Anda di halaman 1dari 18

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM REFARAT

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KHAIRUN

DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD)

Disusun oleh:
MUHAMAD SALEH
10119220074

Konsulen :
dr. Fasni Halil, Sp.PK

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KHAIRUN
TERNATE
2022
BAB I

PENDAHULUAN

Infeksi virus dengue merupakan salah satu penyakit dengan vektor nyamuk
(”mosquito borne disease”) yang paling penting di seluruh dunia terutama di daerah tropis
dan subtropis. Penyakit ini mempunyai spektrum klinis dari asimptomatis, undifferentiated
febrile illness, dedemam dedengngue (DD) dadan dedemam beberdrdararah dedengngue
(DBD), mencakup manifestasi paling berat yaitu sindrom syok dengue (dengue shock
syndrome/DSS).1

World Health Organization (WHO) memperkirakan lebih dari 2,5 milyar penduduk
berisiko menderita infeksi dengue. Setiap tahunnnya dilaporkan terjadi 100 juta kasus demam
dengue dan setengah juta kasus demam berdarah dengue terjadi di seluruh dunia. Tingkat
mortalitas di sebagian besar negara di Asia Tenggara mengalami pennurunan dan saat ini
berada di bawah 1%, walaupun di beberapa negara masih diatas 4 % akibat penanganan yang
terlambat.1

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Demam dengue (DD) merupakan sindrom benigna yang disebabkan
oleh ”arthropod borne viruses” dengan  ciri demam bifasik, mialgia atau
atralgia, rash, leukopeni dan limfadenopati. Demam berdarah dengue (DBD)
merupakan penyakit demam akibat virus dengue yang berat dan sering kali
fatal.3
DBD dibedakan dari DD berdasarkan adanya peningkatan
permeabilitas vaskuler dan bukan dari adanya perdarahan. Pasien dengan  

demam dengue (DD) dapat mengalami perdarahan berat walaupun tidak


memenuhi kriteria WHO untuk DBD.1 Pada DBD terjadi perembesan
plasma yang ditandai oleh hemokonsentrasi (peningkatan hematocrit) atau
penumpukan cairan di rongga tubuh. Sindrom syok dengue (SSD) adalah
demam berdarah dengue yang ditandai pleh renjatan atau syok.4

B. Klasifikasi Infeksi Dengue


Klasifikasi infeksi dengue ditampilkan dalam tabel berikut;

Tabel 1. Klasifikasi Derajat Penyakit Infeksi Virus Dengue.5

3
C. Epidemiologi
Di Indonesia, demam berdarah dengue (DBD) pertama kali dicurigai di
Surabaya pada tahun 1968, tetapi konfirmasi virologis baru diperoleh pada tahun
1970. Di Jakarta, kasus pertama di laporkan pada tahun 1968. Sejak dilaporkannya
kasus demam berdarah dengue (DBD) pada tahun 1968 terjadi kecenderungngan
peningkatan insiden. n. Sejak tahun 1994, seluruh propinsi si di di Indonesia teltelah
melaporkan kasus DBD dan daerah tingkat II II yang melaporkan kasus DBD juga
meningkat, namun angka kematian menurun tajam dari 41,3% pada tahun 1968,
menjadi 3% pada tahun 1984 dan menjadi <3% pada tahun 1991.6
Morbidititas ddan mortalitas DBD yang dilalaporkan beberbrbagagai ai negara
bervariasi disebabkan beberapa faktor, antara lain status umur penduduk, kepadatan
vektor, tingkat penyebaran virus dengue, prevalensi serotipe virus dengue dan kondisi
meteorologis. Secara keseluruhan tidak terdapat perbedaan antara jenis kelamin, tetapi
kematian ditemukan lebih banyak terjadi di pada anak perempuan daripada anak laki-
laki. Di Indonesia pengaruh musim terhadap DBD tidak begitu jelas.6
Beberapa faktor resiko yang dikaitkan dengan demam dengue dan demam
berdarah dengue antara lain : demografi dan perubahan sosial, suplai air, manejemen
sampah padat, infrastruktur pengontrol nyamuk, consumerism, peningkatan aliran
udara dan globalisasi, serta mikroevolusi virus. Indonesia berada di wilayah endemis
untuk demam dengue dan demam berdarah dengue.7

D. Etiologi
Demam dengue dan demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue,
yang termasuk dalam group B arthropod borne virus (arbovirus) dan sekarang
dikenal sebagai genunus Flavivirus, family Flaviviridae. Flavivirus merupakan virus
dengan diameter 30 nm terdiri dari asam ribonukleat rantai tunggal dengan berat
molekul 4x106.4,6

4
Gambar. Virus Dengue
Terdapat 4 serotipe virus yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4 yang
semuanya dapat at menyebabkan demam dengue atau demam berdarah dengue.
Keempat serotype ditemukan di Indonesia dengan DEN-3 merupakan serotype
terbanyak. Infeksi dengan salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi seumur
hidup terhadap serotipe yang bersangkutan tetapi tidak ada perlindungnan terhadap
serotipe yang lain. Seseorang yang tinggal di daerah endemis dengue dapat terinfeksi
dengan 3 atau bahkan 4 serotipe selama hidupnya. Keempat jenis serotipe virus
dengue dapat ditemukan di berbagai daerah di Indonesia.4,6
Virus Dengue dapat ditutularkan oleh nyamuk Aedes aegypti dan nyamuk
Aedes albopictus. Nyamuk Aedes aegypti merupakan nyamuk yang paling sering
ditemukan. Nyamuk Aedes aegypti hidup di daerah tropis, terutama hidup dan
berkembang biak di dalam rumah, yaitu tempat penampungan air jernih atau tempat
penampungan air sekitar rumah. Nyamuk ini sepintas lalu tampak berlurik, berbintik –
bintik putih, biasanya menggigit pada siang hari, terutama pada pagi dan sore hari.
Jarak terbang nyamuk ini 100 meter. Sedangkan nyamuk Aedes albopictus memiliki
tempat habitat at di tempat air jernih. Biasanya nyamuk ini berada di sekitar rumah
dan pohon – pohon, tempat menampung air hujan yang bersih, seperti pohon pisang,
pandan, kaleng bekas. Nyamuk ini menggigit pada siang hari dan memilikijarak
terbang 50 meter.9

E. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinik infeksi virus dengue dapat bersifat asimtomatik, atau dapat
berupa demam yang tidak khas, demam dengue, demam berdarah dengue atau
sindrom syok dengue (SSD) dan sindrom dengue diperluas.12
Pada umumnya pasien mengalammi fase demam selama 2 – 7 hari, yang
diikuti oleh fase kritis selama 2 – 3 hari. Pada fase ini pasien sudah tidak demam,

5
akan tetapi mempunyai risiko untuk terjadi renjatan jika tidak mendapat pengobatan
adekuat.12,

Gambar. Manifestasi klinis infeksi virus dengue12

F. Diagnosis
a) Anamnesis
Demam dengue (dengan atau tanpa perdarahan) ditandai dengan
demam bifasik akut 2 – 7 hari, nyeri kepala, nyeri preorbital, myalgia/atralgia,
ruam, gusi berdarah, mimisan, nyeri perut, mual muntah, hematemesis dan
dapat juga melena. Faktor risiko yang dapat ditemui adalah tinggal di daerah
endemis dan padat penduduknya, pada musim panas (28-32ºC) dan
kelembapan tinggi, dan di sekitar rumah banyak genangan air.14

b) Pemeriksaan Fisik
Dari pemeriksaan fisik dapat ditemui tanda patognomonik untuk demam
dengue, yaitu:14
1) Suhu > 37,5 ºC
2) Petekie, ekimosis, purpura
3) Perdarahan mukosa
4) Rumple Leed (+)
5) Hepatomegali
6) Splenomegaly
7) Efusi pleura dan asites (mengetahui adanya kebocoran plasma)
8) Hematemesis atau melena

6
c) Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan darah rutin dilakukan untuk menapis pasien suspek
dengue melalui pemeriksaan hemoglobin, hematocrit, jumlah trombosit dan
apusan darah tepi untuk melihat adanya limfositosis relative disertai gambaran
limfosit plasma biru.12
Parameter laboratorium yang dapat diperiksa antara lain:12,14
a. Leukosit : Mulai hari ke-3 dapat diditetemui limfososititosis
relative (>45% dari total leukosit) disertai adanya limfosit plasma
biru (LPB) > 15% dari jumlah total leukosit yang pada fase syok
akan meningkat.
b. Trombosit : umumnya terdapat trombositopenia (trombosit
<100.000/ml) pada hari ke 3 hingga ke 8.
c. Hematocrit : adanya bukti kebocoran plasma yang disebabkan oleh
peningkatanan permeabilitas pembuluh darah pada DBD dengan
manifestasi peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar
sesuai usia dan jenis kelamin dan atau menurun dibandingkan nilai
hematokrit sebelumnya>20% setelah pemberian terapi cairan.
adanya kebocoran plasma, umumnya dimulai pada hari ke-3
demam.
d. IgM : terdeteksi mulai hari ke 3-5, meningkat sampai minggu ke 3,
menghilang setelah 60-90 hari.
e. IgG : pada infeksi primer, IgG mulai terdeteksi pada hari ke 14,
pada infeksi sekunder IgG mulai terdeteksi dari ke 2.
f. NS1 : antigen NS1 berkisar 63% - 93,4% dengan sensifitas 100
sama tingginya dwngan spesifisitas gold standar kultur virus.

Pada foto thorax didapat efusi pleura, baiknya pada posisi lateral
decubitus (tidur menyamping). Asites dan efusi pleura juga dapat
dengan pemeriksaan USG.12

Berdasarkan kriteria WHO 1997, diagnosis DBD ditegakkan bila hal di


bawah ini terpenuhi:12,

7
a. Demam atau riwayat demam akut, antara 2 – 7 hari, biasanya
bifasik/pola pelana
b. Terdapat minimal satu dari manifestasi perdarahan berikut.
1) Uji bending positif (Rumple Leed)
2) Petekie, ekimosis atau purpura
3) Perdarahan mukosa atau dari tempat lain
4) Hematemesis atau melena
c. Trombositopenia (trombosit <100.000/ul)
d. Terdapat minimal satu tanda-tanda kebocoran plasma sebagai
berikut :
1) Peningkatan hematocrit >20% dibandingkan standar sesuai
dengan umur dan jenis kelamin.
2) Penurunan hematocrit >20% setelah mendapat terapi cairan,
dibandingkan dengan nilai hematocrit sebelumnya.
3) Tanda kebocoran plasma seperti efusi pleura, asites atau
hipoproteinemia.

Derajat DBD diklasifikasikan dalam 4 derajat berdasarkan klasifikasi WHO:12

a. Derajat I : demam disertai gejala konstitusional yang tidak khas dan


satu-satunya manifestasi perdarahan ialah uji bending.
b. Derajat II : Seperti derajat I namun disertai perdarahan spontan di kulit
dana tau perdarahan lain.
c. Derajat III : didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan
lambat, tekanan nadi menurun (< 20mmHg) atau hipotensi, sianosisi di
sekitar mulut, akral dingin.

G. Penatalaksanaan
Perjalanan DBD terbagi 3 fase :3
1. Fase demam yang berlangsung selama 2 – 7 hari
Terapi simtomatik dan suportif
Parasetamol 10-15 mg/kg/dosis 4 – 6 jam, kompres hangat diberikan apabila
pasien masih tetap panas.
Apabila pasien memperlihatkan tanda dehidrasi dan muntah hebat, berikan cairan
sesuai kebutuhan dan bila perlu berikan cairan intravena. Semua pasien sespek

8
dengue harus diawasi ketat setiap hari sejak hari ketiga. Setelah bebas demam
selama 24 jan tanpa antipiretik, pasien akan memasuki fase kritis.
2. Fase kritis atau bocornya plasma (umumnya 24-48 jam), sekitar hari 3 sampai hari
5 perjalannan
Umumnya pada fase ini pasien tidak dapat makan dan minum oleh karena
anoreksia atau mual dan muntah.
 Tatalaksanan umum
Catat tanda vital, asupan dan pengeluaran cairan
Beri oksigen bila syok
Hentikan perdarahan
 Tatalaksana cairan
Kristaloid (ringer laktat atau ringer asetat)
Koloid (pada keadaan syok beru;ang atau berkepanjangan).
 Indikasi transfusi darah
Perdarahan saluran cerna (melena)
Kehihlangan darah bermakna, misalnya >10% volume darah total. (Total
volume darah = 80 ml/kg)
Perdarahan tersembunyi : penurunan hematocrit dan tanda vital yang tidak
stabil meski telah diberi cairan yang cukup banyak (Whole Blood
10ml/kg/kali atau PRC 5ml/kg/kali)
3. Fase penyembuhan (2 – 7 hari)
Secara umum, sebagian besar pasien DBD akan sembuh tanpa komplikasi dalam
waktu 24-48 jam setelah syok. Indikasi pasien masuk fase penyembuhan :
 Keadaan umum membaik
 Meningkatnya selera makan
 Tanda vital stabil
 Ht stabil dan menurun sampai 35-40%
 Diuresis cukup
 Dapat ditemukan confluent petechial rash
Cairan intravena harus dihentikan segera apabila memasuki fase ini.
4. Indikasi pulang
 24 jam tidak demam tanpa antipiretik
 Ada perbaikan klinis

9
 Nafsu makan membaik
 Hematocrit stabil
 Tidak ada sesak atau takipnea
 Trombosit ≥ 50.000/µl

Protokol pemberian cairan sebagai komponen utama penatalaksanaan DBD


dewasa mengikuti 5 protokol, mengacu pada protocol WHO. Protocol terbagi dalam 5
kategori, sebagai berikut :4

1. Penanganan tersangka DBD dewasa tanpa syok


2. Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang rawat
3. Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan hematokrit > 20%
4. Penatalaksanaan perdarahan spontan pada DBD dewasa
5. Tatalaksana sindrom syok pada dewasa

Protokol 1. Penanganan Tersangka DBD tanpa syok

Protokol 1 digunakan sebagai petunjuk dalam memberikan pertolongan pertama pada


penderita DBD atau yang diduga DBD di Instalasi Gawat Darurat yang juga dipakai
sebagai petunjuk dalam memutuskan indikasi rawat.

10
Protokol 2. Pemberian cairan pada tersangka DBD di ruang rawat

Protokol 3. Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan hematokrit

11
Protokol 4. Penatalaksanaan perdarahan spontan pada DBD dewasa

12
Protokol 5. Tatalaksanan sindrom syok pada dewasa

Bila kita berhadapan dengan DSS maka hal pertama yang harus diingat adalah
bahwa renjatan harus segera diatasi dan oleh karena itu penggantian cairan
intravascular yang hilang harus segera dilakukan. Angka kematian DSS 10 kali lipat
dibandingkan dengan penderita DBD tanpa renjatan dan renjatan dapat terjadi karena
keterlambatan penderita mendapatkan pertolongan, penatalaksanaan yang tidak tepat

13
temasuk kurangnya kewaspadaan terhadap tanda-tanda renjatan dini dan
penatalaksanaan renjatan yang tidak adekuat.

Ada dua hal penting yang perlu diperhatikan dalam terapi cairan khususnya
pada penatalaksanaan demem berdarah dengue :

1. Jenis cairan
2. Jumlah serta kecepatan cairan yang akan diberikan

Karena tujuan terapi cairan adalah untuk mengganti kehilangan cairan di ruang
intravaskuler, pada dasarnya baik kristaloid (ringer laktat, ringer asetat, cairan salin)
maupun koloid dapat diberikan. WHO menganjurkan terapi kristaloid sebagai cairan
standar pada terapi DBD karena dibandingkan dengan koloid, kristaloid lebih mudah
didapat dan lebih murah. Jenis cairan yang ideal yang sebenarnya dibutuhkan dalam
penatalaksanaan antara lain memiliki sifat bertahan lama di intravaskularlar, aman
dan relatif mudah diekskresi, tidak mengganggu sistem koagulasi tubuh, dan memiliki
efek alergi yang minimal.1,4

Secara umum, penggunaan kristaloid dalam tatalaksana DBD aman dan


efektif. Beberapa efek samping yang dilaporkan terkait dengan penggunaan kristaloid
adalah edema, asidosis laktat, instabilitas hemodinamik dan hemokonsentrasi.13
Kristaloid memiliki waktu bertahan yang singkat di di dalam pembuluh darah.
Pemberian larlarutan RL secara bolus (20 ml/kgBB) akakanan menyebabkan efek
penambahan volume vaskular hanya dalam waktu yang singkat sebelum di
distribusikan ke seluruh kompartemen interstisial (ekstravaskular) dengan
perbandingan 1:3, sehingga dari 20 ml bolus tersebut dalam waktu satu jam hanya 5
ml yang tetap berada dalam
ruang intravaskular dan 15 ml masuk ke dalam ruang interstisial. 12 Namun demikian,
dalam aplikasinya terdapat beberapa keuntungan penggunaan kristaloid antara lain
mudah tersedia dengan harga terjangkau, komposisi yang menyerupai komposisi
plasma, mudah disimpan dalam temperatur ruang, dan bebas dari kemungkinan reaksi
anafilaktik.

Dibandingkan cairan kristaloid, cairan koloid memiliki beberapa keunggulan


yaitu : pada jumlah volume yang sama akan didapatkan ekspansi volume plasma
(intravaskular) yang lebih ih besar ar dan bertahan untuk waktu lebih lama di ruang
intravaskular. Dengan kelebihan ini,, diharapkan koloid memberikan oksigenasi

14
jaringan lebih baik dan hemodinamik terjaga lebih stabil. Beberapa kurangan yang
mungkin didapatkan dengan penggunaan koloid yakni resiko anafilaksis, koagulopati,
dan biaya yang lebih besar.14

Jumlah cairan yang diberikan sangat bergantung dari banyaknya kebocoran


plasma yang terjadi serta seberapa jauh proses tersebut masih akan berlangsung. Pada
kondisi DBD derajat 1 dan 2, cairan diberikan untuk kebutuhan rumatan
(maintenance) dan untuk mengganti cairan akibat kebocoran plasma. Secara praktis,
kebutuhan rumatan pada pasien dewasa dengan berat badan 50 kg, adalah sebanyak
kurang lebih 2000 ml/24 jam; sedangkan pada kebocoran plasma yang terjadi seba-
nyak 2,5-5% dari berat badan sebanyak 1500-3000 ml/24 jam. Jadi secara rata-rata
kebutuhan cairan pada DBD dengan hemodinamik yang stabil adalah antara 3000-
5000 ml/24 jam. Namun demikian, pemantauan kadar hematokrit perlu dilakukan
untuk menilai apakah hemokonsentrasi masih berlangsung dan apakah jumlah cairan
awal yang diberikan sudah cukup atau masih perlu ditambah. Pemantauan lain yang
perlu dilakukan adalah kondisi klinis pasien, stabilitas hemodinamik serta diuresis.
Pada DBD dengan kondisi hemodinamik tidak stabil (derajat 3 dan 4) cairan diberikan
secara bolus atau tetesan cepat antara 6-10 mg/kg berat badan, dan setelah
hemodinamik stabil secara bertahap kecepatan cairan dikurangi hingga kondisi benar-
benar stabil. Pada kondisi di mana terapi cairan telah diberikan secara adekuat, namun
kondisi hemodinamik belum stabil, pemeriksaan kadar hemoglobin dan hematokrit
perlu dilakukan untuk menilai kemungkinan terjadinya perdarahan internal

H. Edukasi
Prinsip konseling pada demam berdararah dengue adalah memberikan
pengertian kepada pasien dan keluarganya tentang perjalanan penyakit dan tata
laksananya, sehingga pasien dapat mengerti bahwa tidak ada obat/medikamentosa
untuk penanganan DBD, terapi hanya bersifat suportif dan mencegah perburukan
penyakit. Penyakit akan sembuh sesuai dengan perjalanan alamiah penyakit.12
Selain itu juga diperlukan modifikasi gaya hidup dengan melakukan kegiatan
3M menguras, mengubur, menutup. Meningkatkan daya tahan tubuh dengan
mengkonsumsisi makanan bergizi dan melakukan olahraga secara rutin.12

15
I. Prognosis
Prognosis tergantung pada pengenalan, pengobatan tepat segera dan
pemantauan ketat syok. Tanda prognosis baik adalah membaiknya takikardi, takipneu,
dan kesadaran, munculnya diuresis dan kembalinya nafsu makan.15
Demam berdarah dengue mempunyai kemungkinan 5% menyebabkan
kematian, tetapi bila berkembang menjadi sindrom syok dengue akan meningkatkan
kematian hingga 40%. Prognosis buruk pada koagulasi intravaskular diseminata dan
sindrom syok dengue dengan renjatan berulang atau berkepanjangan.16

16
DAFTAR PUSTAKA
1. Global strategy for dengue prevention and control 2012-2020. World Health
Organization, France; 2012.Hal.1-5.
2. Hadinegoro SR, Moedjito I, Chairulfatah A. Pedoman diagnosis dan tata laksana
infeksi virus dengue pada anak. Edisi 1. Badan Penerbit IDAI: 2104;hal.1-69.
3. Peraturan Menteri Kesehatan RI nomor 5 tahun 2014. Panduan praktis klinis bagi
dokter di fasilitas pelayanan kesehatan primer. Hal.26-9.
4. Sudoyo Aru W. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi IV. Jakarta :
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
5. World Health Organization, 1997. Dengue haemorrhagic fever: diagnosis,
treatment and control. WHO, Geneva.
6. Soedarmo, Sumarmo S. Poorwo, dkk. 2012. Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis
Edisisi Kedua. Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia, hal 182. – 191.
7. WHO. 2011. Conprehensive Guidelines for Prevention and Control of Dengue and
Dengue Haemorraghic Fever. India : WHO
8. Departemen Kesehatan. 2008. Profil Pengendalian Penyakit dan Penyelamatan
Lingkungan. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
9. Rampengan, T.H. 2008. Penyakit Infeksi Tropis pada Anak Edisi 2. Jakarta :
EGC,hal 122-49.
10. Smith, Tracy. 2002. Dengue Virus. Nature Publishing Group.
11. Soegijanto, Soegeng. 2006. Patogenesa dan Perubahan Patofisologi Infeki Virus
Dengue. Surabaya : Tropical Disease Center (TDC) Universitas Airlangga
Surabaya
12. Suhendro, Nainggolan L, Chen K, Pohan HT. Demam Berdarah Dengue. Dalam
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-6, hal: 539-48. Jakarta: Interna
Publishing. 2014.
13. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Panduan praktis klinis bagi dokter di
fasilitas pelayanan kesehatan primer. Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia. 2014.
14. Fitri Sari A. Gejala Awal Klinis dan Laboratorium Sebagai Faktor Prediktor Syok
Pada Demam Berdarah Dengue di Instalasi Kesehatan Anak RS Dr. Sardjito.
2004. Hal 10-11.

17
15. Wills Bridget. Volume Replacement in Dengue Shock Syndrome. 2001. Dengue
buletin vol 25. Hal 50-55.
16. Infeksi Virus Dengue. Dalam : Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro SRS. Buku
Ajar Infeksi & Pediatri Tropis. Edisi Kedua. Jakarta : Badan Penerbit IDAI. 2010.
Hal.155-181.

18

Anda mungkin juga menyukai