebut melampaui bataskemampuan tulang belakang dalam melindungi
saraf-saraf di dalamnya Cedera sumsum tulang belakang terjadi akibat patah tulang
belakang danterbanyak mengenai daerah servikal dan lumbal.cedera terjadi akibat
hiperfleksi, hiperekstensi, kompressi, atau rotasi tulang belakang. Di daerah torakal tidak
banyak terjadi karena terlindung dengan struktur toraks.Fraktur dapat berupa patah tulang
sederhana, kompressi, kominutif, dan dislokasi, sedangkan kerusakan pada sumsum
tulanmg belakang dapat berupa memar, contusio, kerusakan melintang, laserasi dengan
atau tanpa gangguan peredaran darah, atau perdarahan. Kelainan sekunder padasumsum
belakang dapat doisebabkan hipoksemia dana iskemia.iskamiadisebabkan hipotensi,
oedema, atau kompressi. Perlu disadar bahwa kerusakan pada sumsum
belakangmerupakan kerusakan yang permanen karena tidak akan terjadi regenerasidari
jaringan saraf. Pada fase awal setelah trauma tidak dapat dipastikan apakah
gangguan fungsi disebabkan oleh kerusakan sebenarnya dari jaringan saraf atau
disebabkan oleh tekanan, memar, atau oedema.

 A. Etiologi cedera spinal adalah:

a. Trauma misalnya kecelakaan lalu lintas, terjatuh, kegiatan olahraga, luka


tusuk atau luka tembak.

7
b. Non trauma seperti spondilitis servikal dengan myelopati,myelitis,
osteoporosis, tumor.
D. Manifestasi Klinis Trauma Medula Spinalis
a. Nyeri akut pada belakang leher, yang menyebar sepanjang sarafyang terkena
b. Paraplegia
c. Tingkat neurologic
d. Paralisis sensorik motorik total
e. Kehilangan kontrol kandung kemih (refensi urine, distensi kandungkemih)
f. Penurunan keringat dan tonus vasomotor
g. Penurunan fungsi pernafasan.
h.  Gagal nafas
i. Pasien biasanya mengatakan takut leher atau tulang punggungnyapatah
j. Kehilangan kontrol kandung kemih dan usus besar. 
E. Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala cedera medula spinalis tergantung dari tingkat kerusakan dan
lokasi kerusakan. Dibawah garis kerusakan terjadi misalnyahilangnya gerakan volunter,
hilangnya sensasi nyeri, temperature, tekanan danproprioseption, hilangnya fungsi bowel
dan bladder dan hilangnya fungsi spinaldan refleks autonom.
1. Perubahan reflex Setelah terjadi cedera medula spinalis terjadi edema medula
spinalis sehingga stimulus refleks juga terganggu misalnya refleks ejakulasi
dan aktivitas visceral
2. Spasme otot Gangguan spame otot terutama terjadi pada trauma komplit
transversal, dimana pasien trejadi ketidakmampuan melakukannpergerakan.
3. Spinal shock Tanda dan gejala spinal shock meliputi flacid paralisis di bawah
garis kerusakan, hilangnya sensasi, hilangnya refleks – refleks spinal,hilangnya
tonus vasomotor yang mengakibatkan tidak stabilnya tekanan darah, tidak
adanya keringat di bawah garis kerusakan dan inkontinensia urine dan retensi
feses.
4. Autonomik dysrefleksiaTerjadi pada cedera T6 keatas, dimana pasien
mengalami gangguan refleks autonom seperti terjadinya bradikardia,
hipertensi paroksismal,distensi bladder.

8
5. Gangguan fungsi seksual.Banyak kasus memperlihatkan pada laki – laki
adanya impotensi,menurunnya sensai dan kesulitan ejakulasi. Pasien dapat
ereksitetapi tidak dapat ejakulasi.
F. Komplikasi
1. Hilangnya sensasi, kontrol motorik, dan refleks.Pada cedera spinal yang parah,
sensasi, kontrol motorik, dan reflex setinggi dan dibawah cidera korda lenyap.
Hilangnya semua refleks disebutsyok spinal. Pembengkakan dan edema yang
mengelilingi korda dapat meluaskedua segmen diatas kedua cidera. Dengan
demkian lenyapnya fungsi sensorik dan motorik serta syok spinal dapat terjadi
mulai dari dua segmen diatas cidera.
2. Syok spinal. Syok spinal adalah hilangnya secara akut semua refleks-refleks
daridua segmen diatas dan dibawah tempat cidera. Refleks-refleks yang
hilangadalah refleks yang mengontrol postur, fungsi kandung kemih dan
rektum,tekanan darah, dan pemeliharaan suhu tubuh. Syok spinal terjadi
akibathilangnya secara akut semua muatan tonik yang secara normal
dibawahneuron asendens dari otak, yang bekerja untuk mempertahankan
fungsirefleks. Syok spinl biasanya berlangsung antara 7 dan 12 hari, tetapi
dapatlebih lama. Suatu syok spinal berkurang dapat tmbul hiperreflekssia,
yangditadai oleh spastisitas otot serta refleks, pengosongan kandung kemih
danrektum.
3. Hiperrefleksia otonom. Kelainan ini dapat ditandai oleh pengaktipan saraf-saraf
simpatis secarrefleks, yang meneyebabkan peningkatan tekanan darah. Hiper
refleksiaotonom dapat timbul setiap saat setelah hilangnya syok spinal.
Suaturangsangan sensorik nyeri disalurkan kekorda spnalis dan mencetukan
suaturefleks yang melibatkan pengaktifan sistem saraf simpatis.
Dengandiaktifkannya sistem simpatis, maka terjadi konstriksi pembuluh-
pembuluhdarah dan peningkatan tekanan darah system Pada orang yang korda
spinalisnya utuh, tekanan darahnya akans egera diketahui oleh baroreseptor.
Sebagai respon terhadap pengaktifan baroreseptor, pusat kardiovaskuler diotak
akan meningkatkan stimulas iparasimpatis kejantung sehingga kecepatan denyut
jantung melambat,demikian respon saraf simpatis akan terhenti dan terjadi

9
dilatasi pembuluh darah. Respon parasimpatis dan simpatis bekerja untuk secara
cepat memulihkan tekanan darah kenormal. Pada individu yang mengalami lesi
korda, pengaktifan parasimpatis akan memperlambat kecepatan denyut jantung
dan vasodilatasi diatas tempat cedera, namun saraf desendens tidakdapat
melewati lesi korda sehngga vasokontriksi akibat refleks simpatisdibawah
tingkat tersebut terus berlangsung.Pada hiperrefleksia otonom, tekanan darah
dapat meningkat melebihi 200 mmHg sistolik, sehingga terjadi stroke atau infark
miokardium.Rangsangan biasanya menyebabkan hiperrefleksia otonom adalah
distensikandung kemih atau rektum,atau stimulasi reseptor-reseptor permukaan
untuk nyeri.

G. Tatalaksana
Terapi farmakologik berupa pemberian Kortikosteroid (Metilprednisolon)
30 mg/kgBB bolus intravena selama 15 menit dilanjutkan dengan 5,4mg /kg BB/
jam selama 23 jam. Hasil optimal bila pemberian dilakukan < 8 jam onset.
Penggunaan Metilprednisolon dapat meningkatkan fungsi neurologis dan
meredakan nyeri, mengurangi edema dan memiliki efek onkolitik.
Metilprednisolon juga dapat menurunkan onset iskemik medula spinalis. Pada
pasien dengan prognosis yang cukup buruk dan keadaan umum yang tidak
terlalu baik, pemberian kortikosteroid merupakan terapi yang paling mungkin
untuk dilakukan Pada penelitian terbaru, ternyata ditemukan bahwa penambahan
Tirilazad, senyawa non-glukokortikoid, yang berfungsi sebagai neuroprotektor
dapat memberikan efek pencegahan terhadap penggunaan Metilprednisolon yang
terlalu lama.
Terapi non-Farmakologik: Radioterapi dapat segera dilakukan setelah
diagnosis telah ditegakkan. Radioterapi dapat diberikan pada tumor-tumor yang
radiosensitive dan tidak ditemukan adanya kelainan pada spinal. Selain itu
radioterapi dapat digunakan sebagai terapi paliatif pada penderita paraplegia.
Terapi bedah dapat diberikan pada pasien dengan keadaan umum yang stabil.
Terapi Bedah merupakan terapi lini pertama jika lokasi tumor primer tidak
diketahui, dengan relaps setelah radioterapi atau adanya instabilitas pada spinal

10
serta pergeseran tulang 7 belakang. Selain itu harus dipertimbangkan mengenai
tumor yang tidak sensitive pada radioterapi.
H. Kontrol dan Pencegahan

Penyebab dari kejadian kompresi medulla spinalis sangat beragam, tidak


mungkin dilakukan pencegahan secara menyeluruh terhadap faktor resiko yang
timbul. Pengecekan terhadap berat badan serta sering berolahraga dapat
menurunkan resiko peningkatan tekanan pada punggung sekaligus gejala pada
kompresi medulla spinalis. Selain itu, edukasi mengenai cara mengangkat beban
yang benar dapat menurunkan kejadian cedera pada tulang belakang yang dapat
menimbulkan kompresi pada tulang belakang

DAFTAR PUSTAKA

1. Abrahm, J. L. 2004. Assessment and treatment of patients with malignant spinal cord

compression. J Support Oncol, 2, 377-88.

11
2. Arce, D., Sass, P. & Abul-Khoudoud, H. 2001. Recognizing spinal cord emergencies.
Am Fam Physician, 64, 631-8.

3. Batchelor, P. E., Wills, T. E., Skeers, P., Battistuzzo, C. R., Macleod, M. R., Howells, D.
W. & Sena, E. S. 2013. Meta-analysis of pre-clinical studies of early decompression in
acute spinal cord injury: A battle of time and pressure. PloS one, 8, e72659.

4. Bayley, A., Milosevic, M., Blend, R., Logue, J., Gospodarowicz, M., Boxen, I., Warde,
P., McLean, M., Catton, C. & Catton, P. 2001. A prospective study of factors predicting
clinically occult spinal cord compression in patients with metastatic prostate carcinoma.
Cancer, 92, 303-310.

5. Fehlings, M. G., Vaccaro, A., Wilson, J. R., Singh, A., Cadotte, D. W., Harrop, J. S.,
Aarabi, B., Shaffrey, C., Dvorak, M. & Fisher, C. 2012. Early versus delayed
decompression for traumatic cervical spinal cord injury: results of the Surgical Timing
in Acute Spinal Cord Injury Study

6. Furlan, J. C., Noonan, V., Cadotte, D. W. & Fehlings, M. G. 2011. Timing of


decompressive surgery of spinal cord after traumatic spinal cord injury: an evidence-
based examination of preclinical and clinical studies. Journal of neurotrauma, 28, 1371-
1399.

7. Greenberg, H. S., Kim, J. H. & Posner, J. B. 1980. Epidural spinal cord compression
from metastatic tumor: results with a new treatment protocol. Annals of neurology, 8,
361-366.

8. Hall, E. 2011. Antioxidants Therapies for Acute Spinal Cord Injury. Neurotherapeutics,
8, 152-67.

9. Indonesia, K. K. 2012. Standar kompetensi dokter Indonesia. Jakarta: Konsil Kedokteran

Indonesia.

10. Johnston, R. A. 1993. The management of acute spinal cord compression. Journal of
neurology, neurosurgery, and psychiatry, 56, 1046.

12
11.Medicine,H.Available:http://www.hopkinsmedicine.org/healthlibrary/conditions/
nervous_system_disorders/spinal_cord_compression_134,13/ [Accessed Mei 18, 2015].

12. Schiff, D. 2003. Spinal Cord Compression. Neurol Clin N Am, 21, 67-86.

13.Setiawan, I. 2005. Cedera Medula Spinalis. Cedera Saraf Pusat dan Asuhan
Keperawatannya,

18-32.

14. Sorenson, P., Helweg-Larsen, S., Mouridsen, H. & Hansen, H. 1994. Effect of high-
dose dexamethasone in carcinomatous metastatic spinal cord compression treated with
radiotherapy: a randomized trial. Eur J Cancer A, 30, 22-27.

15. Sprigings, D. C. & Chambers, J. B. 2010. Acute medicine: a practical guide to the
management of medical emergencies, John Wiley and Sons.

16. VIHA 2008. Spinal Cord Compression. VIHA EOL Symptom Guidelines, 1, 179-185.

13

Anda mungkin juga menyukai