1
Trauma Medula Spinalis dapat bervariasi dari trauma ekstensi fiksasi
ringan yang terjadi akibat benturan secara mendadak sampai yang
menyebebkan transeksi lengkap dari medula spinalis dengan quadriplegia
(Fransisca B.Batticaca,2008 : 30).
Trauma medula spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang
disebabkan oleh benturan pada daerah medulla spinalis (Brunner & Suddarth,
2001). Trauma medulla spinalis adalah kerusakan tulang dan sumsum yang
mengakibatkan gangguan sistem persyarafan didalam tubuh manusia yang
diklasifikasikan sebagai :
2
pada tulang belakang akibat luka tusuk atau fraktur/ dislokasi di kolumna
spinalis. (ENA, 2000 ; 426)
3
d. Refpiratorik Quadriplegia (pentaplagia) adalah kerusakan yang
terjadi pada serfikal pada bagian atas (C1-C4) sehingga terjadi
gangguan pernapasan.
e. Paraplegia adalah paralisis ekstermitas bagian bawah, terjadi akibat
kerusakan pada segmen parakal 2 (T2) kebawah.
1. Medula Spinalis
4
Medulla spinalis (spinal cord) merupakan bagian susunan saraf pusat
yang terletak di dalam kanalis vertebralis dan menjulur dari foramen magnum
ke bagian atas region lumbalis. Trauma pada medulla spinalis dapat bervariasi
dari trauma ekstensi fiksasi ringan yang terjadi akibat benturan secara
mendadak sampai yang menyebabkan transeksi lengkap dari medula spinalis
dengan quadriplegia.
Medulla Spinalis terdiri dari 31 segmen jaringan saraf dan masing-
masing memiliki sepasang saraf spinal yang keluar dari kanalis vertebralis
melalui voramina intervertebralis (lubang pada tulang vertebra). Saraf-saraf
spinal diberi nama sesuai dengan foramina intervertebralis tempat keluarnya
saraf- saraf tersebut, kecuali saraf servikal pertama yang keluar diantara tulang
oksipital dan vertebra servikal pertama. Dengan demikian, terdapat 8 pasang
saraf servikal, 12 pasang torakalis, 5 pasang saraf lumbalis, 5 pasang saraf
skralis, dan 1 pasang saraf koksigeal.
Saraf spinal melekat pada permukaan lateral medulla spinalis dengan
perantaran dua radiks, radik posteriol atau dorsal (sensorik) dan radik anterior
atau ventral (motorik). Radiks dorsal memperlihatkan pembesaran, yaitu
ganglion radiks dorsal yang terdiri dari badan-badan sel neuron aferen atau
neuron sensorik. Badan sel seluruh neuron aferen medulla spinalis terdapat
5
dapat ganglia tersebut. Serabut-serabut radiks dorsal merupakan tonjolan –
tonjolan neuron sensorik yang membawa impuls dari bagian perifer ke medulla
spinalis. Badan sel neuron motorik terdapat di dalam medulla spinalis dalam
kolumna anterior dan lateral substansia grisea. Aksonnya membentuk serabut-
serabut radiks ventral yang berjalan menuju ke otot dan kelenjar. Kedua radiks
keluar dari foramen intervertebralis dan bersatu membentuk saraf spinal. Semua
saraf spinal merupakan saraf campuran, yaitu mengandung serabut sensorik
maupun serabut motorik.
6
utama dari pleksus ini adalah saraf femoralis dan obturatorius. Saraf utama dari
pleksus sakralis adalah saraf iskiadikus, saraf terbesar dalam tubuh. Saraf ini
menembus bokong dan turun kebawah melalui bagian belakang paha. Kulit
dipersarafi oleh radiks dorsal dari tiap saraf spinal, jadi dari satu segmen
medulla spinalis disebut dermatom. Otot-otot rangka juga mendapat persarafan
segmental dari radiks spinal ventral.
Sumsum tulang belakang terdapat di dalam ruas-ruas tulang belakang
(vertebrae) yang memanjang dari daerah leher sampai pinggang. Vertebrae itu
berfungsi melindungi sumsum tulang belakang dari kerusakan.
Pada sumsum tulang belakang, materi kelabu terletak di bagian
dalam dan tersusun atas badan-badan sel, sinapsis, serta sel-sel saraf konektor
yang tidak bermielin. Sel-sel saraf konektor tersebut mengirimkan informasi
dari sumsum tulang belakang ke serabut saraf spinal, atau sebaliknya.
Penampang melintang materi kelabu pada sumsum tulang belakang berbentuk
sepeti huruf H atau sayap kupu-kupu. Sementara itu, materi putih yang terletak
di bagian luar tersusun atas serabut-serabut saraf (akson bermielin). Akson
bermielin itu mengirimkan informasi dari sumsum tulang belakang menuju
otak, atau sebaliknya.
Sumsum tulang belakang juga dilindungi oleh tiga lapis membran
(meninges). Di bagian tengah sumsum tulang belakang, yaitu di antara
membran dalam dan membran tengah terdapat saluran tengah yang berisi cairan
serebrospinal. Cairan tersebut berfungsi memasok makanan bagi sumsum
tulang belakang dan berperan sebagai peredam kejut atau pelindung dari
goncangan. Sumsum tulang belakang berhubungan dengan
1) Gerak refleks struktur tubuh di bawah leher
2) Menghantarkan rangsang sensori dari reseptor ke otak
3) Membawa rangsang motor dari otak ke efektor.
7
A. Vertebralis dikelompokkan sebagai berikut :
a. Vetebrata Thoracalis (atlas).
Vetebrata Thoracalis mempunyai ciri yaitu tidak memiliki
corpus tetapi hanya berupa cincin tulang. Vertebrata cervikalis
kedua (axis) ini memiliki dens, yang mirip dengan pasak.
Veterbrata cervitalis ketujuh disebut prominan karena
mempunyai prosesus spinasus paling panjang.
b. Vertebrata Thoracalis.
Ukurannya semakin besar mulai dari atas kebawah. Corpus
berbentuk jantung, berjumlah 12 buah yang membentuk bagian
belakang thorax.
c. Vertebrata Lumbalis.
Corpus setiap vertebra lumbalis bersifat masif dan berbentuk
ginjal, berjumlah 5 buah yang membentuk daerah pinggang,
memiliki corpus vertebra yang besar ukurnanya sehingga
pergerakannya lebih luas kearah fleksi.
d. Vertebrata Sacrum.
Terdiri dari 5 sacrum yang membentuk sakrum atau tulang
kengkang dimana ke 5 vertebral ini rudimenter yang bergabung
yang membentuk tulang bayi.
e. Vertebrata Coccygis.
Terdiri dari 4 tulang yang juga disebut ekor pada manusia,
mengalami rudimenter.
8
kepala membengkak ke bawah sampai batas dada dan gelang panggul
dimiringkan keatas kearah depan badan. Kedua lengkung yang menghadap ke
anterior adalah sekunder → lengkung servikal berkembang ketika kanak-kanak
mengangkat kepalanya untuk melihat sekelilingnya sambil menyelidiki, dan
lengkung lumbal di bentuk ketika ia merangkak, berdiri dan berjalan serta
mempertahankan tegak.
Fungsi dari kolumna vertebralis. Sebagai pendukung badan yang kokoh
dan sekaligus bekerja sebagai penyangga kedengan prantaraan tulang rawan
cakram intervertebralis yang lengkungnya memberikan fleksibilitas dan
memungkinkan membonkok tanpa patah. Cakramnya juga berguna untuk
menyerap goncangan yang terjadi bila menggerakkan berat badan seperti waktu
berlari dan meloncat, dan dengan demikian otak dan sumsum belkang
terlindung terhadap goncangan. Disamping itu juga untuk memikul berat badan,
menyediakan permukaan untuk kartan otot dan membentuk tapal batas pasterior
yang kukuh untuk rongga-rongga badan dan memberi kaitan pada iga.
9
(2) Pleksus brakial C5 – T1 / T2 mempersarafi
anggota bagian atas, saraf yang mempersarafi
anggota bawah L2 – S3.
b) 12 pasang saraf punggung (saraf thorax) (T1 - T2 )
c) 5 pasang saraf pinggang (saraf lumbar) ( L1 - L5 )
d) 5 pasang saraf pinggul (saraf sacral) ( S1 - S5 )
e) 1 pasang saraf ekor (saraf coccyigeal).
10
5. Susunan otot dada T1 – T8
6. Otot abdomen T6 – T12
7. Otot quadrisep paha L2 – L4
8. Otot gastrok nemius reflek untuk ektensi kaki L5 – S2
Kemudian diantara beberapa saraf, ada yang menjadi satu ikatan atau
gabungan (pleksus) membentuk jaringan urat saraf. Pleksus terbagi menjadi 3
macam, yaitu:
1) Plexus cervicalis (gabungan urat saraf leher)
2) Plexus branchialis (gabungan urat saraf lengan)
3) Plexus lumbo sakralis (gabungan urat saraf punggung
dan pinggang)
11
5. Meningen (durameter, piameter, arakhnoid) yang melapisi otak juga
melapisi korda
6. Fisura Median Anterior (ventral) dalam fisura posterior (dorsal) yang
lebih dangkal menjalar di sepanjang korda dan membaginya menjadi
bagian kanan dan kiri
B. Struktur Internal Medula Spinalis terdiri dari sebuah inti substansi abu-
abu yang diselubungi substansi putih
1. Kanal sentral berukuran kecil dikelilingi substansi abu-abu bentuknya
seperti huruf H
2. Batang atas dan bawah huruf H disebut tanduk, atau kolumna dan
mengandung badan sel, dendrit asosiasi, dan neuron eferen serta
akson tidak termielinisasi
a. Tanduk abu-abu posterior (dorsal) adalah batang ventrikel atas
substansi abu-abu. Bagian ini mengandung badan sel yang
menerima sinyal melaluisaraf spinal dari neuron sensorik
12
b. Tanduk abu-abu anterior (ventral) adalah batang ventrikel bawah.
Bagian ini mengandung neuron motorik yang aksonnya mengirim
impuls melalui saraf spinal ke otot atau kelenjar
c. Tanduk lateral adalah protrusi diantara tanduk posterior dan
anterior pada area toraks dan lumbal sistem saraf perifer. Bagian
ini mengandung badan sel neuron sistem SSO
d. Komisura abu-abu menghubungkan substansi abu-abu disisi kiri
dan kanan melalui medula spinalis
C. Setiap saraf spinal memiliki satu radiks dorsal atau satu radiks ventral.
Radiks dorsal terdiri dari kelompok-kelompok serabut sensorik yang
memasuki korda. Radiks ventral adalah penghubung ventral dan
membawa serabut motorik ke korda
1. Setiap radiks yang memasuki atau meninggalkan korda membentuk
tujuh sampai sepuluh cabang radiks
2. Radiks dorsal dan ventral pada setiap sisi segmen medula spinalis
menyatu untuk membentuk saraf spinal
3. Radiks dorsal ganglia adalah pembesaran radiks dorsal yang
mengandung sel neuron sensorik
13
D. Traktus spinal. Substansi putih korda yang terdiri dari akson
termielinisasi dibagi menjadi funikulus anterior, posterior, lateral. Dalam
funikulus terdapat fasikulus atau traktus. Traktus diberi nama sesuai
dengan lokasi, asal dan tujuannya.
1. Traktus sensorik atau asenden membawa informasi dari tubuh ke
otak. Bagian penting traktus asenden meliputi:
A. Fasikulus grasilis dan fasikulus kuneatus
a. Origo dan tujuan. Impuls dari sentuhan reseptor peraba
masuk ke medula spinalis melalui radiks dorsal (neuron I).
Akson memasuki korda, berasenden untuk bersinaps dengan
nuklei grasilis dan kuneatus di medula bagian bawah (neuron
II). Akson menyilang ke sisi yang berlawanan dan bersinaps
dalam talamus lateral (neuron III). Terminasinya berada pada
area somestetik korteks serebral
b. Fungsi. Traktus ini menyampaikan informasi mengenai
sentuhan, tekanan, vibrasi, dan tendon otot
14
B. Traktus spinoserebelar ventral (anterior) (berpasangan)
a. Origo dan tujuan. Impuls dari reseptor kinestetik (kesadaran
akan posisi tubuh) pada otot dan tendon memauki medula
spinalis melalui radiks dorsal (neuron I) dan bersinaps dalam
tanduk posterior (neuron II). Akson berasenden disisi yang
sama atau berlawanan dan berterminasi pada korteks serebral
b. Fungsi, Traktus spinoserebelar ventral membawa informasi
mengenai gerakan dan posisi keseluruhan anggota gerak
15
2. Traktus Motorik (Desenden) Mmebawa impuls motorik dari otak ke
medulla spinalis dan saraf spinal menuju tubuh. Fungsi traktus
motorik yang penting meliputi:
A. Traktus kortikospinal lateral (piramidal)
a. Origo dan tujuan. Neuron I berasal dari area motorik korteks
serebral. Akosn berdesenden ke medulla tempat sebagian
besar serabut berdekusasi dan terus memanjang sampai ke
tanduk posterior untuk bersinapsis langsung atau melalui
interneuron dengan neuron motorik bagian bawah (neuron II)
dalam tanduk anterior. Akson berterminasi pada lempeng
ujung motorik otot rangka.
b. Fungsi. Traktus kortikospinal lateral menghantar impuls
untuk koordiasi dan ketepatan gerakan volunter
16
a. Traktus retikulospinal berasal dari formasi retikular (neuron I)
dan berujung (neuron II) pada sisi yang sama dineuron
motorik bagian bawah dalam tanduk anterior medula spinalis.
Impuls memberikan semacam pengaruh fasilitas pada
ekstensor tungkai dan fleksor lengan serta memberikan suatu
pengaruh inhibisi yang berkaitan dengan postur dan tonus
otot
b. Traktus vestilospinal lateral berasal dari nukleus vestribular
lateral dalam medulla (neuron I) dan berdesenden pada sisi
yang sama untuk untuk berujung (neuron II) pada tanduk
anterior medulla spinalis. Impuls mempertahankan tonus otot
dalam aktivitas refleks
c. Traktus vestibulospinal medial baerasal dari nukleus
vestibular medial dalam medula dan menyilang ke sisi yang
berlawanan untuk berakhir pada tanduk anterior. Traktus ini
tidak berdesenden ke bawah area serviks. Traktus ini
berkaitan dengan pengendalian otot-otot kepala dan leher
d. Traktus rubrospinal, yang berasal dari nukleus merah otak
tengah, traktus olivospinal yang berasal dari olive inferior
medula dan traktus tektospinal yang berasal dari bagian
tektum otak tengah, juga termasuk jenis traktus
ekstrapiramidal yang berhubungan dengan postur dan tonus
otot.
Saraf Spinal. 31 pasang saraf spinal berawal dari korda melalui radiks
dorsal (posterior) dan ventral (anterior). Pada bagian distal radiks dorsal
ganglion, dua radiks bergabung membentuk satu saraf spinal. Semua saraf
tersebut adalah saraf gabungan (motorik dan sensorik), membawa informasi
ke korda melalui neuron aferen dan meninggalkan korda melalui neuron
eferen.
1. Divisi. Setelah saraf spinal meninggalkan korda melalui foramen
intervertebral, saraf kemudian bercabang menjadi 4 divisi
17
a. Cabang meningeal kecil masuk kembali ke medulla spinalis melalui
foramen sama yang digunakan saraf untuk keluar dan mempersarafi
meninges, pembuluh darah medula spinalis dan ligamen vertebralis
b. Ramus dorsal (posterior) terdiri dari serabut yang menyebar kearah
posterior untuk mempersarafi otot dan kulit pada bagian belakang
kepala, leher, dan pada trunkus di regia saraf spinal
c. Cabang ventral (anterior) terdiri dari serabut yang mensuplai bagian
anterior dan lateral pada trunkus dan anggota gerak
d. Cabang viseral adalah bagian dari SSO. Cabang ini memiliki ramus
komunikans putih dan ramus komunikans abu-abu yang membentuk
hubungan abtara medula spinalis dan ganglia pada trunkus simpatis
SSO
18
menginversi anggota gerak bawah, bokong, dan regia perineal, saraf
terbesar adalah saraf sklatik
e. Pleksus koksiks terbentuk dari ramus ventral S5 dan saraf spinal
koksiks, dengan konstribusi dari ramus S4. Pleksus ini merupakan
awal saraf koksiks yang mensupali regia koksiks.
Setiap saraf spinal keluar dari sumsum tulang belakang dengan dua buah
akar, yaitu akar depan (anterior) dan akar belakang (posterior). Setiap akar
anterior dibentuk oleh beberapa benang akar yang meninggalkan sumsum
tulang belakang pada satu alur membujur dan teratur dalam satu baris. Tempat
alaur tersebut sesuai dengan tempat tanduk depan terletak paling dekat di bawah
permukaan sumsum tulang belakang. Benang-benang akar dari satu segmen
berhimpun untuk membentuk satu akar depan. Akar posterior pun terdiri atas
benang-benang akar serupa, yang mencapai sumsum tulang belakang pada satu
alur di permukaan belakang sumsum tulang belakang. Setiap akar belakang
mempunyai sebuah kumpulan sel saraf yang dinamakan simpulsaraf spinal.
Akar anterior dan posterior bertaut satu sama lain membentuk saraf spinal yang
meninggalkan terusan tulang belakang melalui sebuah lubang antar ruas tulang
belakang dan kemudian segera bercabang menjadi sebuah cabang belakang,
cabang depan, dan cabang penghubung.
Cabang-cabang belakang saraf spinal mempersarafi otot-otot punggung
sejati dan sebagian kecil kulit punggung. Cabang-cabang depan mempersarafi
semua otot kerangka batang badan dan anggota-anggota gerak serta kulit tubuh
kecuali kulit punggung. Cabang-cabang depan untuk persarafan lengan
membentuk suatu anyaman (plexus), yaitu anyaman lengan (plexus brachialis).
Dari anyaman inilah dilepaskan beberapa cabang pendek ke arah bahu dan
ketiak, dan beberapa cabang panjang untuk lengan dan tangan. Demikian pula
dibentuk oleh cabang-cabang depan untuk anggota-anggota gerak bawah dan
19
untuk panggul sebuah anyaman yang disebut plexus lumbosakralis, yang juga
mengirimkan beberapa cabang pendek ke arah pangkal paha dan bokong, serta
beberapa cabang panjang untuk tungkai atas dan tungkai bawah. Yang terbesar
adalah saraf tulang duduk. Saraf ini terletak di bidang posterior tulang paha.
20
4) Sel saraf motorik ; dalam karnu anterior medula spinalis yang
menerima dan mengalihkan impuls tersebut melalui serabut
sarag motorik.
5) Organ motorik yang melaksanakan gerakan karena dirangsang
oleh impuls saraf motorik.
6) Kerusakan pada sumsum tulang belakang khususnya apabila
terputus pada daerah torakal dan lumbal mengakibatkan (pada
daerah torakal) paralisis beberapa otot interkostal, paralisis pada
otot abdomen dan otot-otot pada kedua anggota gerak bawah,
serta paralisis sfinker pada uretra dan rektum.
C. Meningen Spinal
Meningen adalah selaput otak yang merupakan bagian dari susunan
saraf yang bersiaft non neural. Meningen terdiri dari jarningan ikat berupa
membran yang menyelubungi seluruh permukaan otak, batang otak dan medula
spinalis. Meningen terdiri dari 3 lapisan, yaitu Piamater, arakhnoid dan
duramater.
Duramater yang merupakan lapisan yang kuat, Membran fibrosa,
Bersatu dengan filum terminale. Piamater berupa lapisan tipis, kaya pembuluh
darah, nyambung dengan medula spinalis. Rongga antara periosteum dengan
21
duramater disebut dengan epidural yang merupakan area yang mengandung
banyak pembuluh darah dan lemak. Rongga antara duramater dengan arachnoid
disebut dengan subdural. Sub dural tidak mengandung CSF. Rongga antara
Arachnoid dan Piamater disebut dengan Subarachnoid. Pada rongga ini terdapat
Cerebro Spinal Fluid, Pembuluh Darah dan akar-akar syaraf
Piameter merupakan selaput tipis yang melekat pada permukaan otak
yang mengikuti setiap lekukan-lekukan pada sulkus-sulkus dan fisura-fisura,
juga melekat pada permukaan batang otak dan medula spinalis, terus ke kaudal
sampai ke ujung medula spinalis setinggi korpus vertebra. Arakhnoid
mempunyai banyak trabekula halus yang berhubungan dengan piameter, tetapi
tidak mengikuti setiap lekukan otak.
22
Diantara lapisan luar dura dan tulang tengkorak terdapat jaringan
ikat yang mengandung kapiler-kapiler halus yang mengisi suatu
ruangan disebut ruang epidural
2. Ruang Subdural
Diantara lapisan dalam durameter dan arakhnoid yang
mengandung sedikit cairan, mengisi suatu ruang disebut ruang
subdural .
D. Cairan SerebroSpinal
Cairan serebrospinal yang berada di ruang subarakhnoid merupakan
salah satu proteksi untuk melindungi jaringan otak dan medula spinalis
terhadap trauma atau gangguan dari luar.
Pada orang dewasa volume intrakranial kurang lebih 1700 ml, volume
otak sekitar 1400 ml, volume cairan serebrospinal 52-162 ml (rata-rata 104 ml)
dan darah sekitar 150 ml. 80% dari jaringan otak terdiri dari cairan, baik ekstra
sel maupun intra sel.
23
E. Suplai Darah Medula Spinalis
Medula spinalis menerima darah melalui cabang-cabang arteri
vertebralis (arteri spinatis anterior dan posterior serta cabang-cabangnya) dan
dari pembuluh-pembuluh segmental regional yang berasal dari aorta torakalis
dan abdominalis (arteri radikularis dan cabang-cabangnya). Dari tempat
percabangannya pada arteri vertebralis disepanjang medula, arteri spinalis
anterior dan posterior akan berjalan menuju medula spinalis.
Medula spinalis mendapat dua suplai darah dari dua sumber yaitu:
1) arteri Spinalis anterior yang merupakan percabangan arteri vertebralis, 2)
arteri Spinalis posterior, yang juga merupakan percabangan arteri vertebralis.
Antara arteri spinalis tersebut diatas terdapat banyak anastomosis
sehingga merupakan anyaman plexus yang mengelilingi medulla spinalis dan
disebut vasocorona. Vena di dalam otak tidak berjalan bersama-sama arteri.
Vena jaringan otak bermuara di jalan vena yang terdapat pada permukaan otak
dan dasar otak. Dari anyaman plexus venosus yang terdapat di dalam spatum
subarachnoid darah vena dialirkan kedalam sistem sinus venosus yang terdapat
di dalam durameter diantara lapisan periostum dan selaput otak.
24
Anastomosis antara arteri-arteri cerebri berfungsi utnuk menjaga agar aliran
darah ke jaringan otak tetap terjaga secara continue. Sistem carotis yang berasal
dari arteri carotis interna dengan sistem vertebrobasilaris yang berasal dari
arteri vertebralis, dihubungkan oleh circulus arteriosus willisi membentuk
Circle of willis yang terdapat pada bagian dasar otak.
Selain itu terdapat anastomosis lain yaitu antara arteri cerebri media
dengan arteri cerebri anterior, arteri cerebri media dengan arteri cerebri
posterior.
F. Refleks Spinal
G. Konsep Refleks
Refleks merupakan kejadian involunter dan tidak dapat dikendalikan
oleh kemauan. Tindakan refleks merupakan gerakan motorik involunter atau
respons sekretorik yang diperlihatkan jaringan terhadap stimulus sensorik,
seperti refleks menarik diri, bersin, batuk, dan mengedip (Sue Hinchlift).
25
Secara fisiologis dengan ringkas dapat dijelaskan bahwa suatu respons
refleks terjadi bila suatu otot rangka dengan persarafan untuk diregangkan, otot
ini akan kontraksi. Respons seperti ini disebut refleks regang. Rangsangan yang
membangkitkan refleks regang adalah regangan pada otot, dan responsnya
adalah kontraksi otot yang diregangkan itu. Reseptor refleks ini adalah
kumparan otot (muscle spindle). Impuls yang tercetus oleh kumparan otot
dihantarkan ke SSP melalui serat saraf sensorik penghantar cepat. Impuls
kemudian diteruskan ke neuron-neuron motorik yang mempersarafi otot yang
teregang itu. Neurotransmitter di sinaps pusat adalah glutamat.
Refleks-refleks regang merupakan refleks monosinaptik yang paling
banyak digunakan dalam pemeriksaan neurologis, seperti pada ketukan di
tendon patella yang akan membangkitkan refleks patella, yaitu refleks regang
otot quadriseps femoris, akibat ketukan pada tendon akan meregangkan otot.
Kontraksi serupa akan timbul bila otot quadriseps diregang secara manual
(Ganong, 1999).
Tahanan otot terhadap regangan kerap disebut tonus. Bila neuron
motorik ke suatu otot dipotong, otot itu memberikan tahanan yang lemah dan
disebut flaksid. Otot yang hipertonik (spastik) adalah otot yang mempunyai
tahanan yang tinggi terhadap regangan karena adanya refleks regang yang
hiperaktif. Diantara keadaan flaksid dan spastis terdapat area yang sering kali di
salah artikan sebagai area tonus normal. Otot umumnya hipotonik bila
pelepasan impuls eferennya rendah dan hipertonik bila tinggi.
Temuan lain yang khas untuk keadaan peningkatan impuls eferen
adalah klonus. Tanda neurologis ini merupakan peristiwa kontraksi otot yang
teratur dan berirama akibat regangan yang tiba-tiba dan bertahan. Klonus
pergelangan kaki merupakan contoh yang khas. Klonus ini dimulai dengan
dorsofleksi kaki yang cepat dan mantap, dan reponsnya adalah plantarfleksi
pergelangan kaki berirama.
Suatu respons fleksor dapat ditimbulkan dengan rangsangan di kulit
atau dengan peregangan otot, tetapi respons fleksor kuat yang disertai gerakan
menarik diri hanya dibangkitkan oleh suatu rangsang yang berbahaya. Karena
itu, rangsang ini disebut rangsang nosiseptif. Respons menarik diri dari fleksi
26
ekstremitas yang dirangsang menjauhkan tungkai dari sumber iritasi dan
ekstensi ekstremtas yang menyangga tubuh. Refleks menarik diri sangat kuat,
refleks ini menguasai jaras-jaras spinal sehingga membatalkan semua kegiatan
refleks lain yang terjadi pada saat yang bersamaan (Price, 1995).
H. Saraf spinal
Saraf spinal pada manusia dewasa memiliki panjang sekitar 45 cm dan
lebar 14 mm. Pada bagian permukaan dorsal dari saraf spinal, terdapat alur
yang dangkal secara longitudinal di bagian medial posterior berupa sulkus dan
bagian yang dalam dari anterior berupa fisura.
Medula spinalis terdiri atas 31 segmen jaringan saraf dan masing-
masing memiliki sepasang saraf spinal yang keluar dari kanalis vertebralis
melalui foramen intervertebra (lubang pada tulang vertebra). Saraf-saraf spinal
diberi nama sesuai dengan foramen intervertebra tempat keluarnya saraf-saraf
tersebut, kecuali saraf servikal pertama yang keluar di antara tulang oksipital
dan vertebra servikal pertama
Tiga puluh satu pasang saraf spinal keluar dari medula apinalis dan
kemudian dari kolumna vertabalis melalui celah sempit antara ruas-ruas tulang
vertebra. Celah tersebut dinamakan foramina intervertebrelia. Seluruh saraf
spinal merupakan saraf campuran karena mengandung serat-serat eferen yang
membawa impuls baik sensorik maupun motorik. Mendekati medula spinalis,
serat-serat eferen memisahkan diri dari serat–serat eferen. Serat eferen masuk
ke medula spinalis membentuk akar belakang (radix dorsalis), sedangkan serat
eferen keluar dari medula spinalis membentuk akar depan (radix ventralis).
Setiap segmen medula spinalis memiliki sepasang saraf spinal, kanan dan kiri.
Sehingga dengan demikian terdapat 8 pasang saraf spinal servikal, 12 pasang
saraf spinal torakal, 5 pasang saraf spinal lumbal, 5 pasang saraf spinal sakral
dan satu pasang saraf spinal koksigeal. Untuk kelangsungan fungsi integrasi,
terdapat neuron-neuron penghubung disebut interneuron yang tersusun sangat
bervariasi mulai dari yang sederhana satu interneuron sampai yang sangat
kompleks banyak interneuron. Dalam menyelenggarakan fungsinya, tiap saraf
spinal melayani suatu segmen tertentu pada kulit, yang disebut dermatom. Hal
27
ini hanya untuk fungsi sensorik. Dengan demikian gangguan sensorik pada
dermatom tertentu dapat memberikan gambaran letak kerusakan.
28
14. Nervus cutaneus brachii medialis: Nervus ini mempersarafi kulit
sisi medial lengan atas.
15. Nervus cutaneus antebrachii medialis: Mempersarafi kulit sisi
medial lengan bawah.
16. Nervus ulnaris: Mempersarafi satu setengah otot fleksor lengan
bawah dan otot-otot kecil tangan, dan kulit tangan di sebelah
medial.
17. Nervus medianus: Memberikan cabang C5, C6, C7 untuk nervus
medianus.
18. Nervus musculocutaneus: Berasal dari C5 dan C6, mempersarafi
otot coracobrachialis, otot brachialis, dan otot biceps brachii.
Selanjutnya cabang ini akan menjadi nervus cutaneus lateralis dari
lengan atas.
19. Nervusdorsalis scapulae: Nervus dorsalis scapulae bersal dari
ramus C5, mempersarafi otot rhomboideus.
20. Nervus transverses colli
21. Nervus nuricularis: Nervus auricularis posterior berjalan
berdekatan menuju foramen, Letakanatomisnya: sebelah atas
dengan lamina terminalis,
22. NervusSubcostalis: Mempersarafi sistem kerja ginjal dan letaknya.
23. Nervus Iliochypogastricus: Nervus iliohypogastricusberpusat pada
medulla spinalis.
24. Nervus Iliongnalis: Nervus yang mempersyarafi system genetal,
atau kelamin manusia.
25. NervusGenitofemularis: Nervus genitofemoralis berpusat pada
medulla spinalis L1-2, berjalan ke caudal, menembus m. Psoas
major setinggi vertebra lumbalis ¾.
26. Nervus Cutaneus Femoris Lateralis: Mempersyarafi tungkai atas,
bagian lateral tungkai bawah, serta bagian lateral kaki.
27. NervusFemoralis: Nervus yang mempersyarafi daerah paha dan
otot paha.
29
28. NervusGluteus Superior: Nervus gluteus superior (L4, 5, dan paha,
walaupun sering dijumpai percabangan dengan letak yang lebih
tinggi.
29. Nervus Ischiadicus: Nervus yang mempersyarafi pangkal paha
30. NervusCutaneus Femoris Inferior: Nervus yang mempersyarafi
bagian (s2 dan s3) pada bagian lengan bawah.
31. Nervus Pudendus: Letak nervus pudendus berdekatan dengan
ujung spina ischiadica. Nervus pudendus, Nervus pudendus
menyarafi otot levator ani, dan otot perineum(ke kiri / kanan ),
sedangkan letak kepalanya dibuat sedikit lebih rendah.
30
Bila sumsum tulang belakang ini mengalami cidera ditempat tertentu,
maka akan mempengaruhi sistem saraf disekitarnya, bahkan bisa menyebabkan
kelumpuhan di area bagian bawah tubuh, seperti anggota gerak bawah (kaki).
Secara fungsi, sumsum tulang belakang bekerja secara sadar dan tak
sadar (saraf otonom). Sumsum tulang belakang yang bekerja secara sadar di atur
oleh otak sedangkan sistem saraf tidak sadar (saraf otonom) mengontrol
aktivitas yang tidak diatur oleh kerja otak seperti denyut jantung, sistem
pencernaan, sekresi keringat, gerak peristaltic usus, dan lain-lain.
31
Fungsi sumsum tulang belakang yang utama adalah sebagai berikut.
1. Menghubungkan sistem saraf tepi ke otak. Informasi melalui neuron
sensori ditransmisikan dengan bantuan interneuron (impuls
saraf dari dan ke otak).
2. Memungkinan jalan terpendek dari gerak refleks. Sehingga sumsum
tulang belakang juga biasa disebut saraf refleks.
3. Mengurusi persarafan tubuh, anggota badan dan kepala
32
2.3 Penyebab atau Etiologi dan Faktor Resiko trauma Medula Spinalis
33
2. Non trauma seperti spondilitis servikal dengan myelopati,
myelitis, osteoporosis, tumor.
34
Pada usia 45-an fraktur banyak terjadi pada pria di bandingkan
pada wanita karena olahraga, pekerjaan, dan kecelakaan
bermotor.
2. Jenis Kelamin
Belakangan ini wanita lebih banyak dibandingkan pria karena
faktor osteoporosis yang di asosiasikan dengan perubahan
hormonal (menopause).
3. Status Nutrisi
2.4 Patofisiologi
Tulang belakang yang mengalami gangguan trauma dapat menyebabkan
kerusakan pada medulla spinalis, tetapi lesi traumatic pada medulla spinalis
tidak selalu terjadi karena fraktur dan dislokasi. Efek trauma yang tidak
langsung bersangkutan tetapi dapat menimbulkan lesi pada medulla spinalis
disebut “whiplash”/trauma indirek.
Whiplash adalah gerakan dorsapleksi dan anterofleksi berlebihan dari
tulang belakang secara cepat dan mendadak.Trauma whiplash terjadi pada
tulang belakang bagian servikalis bawah maupun torakalis bawah misal; pada
waktu duduk dikendaraan yang sedang cepat berjalan kemudian berhenti secara
mendadak. Atau pada waktu terjun dari jarak tinggi, menyelam dan masuk air
yang dapat mengakibatkan paraplegia.
Trauma tidak langsung dari tulang belakang berupa hiperekstensi,
hiperfleksi, tekanan vertical (terutama pada T.12 sampai L.2), rotasi. Kerusakan
yang dialami medulla spinalis dapat bersifat sementara atau menetap. Akibat
trauma terhadap tulang belakang, medula spinalis dapat tidak berfungsi untuk
sementara (komosio medulla spinalis), tetapi dapat sembuh kembali dalam
beberapa hari. Gejala yang ditimbulkan adalah berupa oedema, perdarahan peri
vaskuler dan infark disekitar pembuluh darah. Pada kerusakan medulla spinalis
yang menetap, secara makroskopis kelainannya dapat terlihat dan terjadi lesi,
contusio, laserasio dan pembengkakan daerah tertentu di medulla spinalis.
Laserasi medulla spinalis merupakan lesi berat akibat trauma tulang
belakang secara langsung karena tertutup atau peluru yang dapat mematahkan /
menggeserkan ruas tulang belakang (fraktur dan dislokasi). Lesi transversa
35
medulla spinalis tergantung pada segmen yang terkena (segmentransversa,
hemitransversa, kuadran transversa). hematomielia adalah perdarahan dalam
medulla spinalis yang berbentuk lonjong dan bertempat di substansia grisea.
Trauma ini bersifat “whiplash “yaitu jatuh dari jarak tinggi dengan sifat badan
berdiri, jatuh terduduk, terdampar eksplosi atau fraktur dislokasio. Kompresi
medulla spinalis terjadi karena dislokasi, medulla spinalis dapat terjepit oleh
penyempitan kanalis vertebralis.
36
menjadi terganggu tidak hanya hal ini saja yang terjadi pada cidera pembuluh
darah medula spinalis, tetapi proses patogenik dianggap menyebabkan
kerusakan yang terjadi pada cedera medula spinalis akut. Suatu rantai sekunder
kejadian-kejadian yang menimbulkan iskemia, hipoksia, edema dan lesi-lesi
hemoragi, yang pada gilirannya mengakibatkan keruskan mielin dan akson.
37
Mekanisme utama terjadinya cedera vertebra adalah karena hiperekstensi,
hiperfleksi, trauma kompresi vertikal dan rotasi, bisa sendiri atau kombinasi.
Cedera karena hiperekstensi paling umum terjadi pada area cervikal dan
kerusakan terjadi akibat kekuatan akselerasi – deselerasi. Cedera akibat
hiperfleksi terjadi akibat regangan atau tarikan yang berlebihan, kompresi dan
perubahan bentuk dari medula spinalis secara tiba – tiba.
38
kompresi medula spinalis pada setiap sisinya dapat menekan spinal dan
bermanifestasi pada kompresi radiks, dan distribusi saraf sesuai segmen dari
tulang belakang servikal.
TABEL Kondisi Patologis Saraf Spinal Akibat Cedera
Batas Cedera Fungsi yang Hilang
C1 –C 4 Hilangnya fungsi motorik dan sensorik leher ke
bawah. Paralisis pernafasan, tidak terkontrolnya
bowel dan blader.
C5 Hilangnya fungsi motorik dari atas bahu ke bawah.
Hilangnya sensasi di bawah klavikula. Tidak
terkontrolnya bowel dan blader.
C6 Hilangnya fungsi motorik di bawah batas bahu dan
lengan. Sensasi lebih banyak pada lengan dan
jempol.
39
tungkai. Tidak terkontrolnya bowel dan blader.
L4 – S1 Hilangnya bebrapa fungsi motorik pada pangkal
paha, lutut dan kaki. Tidak terkontrolnya bowel
dan blader.
S2 – S4 Hilangnya fungsi motorik ankle plantar fleksor.
Hilangnya sensai pada tungkai dan perineum. Pada
keadaan awal terjadi gangguan bowel dan blader.
Trauma pada servikal bisa menyebabkan cedera spinal stabil dan tidak
stabil. Cedera stabil adalah cedera yang komponen vertebralnya tidak akan
tergeser oleh gerakan normal sehingga sumsum tulang yang tidak rusak dan
biasanya resikonya lebih rendah. Cedera tidak stabil adalah cedera yang dapat
mengalami pergeseran lebih jauh dimana terjadi perubahan struktur dari
oseoligamentosa posterior (pedikulus, sendi-sendi permukaan, arkus tulang
posterior, ligamen interspinosa dan supraspinosa), komponen pertengahan
(sepertiga bagian posterior badan vertebral, bagian posterior dari diskus
intervertebralis dan ligamen longitudinal posterior), dan kolumna anterior (dua-
pertiga bagian anterior korpus vertebra, bagian anterior diskus intervertebralis,
dan ligamen longitudinal anterior).
Pada cedera hiperekstensi servikal, pukulan pada muka atau dahi akan
memaksa kepala kebelakang dan tak ada yang menyangga oksiput hingga
kepala itu membentur bagian atas punggung. Ligamen anterior dan diskus dapat
rusak atau arkus saraf mungkin mengalami kerusakan.
Pada cedera fleksi akan meremukan badan vertebra menjadi baji; ini
adalah cedera yang stabil dan merupakan tipe fraktur vertebral yang paling
sering ditemukan. Jika ligamen posterior tersobek, cedera bersifat tak stabil dan
badan vertebra bagian atas dapat miring ke depan diatas badan vertebra
dibawahnya.
Cedera vertebra torako-lumbal bisa disebabkan oleh trauma langsung pada
torakal atau bersifat patologis seperti pada kondisi osteoporosis yang akan
mengalami fraktur kompresi akibat keruntuhan tulang belakang. Fraktur
kompresi dan fraktur dislokasi biasanya stabil. Tetapi, kanalis spinalis pada
40
segmen torakalis relatif sempit, sehingga kerusakan korda sering ditemukan
dengan adanya manifestasi defisit neurologis.
Kompresi vertikal (aksial); suatu trauma vertikal yang secara langsung
mengenai vertebra yang akan menyebabkan kompresi aksial. Nukleus pulposus
akan memecahkan permukaan serta badan vertebra secara vertikal. Material
diskus akan masuk dalam badan vertebra dan menyebabkan vertebra menjadi
pecah (burst). Pada kondisi ini terjadi Burst Fracture, kerusakan pada badan
tulang belakang dan medula spinalis secara klinis akan lebih parah di mana
apabila ligamen posterior sobek maka akan terjadi fraktur spinal tidak stabil.
Akibat kecelakaan, terpeleset, terjatuh dari motor, jatuh dari ketinggian
dalam posisi berdiri menyebabkan cedera pada kolumna vertebra dan medulla
spinalis yang dapat menyebabkan gangguan pada beberapa system, diantaranya
:
41
dengan menurunnya kadar oksigen ke dalam tubuh akan
mengakibatkan tubuh berkompensasi dengan meningkatkan
frekuensi pernapasan sehingga timbul sesak.
42
Fleksi-rotasi, dislokasi, dislokasi fraktur, umumnya mengenai servikal
pada C5 dan C6. Jika mengenai spina torakalumbar, terjadi pada T12-L1.
Fraktur lumbar adalah fraktur yang terjadi pada daerah tulang belakng bagian
bawah. Bentuk cedera ini mengenai ligamen, fraktur vertebra, kerusakan
pembuluh darah, dan mengakibatkan iskemia pada medulla spinalis.
1. Fleksi
Trauma terjadi akibat fleksi dan disertai dengan sedikit kompresi pada
vertebra. Vertebra mengalami tekanan berbentuk remuk yang dapat
menyebabkan kerusakan atau tanpa kerusakan ligamen posterior. Apabila
terdapat kerusakan ligamen posterior, maka fraktur bersifat tidak stabil dan
dapat terjadi subluksasi
43
Biasanya terjadi hiperekstensi sehingga terjadi kombinasi distraksi dan
ekstensi. Keadaan ini sering ditemukan pada vertebra servikal dan jarang pada
vertebra torako-lumbalis. Ligamen anterior dan diskus dapat mengalami
kerusakan atau terjadi fraktur pada arkus neuralis. Fraktur ini biasanya bersifat
stabil.
5. Fleksi lateral
Kompresi atau trauma distraksi yang menimbulkan fleksi lateral akan
menyebabkan fraktur pada komponen lateral, yaitu pedikel, foramen vertebra,
dan sendi faset.
6. Fraktur dislokasi
Suatu trauma yang menyebabkan terjadinya fraktur tulang belakang dan
terjadi dislokasi pada ruas tulang belakang
44
Bobot tubuh dari kepala hingga pelvis mengakibatkan penekanan pada
leher atau batang tubuh.
4. Rotasi
Rotasi yang berlebih dari batang tubuh atau kepala dan leher sehingga
terjadi pergerakan berlawanan arah dari kolumna spinalis.
5. Penekanan ke samping
Pergerakan ke samping yang berlebih menyebabkan pergeseran dari
kolumna spinalis.
6. Distraksi
Peregangan yang berlebihan dan kolumna spinalis dan spinal cord.
Efek pada jaringan saraf paling penting pada medula spinalis, ada
4 mekanisme yang mendasari:
1. Kompresi oleh tulang, ligamen, benda asing,
dan hematoma. Kerusakan paling berat disebabkan oleh kompresi
45
tulang, kompresi dari fragmen korpus vertebra yang tergeser ke
belakang, dan cedera hiperekstensi.
2. Tarikan/regangan jaringan: regangan yang berlebihan yang
menyebabkan gangguan jaringan biasanya setelah hiperfleksi.
Toleransi regangan pada mendula spinalis
menurun sesuai dengan usia yang bertambah.
3. Edema medula spinalis timbul segera dan menimbulkan gangguan
sirkulasi kapiler lebih lanjut serta aliran balik vena, yang
menyertai cedera primer.
4. Gangguan sirkulasi merupakan hasil kompresi oleh
tulang atau struktur lain pada sistem arteri spinalis posterior atau
anterior.
46
Berdasarkan sifat kondisi fraktur yang terjadi, Kelly dan Whitesides
mengkategorikan cedera spinal menjadi cedera stabil dan cedera non-stabil.
Cedera stabil mencakup cedera kompresi korpus vertebra baik anterior atau
lateral dan burst fracture derajat ringan. Sedangkan cedera yang tidak stabil
mencakup cedera fleksi-dislokasi, fleksi-rotasi, dislokasi-fraktur (slice injury),
dan burst fracture hebat.
1. Cedera stabil
Bila kemampuan fragmen tulang tidak memengaruhi kemampuan
untuk bergeser lebih jauh selain yang terjadi saat cedera. Komponen arkus
neural intak serta ligament yang menghubungkan ruas tulang belakang,
terutama ligament longitudinal posterior tidak robek. Cedera stabil disebabkan
oleh tenga fleksi, ekstensi, dan kompresi yang sederhana terhadap kolumna
tulang belakang dan paling sering tampakd pada daerah toraks bawah serta
lumbal (fruktur baji badan ruas tulang belakang sering disebabkan oleh fleksi
akut pada tulang belakang).
a. Fleksi
Cedera fleksi akibat fraktura kompresi baji dari vertebra
torakolumbal umum ditemukan dan stabil. Kerusakan neurologik
tidak lazim ditemukan. Cedera ini menimbulkan rasa sakit, dan
penatalaksanaannya terdiri atas perawatan di rumah sakit selama
beberapa hari istorahat total di tempat tidur dan observasi terhadap
paralitik ileus sekunder terhadap keterlibatan ganglia simpatik. Jika
baji lebih besar daripada 50 persen, brace atau gips dalam ekstensi
dianjurkan. Jika tidak, analgetik, korset, dan ambulasi dini
diperlukan. Ketidaknyamanan yang berkepanjangan tidak lazim
ditemukan.
b. Fleksi ke Lateral dan Ekstensi
Cedera ini jarang ditemukan pada daerah torakolumbal. Cedera ini
stabil, dan defisit neurologik jarang. Terapi untuk kenyamanan
pasien (analgetik dan korset) adalah semua yang dibutuhkan.
47
c. Kompresi Vertikal
Tenaga aksial mengakibatkan kompresi aksial dari 2 jenis : (1)
protrusi diskus ke dalam lempeng akhir vertebral, (2) fraktura
ledakan. Yang pertama terjadi pada pasien muda dengan protrusi
nukleus melalui lempeng akhir vertebra ke dalam tulang berpori
yang lunak. Ini merupakan fraktura yang stabil, dan defisit
neurologik tidak terjadi. Terapi termasuk analgetik, istirahat di
tempat tidur selama beberapa hari, dan korset untuk beberapa
minggu. Meskipun fraktura ”ledakan” agak stabil, keterlibatan
neurologik dapat terjadi karena masuknya fragmen ke dalam
kanalis spinalis. CT-Scan memberikan informasi radiologik yang
lebih berharga pada cedera. Jika tidak ada keterlibatan neurologik,
pasien ditangani dengan istirahat di tempat tidur sampai gejala-
gejala akut menghilang. Brace atau jaket gips untuk menyokong
vertebra yang digunakan selama 3 atau 4 bulan
direkomendasikan. Jika ada keterlibatan neurologik, fragmen harus
dipindahkan dari kanalis neuralis. Pendekatan bisa dari anterior,
lateral atau posterior. Stabilisasi dengan batang kawat, plat atau
graft tulang penting untuk mencegah ketidakstabilan setelah
dekompresi.
48
ini sangat tidak stabil, pasien harus ditangani dengan hati-hati untuk
melindungi medula spinalis dan radiks. Fraktura dislokasi ini paling
sering terjadi pada daerah transisional T10 sampai L1 dan
berhubungan dengan insiden yang tinggi dari gangguan
neurologik. Setelah radiografik yang akurat didapatkan (terutama
CT-Scan), dekompresi dengan memindahkan unsur yang tergeser
dan stabilisasi spinal menggunakan berbagai alat metalik
diindikasikan.
b. Fraktura ”Potong”
Vertebra dapat tergeser ke arah anteroposterior atau lateral akibat
trauma parah. Pedikel atau prosesus artikularis biasanya patah. Jika
cedera terjadi pada daerah toraks, mengakibatkan paraplegia
lengkap. Meskipun fraktura ini sangat tidak stabil pada daerah
lumbal, jarang terjadi gangguan neurologi karena ruang bebas yang
luas pada kanalis neuralis lumbalis. Fraktura ini ditangani seperti
pada cedera fleksi-rotasi.
c. Cedera Fleksi-Rotasi
Change fracture terjadi akibat tenaga distraksi seperti pada cedera
sabuk pengaman. Terjadi pemisahan horizontal, dan fraktura
biasanya tidak stabil. Stabilisasi bedah direkomendasikan.
49
3. Kontusio adalah kondisi dimana terjadi kerusakan pada vertebrata,
ligament dengan terjadinya perdarahan, edema perubahan neuron dan
reaksi peradangan.
4. Laserasio medula spinalis merupakan kondisi yang berat karena terjadi
kerusakan medula spinalis. Biasanya disebabkan karena dislokasi, luka
tembak. Hilangnya fungsi medula spinalis umumnya bersifat permanen.
50
yang mendadak sehingga beban jatuh dan tulang belakang sekonyong-konyong
di hiperekstensi. Gambaran klinik berupa tetraparese parsial. Gangguan pada
ekstremitas atas lebih ringan daripada ekstremitas atas sedangkan daerah
perianal tidak terganggu (Aston. J.N, 1998).
Kerusakan tulang belakang setinggi vertebra lumbal 1 dan 2
mengakibatkan anaestesia perianal, gangguan fungsi defekasi, miksi, impotensi
serta hilangnya refleks anal dan refleks bulbokafernosa (Aston. J.N, 1998).
51
n. Kelemahan motorik ekstermitas atas lebih besar dari ekstermitas
bawah
o. Penurunan keringat dan tonus vasomotor
52
1. Perubahan refleks
Setelah terjadi cedera medula spinalis terjadi edema medula spinalis
sehingga stimulus refleks juga terganggu misalnya rfeleks p[ada
blader, refleks ejakulasi dan aktivitas viseral.
2. Spasme otot
Gangguan spame otot terutama terjadi pada trauma komplit
transversal, dimana pasien trejadi ketidakmampuan melakukan
pergerakan.
2. Spinal shock
Tanda dan gejala spinal shock meliputi flacid paralisis di bawah garis
kerusakan, hilangnya sensasi, hilangnya refleks – refleks spinal,
hilangnya tonus vasomotor yang mengakibatkan tidak stabilnya
tekanan darah, tidak adanya keringat di bawah garis kerusakan dan
inkontinensia urine dan retensi feses.
3. Autonomik dysrefleksia
Terjadi pada cedera T6 keatas, dimana pasien mengalami gangguan
refleks autonom seperti terjadinya bradikardia, hipertensi paroksismal,
distensi bladder.
4. Gangguan fungsi seksual.
Banyak kasus memperlihatkan pada laki – laki adanya impotensi,
menurunnya sensai dan kesulitan ejakulasi. Pasien dapat ereksi tetapi
tidak dapat ejakulasi.
Menurut menurut ENA (2000 : 426), tanda dan gejala adalah sebagai
berikut:
1) Pernapasan dangkal
2) Penggunaan otot-otot pernapasan
3) Pergerakan dinding dada
4) Hipotensi (biasanya sistole kurang dari 90 mmHg)
5) Bradikardi
6) Kulit teraba hangat dan kering
53
7) Poikilotermi (Ketidakmampuan mengatur suhu tubuh, yang mana
suhu tubuh bergantung pada suhu lingkungan)
8) Kehilangan sebagian atau keseluruhan kemampuan bergerak
9) Kehilangan sensasi
10) Terjadi paralisis, paraparesis, paraplegia atau
quadriparesis/quadriplegia
11) Adanya spasme otot, kekakuan
54
kedua segmen diatas kedua cidera. Dengan demkian lenyapnya fungsi sensorik
dan motorik serta syok spinal dapat terjadi mulai dari dua segmen diatas cidera.
Syok spnal biasanya menghilang sendiri, tetap hilangnya kontrol sensorik dan
motorik akan tetap permanen apabila korda terputus akan terjadi pembengkakan
dan hipoksia yang parah.
3. Syok spinal.
Syok spinal adalah hilangnya secara akut semua refleks-refleks dari dua
segmen diatas dan dibawah tempat cidera. Refleks-refleks yang hilang adalah
refleks yang mengontrol postur, fungsi kandung kemih dan rektum, tekanan
darah, dan pemeliharaan suhu tubuh. Syok spinal terjadi akibat hilangnya secara
akut semua muatan tonik yang secara normal dibawah neuron asendens dari
otak, yang bekerja untuk mempertahankan fungsi refleks. Syok spinl biasanya
berlangsung antara 7 dan 12 hari, tetapi dapat lebih lama. Suatu syok spinal
berkurang dapat tmbul hiperreflekssia, yang ditadai oleh spastisitas otot serta
refleks, pengosongan kandung kemih dan rektum.
4. Hiperrefleksia otonom.
Kelainan ini dapat ditandai oleh pengaktipan saraf-saraf simpatis secar
refleks, yang meneyebabkan peningkatan tekanan darah. Hiper refleksia
otonom dapat timbul setiap saat setelah hilangnya syok spinal. Suatu
rangsangan sensorik nyeri disalurkan kekorda spnalis dan mencetukan suatu
refleks yang melibatkan pengaktifan sistem saraf simpatis. Dengan
diaktifkannya sistem simpatis, maka terjadi konstriksi pembuluh-pembuluh
darah dan penngkatan tekanan darah sistem
Pada orang yang korda spinalisnya utuh, tekanan darahnya akan segera
diketahui oleh baroreseptor. Sebagai respon terhadap pengaktifan baroreseptor,
55
pusat kardiovaskuler diotak akan meningkatkan stimulasi parasimpatis
kejantung sehingga kecepatan denyut jantunhg melambat,demikian respon saraf
simpatis akan terhenti dan terjadi dilatasi pembuluh darah. Respon parasimpatis
dan simpatis bekerja untuk secara cepat memulihkan tekanan darah kenormal.
Pada individu yang mengalami lesi korda, pengaktifan parasimpatis akan
memperlambat kecepatan denyut jantung dan vasodilatasi diatas tempat cedera,
namun saraf desendens tidak dapat melewati lesi korda sehngga vasokontriksi
akibat refleks simpatis dibawah tingkat tersebut terus berlangsung.
Pada hiperrefleksia otonom, tekanan darah dapat meningkat melebihi
200 mmHg sistolik, sehingga terjadi stroke atau infark miokardium.
Rangsangan biasanya menyebabkan hiperrefleksia otonom adalah distensi
kandung kemih atau rektum,atau stimulasi reseptor-reseptor permukaan untuk
nyeri.
1. Paralisis
Paralisis adalah hilangnya fungsi sensorik dan motorik volunter. Pada
transeksi korda spinal, paralisis bersifat permanen. Paralisis ekstremitas atas
dan bawah terjadi pada transeksi korda setinggi C6 atau lebih tinggi dan disebut
kuadriplegia. Paralisis separuh bawah tubuh terjadi pada transeksi korda
dibawah C6 dan disebut paraplegia. Apabila hanya separuh korda yang
mengalami transeksi maka dapat terjadi hemiparalisis.
2. Autonomic Dysreflexia
Terjadi adanya lesi diatas T6 dan Cervical. Bradikardia, hipertensi
paroksimal, berkeringat banyak, sakit kepala berat, goose flesh, nasal stuffness
3. Fungsi Seksual
Impotensi, menurunnya sensasi dan kesulitan ejakulasi, pada wanita
kenikmatan seksual berubah
4. Syok hipovolemik
Akibat perdarahan dan kehilangan cairan ekstrasel ke Jaringan yang
rusak sehingga terjadi kehilangan darah dalam jumlah besar akibat trauma.
56
Infeksi terjadi karena adanya kontaminasi kuman pada fraktur terbuka
atau pada saat pembedahan dan mungkin pula disebabkan oleh pemasangan alat
seperti plate, paku pada fraktur.
6. Emboli lemak
Saat fraktur, globula lemak masuk ke dalam darah karena tekanan
sumsum tulang lebih tinggi dari tekanan kapiler. Globula lemak akan bergabung
dengan trombosit dan membentuk emboli yang kemudian menyumbat
pembuluh darah kecil, yang memasok ke otak, paru, ginjal, dan organ lain.
57
2.11 Pemeriksaan Diagnostik dan Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Diagnostik Meliputi:
a. Pemeriksaan neurologis lengkap secara teliti segera setelah pasien
tiba di rumah sakit
b. Pemeriksaan tulang belakang: deformasi, pembengkakan, nyeri
tekan, gangguan gerakan(terutama leher)
c. Pemerikaan Radiologis: foto polos vertebra AP dan lateral. Pada
servikal diperlukan proyeksi khusus mulut terbuka (odontoid).
d. Bila hasil meragukan lakukan ST-Scan,bila terdapat defisit
neurologi harus dilakukan MRI atau CT mielografi.
58
servikat bagian bawah atau pada trauma torakal dengan gangguan
pada saraf frenikus /otot interkostal).
g. GDA : Menunjukan kefektifan penukaran gas atau upaya ventilasi
h. Serum kimia, adanya hiperglikemia atau hipoglikemia,
ketidakseimbangan elektrolit, kemungkinan menurunnya Hb dan
Hmt.
i. Urodinamik, proses pengosongan bladder.
Pemeriksaan Diagnostik
Rontgen foto
Pemeriksaan positif AP, lateral dan obliq dilakukan untuk menilai:
1. Diameter anteroposterior kanal spinal
2. Kontur, bentuk, dan kesejajaran vertebra
3. Pergerakan fragmen tulang dalam kanal spinal
4. Keadaan simetris dari pedikel dan prosesus spinosus
5. Ketinggian ruangan diskus intervertebralis
59
tulang dapat bergeser ke posterior ke dalam kanalis spinalis sehingga terjadi
defisit neurologis.
2.12 Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan Kedaruratan
Pasien segera ditempat kejadian adalah sangat penting, karena
penatalaksanaan yang tidak tepat dapat menyebabkan kerusakan kehilangan
fungsi neurologik. Korban kecelakaan kendaraan bermotor atau kecelakaan
berkendara, Trauma olahraga kontak, jatuh, atau trauma langsung pada kepala
dan leher dan leher harus dipertimbangkan mengalami Trauma medula spinalis
sampai bukti Trauma ini disingkirkan.
1) Ditempat kecelakaan, korban harus dimobilisasi pada papan spinal
(punggung), dengan kepala dan leher dalam posisi netral, untuk
mencegah Trauma komplit.
2) Salah satu anggota tim harus menggontrol kepala pasien untuk
mencegah fleksi, rotasi atau ekstensi kepala.
3) Tangan ditempatkan pada kedua sisi dekat telinga untuk
mempertahankan traksi dan kesejajaran sementara papan spinalatau
alat imobilisasi servikal dipasang.
4) Paling sedikit empat orangharus mengangkat korban dengan hati-
hati keatas papan untuk memindahkan memindahkan kerumah
60
sakit. Adanya gerakan memuntir dapat merusak medula spinais
ireversibel yang menyebabkan fragmen tulang vertebra terputus,
patah, atau memotong medula komplit.
61
Penatalaksanaan medis
1. Terjadi dilakukan untuk mempertahankan fungsi neurologis yang
masih ada, memaksimalkan pemulihan neurologis, tindakan atau
cedera lain yang menyertai, mencegah, serta metu rnengobati
komplikasi dan kerusakan neurallebih lanjut. Reabduksi atau
sublukasi (dislokasi sebagian pada sendi di salah satu tulang-ed).
Untuk mendekopresi koral spiral dan tindakan imobilisasi tulang
belakang untuk melindungi koral spiral.
2. Operasi lebih awal sebagai indikasi dekompresi neural, fiksasi
internal,atau debridement luka terbuka.
3. Fiksasi internal elektif dilakukan pada klien dengan ketidak stabilan
tulang belakang, cedera ligamen tanpa fraktur, deformitas tulang
belakang, progresif, cedara yang tak dapat di reabduksi, dan fraktur
non-union.
4. Terapi steroid, nomidipin, atau dopamin untuk perbaikan aliran
darah koral spiral. Dosis tertinggi metil prednisolin/bolus adalah 30
mg/kg BB diikuti 5,4 mg/kgBB/jamberikutnya. Bila diberikan
dalam 8 jam sejak cedera akan memperbaiki pemulihan neurologis.
Gangliosida mungkin juga akan memperbaiki pemulihan setelah
cedera koral spiral.
5. Penilaian keadaan neurologis setiap jam, termasuk pengamatan
fungsi sensorik, motorik, dan penting untuk melacak defisit yang
progresif atau asenden.
62
6. Mempertahankan perfusi jaringan yang adekuat, fungsi ventilasi,
dan mecak keadaan dekompensasi.
7. Pengelolaan cedera stabil tanpa defisit neurologis seperti angulasi
atau baji dari badan ruas tulang belakang, fraktur proses
transverses, spinous,dan lainnya. Tindakannya simptomatis
(istirahat baring hingga nyeri berkurang), imobilisasi dengan
fisioterapi untuk pemulihan kekuatan otot secara bertahap.
8. Cedera tak stabil disertai defisit neurologis. Bila terjadi pergeseran,
fraktur memerlukan reabduksi dan posisi yang sudah baik harus
dipertahankan.
63
Pengelolaan kelompok ini tergantung derajat kerusakan neurologis yang
tampak pada saat pertama kali diperiksa:
a) Transeksi neurologis lengkap terbaik dirawat konservatif.
b) Cedera di daerah servikal, leher dimobilisasi dengan kolar atau
sepit (caliper) dan diberi metil prednisolon.
c) Pemeriksaan penunjang MRI
d) Cedera neurologis tak lengkap konservatif.
e) Bila terdapat atau didasari kerusakan adanya spondiliosis servikal.
Traksi tengkorak, dan metil prednisolon.
f) Bedah bila spondiliosis sudah ada sebelumnya.
g) Bila tak ada perbaikan atau ada perbaikan tetapi keadaan
memburk maka lakukan mielografi.
h) Cedera tulang tak stabil.
i) Bila lesinya total, dilakukan reabduksi yang diikuti imbolisasi,
melindungi dengan imobilisasi seperti penambahan perawatan
paraplegia.
j) Bila defisitneurologis tak lengkap, dilakukan reabduksi, diikuti
imobilisasi untuk sesui jenis cederanya.
k) Bila diperlukan operasi dekompresi kenal spiral dilakukan pada
saat yang sama.
l) Cedera yang menyertai dan komplikasi:
a) Cedera mayor berupa cedera kepala atau otak, toraks,
berhubungan dengan ominal, dari vascular.
b) Cedera berat yang dapat menyebabkan kematian, aspirasi
dan syok.
64
b) Pemeriksaan nyeri lokal dan nyeri tekan serta kifosis yang
menandakan adanya fraktur dislokasi.
c) Keadaan umum penderita.
B. Penatalaksanaan fraktur tulang belakang:
a) Resusitasi klien.
b) Pertahankan pemberian cairan dan nutrisi.
c) Perawatan kandung kemih dan usus.
d) Mencegah dekubitus.
e) Mencegah kontraktur pada anggota gerak serta rangkaian
rehabiIitasi lainnya.
Farmakoterapy.
a) Analgesik.
Obat-obatan anti-inflammatory drugs (NSAID) dapat membantu
mengurangi rasa sakit dan mengurangi peradangan di sekitar saraf.
Dokter mungkin merekomendasikan NSAID dngan dosis tinggi jika
sakit tergolong parah. "Obat anti inflamasi (anti radang) non steroid,
atau yang lebih dikenal dengan sebutan NSAID (Non Steroidal Anti-
inflammatory Drugs) adalah suatu golongan obat yang memiliki
khasiat analgesik (pereda nyeri), antipiretik (penurun panas), dan
antiinflamasi (anti radang). Istilah "non steroid" digunakan untuk
membedakan jenis obat-obatan ini dengan steroid, yang juga memiliki
khasiat serupa. NSAID bukan tergolong obat-obatan jenis narkotika"
b) Suntikan.
Suntikan kortikosteroid. Disuntikkan ke daerah yang terkena, ini dapat
membantu mengurangi rasa sakit dan peradangan. "Kortikosteroid
65
adalah kelas obat yang terkait dengan kortison, steroid. Obat-obat
dari kelasini dapat mengurangi peradangan. Mereka digunakan untuk
mengurangi peradangan yang disebabkan oleh berbagai penyakit".
c) Fisioterapi
Fisioterapi merupakan suatu bentuk pelayanan kesehatan guna
memelihara dan memulihkan gerak dan fungsi tubuh dengan
penanganan secara manual maupun dengan menggunakan peralatan.
Seorang terapi fisik dapat mengajarkan latihan stretching / exercises
yang memperkuat dan meregangkan otot-otot di daerah yang terkena
untuk mengurangi tekanan pada saraf.
d) Stimulasi Listrik
Bentuk yang paling umum dari stimulasi listrik yang digunakan dalam
manajemen nyeri saraf stimulasi listrik (TENS / Transcutaneus
Electrical Nerve Stimulation) perangkat di gunakan untuk
merangsang saraf melalui permukaan kulit. Tens adalah salah satu
dari sekian banyak modalitas/alat fisioterapi yang di gunakan untuk
mengurangi nyeri dengan mengalirkan arus listrik. Cara kerjanya
dengan merangsang saraf tertentu sehingga nyeri berkurang, tanpa
efek samping yang berarti.
e) Ultrasound
Suatu terapi dengan menggunakan getaran mekanik gelombang suara
dengan frekuensi lebih dari 20.000 Hz. Yang digunakan
66
dalam Fisioterapi adalah 0,5-5 MHz dengan tujuan untuk
menimbulkan efek terapeutik melalui proses tertentu.
f) Traksi tulang
Alat terapi yang menggunakan kekuatan tarikan yang di gunakan pada
satu bagian tubuh, sementara bagian tubuh lainnya di tarik
berlawanan.
Terapifisik
a) Terapi fisik
67
Untuk saraf terjepit harus tetap konservatif di awal untuk menghindari
lebih parah kondisi. Penekanan akan di istirahat, mengurangi
peradangan, beban dan stres pada daerah yang terkena. Setelah
peradangan awal telah berkurang, program exercise dan penguatan
akan dimulai untuk mengembalikan fleksibilitas pada sendi dan otot
yang terlibat, sambil meningkatkan kekuatan dan stabilitas pada tulang
belakang.
b) Akupunktur
Praktek Cina kuno melibatkan memasukkan jarum yang sangat tipis
pada titik tertentu pada kulit untuk menghilangkan rasa sakit.
c) Stimulator KWD
Alat terapi yang berfungsi sebagai stimulator pada pangkal jarum
akupunktur sehingga menghasilkan berbagai jenis getaran rangsangan
yang bertujuan untuk menstimulasi titik akupunktur/ acupoint.
d) Chiropractic
Perawatan terapi alternatif yang sangat umum untuk nyeri kronis dan
dapat membantu untuk mengobati sakit punggung, terapis chiropractic
menggunakan penyesuaian tulang belakang dengan tujuan
meningkatkan mobilitas antara tulang belakang. Penyesuaian tersebut
untuk membantu mengembalikan tulang ke posisi yang lebih normal,
membantu gerak juga menghilangkan atau mengurangi rasa sakit.
Penatalaksanaan Medik trauma Medula Spinalis
Prinsip penatalaksanaan medik trauma medula spinalis adalah sebagai
berikut:
1. Segera dilakukan imobilisasi.
2. Stabilisasi daerah tulang yang mengalami cedera seperti dilakukan
pemasangan collar servical, atau dengan menggunakan bantalan
pasir.
3. Mencegah progresivitas gangguan medula spinalis misalnya
dengan pemberian oksigen, cairan intravena, pemasangan NGT.
4. Terapi Pengobatan :
a. Kortikosteroid seperti dexametason untuk mengontrol edema.
68
b. Antihipertensi seperti diazolxide untuk mengontrol tekanan
darah akibat autonomic hiperrefleksia akut.
c. Kolinergik seperti bethanechol chloride untuk menurunkan
aktifitas bladder.
d. Anti depresan seperti imipramine hyidro chklorida untuk
meningkatkan tonus leher bradder.
e. Antihistamin untuk menstimulus beta – reseptor dari bladder
dan uretra.
f. Agen antiulcer seperti ranitidine
g. Pelunak fases seperti docusate sodium.
BAB III
Asuhan Keperawatan
3.1 Pengkajian
Penting bagi perawat untuk mengetahui bahwa setiap adanya riwayat
trauma pada servikal merupakan hal yang penting diwaspadai. Tingkat kehati-
hatian dari perawat yang tinggi dapat mencegah cedera spinal servikal yang
stabil dapat tidak menjadi cedera spinal yang tidak stabil karena pada setiap
fase awal kondisi trauma servikal, perawat adalah orang pertama dan paling
sering melakukan intervensi.
Manipulasi pada tulang belakang yang tidak rasional dapat merusak kestabilan dari
struktur servikal (tulang, diskus, ligamen, dan medula spinalis)
69
Implikasi dari hal-hal diatas adalah kewaspadaan perawat untuk
menjaga kesejajaran dari tulang belakang untuk menghindari resiko tinggi injuri
pada korda, maka pada saat pengkajian harus dilakukan secara sistematis dan
rasional agar pada fase pengkajian dan pada setiap intervensi yang diberikan
tidak merusak kestabilan dari tulang belakang.
Adanya riwayat trauma servikal harus dikaji sepenuhnya untuk mencari
ada tidaknya cedera spinal. Untuk melakukan hal tersebut, pakaiannya mungkin
terpaksa harus dipotong dari badannya sehingga sesedikit mungkin
mengganggu posisi kenetralan leher. Adanya keluhan nyeri atau kekakuan pada
leher atau punggung harus ditanggapi secara serius, sekalipun klien dapat
berjalan atau bergerak tanpa banyak menglamai gangguan. Tanyakan mengenai
rasa baal, paraestesia, atau kelemahan pada ekstremitas atas dan bawah.
Mekanisme trauma dari riwayat kecelakaan dapat memberi petunjuk
yang penting seperti jatuh dari tempat tinggi, cedera akibat terjun, benturan
pada kepala, tertimpa reruntuhan atau ambruknya langit-langit, atau sentakan
mendadak pada leher akibat tubrukan dari belakang (whiplash injury) ini semua
merupakan penyebab kerusakan spinal yang sering ditemukan. Tanyakan
apakah klien yang mengalami cedera sebelumnya, menggunakan obat-obatan,
atau jatuh setelah menggunkan alkohol.
Pada status emergency klien dengan riwayat trauma servikal yang jelas
dan diindikasikan cedera spinal tidak stabil, apabila pengkajian anamnesis dapat
dilakukan maka status jalan napas klien optimal dan anamnesis diusahakan
terfokus pada pengkajian primer, karena pada fase ini klien beresiko tinggi
untuk mengalami kompresi korda yang berdampak pada henti jantung-paru.
Implikasi dari situasi ini adalah pengkajian primer dilakukan disertai intervensi
dengan suatu hal yang prinsip untuk selalu menjaga posisi leher/servikal dalam
posisi netral dan kalau perlu klien dipasang ban servikal. Apabila pada kondisi
di tempat kejadian dimana klien mengalami cedera spinal servikal tetapi masih
memaki helm, maka diperlukan teknis melepas helm dengan tetap menjaga
posisi leher dalam posisi netral. Selanjutnya, peran perawat dalam melakukan
70
transportasi dari tempat kejadian ke tempat intervensi lanjutan trauma servikal
dirumah sakit harus dilakukan secara hat-hati, peran memonitoring dan
kolaborasi untuk dilakukan stabilisasi.
Pengkajian lanjutan dirumah sakit tetap memperhatikan kondisi
stabilisasi pada servikal dan memonitoring pada jalan napas. Pada setiap
melakukan transportasi klien, perawat tetap memprioritaskan kesejajaran
kurvatura tulang belakang dengan tujuan untuk menghindari resiko injury pada
spinal dengan teknik pengangkatan cara log rolling dan/atau menggunakan long
backboard.
Kaji keadaan umum (KU), tanda-tanda vital, adanya defisit neurologis,
dan status kesadaran pada fase awak kejadian trauma, terutama pada klien yang
diindikasikan cedera spinal tidak stabil. Setiap didapatkan adanya perubahan
pada KU, TTV, defisit neurologis, dan tingkat kesadaran secara bermakna harus
secepatnya dilakukan kolaborasi dengan dokter.
Defek neurologis ditentukan oleh lokasi dan kekuatan trauma. Syok
spinal terjadi bila trauma terjadi pada servikal atau setinggi toraksik. Teknik
pemeriksaan colok dubur dengan menilai refleks bulbokavernosus untuk
merasakan adanya refleks jepitan pada sfingter ani pada jari akibat stimulus
nyeri yang kita berikan pada glands penis atau klitoris atau dengan menarik
kateter untuk menilai apakah klien mengalami syok spinal.
71
Pada pengkajian fokus lihat adanya deformitas pada leher. Kaji adanya
memar (pada fase awal cedera) baik leher, muka, dan bagian belakang telinga.
Tanda memar pada wajah, mata atau dagu merupakan salah satu tanda adanya
cedera hiperekstensi pada leher. Memar pada muka atau abrasi dangkal pada
dahi menunjukkan adanya kekuatan yang menyebabkan hiperekstensi. Leher
mungkin berposisi miring atau klien dapat menyangga kepala dengan
tangannya. Bila klien terlentang, dada dan perut dapat diperiksa untuk mencari
ada tidaknya cedera yang menyertai. Kemudian tungkai dengan cepat diperiksa
untuk mencari ada tidaknya tanda-tanda defisit neurologis.
Untuk memeriksa punggung, klien diputar pada satu sisi dengan sangat
berhati-hati dengan menggunakan teknik log rolling (menggulingkan kayu).
Pada pemeriksaan primer pakaian klien tidak dilepas dan hanya
diperiksa dengan cara palpasi punggung. Pada pemeriksaan sekunder di rumah
sakit, pakaian perlu dibuka untuk menilai adanya kelainan pada punggung.
Adanya memar menunjukkan kemungkinan adanya tingkat cedera. Prosesus
spinosus dipalpasi dengan hati-hati. Kadang-kadang suatu celah dapat terbuka
bila ligamen tersobel; keadaan ini atau hematoma pada spinal merupakan tanda
yang menakutkan (berbahaya). Tulang dan jaringan lunak diperiksa dengan
pelan-pelan untuk mencari ada tidaknya nyeri tekan. Gerakan pada spinal dapat
berbahaya karena dapat membahayakan korda, jadi manipulasi gerakan
berlebihan harus dihindari sebelum diagnosis ditegakkan.
72
masih tidak ada, lesi neurologis bersifat lengkap. Sensasi perianal yang utuh
menunjukkan lesi yang tidak lengkap dan dapat terjadi penyembuhan lebih
jauh.
73
vertebra yang ada dibawahnya,
sehingga ruang interspinosa di
bagian posterior terbuka.
C5 Fleksi bahu, fleksi siku Segmen C5-C6 merupakan
kurvatura yang paling menonjol dari
servikal sehingga mempunyai resiko
tinggi cedera
C6 Fleksi siku, rotasi dan Fraktur kompresi pada segmen ini
abduksi bahu, ekstensi sering disebabkan cedera fleksi,
ibu jari korpus terkompresi tetapi ligamen
posterior tetap utuh dan fraktur
stabil
C7 Ekstensi siku, gerakan Fraktur avulsi pada prosesus
bahu, ekstensi ruas jari- spinosus C7 dapat terjadi oleh
jari tangan kontraksi otot yang hebat
74
3. Region, radiation, relief, apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa
sakit menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi
4. Severity (scale) of pain, skala nyeri biasanya 3-4 (0-4) pada
penilaian skala nyeri
5. Time, berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah
buruk pada malam hari atau siang hari.
A. Identitas
Trauma medula spinalis dapat terjadi pada semua usia dan jenis kelamin
meliputi nama, usia (kebanyakan terjadi pada. usia muda), jenis kelamin
(kebanyakan laki-laki karena sering mengebut saat mengendarai motor tanpa
pengaman helm), pendidikan, alamat,pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam
masuk rumah sakit (MRS), nomor register, dan diagnosis medis.
B. Keluhan utama
Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien meminta pertolongan
kesehatan adalah nyeri, kelemahan dan kelumpuhan ekstremitas, inkontinensia
urine dan inkontinensia alvi, nyeri tekan otot,hiperestesia tepat di atas daerah
trauma, dan deformitas pada daerah trauma.
75
tusuk, luka tembak, trauma karena tali pengaman (fraktur chance), dan kejatuhan
benda keras. Pengkajian yang didapat meliputi hilangnya sensibilitas, paralisis
(dimulai dari paralisis layu disertai hilangnya sensibilitassecara total dan
melemah/menghilangnya refleks alat dalam) ileus paralitik, retensi urine, dan
hilangnya refleks-refleks.
Perlu ditanyakan pada klien atau keluarga yang mengantar klien atau bila
klien tidak sadar tentang penggunaan obat-obatan adiktif dan penggunaan
alkohol yang sering terjadi pada beberapa klien yang suka kebut-kebutan.
76
E. Riwayat penyakit keluarga
Kaji apakah dalam keluarga pasien ada yang menderita hipertensi, DM,
penyakit jantung untuk menambah komprehensifnya pengkajian (Untuk
mengetahui ada penyebab herediter atau tidak)
F. Riwayat psiko-sosio
Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien untuk menilai
respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan perubahan peran
klien dalam keluarga. Apakah ada dampak yang timbul pada klien, yaitu timbul
seperti ketakutan akan kecacatan, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk
melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah
(gangguan citra tubuh). Adanya perubahan berupa paralisis anggota gerak
bawah memberikan manifestasi yang berbeda pada setiap klien yang mengalami
cedera tulang belakang.
Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien untuk menilai
respon emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan perubahan peran
klien dalam keluarga.
Apakah ada dampak yang timbul pada klien,yaitu timbul seperti
ketakutan akan kecacatan, rasa cemas, rasa ketidak mampuan untuk melakukan
aktifitas secara optimal dan pandangan terhadap dirinya yang salah.
I. Pengkajian Primer
1) Airway.
Jika penderita dapat berbicara maka jalan napas kemungkinan
besar dalam keadaan adekuat. Obstruksi jalan napas sering terjadi
pada penderita yang tidak sadar, yang dapat disebabkan oleh
benda asing, muntahan, jatuhnya pangkal lidah, atau akibat
fraktur tulang wajah. Usaha untuk membebaskan jalan napas
harus melindungi vertebra servikalis (cervical spine control), yaitu
tidak boleh melakukan ekstensi, fleksi, atau rotasi yang berlebihan
dari leher. Dalam hal ini, kita dapat melakukan chin lift atau jaw
77
thrust sambil merasakan hembusan napas yang keluar melalui
hidung.
Bila ada sumbatan maka dapat dihilangkan dengan cara
membersihkan dengan jari atau suction jika tersedia. Untuk
menjaga patensi jalan napas selanjutnya dilakukan pemasangan
pipa orofaring. Bila hembusan napas tidak adekuat, perlu bantuan
napas.
2) Breathing.
Bantuan napas dari mulut ke mulut akan sangat bermanfaat.
Apabila tersedia, O2 dapat diberikan dalam jumlah yang
memadai. Jika penguasaan jalan napas belum dapat memberikan
oksigenasi yang adekuat, bila memungkinkan sebaiknya
dilakukan intubasi endotrakheal.1,3,5,6,7,8.
3) Circulation.
Status sirkulasi dapat dinilai secara cepat dengan memeriksa
tingkat kesadaran dan denyut nadi Tindakan lain yang dapat
dilakukan adalah mencari ada tidaknya perdarahan eksternal,
menilai warna serta temperatur kulit, dan mengukur tekanan
darah. Denyut nadi perifer yang teratur, penuh, dan lambat
biasanya menunjukkan status sirkulasi yang relatif normovolemik.
4) Disability.
Melihat secara keseluruhan kemampuan pasien diantaranya
kesadaran pasien.
5) Exprosure,
Melihat secara keseluruhan keadaan pasien. Pasien dalam keadaan
sadar (GCS 15) dengan :Simple head injury bila tanpa deficit
neurology
a. Dilakukan rawat luka
b. Pemeriksaan radiology
c. Pasien dipulangkan dan keluarga diminta untuk observasi
bila terjadi penurunan kesadaran segera bawa ke rumah sakit
78
II. Pengkajian Skunder.
1) Aktifitas /Istirahat.
Tanda:
Kelumpuhan otot (terjadi kelemahan selama syok spinal pada
bawah lesi. Kelemahan umum / kelemahan otot (trauma dan
adanya kompresi saraf).
2) Sirkulasi.
Gejala: berdebar-debar, pusing saat melakukan perubahan posisi.
Tanda:hipotensi, Hipotensi posturak, bradikardi, ekstremitas
dingin dan pucat. Hilangnya keringat pada daerah yang
terkena.
3) Eliminasi.
Tanda: retensi urine, distensi abdomen, peristaltik usus hilang,
melena, emisis berwarna seperti kopi tanah
/hematemesis, Inkontinensia defekasi berkemih.
4) Integritas Ego.
Gejala: menyangkal, tidak percaya, sedih, marah.
Tanda: takut, cemas, gelisah, menarik diri.
5) Makanan /cairan.
Tanda: mengalami distensi abdomen yang berhubungan dengan
omentum., peristaltik usus hilang (ileus paralitik)
6) Higiene.
Tanda: sangat ketergantungan dalam melakukan aktifitas sehari-
hari (bervariasi)
7) Neurosensori.
Tanda: kelumpuhan, kelemahan (kejang dapat berkembang saat
terjadi perubahan pada syok spinal). Kehilangan sensasi
(derajat bervariasi dapat kembaki normak setelah syok
79
spinal sembuh). Kehilangan tonus otot /vasomotor,
kehilangan refleks /refleks asimetris termasuk tendon
dalam. Perubahan reaksi pupil, ptosis, hilangnya
keringat bagian tubuh yang terkena karena pengaruh
trauma spinal.
Gejala: kebas, kesemutan, rasa terbakar pada lengan atau kaki,
paralisis flaksid atau spastisitas dapat terjadi saat syok
spinal teratasi, bergantung pada area spinal yang sakit.
8) Nyeri /kenyamanan.
Gejala: Nyeri atau nyeri tekan otot dan hiperestesia tepat di atas
daerah trauma,
Tanda: mengalami deformitas, postur, nyeri tekan vertebral.
9) Pernapasan.
Gejala: napas pendek, kekurangan oksigen, sulit bernapas.
Tanda: pernapasan dangkal /labored, periode apnea, penurunan
bunyi napas, ronki, pucat, sianosis.
10) Keamanan.
Suhu yang berfluktasi (suhu tubuh ini diambil dalam suhu
kamar).
11) Seksualitas.
Gejala: keinginan untuk kembali berfungsi normal.
Tanda: ereksi tidak terkendali (priapisme), menstruasi tidak
teratur.
80
3. Psikososial: usia, jenis kelamin, gaya hidup, pekerjaan, peran dan
tanggung jawab, sistim dukungan, strategi koping, reaksi emosi
terhadap cidera.
4. Pengetahuan klien dan keluarga: anatomi dan fisiolgimedula spinalis:
pengobatan, progonosis/ tujuan yang di harapkan tingkat pengetahuan,
kemampuan belajar dan pengetahuan, kemampuan membaca dan
kesiapan belajar.
Pemeriksaan fisik.
Pemeriksaan fisik sangat berguna untuk mendukung data pengkajian
anamnesis. Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan per sistem (B1-B6) dengan
fokus pemeriksaan B3 (Brain) dan B6 (Bone) yang terarah dan dihubungkan
dengan keluhan klien.
1. Pernapasan.
Perubahan sistem pernapasan bergantung pada gradasi blok saraf
parasimpatis (klien mengalami kelumpuhan otot-otot pernapasan) dan
perubahan karena adanya kerusakan jalur simpatik desenden akibat trauma
pada tulang belakang sehingga jaringan saraf di medula spinalis
terputus. Dalam beberapa keadaan trauma sumsum tulang belakang
pada daerah servikal dan toraks diperoleh hasil pemeriksaan fisik
sebagai berikut.
a. Inspeksi. Didapatkan klien batuk, peningkatan produksi
sputum, sesak napas, penggunaan otot bantu napas,
peningkatan frekuensi pemapasan, retraksi interkostal, dan
pengembangan paru tidak simetris. Respirasi paradoks (retraksi
abdomen saat inspirasi). Pola napas ini dapat terjadi jika otot-otot
interkostal tidak mampu mcnggerakkan dinding dada akibat adanya
blok saraf parasimpatis.
b. Palpasi. Fremitus yang menurun dibandingkan dengan sisi yang
lain akan didapatkan apabila trauma terjadi pada rongga toraks.
c. Perkusi. Didapatkan adanya suara redup sampai pekak
apabila trauma terjadi pada toraks/hematoraks.
81
d. Auskultasi. Suara napas tambahan, seperti napas berbunyi,
stridor, ronchi pada klien dengan peningkatan produksi sekret,
dan kemampuan batuk menurun sering didapatkan pada klien
cedera tulang belakang yang mengalami penurunan tingkat
kesadaran (koma).
2. Kardiovaskular
Pengkajian sistem kardiovaskular pada klien cedera tulang belakang
didapatkan renjatan (syok hipovolemik) dengan intensitas sedang dan berat.
Hasil pemeriksaan kardiovaskular kliencedera tulang belakang pada beberapa
keadaan adalah tekanan darah menurun, bradikardia, berdebar-debar, pusing
saat melakukan perubahan posisi, dan ekstremitas dingin atau pucat.
3. Persyarafan
Tingkat kesadaran. Tingkat keterjagaan dan respons terhadap Iingkungan
adalah indikator paling sensitif untuk disfungsi sistem persarafan. Pemeriksaan
fungsi serebral. Pemeriksaan dilakukan dengan mengobservasi penampilan,
tingkah laku, gaya bicara, ekspresi wajah, dan aktivitas motorik klien. Klien
yang telah lama mengalami cedera tulang belakang biasanya mengalami
perubahan status mental. Pemeriksaan Saraf kranial:
a. Saraf I. Biasanya tidak ada kelainan pada klien cedera
tulang belakang dan tidak ada kelainan fungsi penciuman.
b. Saraf II. Setelah dilakukan tes, ketajaman penglihatan
dalam kondisi normal.
c. Saraf III, IV, dan VI. Biasanya tidak ada gangguan
mengangkat kelopak mata dan pupil isokor.
82
d. Saraf V. Klien cedera tulang belakang umumnya tidak
mengalami paralisis pada otot wajah dan refleks kornea biasanya
tidak ada kelainan
e. Saraf VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal dan wajah
simetris.
f. Saraf VIII. Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli
persepsi.
g. Saraf XI. Tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan
trapezius. Ada usaha klien untuk melakukan fleksi leher dan kaku
kuduk
h. Saraf XII. Lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan
tidak ada fasikulasi, Indra pengecapan normal.
Pemeriksaan refleks:
a. Pemeriksaan refleks dalam. Refleks Achilles menghilang dan
refleks patela biasanya melemah karena kelemahan pada otot
hamstring.
b. Pemeriksaan refleks patologis. Pada fase akut refleks fisiologis
akan menghilang. Setelah beberapa hari refleks fisiologis akan
muncul kembali yang didahului dengan refleks patologis.
c. Refleks Bullbo Cavemosus positif menandakan adanya syok
spinal
d. Pemeriksaan sensorik. Apabila klien mengalami trauma pada
kaudaekuina, mengalami hilangnya sensibilitas secara me-netap
pada kedua bokong, perineum, dan anus. Pemeriksaan sensorik
superfisial dapat memberikan petunjuk mengenai lokasi cedera
akibat trauma di daerah tulang belakang
4. Perkemihan
83
Kaji keadaan urine yang meliputi warna, jumlah, dan karakteristik urine,
termasuk berat jenis urine. Penurunan jumlah urine dan peningkatan retensi
cairan dapat terjadi akibat menurunnya perfusi pada ginjal.
5. Pencernaan.
Pada keadaan syok spinal dan neuropraksia, sering dida-patkan adanya
ileus paralitik. Data klinis menunjukkan hilangnya bising usus serta kembung
dan defekasi tidak ada. Hal ini merupakan gejala awal dari syok spinal yang
akan berlangsung beberapa hari sampai beberapa minggu. Pemenuhan nutrisi
berkurang karena adanya mual dan kurangnya asupan nutrisi.
6. Muskuloskletal.
Paralisis motor dan paralisis alat-alat dalam bergantung pada ketinggian
terjadinya trauma. Gejala gangguan motorik sesuai dengan distribusi
segmental dari saraf yang terkena
84
menggunakan urinal karena kerusakan kontrol motorik dan
postural. Selama periode ini, dilakukan kateterisasi intermitten
dengan teknik steril
2. Pada keadaan syok spinal, neuropraksia sering didapatkan adanya
ileus paralitik, dimana klinis didapatkan hilangnya bowel sound,
kembung, dan defekasi tidak ada. Ini merupakan gejala awal dari
tahap syok spinal yang akan berlangsung beberapa hari sampai
beberapa minggu. Pemenuhan nutrisi berkurang karena adanya
mual dan intake nutrisi yang kurang
3. Pemeriksaan rongga mulut dengan melakukan penilaian ada
tidaknya lesi pada mulut atau perubahan pada lidah dapat
menunjukkan adanya dehidrasi.
Pemeriksaan Motorik
Paralisis motorik dan paralisis alat-alat dalam tergantung dari ketinggian
terjadinya trauma. Gejala gangguan motorik sesuai dengan distribusi segmental
dari saraf yang terkena.
Pemeriksaan lokalis
Look. Adanya perubahan warna kulit, abrasi dan memar pada punggung.
Pada klien yang telah lama dirawat dirumah sering didapatkan adanya
dekubitus pada bokong. Adanya hambatan untuk beraktivitas karena
kelemahan, kehilangan sensorik, mudah lelah menyebabkan masalah pada pola
aktivitas dan istirahat.
85
Feel. Prosesus spinosus dipalpasi untuk mengkaji adanya suatu celah yang
dapat diraba akibat sobeknya ligamentum posterior menandakan cedera yang
tidak stabil. Sering didapatkan adanya nyeri tekan pada area lesi
Move. Gerakan tulang punggung atau spinal tidak boleh dikaji. Disfungsi
motorik paling umum adalah kelemahan dan kelumpuhan pada seluruh
ekstremitas bawah. Kekuatan otot, pada penilaian dengan menggunakan derajat
kekuatan otot didapatkan.
86
b. penurunan menit ventilasi
Disfungsi neuromuscular
c. pemakaianotot pernapasan
d. pernapasan cuping hidung
Gangguan pada otot diagragma
e. dispnea/napas pendek dan
cepat
Pola napas tidak efektif
f. orthopnea
g. pernapasan lewat mulut
h. frekuensi dan kedalaman
pernapasan abnormal
i. penurunan kapasitas vital
paru
Disfungsi C4
87
Kompresi akar saraf servikal
Respons nyeri
Nyeri akut
4 DS: Pasien mengatakan urine Kecelakaan kerja Gangguan pemenuhan
keluar menetes eliminasi urine
Cedera medula spinalis
DO: Nyeri tekan pada abdomen
dan keinginan kencing saat
Kelumpuhan saraf perkemihan
palpasi
88
e. Nyeri kepala yang hebat Penurunan kontraksi otot
jantung jantung
Paraplegia
89
3. Aktual/resiko tinggi penurunan curah jantung yang berhubungan dengan
penurunan denyut jantung, dilatasi pembuluh darah, penurunan kontraksi
otot jantung jantung sekunder dari hilangnya kontrol pengiriman dari
refleks baroreseptor akibat kompresi korda
4. Gangguan pemenuhan eliminasi urine yang berhubungan dengan
gangguan fungsi miksi sekunder dari kompresi medula spinalis
5. Nyeri akut yang berhubungan dengan kompresi akar saraf servikal,
spasme otot servikalis sekunder dari cedera spinal stabil dan tidak stabil
serta berhubungan dengan penjepitan saraf pada diskus intervertebralis,
tekanan di daerah distribusi ujung saraf
6. Aktual/resiko tinggi gangguan intergritas kulit yang berhubungan dengan
penekanan setempat jaringan sekunder dari kelumpuhan gerak
ekstremitas bawah, paraplegia
3.5 Evaluasi
Hasil yang diharapkan
1. Memperlihatkan peningkatan pertukaran gas dan bersihan jalan
napas dari sekresi yang diperlihatkan oleh bunyi nafas normal
pada pengkajian auskultasi.
90
a. Bernapas dengan mudah tanpa napas pendek.
b. Melatih napas dalam setiap jam, batuk efektif dan paru-paru
bersih dari secret.
c. Bebas dari infeksi paru-paru (misal, suhu normal, frekuensi
nadi dan pernapasan normal, bunyi napas normal, tidak ada
sputum purulen.)
2. Bergerak dalam batas disfungsi dan memperlihatkan usaha
melakukan latihan dalam fungsi napas
3. Mendemostrasikan integritas kulit dengan optimal.
a. Memperlihatkan turgor kulit normal dan kulit bebas dari
kemerahan atau kerusakan
b. Berpartisipasi dalam perawatan kulit dan memantau
prosedur dalam keterbatasan fungsi
4. Mencapai fungsi kandung kemih
a. Tidak memperlihatkan adanya tanda infeksi saluran urine.
(mis. suhu normal, berkemih jernih, urine encer)
b. Mengosumsi asupan cairan adekuat.
c. Berpartisipasi dalam program latihan dalam batasan
fungsi.
5. Mencapai fungsi defekasi
a. Melaporkan pola defekasi teratur.
b. Mengkonsumsi makanan berserat yang adekuat dan cairan
melalui oral.
c. Berpartisipasi dalam program latihan defekasi dalam batas
fungsi
6. Melaporkan tidak ada nyeri dan ketidaknyamanan.
7. Bebas komplikasi
a. Memperlihatkan tidak ada tanda tromboflebitis, trombosis
vena provunda, atau emboli paru.
b. Tidak menunjukkan adanya manifestasi emboli paru
(misal. tidak nyeri dada atau panas pendek : gas darah
arteri normal)
91
c. Mempertahankan tekanan darah dalam batas normal.
d. Tidak mengalami sakit kepala dengan perubahan posisi
e. Tidak menunjukkan adanya hiperefleksia autonom (mis.
tidak sakit kepala, diaforesis, hidung tersumbat, atau
bradikardia diaphoresis,
BAB V
PENUTUP
1.1 Kesimpulan
Trauma medula spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang
disebabkan oleh benturan pada daerah medulla spinalis (Brunner & Suddarth,
2001). Penyebab dari Trauma medulla spinalis yaitu: kecelakaan otomobil,
industri terjatuh, olah-raga, menyelam, luka tusuk, tembak dan tumor.
Cedera medula spinalis adalah suatu trauma yang mengenai medula
spinalis atau sumsum tulang akibat dari suatu trauma langsung yang mengenai
tulang belakang. Penyebab cedera medula spinalis adalh kejadian-kejadian yang
secara langsung dapat mengakibatkan terjadinya kompresi pada medula spinalis
seperti terjatuh dari tempat yang tinggi, kecelakaan lalu lintas, kecelakaan
olaghara dan lain-lain.
Cedera medula spinalis dapat menyebabkan terjadinya kelumpuhan jika
mengenai saraf-saraf yang berperan terhadap suatu organ maupun otot. Cedera
medula spinalis ini terbagi menjadi 2 yaitu cedera medula spinalis stabil dan
tidak stabil.
Bila hemoragi terjadi pada daerah medulla spinalis, darah dapat
merembes ke ekstradul subdural atau daerah suaranoid pada kanal spinal, segera
sebelum terjadi kontusio atau robekan pada Trauma, serabut-serabut saraf mulai
membengkak dan hancur. Sirkulasi darah ke medulla spinalis menjadi
terganggu, tidak hanya ini saja tetapi proses patogenik menyebabkan kerusakan
yang terjadi pada Trauma medulla spinalis akut. Suatu rantai sekunder kejadian-
kejadian yang menimbulakn iskemia, hipoksia, edema, lesi, hemorargi.
92
Penatalaksanaan pasien segera ditempat kejadian adalah sangat penting,
karena penatalaksanaan yang tidak tepat dapat menyebabkan kerusakan
kehilangan fungsi neurologik.Pada kepala dan leher dan leher harus
dipertimbangkan mengalami Trauma medula spinalis sampai bukti Trauma ini
disingkirkan. Memindahkan pasien, selama pengobatan didepartemen
kedaruratan dan radiologi,pasien dipertahankan diatas papan pemindahan.
Penatalaksanaan untuk cedera medula spinalis adalah dengan pemberian
obat kortikosteroid dan melihat kepada sistem pernapasan, jika terjadi gangguan
maka perlu diberikan oksigen.
Asuhan keperawatan yang diberikan pada pasien cedera medula spinalis
adalah melihat kepada diagnosa apa saja yang muncul. Intinya pemberian
asuhan keperawatan pada pasien dengan cedera medula spinalis adalah
memperhatikan posisi dalam mobilisasi pasien sehingga tidak memperparah
cedera yang terjadi.
Asuhan Keperawatan yang diberikan pada pasien dengan Trauma
medula spinalis berbeda penanganannya dengan perawatan terhadap penyakit
lainnya,karena kesalah dalam memberikan asuhan keperawatan dapat
menyebabkan Trauma semakin komplit dan dapat menyebabkan kematian
1.2 Saran
Cedera medula spinalis adalah suatu kejadian yang sering terjadi
dimasyarakat. Tingkat kejadiannya cukup tinggi karena bisa terjadi pada siapa
saja dan dimana saja. Sehingga perlu tingkat kehati-hatian yang tinggi dalam
melakukan setiap aktivitas agar tidak terjadi suatu kecelakaan yang dapat
mengakibatkan cedera ini.
Dengan adanya makalah ini diharapkan kepada mahasiswa agar dapat
menjaga kesehatannya terutama pada bagian tulang belakang agar Trauma
medula spinalis dapat terhindar. Adapun jika sudah terjadi, mahasiswa dapat
melakukan perawatan seperti yang telah tertulis dalam makalah ini
93
DAFTAR PUSTAKA
Brunner and Suddarth, 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Edisi
8, volume 2. Jakarta : EGC.
Guyton, Arthur. 1990. Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit. Edisi 3,
Jakarta : EGC
Laurralee Sherwood. .2001. Fisiologi Manusia. Edisi 2, Jakarta : EGC
Sylvia and Lorraine. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses Penyakit. Edisi
6, volume 2. Jakarta : EGC.
W.F.Ganong. 2005. Buku ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 22. Jakarta: EGCs
Hudak and Gallo, (1994), Critical Care Nursing, A Holistic Approach, JB
Lippincott company, Philadelpia.
Marilynn E Doengoes, et all, alih bahasa Kariasa IM, (2000), Rencana
Asuhan Keperawatan, pedoman untuk perencanaan dan
pendokumentasian perawatan pasien, EGC, Jakarta.
Reksoprodjo Soelarto, (1995), Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah, Binarupa
Aksara, Jakarta.
Suddarth Doris Smith, (1991), The lippincott Manual of Nursing Practice,
fifth edition, JB Lippincott Company, Philadelphia.
94